Anda di halaman 1dari 23

Tempat terjemahan Babad dan Serat Jawa berikut ulasannya Oleh Damar

Shashangka
Rabu, 04 Agustus 2010
AJARAN SHIWA BHAIRAWA/TANTRA BHAIRAWA

Arca Bhairawa di Museum Nasional Jakarta (foto: arie saksono)

Arca Bhairawa Museum Nasional di Jakarta ditemukan di kawasan


persawahan di tepi sungai di Padang Roco, Kabupaten Sawahlunto,
Sumatera Barat. Arca Bhairawa dengan tinggi hampir 3 meter ini
merupakan jenis arca Tantrayana. Arca Bhairawa tidak dalam kondisi utuh
lagi, terutama sandarannya. Arca ini tidak banyak dijumpai di Jawa, karena
berasal dari Sumatera. Sebelum ditemukan hanya sebagian saja dari arca
ini yang menyeruak dari dalam tanah. Masyarakat setempat tidak
menyadari bahwa itu merupakan bagian dari arca sehingga
memanfaatkannya sebagai batu asah dan untuk menumbuk padi. Hal ini
dapat dilihat pada kaki sebelah kirinya yang halus dan sisi dasar sebelah
kiri arca yang berlubang.

Arca Bhairawa memegang mangkuk dan belati (foto: Arie saksono)

Arca Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat. Namun arca di sini
hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah
manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat,
maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa
dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru/ ksetra.
Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual Matsya
atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk upacara
minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau
kendaraan Syiwa dalam perwujudan sebagi Syiwa Bhairawa adalah serigala
karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan
pemakan mayat. Walaupun banyak di Sumatera, beberapa ditemukan juga di
Jawa Timur dan Bali. Bhairawa merupakan Dewa Siwa dalam salah satu aspek
perwujudannya. Bhairawa digambarkan bersifat ganas, memiliki taring, dan
sangat besar seperti raksasa. Bhairawa yang berkategori ugra (ganas).

Siwa berdiri di atas mayat bayi korban dan tengkorak (foto: arie saksono)

Arca Perwujudan Adityawarman


Arca ini berdiri di atas mayat dengan singgasana dari tengkorak kepala.
Arca Siwa Bhairawa ini konon merupakan arca perwujudan Raja
Adithyawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada
tahun 1347. Nama Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa
Sansekerta, yang artinya kurang lebih ialah Yang berperisai matahari
(adhitya: matahari,varman: perisai). Adithyawarman adalah seorang
panglima Kerajaan Majapahit yang berdarah Melayu. Ia adalah anak dari

Adwaya Brahman atau Mahesa Anabrang, seorang senopati Kerajaan


Singasari yang diutus dalam Ekspedisi Pamalayu dan Dara Jingga, seorang
puteri dari raja Sri Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dari Kerajaan
Dharmasraya.Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Raden Wijaya
memperistri seorang putri Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki
anak yang bernama Kalagemet. Seorang kerabat raja bergelar dewa
(bangsawan) memperistri putri lainnya bernama Dara Jingga, dan memiliki
anak yang bernama Tuhan Janaka, yang lebih dikenal sebagai
Adityawarman. Di dekat Istano Basa, Batusangkar, ada sekelompok batu
prasasti yang menceritakan tidak saja sejarah Minang, tapi sepenggal
sejarah Nusantara secara utuh. Dari buku panduan disebutkan bahwa batubatu prasasti yang disebut Prasasti Adityawarman itu menghubungkan
Nusantara secara keseluruhan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit.
Di dalam beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal
dengan nama Arya Damar dan merupakan sepupu sedarah dari pihak ibu
dengan Raja Majapahit kedua, yaitu Sri Jayanegara atau Raden Kala
Gemet. Diperkirakan Adityawarman dibesarkan di lingkungan istana
Majapahit, yang kemudian membuatnya memainkan peranan penting
dalam politik dan ekspansi Majapahit. Saat dewasa ia diangkat
menjadi Wrddhamantri atau menteri senior, bergelar Arrya Dewaraja Pu
Aditya. Demikian pula dengan adanya prasasti pada Candi Jago di Malang
(bertarikh 1265 Saka atau 1343 M), yang menyebutkan bahwa
Adityawarman menempatkan arca Majur (salah satu sosok bodhisattva)
di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha
di Bumi Jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.

Adityawarman, Majapahit dan Pagaruyung

Adityawarman turut serta dalam ekspansi Majapahit ke Bali pada tahun


1343 yang dipimpin oleh Gajah Mada. Babad Arya Tabanan, menyebutkan
bahwa Gajah Mada dibantu seorang ksatria keturunan Kediri bernama Arya
Damar, yang merupakan nama alias Adityawarman. Diceritakan bahwa ia
dan saudara-saudaranya membantu Gajah Mada memimpin pasukanpasukan Majapahit untuk menyerbu Pejeng, Gianyar, yang merupakan
pusat Kerajaan Bedahulu, dari berbagai penjuru. Kerajaan Bedahulu adalah
kerajaan kuno yang berdiri sejak abad ke-8 sampai abad ke-14 di pulau
Bali, dan diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Ketika
menyerang Bali, Raja Bali yang menguasai saat itu adalah seorang
Bhairawis penganut ajaran Tantrayana. Untuk mengalahkan Raja Bali itu,
maka Adityawarman juga menganut Bhairawis untuk mengimbangkan
kekuatan. Pertempuran yang terjadi berakhir dengan kekalahan Bedahulu,
dan patih Bedahulu Kebo Iwa gugur sementara raja Sri Astasura Ratna
Bumi Banten pergi mengasingkan diri. Setelah Bali berhasil ditaklukan,
Arya Damar (Adityawarman) kembali ke Majapahit dan diangkat menjadi
raja di Palembang. Sebagian saudara-saudara Arya Damar ada yang

menetap di Bali, dan di kemudian hari salah seorang keturunannya


mendirikan Kerajaan Badung di Denpasar.
Pada saat melakukan politik ekspansi di tanah Melayu, Adityawarman
diberi tanggung jawab sebagai wakil (uparaja) Kerajaan Majapahit. Segera
setelah Adityawarman tiba di Sumatera, ia menyusun dan mendirikan
kembali Kerajaan Mauliawarmmadewa, menaklukan sisa-sisa Kerajaan
Sriwijaya, dan akhirnya juga mendirikan Kerajaan Pagarruyung/
Pagaruyung (Minangkabau) di Sumatra Barat dan mengangkat dirinya
sebagai Mahrjdhirja (1347).
Sepeninggalnya,
kekuasaan
Adityawarman di Pagaruyung diteruskan oleh anaknya yang bernama
Ananggawarman. Keturunan Adityawarman dan Ananggawarman
selanjutnya agaknya bukanlah raja-raja yang kuat. Pemerintahan kemudian
digantikan oleh orang Minangkabau sendiri yaitu Rajo Tigo Selo, yang
dibantu oleh Basa Ampat Balai. Daerah-daerah Siak, Kampar dan Indragiri
kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan
Aceh, dan kemudian menjadi kerajaan-kerajaan merdeka.

Aliran Tantrayana

Menurut catatan sejarah, Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, saat


diserang oleh tentara Kerajaan Kediri (1292) sedang pesta makan minum
sampai mabuk. Kenyataannya adalah bahwa pada saat serbuan tentara
Kediri tersebut Kertanegara bersama dengan para patihnya,
para Mahwrddhamantri dan para pendeta-pendeta terkemukannya
sedang melakukan upacara-upacara Tantrayana.

Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari kini


masih tersimpan di Tropen Museum Leiden Belanda

Replika Arca Bhairawa perwujudan Raja Kertanegara dari Candi Singosari


di Museum Nasional Jakarta (foto: arie saksono)

Kertanegara adalah seorang penganut setia aliran Budha Tantra. Prasasti


tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok di surabaya menyatakan bahwa
Krtanegara telah dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yaitu sebagai
Aksobya, dan Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya. Sebagai Jina,
Kertanegara
bergelar Jnanaciwabajra.
Setelah
wafat
ia
dinamakan iwabuddha yaitu dalam kitab Pararaton dan dalam
Nagarakartagama >Mokteng (yang wafat di) iwabuddhaloka sedangkan
dalam prasasti lain >Lina ring (yang wafat di) iwabuddhalaya.
Kertanegara
dimuliakan
di
Candi
Jawi
sebagai
Bhataraiwabuddha/ SiwaBuddha di
Sagala
bersama
dengan
permaisurinya Bajradewi, sebagai Jina (Wairocana) dengan Locana dan di
Candi Singosari sebagai Bhaiwara.
Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata Tan yang artinya
memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India
penganut Tantrisme banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan
India Utara. Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali
antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra
Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara. Tantrayana berkembang luas
sampai ke Cina, Tibet, dan Indonesia dari Tantrisme munculah suatu
faham Bhirawa atau Bhairawa yang artinya hebat.

Ciri khas arca aliran Tantrayana berdiri di atas tengkorak (foto: arie
saksono)

Paham Bhirawa secara khusus memuja kehebatan daripada sakti, dengan


cara-cara khusus. Bhairawa berkembang hingga ke Cina, Tibet, dan
Indonesia. Di nusantara masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa,
dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra,
sebagaimana diberikan terdapat pada prasasti Palembang tahun 684,
berasal dari India selatan dan Tibet. Dari bukti peninggalan purbakala
dapat diketahui ada tiga peninggalan purbakala yaitu : Bhairawa
Heruka yang terdapat di Padang Lawas Sumatra barat, Bhairawa
Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara Raja Singasari Jawa Timur,
serta oleh Adityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit,
dan Bhairawa Bima di Bali yang arcanya kini ada di Kebo Edan Bedulu
Gianyar.
Dalam upacara memuja Bhairawa yang dilakukan oleh para penganut
aliran Tantrayana yaitu cara yang dilakukan oleh umat Hindu/ Budha
untuk dapat bersatu dengan dewa pada saat mereka masih hidup karena
pada umumnya mereka bersatu atau bertemu dengan para dewa pada saat
setelah meninggal sehingga mereka melakukan upacara jalan pintas yang
disebut dengan Upacara ritual Pancamakarapuja.
Pancamakarapuja adalah upacara ritual dengan melakukan 5 hal yang
dilarang dikenal dengan 5 MA:
1.
2.
3.
4.
5.

MADA atau mabuk-mabukan


MAUDRA atau tarian melelahkan hingga jatuh pingsan
MAMSA atau makan daging mayat dan minum darah
MATSYA atau makan ikan gembung beracun
MAITHUNA atau bersetubuh secara berlebihan

Mereka melakukan upacara tersebut di Ksetra atau lapangan untuk


membakar mayat atau kuburan sebelum mayat di bakar saat gelap bulan.
Pada zaman dahulu penjagaan keamanan dan pengendalian pemerintahan
di wilayah kekuasaan berdasarkan pada kharisma dan kekuasaan raja.
Kertanegara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kekuatan
Kaisar Khu Bhi Lai Khan di Cina yang menganut Bhairawa Heruka. Kebo
Paru, Patih Singasari menganut Bhairawa Bhima untuk mengimbangi Raja
Bali yang kharismanya sangat tinggi pada jaman itu. Adityawarman
menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja-raja Pagaruyung di
Sumatra barat yang menganut Bhairawa Heruka.

Aliran-aliran Bhairawa cenderung bersifat politik, untuk mendapatkan


kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan
menjaga keamanan wilayah kekuasaan (kerajaan), seperti halnya pemimpin
dari kalangan militer di masa sekarang. Karena itu raja-raja dan petinggi
pemerintahan serta pemimpin masyarakat pada zaman dahulu banyak yang
menganut aliran ini.
2008 arie saksono

SEJARAH KEBERADAAN TANTRA BHAIRAWA DI NUSANTARA

Rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu


memeluk agama yang berbeda-beda. Tantrayana adalah suatu aliran atau
sekte yang pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan
berkembang luas di Indonesia; bahkan raja Kertanegara dari kerajaan
Singasari adalah seorang penganut yang taat dari agama Budha Tantra.
Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah seorang
raja yang sangat taat melaksanakan ajaran Tantrayana. Beliau hidup
berpesta pora di dalam istana bersama-sama dengan mentri-mentri dan
para pendeta terkemuka. Bahkan ketika Singasari diserbu oleh pasukan
kerajaan Kediri pun mereka sedang mengadakan pesta pora, tetapi
upacara pesta pora, makan minum besar-besaran tersebut bukan sebagai
pesta biasa, melainkan raja bersama para mentri dan pendeta itu sedang
melakukan upacara-upacara Tantrayana (Soekmono, 1959 : 60).
Untuk mengungkapkan perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian
tidak bisa lepas dari hubungan Bali dengan Jawa Timur, yang dimulai
dengan perkimpoian raja Dharma Udayana Warmadewa di Bali dengan
seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri Gunapriyadharmapatni.
Beliau
adalah
putri
Makutawangsawardhana,
sedangkan
Makutawangsawardhana adalah cucu raja Sindok. Pada masa
pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang.
Pada waktu itu telah disusun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang
menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantra.
Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni atau Mahendradhatta pun
telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa timur, sebab di
Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan
Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan
ilmu-ilmu gaib. Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali
dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar Calon
arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi
Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan
Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat
yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga
sebagai korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara
seperti itu adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.

Permaisuri Mahendradhatta mangkat lebih dahulu dari raja Udayana dan


didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan
dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan
Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada pada
badan seekor kerbau besar (Goris, 1048 : 6). Arca itu menguatkan dugaan
orang bahwa Mahendradhatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib
dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian (Shastri, 1963 : 49).
Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur
baur dan keliru, tapi mungkin ada dasar-dasarnya yang benar bahwa
Mahendradhatta dilukiskan sebagai Calon Arang (Goris, 1948 : 7). Dengan
demikian maka kemungkinan pada sekitar abad X Tantrayana telah
berkembang
di
Bali.
Kemudian pada sekitar abad XIII di Jawa Timur memerintah raja
Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal
dalam ilmu politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya ke
Barat sampai ke Bali. Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama
pada tahun 1280 masehi membunuh orang jahat yang bernama Mahisa
Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1284 beliau telah
menyerang Bali dan rajanya ditawan (Krom, 1956 : 188). Hal itu tercantum
dalam kitab Negarakertagama di katakana sebagai berikut :
Tahun saka : yama sunti hari baginda raja membrantas penjahat Mahisa
Rangga, karena jahat tingkah lakunya dibenci seluruh negara. Tahun saka :
badan-badan langit hari kirim utusan untuk menghancurkan Bali setelah
kalah rajanya menghadap baginda sebagai orang tawanan (Prapanca,
1953
:
38).
Sayang sekali di dalam buku Negarakertagama itu tidak ada disebutkan
nama raja Bali itu. Prasastinya hingga kini belum ditemukan di Bali,
sehingga sulit bagi kita untuk mengetahui nama-nama raja di Bali pada
waktu itu. Dr. R. Goris di dalam kitabnya Sejarah Bali Kuna (1948)
menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti yang berangka tahun caka
1218 dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja, tetapi banyak
menyebutkan nama Raja Patih yakni Kebo Parud. Nama-nama dan
pangkat mentri lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan
Singasari.
Prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun caka
1218 berisikan persoalan dan kebengisan. Patih di dalam prasasti itu
dikenal sebagai Mwang Ida Raja Patih I mekakasir Kebo Parud (Goris,
1948 : 11). Berdasarkan nama patih itu dan isi prasasti ternyata patih itu
seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur. Nama semacam itu
di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama patih raja Kertanegara
antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha, Patih Kebo Tengah atau
Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang
Gubernur atau semacam itu yang mewakili pemeritah Singasari di Bali.
Prasasti lainnya dari Kebo Parud berangka tahun caka 1222 yang
menguraikan tentang desa Sukawati yang terletak di perbatasan Min
Balingkang. Dalam prasasti ini terdapat kata-kata ; Mpukwing, Dharma
Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana. Agama yang dianut

Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam prasastiprasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi
Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali
yang
dikeluarkan
lebih
dahulu.
Pada sekitar abad ke XIII di kerajaan Singasari Jawa Timur memang
sedang berkembang bahkan menjadi pusat alian Tantrayana dan sebagai
pemimpinnya adalah raja Kertanegara sendiri yang memerintah tahun 1268
1292.
Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca
Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar
dan tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian
menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha). Arca di
tempatkan pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa
Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari.
Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada
masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca
Bhairawa yang terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo
Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu
menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang dibuat oleh para
penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara kepercayaan.
Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan
terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu
bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan
satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo
Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa mangkokmangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak. arca-arca itu
dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan dengan mata
melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan
rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok
darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan
hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130
cm.
Arca-arca tersebut di atas mengingatkan akan nama Chakrachakra yaitu
sebuah arca Bhairawa di candi Singasari, Jawa Timur, yang tingginya 167
cm. Arca itu duduk di atas seekor anjing atau Srigala dalam keadaan
telanjang bulat dengan hiasan-hiasan tengkorak dan kepala-kepala
manusia pada seluruh badannya. Atribut pada tangan arca ialah sebuah
pisau
besar,
trisula,
gendang,
dan
mangkok
tengkorak.
Arca serupa juga terdapat di Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas, Batak
dan Sumatra Tengah. Di tengah-tengah ruangan candi terdapat sebuah
arca Heruka bersifat mengahncurkan. Wajahnya selalu membayangkan
sifat merusak dan lebih hebat lagi terlihat pada saat dewa kejam itu sedang
dalam puncak kemarahannya. Demikianlah pada jaman itu di candi Biaro
Bahal itu telah diadakan upacara sukar ria yang melampui batas dan
sangat menggemparkan dimana darah para korban di tumpahkan kedalam
sungai. Dewa menari-nari di atas mayat manusia. Atribut arca Heruka ialah

wajra atau kilap disertai petir pada tangan kanan, mangkuk tengkorak pada
tangan kiri, tangkai katwanggu (Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak,
kepala manusia dan sebagainya) menekan pada badannya. Tengkoraktengkorak menghiasi kepala dan badannya. Keajaiban seperti itu dalam
upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan
disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu
prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu - hu - he - hai
hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat
pada
sebuah
prasasti.
Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan
sikpanya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat
manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk
darah sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah serta
kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam
hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana. Demikianlah pada
sekitar abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa berkembang
luas
di
Bali.
Jadi Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali
dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa.
Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan raja Dharma
Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya Mahendradhatta
pada lebih kurang abad X. Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai Calon
Arang atau Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut
Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian
agar
terkabul
segala
kehendaknya.
Pada sekitar abad ke XIII pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana juga
dilaksanakan dengan tekun oleh Kebo Parud dan pegawai-pegawai
Singasari lainnya yang bertugas di Bali pada saat itu.
Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai
perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah mengalami
perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali, maka
Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran. Sebab-sebab
kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir
manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian
atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya.
Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan
kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan
oleh
orang
biasa.
Lebih-lebih lagi pada saat sekarang dalam hal ini Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia, maka cara-cara 5 ma dan lainnya dari
Tantrayana tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian
bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya Tantrayana pada akhirnya lenyap
dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara Tantrayana
itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi
nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut
Tantrayana itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran

dan tujuan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah
merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah
sukar
bisa
dilaksanakan
bagi
orang
biasa.
Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya
khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra.
Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat
pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh
Tantrayana masih terlihat. Cerita calon arang, cerita yang sangat terkenal
dan masih tetap semangat digemari oleh masyarakat Bali. Cerita calon
arang melukiskan pertentangan antara raja Airlangga dengan para pengikut
ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga sekarang masih
dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat terkenal
dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh Tantrayana
yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali
mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan
genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah
chakra
dengan
sebuah
pegangan
atau
tangkai
garuda.
Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi pada
buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa
Bhuta Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah
bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta
atau saktiisme, karena yang dijadikan objek persembahannya adalah sakti.
Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah
simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of Bala or strength)
(Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan
energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as kala or time)
(Das
Gupta,
ibid).
Dengan demikian Saktiisme sama dengan kalaisme. sekte keagamaan
kalaisme disebut juga Kalamuka atau kalikas dan disebut juga Kapalikas.
Sekte ini sejenis dengan aliran bhairawa atau Tantrayana kiri. Pengikut dari
sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari
pendekatan Antropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut
Dynamisme.
Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India maka juga
disebut Sudra Kapalikas. Pengikut ini tidak percaya kepada sistem kasta
dan pengikut ini selalu melaksanakan Panca Ma sebagai bagian dari
pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma ( 5 ma) itu adalah : makan daging
(mamsa), makan ikan (matsya), minum-minuman keras (mada), mudra
(melakukan gerak tangan), mythuna (mengadakan hubungan cinta yang
berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan dikucilkan
dari Weda. Aliran ini memuja Dewi sebagai ibu, baik Bhairawi, Ibu Durga
maupun
Kali.
Mereka
adalah
super
matrial
power.
Ibu Durga atau Bhairawi inilah yang melahirkan para bhuta-bhuti dengan
kekayaan yoganya. Perihal penciptaan ini banyak diuraikan dalam berbagai

lontar

yang

bersifat

Tantrayana

di

Bali.

Tapi dalam Dharma Sastra, para bhutakala ini yang termasuk golongan
Sadya adalah diciptakan oleh Brahman. Golongan Sadya itu terdiri dari
makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari Dewa-dewa, mereka
mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma Sastra III.
196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa,
Raksasa, Yaksa, Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.
Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya
seperti peri, setan, jin dan lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani. Semua
golongan ini termasuk tingkat sadya yang diciptakan oleh Brahman.
Bhuta-bhutani yang disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha
yang artinya marah. Kelompok ini sebagai makhluk astral sangatlah
ditakuti,
karena
sifatnya
menganggu.
Raksasa adalah sejenis bhuta pula, termasuk didalamnya adalah Yaksa,
Naga, Yatudhana dan Pisaca, kelompok ini juga disebut Krodhawangsa.
Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai pelindung atau penjaga pintu
sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang kelompok raksasa ini
banyak
kita
jumpai
dalam
ceritera
Mahabharata.
Yatudhana dan Panlastya adalah sejenis raksasa pula, karena
kesaktiannya dapat memperlihatkan dirinya sesuai dengan kemauannya.
Paisaca adalah raksasa pula, tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya
adalah
mengganggu
dan
pemarah.
Asura adalah kelompok makhluk astral yang sifatnya bertentangan dengan
dewa-dewa. Sifatnya sama pula dengan raksasa. Kelompok asura ini
antara
lain
Danawa
dan
Aditya.
Setan adalah kelompok makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari
makhluk astra di atas. Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa Weda
dikenal nama-nama setan seperti setan golongan Sadhanwa, setan
sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka adalah pengganggu
keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu harus diusir
dengan doa-doa yang berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda, Sukta IX,
hal.
51).
Dalam lontar Bhumi Kamulan menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan,
menurunkan Korsika, Gargha, Maitri dan Kurusya. Keempat putra ini
disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak mau maka ia dikutukNya
menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup menciptakan
dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa, widyadharawidyadhari, gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang bertabiat
kasar seperti raksasa, danawa, pisaca, daitya, semuanya makhluk halus
yang menyeramkan. Berikutnya sampailah diciptakan makhluk halus yang
terendah yaitu jin, setan, bragala, memedi, tonye dan lain-lainnya berupa
jenis bhuta yang memenuhi ruang dan waktu. Di lain pihak sang pencipta

(Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah wujud menjadi aheng, bertaring,
berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar. Demikianlah Uma telah
berubah menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga maka Pretanjalapun
merubah dirinya kedalam wujud ganas, aheng (angker) yang disebut
Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan angker ciptaanNya
menjadi bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang angker dan
menyeramkan seperti pada jurang, pangkung, hutan, setra dan
sebagainya. Para bhuta makhluk halus terendah menempati tempat-tempat
yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah dan sebagainya.
Durga Mahakala dengan Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap
dunia ini. Ia menimbulkan penyakit, membunuh makhluk seisi dunia ini
maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu diperintahkan turun Dewa
Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini, dan menyucikan
kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma menjadi
Rsi, Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda,
ketiga
ini
di
sebuat
Trisadhaka.
Demikianlah uraian lontar Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama
menguraikan sebagai berikut. Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara
Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi Durga dalam wujud lima
durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga berkedudukan di
Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga
berkedudukan di Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.
Sri Durga beryoga menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta Dengen.
Rajiyoga beryoga mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai dan
segala jenis penyakit. Dhari Duga lalu mengadakan Sangbhuta Kapiragan,
Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali, Kala Sweta dan lain-lain.
Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta, yaitu : Bhuta
Janggitan, Bhuta Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta Tiga Sakti.
Melihat Uma menjadi Durga, maka Betara Guru pun mengutuk dirinya
menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada diri Durga,
maka terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu. Kemudian
dalam perkimpoian Kala Rudra dengan Durga lahirlah Bhatara Kala.
Dalam Lontar Pangiwa, Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya
Sasuhunan ring tengahing samudra dengan pepatihnya I Ratu Gede
mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama Ratu Kasuhun Kidul atau
Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah yang memegang
kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para
bhutakala-bhutakali. Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya
pergi kedesa-desa yang dapat menimbulkan penyakit, baik bagi manusia
maupun binatang, agar manusia, binatang dan alam lingkungannya tidak
terganggu makhluk halus angker dan ciptaan Durga lainnya, maka
diperlukan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan
dengan mempersembahkan caru atau menyadakan pecaruan.
Perlu digarisbawahi bahwa para praktisi Tantra menyatakan bahwa tujuan
utama dari Tantra adalah sama seperti tujuan Weda yaitu mencapai Tuhan
dan kebenaran, pengetahuan dan kebahagiaan yang merupakan atribut

dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra, Veda atau Sruti adalah apa
yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan Purana atu epos besar
yang pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan untuk lebih
memahami
ajaran
Sruti
dan
Smrti
tadi.
Akhirnya, dinyatkan bahwa Tantra adalah ajaran yang dikhususkan untuk
jaman Kaliyuga. Mereka menyatakan bahwa tidak mungkin pada jaman
Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual yang sedemikian rumit dan berbagai
tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi alternatifnya adalah
melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga
sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).
Demikianlah sekilas mengenai Tantrayana dan perkembangannya di
Indonesia.
Sumber :
http://ariesaksono.wordpress.com/2008/01/21/arca-siwa-bhairawamuseum-nasional-jakarta/
http://blackbali.blogspot.com/2008/04/tantrayana-dan-perkembangannyadi.html

Tambahan khusus dari


Damar Shashangka :

Tentang ajaran Bhairawa dalam hubungannya dengan Tantrayana


ada tiga aliran yaitu: Bhairawa Hala Cakra merupakan pertemuan
ajaran Buddha dengan ajaran Tantrayana. Bhairawa Heru Cakra
merupakan ajaran yang muncul dari tradisi kepercayaan
Indonesia bercampur dengan Hala Cakra. Bhairawa Bima Sakti
adalah pertemuan antara ajaran Bhairawa dengan ajaran Siwa.
Ajaran Tantra Bhairawa bisa dikatakan sebuah penyimpangan dari
ajaran Tantrayana yang asli. Ritual PANCAMAKARA yang
bersumber darikitab Kali Mantra dan kitab Mahanirvana
Tantra jelas disebutkan sebagai berikut :

Kali Mantra:

Sadayam bhaamsaca miinam ca mudraa naithuna se vaca,


Ete Pamca Makaaraa syu Mokshadaah Kaluyuge
"Mabuk, memakan daging, memakan ikan,melakukan
sexualitas dan meditasi, akan menuntun kepada Moksha
pada jaman Kaliyuga ini."

Maha Nirvana Tantra :


Pautvaa pitvaa punah pitvaa yaavat patati bhuutale,
Punarutyaaya dyai potvaa punarjanma ga vidhate.

Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke


tanah. Lantas berdirilah kembali dan minum lagi hingga
sesudah itu kamu akan terbebas dari punarjanma
(kelahiran
kembali)
dan
mencapai
kesempurnaan.
(Moksha).
Maksud dari ayat yang dipaparkan dalam Kitab Kali Mantra
adalah, dengan ritual sebagaimana tersebut dibawah ini, maka
akan dicapai Moksha pada jaman Kaliyuga yang tengah berlaku
sekarang. Ritual tersebut adalah sebagai berikut :

1. MATSYA ( Makan ikan )


2. MAMSA ( Makan Daging )
3. MADA ( Minum arak hingga mabuk berat )
4. MAITHUNA ( Sex bareng-bareng di Ulun Setra/Kuburan )
5. MUDRA ( Baru masuk meditasi. Habis Makan, minum dan sex )
Yang dimaksudkan adalah :

1. MATSYA ( Ikan ) artinya = JADILAH SEEKOR IKAN YANG


MENYELAMI SUNGAI/LAUTAN KEHIDUPAN. JANGAN MALAH
MENOLAK KEHIDUPAN DAN MENINGGALAN DUNIA.

2. MAMSA ( Daging ) artinya = WALAU MENYELAM DALAM


KEDUNIAWIAN, TETAPLAH MENGAWASI LIARNYA DAGINGMU/EGOMU!

3.MADA ( Mabuk ) artinya = MINUM DAN REGUKLAH


SPIRITUALITAS, WALAU HIDUP DIALAM MATERI. MINUMLAH
SPIRITUALITAS ITU HINGGA KAMU MABUK DENGAN-NYA.

4. MAITHUNA (Sex) artinya = CAPAILAH ORGASME SPIRITUAL,


SATUKAN SAKTI/KUNDALNI DENGAN ATMAMU! USAHAKANLAH
BENAR-BENAR AKAN HAL INI!

5. MUDRA (Sama saja dengan MEDITASI ) artinya = CAPALAH


PELEBURAN DENGAN ASAL USULMU. ITULAH KESEMPURNAAN!

Sedangkan pengertian mabuk yang dipaparkan dalam Kitab Maha


Nirvana
Tantra
diatas,
sesungguhnya
adalah
MABUK
SPIRITUALITAS.
Inilah sesungguhnya maksud dari ajaran TANTRAYANA. TETAP
MENIKMATI KEDUNIAWIAN NAMUN SPIRITUALITAS HARUS
DIUTAMAKAN. Namun dalam ajaran Tantra Bhairawa, ritual-ritual
yang dipaparkan diatas, benar-benar dijalankan apa adanya.
Lantas benarkan Prabhu Kertanegara penganut Tatra Bhairawa
Kalacakra? Jelas ini bertentangan dengan informasi yang ditulis
dalam Negarakretagama. Dalam Negarakretagama Prabhu
Kartanegara disebutkan sebagai penganut Tantra Subuthi.

Dalam Nagarakretagama pupuh 43 : 2-6 :

2. Itulah sebabnya, baginda (Kertanegara) sangat teguh


berbhakti memuja kaki padma Sakyamuni (Buddha), kokoh setia
menjalankan Pancasila (Pancasila Buddhis), Samskara dan
Abhisekakarma.
Gelar
Jina
beliau
adalahShri
Jnyanabadreshwara.Mumpuni dalam tattwa (filsafat agama Shiwa
dan agama Buddha), tata bahasa (sanskerta dan Palli) dan sutrasutra lainnya
3. Sangat giat beliau mempelajari segala ilmu spiritualitas.
Terutama Tantra Subhuti sangat diutamakannya. Ajarannya
merasuk kedalam jiwa beliau. Beliau giat melakukan Puja, Yoga,
Samadi demi keselamatan seluruh Kerajaan agar terhindar dari
tenung dan agar seluruh rakyat kecil sejahtera semua.
4. Diantara para leluhurnya tidak ada yang setara dengan beliau,
paham akan Sadgunna (Enam macam ilmu Politik yang diajarkan
Weda), sempurna dalam ilmu ketata negaraan dan ahli dalam
tattwa agama (Shiwa Buddha). Teguh menjalankan aturan Jina,
dan senantiasa berlaku utama. Itulah sebabnya sampai seluruh
keturunannya diberkati sebagai pemimpin utama (sampai
sekarang seluruh pemimpin Nusantara masih berbau darah
Singasari ~ Malang, Jawa Timur)
5. Pada tahun ABDHIJANARRYAMA (1214 Saka atau 1292
Masehi), baginda berpulang ke Jinalaya (Alam Jina), disebabkan
beliau telah sempurna dalam Kriyantara (Upacara agama Shiwa
Buddha) dan ajaran agama (Sawrwopadesyadika), seluruh rakyat
memberikan gelar kepada beliau Bathara Shiwa Buddha. Di Candi
beliau ditegakkan arca Shiwa Buddha, sangat-sangat indah
menawan
.
6. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan
rupawan. Serta Arca Ardhanareshwari (Shiwa dan Durga menjadi
satu) disatukan dalam Arca Bajradewi, teman hidup beliau dalam
tapa demi keselamatan dan kesuburan negara (Bajradewi istri
Kartanegara). Arca tersebut juga lambang dari Wairochana dan
Lochana dalam satu kesatuan tunggal, sangat masyhur dan
indah.

Diposkan oleh Damar Shashangka di 11:35:00 AM


Reaksi:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest
Label: URAIAN/BAHASAN
5 komentar:
1.
BISNIS ONLINE7 Oktober 2011 08.47
membaca ini awalnya saya kebingungan..... tapi setelah saya
baca
yang
akhir...
mulai
ada
titik
terang........terimakasih.....atar
pemaparan
yang
benar.........tetapi perlu lagi kita gali arti dari simbul2 yang ada
dalam patung itu sendiri..... jangan sampai.....ada mis
informasi......dengan
keyakinan...adiluhung....yang
sebenarnya..... rahayu jagate samio
Balas
2.
Teddy Delano15 Desember 2013 21.47
salam, saya pelayan di bhairawa. om ah hum.
Balas
3.
elanonsites31 Oktober 2014 17.02
bro... minta softcopy Sang Hyang Kamahayanikan he.. he...
elan_darmawan@yahoo.com
Balas
4.
Made Sendra30 September 2015 15.19
I am a Balinese Hindhu. I have a lot of inquiries to know about
our Balinese tradition that has still exist until today. But most
of us as Balinese do not know the root or the origin of our
tradition, and this blog has a good advantage for me and I do
hope that this blog will explore more deeply concerning ritual
in Bali. Dean of Tourism Faculty (I Made Sendra) Thanks a
lot.
Balas
5.

hammersound Bali26 November 2015 01.54


kalo mau jujur dan menelusuri, sebenarnya ajaran bhairawa
tantra di Nusantara tidaklah lenyap sama sekali...sebagai
contoh di Bali di kenal adanya leak (pangiwa)pada praktek
awalnya mereka akan datang ke kuburan pada tengah malam
setelah memuja hyang durga bhairawi mereka akan menari
nari ,memakan daging/hewan mentah, sex dengan sesama
aliran mereka hingga kelelahan sebelum mendapat anugrah
dari hyang durga bhairawi , dalam lontar darma weci ( yang
dikenal sebagai lontar pangeleakan) memang tujuan akhir
dari ajaran ini adalah manunggal dengan dewa pujaan
mereka,oleh karena itu orang2 yg mempunyai level tinggi
pada aliran ini tidak lagi menari nari di kuburan tp bersemedi
di rumah mereka sendiri,...lihat/telusuri juga adanya
santet,teluh di jawa dan sumatra dimana pada awalnya
orang2 yang mempratekan ajaran ini akan memulainya di
kuburan untuk mendapatkan kekuatan , suatu ajaran takkan
pernah hilang begitu saja kalo akar budaya nya pernah ada..
Balas
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Total Tayangan Laman
648,875
Lencana Facebook
Damar Shashangka

Buat Lencana Anda


Mengenai Saya

Damar Shashangka
The Seeker of Divine Light

Lihat profil lengkapku


MENGGALI MUTIARA NUSANTARA

Rwneka dhtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kna
parwanosn, Mangka ng Jinatwa kalawan Syiwatattwa tunggal, Bhinneka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa. "Buddha dan Syiwa merupakan
dua hal yang berbeda. Memang berbeda dan keduanya tak bisa dikenali,
Akan tetapi kebenaran Jina (Buddha) dan Syiwa adalah tunggal adanya,
Sesungguhnya berbeda tetap satu juga tidak ada kebenaran yang
mendua." (Kakawin Sutasoma, Pupuh : 139 Sloka: 5)

Label

BUKU KARYA DAMAR SHASHANGKA (14)


DHAPUR (MODEL) LUK (8)
DHAPUR (MODEL) LURUS (10)
DOWNLOAD EBOOK PURI DAMAR SHASHANGKA (4)
DOWNLOAD FILM PILIHAN (2)
GALERY KERIS (24)
INFORMASI PENTING (2)
KEAJAIBAN SPIRITUAL (3)
NOVEL KARYA DAMAR SHASHANGKA (21)
PAMOR (2)
PENGGALAN SERAT/BABAD (11)
RANGKUMAN NASKAH BABAD (14)
SEJARAH BALI (3)
SEJARAH PARA EMPU (3)
SEJARAH SWARNABHUMI DAN MALAYU(2)
SERAT DARMAGANDHUL (16)
SERAT GATHOLOCO (16)
SRAT WEDATAMA (6)
SERAT-SERAT PENDEK (2)
URAIAN/BAHASAN (17)
VIDEO (22)
WEJANGAN (2)
Langganan
Pos

Komentar
Arsip Blog

2016 (2)

2015 (2)

2014 (3)

2013 (6)

2012 (11)

2011 (15)

o
o
o
o
o

o
o
o

2010 (138)
Desember 2010 (37)
November 2010 (7)
Oktober 2010 (5)
September 2010 (8)
Agustus 2010 (15)
SERAT DARMAGANDHUL (8)
SERAT DARMAGANDHUL (7)
ANGKOR WAT Kamboja
KESULTANAN SAMUDERA PASAI
HIKAYAT RAJA PASAI
LINGGA YONI
SERAT DARMAGANDHUL (6)
SERAT GATHOLOCO (16) HABIS
SERAT GATHOLOCO (15)
SEJARAH BEDAHULU
SEJARAH PAMECUTAN
PATUNG DWARAPALA
AJARAN SHIWA BHAIRAWA/TANTRA BHAIRAWA
SUNDAPURA : TARUMANEGARA, SUNDA, GALUH,
PAJAJARAN
SERAT DARMAGANDHUL (5)
Juli 2010 (29)
Juni 2010 (21)
Mei 2010 (16)

TUKERAN LINK
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Peradah Semarang
sutamto
Elang Nusantara
Goldy Oceanta
Mas Dot
Eng saputra

12.
13.
14.
15.
16.
17.

Tirta Kencana
marketivaus
Juli Budi
Javanizis
Lembaga KERIS
jebalkober

23.
24.
25.
26.
27.
28.

sabdadewi
sabdadewi
dash
Eko Waluyo
BHDB
Toko Buku Devi

7.

mr.sabdopalon

8.

MA' HAD ALY AL


AQIDAH ALHASYIMIYYAH
JAKARTA
juanxcriex

9.

18. Rare Angon Nak Bali 29. Karavina Shop


Belog
19. monotext
30. galih24jam

20. Panji Cybersufi

10. Bambang
11. Kemlinthi

31. Pasraman Ganesha


Brahmachari Ashram
32. You're next!

21. ganesha
22. goldoriole
Mister Linky's Magical Widgets
To add your entry to the list, fill in the form below and press Enter.
Your na
me:
Your U
RL:

Enter

Please leave a comment after linking... Thank you!


Click here for Mister Linky's name/URL cookie removal tool.
Arsip Blog

Pengu
njung
Template Simple. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai