Shashangka
Rabu, 04 Agustus 2010
AJARAN SHIWA BHAIRAWA/TANTRA BHAIRAWA
Arca Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat. Namun arca di sini
hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah
manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat,
maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa
dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru/ ksetra.
Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual Matsya
atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk upacara
minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau
kendaraan Syiwa dalam perwujudan sebagi Syiwa Bhairawa adalah serigala
karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan
pemakan mayat. Walaupun banyak di Sumatera, beberapa ditemukan juga di
Jawa Timur dan Bali. Bhairawa merupakan Dewa Siwa dalam salah satu aspek
perwujudannya. Bhairawa digambarkan bersifat ganas, memiliki taring, dan
sangat besar seperti raksasa. Bhairawa yang berkategori ugra (ganas).
Siwa berdiri di atas mayat bayi korban dan tengkorak (foto: arie saksono)
Aliran Tantrayana
Ciri khas arca aliran Tantrayana berdiri di atas tengkorak (foto: arie
saksono)
Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam prasastiprasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi
Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali
yang
dikeluarkan
lebih
dahulu.
Pada sekitar abad ke XIII di kerajaan Singasari Jawa Timur memang
sedang berkembang bahkan menjadi pusat alian Tantrayana dan sebagai
pemimpinnya adalah raja Kertanegara sendiri yang memerintah tahun 1268
1292.
Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca
Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar
dan tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian
menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha). Arca di
tempatkan pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa
Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari.
Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada
masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca
Bhairawa yang terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo
Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu
menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang dibuat oleh para
penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara kepercayaan.
Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan
terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu
bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan
satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo
Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa mangkokmangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak. arca-arca itu
dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan dengan mata
melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan
rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok
darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan
hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130
cm.
Arca-arca tersebut di atas mengingatkan akan nama Chakrachakra yaitu
sebuah arca Bhairawa di candi Singasari, Jawa Timur, yang tingginya 167
cm. Arca itu duduk di atas seekor anjing atau Srigala dalam keadaan
telanjang bulat dengan hiasan-hiasan tengkorak dan kepala-kepala
manusia pada seluruh badannya. Atribut pada tangan arca ialah sebuah
pisau
besar,
trisula,
gendang,
dan
mangkok
tengkorak.
Arca serupa juga terdapat di Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas, Batak
dan Sumatra Tengah. Di tengah-tengah ruangan candi terdapat sebuah
arca Heruka bersifat mengahncurkan. Wajahnya selalu membayangkan
sifat merusak dan lebih hebat lagi terlihat pada saat dewa kejam itu sedang
dalam puncak kemarahannya. Demikianlah pada jaman itu di candi Biaro
Bahal itu telah diadakan upacara sukar ria yang melampui batas dan
sangat menggemparkan dimana darah para korban di tumpahkan kedalam
sungai. Dewa menari-nari di atas mayat manusia. Atribut arca Heruka ialah
wajra atau kilap disertai petir pada tangan kanan, mangkuk tengkorak pada
tangan kiri, tangkai katwanggu (Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak,
kepala manusia dan sebagainya) menekan pada badannya. Tengkoraktengkorak menghiasi kepala dan badannya. Keajaiban seperti itu dalam
upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan
disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu
prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu - hu - he - hai
hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat
pada
sebuah
prasasti.
Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan
sikpanya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat
manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk
darah sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah serta
kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam
hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana. Demikianlah pada
sekitar abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa berkembang
luas
di
Bali.
Jadi Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali
dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa.
Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan raja Dharma
Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya Mahendradhatta
pada lebih kurang abad X. Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai Calon
Arang atau Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut
Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian
agar
terkabul
segala
kehendaknya.
Pada sekitar abad ke XIII pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana juga
dilaksanakan dengan tekun oleh Kebo Parud dan pegawai-pegawai
Singasari lainnya yang bertugas di Bali pada saat itu.
Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai
perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah mengalami
perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali, maka
Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran. Sebab-sebab
kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir
manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian
atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya.
Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan
kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan
oleh
orang
biasa.
Lebih-lebih lagi pada saat sekarang dalam hal ini Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia, maka cara-cara 5 ma dan lainnya dari
Tantrayana tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian
bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya Tantrayana pada akhirnya lenyap
dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara Tantrayana
itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi
nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut
Tantrayana itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran
dan tujuan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah
merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah
sukar
bisa
dilaksanakan
bagi
orang
biasa.
Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya
khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra.
Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat
pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh
Tantrayana masih terlihat. Cerita calon arang, cerita yang sangat terkenal
dan masih tetap semangat digemari oleh masyarakat Bali. Cerita calon
arang melukiskan pertentangan antara raja Airlangga dengan para pengikut
ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga sekarang masih
dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat terkenal
dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh Tantrayana
yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali
mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan
genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah
chakra
dengan
sebuah
pegangan
atau
tangkai
garuda.
Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi pada
buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa
Bhuta Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah
bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta
atau saktiisme, karena yang dijadikan objek persembahannya adalah sakti.
Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah
simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of Bala or strength)
(Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan
energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as kala or time)
(Das
Gupta,
ibid).
Dengan demikian Saktiisme sama dengan kalaisme. sekte keagamaan
kalaisme disebut juga Kalamuka atau kalikas dan disebut juga Kapalikas.
Sekte ini sejenis dengan aliran bhairawa atau Tantrayana kiri. Pengikut dari
sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari
pendekatan Antropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut
Dynamisme.
Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India maka juga
disebut Sudra Kapalikas. Pengikut ini tidak percaya kepada sistem kasta
dan pengikut ini selalu melaksanakan Panca Ma sebagai bagian dari
pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma ( 5 ma) itu adalah : makan daging
(mamsa), makan ikan (matsya), minum-minuman keras (mada), mudra
(melakukan gerak tangan), mythuna (mengadakan hubungan cinta yang
berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan dikucilkan
dari Weda. Aliran ini memuja Dewi sebagai ibu, baik Bhairawi, Ibu Durga
maupun
Kali.
Mereka
adalah
super
matrial
power.
Ibu Durga atau Bhairawi inilah yang melahirkan para bhuta-bhuti dengan
kekayaan yoganya. Perihal penciptaan ini banyak diuraikan dalam berbagai
lontar
yang
bersifat
Tantrayana
di
Bali.
Tapi dalam Dharma Sastra, para bhutakala ini yang termasuk golongan
Sadya adalah diciptakan oleh Brahman. Golongan Sadya itu terdiri dari
makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari Dewa-dewa, mereka
mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma Sastra III.
196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa,
Raksasa, Yaksa, Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.
Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya
seperti peri, setan, jin dan lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani. Semua
golongan ini termasuk tingkat sadya yang diciptakan oleh Brahman.
Bhuta-bhutani yang disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha
yang artinya marah. Kelompok ini sebagai makhluk astral sangatlah
ditakuti,
karena
sifatnya
menganggu.
Raksasa adalah sejenis bhuta pula, termasuk didalamnya adalah Yaksa,
Naga, Yatudhana dan Pisaca, kelompok ini juga disebut Krodhawangsa.
Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai pelindung atau penjaga pintu
sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang kelompok raksasa ini
banyak
kita
jumpai
dalam
ceritera
Mahabharata.
Yatudhana dan Panlastya adalah sejenis raksasa pula, karena
kesaktiannya dapat memperlihatkan dirinya sesuai dengan kemauannya.
Paisaca adalah raksasa pula, tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya
adalah
mengganggu
dan
pemarah.
Asura adalah kelompok makhluk astral yang sifatnya bertentangan dengan
dewa-dewa. Sifatnya sama pula dengan raksasa. Kelompok asura ini
antara
lain
Danawa
dan
Aditya.
Setan adalah kelompok makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari
makhluk astra di atas. Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa Weda
dikenal nama-nama setan seperti setan golongan Sadhanwa, setan
sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka adalah pengganggu
keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu harus diusir
dengan doa-doa yang berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda, Sukta IX,
hal.
51).
Dalam lontar Bhumi Kamulan menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan,
menurunkan Korsika, Gargha, Maitri dan Kurusya. Keempat putra ini
disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak mau maka ia dikutukNya
menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup menciptakan
dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa, widyadharawidyadhari, gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang bertabiat
kasar seperti raksasa, danawa, pisaca, daitya, semuanya makhluk halus
yang menyeramkan. Berikutnya sampailah diciptakan makhluk halus yang
terendah yaitu jin, setan, bragala, memedi, tonye dan lain-lainnya berupa
jenis bhuta yang memenuhi ruang dan waktu. Di lain pihak sang pencipta
(Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah wujud menjadi aheng, bertaring,
berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar. Demikianlah Uma telah
berubah menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga maka Pretanjalapun
merubah dirinya kedalam wujud ganas, aheng (angker) yang disebut
Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan angker ciptaanNya
menjadi bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang angker dan
menyeramkan seperti pada jurang, pangkung, hutan, setra dan
sebagainya. Para bhuta makhluk halus terendah menempati tempat-tempat
yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah dan sebagainya.
Durga Mahakala dengan Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap
dunia ini. Ia menimbulkan penyakit, membunuh makhluk seisi dunia ini
maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu diperintahkan turun Dewa
Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini, dan menyucikan
kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma menjadi
Rsi, Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda,
ketiga
ini
di
sebuat
Trisadhaka.
Demikianlah uraian lontar Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama
menguraikan sebagai berikut. Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara
Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi Durga dalam wujud lima
durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga berkedudukan di
Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga
berkedudukan di Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.
Sri Durga beryoga menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta Dengen.
Rajiyoga beryoga mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai dan
segala jenis penyakit. Dhari Duga lalu mengadakan Sangbhuta Kapiragan,
Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali, Kala Sweta dan lain-lain.
Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta, yaitu : Bhuta
Janggitan, Bhuta Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta Tiga Sakti.
Melihat Uma menjadi Durga, maka Betara Guru pun mengutuk dirinya
menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada diri Durga,
maka terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu. Kemudian
dalam perkimpoian Kala Rudra dengan Durga lahirlah Bhatara Kala.
Dalam Lontar Pangiwa, Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya
Sasuhunan ring tengahing samudra dengan pepatihnya I Ratu Gede
mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama Ratu Kasuhun Kidul atau
Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah yang memegang
kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para
bhutakala-bhutakali. Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya
pergi kedesa-desa yang dapat menimbulkan penyakit, baik bagi manusia
maupun binatang, agar manusia, binatang dan alam lingkungannya tidak
terganggu makhluk halus angker dan ciptaan Durga lainnya, maka
diperlukan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan
dengan mempersembahkan caru atau menyadakan pecaruan.
Perlu digarisbawahi bahwa para praktisi Tantra menyatakan bahwa tujuan
utama dari Tantra adalah sama seperti tujuan Weda yaitu mencapai Tuhan
dan kebenaran, pengetahuan dan kebahagiaan yang merupakan atribut
dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra, Veda atau Sruti adalah apa
yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan Purana atu epos besar
yang pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan untuk lebih
memahami
ajaran
Sruti
dan
Smrti
tadi.
Akhirnya, dinyatkan bahwa Tantra adalah ajaran yang dikhususkan untuk
jaman Kaliyuga. Mereka menyatakan bahwa tidak mungkin pada jaman
Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual yang sedemikian rumit dan berbagai
tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi alternatifnya adalah
melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga
sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).
Demikianlah sekilas mengenai Tantrayana dan perkembangannya di
Indonesia.
Sumber :
http://ariesaksono.wordpress.com/2008/01/21/arca-siwa-bhairawamuseum-nasional-jakarta/
http://blackbali.blogspot.com/2008/04/tantrayana-dan-perkembangannyadi.html
Kali Mantra:
Damar Shashangka
The Seeker of Divine Light
Rwneka dhtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kna
parwanosn, Mangka ng Jinatwa kalawan Syiwatattwa tunggal, Bhinneka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa. "Buddha dan Syiwa merupakan
dua hal yang berbeda. Memang berbeda dan keduanya tak bisa dikenali,
Akan tetapi kebenaran Jina (Buddha) dan Syiwa adalah tunggal adanya,
Sesungguhnya berbeda tetap satu juga tidak ada kebenaran yang
mendua." (Kakawin Sutasoma, Pupuh : 139 Sloka: 5)
Label
Komentar
Arsip Blog
2016 (2)
2015 (2)
2014 (3)
2013 (6)
2012 (11)
2011 (15)
o
o
o
o
o
o
o
o
2010 (138)
Desember 2010 (37)
November 2010 (7)
Oktober 2010 (5)
September 2010 (8)
Agustus 2010 (15)
SERAT DARMAGANDHUL (8)
SERAT DARMAGANDHUL (7)
ANGKOR WAT Kamboja
KESULTANAN SAMUDERA PASAI
HIKAYAT RAJA PASAI
LINGGA YONI
SERAT DARMAGANDHUL (6)
SERAT GATHOLOCO (16) HABIS
SERAT GATHOLOCO (15)
SEJARAH BEDAHULU
SEJARAH PAMECUTAN
PATUNG DWARAPALA
AJARAN SHIWA BHAIRAWA/TANTRA BHAIRAWA
SUNDAPURA : TARUMANEGARA, SUNDA, GALUH,
PAJAJARAN
SERAT DARMAGANDHUL (5)
Juli 2010 (29)
Juni 2010 (21)
Mei 2010 (16)
TUKERAN LINK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Peradah Semarang
sutamto
Elang Nusantara
Goldy Oceanta
Mas Dot
Eng saputra
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Tirta Kencana
marketivaus
Juli Budi
Javanizis
Lembaga KERIS
jebalkober
23.
24.
25.
26.
27.
28.
sabdadewi
sabdadewi
dash
Eko Waluyo
BHDB
Toko Buku Devi
7.
mr.sabdopalon
8.
9.
10. Bambang
11. Kemlinthi
21. ganesha
22. goldoriole
Mister Linky's Magical Widgets
To add your entry to the list, fill in the form below and press Enter.
Your na
me:
Your U
RL:
Enter
Pengu
njung
Template Simple. Diberdayakan oleh Blogger.