Anda di halaman 1dari 10

Wangsa Sailendra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Asal-usul
Di Indonesia nama ailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan dari
tahun 778 Masehi (ailendragurubhis; ailendrawaatilakasya; ailendrarajagurubhis).
Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi
(ailendrawaatilakena), dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi
(dharmmatugadewasyaailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi
(selendranamah) dan prasasti Kayumwuan dari tahun 824 Masehi (ailendrawaatilaka).
Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan
prasasti Nalanda.

Mengenai asal usul keluarga ailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai
pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang
mengatakan bahawa keluarga ailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari Funan.

Teori India

Majumdar beranggapan bahwa keluarga ailendra di Nusantara, baik di rwijaya (Sumatera)


maupun di Mda (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama
dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga
ailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta
Hyang. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh
Dapunta Hyang dengan bala tentaranya.

Teori Funan

George Cds lebih condong kepada anggapan bahwa ailendra yang ada di Nusantara itu
berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya
kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai
penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama
keluarga ailendra. Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan
sejarah menyatakan bahwa sebelum bermukim di Jawa, keluarga Sailendra telah bermukim
turun-temurun di Sumatera.[butuh rujukan]
Teori Nusantara

Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatera atau Jawa;
sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa ailendra mungkin berasal
dari Sumatera yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli
dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.

Menurut beberapa sejarawan, keluarga ailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke
Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi
dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan Ho-ling di Jawa.[1]. Serangan Sriwijaya atas
Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bhumi Jawa
yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan
atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada
prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiya. Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan
Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno.

Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Pendapat dari Poerbatjaraka yang
didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di
wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto
itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santan), nama ibunya (Bhadrawati),
dan nama istrinya (Sampla) (da p nta selendra namah santan nma nda bapa nda
bhadrawati nma nda aya nda sampla nma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama
Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan ailendra yang berkuasa di Mda.

Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta
ailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau
keluarga ailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di
dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal
keluarga ailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti
Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.

Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga
ailendra, asli Nusantara yang menganut agama iwa. Tetapi sejak Paamkaran berpindah
agama menjadi penganut Buddha Mahyna, raja-raja di Matarm menjadi penganut agama
Buddha Mahyna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang
menyebutkan bahwa Rakai Sajaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai
Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh
semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Saiwa
menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum
Adam Malik yang kini hilang).

Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sajaya mendirikan sebuah lingga di bukit
Sthraga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sajaya
memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama
Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sajaya.

Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di
Mda (Matarm), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sajaya. Raja Sajaya mulai berkuasa
di Mda pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja
Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sajaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka
Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta
Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang
penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2
penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.

Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiak mendapat putra Sang Sena
(Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiak diganti oleh Sang
Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga
bahwa Mandimiak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang
lagi yang berkuasa sebelum Mandimiak.

Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga ailendra diduga
berasal dari pulau Jawa yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya
berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya
beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti
Tarumanagara dan Holing (Kalingga). Penggunaan bahasa Bahasa Melayu Kuno pada
prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa
keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini
menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vasal atau raja bawahan anggota kedatuan
Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana
disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur.

Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan Ho-
ling yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan
seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik.
Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka
diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mda, yaitu Dapunta Selendra (?- 674
Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717
Masehi), R. Sajaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paamkaran (746-784 Masehi), dan
seterusnya.

Era Kerajaan Medang

Candi Kalasan sebagai tempat pemujaan Dewi Tara.

Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra
yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini
pertama kali diperkenalkan oleh Bosch.[2] Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, wangsa
Sailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya
awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan wangsa Sailendra. Mengenai persaingan
kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama
berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka menolak anggapan Bosch mengenai
adanya dua wangsa kembar berbeda agama yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada
satu wangsa dan satu kerajaan, yaitu wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang. Sanjaya dan
keturunannya adalah anggota Sailendra juga.[3] Ditambah menurut Boechari, melalui
penafsirannya atas Prasasti Sojomerto bahwa wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa,
sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana.

Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda
maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti
Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram
Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Budha (Sailendra) umumnya terletak di Jawa
Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa
Tengah bagian utara.

Berdasarkan penafsiran atas prasasti Canggal (732 M) Sanjaya memang mendirikan


Shivalingga baru (Candi Gunung Wukir), artinya ia membangun dasar pusat pemerintahan
baru. Hal ini karena raja Jawa pendahulunya, Raja Sanna wafat dan kerajaannya tercerai-
berai diserang musuh. Saudari Sanna adalah Sannaha, ibunda Sanjaya, artinya Sanjaya masih
kemenakan Sanna. Sanjaya mempersatukan bekas kerajaan Sanna, memindahkan ibu kota
dan naik takhta membangun kraton baru di Mdang i Bhumi Mataram. Hal ini sesuai dengan
adat dan kepercayaan Jawa bahwa kraton yang sudah pernah pralaya, diserang, kalah dan
diduduki musuh, sudah buruk peruntungannya sehingga harus pindah mencari tempat lain
untuk membangun kraton baru. Hal ini serupa dengan zaman kemudian pada masa Mataram
Islam yang meninggalkan Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh dan berpindah ke
Surakarta. Perpindahan pusat pemerintahan ini bukan berarti berakhirnya wangsa yang
berkuasa. Hal ini sama dengan Airlangga pada zaman kemudian yang membangun kerajaan
baru, tetapi ia masih merupakan keturunan wangsa penguasa terdahulu, kelanjutan
Dharmawangsa yang juga anggota wangsa Isyana. Maka disimpulkan meski Sanjaya
memindahkan ibu kota ke Mataram, ia tetap merupakan kelanjutan dari wangsa Sailendra
yang menurut prasasti Sojomerto didirikan oleh Dapunta Selendra.

Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan
Dewi Tara, puteri Dharmasetu, Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari
Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati
Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Sailendra menyerang dan mengalahkan
Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.

Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).
Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu
kebanggaan bangsa Indonesia. Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, Samaratungga
memiliki putri bernama Pramodhawardhani dan putra bernama Balaputradewa. Balaputra
kemudian memerintah di Sriwijaya, maka selain pernah berkuasa di Medang, wangsa
Sailendra juga berkuasa di Sriwijaya.

Runtuhnya Wangsa Sailendra


Berapa sejarawan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah
mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatera). Selama ini
sejarawan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar
berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra
yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran
Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara
Sailendra sang penguasa yang beragama Buddha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan
beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah.[butuh rujukan]
Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, raja Samaratungga menikahkan putrinya
Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran
wangsa Sanjaya.[1] Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di
Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa,
yang merupakan paman atau saudara Pramodhawardhani. Sejarah wangsa Sailendra berakhir
pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Suwarnadwipa yang
merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz
beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz
beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan
akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang.[1]
Hal ini berdasarkan temuan arca-arca bergaya Jawa Tengahan abad ke-10 di situs Gunung
Pulasari, Banten Girang.

Sementara itu, sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu
wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavama dalam prasasti apapun.
Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam wangsa Sailendra. Secara
tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8
hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di Dataran Kedu, dari masa
kekuasaan Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran Slamet
Muljana yang menganggap Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta.
Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta
kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan wangsa Sailendra
berlangsung jauh lebih lama. Dari pertengahan abad ke-7 (perkiraan dituliskannya Prasasti
Sojomerto), hingga awal abad ke-11 masehi (jatuhnya wangsa Sailendra di Sriwijaya akibat
serangan Cholamandala dari India). Dalam kurun waktu tertentu, wangsa Sailendra berkuasa
baik di Jawa Tengah maupun di Sumatra. Persekutuan dan hubungan pernikahan keluarga
kerajaan antara Sriwijaya dan Sailendra memungkinkan bergabungnya dua keluarga kerajaan,
dengan wangsa Sailendra akhirnya berkuasa baik di Kerajaan Medang Mataram di Jawa
Tengah sekaligus di Sriwijaya, Sumatera.

Daftar raja-raja
Beberapa sejarawan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja
Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, Slamet Muljana,
meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota wangsa Sailendra
pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Poerbatjaraka
berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya
juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal
perkembangan wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara
Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan
lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta
penafsiran atas naskah Carita Parahyangan. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul,
karena nampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; Kalingga, Medang, dan
Sriwijaya. Akibatnya nama beberapa raja nampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-
kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena
data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap.

Kuru Prasasti
n Nama Raja atau atau
Ibu Kota Peristiwa
Wakt Penguasa Catatan
u Bersejarah
Sebuah keluarga
beragama Siwa
berbahasa
Melayu kuno
mulai bermukim
Prasasti di pesisir utara
sekita Sojomerto Jawa Tengah,
Santanu ?
r 650 (sekitar 670 diduga berasal
700) dari Sumatera
(?) atau asli dari
Jawa tetapi di
bawah pengaruh
Sriwijaya (raja
bawahan)
Dimulainya
Batang wangsa keluarga
Prasasti
(pantai penguasa,
sekita Sojomerto
Dapunta Selendra utara pertama kalinya
r 674 (sekitar 670
Jawa nama 'Selendra'
700)
Tengah) (Sailendra)
disebutkan
Carita
Parahyangan,
Catatan
Tiongkok
Kalingga, mengenai
di antara kunjungan Menguasai
674
Shima (?) Pekalong biksu Hwi- kerajaan
703
an dan ning di Ho- Kalingga
Jepara ling (664)
dan
pemerintahan
Ratu Hsi-mo
(674)
703 Carita
Mandimiak (?) ?
710 Parahyangan
710 Sanna ? Prasasti Sanna berkuasa
717 Canggal di Jawa, tetapi
(732), Carita setelah
Parahyangan kematiannya
kerajaan runtuh
Kuru Prasasti
n Nama Raja atau atau
Ibu Kota Peristiwa
Wakt Penguasa Catatan
u Bersejarah
dan terpecah-
belah akibat
pemberontakan
atau serangan
dari luar
Sanjaya, putra
Sannaha,
keponakan
Sanna
memulihkan
keamanan,
mempersatukan
kerajaan dan
Prasasti naik takhta,
Mataram,
717 Canggal sejarawan lama
Sanjaya Jawa
760 (732), Carita menafsirkannya
Tengah
Parahyangan sebagai
berdirinya
Wangsa Sanjaya,
sementara pihak
lain
menganggap ia
sebagai
kelanjutan
Sailendra
Rakai
Panangkaran
beralih
Prasasti Raja
keyakinan dari
Sankhara,
Mataram, memuja Siwa
760 Prasasti
Rakai Panangkaran Jawa menjadi
775 Kalasan
Tengah penganut
(778), Carita
Buddha
Parahyangan
Mahayana,
pembangunan
Candi Kalasan
775 Dharanindra Mataram, Prasasti Juga berkuasa di
800 Jawa Kelurak Sriwijaya
Tengah (782), (Sumatera),
Prasasti membangun
Ligor B Manjusrigrha,
(sekitar 787) memulai
membangun
Borobudur
Kuru Prasasti
n Nama Raja atau atau
Ibu Kota Peristiwa
Wakt Penguasa Catatan
u Bersejarah
(sekitar 770),
Jawa menyerang
dan menaklukan
Ligor dan
Kamboja
Selatan (Chenla)
(790)
Juga berkuasa di
Mataram, Prasasti Sriwijaya,
800
Samaragrawira Jawa Ligor B Kamboja
812
Tengah (sekitar 787) memerdekakan
diri (802)
Juga berkuasa di
Mataram, Prasasti
812 Sriwijaya,
Samaratungga Jawa Karangtenga
833 merampungkan
Tengah h (824)
Borobudur (825)
833 Pramodhawardhani Mamrati, Prasasti Mengalahkan
856 berkuasa Jawa Siwagrha dan mengusir
mendampingi Tengah (856) Balaputradewa
suaminya Rakai yang menyingkir
Pikatan ke Sumatera
(Sriwijaya).
Membangun
Candi
Prambanan dan
Candi Plaosan.
Para raja
Medang penerus
Pikatan, mulai
dari Dyah
Lokapala (850
890) hingga
Wawa (924
929) dapat
dianggap
sebagai penerus
trah Sailendra,
meskipun Dyah
Balitung (898
910) dalam
Prasasti
Mantyasih (907)
hanya merunut
leluhurnya
Kuru Prasasti
n Nama Raja atau atau
Ibu Kota Peristiwa
Wakt Penguasa Catatan
u Bersejarah
hingga Sanjaya,
akibatnya
menumbuhkan
teori Wangsa
Sanjaya.
Dikalahkan
Pikatan-
Pramodhawardh
ani, terusir dari
Jawa Tengah,
menyingkir ke
Prasasti
Sumatra dan
Sriwijaya Siwagrha
berkuasa di
833 , (856),
Balaputradewa Sriwijaya,
850 Sumatera Prasasti
mengaku dirinya
Selatan Nalanda
sebagai pewaris
(860)
sah wangsa
Sailendra dari
Jawa,
membangun
Candi di
Nalanda (India)
Mengirim
utusan dan
Sriwijaya Utusan ke
persembahan
sekita ri , Tiongkok
untuk mendapat
r 960 Udayadityavarman Sumatera (960 dan
misi dagang
Selatan 962)
dengan
Tiongkok
Mengirim
utusan dan
Sriwijaya
Utusan ke persembahan
sekita ,
Haji (Hia-Tche) Tiongkok untuk mendapat
r 980 Sumatera
(980983) misi dagang
Selatan
dengan
Tiongkok
sekita Sri Sriwijaya Utusan ke Mengirim
r 988 Culamanivarmadev , Tiongkok utusan dan
a Sumatera (988-992- persembahan
Selatan 1003), untuk mendapat
Prasasti misi dagang
Tanjore atau dengan
prasasti Tiongkok, Raja
Leiden Jawa
Kuru Prasasti
n Nama Raja atau atau
Ibu Kota Peristiwa
Wakt Penguasa Catatan
u Bersejarah
Dharmawangsa
menyerang
Sriwijaya,
membangun
Candi untuk
(1044)
Kaisar
Tiongkok,
pemberian desa
perdikan oleh
Raja-raja I
Mengirim
utusan dan
Sriwijaya
sekita Utusan ke persembahan
Sri ,
r Tiongkok untuk mendapat
Maravijayottungga Sumatera
1008 (1008) misi dagang
Selatan
dengan
Tiongkok (1008)
Mengirim
utusan dan
Sriwijaya
sekita Utusan ke persembahan
,
r Sumatrabhumi Tiongkok(10 untuk mendapat
Sumatera
1017 17) misi dagang
Selatan
dengan
Tiongkok (1017)
Serbuan
Prasasti kerajaan
Sriwijaya
sekita Chola di Cholamandala
Sangramavijayottu ,
r Candi atas Sriwijaya,
ngga Sumatera
1025 Rajaraja, ibu kota
Selatan
Tanjore ditaklukan oleh
Rajendra Chola

Anda mungkin juga menyukai