Dosen Pengampu :
Annisa Arum Mayang, S.Sos., M.Hum.
Winna Shafanissa, M.M.Par
Disusun oleh :
Wahyu Hifajar 213233094
Zahra Fitriana Ramadhani 213233096
Ziyadeth Hudayn D.A 213233098
Livia Victoria Senduk 213233100
Prasasti ini ditemukan di pinggir Sungai Ciaruteun, Bogor. Prasasti ini merupakan
peninggalan Kerajaan Tarumanagara dan berisi tentang puji-pujian kepada Raja
Purnawarman yang tapak kakinya dianggap sebgai tapak kaki Dewa Wisnu. Prasasti
Ciaruteun diukir dengan menggunakan aksara Pallawa awal dan berbahasa Sansekerta.
Adapun terjemahan isi dari Prasasti Ciaruteun : “Inilah (tanda) sepasang telapak kaki
yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang
Purnnawarmman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”. Cap telapak kaki
melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini
berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka
dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
Tulisan sebanyak 12 baris pada Prasasti Mulawarman I dipahat di sisi depan dengan
ukuran tinggi 124 cm, lebar 31,5 cm, dan tebal 29,5 cm. Huruf yang dipahat memiliki
ukuran panjang 9,5 - 2 cm dan lebar 4-0,4 cm. Prasasti ini berisi silsilah Raja Mulawarman.
Silsilah tersebut terdapat di bagian awal prasasti, yang menyebutkan bahwa Sri Maharaja
Kundungga berputra Aswawarman memiliki tiga orang anak, yang terkemuka diantara
ketiganya adalah Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan berkuasa.
B. Bedasarkan Benda
ARCA
Prasasti Amoghapasa diukir pada alas arca Amoghapasa. Alas ditemukan di Padan
Roco, Sumatra Barat, sedangkan arca ditemukan di Rambahan, Jambi. Prasasti itu
menyatakan bahwa pada tahun 1286, sebuah arca Amoghapasa dengan 14 pengawalnya
(saptaratna) dibawa dari Bhumi Jawa (Jawa) ke Svarnabhumi (Sumatera) untuk
ditempatkan di Dharmasraya. Empat pejabat dari Kerajaan Singasari : Rakryan
Mahamantri Dyah Adyawabrahma, Rkryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan
Han Dipangkaradasa dan Rakryan Dmun Pu Wira diperintahkan oleh Raja Kertanegara
untuk mengawal arca-arca tersebut. Arca-arca ini diangkut melalui tarat, sungai dan laut
dalam perjalanannya menuju Sumatera.
Arca Bhairawa adalah representasi dewa dari aliran Tantra yang merupakan contoh
sinkretisme atau gabungan dari dua kepercayaan yaitu Hindu dan Budha. Berdasarkan
ikonografi, sosok ini digambarkan sedang berdiri di atas mayat seorang pria dan tengkorak
manusia, serta memegang mangkuk dan pisau bergaya arab. Dia juga mengenakan ikat
pinggang yang merepresentasikan kala, ciri khas kepercayaan Hindu dan juga terdapat
lonceng pada ikat pinggangnya yang menandakan ciri aliran Tantra. Selain itu, Bhairawa
juga mencitrakan sosok Siva dalam bentuk menyeramkan (ugra) dan sekaligus sosok
Budha yang ditandai dari kunciran rambutnya.
Harta karun Muteran merupakan salah satu kisah partisipasi masyarakat dalam
penemuan artefak- artefak bersejarah . Ketika sedang menggarap lahan pertanian pada
tahun 1881, beberapa petani di Desa Muteran Keresidenan Surabaya, Jawa Timur (kini
berada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur) tidak sengaja
menemukan wadah logam besar berisi berbagai jenis benda dari emas dan perak. Temuan
Desa Muteran diduga berasal dari masa raja Sindok hingga masa Majapahit sekitar abad
ke-10 hingga ke-14 Masehi dilihat dari lokasi penemuannya.
Arca Prajñāpāramitā terbuat dari batu, tinggi arca 1,36 meter duduk bersila di atas
padmāsana, kedua tangannya bersikap dharmacakramudrā (“memutar roda hukum”) yaitu
memberi wejangan ajaran Buddha). Setangkai bunga teratai setengah mekar (utpalā).
namun sayangnya kepala dan kedua tangan di atas siku telah hilang. Arca digambarkan
duduk bersila di atas lapik berhias, dari sisa telapak tangan, terlihat dewi mempunyai
dharmacakramudrā. Pakaian dan hiasan raya, kelat bahu hanya tinggal sebelah, kalung,
upawita manik-manik, kain dan selendang bermotif bulatan-bulatan, uncal berhias. Sisa
tangkai teratai membelit tangan melilit lengan kirinya, bunganya tegak di belakang bahu
kiri, menyangga sebuah pūstaka (kitab).
RELIEF
Pohon kehidupan, pohon hayat, atau tree of life ialah pohon yang diyakini memberikan
perlindungan serta pengayoman. Sesuai dengan sebutannya, pohon kehidupan dipercaya
dapat memberikan kehidupan untuk semua makhluk hidup dan dapat memenuhi segala
keinginan manusia. Selain itu, Pohon kehidupan juga disamakan dengan kalpataru atau
pohon pengetahuan (budi). Mandara, Parijata, Samtana, Kalpawrksa atau Kalpataru, dan
Haricandana adalah kelima pohon suci tesebut dan dikenal dengan nama Pancawreksa.
Adapun dalam agama Buddha, pohon kehidupan dikenal dengan nama pohon bodhi. Pohon
ini terkait dengan peristiwa pencerahan yang diterima Pangeran Siddharta Gautama atau
Sang Buddha di bawah pohon bodhi.
Chattra merupakan bagian dari stupa yang berbentuk payung bersusun tiga. Letak
chattra berada paling atas. Secara umum, stupa tersusun dari alas membulat yang
ditinggikan dan diletakkan di bawah kubah, lalu pada bagian atas kubah terdapat harmika
atau tanah berpagar juga as roda atau batang untuk menopang chattra. Chattra
menyimbolkan perlindungan bumi dari kekuatan jahat. Selain itu, chattra juga bermakna
sebagai objek persembahan surgawi dan juga penanda anggota keluarga kerajaan.Jumlah
chattra di atas stupa pada masa India kuna adalah tiga belas. Jumlah ini merupakan lambang
penghormatan bagi Raja Penguasa Dunia atau kerajaan yang memiliki daerah kekuasaan
yang luas, serta simbol tertinggi dari suatu kerajaan
Kejayaan dan keberagaman budaya Kesultanan Banten dapat terlihat dari ragam hias
mahkota yang terinspirasi dari berbagai budaya. Hal ini terlihat dari motif sulur daun serta pohon
hayat yang distilir sedemikian rupa. Pada bagian puncak berbentuk kuncup bunga teratai
menyerupai bentuk wajra yang dalam ajaran Hindu menyimbolkan sebuah pencerahan Mahkota
emas bertabur permata, berlapis perak ini milik raja Banten, kesultanan di ujung barat pulau Jawa.
Karya indah bermotif floral khas Islam. Konon dipakai sejak raja kedua, pada seribu lima ratus
lima puluh dua.
Mahkota bukan sekedar hiasan kepala yang dikenakan oleh raja, ratu ataupun dewa.
Mahkota ialah simbol kemasyhuran penguasa, kekuasaan legitimasi, keabadian,
kemakmuran, serta kehidupan setelah kematian. Penyerahan Mahkota Sultan Siak Sri
Indrapura di tahun 1945 kepada pemerintah Republik Indonesia menunjukkan tekad,
komitmen dan dukungan Kesultanan Siak Sri Indrapura menyatukan diri dengan Republik
Indonesia saat itu. Mahkota Siak memiliki berat 1.803,3 gram serta berdiameter 33 cm dan
tingginya 27 cm dengan berbahan emas, berlian dan rubi. Regalia yang kini menjadi
koleksi Museum Nasional Indonesia memiliki bentuk yang indah dan artistik dengan motif
filigree atau kerawang.
Kalabubu adalah salah satu aksesoris sejenis kaling asal Nias bagian selatan. Dibuat
dari tempurung kelapa dan tembaga. Kalabubu yang dikenakan menunjukkan status sosial
seseorang prajurit biasa menggunakan kalabubu yang polos dan sederhana, sedangkan
bangsawan biasanya memiliki motif yang lebih kompleks. Pentingnya kaling ini bagi laki-
laki di Nias selatan dapat dilihat juga dari patung-patung yang ada
Perhiasan dada, emas permata, ditemukan di Klungkung, Bali. Perhiasan ini milik
Pangeran Dewa Agung Gede Agung, salah satu pejuang yang paling berani dalam perang
puputan. Puputan adalah perang habis-habisan namun bukan bertujuan untuk menang,
karena tujuannya adalah untuk menyambut kematian dihadapan musih sampai habis tak
bersisa. Perang ini biasanya diikuti oleh semua rakyat kerajaan tanpa terkecuali.
Gambar 4.5 Kalung Manik-Manik
(Sumber : museumnasional.or.id)
Paidon merupakan emas yang ditemukan di Riau Lingga, Kepulauan Riau, Sumatera.
Paidon mripakan salah satu perangkat perkinangan dan berfungsi untuk menanmping ludah
saat orang menginang. Alah perkinangan erat kaitannya dengan tradisi menginang di
kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya koleksi alat perkinangan
yang berasal dari hampir seluruh daerah di Indonesia
Pelana kuda ini merupakan benda pusaka Pangeran Diponegoro yang dipakai saat
Perang Jawa. Pangeran Diponegoro adalah seorang penunggang kuda yang mahir.
Keahliannya ini sangat membanti dalam berbagai usaha menyelamatkan diri selama Perang
Jawa berkobar. Beberapa kuda tunggangannya dianggap sebagai pisaka hidup, salah
satunya seekor kuda hitam dengan kaki putih yang disebut dengan Kyai Gentayu
Kompas ini dibeli di Jakarta, dan ditemukan pada abad ke-19 di Makassar, yang dibuat
di Eropa. Kategori kompas ini adalah kuningan, kaca, rom. Ukuran kompas ini berdimensi
D.20cm , H.30,5cm , W.10kg. Zaman dahulu, pelaut menggunakan bintang,gelombang,dan
elemen lainnya untuk menentukan arah perjalanan mereka. Kompas dipopulerkan pada
abad ke-19 ketika pelaut menggunakannya dengan peta untuk mempertahankan arah.
Gambar 4.10 Sesako
(Sumber : museumnasional.or.id)
Sesako ini berbahan dasar kayu yang berasal dari Lampung pada abad 16-17 M.
Sasakk merupakan seperangkat kursi kebasaran yang digunakan dalam upacara papadon
yaitu pengangkatan seorang kepala Marga dari salah satu suku bangsa. Sesako ini
merjlakan bagian belakang bangki pendek dimana calon kepala suku itu duduk bersimpuh.
Upacara diadaken pada ruang upacara didalam rumah adat. Motif naga sebagai simbol
kekuatan, motif burung sebagai simbol kekayaan, motif ikan sebagai simbol dari kesuburan
dan muka manusia merupakan simbol kekuasaan. Semua ini merupakan simbol cerminan
hidup kepala adat
Nekara ini ditemukan pada Zaman Perunggu di Semarang, Jawa Tengah. Ukuran
nekara ini d.59,9cm 48.5cm. Nekara atau gendang digunakan sebagai peti mati untuk
upacara penguburan sekunder dan barang lainnya diberikan sebagai hadiah untuk roh yang
telah meninggal.
Gambar 4.12 Padasan
(Sumber : museumnasional.or.id)
Padasan ini berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Hal ini dapat diidentifikasi dari motif
batik yang terdapat pada dudukan padasan, berhiaskan motif batik mega mendung, motif
ini sangat terkenal di Cirebon. Selain itu, dapat diidentifikasi dari hiasan udang, kota
Cirebon juga terrenal dengan bisnis atau usaha udang. Padasan ini merupakan tempat air
yang biasa digunakan untuk bersuci bagi penganut agama Islam sebelum melakukan
Ibadan. Padasan ini menggunakan dudukan berbentuk Paksinagaliman.
Paksi adalah burung yang melambangkan udara, naga atau ular melambangkan air
atau laut, sedangkan liman adalah ganan yang melambangkan darat atau Tanah. Gabungan
ketiganya merupakan unsur kekuatan. Biasanya motif paksinagaliman ini ada di kereta-
kereta kencana para raja.
Sertali adalah perhiasan kepala yang masih digunakan oleh orang Batak Karo yang
mempunyai status sosial atau bangsawan. Sertali dibuat dari perak yang disepuh berbentuk
seperti tandu kerbau dan motif dari rumah tradisional Karo.Dalam upacara perkawinan
pengantin wanita memakai sertali, sedangkan pengantin laki-lakinya memakai bura
layang-layang di lehernya yang kadang-kadang disebut sertali layang-layang. Pengantin
wanita juga memakai anting-anting karabu kudung-kudung. Ketiganya sering digunakan
pada upacara perkawinan oleh pengantin dan merupakan simbol tiga tungku (dalihan nan
tolu) antara garis keturunan, pihak pemberi istri dan penerima istri. Sertali sering juga
digunakan oleh dukun di Karo dalam upacara keagamaan tertentu.
Wadah yang indah ini terbuat dari lembaran tipis emas tempaan dengan dasar tanah
liat untuk kekuatan tambahan. Meskipun bergaya Persia, mangkuk ini diyakini dibuat di
Cina dan dihiasi dengan menggunakan teknik cetak untuk menggambarkan delapan adegan
cerita Ramayana atau kisah Rama. Mengingat dekorasi dan kerapuhan yang luar biasa,
mangkuk ini kemungkinan besar digunakan untuk perayaan upacara dan tidak dirancang
untuk menahan air atau minyak karena ada lubang-lubang kecil di sisi-sisinya
FOSIL
Sangiran 17 merupakan salah satu temuan sisa manusia purba jenis Homo Erectus
yang ditemukan di situs Sangiran pada tahun 1969 oleh penduduk setempat bernama
Tukimin. Saat ditemukan, Sangiran 17 berada di sebelah selatan Sungai Cemoro di Dukung
Pucung, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Ditemukan pada endapan tanah Formasi Kabuh berusia 800.000-700.000 tahun silam.
Homo Floresiensis atau “Manusia Flores” atau sering dijuluki hobbit adalah nama
yang diberikan oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus homo yang memiliki tibuh
dan volume otak kecik, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya
membatu) dari sembulan individu yang ditemukan di Liang Bua, pulau Flores pada tahun
2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu diberi kode LB1 sampai LB9 menunjukkan postur
tinggi sepinggang manusia modern sekitar 100cm.
Gambar 5.3 Fosil Amonit
(Sumber : museumnasional.or.id)
Amonit termasuk dalam spesies Hungarites yatesi (Anis) merupakan fauna yang
terbentuk dari material yang mausk dan mengendap dalam cangkang moluska. Ciri utama
fosil fauna Zaman Trias ini memiliki garis sulur serta sisa-sisa cangkang.