Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[11] Pembentukan satu
negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa
prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadtuan, vanua, samaryyda, mandala
dan bhmi.[62]
Kadtuan dapat bermakna kawasan dtu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hji, tempat disimpan
mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadtuan ini dikelilingi oleh
vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat
vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadtuan dan vanua ini merupakan satu
kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyda merupakan kawasan yang
berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyda-patha) yang dapat
bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari
bhmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadtuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja
terdapat secara berurutan yuvarja (putra mahkota), pratiyuvarja (putra mahkota kedua) dan
rjakumra (pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan
dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain
diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula
bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan
dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati
(bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga
Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana
(pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham
(nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang
cuci), dan hulun haji (budak raja).[20]
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti
yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota,
yakni yuvarja (putra mahkota), pratiyuvarja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu,
Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk
mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya
dibagi menjadi dua
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Diantaranya Adalah Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Kern Telah Menerbitkan
Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan
Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri
Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Lain Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Telaga Batu
Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra,
Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di
Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah
Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prosesi Itu, Pejabat
Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut.
Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di
Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga
Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya.
Masih Ada Lagi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Lainnya, Yaitu Barang-Barang Keramik Dan
Tembikar. Peninggalan Berupa Barang-Barang Keramik Dan Tembikar Ini Ditemukan Di Situs
Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang Dan Kambang Unglen. Kesemuanya Di Daerah
Palembang. Keramik Dan Tembikar Tersebut Merupakan Alat Yang Digunakan Dalam
Kehidupan Sehari-Hari. Temuan Ini Menunjukkan Bahwa, Pada Masa Dulu, Di Palembang
Terdapat Pemukiman Kuno. Dugaan Ini Semakin Kuat Dengan Hasil Interpretasi Foto Udara Di
Daerah Sebelah Barat Kota Palembang, Yang Menggambarkan Bentuk-Bentuk Kolam Dan
Kanal. Kolam Dan Kanal-Kanal Yang Bentuknya Teratur Itu Kemungkinan Besar Buatan
Manusia, Bukan Hasil Dari Proses Alami.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Berupa Prasasti Selain Prasasti Kota Kapur Adalah Prasasti
Karang Berahi [ Ditemukan Tahun 1904 M ], Prasasti Telaga Batu [ Ditemukan Tahun 1918 M ],
Prasasti Kedukan Bukit [ Ditemukan Tahun 1920 M ], Prasasti Talang Tuo [ Ditemukan Tahun
1920 M ] Dan Boom Baru. Di Antara Prasasti Di Atas, Prasasti Kota Kapur Merupakan Yang
Paling Tua, Berangka Tahun 682 M, Menceritakan Tentang Kisah Perjalanan Suci Dapunta
Hyang Dari Minanga Dengan Perahu, Bersama Dua Laksa [ 20.000 ] Tentara Dan 200 Peti
Perbekalan, Serta 1.213 Tentara Yang Berjalan Kaki. Perjalanan Ini Berakhir Di Mukha-P. Di
Tempat Tersebut, Dapunta Hyang Kemudian Mendirikan Wanua [ Perkampungan ] Yang Diberi
Nama Sriwijaya.
Menurut para ahli, diperkirakan kerajaan Kutai dipengaruhi oleh kerajaan Hindu di
India Selatan. Perkiraan itu didasarkan dengan membandingkan huruf di Yupa dengan
prasasti-prasasti di India. Dari bentuk hurufnya, prasasti itu diperkirakan berasal dari
abad ke-5 M. Apabila dibandingkan dengan prasasti di Tarumanegara, maka bentuk
huruf di kerajaan Kutai jauh lebih tua.
Berdasarkan salah satu isi prasasti Yupa, kita dapat mengetahui nama-nama raja yang
pernah memerintah di Kutai, yaitu Kundungga, Aswawarman dan Mulawarman.
Prasasti tersebut adalah:
Srinatah sri-narendrasya, kundungasya mahatmanah, putro svavarmmo vikhyatah,
vansakartta yathansuman, Tasya putra mahatmanah, tryas traya ivagnayah, tesn
traynam prvrah, tapobala-damanvitah, sri mulavarmma rajendro,yastva
bahusuvarunakam, tasya yjnasya yupo yam, dvijendarais samprakalpitah.
(Sang maharaja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang masyhur,
sang Aswawarman yang seperti ansuman, sang Aswawarman mempunyai tiga
putra yang seperti api yang suci. Yang paling terkemuka ialah sang Mulawarman,
raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Dia melaksanakan selamatan dengan
emas yang banyak. Untuk itulah Tugu batu ini didirikan)
Berdasarkan isi prasasti itu pula dapat diketahui bahwa masyarakat di Kerajaan Kutai
memeluk agama Hindu. Hal itu dapat dilihat dari prasasti yang menyebutkan tempat
suci yaitu Waprakeswara, yaitu tempat suci yang dihubungkan dengan Dewa Wisnu.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa agama Hindu merupakan
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kutai. Agama yang dianut di Kutai yaitu
agama Hindu aliran pemuja Siwa yang diduga berasal dari India Selatan, dengan bukti
adanya huruf Pallawa yang digunakan di India Selatan, serta penggunaan nama
Warman yang merupakan kebiasaan dari India Selatan.
Kehidupan politik Kerajaan Tarumanegara
Sumber lain yang menerangkan tentang Kerajaan Tarumanegara dapat dilihat dari
berita Cina berupa catatan perjalanan seorang penjelajah Cina bernama Fa-Hien pada
awal abad ke-5 M. Dalam bukunya Fa-Kuo-Chi, ia membuat catatan bahwa di Ye-Po-Ti
banyak dijumpai orang-orang Brahmana dan mereka yang beragama kotor atau buruk
dan sedikit sekali dijumpai orang yang beragama Buddha. Menurut para ahli yang
dimaksud Ye-Po-Ti adalah Jawadwipa atau Pulau Jawa atau Tarumanegara. Berita Cina
lainnya berasal dari catatan Dinasti Sui, yang menerangkan bahwa telah datang utusan
dari To-lo-mo (Taruma) untuk menghadap Kaisar di negeri Cina pada tahun 528, 535,
630, dan 669. Sesudah itu, nama To-lo-mo tidak terdengar lagi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Hal itu
dibuktikan dengan banyaknya biksu yang terdapat di Sriwijaya beserta pusat
pendidikannya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, bahwa penduduk
yang beragama Hindu terdapat pula di Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuo isinya menyebutkan tentang pembuatan kebun Sriksetra atas
perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai suatu pranidhana (na ar). Di samping itu,
terdapat doa dan harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha. Sebaliknya, prasasti
Karang Berahi, prasasti Telaga Batu, dan prasasti Palas Pasemah umumnya berisi doa,
kutukan, dan ancaman terhadap orang yang melakukan kejahatan dan tidak taat pada
peraturan Raja Sriwijaya.