Anda di halaman 1dari 27

Buddhisme dan

Budaya Jawa

Dharma Sharing - Minggu,


15 November 2020
Daftar isi
1. Profil Pembicara

2. Sejarah awal masuknya Buddhisme ke


Jawa

3. Kerajaan Medang

4. Kerajaan Majapahit

5. Sang Hyang Kamahayanikan

6. Lontar Merapi-Merbabu

7. Kasunyatan, Migunani Tumrap Liyan


2
Profil Singkat
 Nama: Deny Hermawan (IG: @Real_Java)

 Profesi: Jurnalis sejak 2008

 Kontributor di BuddhaZine.com sejak 2017

 Menjadi editor BuddhaZine.com sejak 2020

 Staf pengurus bagian Meditasi di Vihara


Karangdjati Yogyakarta

 Menulis beberapa buku, di antaranya terkait


budaya Jawa dan Buddhisme: Semar & Kentut
Kesayangannya (Diva Press), Arca (Sangkring
Art Space)
3
Sebelum abad ke-5,
ketika jalur dagang
India-China mulai
dikenal, Buddhisme
sudah mulai masuk
Nusantara, lewat jalur
laut. Fakta:
ditemukan patung
Buddha dari abad ke-
2 di Sulawesi
Selatan dan Jember.
Awal masuknya
 Abad ke-5, Gunawarman, seorang bhiksu dari
Kashmir sempat berkunjung ke Jawa dan
menyebabkan seorang raja di Jawa menjadi Buddhis.
(Catatan Tiongkok)

 Abad ke-5 sampai 8 sumber informasi “internal”


sangat minim. Namun dari sumber Tiongkok
diketahui bahwa aliran yang banyak berkembang di
Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitar adalah
Sarvastivada. Ini bagian dari Hinayana. Namun
menurut Yi Jing (bhiksu Tiongkok) ini tidak
eksklusif, ada yang mengadopsi kebiasaan Mahayana
(mengakui konsep Bodhisattva dan melafalkan sutra
Mahayana). Menurut Yi Jing penganut Mahayana
kebanyakan terdapat di kawasan Melayu. 5
Medang
Kedatuan Medang (Mataram Kuno) berdiri di
Jawa Tengah abad ke-8, dan kemudian
berpindah ke Jawa Timur di abad ke-10. Diduga
karena Maha Pralaya bencana erupsi Gunung
Merapi.

Didirikan oleh Sanjaya, kedatuan lalu diperintah


oleh Wangsa Syailendra dan Wangsa Isyana

Antara akhir abad ke-8 sampai pertengahan


abad ke-9 banyak dibangun candi-candi megah,
di antaranya Borobudur, Kalasan, dan Sewu.
Banyak juga dibuat karya seni lain

6
Borobudur

7
Mahayana

8
Kemaharajaan Majapahit
berdiri dari 1293-1527. Diakui
sebagai kerajaan nasional
kedua setelah Sriwijaya.
Runtuh setelah diserbu Demak.
Majapahit
 Meninggalkan warisan penting, semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika”

 Kutipandiambil dari Kakawin Sutasoma karya Mpu


Tantular (abad ke-14):

“Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,


Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”

“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.


Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah-belahlah itu, tetapi satu jugalah itu, tidak ada
kerancuan dalam kebenaran.” (Dr. Soewito Santoso)
10
Kamahayanikan
 Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan merekam ajaran agama
Buddha Nusantara dan adalah salah satu akar
budaya spiritual bangsa kita.
 Ditemukan lagi di Lombok tahun 1900.
 Petuah kitab Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan
berpadanan dengan beberapa prasasti kuno seperti
prasasti Talang Tuo (684 M) dari Palembang di
Sumatera Selatan, prasasti Kalasan (778 M),
prasasti Kelurak (782 M), & prasasti Kayumvuṅan
(824 M). Tiga yang terakhir semuanya berasal dari
kawasan yang dulu disebut Kedu di Jawa Tengah.
Mengingat tanggal penerbitan prasasti-prasasti
tersebut, maka kiranya tidaklah meleset bila
penulisan kitab Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan
ditanggali paling lambat abad ke-8 M.
11
Esoterik / Tantris
 Prasasti Kalasan (778 M) memulai amanatnya dengan
memuji Yang Terberkati Āryātārā (bhagavatī āryātārā).
Prasasti ini merupakan piagam pendirian candi untuk Tārā
yang juga disapa sebagai devī (tārādevī), setara dengan yang
ada di kitab Saṅ Hyaṅ Kamahāyānikan. Pujian dan sapaan
di prasasti ini menjadi bukti epigrafis tertua di dunia bagi
penyembahan pada Tārā, dan bukti tertulis paling awal
bagi kehadiran ajaran agama Buddha esoterik di Jawa.
Tradisi memohon kepada Tārā agar terlindung dari
delapan marabahaya masih terus hidup terlestarikan di
Bali. Ungkapan pujian di sajak pembuka prasasti Kalasan
mengingatkan kita pada kitab khusus tentang Tārā
berjudul Tārāmūlakalpa. Di kolofon kitab versi Tibet
disebutkan jasa Atiśa yang membawa kitab ini ke Tibet.
Atiśa jugalah yang membangkitkan lagii pemujaan Tārā di
Tibet, setelah belajar Dharma di Nusantara.

12
Tara & Ratu Kidul
 Artikel “Tara and Nyai Lara Kidul
Images of The Divine Feminine in
Java” tulisan Roy E. Jordan, Asian
Folklore Studies (1997) menyebut
koneksi antara Dewi Tara dan
Kanjeng Ratu Kidul.
 Baik Tara dan Ratu Kidul terkait
dengan warna hijau.
 Tara memegang bunga Utpala
(teratai biru), sementara Ratu Kidul
kadang digambarkan memegang
bunga Wijaya Kusuma
Bedanya, jika Tara dianggap
sebagai dewi pelindung, Ratu
Kidul dianggap sebagai sakti
Raja Jawa Mataram Islam 13
Kembali ke Kitab…
 Borobudur dibentuk menjadi sebuah peta perjalanan spiritual tiga
dimensi. Boleh dikatakan petanya adalah kitab Saṅ Hyaṅ
Kamahāyānikan.
 Selasar lebar di lantai bawah Borobudur menjadi tempat
persembahan anuttarapūjā dan ritual pengeramatan sesuai dengan
tahap Jalan Agung. Teks anuttarapūjā berbahasa Sanskerta
terlestarikan di Bali.
 Empat selasar persegi berlangkan menjadi tempat mempelajari
laku Buddha (buddhacārya atau vuddhacarita) untuk memperoleh
sepuluh kesempurnaan sesuai dengan tahap Jalan Tertinggi.
 Di penghujung selasar ini dipahat
Samantabhadracaryāpraṇidhāna atau Bhadracarī, yang
menegaskan tekad menghayati dan mengamalkan laku menuju ke-
Buddha-an.

14
Masih di kitab...
 Selasar melingkar di atasnya berisi stupa
berterawang menggambarkan keadaan siswa mulai
menampak Buddha ketika melaksanakan tahap
Rahasia Agung.
 Jumlah stupa berterawang sama dengan jumlah
panel relief Bhadracarī mencerminkan arca
Buddha di situ terus menggaungkan laku Buddha.
 Stupa induk mencerminkan keadaan pencapaian
melihat secara jelas kepekatan rahasia Tathāgata
yang tak mendua (advaya) sesuai dengan tahap
Rahasia Tertinggi.

15
10 Paramita

16
Lontar Buddhis Bali
 Selain Sang Hyang Kamahayanikan, sebenarnya
masih ada lagi beberapa teks bernuansa Buddhis
yang masih survive di Bali
 Salah satunya adalah Lontar Kalpa Buddha yang
mengajarkan untuk mencapai Nirvana dengan
cara melenyapkan Kilesa.
 Metode yang dipakai adalah mengonsentrasikan
batin pada Sang Hyang Paramartha Wisesa,
atau Bathara Buddha (Wairochana)
 Diperlukan juga puasa, persembahan, pelepasan,
dan japa mantra.

17
Aksara Buda
 Di Jawa Tengah, khususnya di lereng Merapi-Merbabu,
ditemukan juga oleh Belanda warisan teks lontar Shiwa –
Buddha. Jumlah aslinya ada 1000 naskah, namun menyusut
menjadi 400.
 Teks ini unik karena menggunakan aksara Buda / aksara
gunung, berbeda dengan aksara Kawi (Jawa Kuno), Jawa
modern, maupun aksara bahasa Sansekerta.
 Tahun 1852 Belanda memboyong sebagian besar naskah
koleksi Ki Ajar Windusono (penyelamat naskah pra-
Islam) ke Batavia
 Salah satu yang terkenal adalah Kunjarakarna, Lontar
yang berkarakter Buddhis

18
Bentuk Aksara

19
Kunjarakarna
 Teks Kakawin Kunjarakarna ditulis abad ke-15 oleh “Mpu
Dusun”, yang berarti dari kalangan perdesaan
 Sejarahwan Slamet Mulyana menduga Mpu Dusun adalah
nama samaran dari Mpu Prapanca, seorang bekas Dang
Acharya Kasogatan di Majapahit yang terkenal dengan
karyanya Negarakertagama.
 Kakawin Kunjarakarna merupakan salah satu teks Merapi-
Merbabu yang sudah diteliti untuk disertasi oleh Willem Van
Der Molen dari Belanda. Teks lain yang telah diteliti juga
menjadi disertasi adalah Kakawin Arjunawiwaha oleh Ign
Kuntara Wiryamartana SJ.

20
Relief Kunjarakarna
Candi Jago Malang Jawa Timur

 Kunjarakarna berkisah mengenai yaksa (raksasa) bernama


Kunjarakarna. Ia berusaha memperoleh kelahiran baik sebagai
manusia. Oleh Buddha Wairochana ia diijinkan menjenguk neraka.
Namun ia malah mengetahui bahwa sahabatnya Purnawijaya bakal
meninggal dan disiksa di neraka. Kunjarakarna menghadap
Buddha Wairochana lagi untuk meminta keringanan dan memberi
kabar pada Purnawijaya. Singkat kata Purnawijaya akhirnya mati
dan disiksa di neraka, namun karena sudah memperoleh
pembabaran Dharma dari Buddha Wairochana, ia hanya di neraka
selama 10 hari, bukan 100.000 tahun. Di akhir cerita,
Kunjarakarna dan Purnawijaya lalu bertapa di lereng Semeru
hingga akhirnya mencapai pembebasan.
21
Warisan Mantra
 Mantra masih banyak dipakai dalam spiritualitas
Jawa, bahkan di era modern ini.
 Salah satu mantra peninggalan era Shiwa-Buddha
yang masih “hidup” adalah mantra OM (AUM),
yang di Jawa masih dipakai dalang wayang kulit,
namun bergeser bunyinya menjadi hong
 OM dalam tradisi Buddhis Mahayana banyak
ditemukan baik dalam
mantra singkat maupun dharani.

22
Rajah Kalacakra

 Salah satu mantra terkenal dalam tradisi Jawa


Islam adalah Rajah Kalacakra.
 Sesungguhnya itu adalah bentuk terdistorsi dari
mantra akar (mulamantra) Yamantaka,
(Istadewata Buddhis Tantra)
 Om Yamaraja Sadomeya Yamedoru Nayodaya
Yadayoni Rayakshaya Yaksheyaccha Niramaya
Hum Hum Hum Phat Svaha
23
Kasunyatan
 Kasunyatan adalah istilah bahasa Jawa yang
sering diterjemahkan menjadi kenyataan.
 Sunyata sendiri artinya

kekosongan
 Menjelaskan esensi dari segala

fenomena, fisik maupun material


 Terdapat di kanon Pali, namun

lebiih banyak ditemukan di teks


Mahayana
 Empty of independent existance

24
Relief-relief di Borobudur
banyak mengajarkan cara
hidup untuk terampil dan
berguna demi
kebahagiaan makhluk
lain. Ini adalah ajaran
Bodhicitta, tema sentral
Mahayana yang masih
hidup dalam masyarakat
Jawa lewat semboyan
migunani tumraping liyan. 25


Masuknya Theravada

 Padatahun 1934, seorang Bhikkhu


Theravada dari Sri Lanka bernama
Narada Mahathera diundang ke
Indonesia,

 Hingga kini Theravada menjadi aliran


yang paling dominan di Indonesia,
terutama bagi masyarakat Jawa. Salah
satu faktor adalah unsur bahasa Pali
yang sangat dekat dengan bahasa
Sansekerta. (Aliran lain menggunakan
Mandarin atau Tibetan untuk ritualnya)

26

Terima Kasih

27

Anda mungkin juga menyukai