Anda di halaman 1dari 3

TANTRA Istilah Tantra berasal dari kata tan yang artinya memaparkan kesaktian/kekuatan dewa.

Sebenarnya Tantra sendiri bisa diartikan sebagai intisari, esensi, atau asal. Paham ini begitu memuja Dewa Siwa secara ekstrim. Paham Tantra ini sebenarnya telah ada di India sebelum bangsa Arya datang di India sebelum kitab Weda tercipta . Pada masa itu di peradaban lembah Sungai Sindu cikal bakal terbentuknya paham Tantra, salah satunya dalam praktik pemujaan oleh bangsa Dravida terhadap Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Aliran ini memusatkan pemujaan terhadap Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali), kedudukan Dewi Durga ini lebih ditonjolkan daripada Dewa itu sendiri. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran disebut Kalimasada (Kali-Maha-Husada), artinya : Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam kekacauan moral pikiran dan perilaku. Pengikut saktiisme ini tidak mengikuti ajaran Weda, sebagai contoh dalam menunaikan ajarannya pengikut ini melaksanakan Panca Ma yang diubah arti dan pemahamannya menjadi pemuasan nafsu. Maka dari itu akhirnya ajaran ini dikucilkan dari Weda, keluar dari Hinduisme. Berikut adalah bagian-bagian Panca Ma yang sering disalah artikan : Mada/Madya artinya : lebih kepada jalan tengah, tidak terlalu banyak atau kurang, tidak terlalu keras atau lemah, yang kemudian ditafsirkan menjadi mabuk minuman atau tidak sadar. Mamsa artinya : lebih kepada memadamkan nafsu dan keinginan, mematikan semua indra, yang kemudian ditafsirkan menjadi memakan daging dan meminum darah. Matsya artinya : keluwesan pergerakan , merasa empati dan simpati, tidak kaku, yang kemudian ditafsirkan menjadi memakan ikan yang beracun. Mudra artinya : penjiwaan yang mendalam, penuh tekad, pelaksanaan tindakan dan pembuktian, yang kemudian ditafsirkan menjadi melakukan gerak-gerik tangan dan tarian hingga lelah. Maithuna artinya : menyatukan pikiran kepada kosmis, menghancurkan piiran tenggelam pada kehampaan, mencapai kebebasan pikiran, yang kemudian ditafsirkan menjadi persetubuhan masal di kestra atau lapangan tempat membakar mayat, sebelum mayat dibakar saat gelap bulan.

Selanjutnya paham ini pun juga turut mempengaruhi agama Budha, terutama aliran Mahayana. Ajarannya lebih bersifat esoteric karena penyebarannya bersifat rahasia dan tersembunyi. Tantra diajarkan oleh seorang guru kepada siswanya setelah melaliu upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian. Salah satu ritual-ritual Tantrayana adalah : Meditasi menggunakan alat berupa mandala (Budha) atau yantra (Hindu) dan aksamala.

Mandala adalah yantra yg dianut Hindu dalam variasi lain yg bercorak Budha, yakni lukisan yg berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari. Dibuat dari tanah, kain pada dinding, logam atau batu. Aksamala adalah benda semacam tasbih atau Rosario dipegang di tangan kanan untuk menghitung mantra yg diucapkan terus menerus hingga orang tersebut merasa bebas dari keadaan sekitarnya

Dalam ajaranya Tantra pun memuat banyak kutukan atau sumpah. Misalnya pada Prasasti Sanghyang Tapak (Cibadak) peninggalan Kerajaan Sunda atau Pajajaran menyebutkan sejumlah kutukan yakni, agar orang yg menyalahi ketentuan dalam prasasti tsb diserahkan pada kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakan ususnya dan membelah dadanya dan masih banyak lagi.

Jejak-jejak Tantrinisme di Nusantara Selain di Sriwijaya, aliran ini berkembang pula di Jawa. di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (sakti) para Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai kama (syahwat) merupakan musuh terbesar manusia. Ada pula raja terakhir Singasari (sebelumnya bernama Tumapel) yakni Kertanagara (1268-1292), ia disebut Bhatara Siwa Budha, yg berarti ia memeluk Hindu-Siwa sekaligus Budha. Sebagai penganut dua agama ini ia diberi gelar Sri Jnanabajreswara atau Sri Jnaneswarabajra dan diarcakan sebagai Jina Mahakshobhya (kini berada di Taman Apsari, Surabaya) sebagai simbol penyatuan Siwa-Buddha. Arca ini populer dengan sebutan Joko Dolog. Kertanegara dimuliakan sebagai Jina Wairocana dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara. Di Kerajaan Sunda-Pajajaran pun diketahui ada sejumlah rajanya penganut Tantra, di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana raja terakhir Pajajaran). Di Sunda, para penganut Tantra menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.

Bukti fisik keberadaan Tantra Di Jawa Tengah, misalnya, kita dapat melihat bukti tersebut di komplek Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan tulisancandrasangkala di gapura teras 1 dan 2, candi ini didirikan antara tahun 1437-1456 M; jadi di era Majapahit menjelang keruntuhannya. Struktur bangunan candinya sendiri berbentuk piramidamirip peninggalan budaya Maya di Meksiko atau Inca di Peru.

Ada yang mengatakan bahwa Candi Sukuh dibangun oleh pengikut Siwa, ditandai dengan reliefKidung Sudamala dan relief lingga-yoni (yang jumlahnya lebih dari satu). Kidung Sudamala(diadaptasi dari salah satu parwa atau bab Mahabharata) mengisahkan lakon Sadewa (bungsu Pandawa) yang menyembuhkan putri seorang pertama Ni Padapa yang buta dan juga harus membebaskan Bhatari Durga (dewi utama sesembahan Tantris). Ada pun lingga adalah perlambang Dewa Siwa. Selain itu ada pula dua patung garuda dan arca kura-kura yang melambangkan bumi dan Dewa Wisnu. Tiga arca kura-kura tersebut berbentuk meja yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sesaji dan mungkin sebagai tempat perebahan najako. Ada pula ahli yang menenggarai lebih spesifik bahwa candi ini didirikan oleh para Tantris-Bhairawa. Pada dinding-dinding candi terdapat berbagai relief tentang proses kehidupan dan kesuburan semesta: dari bersenggama hingga proses kelahiran manusia baru. Banyak arca yang oleh manusia zaman sekarang dinilai pornografi. Bagaimana tidak! Di kompleks candi ini ada, misalnya, arca lelaki di mana tangan kirinya tengah menggenggam erat alat vitalnya hingga tegak. Belum lagi relief lingga-yoni, lambang pria dan wanita yang jelas terpahat di dinding candi yang terbuat dari batu andesit. Kesan vulgar pun akan didapati ketika kita menapaki teras ketiga candi ini. Pada teras ketiga terdapat sebuah pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika pengunjung ingin mendatangi candi induk ini, batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus terlebih dulu dilalui. Konon arsitektur ini sengaja dibuat sedemikian karena candi induk yang mirip dengan bentuk kemaluan wanita ini, menurut sejumlah ahli dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun jika tidak perawan lagi, ketika melangkahi batu berundak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Pendapat saya : sebagai masyarakat modern yg dapat berpikr secara rasional tanpa mengenyampingkan kenyataan kita tidak perlu lagi memakai paham ini, karena melihat apa yang telah kita baca diatas ternyata ajaran Tantrayana itu sering disalah artikan sebagai ajaran sesat yg menjerumuskan kita pada sesuatu yg salah, lagipula kita sudah memiliki Weda yg tidak diragukan lg kebenarannya daripada kita mengikuti sesuatu yg tidak jelas dan belum tentu benar, jadi alangkah baiknya jika kita memilih sebuah jalan, jalan itu tentu benar dan baik bagi kita. Tetapi kembali lg pada kepercayaan masing-masing, karena Agama Hindu itu tidak saklek dan tidak kaku.

Anda mungkin juga menyukai