1. ROKHANIAWAN HINDU
Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai rokhaniawan .
Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai
rokhaniawan , seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan,
sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya
sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat penyuciannya, rokhaniawan Hindu
dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :
A. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda,
Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan Sulinggih.
B. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti Pemangku,
Balian, Mangku Dalang dan lain-lain.
Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan
rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang
dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan sebagai
Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari ilmu
pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai wewenang
untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam tingkatan Dwijati.
A. Rokhaniawan Tingkat Dwijati
Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati . Dvi berarti dua dan Jati berasal
dari akar kata Ja yang berarti lahir. Dengan demikian Dwijati berarti lahir dua kali. Kelahiran
yang pertama adalah kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan yang ke dua
merupakan kelahiran dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah memperoleh Ilmu
Pengetahuan Suci dan kerokhaniawan.
Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan
memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron
(berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon
sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu
upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang bersangkutan
diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain. Kata
Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan bijaksana atau
orang yang arif lagi bijaksana.
Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi,
Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin
sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan
kerokhanian) meliputi :
a. Amari Aran :
Yang bersangkutan wajib merubah namanya sebagai walaka dengan nama baru
sebagaimana diberikan oleh Nabenya.
b. Amari Sesana :
Yang bersangkutan harus maninggalkan tugas kewajibannya semula dan menggantikannya
dengan sasana kawikon. Dalam hal ini seorang Sulinggih dibebaskan dari tugas kewajiban
selaku warga masyarakat biasa.
c. Amari Wesa :
Yang bersangkutan harus mengganti identitas dirinya dengan identitas Pendeta, misalnya
tidak boleh lagi bercukur. Juga harus mengikuti disiplin penggunaan pakaian waktu upacara
dan penggunaan pakain sehari-hari.
d. Umulahaken Kaguru Susrusan :
Yang bersangkutan harus melaksanakan dengan ketat, taat, dan patuh serta brdisiplin
mengenai ajaran Nabenya.
Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca Yajna. Kewenangan ini
tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi juga untuk upacara yang bersifat
pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain-lain.
Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih
harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda. Untuk
dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong
Tiga, seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang disebut
sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu atas
Kitab Suci Weda. Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok Sulinggih
adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon
bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih menjadi tempat untuk
minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah,
menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain. Dalam hal ini Sulinggih juga
wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan kesucian dirinya, disamping
mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia. Tugas kewajiban ini
dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap hari.
Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak melaksanakan
tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya berorientasi kepada
ngetut yasa dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini dinamakan Wiku Ngaraga,
maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya dipergunakan untuk
kepentingan dirinya sendiri.
B. Rokhaniawan Tingkat Ekajati
Sebagaimana kata Dwijati, kata Ekajati juga berasal dari bahasa sanskerta eka dan jati. Eka
berarti satu dan jati seperti sudah dijelaskan diatas, berasal dari akar kata ja yang berarti
lahir. Jadi Ekajati berarti lahir sekali, yakni lahir hanya dari ibu kandungnya sendiri.
Rokhaniawan yang tergolong dalam kelompok Ekajati antara lain adalah adalah Pemangku
atau Pinandita. Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 menetapkan
bahwa Pemangku atau Pinandita adalah pembantu yang mewakili Pendeta ini merupakan
istilah resmi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Pemangku perlu belajar atau
berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajarinya tidaklah setinggi Sulinggih. Kitab
Suci Weda yang perlu dipelajari sangat terbatas, yakni hanya yang berhubungan dengan
pengastawa saja. Sedangkan upacaara penyuciannya menjadi Pemangku cukup hanya
dengan upacara pawintenan.
Upacara Pewintenan Pemangku dapat dilakuakan berulang kali, jadi berbeda dengan
upacara padiksaan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan mengikuti upacara
pewintenan, seorang Pemangku tidak berubah statusnya sebagaimana halnya dengan
Sulinggih. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, boleh berpakaian sebagaimana
layaknya anggota masyarakat biasa, masih mempunyai tugas dan kewajiban dalam
hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tetap dan tidak diganti.
Hanya nama panggilannya saja sering ditambah dengan Mangku atau Jero Mangku atau Jero
Gede atau sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat kepemangkuannya.
Seorang Pemangku tidak dibenarkan mempergunakan alat pemujaan seperti halnya seorang
Sulinggih. Juga tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau petanganan dalam mepuja.
Seorang Pemangku memiliki sasana khusus yang tertuang dalam Lontar Kusuma Dewa,
Sangkul Putih, Gegelaran Pemangku, Agem-Ageman Pemangku, dan lain-lain. Sedangkan
Pemangku Dalang sasananya tertuang dalam Dharmaning Pedalangan, Panyudamalan, dan
Nyapu Leger.
3. PENGERTIAN PEMANGKU
Menurut keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke 2 tanggal 5 Desember 1968, yang
dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yadnya
pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa ditapak dan amari aran.
Kata Pemangku berasal dari kata Pangku yang disamakan artinya dengan Nampa,
Menyangga atau Memikul Beban atau Memikul tanggung jawab. Dalam hal ini memikul
beban atau tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang punya kerja
dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan. Dengan kata lain, orang
yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung jawab sebagai
pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan
Pemangku.
Berdasarkan fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:
a. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan, Pura
dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura Kawitan,
Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain.
b. Pemangku Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis.
Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan yadnya di Pura, sedangkan Pemangku Dalang, Pemangku Tukang dan lainlain (yang tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini) adalah orang memikul beban atas
tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.
Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang
Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat.
Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang
berkaitan dengan Pura yang diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian dirinya,
harus selalu mepeningan atau asuci laksana dengan selalu menjaga kebersihan dan
kesucian jasmani maupun rokhaninya. Disamping itu Pemangku juga harus menjaga
Kelingsirannya meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat memberi contoh
yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang baik, berkata yang
baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).
karena seorang Pemangku seringkali harus bekerja di tempat-tempat yang jauh dari tempat
tinggalnya dan atau harus bekerja sampai larut malam.
Disamping itu, menurut Drs. I Ketut Wiana (Bali Post, 29 Oktober 2003) mereka yang akan
dipilih atau ditunjuk menjadi Pemangku semestinya tidak mempunyai kebiasaan atau
perilaku buruk seperti di bawah ini :
a) Suka mabuk karena kekayaannya (dhana)
b) Suka mabuk karena kepandaiannya (guna)
c) Suka mabuk karena keindahan rupanya (surupa)
d) Suka mabuk karena kebangsawanannya (kula-kulina)
e) Suka mabuk karena kemudaan-usianya (yowana)
f) Suka mabuk karena keberaniannya (kasuran)
g) Suka mabuk karena minuman keras seperti tuak, arak, bir, narkoba, dan lain-lain (sura)
Mereka yang mabuk dan arogan karena hal-hal termasuk di atas tidak selayaknya ditunjuk
sebagai Pemangku. Artinya kalau ketujuh kemabukan di atas dapat dihindarkan, barulah
orang itu dapat disebut sebagai orang yang telah memenuhi syarat. Seseorang yang telah
mencapai keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itu dinamakan orang yang
mahardhika artinya orang yang bebas dari kemabukan, orang yang bijaksana, suci dan
berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan pengendalian diri dengan baik.
Dengan kata lain, jika seseorang belum dapat mengendalikan diri dengan baik, semestinya
tidak ditunjuk menjadi Pemangku. Bahkan orang itu harus tahu diri untuk tidak mencalonkan
diri menjadi Pemangku.
kewangen diserahkan kepada Pengurus Pura untuk dibuka dihadapan saksi dan Krama
Dadia. Siapa yang kewangennya berisi rerajahan Ongkara, maka dialah yang dianggap
terpilih sebagai Pemangku.
3. Ketiga adalah pemilihan Pemangku berdasarkan keturunan. Keturunan seorang Pemangku
apalagi kalau sudah secara turun temurun menjadi Pemangku, dipandang sebagai orang
yang sudah mempunyai jiwa kepemangkuan, jiwa pengabdian, jiwa pelayanan yang tinggi.
Tentu orang yang dipilih itu hendaknya juga memenuhi persyaratan di atas. Meskipun yang
bersangkutan adalah anak seorang Pemangku, tetapi kalau jiwanya tidak stabil, suka
menipu, sering berbohong, sering mabuk-mabukan, suka berjudi, suka main perempuan dan
lain-lain perbuatan atau perilaku buruk lainnya tentunya tidak patut dipilih menjadi
Pemangku.
4. Keempat adalah pemilihan Pemangku secara demokratis berdasarkan penunjukan atas
dasar suara terbanyak anggota Krama Dadia seperti telah disinggung dalam butir di atas.
Cara ini pun harus pula memenuhi berbagai persyaratan di atas. Terlebih dahulu tentu harus
ditetapkan beberapa calon yang telah memenuhi persyaratan. Misalnya jika ada tiga orang
calon yang sudah memenuhi syarat, maka ketiga orang itu harus dipilih secara demokratis
dalam suatu paruman Krama Dadia. Calon yang memeperoleh suara terbanyak harus
ditetapkan menjadi Pemangku.
Demikianlah 4 cara yang dapat dipergunakan untuk memilih Pemangku. Boleh jadi masih
ada cara lain, yang tidak disinggung disisni. Namun cara manapun yang dipergunakan,
menunjuk atau mengangkat seorang Pemangku tentu ada kelebihan dan kekurangannya
yang dalam tulisan ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang penting adalah bahwa seseorang
yang terpilih sebagai Pemangku hendaknya tidak menepuk dada, menjadi besar kapala dan
sombong karena merasa senang dalam pemilihan. Sebaliknya orang yang terpilih itu
hendaknya semakin merendahkan diri dan tidak bersikap berlebihan atau over acting.
Seseorang yang terpilih sebagai Pemangku harus melakoni hidup ini sewajarnya saja dan
selalu berpegang kepada ajaran-ajaran Agama Hindu. Seorang Pemangku yang masih
remaja tidak ada hambatan bila ingin menikah, namun setelah upacara pewiwahan dia
bersama-sama isteri atau suaminya harus mewinten ulang dengan tingkat ayaban yang
sama dengan yang dahulu atau dengan tingakat ayaban yang lebih tinggi.
Disamping itu, orang yang terpilih menjadi Pemangku seharusnya bersyukur karena telah
terpilih menjadi pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga terbuka kesempatan luas
baginya untuk dikemudian hari jika memenuhi persyaratan akan menjadi orang suci.
Untuk benar-benar bisa menjadi orang suci tentu yang bersangkutan harus membekali
dirinya dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama, kerokhanian
dan spiritual yang harus dapat diamalkan bagi kepentingan masyarakat.
8. PAWINTENAN PEMANGKU
Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata mawi dan inten. Mawi adalah kata bahasa
Kawi yang berarti bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan demikian,
maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena
lahir batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai pelayan Ida Sang Hyang
Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas
kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku,
seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan
dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.
Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan Banten
Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan, yaitu :
Pawintenan Sari
Pawintenan Mepedamel
Pawintenan Samkara Ekajati
a. Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini
dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di
Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus disaksikan
oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan cara ini
biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut Mangku, dan
sebagainya.
Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah
sebagai berikut :
\ Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun
\ Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti Sthiti Pralinaning
Sarwa Dewa
\ Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka
berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang
sering berbuat tidak baik
\ Tidak suka memperkosa orang lain
Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam praktek
nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang ini
dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat
Sulinggih.
b. Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang
untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara
selaku Panabean. Upacara ini harus disaksikan oleh :
$ PHDI Kecamatan dan Kabupaten
$ Pejabat Pemerintah setempat
$ Perangkat Desa Adat
$ Kantor Departemen Agama Kabupaten
$ Guru Rupaka dan keluarganya
Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai Jero
Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu nganteb
banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan mempergunakan genta
atau bajra.
Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di luar
Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu berdasarkan
Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum diperkenankan nganteb
banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten bebangkit pala gembal
ke atas.
c. Pawintenan Samkara Ekajati
Pawintenan jenis ini merupakan Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku dengan
title Jero Mangku menjadi Jero Gede selaku Pinandita. Upacara pawintenan ini dilakukan oleh
Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita
atau yang disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru Pengajian).
Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus
mencari Pandita Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa
yang disebut maguron-guron. Pandita Nabe itulah yang secara langsung membina dan
mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan jabatan
yang akan dipangkunya.
Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa, sama
seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.
Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu dan
dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani
maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih
tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.
Sarana Pawintenan dan Artinya
Dalam Upacara Pawintenan Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang (calon)
Pemangku akan diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista, dan
Banten Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku termaksud
diwajibkan menginjak Kepala Kerbau. Mungkin timbul pertanyaan, apakah arti dari semua
ini? Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH (SARAD No. 46/2004).
Dalam upacara Pawintenan Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan mengenakan
selempot benang putih, sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara Ekajati harus
mengenakan selempot benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih, dan hitam).
Dengan memakai selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut dipandang
sebagai penganut ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti bahwa calon
Pemangku tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu. Sedangkan
dengan memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan mempunyai
tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti yakni Brahma,
Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan timur, bahkan
ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam hal ini Pemangku
tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat penjuru mata angina. Itulah
sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati dipergunakan banten catur, sebagai
simbul pemujaan kehadapan empat Dewa termasuk tadi.
Pada waktu pawintenan, ke badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain putih
berisi gambar wayang dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang. Setelah itu
Semara Ratih tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang bahwa
seorang Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan penuh
rasa kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaannya, baik
yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.
Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil yang
terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten pedamel
itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang dimakan,
seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam melaksanakan tugas
kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa asin, dan rasa pedas.
Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai oleh seorang Pemangku
dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas pekerjaannya sebagai pelayan
Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan masyarakat.
Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alangalang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh
negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan), sedangkan
kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan bunga yang
ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga kembang
sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai lambang nada
tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang alam semesta
sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista diharapkan agar
Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu
sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk
memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim
dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma),
disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).
Dalam Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak kepala
kerbau, yang melambangkan bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap kekuatan
yang maha besar itu, maka seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat dilaksanakan
dengan baik.
Jenis Banten Pawintenan dan Maknanya
Untuk memperluas Pawintenan diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut
banten yang dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga
jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :
Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur
Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati
sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan
pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua
Dewa Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang
berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten
Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu,
Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan
bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka
setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti
ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut
pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang
salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri
haruslah sudah disucikan.
Pengendalian Diri Melalui Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi
Mereka yang sudah mawinten wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan
cara melakukan brata, tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya, maka
makin ketat pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin ada yang
bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu. Berikut adalah
penjelasan secara singkat :
Brata adalah usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu
Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran
agama
Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu
memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada
kemahakuasaan Tuhan
Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang sudah
mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan tertib
agar tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :
Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari
ajaran Agama
Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar
dirinya
Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut
memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat kedua.
Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri kembali
sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja atau bila
perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.
Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul Dwijendra Tatwa menjelaskan ajaran Empu
Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka (sebel),
tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang kematian
(namping watang).
Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No. 82/2004)
menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika memegang
jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi kembali,
dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita,
apalagi hanya mebanyuawangan saja. Mebanyuawangan hanya berlaku bagi orang lain
(pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari melayat. Jika
sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang melayat orang yang
bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu artinya air dan awing
berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air kelapa gading muda
yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari arang jaja uli, beras putih,
beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan daun kelapa muda.
Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga
memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama
brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis
perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.
Itulah sebabnya mengapa seorang Pemangku perlu terus belajar dan belajar lagi. Agar
benar-benar dapat menjadi seorang pelayan umat sekaligus pelayan Ida Sang Hyang Widhi,
maka seorang Pemangku atau Pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk
menghafal Puja Stawa saja. Janganlah berbangga diri, apalagi bersikap arogan dan merasa
lebih dari orang lain, hanya karena sudah merasa lancer dan pandai mengucapkan Puja
Stawa atau Mantram, yang barangkali juga belum diketahui maknanya. Sekali lagi, seorang
Pemangku hendaklah tidak menutup diri dari ilmu, khususnya ilmu agama. Seorang
Pemangku hendaknya juga menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan lain yang
menyangkut berbagai persoalan tentang hidup dan kehidupan masyarakat.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa seorang Pemangku atau calon Pemangku wajib
membekali dirinya dengan moral dan mental yang luhur serta tangguh. Semua itu untuk
dapat menegakkan swadharma dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi manusia panutan.
b) Pemangku Pura Paibon adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura
Paibon, yang disungsung oleh sekitar 20 keluarga yang masing-masing telah memiliki
Sanggah/Merajan tersendiri. Pemangku untuk Pura Paibon ini biasanya bergelar Jero Mangku
c) Pemangku Pura Dadia/Pura Panti/Pura Batur merupakan Pemangku yang mendapat tugas
untuk ngempon Pura Dadia yang dinamakan pula Pura Panti atau ada juga yang
menyebutnya sebagai Mangku Agung atau Mangku Gede, sama dengan gelar Pemangku di
Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem (Kahyangan Tiga Desa)
d) Pemangku Pura Kawitan adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura
Kawitan. Pemangku ini bergelar Jero Gede atau ada juga yang menamakannya Ida Gede,
sama dengan gelar untuk Pemangku di Pura Sad Kahyangan Jagad
Pemangku juga dapat dibedakan berdasarkan jenis Pura yang diemongnya, yaitu :
a) Pemangku Pura Sad Kahyangan
b) Pemangku Pura Dang Kahyangan
c) Pemangku Pura Kahyangan Tiga
d) Pemangku Sanggah/Merajan, Pemangku Pura Paibon, Pemangku Pura Dadia (Pura Panti
atau Pura Batur), Pemangku Pura Kawitan, sebagaimana sudah dijelaskan diatas
halnya dengan Pemangku. Adapun kewenangan Pemangku dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan sampai tingkat piodalan pada Pura yang
diemongnya
b. Apabila Pemangku menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau upacara
yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara yajna tersebut bersifat rutin,
seperti pujawali atau piodalan, Manusia Yajna dan Bhuta Yajna, yang seharusnya
memepergunakan tirtha Sulinggih, maka Pemangku diperkenankan nganteb banten upacara
termaksud dengan menggunakan tirtha Sulinggih
c. Pemangku berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura yang diemongnya
dengan cara mepuja atau mesa termasuk mohon tirtha kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut, termasuk
yajna membayar kaul dan lain-lain
d. Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yajna atau Caru, Pemangku diberi wewenang
menyelesaikan upacara Bhuta Yajna maksimal sampai dengan tingkat panca sata dengan
mempergunakan tirtha Sulinggih
e. Delam berhubungan dengan menyelesaikan upacara Manusia Yajna, Pemangku diberi
wewenang mulai dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan
tirtha Sulinggih
f. Dalam hubungan dengan menyelesaikan upacara Pitra Yadnya, Pemangku diberi
wewenang sampai mendem sawa sesuai dengan catur dresta
Dengan demikian Pemangku mempunyai wewenang untuk :
a. Nganteb Upakara/Upacara di Pura atau Kahyangan yang diemongnya
b. Dapat ngeloka pala srayasampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat
pawintenannya
(Dikutip dari buku DASAR-DASAR KEPEMANGKUAN "Suatu Pengantar dan Bahan Kajian bagi
Generasi Mendatang" oleh Drs. K.M. Suhardana, diterbitkan oleh PARAMITA Surabaya 2006)