Anda di halaman 1dari 46

SESAYUT PAKURENAN DALAM UPACARA

PERKAWINAN DI DESA ADAT UMANYAR


KECAMATAN BEBANDEM KABUPATEN
KARANGASEM

OLEH

AGUS ARIMBAWA

NPM : 16 . 1 . 005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN

ILMU PENDIDIKAN AGAMA

HINDU AMLAPURA

2020
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur dihaturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa karena proposal yang berjudul: “Sesayut Pakurenan Dalam

Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar Kecamatan Bebandem Kabupaten

Karangasem,” ini dapat selesai sesuai dengan rencana.

Proposal ini disusun sebagai langkah awal dalam penyusunan skripsi pada

Program Studi Pendidikan Agama Hindu di STKIP Agama Hindu Amlapura.

Dipilihnya judul proposal ini dengan maksud mencoba untuk mengetahui bentuk,

fungsi, serta makna yang terkandung dalam penggunaan Sesayut Pakurenan pada

upacara Perkawinan khususnya di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem,

Kabupaten Karangasem.

Penyusunan proposal ini sungguh merupakan tugas yang sangat berat,

tetapi atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya Proposal ini terselesaikan sesuai

dengan alokasi waktu yang telah ditentukan. Untuk itu, dalam kesempatan ini

diucapkan terima kasih yang sedalam – dalamnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Drs. I Wayan Dwija, M.Pd. selaku Ketua STKIP Agama

Hindu Amlapura.

2. Bapak I Komang Badra, S.Pd., M.Pd.H. selaku Dosen Pembimbing I

yang telah penuh kesabaran meluangkan waktu untuk memberikan

ii
bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dalam penyelesaian

proposal ini.

3. Bapak I Ketut Dani Budiantara, S.Pd., M.Si, selaku Dosen

Pembimbing II yang telah penuh kesabaran meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dalam

penyelesaian proposal ini.

4. Kepala Perpustakaan STKIP Agama Hindu Amlapura beserta staf,

5. Bapak / Ibu Dosen dan Staf STKIP Agama Hindu Amlapura, serta

6. Rekan – rekan mahasiswa yang telah membantu memberikan

motivasi dan dukungan. Semoga amal baik yang telah dilimpahkan

itu mendapat berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang

Maha Esa dan mendapat pahala sesuai dengan karma yang baik itu.

Disadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna baik dalam susunan

kalimat, penyajian, serta strukturnya. Pada kesempatan yang baik ini dimohon

kepada semua pihak untuk dapat memberikan bantuan serta koreksi yang

konstruktif. Segala masukan demi perbaikan diterima dengan senang hati.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian proposal

ini diucapkan terima kasih, semoga kebaikan datang dari segala penjuru.

Om santih, santih, santih Om.

Amlapura, Maret 2020

Penulis
iii
DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………………………………

PENGESAHAN PEMBIMBING………………………………………………. i

KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………... iv

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 1

1.2 Identifikasi Masalah …………………………………………… 5

1.3 Rumusan Masalah …………………………………………….. 6

1.4 Tujuan Penelitian ……………………………………………… 6

1.5 Manfaat Penelitian ……………….…………………………... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………..……………………………… 8

2.1 Bentuk, Fungsi dan Makna..……………………………………. 8

2.1.1 Pengertian Bentuk ………………………………………. 8

2.1.2 Pengertian Fungsi ………………………………………… 8

2.1.3 Pengertian Makna ………………………………………… 9

2.2 Sesayut ………………………………………………………… 10

2.2.1 Pengertian Sesayut ……………………………………… 10

2.2.2 Jenis-Jenis Sesayut ……………………………………… 11

2.2.3 Pegertian Sesayut Pakurenan ………………………… 13

2.3 Upacara Perkawinan .……..……………………………………. 14

2.3.1 Pengertian Upacara……………………………………….. 14

2.3.2 Pengertian Perkawinan …………………………..……… 15

2.3.3 Upacara Perkawinan …………………………………….. 18

iv
2.3.4 Rangkaian Upacara Perkawinan ………………………… 19

2.4 Pengertian Desa Adat………..……………..……………………. 21

BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………………. 22

3.1 Pengertian Metode Penelitian ………………………………… 22

3.2 Jenis Penelitian ……………………………………………….. 23

3.3 Metode Penentuan Subyek Penelitian ….……………………… 27

3.4 Metode Pendekatan Subyek Penelitian ………..………………. 28

3.5 Jenis dan Sumber Data ………………………………………… 30

3.5.1 Jenis Data ………………………………………………. 30

3.5.2 Sumber Data ……………………………………………. 31

3.6 Metode Pengumpulan Data …………………………………… 32

3.6.1 Metode Wawancara ……………………………………… 33

3.6.2 Metode Observasi ………………………………………. 34

3.6.3 Metode Pencatatan Dokumen …………………………… 34

3.7 Analisis Data ………………………………………………….. 35

3.7.1 Analisis Statistik ………………………………………… 36

3.7.1 Analisis Non Statistik ……………………………………. 36

DAFTAR PUSTAKA..…………………………………………………………. 38

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lahir sebagai manusia merupakan suatu kebanggaan karena mempunyai

kelebihan berupa pikiran. Dengan pikiran, manusia mempunyai rasa

ketidakpuasan terhadap apa yang sudah diperolehnya. Watra, (2006:1),

mengatakan bahwa: “Manusia tidak pernah merasa puas terhadap segala sesuatu

yang ada pada dirinya akibat masa lalu untuk menghadapi tantangan masa depan.”

Rasa ketidakpuasan ini menyebabkan manusia terus berusaha untuk menemukan

hal-hal baru yang berguna bagi peningkatan kesejahteraannya. Dari hasil

pemikiran-pemikiran manusia maka terciptalah suatu peradaban yang senantiasa

berkembang dari jaman ke jaman.

Rasa ketidakpuasan yang dimiliki bukanlah harga mati. Manusia juga

memiliki rasa fanatisme pribadi yang menimbulkan pemikiran bahwa kepuasan

itu tidak hanya bisa diperoleh secara material saja. Ada nilai-nilai luhur warisan

nenek moyang yang harus dipertahankan. Salah satunya adalah nilai adat-istiadat

dan keagamaan sehingga manusia juga dijuluki sebagai mahhluk sosio-religius.

Kehidupan adat-istiadat dan keagamaan sangat mendasar bagi orang

daerah Timur seperti Indonesia. Kehidupannya tersebut bisa terlihat dengan

beragamnya adat kebudayaan di daerah ini yang berdasarkan pada ajaran agama,

seperti halnya terlihat pada kehidupan masyarakat Bali yang didominasi oleh

penduduk beragama Hindu. Hampir setiap hari terlihat aktivitas-aktivitas

kebudayaan yang dilandasi pengamalan terhadap ajaran Agama Hindu yang

1
tercakup dalam Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Adapun bagian-bagian dari

Tiga Kerangka Dasar yang menjadi landasan pengamalan ajaran agama, yaitu:

(1) Tattwa, yaitu filsafat atau pengetahuan ajaran Agama Hindu yang
harus dipahami dan dimengerti agar apa yang dilaksanakan oleh
pemeluknya benar-benar sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Kitab
Suci Agama Hindu. (2) Susila, yaitu dharma atau etika merupakan suatu
ajaran yang menjadi landasan atau tolak ukur dalam bertingkah laku di
masyarakat dalam menjalankan ajaran agama. (3) Upacara, yaitu bentuk
pelaksanaan ajaran Agama Hindu dengan menggunakan media sebagai
sarana mewujudkan rasa bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa yang terdiri dari bebantenan sebagai simbol
(Wiana,1997:15).

Dalam menjalankan Ketiga Kerangka Dasar tersebut, umat Hindu

khususnya di Bali lebih menonjol pada pelaksanaan upacara. Upacara di Bali

diwujudkan dalam bentuk yadnya. Setiap manusia berkewajiban melaksanakan

yadnya dalam hidupnya. Ajaran Agama Hindu, menyatakan manusia hendaknya

senantiasa berusaha untuk melaksanakan yadnya sesuai dengan kemampuan yang

dimilikinya, seperti dijelaskan pada Bhagawadgita III. 13 sebagai berikut:

Yajńa-śistaśinah santo
Mucyante sarva-kilbisaih
Bhuńjate te tv agham păpă
Ye pacanty ătma-kăranăt
Artinya:
Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, (tetapi) Ia
yang memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan
dosa (Pudja, 1999: 86).

Dengan demikian setiap umat beragama Hindu selalu berusaha

melaksanakan yadnya agar lepas dari segala dosa dan tidak ingin dikatakan makan

dosanya sendiri. Adapun dasar yadnya akan adanya tiga hutang. “Tiga hutang

dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan Tri Rna yang berarti tiga hutang yang

harus dibayar, terdiri dari Dewa Rna, Pitra Rna, Rsi Rna” (Tim, 1997: 11).

2
Untuk membayar ketiga jenis hutang tersebut manusia melakukan Panca

Yadnya, Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya, yaitu

beryadnya kepada Tuhan dan kepada alam ciptaan-Nya. Pitra Rna dibayar dengan

melakukan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, sedangkan Rsi Rna dibayar dengan

melakukan Rsi Yadnya.

Upacara Agama Hindu (yadnya) terdiri atas lima bagian disebut Panca

Yadnya. Dalam bahasa Sanskerta, Panca artinya lima dan Yadnya berasal dari

akar kata yaj artinya persembahan atau korban suci yang didasari ketulusan hati

dan keluhuran budi. Adapun bagian-bagian dari Panca Yadnya antara lain (1)

Dewa Yadnya (persembahan atau korban suci kepada para Dewa), (2) Rsi Yadnya

(persembahan atau korban suci kepada Pendeta/guru), (3) Pitra Yadnya

(persembahan atau korban suci kepada para leluhur), (4) Manusa Yadnya

(persembahan atau korban suci kepada sesama manusia), dan (5) Bhuta Yadnya

(persembahan atau korban suci kepada para Bhuta Kala) (Putra, 2000: 8).

Pelaksanaan Panca Yadnya di Bali diaplikasikan dalam bentuk

persembahan yang disebut banten. Bagi umat Hindu khususnya di Bali banten

digunakan sebagai simbol-simbol tertentu dalam pelaksanaan Panca Yadnya.

Namun di zaman modern ini masih banyak umat Hindu yang tidak begitu paham

masalah bebantenan. “Sebagai umat Hindu yang menganut paham Siwa sudah

sepantasnya tidak bisa terlepas dari penggunaan bebantenan dalam yadnya”

(Wijayananda, 2006: iii).

Masing-masing persembahan berupa bebantenan memiliki fungsi-fungsi

tertentu sesuai dengan tujuan yadnya yang dilakukan. Secara umum banten

memiliki beberapa fungsi, antara lain:

3
(1) Sebagai cetusan umat Hindu untuk menyatakan rasa terimakasih
kepada Ida Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa beserta
manifestasinya, (2) Sebagai alat konsentrasi fikiran untuk memuja Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya,
dan (3) merupakan perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang
Maha Esa dalam berbagai manifestasi-Nya (Tim, 1997: 96).

Agama Hindu merupakan agama yang fleksibel. Walaupun pelaksanaan

Tri Rna melalui Panca Yadnya yang diaplikasikan dalam bentuk persembahan

bebantenan merupakan suatu keharusan, namun dalam pelaksanaannya bisa

disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaan yang lazim disebut desa, kala,

dan patra. Sebagai penguat istilah desa, kala, dan patra agar tidak terjadi

pertentangan antara desa satu dengan yang lainnya, maka timbullah istilah desa

mawacara yang artinya adat kebiasaan suatu desa. Dengan istilah-istilah ini, umat

sangat sulit untuk memberikan komentar ataupun tanggapan jika terjadi hal-hal di

luar kebiasaan dalam pelaksanaan yadnya. Disamping memudahkan umat dalam

menjalankan ajaran agamanya, namun sifat Agama Hindu yang fleksibel kadang-

kadang menimbulkan adanya perbedaan pelaksanaan yadnya antara desa satu

dengan yang lainnya. Keadaan ini cenderung membuat umat menyimpang dari

dasar pelaksanaan yadnya yang sesungguhnya dan berdalih dengan menyebut adat

kebiasaan yang terkenal dengan istilah mula dapet atau mula keto. Seperti halnya

yang terjadi di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem, Kabupaten

Karangasem dimana dalam melaksanakan upacara Manusa Yadnya khususnya

perkawinan. Semua masyarakatnya memakai Sesayut Pakurenan tetapi dalam

penggunaanya pun masyarakat baru sebatas mampu membuat dan menghaturkan

dengan cara meniru apa yang orang lain lakukan tanpa mengetahui apa

sebenarnya maksud dan tujuan penggunaan sesayut tersebut.

4
Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi seperti dipaparkan di atas,

maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang apa yang terjadi di Desa

Adat Umanyar dan mewujudkannya dalam bentuk tulisan ilmiah yang berjudul

“Sesayut Pakurenan Dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar

Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem.”

1.2 Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitin ini

adalah:

1.2.1 Masyarakat Desa Adat Umanyar sebagian besar belum paham tentang

bentuk Sesayut Pakurenan yang digunakan dalam upacara perkawinan.

1.2.2 Masyarakat Desa Adat Umanyar sebagian besar belum paham tentang

fungsi Sesayut Pakurenan yang digunakan dalam upacara perkawinan.

1.2.3 Masyarakat Desa Adat Umanyar sebagian besar belum mengetahui jenis-

jenis bebanten yang digunakan dalam upacara perkawinan menurut

Agama Hindu.

1.2.4 Masyarakat Desa Adat Umanyar sebagian besar belum mengetahui makna

yang terkandung dalam penggunaan Sesayut Pakurenan.

1.2.5 Banyaknya sumber tertulis namun dengan versi yang berbeda-beda terkait

banten yang digunakan dalam upacara perkawinan menyebabkan banyak

penafsiran – penafsiran terkait hal tersebut.

1.2.6 Masyarakat Desa Adat Umanyar sebagian besar enggan membuat banten

sendiri sehingga lebih memilih untuk membeli banten.

5
1.3 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah-masalah

sebagai berikut:

1.3.1 Bagaimanakah bentuk Sesayut Pakurenan dalam upacara perkawinan di

Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem?

1.3.2 Apakah fungsi penggunaan Sesayut Pakurenan dalam upacara perkawinan

di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem?

1.3.3 Apakah makna yang terkandung dalam penggunaan Sesayut Pakurenan

pada upacara perkawinan di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem,

Kabupaten Karangasem?

1.4 Tujuan Penelitian

Seperti tulisan lainya, penelitian ilmiah juga mempunyai tujuan yang

dapat memberikan arah dan sasaran tepat terhadap langkah-langkah yang

ditempuh. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan tujuan penelitian

yang ingin dicapai yaitu:

1.4.1 Untuk mengetahui bentuk Sesayut Pakurenan dalam upacara perkawinan

di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

1.4.2 Untuk mengetahui fungsi dan tujuan penggunaan Sesayut Pakurenan

dalam upacara perkawinan di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem,

Kabupaten Karangasem.

1.4.3 Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam penggunaan Sesayut

Pakurenan pada upacara perkawinan di Desa Adat Umanyar, Kecamatan

Bebandem, Kabupaten Karangasem.

6
1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu: manfaat teoretis

dan manfaat praktis.

1.5.1 Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan masyarakat sehingga dapat dijadikan sumber informasi dan

sumber bacaan terkait dengan penggunaan Sesayut Pakurenan dalam

upacara perkawinan di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem,

Kabupaten Karangasem.

1.5.2 Manfaat Praktis

Informasi yang terungkap dalam penelitian ini diharapkan dapat berguna

bagi masyarakat Desa Adat Umanyar, baik bagi para pendidik, para

pemuka masyarakat maupun tokoh agama sebagai pedoman mengenai

penggunaan Sesayut Pakurenan dalam upacara perkawinan agar dapat

dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan upacara Manusa Yadnya.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bentuk, Fungsi dan Makna

2.1.1 Pengertian Bentuk

Bentuk merupakan sebuah istilah inklusif yang memiliki beberapa

pengertian. Sunarto, dkk. (1996:44), menyatakan bahwa: “Bentuk adalah bangun

rupa” Lebih luas lagi dikatakan bahwa kata bentuk sebagai kata yang homonim

dengan (1) gambaran, bangun, (2) lengkung atau lentur, (3) rupa, wujud, (4)

sistem atau susunan, (5) wujud yang ditampilkan (tampak), (6) susunan kalimat

atau acuan, (7) kata penggolong bagi benda yang berlekuk” (Tim, 2001:135).

Pendapat lain menyatakan bahwa: “Bentuk adalah sesuatu yang

dipergunakan untuk menggambarkan struktur formal sebuah pekerjaan yaitu cara

dalam menyusun dan mengkoordinasi unsur-unsur dan bagian-bagian dari suatu

komposisi untuk menghasilkan suatu gambaran nyata”( Surayin, 2006:112).

Berdasarkan pendapat di atas, maka pengertian bentuk yang paling

mendekati dalam penelitian ini adalah gambaran tentang Sesayut Pakurenan yang

digunakan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar, Kecamatan

Bebandem, Kabupaten Karangasem.

2.1.2 Pengertian Fungsi

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menyebutkan fungsi merupakan

“Kegunaan suatu hal, daya guna, jabatan atau pekerjaan yang dilakukan, kerja

suatu bagian tubuh” (Tim, 2001: 245).

8
Sebagaimana yang dikatakan M.E Spiro (dalam Koentjaraningrat,

1996:87) bahwa fungsi adalah :

1) Menerangkan fungsi sebagai hubungan antara sesuatu hal dengan suatu


tujuan tertentu, 2) menjelaskan antara kaitan suatu hal, 3) menjelaskan
hubungan yang terjadi antara suatu hal dengan hal lain dalam suatu
integrasi sehingga bila suatu bagian organisme menyebabkan
perubahan gejala alam semesta.Setiap hal atau pun sesuatu yang ada di
dunia ini pastilah memiliki daya guna sesuai dengan potensi yang
dimiliki. Berdasarkan atas potensinya, maka sesuatu akan diolah atau
diadakan untuk difungsikan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup
manusia.

Berdasarkan kutipan diatas fungsi adalah manfaat atau kegunaan dari suatu

hal atau dapat juga diartikan hasil kerja yang teratur, terurut yang setiap usurnya

memiliki tujuan masing-masing. Seperti halnya Sesayut Pakurenan yang

digunakan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar, Kecamatan

Bebandem, Kabupaten Karangasem yang tentunya memiliki fungsi-fungsi

tertentu.

2.1.3 Pengertian Makna

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia: “Makna adalah arti, maksud atau

pengertian yang diberikan terhadap sesuatu” (Idrus, 1996: 221). Lebih lanjut Tim

(2001:703), menambahkan bahwa kata makna berarti: “arti, maksud pembicaraan,

pengertian yang diberikan kepada suatu bahasan.” Makna merupakan arti dari

suatu maksud yang disampaikan atau dimiliki oleh suatu hal. Orang akan dapat

mengerti tentang sesuatu melalui makna yang terkandung di dalamnya.

Pendapat lain mengatakan bahwa: “Makna mengacu pada reaksi yaitu

kosekuensi dari pilihan prilaku (fungsi), dimana prilaku dapat dipilih. Jadi makna

sifat mutlak merupakan hal yang dituju oleh fungsi” (Artandi, 2000:75).

9
Sedangkan di dalam konsep ajaran Agama Hindu dapat diberi arti bahwa: “Makna

merupakan simbol dari suatu keyakinan terhadap ajaran-ajaran itu sendiri serta

mengandung nilai-nilai dan pandangan-pandangan terhadap tindakan-tindakan

yang menuju pada ketaatan dalam pelaksanaan keagamaan.” (Subandi, 2006:

106). Setiap tindakan keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu pastilah

arti/makna masing-masing. Dengan mengetahui maknanya, maka umat akan

melaksanakan suatu kegiatan dengan lebih bersemangat dan penuh dengan

kepercayaan diri.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud makna dalam penelitian

ini adalah maksud, simbol, atau arti yang tersembunyi di balik penggunaan dari

Sesayut Pakurenan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar,

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

2.2 Sesayut

2.2.1 Pengertian Sesayut

Sesayut merupakan salah satu jenis upakara yang sering disebut Banten

Sesayut. Zoetmulder (dalam Dunia, 2008: iii) mengatakan bahwa: “Sesayut

berasal dari kata sayut yang berarti tahan atau cegah.” Sudarsana (1998: 38)

mengatakan bahwa: “Sesayut berasal dari kata ayu yang berarti cantik atau rahayu

dan berfungsi sebagai pemelihara.” Menurut buku Tetandingan Lan Sorohan

Bebanten “Sesayut berasal dari kata sayut atau nyayut yang diartikan

mempersilahkan dan menstanakan” (Wijayananda,2003:8). Sedangkan pendapat

lain mengatakan bahwa: “Sesayut disamakan pengucapannya dan penulisannya

10
dengan sayut yang diartikan sajen untuk memohon berkat, menolak mala agar

terhindar dari gangguan yang merusak” (Kamiartha, 2002:59).

Berdasarkan pendapat di atas, maka yang dimaksud sesayut adalah sebuah

banten yang ditata sedemikian rupa sehingga menjadi banten yang terlihat ayu

atau cantik dan membuat orang merasakan kerahayuan dengan menggunakan

bahan-bahan tertentu sebagai media untuk menstanakan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa agar dapat menolak malapetaka.

2.2.2 Jenis-jenis Sesayut


Dalam aktivitas ritual Agama Hindu di Bali tidak pernah lepas dari suatu

upakara yang disebut dengan Sesayut. Agama Hindu di Bali mengenal berbagai

macam Sesayut diantaranya:

(1) Sesayut Penuntun Dewa, (2) Sesayut Pengenteg Linggih, (3) Sesayut

sidakarya, (4) Sesayut Cakra Bhuana, (5) Sesayut Mrtta Sanjiwani, (6) Sesayut

Nirmala Kasundaran, (7) Sesayut Panca Kosika, (8) Sesayut Canda Prabha, (9)

Sesayut Kurmedha, (10) Sesayut Sakti Karana, (11) Sesayut Mrtyunjaya,(12)

Sesayut Mrtha Nalidi, (13) Sesayut Pangastiti Bhakti, (14) Sesayut Mrtha Dewa,

(15) Sesayut teleng Bhakti, (16) Sesayut Panuur Dewa, (17) Sesayut Gajah

Saguling, (18) Sesayut Gunung Sari, (19) Sesayut Midher Asung Hurip, (20)

Sesayut Indra Loka, (21) Sesayut Siwa Lingga, (22) Sesayut Panca Siwa, (23)

Sesayut Horti Katemu, (24) Sesayut Sih tan Pegat, (25) Sesayut Tan Pasingsing,

(26) Sesayut Malik Sedina, (27) Sesayut Pengenteg Sakti, (28) Sesayut Siwa

Sampurna, (29) Sesayut Guru Anglangut, (30) Sesayut Guru Asih, (31) Sesayut

Dharma Wiku, (32) Sesayut Rsi Kepanditan, (33) Sesayut Pangupa Jiwa, (34)

Sesayut Penukup Jiwa, (35) Sesayut Tabeh Ukung, (36) Sesayut Tuwuh Batu, (37)

11
Sesayut Dharma Makeplug, (38) Sesayut Atma Teka Bayu Rawuh, (39) Sesayut

Penek Urip, (40) Sesayut Pepek Bayu, (41) Sesayut Pageh Tuwuh, (42) Sesayut

sambut Urip, (43) Sesayut Atma Pageh Bayu Rawuh, (44) Sesayut Tulus Ayu, (45)

Sesayut Sapta Pramana, (46) Sesayut Dasa Wara, (47) Sesayut Sudhamala, (48)

Sesayut Sapuh Lara, (49) Sesayut Katuturan, (50) Sesayut Panyupat Lara, (51)

Sesayut Prayascita, (52) Sesayut Prayascitaning Durmanggala, (53) Sesayut

Karamedha Hilang, (54) Sesayut Pasek Pageh, (55) Sesayut Keneng Bencana,

(56) sesayut Tan Keneng Kaungkulan, (57) Sesayut Tekasahi, (58) Sesayut

Sianganti, (59) Sesayut Brahmana Ipa Guna, (60) Sesayut Catur, (61) Sesayut

Resi Ghana, (62) Sesayut Pengangas Bhaya, (63) Sesayut Catur Warna, (64)

Sesayut Suka Werdhi, (65) Sesayut Suka Langgeng Agung, (66) Sesayut Suka

Setate, (67) Sesayut Purna Suka, (68) Sesayut Sidhayu, (69) Sesayut Cakra, (70)

Sesayut Muneng, (71) sesayut Telaga (Sesayut Pancoran), (72) Sesayut Taman,

(73) Sesayut Pakurenan, (74) Sesayut Candi Kusuma, (75) Sesayut penawung

Bhayu, (76) Sesayut Kala simpang, (77) Sesayut Kusuma Jati, (78) Sesayut Citta

Rengga, (79) Sesayut Wira Kusuma, (80) Sesayut Kusuma Gandawati, (81)

Sesayut Rajabhira, (82) Sesayut Kusuma Yudha, (83) Sesayut Dirga Yusa Bumi,

(84) Sesayut Pemandha Yusa, (85) Sesayut Purnama Sadha, (86) Sesayut Jiwa

sampurna, (87) Sesayut Dirgha Yusa, (88) Sesayut Imbuh Tuwuh, (89) Sesayut

Prayascita Gumi, (90) Sesayut Panca Lingga, (91) Sesayut Tulak Sanjata, (92)

Sesayut Tundung Musuh, (93) Sesayut Saguna Muncar, (94) Sesayut Garuda, (95)

Sesayut Tamba Lesu, (96) Sesayut Semaya Lupa, (97) Sesayut Kumara saguling,

(98) Sesayut Ghana Saguling, (99) Sesayut Gunung Rahun, (100) Sesayut Drman

Anogtog Langit, (101) Sesayut Prayascita, Pasek Pageh, Panca Pandawa, Anom

12
Amukti, (102) Sesayut sakti Tan Keneng Kaungkulan, (103) Sesayut Pamuput

Karya, (104) Sesayut Nirbhaya, Nirsangsaya, Nirpataka, (105) Sesayut

Mrtayunjaya, (106) Sesayut Malik Sadina, (107) Sesayut Pancoran, (108) Sesayut

Panca Kosika (Dunia, 2008:1).

Demikianlah dapat diuraikan tentang jenis-jenis Sesayut yang dipakai

dalam melaksanakan yadnya bagi umat Hindu. Penggunaan sesayut tersebut

disesuaikan dengan jenis dan tujuan yadnya itu dilaksanakan.

2.2.3 Pengertian Sesayut Pakurenan

Dalam pelaksanaan panca yadnya khususnya bagi umat Hindu di Bali

tidak bisa terlepas dari penggunaan berbagai jenis sarana upacara yang disebut

banten. Seperti halnya dalam upacara perkawinan dimana dalam pelaksanaannya

dari awal sampai akhir selalu menggunakan sarana berupa bebantenan. Salah

satunya disebut Sesayut Pakurenan. Kata Sesayut Pakurenan berasal dari kata,

yaitu sesayut dan pakurenan. Dalam Kamus Agama Hindu disebutkan “Sesayut

berarti bebantenan,” (Tim,2005:6). Sedangkan dalam Kamus Bahasa Bali juga

diutarakan bahwa “Pakurenan berarti sepasang laki dan perempuan membentuk

rumah tangga.” ( 2009: 390). Bantas (1988 :85), menyatakan bahwa : “Sesayut

Pakurenan adalah suatu bebantenan yang dirangkai dengan baik sehingga

bertujuan menyucikan kedua mempelai untuk menciptakan suatu keharmonisan

dan keselarasan dalam kehidupan rumah tangga.”

Jadi yang dimaksud Sesayut Pakurenan adalah sebuah bebantenan yang

ditata atau dirangkai sedemikian rupa dengan bahan-bahan tertentu yang

13
melambangkan sepasang suami istri mengikat janji suci dalam membentuk rumah

tangga keluarga baru .

2.3 Upacara Perkawinan

2.3.1 Pengertian Upacara

Agama Hindu khususnya di Bali dalam mengamalkan ajaran agamanya

diaplikasikan dalam bentuk upacara keagamaan. Putra (1982: 6), mengatakan

bahwa: “Upacara adalah segala sesuatu berhubungan dengan gerakan-gerakan

dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai pelaksanaan sesuatu.” Pada sumber lain

dijumpai bahwa: “Kata upacara terdiri dari dua suku kata, kata upa berarti

sekeliling, menunjukkan segala, dan kata cara berarti gerak atau aktivitas. Jadi

upacara berarti gerakan disekeliling kehidupan manusia dalam upaya

menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa” (Purwita, 1992:3).

Senada dengan pendapat tersebut Surayin (2005: 9), mengatakan bahwa:

“Upacara berasal dari kata upa dan car. Upa berarti hubungan dan Car mendapat

akhiran a menjadi kata benda berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu

yang ada hubungannya dengan gerakan atau kegiatan suatu Yadnya.”

Berdasarkan kutipan di atas dapat ditegaskan bahwa upacara Agama Hindu

adalah wujud ekspresi pikiran dan cetusan hati yang suci dari umat Hindu dalam

menyampaikan persembahan dan terima kasihnya kepada Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan

kepada umatnya.

Secara umum dikatakan bahwa upacara menurut Agama Hindu

mengandung pengertian:

14
Upacara adalah sebuah kata yag berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti mendekati disamping mendekati juga berarti penghormatan. Inti
upacara agama adalah tattwanya memang suatu aktivitas yang
mendekatkan manusia dengan alam lingkungan dengan tujuan untuk alam
yang Butahita artinya alam lingkungan yang sejahtera (Wiana, 1997: 38).

Lebih lanjut di dalam buku Upadesa disebutkan: “Dari sudut filsafatnya

upacara mengandung pengertian cara melakukan hubungan antara Atman dengan

Paramatman, antara manusia dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang

Maha Esa beserta semua manifestasi-Nya melalui jalan Yadnya untuk mancapai

kesucian jiwa” (Atmaja, 2001: 5).

Berdasarkan uraian di atas, upacara menurut Agama Hindu merupakan

suatu jalan untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, untuk mengadakan suatu penyatuan dengan

menciptakan suatu hubungan yang harmonis antar sesama, lingkungan dan dengan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Dalam penelitian ini

penyatuan tersebut melalui pelaksanaan upacara perkawinan khususnya dalam

penggunaan Sesayut Pakurenan.

2.3.2 Pengertian Perkawinan

Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.

Pengertian pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal usul

katanya, kata pawiwahan berasal drai kara dasar “wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa

Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang

berarti pesta pernikahan, perkawinan (Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan,1997;1130).

Tujuan hidup dari umat beragama Hindu adalah untuk mencapai

mosartham jagaditha ya ca iti dharma, yaitu kebahagiaan hidup di dunia maupun

15
kekekalan hidup di akhirat. Untuk mencapai tujuan hidup tersebut, Agama Hindu

menyediakan empat jalan yang disebut Catur Purusa Artha atau disebut juga

Catur Warga.

Dalam kitab Sarasamuscaya Sloka 135 disebutkan sebagai berikut :

“Matangnyan prihen tikang bhutahita, haywa tan masih ring sarwa prani,
apan ikang prana ngaranya, ya ika nimithaning kapanggehan ikang catur
warga, nang dharma, artha, kama, moksa hana pwa manghilangken
prana, ridya ra hilang denika, mangkana ikang rumaksa ring bhutahita,
ya ta manggehaken catur warga ngaranya, abhutahita ngaranikang tan
karaksa denika”.

Artinya:
Oleh karenanya usahakanlah kesejahteraan makhluk hidup itu jangan tidak
belas kasihan, karena kehidupan itu menyebabkan tetap terjaminnya catur
warga yaitu Dharma, Artha, Kama, Moksa, ada yang disebut mau
mencabut nyawa makhluk, betapa itu tidak musnah olehnya. Demikianlah
orang menjaga kesejahteraan makhluk itu, ia itulah yang disebut
menegakkan catur warga, dinamakan tidak mensejahterakan makhluk
hidup jika sesuatunya itu tidak terjaga olehnya (Pudja, 1985: 77).

Dalam hidup ini hendaknya selalu mengusahakan keseimbangan hidup

lahir bathin serta saling mengasihi antar sesama makhluk. Keseimbangan hidup

antar sesama akan menjamin tercapainya tujuan hidup pribadi melalui Catur

Purusa Artha, yaitu Dharma (kebenaran), Artha (kekayaan), Kama (keinginan),

Moksa (kebebasan yang kekal abadi).

Agar empat tujuan hidup yang tertuang dalam Catur Purusa Artha bisa

tercapai, maka ada empat tingkatan hidup yang harus dilalui yang disebut Catur

Asrama, yang terdiri dari: Brahmacari (kehidupan yang melajang dan menuntut

ilmu), Grehasta (kehidupan berumah tangga), Wana Prasta (kehidupan yang

mulai melepaskan diri dari keduniawian, pada jaman dulu pergi ke hutan),

Bhiksuka/Sanyasin (kehidupan menjadi Bhiksu/Pendeta yang terlepas dari ikatan

keduniawian) (Tim, 2004: 25).

16
Jadi, setelah selesai dalam kegiatan menuntut ilmu, maka umat Hindu

harus melanjutkan kehidupanya ke jenjang perkawinan. Menurut Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974, dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang

Maha Esa.

Widana (2002: 57), mengatakan bahwa: “Perihal perkawinan menurut

Agama Hindu secara absolut mengacu pada Kitab Suci Weda, khususnya Weda

Sruti yang disebut Manawa Dharma Sastra.” Lebih lanjut dikiatakan: “Di Bali

sendiri segala hal yang menyangkut perkawinan Hindu atara lain disuratkan di

dalam Lontar Kuno Dresti, Eka Pertama, Adi Parwa, dan lain-lain” (Widana,

2002: 57). Perkawinan menurut kepercayaan umat Hindu khususnya di Bali

merupakan suatu hal yang sakral. Sejalan dengan pendapat tersebut, Surayin

(2004: 78), mengatakan bahwa: “Kehidupan perkawinan di Bali pada jaman dulu

mempunyai beberapa jalan, antara lain: (1) Merangkat/ngerorod, (2) Mlegandang,

(3) Ngatepin/mejangkepang, dan (4) Mepadik.” Dalam perkawinan mepadik dan

mejangkepang didasarkan atas persetujuan kedua orang tua mereka, namun dalam

perkawinan mlegandang dan ngerorod dilaksanakan dengan tanpa persetujuan

orang tua. Namun pada saat ini, perkawinan yang masih lazim dilaksanakan

adalah merangkat, mejangkepang, dan mepadik. Sedangkan mlegandang tidak

diberlakukan lagi karena bertentangan dengan hukum nasional.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan

adalah ikatan lahir bathin antara pria dan wanita untuk membentuk rumah tangga

yang didasari rasa suka sama suka serta sifatnya sangat sakral. Untuk itu siapa pun

17
yang akan melakukan perkawinan sepatutnya baik calon pengantin pria maupun

wanita harus dalam keadaan suci baik hati maupun pikiran.

2.3.3 Upacara Perkawinan

Upacara bagi umat Hindu khususnya di Bali sangat identik dengan

pelaksanaan Yadnya. Segala aktivitas keagamaan di daerah ini selalu diikuti

dengan kegiatan Yadnya. Dalam Bhagawadgita III.10 disebutkan bahwa :

Saha Yajnah prajah srstva


Pura vaca prajapatih
Anema prasavisyadvam
Esa vo stv istakamadhuk
Artinya :
Pada jaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan Yadnya
dan bersabda: dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi
Kamadhuk dari keinginanmu (Bantas, 1994: 73).

Melaksanakan Yadnya adalah tugas manusia di dunia ini sebagai ungkapan

rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa

beserta segala ciptaanya termasuk manusia. Ungkapan terima kasih itu

diwujudkan dalam bentuk Panca Yadnya. Salah satu Yadnya yang ditujukan

kepada manusia adalah upacara perkawinan. Menurut Putra (1998: 5),

menyatakan bahwa: “Upacara perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang

bertujuan untuk menyucikan bibit laki-laki dan perempuan (kama petak dan kama

bang) agar terlahir anak yang berbudi luhur (suputra).”

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

melaksanakan yadnya khususnya upacara perkawinan merupakan kewajiban

manusia. Yadnya ini bertujuan untuk menyucikan bibit manusia agar terlahir anak

yang berbudi luhur (suputra). Semakin banyak lahir orang yang berbudi luhur,

18
maka semakin tentram pula dunia ini. Sebaliknya, jika banyak terlahir manusia

yang bermoral rendah, maka dunia ini akan mengalami kehancuran.

2.3.4 Rangkaian Upacara Perkawinan

Secara umum rangkaian Upacara Perkawinan menurut Agama Hindu di

Bali dari awal sampai akhir meliputi:

1. Ngecub/Ngetihang ( Memberi Tanda/Zein)

Ngecub/Ngetihang berarti dari keluarga si laki mengutus dua atau tiga

orang yang dipercaya untuk datang ke rumah si wanita, menyampaikan

pada keluarga wanita bahwa nanti akan datang keluarga si pria untuk

bertemu.

2. Mapiteges/ Mempertegas

Si pria bersama keluarga lainnya yang dianggap sebagai tokoh-tokoh

pembicara datang ke rumah si wanita untuk mapiteges diikuti dengan

memperkenalkan pasangan yang akan melaksanakan upacara perkawinan.

3. Prosesi Pengambilan

Pada upacara ini si pria beserta segenap anggota keluarganya menjemput

pengantin wanita diajak ke rumah pengantin pria.

4. Prosesi Ngungkab Lawang

Prosesi ini dilakukan sebelum upacara utama dilakukan. Dalam acara

ngungkab lawang pengantin wanita tinggal di dalam kamar sedangkan

pengatin pria di luar kamar. Dengan melakukan petunjuk tokoh adat dan

diiringi dengan menyanyikan tembang tradisional Si pria menjemput si

wanita ke kamar. Upacara ini dilanjutkan dengan upacara utama yang

dipimpin oleh pendeta.

19
5. Mejauman

Upacara mejauman dilaksanakan setelah kedua pengantin diupacarai di

rumah pihak pria maka dilanjutkan dengan membawa banten jauman

(ketipat bantal) ke rumah keluarga si wanita yang bertujuan pengantin

wanita mepamit di pemerajan/kawitannya. (Surayin, 2004: 78).

Secara lebih khusus, pelaksanan upacara perkawinan dapat dibagi menjadi

dua tahapan, yaitu:

1. Upacara medengen-dengenan/Mekala-kalaan

Upacara ini sebagai upacara pokok dalam perkawinan karena upacara ini

merupakan suatu bentuk permohonan restu/upasaksi kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, Bhutakala dan Masyarakat

sebagai tanda sahnya sebuah perkawinan. Oleh karena itu pelaksanaan

upacara ini kalau bisa janganlah ditunda.

2. Upacara Natab dan Mepejati

Upacara ini merupakan penyempurnaan dari upacara perkawinan dengan

tujuan untuk membersihkan lahir batin mempelai dan memberikan

bimbingan hidup serta menentukan status bahwa mempelai wanita adalah

menjadi anggota baru pada keluarga mempelai. (Seken, 2007:63)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa umat Hindu khususnya di

Bali harus melaksanakan beberapa tahapan-tahapan tertentu sebelum

melaksanakan pernikahan. Tata cara upacara perkawinan tersebut harus

berdasarkan atas khasanah budaya Bali serta nilai-nilai Agama Hindu..

20
2.4 Pengertian Desa Adat

Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali tidak bisa terlepas dengan

suatu kehidupan adat yang tergabung dalam wilayah yang disebut Desa Adat.

Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan
tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri
(Tim,2002: 163).

Wiana (2004: 41), mengatakan bahwa: “Desa Adat merupakan wadah

hidup bagi tiga asrama yaitu: Brahmacari, Grahasta dan Wana Prasta. Kata desa

berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata dis yang artinya patokan atau

petunjuk rohani.”

Berdasarkan uraian di atas maka Desa Adat merupakan suatu lembaga adat

di Bali yang bersumber pada Agama Hindu dan kebudayaan Bali di mana dalam

tiap-tiap Desa Adat memiliki suatu ikatan dalam memelihara Kahyangan Tiga

yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem sebagai realisasi

kehidupan berdasarkan atas konsep hidup seimbang.

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pengertian Metode Penelitian

Di dalam melakukan penelitian diperlukan suatu cara atau jalan untuk

dapat memahami objek yang menjadi sasaran penelitian yang dilakukan. Cara

atau jalan dalam penelitian yang bersifat ilmiah lazim disebut metode. Menurut

Usman (1996: 42) mengatakan bahwa: “Metode adalah suatu prosedur atau cara

untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis.”

Sedangkan Subagyo (2004: 54) mengatakan bahwa metode berasal dari bahasa

Yunani, yaitu methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Latin metode

berasal dari kata methodos. Sedangkan methodos itu sendiri berasal dari akar kata

meta yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah dan hodos berarti jalan,

cara, arah. Di sini dapat ditekankan metode berarti suatu cara untuk menuju atau

mencapai tujuan. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai

cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk

memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna, 2006: 34).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa metode

adalah suatu cara atau jalan untuk mengetahui sesuatu degnan menggunakan

langkah-langkah sistematis untuk menemukan, menguji, dan menyusun data

dalam upaya mencapai tujuan pemecahan masalah yang sedang dikaji.

Menurut Azwar (1997: 64) mengatakan bahwa: “Penelitian (research)

merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu masalah.”

Sedangkan Bungin (2007: 75) mengatakan bahwa: “Penelitian adalah suatu

kegiatan ilmiah yang mengkaji secara mendalam terhadap munculnya fenomena


22
tertentu.” Dalam buku Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal disebutkan

bahwa: “Penelitian adalah suatu upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang

dijalankan untuk memperolah fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-

hati, dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran” (Mardalis, 2006: 24). Lebih

lanjut Subagyo, (2004: 55) mengatakan bahwa “Penelitian berarti usaha untuk

mencari kembali dengan suatu metode tertentu dan dengan cara hati-hati,

sistematis serta sempurna terhadap permasalahan sehingga dapat digunakan untuk

menyelesaikan atau menjawab problemanya.”

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa penelitian adalah

suatu penyelidikan yang bersifat ilmiah dengan jalan mengumpulkan, mencatat

serta menganalisa fakta-fakta mengenai suatu masalah. Penyelidikan tersebut

dilakukan secara hati-hati, sabar, kritis, dan sistematis guna mendapatkan

pemecahan terhadap suatu permasalahan.

Dengan demikian, berdasarkan definisi metode dan penelitian di atas,

maka dapat dipetik bahwa metode penelitian adalah cara atau jalan untuk

mengetahui sesuatu dengan menggunakan langkah-langkah sistematis untuk

menemukan, menyusun dan menguji data berdasarkan prosedur yang ada guna

mendapatkan pemecahan terhadap suatu masalah. Dengan menggunakan metode

penelitian yang tepat, maka akan diperoleh data yang valid dan kebenarannya bisa

diuji secara ilmiah.

3.2 Jenis Penelitian

Penelitian adalah suatu usaha mencari kebenaran atas gejala yang terjadi.

Berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, penelitian diklasifikasikan atas berbagai

23
jenis, antara lain: Menurut tujuannya, penelitian terbagi atas: Penelitian Terapan,

yaitu penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan informasi yang dapat

digunakan untuk memecahkan masalah. Penelitian Murni/Dasar, yaitu penelitian

yang dilakukan diarahkan sekedar untuk memahami masalah dalam organisasi

secara mendalam (tanpa ingin menerapkan hasilnya). Penelitian dasar bertujuan

untuk mengembangkan teori dan tidak memperhatikan kegunaan yang langsung

bersifat praktis. Jadi penelitian murni/dasar berkenaan dengan penemuan dan

pengembangan ilmu.

Menurut bidangnya, penelitian terdiri dari berbagai jenis sesuai dengan

disiplin ilmu pengetahuan. Ada penelitian sejarah, pendidikan, bahasa, teknik,

biologi, pertanian, dan penelitian lainnya sesuai dengan jumlah ilmu pengetahuan.

Sedangkan menurut tempatnya, penelitian meliputi penelitian laboratorium,

perpustakaan dan penelitian lapangan (Subagyo, 2004: 94).

Menurut Metode yang digunakan, penelitian terdiri atas: 1) Penelitian

Survey, yaitu penelitian yang dilakukan pada popolasi besar maupun kecil, tetapi

data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan-hubungan

antar variabel sosilogis maupun psikologis. 2) Penelitian Ex Post Facto, yaitu

penelitian yang dilakukan untuk meneliti peristiwa yang telah terjadi yang

kemudian menurut ke belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat

menimbulkan kejadian tersebut. 3) Penelitian Eksperimen, yaitu suatu penelitian

yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain

dalam kondisi yang terkontrol secara ketat. Variabel independennya dimanipulasi

oleh peneliti. 4) Penelitian Naturalistik, Metode penelitian ini sering disebut

24
dengan metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti

pada kondisi obyek alami (sebagai lawannya) dimana peneliti adalah sebagai

instrumen kunci. Contoh : Sesaji terhadap keberhasilan bisnis. 5) Policy Research,

yaitu suatu proses penelitian yang dilakukan pada, atau analisis terhadap masalah-

masalah sosial yang mendasar, sehingga temuannya dapat direkomendasikan

kepada pembuat keputusan untuk bertindak secara praktis dalam menyelesaikan

masalah. 6) Action Research, merupakan penelitian yang bertujuan untuk

mengembangkan metode kerja yang paling efisien, sehingga biaya produksi dapat

ditekan dan produktifitas lembaga dapat meningkat. Tujuan utama penelitian ini

adalah mengubah situasi, perilaku, organisasi termasuk struktur mekanisme kerja,

iklim kerja, dan pranata. 7) Penelitian Evaluasi, yaitu bagian dari proses

pembuatan keputusan untuk membandingkan suatu kejadian, kegiatan dan produk

dengan standar dan program yang telah ditetapkan. 8) Penelitian Sejarah , yaitu

penelitian yang berkenaan dengan analisis yang logis terhadap kejadian-kejadian

yang berlangsung di masa lalu. Sumber datanya bisa primer, yaitu orang yang

terlibat langsung dalam kejadian itu, atau sumber-sumber dokumentasi yang

berkenaan dengan kejadian itu. Tujuan penelitian sejarah adalah untuk

merekonstruksi kejadian-kejadian masa lampau secara sistematis dan obyektif,

melalui pengumpulan, evaluasi, verifikasi, dan sintesa data diperoleh, sehingga

ditetapkan fakta-fakta untuk membuat suatu kesimpulan (Dwija, 2006: 9).

Menurut tarafnya, penelitian terdiri atas 1) penelitian deskriptif, yaitu

penelitian yang tarafnya sampai menerangkan gejala yang diteliti serta disusun

secara sistematis. Kebenaran yang dicapai masih bersifat hipotesa. dan 2)

penelitian inferensial, yaitu penelitian yang tarafnya sampai uji coba hipotesis

25
serta temuannya bersifat thesa. Sedangkan menurut filosofinya, penelitian terbagi

atas penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah

penelitian yang diukur secara kuantitatif dengan lambang angka-angka.

Sedangkan penelitian kualitatif adalah penelitian yang disusun berdasarkan gejala

yang timbul dari suatu objek melalui perasaan dan pemahaman mendalam serta

komprehensif sehingga diperoleh makna asli dari persoalan tersebut

(Dwija, 2006: 9).

Di lain pihak, ahli lain mengemukakan bahwa:

Penelitian kualititatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari


informasi yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian, tidak
diwujudkan dalam bentuk angka-angka, melainkan dalam bentuk suatu
penjelasan yang menggambarkan keadaan, proses, peristiwa tertentu.
Sedangkan penelitian kuantitatif adalah penelitian bertujuan untuk
memperoleh relatif ketepatan atau lebih mendekati eksak dan data ini
penyajiannya dalam bentuk angka yang secara sepintas lebih mudah untuk
diketahui mau pun untuk membandingkan satu dengan lainnya (Subagyo,
2004: 94).

Berdasarkan kutipan di atas maka dapat disimpulkan bahwa jenis

penelitian adalah suatu usaha untuk mencari kebenaran informasi yang dapat

digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang terjadi. Dan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena menunjukkan

penggambaran keadaan, proses dan peristiwa tentang bentuk, fungsi, dan makna

Sesayut Pakurenan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar,

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

3.3 Metode Penentuan Subyek Penelitian

Metode subyek penelitian sangat diperlukan dalam rangka untuk

mendapatkan suatu data yang akurat dalam suatu penelitian. Sugiono (2006: 14)
26
mengatakan bahwa: “Subyek penelitian adalah setiap individu yang mendukung

gejala penelitian, dalam pengertian individu termasuk: manusia, hewan, tumbuhan

dan benda-benda organik.” Senada dengan pendapat tersebut Azwar (1997: 34)

menyatakan bahwa: “Subyek penelitian adalah sumber utama data penelitian

yaitu yang memiliki data mengenai variabel yang diteliti.” Sedangkan Subagyo

(1997: 35) mengatakan bahwa: ”Metode penentuan subyek peneletian adalah

golongan metode khusus digunakan dalam rangka menentukan subyek

penyelidikan/tempat yang dilakukan untuk mengadakan penelitian guna

mendapatkan data dan informasi dari sesuatu yang diteliti.”

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dipetik bahwa metode

penentuan subyek penelitian adalah suatu metode/cara khusus yang digunakan

untuk menentukan sumber utama data penelitian baik itu berupa manusia, hewan,

tumbuhan dan benda-benda organik. Dalam penelitian kualitatif, sumber data

berupa manusia disebut informan, informan juga disebut sampel. Ketentuan

pengambilan sampel dalam penelitian harus dipilih berdasarkan kompetensinya

untuk memberikan informasi tepat, benar, akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan. Untuk itu perlu digunakan metode sampling sebagai cara

pengambilan subjek penelitian.

Dalam buku Metologi Research disebutkan bahwa: “Metode Sampling

adalah suatu cara pengambilan subyek penelitian dimana subyek yang akan diteliti

terdiri dari sejumlah individu mewakili jumlah yang lebih besar” (Hadi, 1989: 4).

Sampel dalam jumlah yang lebih besar disebut Populasi. Teknik pengambilan

sampel didasarkan pada teknik-teknik sampling.

Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel, yaitu :

27
(1) Sampling menurut Proporsi (Proportional Sampling) adalah cara
pengambilan sampel didasarkan atas besar kecilnya atau proporsinya
bagian-bagian populasi dari suatu populasi. (2) Sampling menurut lapisan
(Stratified Sampling) adalah pengambilan sampel itu mempertimbangkan
adanya tingkatan-tingkatan atau strata dari suatu populasi. (3) Sampling
menurut tujuan (Purpusive Sampling) adalah cara pengambilan sampel
berdasarkan kepada ciri-ciri atau sifat-sifat suatu populasi yang diketahui.
(4) Sampling menurut jumlah (Quota Sampling) adalah cara pengambilan
sampel yang dilakukan dengan menentukan jumlah atau quota yang
digunakan terlebih dahulu tanpa memperhitungkan adanya populasi.
(Arikunto, 2006: 138-141).

Berdasarkan kutipan di atas maka dapat disimpulkan bahwa metode

penentuan subyek penelitian adalah suatu data yang dicari secara akurat sehingga

metode / cara khusus yang digunakan untuk menentukan sumber utama tersebut

sangat tepat. Merujuk pada sifat-sifat populasi yang telah diketahui, maka dalam

penelitian ini digunakan purpusive sampling dengan memilih para prajuru desa,

pemuka agama dan tokoh masyarakat Desa Adat Umanyar yang dipandang layak

dipakai narasumber dalam artian paham dan mengetahui terhadap masalah yang

diteliti yaitu tentang bentuk, fungsi, dan makna Sesayut Pakurenan dalam

Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar, Kecamatan Bebandem, Kabupaten

Karangasem.

3.4 Metode Pendekatan Subyek Penelitian

Sukardi (2003: 19) mengatakan bahwa: “Metode pendekatan subyek

penelitian adalah suatu cara untuk mengefektifkan kegiatan penelitian di dalam

mencapai tujuan penyelidikan.” Sedangkan Dwija (2006: 39) menyatakan bahwa:

“Metode pendekatan subjek penelitian adalah suatu cara yang khusus digunakan

untuk mengadakan pendekatan terhadap subjek penelitian.” Jenis gejala yang akan

diselidiki atau gejala yang menjadi obyek penelitian sangat tergantung dari
28
pendekatan yang digunakan dalam suatu penelitian. Usman, (1995: 23)

menyatakan bahwa: “Metode pendekatan penelitian adalah suatu cara yang

khusus digunakan untuk mengadakan pendekatan (approach) terhadap subyek

penelitian.” Lebih lanjut Nasution (2003: 47) mengatakan bahwa: “Metode

pendekatan subyek penelitian dilakukan karena gejala yang akan diteliti sifatnya

atau keadaannya berbeda-beda, maka cara pendekatannya juga harus berbeda.”

Ada tiga klasifikasi gejala dalam penelitian, yaitu gejala empiris, gejala buatan

dan gejala yang bersifat khusus. Atas dasar jenis gejala tersebut, terdapat pula tiga

jenis metode pendekatan, yakni:

1. Pendekatan empiris (empirical approach), metode pendekatan semacam ini

digunakan terhadap gejala-gejala yang telah ada secara alami (natural

phenomena).

2. Pendekataan eksperimental (eksperimental approch), metode pendekatan ini

digunakan untuk meneliti gejala buatan yang dirancang meneliti sesuai dengan

kebutuhannya.

3. Metode klinis (clinical method) adalah suatu cara pendekatan terhadap gejala

yang mempunyai sifat-sifat khusus (typical phenomena) (Dwija, 2006: 39-40).

Berdasarkan kutipan di atas maka metode pendekatan subyek penelitian adalah

suatu cara untuk mengefektifkan kegiatan penelitian untuk mengadakan

pendekatan yang khusus diselidiki. Dan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode pendekatan penelitian empiris (empirical approach), karena gejala

yang diteliti sudah ada secara wajar, dengan jalan meneliti bentuk, fungsi, dan

makna Sesayut Pakurenan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar,

29
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Banten ini sudah ada sejak dulu

dan masih eksis sampai sekarang.

3.5 Jenis Data dan Sumber Data

3.5.1 Jenis Data

Ridwan (2004: 20) mengatakan bahwa: “Jenis data meliputi data kuantitaif

yang berupa angka-angka dan data kualitatif yaitu data yang berhubungan dengan

kategorisasi, karakteristik yang berwujud pernyataan atau kata-kata.” Lebih lanjut

Hadi (1997: 66) mengungkapkan bahwa: “Data kualitatif adalah data yang diukur

secara tidak langsung, sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat diukur

dan dihitung secara langsung dan berupa angka-angka.” Selain itu Subagyo (2004:

94) menjelaskan bahwa :

Data kuantitatif digunakan untuk permintaan informasi yang bersifat


menerangkan dalam bentuk uraian, tidak diwujudkan dalam bentuk angka-
angka, melainkan dalam bentuk suatu penjelasan yang menggambarkan
keadaan, proses, peristiwa tertentu. Sedangkan data kuantitatif diperlukan
untuk memperoleh relatif ketepatan atau lebih mendekati eksak dan data
ini penyajiannya dalam bentuk angka yang secara sepintas lebih mudah
untuk diketahui maupun untuk membandingkan satu dengan lainnya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa data kualitatif adalah data yang

diperoleh berdasarkan informasi yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan data

lainnya untuk mendapatkan data valid yang berwujud pernyataan atau berupa

kata-kata. Sedangkan data kuantitatif data yang dapat diukur secara langsung

berupa angka-angka. Jadi penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif.

Data yang dihimpun berupa hal-hal yang berhubungan dengan bentuk, fungsi, dan

makna Sesayut Pakurenan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar,

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

30
3.5.2 Sumber Data

Sumber data merupakan salah satu bagian yang paling vital dalam penelitian.

Kesalahan dalam menggunakan atau memahami sumber data, maka akan

dihasilkan data yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika ditinjau dari

sumber memperoleh data, maka jenis data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data

primer dan data sekunder.

3.5.2.1. Data Primer

Subagyo (2004: 88) mengatakan bahwa: “Data primer adalah data yang

diperoleh secara langsung dari masyarakat baik yang dilakukan melalui

wawancara, observasi dan alat lainya, data primer dapat diperoleh dan digali dari

sumber utamanya (sumber asli) baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif”

(Teguh,2001:122). Dalam buku Metodologi Penelitian juga disebutkan bahwa:

“Data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari

subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran dan pengambilan data

langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari” (Azwar,1997:91).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa data primer adalah data yang

diperoleh langsung dari subjek penelitian, baik data kualitatif maupun kuantitatif.

Dengan demikian data primer merupakan bahan mentah yang masih bersifat

murni dengan tingkat objektivitas yang lebih tinggi, dan siap untuk dianalisa.

3.5.2.2. Data Sekunder

Dalam buku Metodologi Penelitian disebutkan “Data sekunder adalah data

yang diperoleh dari perpustakaan, data ini biasanya digunakan untuk melengkapi

data primer” (Subagyo, 2004: 88). Sedangkan Azwar, (1997: 91), memberikan

pendapat bahwa: “Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain

31
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitinya. Data sekunder

biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang sudah tersedia.”

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat ditegaskan bahwa data sekunder

adalah data pendukung yang diperoleh secara tidak langsung dalam bentuk

dokumentasi, laporan, kutipan-kutipan dari buku, surat kabar, prasati.

Kesimpulannya adalah: dalam penelitian ini data diperoleh dengan menggunakan

dua sumber, yaitu sumber data primer dan skunder. Data primer diperoleh melalui

informasi-informasi secara langsung dari para informan. Sedangkan data skunder

diperoleh melalui literatur-literatur khususnya yang berhubungan dengan bentuk,

fungsi, dan makna Sesayut Pakurenan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat

Umanyar, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Subagyo (1997: 39) mengatakan bahwa: “Metode pengumpulan data

merupakan suatu cara digunakan dalam memperoleh data terkait dengan obyek

penelitian.” Cara atau teknis pengumpulan data sangat menentukan kualitas dan

kevalidan data yang diperoleh dalam suatu penelitian. Apabila teknis penentuan

data memenuhi persyaratan, maka sudah barang tentu data yang didapatkan akan

memiliki kualitas dan kevalidan cukup memadai.

Ada beberapa Metode Pengumpulan Data yang umum digunakan. Dwija

(2006: 41) menyatakan bahwa: “Metode pengumpulan data adalah suatu cara

yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian. Ada enam metode

pengumpulan data yaitu tes, wawancara, observasi, angket, sosiometri dan

32
pencatatan dokumen.” Dalam penelitian ini dipakai metode wawancara, observasi,

dan pencatatan dokumen.

3.6.1 Metode Wawancara

Bungin (2002:133), menjelaskan bahwa: “Metode wawancara atau interview

adalah proses memperoleh keterangan dari responden atau orang yang

diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Pada setiap

wawancara terdapat tiga hal penting yaitu informan, materi wawancara dan

pedoman wawancara.” Hal senada diungkapkan Subagyo (1997: 39) yang

mengatakan bahwa: “Metode wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan

untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan menggungkapkan

pertanyaan pada para responden.”

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wawancara adalah

kegiatan mencari data dengan cara bertanya langsung/lisan pada informan baik

dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan informasi secara aktual/akurat dari narasumber yang memiliki

pengetahuan sesuai dengan pokok permasalahan. Ada pun sumber-sumber yang

diwawancarai berkaitan dengan penelitian ini adalah prajuru adat, tokoh agama,

tokoh masyarakat, dan orang-orang yang dianggap faham tentang bentuk, fungsi,

dan makna Sesayut Pakurenan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat

Umanyar, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

3.6.2 Metode Observasi

Umur (2001: 51) mengatakan bahwa: “Observasi adalah pengamatan

langsung oleh peneliti terhadap obyek penelitiannya.” Sedangkan Subagyo (2004:

33
62) mengatakan bahwa: “Metode observasi adalah suatu cara untuk memperoleh

data dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung.” Senada dengan

pendapat tersebut dikatakan bahwa: “Metode observasi adalah metode

pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dari

pengamatan sistematis atas fenomen-fenomena diteliti secara langsung dan tidak

langsung” (Hadi, 2004: 151).

Berdasarkan orang yang mengadakan observasi, maka dalam proses

observasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

(1) Observasi partisipasi yaitu orang-orang yang melakukan observasi ikut


mengambil bagian dalam situasi yang diteliti. (2) Observasi non partisipasi
yaitu orang yang melakukan obsevasi berada di luar situasi yang diselidiki
atau di luar orang-orang yang diselidiki. (3) Observasi kuali-partisipasi
yaitu obsevasi yang dilakukan hanya terbatas pada beberapa situasi
tertentu saja. Observasi berada di luar situasi dari orang-orang yang
diselidiki. (Narbuko, 2001: 7).

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa observasi yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi, di mana peneliti

melakukan observasi terjun langsung ke lapangan atau ambil bagian dalam obyek

observasi.

3.6.3 Metode Pencatatan Dokumen

Menurut Riyanto (2001:102) mengatakan bahwa: “Dokumentasi berasal

dari kata dokumen yang artiya barang tertulis. Metode dokumentasi berarti cara

mengumpulkan data dengan cara mencatat data-data yang sudah ada.” Sedangkan

Arikunto (1986:187) mengatakan bahwa: “Metode pencatatan dokumen atau

dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan

buku, surat kabar, majalah, prasasti dan sebagainya.”

34
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa metode pencatatan

dokumen adalah suatu cara memperoleh data dengan jalan mengumpulkan

dokumen-dokumen yang ada. Di dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud

adalah mengambil data dengan mencatat segala macam literatur, buku, awig-awig,

serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan bentuk, fungsi, dan

makna Sesayut Pakurenan dalam Upacara Perkawinan di Desa Adat Umanyar,

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.

3.7 Analisis Data

Analisis data merupakan bagian pokok dari sebuah penelitian. Setelah

terkumpul, maka data dianalisis dengan menggunakan metode tertentu. Metode

analisis data adalah serangkaian kegiatan penyusunan atau pengkategorian data

yang telah terkumpul dari berbagai sumber menjadi seperangkat informasi atau

hasil penyajian baik itu dalam temuan-temuan untuk membuktikan dan menguji

hipotesis (Gorda, 1997: 86).

Penyajian hasil analisis adalah kegiatan akhir sebuah penelitian untuk

memformulasikan seluruh data dan informasi yang diperoleh, sehingga simpulan

penelitian dapat dilakukan. Pada tahap ini data diolah sedemikian rupa sampai

menjawab permasalahan dalam penelitian.

”Secara garis besarnya ada dua metode analisis dalam mengolah data

penelitian, yakni: analisis statistik dan analisis non statistik” (Riyanto, 2001: 105).

35
3.7.1 Analisis Statistik

Analisis statistik adalah pengolahan data dengan menggunakan

penghitungan secara statistik. Metode analisis statistik terdiri atas dua jenis, yaitu:

statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif adalah proses

analisa data melalui pemberian gambaran terhadap gejala-gejala penelitian dengan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertuang dalam rumusan masalah dengan

tidak dimaksudkan untuk membuat kesimpulan umum. Sedangkan statistik

inferensial adalah proses analisa data sampel dan hasilnya akan digeneralisasikan

untuk populasi di mana sampel diambil (Sudarsana, 2011: 3).

3.7.2 Analisis Non Statistik

Metode analisis data non statistik sering disebut metode pengolahan data

secara deskriptif. Narbuko (2001: 44) mengatakan bahwa: “Metode deskriptif

adalah suatu cara pengolahan data penelitian berdasarkan penyusunan data-data

secara sistematis dam faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi.”

Senada dengan pendapat tersebut, Hadi (2007: 50) mengatakan bahwa: “Metode

deskriptif adalah suatu metode pengolahan data dilakukan dengan jalan menyusun

secara sistematis sehinga memperoleh suatu kesimpulan umum.”

Menurut buku Metode Penelitian dijelaskan aturan atau teknik yang

dipergunakan dalam metode deskriptif adalah:

1). Teknik induksi, kita terlebih dahulu akan mengemukakan fakta-fakta


yang berlaku khusus atas dasar ini ditarik kesimpulan, 2). Teknik
argumentasi, kita memberikan komentar-komentar atau alasan-alasan
pada setiap kita menarik suatu kesimpulan, 3). Teknik spekulasi, kita
semata-mata mempergunakan ketajaman rasio tau akal pada setiap kita
menarik suatu kesimpulan (Azwar, 1997: 99 -100).

36
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa metode deskriptif

adalah metode pengolahan data dengan menyusun fakta-fakta yang mana dalam

penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif dengan teknik induksi dan

argumentasi untuk memperoleh suatu kesimpulan umum.

37
DAFTAR PUSTAKA

Artandi, I Ketut. 2000. Asumsi-Asumsi Dasar Kebudayaan. Denpasar: Sinay.

Atmaja, Ida Bagus Oka Punya. 2001. Upadesa. Denpasar: Upada Sastra.

Azwar, S.1997. Metode penelitian. Jakarta: Pustaka Belajar.

Bantas. 1994. Bhagawadgita. Surabaya: Paramitha.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali


Press.

______. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Raja Grapindo


Persada.

Dunia, 2008. Pengertian Sesayut. Denpasar : Paramitha

Dwija, I Wayan. 2006. Metodologi Penelitian Pendidikan (Bahan Ajar). Sekolah


Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura.

Gorda, I Gusti Ngurah. 1997. Metode Ilmu Pengetahuan Sosial Ekonomi.


Denpasar: Widya Kriya Gauttama

Hadi, Sutrisno. 1989. Metodologi Reserch. Yogyakarta: Penerbit Andi.

______. 1997. Statistik 11. Yogyakarta: YDEP UGM.

______.2004, Metologi Research. Yogyakarta: Penerbit Andi.

______. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme
Hingga Postrukturalisme Persfektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

http://www.infoskripsi.com/Resource/Jenis-jenis-Penelitian-Ilmiah.html

Idrus. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

Kamiartha. 2002. Sesayut. Denpasar : Yayasan Dharma

Karmini, Ni Wayan, dkk. 2002. Agama Hindu Untuk SMU. Bandung: Ganeca.

Koentjaraningrat. 1996. Pengertian Fungsi. Jakarta: Bumi Aksara

Mardalis. 2006. Pengertian Penelitian. Jakarta: Raja Grapindo Persada


38
Narbuko, 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito

Penyusun, 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Penyusun, Tim. 1997. Panca Yadnya. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan
Prasarana Kehidupan Beragama.

______. 2001. Kamus Besar Edisi Tiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Poerwadarminta,W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Pudja, Gde. 1985. Saracamuscaya. Surabaya: Paramitha.

______ . 1999 . Bhagawadgita ( Pancama Weda ). Jakarta: Hanoman


Sakti.

Purwita. 1992. Upacara Potong Gigi. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I


Bali.

Putra, Ny. I Gusti Mas Agung. 1982. Yadnya dan Permasalahannya. Denpasar:
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

______. 1998. Catur Yadnya. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

______. 2000. Werhaspati Tatwa. Surabaya : Parwita.

Ratna, Nyoman Kuta. 2006. Teori, Metode dan Tekhnik Penelitian.Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Ridwan, 2004. Belajar Mudah Peneliti Untuk Guru-Karyawan dan Peneliti


Pemula. Bandung: Alfabeta.

Riyanto. 2001. Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta :


Rineka Cipta.

Seken, I Ketut. 2007. Modul Mata Kuliah Acara Agama Hindu. Amlapura: STKIP
Agama Hindu Amlapura.

Subagyo, P. J. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

______. 2004. Metode penelitian dalam teori dan praktek, Jakarta: Rineka Cipta

39
Subandi, I Wayan. 2006. Rekonstruksi Makna Perayaan Saraswati dalam
Perspektif Pendidikan Keberagamaan Umat Hindu di Desa Pakraman
Cempaga dan Sidembunul Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli. IHDN
Denpasar.

Sudarsana, 1998. Pengertian Sesayut. Denpasar . Paramitha

Sudarsana, I Komang Gede. 2011. Statistik Inferensial (Bahan Ajar). Sekolah


Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian . Jakarta : Bumi Aksara .

Sunarto, dkk. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Manusa Yadnya. Surabaya: Penerbit Paramitha.

______. 2005. Melangkah Kepersiapan Upakara Upacara Yadnya. Surabaya:


Penerbit Paramitha.

Surpha, I Wayan. 2002. Seputar Desa Pakraman dan Adat di Bali. Surabaya:
Paramitha.

Teguh. 2001. Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grapindo
Persada

Usman, H.1996. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara

Watra, I Wayan. 2006. Filsafat Manusia dalam Perspektif Hindu. Surabaya:


Penerbit Paramitha.

Wiana, 1997. Tattwa. Surabaya: Paramitha

Wiana, 2004. Mengapa Bali Disebut Bali. Surabaya: Paramitha.

______. 1997. Beragama Bukan Hanya di Pura. Denpasar: Yayasan Dharma


Naradha.

Wijayananda, Mpu Jaya. 2003. Tetandingan Lan Sorohan Bebanten. Surabaya:


Paramitha.

40

Anda mungkin juga menyukai