Anda di halaman 1dari 127



Kata Pengantar

ampai saat ini, masih banyak umat Hindu


yang belum jelas benar, apakah mereka
datang ke sebuah pura memuja Bethara,
Dewa-Dewa atau Hyang Widhi. Mereka bahkan
tak ambil pusing dan tak peduli. Mereka hanya
tahu, misalnya, datang bersembahyang ke pura
untuk piodalan. Tapi siapa yang piodalan di sana?
Ida Bethara yang mana? Atau bukan Ida Bethara,
tetapi Istadewata, tapi Istadewata yang mana?
Seperti diketahui, ajaran Hindu memang menyebutkan, bahwa umat Hindu selain memuja Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Widhi), juga memuja
leluhur. Leluhur itu ada yang bersifat umum
artinya orang-orang tua di masa lalu yang sangat berjasa, bisa berarti pula kawitan, yakni yang
langsung punya hubungan darah secara vertikal.
Leluhur ini dalam ajaran Hindu menyatu dengan
Tuhan.


Dalam memuja Tuhan pun umat Hindu tak harus langsung kepada Tuhan itu sendiri (dalam hal
ini disebut Brahman), tetapi bisa melewati Istadewata, yakni para dewa yang merupakan sinar sakti
dari Brahman. Nah, siapa Istadewata yang dipuja
pada hari-hari tertentu dan tempat tertentu itu,
sebaiknya dipahami lebih dahulu agar persembahyangan menjadi khusuk dan tepat sasaran.
Buku ini dimaksudkan untuk itu, mengenal
Bethara (leluhur), Hyang Widhi dan Istadewata
dengan tempat-tempat pemujaannya dan caranya
memuja. Karena itu buku ini pun dilengkapi dengan Puja Stawa kepada Bethara, Tuhan dan Para
Dewa. Tentu saja puja yang terbatas, karena buku
ini ditujukan kepada masyarakat umum -- meski
pun sebagai pelengkap disajikan juga Gagelaran
Pemangku.
Semoga buku ini bermanfaat adanya.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Pasraman Dharmasastra Manikgeni
Akhir November 2010

Bersembahyang
ke Pura Leluhur

ersembahyang bisa di mana saja. Di kamar


bisa, di ruang tamu dengan menggelar
tikar. juga bisa. Di ruang kelas pun bisa,
apalagi bagi pelajar. Bersembahyang di kamar kerja,
bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga
sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti
di Jakarta.
Dulu, ketika saya masih menjadi wartawan dan
berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa
bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada
suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi,
saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran
pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk


mencapai suasana religius.


Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal
jangan di perempatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa umat Hindu mengunjungi pura?
Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri
kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa
Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis
Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur,
umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit.
Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat
Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun
Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu
memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada
Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke
Pura Sakenan pada hari Kuningan?
Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikun
jungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masya
rakat tradisional adalah pura itu tempat tinggal
Sesuhunan (sebutan untuk para Dewa di pedesaan
Bali), stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Namun umat tak banyak yang mengetahui dan bisa
memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang


Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura


untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan
teliti apakah persembahyangan itu di depan meru,
balai gedong, atau padmasana. Sembahyang untuk
memuja Tuhan, begitu umumnya orang berkata.
Bagi orang yang berpikir sederhana seperti ini,
bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura
Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya sama
saja, yakni memuja Tuhan. Padahal sesungguhnya
beda, tergantung pura itu sendiri. Kalau setiap
persembahyangan memuja Tuhan, untuk apa mencari pura yang begitu jauh dan penuh rintangan,
bukankah Tuhan ada di mana-mana, bahkan para
spiritual sering menyebutkan Tuhan ada dalam
diri sendiri.
Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula,
saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi
pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara
yang dikehendaki oleh para leluhur kita, karena
yang kita puja di sana adalah leluhur kita. Yang
dikehendaki itu adalah pikiran kita sudah dibawa
ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa


maksudnya?
Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian
oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di
tempat-tempat di mana orang harus melakukan
perjalanan penuh rintangan sebelum sampai
ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang asli
di Desa Songan), sebagaimana namanya, berada
di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai
dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun
di puncak gunung, di mana orang harus datang
ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing
curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan
umat yang datang harus naik perahu atau berjalan
kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air
laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang
yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala
bisa pasang.
Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu
itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat
pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan men

ganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan pura


moderen yang kini banyak dibangun seperti Pura
Jagatnatha?
Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat
yang datang menyadari adanya rintangan dalam
perjalanan itu. Dengan adanya rintangan itu, umat
sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya
kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah
menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. Rintangan itu tak lain adalah cara tak
langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi,
sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis
sudah terfokus dan persembahyangan langsung
bisa dimulai.
Sayang sekali, sekarang rintangan itu sudah
dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada, sudah
menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil
dan motor, menderu-deru sampai depan pura.
Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau
mengumpat karena mobilnya keserempet, atau
ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak


menangis minta mainan dan ibunya membentak


terus karena tak punya uang. Suasana ngedumel
dan tangisan dibawa langsung masuk pura.
Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di
jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang
oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel,
setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal
dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih
naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan
berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada
ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk
doa dibawa ke jeroan pura. Kita melakukan japa
dan samadhi ketika dalam perjalanan naik jukung,
sampai suasana itu kita bawa masuk ke pura. Luar
biasa indahnya.
Sekarang rintangan itu sudah dihilangkan oleh
manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di
mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan
Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu bertengkar
dengan tukang parkir, atau mengumpat karena


mobilnya keserempet, atau ngedumel karena


parkirnya susah, dan langsung masuk pura. Pikiran
apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan
pura, dan langsung dituntun bersembahyang? Pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih
ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening.
Padahal dulu, ketika saya sekeluarga pergi ke Pura
Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti
terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai
di tujuan.
Ketika saya masih walaka (sebelum menjadi
Pandita Mpu), saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana
di Gelgel pas di hari Pemacekan Agung, puncak
piodalan. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya
kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong
dari belakang, istri saya yang melindungi anak
saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang
menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah,
lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan?
Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong.
Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab,
10

apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih


dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat
sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah
pikiran tenang baru masuk ke jeroan.
Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar
Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis
tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara
pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di
setiap pura kalau ada pujawali besar.Termasuk Pura
Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura
sudah semakin sempit karena ledakan penduduk.
Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk
bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi
paling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu
dalam posisi grasa-grusu (tergesa-gesa dengan
cara sembrono).
Namun, di luar kesulitan dan keruwetan itu,
sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang
paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu.
11

Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura


itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau.
Pura besar di Bali, apakah Pura Besakih atau Pura
Lempuyang Madya semuanya punya sejarah, dan
ini harus diketahui umat. Sejarah pura ini dimulai
pembangunan phisiknya sampai pada siapa leluhur
yang dipuja di sana. Kalau tidak, akan muncul
generasi anak mula keto jilid dua: generasi yang
tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan
agamanya sendiri.
Tantangan bagi kita semua untuk menerbitkan
buku sejarah tentang pura, tentu termasuk di
dalamnya tentang ketokohan Rsi Agung kita yang
pernah berstana di pura itu, yang kini kita puja.
Karena dengan cara itulah kita menjadi tahu, apa
bedanya bersembahyang di kamar dengan bersembahyang jauh-jauh ke atas bukit di Pura Lempuyang
Madya, misalnya. Sebagai umat Hindu kita memang memuja Tuhan (Hyang Widhi), tapi kita juga
memuja leluhur, dan keduanya berbeda.
Apa perbedaan itu mari kita simak dalam tulisan
selanjutnya.
12

Memuja Leluhur
Yang Mana?

gama Hindu memberi kesempatan yang


seluas-luasnya untuk memuja leluhur.
Hormat kepada leluhur adalah hormat
kepada kawitan, hormat kepada orang yang telah
melahirkan kita, melahirkan ayah dan ibu kita,
melahirkan nenek dan kakek kita.
Meski demikian dalam Bhagawadgita ada sloka
yang menyebutkan, kalau kita memuja leluhur
maka kita akan sampai ke alam leluhur, kalau kita
memuja dewa akan menuju ke alam dewa, tetapi
jika kita memuja Hyang Widhi maka kita akan
menuju ke pada-Nya. Sloka ini menyiratkan bahwa
pemujaan kepada leluhur beda dengan pemujaan
kepada Istadewata dan berbeda pula dengan pemu13

jaan kepada HyangWidhi. Perbedaan ini dipraktekkan nyata di luar Bali.


Di Bali budaya lokal begitu kuat. Pemujaan
kepada leluhur menjadi sangat dominan bahkan
umat Hindu di Bali terutama di masa lalu lebih
banyak memuja leluhur ketimbang memuja Hyang
Widhi. Hanya belakangan setelah ritual keagamaan
ditata dengan mendekatkan pada sastra agama,
pemujaan kepada Hyang Widhi juga mendapatkan
porsi penting. Caranya dengan menggabungkan
rangkaian pemujaan itu.
Kalau kita mau kritis, cobalah dipertanyakan.
Untuk memuja siapa kita datang bersusah payah
ke Pura Dalem Sakenan? Memuja Tuhan atau
memuja leluhur kita, Danghyang Nirartha, yang
mewariskan pura itu? Untuk memuja siapa kita
datang ke Pura Silayuksi, memuja Hyang Widhi
atau memuja Mpu Kuturan? Pertanyaan ini bisa
diteruskan dengan mengacu ke banyak pura. Pasti
orang Bali akan bingung menjawabnya. Kalau dijawab memuja Tuhan, kenapa harus jauh? Di rumah
juga bisa. Kalau dijawab memuja leluhur, salah14

salah menjelaskan, rasanya belum memeluk agama,


masih seperti sebelum 1959 di mana Hindu Bali
disebut kepercayaan.
Bagi yang paham perbedaan antara memuja leluhur dan Hyang Widhi, juga punya sikap berbeda
tentang siapa yang dipuja lebih dulu. Contoh bagus
menjelaskan hal ini adalah di Pura Besakih. Ada
orang yang datang langsung ke Padma Tiga (simbol
pemujaan kepada Tri Murthi atau Hyang Widhi),
setelah itu baru menuju Pura Pedharman untuk
memuja kawitannya. Alasannya adalah Tuhan yang
paling utama disembah, jangan yang lain. Tapi ada
orang yang menuju Pura Pedharman lebih dulu,
baru ke Padma Tiga. Alasannya, kita berbakti dulu
kepada kawitan dan meminta restu Beliau sebelum
memuja Hyang Widhi di Padma Tiga. Keduanya
tidak bisa diperdebatkan karena kedua alasan ini
ada rujukannya.
Nah, persoalan yang tajam di Bali dan perkem
bangannya sangat mengkhawatirkan adalah tentang
siapa leluhur yang kita puja. Banyak orang Bali yang
belakangan ini bingung lalu mencari-cari kawitan15

nya. Kebingungan yang sesungguhnya dibuat-buat,


karena sebelumnya mereka sudah tenang dengan
kawitan yang mereka puja itu. Namun karena ada
masalah, entah ada keluarganya yang sakit atau
apa, lalu mereka menemui orang pintar (balian)
dan di sana bertanya siapa kawitannya. Ini masalah keyakinan, tak bisa diperdebatkan memakai
rujukan kitab suci, sastra agama, atau globalisasi.
Ketika balian menyebutkan kawitan yang mereka
puja selama ini salah, dan harusnya memuja kawitan yang lain, keluarga itu pun menyempal dengan
keluarga besarnya. Jika tak ada kesepakatan maka
keretakan keluarga muncul dari sini. Banyak kasus
begini di Bali.
Belum lagi persaingan antar soroh (klan) yang
sesungguhnya bermuara kepada leluhur mana yang
dipuja. Leluhur orang Bali itu sesungguhnya satu,
ini ucapan yang sering dilontarkan Pedanda Gede
Puniatmaja ketika masih walaka (Ida Bagus Oka
Puniatmaja). Leluhur yang satu itu menurunkan
banyak orang. Lalu orang Bali mencari-cari leluhurnya yang pas untuk dirinya sendiri dengan
berhenti pada satu nama (orang) leluhur.
16

Misalnya, ada leluhur bernama Arya Putih bersaudara dengan Arya Hitam. Lalu sejumlah orang
di masa lalu mengaku, kami keturunan Arya Putih
(ini hanya umpama, tak ada Arya Putih) dan ber
dasarkan babad, Arya Putih adalah pendeta, maka
keturunan kami semuanya wangsa brahmana.
Kamu keturunan Arya Hitam (juga umpama saja),
menurut babad Arya Hitam selama hidupnya tidak
melakukan dwijati, maka keturunannya bukan
brahmana. Kemudian Arya Hitam dan Arya Putih
punya anak, punya cucu, yang keahliannya berbeda-beda.
Orang Bali masa kini lalu mematut-matutkan leluhur hanya pada seorang nama, entah itu Arya Hitam, Arya Putih, anak-anaknya, atau cucu-cucunya.
Bukan leluhur pada satu kesatuan. Maka muncullah
banyak wangsa atau soroh. Banyak pura kawitan
dibangun. Fanatisme buta pada soroh membuat
orang Bali pecah, yang merasa tinggi tak mau
mebanjar jika ketua banjar dianggapnya rendah.
Padahal siapa yang lebih tinggi dan lebih rendah,
bukankah Arya Hitam dan Arya Putih termasuk
anak dan cucunya, datang dari satu kawitan?
17

Konsep pemujaan leluhur dalam sastra Hindu


adalah satu kesatuan, yang dipuja leluhur yang sudah meninggal dunia dan amoring achintya (istilah
umumnya sudah diaben). Dari yang paling rendah
(ibu dan ayah) sampai pada kawitan yang paling
luhur (utama), tanpa disekat-sekat nama. Karena
itu dalam rong dua atau rong tiga, kita menstanakan
leluhur dengan sebutan purusa dan pradana, laki
dan perempuan, bukan menyebut Men Lanying,
Pekak Mokoh atau nama lain. Tidak ada lagi stana
untuk nenek, kumpi, buyut, arya ini, arya itu,
mpu ini, mpu itu, danghyang ini, danghyang itu.
Semuanya adalah leluhur. Pemujaan leluhur atau
bhakti kepada kawitan intinya adalah persaudaraan
dan kekerabatan. Semua manusia bersaudara, Bhaga
wadgita menyebutkan: Lokasamgraham eva pi.

18

Di mana Memuja
Bethara, Hyang Widhi
dan Dewa-dewa

iapakah leluhur yang kita puja itu? Itulah


yang oleh orang awam di Bali disebut dengan Bethara. Jadi, yang disebut Bethara itu,
dulunya adalah manusia biasa. Bukan Dewa, bukan
pula Hyang Widhi atau Tuhan yang Maha Esa. Hanya saja, sebutan kepada Bethara biasanya diberikan
kepada orang-orang yang di masa lalu mempunyai
tingkat kerohanian yang tinggi. Mereka adalah para
penyebar agama Hindu, para pandita, mpu, wiku,
dan berbagai sebutan lainnya. Sampai saat ini pun
jika ada Sulinggih (wiku atau pandita) yang wafat,
setelah upacara pitra yadnya dilakukan sebutannya
adalah Bethara. Adapun orang-orang biasa, sebutannya adalah Hyang Pitara.
19

Para leluhur yang sudah menjadi Bethara inilah


yang kita puja di berbagai pura yang ada. Pura
Silayukti adalah tempat memuja leluhur kita yang
bernama Mpu Kuturan. Pura Dalem Dasar Gelgel tempat memuja Bethara Gana, karena beliau
bernama Mpu Gana. Di Pura Lempuyang Madya
tempat memuja Bethara Gni Jaya, karena dulunya
beliau adalah Mpu Gni Jaya. Di Pura Pedharman
Pasek Besakih, kita memuja Bethara Semeru yang
juga sering disebut Bethara Ratu Pasek. Dulunya
beliau adalah Mpu Semeru. Di Pura Sakenan,
Uluwatu, Rambut Siwi, Pulaki, Tanah Lot adalah
pura-pura untuk pemujaan Bethara Sakti Wawu
Rauh alias Danghyang Nirartha, karena ini bekas
peninggalan Beliau.
Itu adalah contoh pura yang besar, termasuk
yang oleh warga Pasek disebut Catur Parhyangan
(Besakih, Gelgel, Silayukti dan Lempurang Madya).
Di pedesaan tentu masih ada puluhan pura untuk
pemujaan leluhur. Umumnya, mereka tidak dikenal
secara persis siapa nama beliau, bagaimana kisah
kehadirannya di sana, dari mana asal-usulnya. Satu
contoh misalnya Pura Manikgeni yang terletak di
20

Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan. Tak dikenal


dengan pasti, siapa tokoh yang berstana di sana,
namun diyakini bahwa Beliau adalah seorang dukuh
yang sakti dan pernah menjadi penasehat Kerajaan
Gelgel. Secara remang-remang disebutkan, Beliau
pernah ikut memimpin penyerangan ke Lombok
(tidak jelas tahunnya dan masa pemerintahan siapa),
dan sepulang dari Lombok, kerajaan memberikan
kenang-kenangan berupa kentongan besi. Sampai
sekarang kentongan besi itu dilestarikan dan menjadi salah satu pratima di Pura Manikgeni.
Dukuh ini diperkirakan membangun pesraman
di lokasi tempat Pura Manikgeni yang sekarang,
dan beliau kini dipuja mungkin supaya lebih
mudah menyebutkan dengan sebutan Ki Dukuh
Sakti. Piodalan pura ini berlangsung setiap Tumpek
Landep.
Masih di Desa Pujungan, ada pura yang bernama
Pura Manikterus. Di sini pun konon di masa lalu,
berdiam seorang pendeta yang sangat dikagumi
dengan mengayomi masyarakat etnis Cina. Setiap
odalan di sana selalu ada orang kerauhan dengan
21

menggunakan bahasa Cina, meski tapakan itu tak


pernah kesehariannya berbahasa Cina. Yang unik,
di Desa Pujungan tak boleh sebenarnya tak ada
yang melarang ada orang Cina yang menetap
sebagai penduduk. Masyarakat keturunan Cina
tinggal di Pupuan dan Pempatan, dua desa tetangga
Pujungan.
Sudah disinggung tadi, karena itu adalah leluhur
yang dulunya manusia biasa tetapi orang suci
dalam setiap piodalan umumnya mereka turun
mencari seorang tapakan atau dasaran. Ini masuk
akal, karena Bethara itu bukan Dewa dan bukan
HyangWidhi, jadi bisa saja rohnya memasuki badan
kasar seseorang untuk menyampaikan sesuatu.
Bahwa ada yang percaya atau tidak dengan kejadian
seperti ini, tergantung masing-masing orang dan
desa, kala, patra.
Yang jelas, kalau statusnya Dewa atau Hyang
Widhi tak mungkin turun dan mengambil badan
orang yang disebut kerauhan itu.Tak mungkin ada
orang kerauhan Dewa dan Hyang Widhi. Kitab
suci menyebutkan, kalau Hyang Widhi atau Tuhan
22

itu turun ke bumi, itu karena terjadi sesuatu yang


luar biasa untuk menyelamatkan umat manusia,
dan sebutannya adalah Awatara (avatar).
Lalu, siapa Tuhan itu? Dan di mana kita memuja
Tuhan? Kitab Brahmasutra I.I.2 menyebutkan: Janmadyasya yatah, Tuhan adalah dari mana asal mula
semuanya. Jadi,Tuhan adalah asal atau sumber dari
seluruh alam semesta beserta isinya.
Tuhan adalah nama dalam bahasa Indonesia.
Dalam Weda tak ada kata Tuhan.Yang ada Brahman.
Ekam evadvityam Brahman, arti bebasnya: Hanya ada
satu Tuhan, yakni Brahman.Tuhan juga disebut Sat
(kebenaran yang mutlak). Misalnya, Ekam sat viprah bahudah vadanti, artinya: ada satu hakekat Yang
Maha Kuasa (yang disebut) Sat, para arif bijaksana
menyebut dengan berbagai nama.
Kata Hyang Widhi yang digunakan untuk penyebutan Tuhan di Bali berasal dari kata Vidhi
yang ditemukan dalam berbagai purana. Vidhi
artinya pencipta. Hyang Widhi berarti Dia Sang
Pencipta.
23

Tuhan tidak berwujud, tidak berjenis kelamin,


memenuhi seluruh alam semesta. Tuhan ada di
mana-mana, tak ada satu tempat pun di bawah
kolong langit ini yang tidak dihuni oleh Tuhan.
Mantram Gayatri yang merupakan ibu segala mantram diawali dengan Om bhur bhwah swah. Artinya
Tuhan yang memenuhi alam bawah atau jagat raya
ini (bhur), yang memenuhi alam tengah (bhwah) ,
dan memenuhi alam atas atau angkasa (swah), Maha
Agung Tuhan, Maha Besar Tuhan.
Kalau kita tahu Tuhan ada di mana saja dan ada
di setiap saat, kita bisa memuja Tuhan kapan saja,
tak peduli apakah hari itu rerahinan atau tidak,
purnama atau tilem, Senin atau Kamis. Kita bisa
memuja Tuhan di sembarang tempat, di kamar tidur, di ruang tamu, di kantor. Kita bisa melakukan
Trisandya di manapun kita mau, sepanjang tempat
itu memberikan pada kita suatu keheningan untuk
mendapatkan konsentrasi pikiran.
Memuja Tuhan juga tak perlu dengan doa yang
panjang, kalau memang waktu dan situasi tak men24

gizinkan untuk itu. Kita bisa memuja Tuhan dengan


doa Gayatri saja, ini doa bait pertama Puja Trisandhya yang sudah dijadikan doa wajib umat Hindu.
Atau doa lebih pendek lagi bahkan di dalam hati
dengan berjapa; Om nama siwa ya
Kalau begitu mudahnya memuja Tuhan, lalu
untuk apa membangun pura? Pura yang khusus
memuja Tuhan cirinya adalah pura yang memiliki
Padmasana dengan segala tingkatannya. Pura
seperti ini sering disebut pura umum atau istilah
kerennya Pura Jagatnatha. Yang berstana di sini
sungguh-sungguh Tuhan adanya, bukan Bethara,
misalnya. Lalu untuk apa lagi Tuhan distanakan? Tak
ada lain adalah untuk menguatkan konsentrasi kita
agar lebih dekat dengan Tuhan. Bahkan tak cukup
di situ, masih juga diperlukan sarana penguatan
konsentrasi lainnya, seperti pratima, baik pratima
berupa patung maupun lainnya. Jadi kita tidak menyembah patung (dan sering oleh orang lain yang
tak senang Hindu disebut menyembah berhala),
semuanya itu adalah alat atau sarana saja.
Lalu fungsi pura bukan sekedar alat konsen
25

trasi saja, tetapi juga sarana untuk sosialisai umat,


tempat umat saling bergaul dan saling berkenalan,
tempat umat mendapatkan pencerahan. Namun
yang perlu diperhatikan adalah tidak semua pura
itu tempat memuja Tuhan, karena banyak pura yang
berfungsi memuja leluhur yang disebut Bethara. Ini
yang harus dipahami oleh umat Hindu.
Yang menjadi masalah kemudian adalah memuja
Tuhan dirasakan oleh sebagian umat sebagai sesuatu
yang sangat luas atau sangat umum atau bahasa sekarang sangat general. Padahal umat membutuhkan
hal yang lebih spesifik, misalnya, ingin memuja Tuhan hanya sebatas untuk memohon perlindungan,
ingin memuja Tuhan sebatas untuk memuliakan
ilmu pengetahuan. Masih banyak contoh lain yang
merupakan keinginan yang terbatas itu.
Nah, semua itu dalam konsep Hindu terwadahi dengan adanya Dewa-dewa atau dalam istilah
Weda disebut Istadewata. Jadi, siapa Dewa itu dan
bagaimana umat Hindu memuja para Dewa?
Dewa berasal dari kata div yang berarti sinar.
26

Jadi, dewa itu adalah sinar kekuatan sakti dari


Tuhan Yang Maha Esa. Kalau kita ibaratkan Tuhan
sebagai sinar matahari, maka sinar matahari yang
beragam fungsi itu adalah para dewa. Kita memuja
atau mencari sinar ultra fiolet, misalnya, atau berjemur mencari vitamin D, misalnya, tak lain adalah
memuja dan mencari Tuhan itu sendiri. Sinar
itu timbul karena ada (kekuatan) matahari. Kalau
matahari tak ada sinar itu pun tak ada. Artinya,
memuja dewa adalah juga memuja Tuhan, tetapi
memuja Tuhan belum tentu memuja dewa seperti
yang kita inginkan di dalam permohonan. Dewa
diciptakan karena Tuhan ada, kalau Tuhan tak ada,
maka dewa pun tak akan ada begitu berpikir yang
sederhana.
Lalu, kalau dewa adalah sinar sakti dari Tuhan,
kenapa dewa diberi nama? Kenapa tidak disebut
Tuhan saja? Tentu saja hal ini akan membuat rancu
jika penamaan fungsional itu tidak ada. Di sinilah
kebesaran ajaran Hindu yang menjangkau pikiran
jauh ke masa depan. Dewa diberi nama untuk
menjelaskan apa fungsi dan apa tugas dari sinar
sakti itu.
27

Dalam menyebut nama, sungguh begitu banyaknya nama dewa. Ada ribuan nama dewa, karena
semua isi semesta ini pada hahekatnya dikuasai
oleh dewa bukankah sinar matahari tak pernah
pilih kasih dalam membagikan kekuatan sinarnya?
Di Bali, Istadewata itu dikelompokkan untuk
memudahkan umat menghayatinya. Misalnya ada
Tri Murti, terdiri dari Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa
Siwa sebagai pemralina mengembalikan ke asal
usulnya. Trimurti ini kemudian terkelompok lagi
ke dalam Dewa Nawa Sanga yang mengisi delapan
penjuru angin dengan Siwa sebagai penguasa yang
ada di tengah-tengahnya. Ke Sembilan Dewa Nawa
Sanga itu juga memiliki pasangan yang disebut sakti
(orang awam di Bali menyebut istri, ini salah, lebih
tepat ardhanareswari). Misalnya, Dewa Brahma
saktinya Dewi Saraswati, Dewa Wisnu saktinya
Dewi Sri, Dewa Siwa saktinya Sada Siwa, Dewi
Durga dan sebagainya.
Di luar kelompok itu masih banyak para dewa
maupun para dewi. Nah, di mana para dewa ini
dipuja? Ada pura khusus yang menjadi sarana
28

untuk memuja para dewa dan dewi itu. Trimurti


dipuja di Tri Kahyangan. Pura Desa memuja Dewa
Brahma, Pura Puseh memuja Dewa Wisnu, Pura
Dalem memuja Dewa Siwa. Tentu dengan segala
sakti-nya. Jadi, tak bisa dicampur aduk. Kalau kita
bersembahyang ke Pura Dalem, jangan memuja
Dewa Brahma di sana, demikian pula sebaliknya.
Kalau kita sembahyang ke laut, sebut saja pada
saat melasti atau menghanyutkan segala kekotoran
ritual, pujalah Dewa Baruna, jangan memuja Dewi
Laksmi, misalnya. Kalau kita sedang mempelajari
Weda atau melakukan pewintenan yang pada hahekatkan menurunkan ilmu pengetahuan, pujalah
Dewi Saraswati, bukan Dewi Durga, misalnya.
Di Pura Prajapati tentu memuja Dewa Prajapati,
bukan memuja Dewa Wisnu.
Dengan demikian, umat Hindu penting untuk
mengetahui sebelumnya, ke pura mana melakukan
persembahyangan sehingga tahu dewa mana yang
akan dipuja, dan apa mantramnya.
Karena itu harus dipahami dulu apa jenis pura
yang dikunjungi. Dalam prakteknya yang ada di
29

Indonesia khususnya di Bali (jika berbicara di India


akan lain lagi masalahnya), jenis pura itu dikelompokkan menjadi empat kelompok.
Pertama, Pura Kawitan. Pemujaan yang dilakukan di sini adalah memuja leluhur yang menjadi
kawitan seseorang. Pura ini dipuja oleh umat yang
berada dalam satu garis keturunan, semakin besar
garis keturunan itu diambil, semakin besar fungsi
pura itu. Pura ini biasa disebut dimulai dari
paling kecil sanggah/merajan kemulan, pura
panti, pura dadia, pura pedharman, pura kawitan.
Sanggah atau merajan kemulan (di beberapa tempat
disebut sanggah pekomelan), dipuja oleh keluarga
yang satu kakek-nenek, bahkan belakangan pura
jenis ini banyak lagi dipecah-pecah tergantung
kemampuan membuat pura dan tempat domisili,
mungkin keluarga itu sudah berjauhan. Orangorang yang tak ada hubungan dengan garis kakeknenek itu, tak akan memuja ke sana.
Kemudian Pura Panti dan Pura Dadia adalah
gabungan dari garis keturunan yang berbeda kakek-neneknya. Di atas Pura Dadia juga ada Pura
30

Dadia Agung, namun tak semua soroh/klan umat


Hindu di Bali memiliki Dadia Agung.
Lalu Pura Pedharman dipuja oleh satu garis
keturunan atau kawitan. Misalnya, warga Pasek
yang tergabung dalam Mahagotra Pasek Sanak
Sapta Rsi memiliki Pura Pedharman di Besakih yang
disebut Pura Catur Lawa Ratu Pasek. Warga lain
juga banyak memiliki Pura Pedharman di Besakih,
ada 13 pura Pedharman di komplek Pura Besakih.
Orang-orang yang bukan warga bersangkutan tak
bersembahyang ke Pedharman yang berbeda, misalnya, warga Arya tak akan sembahyang ke Ratu
Pasek, demikian pula sebaliknya. Hampir sama
dengan itu adalah Pura Kawitan.
Yang sangat penting dipahami adalah semua
yang dipuja di sini adalah Bethara, yang merupakan
leluhur. Bahwa kemudian di dalam Panca Sembah
ada pemujaan ke Tuhan, itu dikarenakan leluhur
umat Hindu amor ring achintya, jadinya rohnya menyatu dengan Tuhan bukan berada di sisi Tuhan
sebagaimana agama lainnya.
31

Kedua Pura Tri Kahyangan atau Kah


yangan Tiga. Sesuai namanya terdiri dari tiga
pura, Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan
Pura Dalem. Pura ini harus ada di setiap Desa Pekraman, bahkan syarat sebuah desa berstatus Desa
Pekraman, salah satunya memiliki Tri Kahyangan.
Di sini, seperti yang sudah diuraikan terdahulu,
dipuja Trimurti. Brahma dipuja di Pura Desa,
Wisnu dipuja di Pura Puseh dan Siwa dipuja di
Pura Dalem. Orang-orang yang bukan berada atau
menjadi warga di desa pekraman bersangkutan, tak
akan bersembahyang di pura ini. Misalnya, warga
Desa Pekraman Pujungan tak akan bersembahyang
di Pura Puseh Desa Pekraman Pupuan, demikian
sebaliknya. Dan ingat, yang dipuja di sini adalah Istadewata, bukan memuja leluhur. Karena para Dewa
yang dipuja, otomatis pula Tuhan ikut dipuja.
Ketiga Pura Swagina. Jika memakai bahasa
sekarang, pura ini dipuja oleh para professional
dan yang dipuja adalah Istadewata sebagai Dewa
Penuntun. Kelompok pemujanya adalah mereka
yang memiliki profesi sejenis. Pura Subak dipuja
oleh mereka yang profesinya petani, Pura Melant32

ing oleh para pedagang, demikian seterusnya. Kalau


bukan pedagang, tak perlu bersembahyang di Pura
Melanting. Jelas yang dipuja adalah Tuhan sebagai
Dewa Penuntun sesuai bidang pekerjaan, dan bukan tempat memuja leluhur atau Bethara.
Keempat Kahyangan Jagat. Ini adalah
pura yang dipuja oleh seluruh umat. Kelompok
pura ini sebenarnya masih bisa dibagi berdasarkan
kelompok lebih kecil. Misalnya kelompok Pura
Kahyangan Padma Bhuwana. Keberadaan pura ini
mengitari Bali dari segala penjuru angin. Pura itu
adalah Besakih di timur laut, Lempuyang Luhur di
timur, Andakasa di tenggara, Goalawah di selatan,
Uluwatu di barat daya, Batukaru di barat, Puncak
Mangu di baratlaut, Batur di utara dan Pusering
Jagat di tengah-tengahnya. Kesembilan pura ini
membentuk bunga padma (teratai) sebagai stana
Hyang Widhi. Yang dipuja di sini tentu saja Tuhan
Yang Maha Esa melalui Istadewata yang menghuni
sembilan penjuru angin -- termasuk di tengah. (Di
Nusantara, ada juga keinginan membuat Kahyangan
Padma Bhuwana, namun sampai akhir 2010 PHDI
Pusat belum memutuskan secara resmi pura yang
33

digunakan sebagai Padma Bhuwana.)


Kahyangan Jagat di luar Padma Bhuwana itu
adalah tempat pemujaan para Rsi yang berjasa di
masa lalu, artinya pemujaan kepada leluhur atau
Bethara. Seringpula pura ini disebut Dang Kahyangan. Pura itu misalnya Silayukti, Sakenan, Airjeruk,
Tanah Lot, Rambut Siwi dan banyak lagi.
Termasuk Kahyangan Jagat adalah Pura Jagatnatha yang mulai didirikan di setiap kota atau
ibukota provinsi. Di Bali, kabupaten yang belum
punya Pura Jagatnatha hanyalah Tabanan dan Badung. Kenapa disebut Kahyangan Jagat? Karena
siapa pun boleh melakukan pemujaan di sini, jadi
ini pura bersifat umum, tanpa memandang dari
desa mana, soroh/klan mana, bahkan suku bangsa,
asalkan beragama Hindu. Uniknya lagi, sifat umum
itu juga termasuk siapa yang dipuja. Tuhan sebagai
Yang Maha Kuasa tentu sudah umum dipuja di sana,
tetapi Istadewata pun bisa dipuja di sana asalkan
bertepatan dengan waktu yang pas. Misalnya, di
saat Hari Raya Saraswati, orang memuja Dewi
Saraswati di Pura Jagatnatha, saat Siwaratri orang
memuja Siwa di sana.Yang jelas, tak ada pemujaan
34

Bethara di Pura Jagatnatha.


Demikianlah dengan mengetahui jenis pura,
kita tak tersesat dalam melakukan pemujaan.
Kita bisa lebih fokus dan juga tidak salah kaprah.
Pernah ada rombongan tirthayatra yang mengun
jungi Candi Cetho di Jawa Tengah, salah seorang
berkata; Wah, jauh sekali memuja Tuhan, dua hari
perjalanan, padahal memuja Tuhan bisa di rumah
di depan pelangkiran.
Ini betul-betul salah kaprah, Candi Cetho termasuk pura leluhur karena di situ distanakan Prabu
Brawijaya. Yang dipuja Bethara. Tentu saja untuk
memuja Bethara Brawijaya orang harus datang ke
Candi Cetho, untuk memuja Bethara Mpu Kuturan
harus datang ke Pura Silayukti. Tentu tak elok
semua Bethara dipuja dari sembarang tempat, kalau
begitu tak usah memuja Bethara, cukup memuja
Tuhan Yang Maha Esa saja.

35

Gagelaran Pemangku
(Bisa Dipakai juga untuk
Bukan Pemangku)

agaimana kita melakukan pemujaan, baik


kepada leluhur, Hyang Widhi, maupun
memuja Hyang Widhi melalui Istadewata? Pemujaan atau persembahyangan yang baik,
tentu saja harus dituntun oleh seorang pemangku.
Pemangkulah yang nganteb upacara dengan memohon tirtha terlebih dahulu, kemudian menyampaikan maksud persembahyangan, lalu sembahyang
bersama.
Namun, kalau tak ada pemangku, siapa pun
boleh melakukan persembahyangan di sebuah pura
asal minta izin kepada pemangku atau pengempon
pura.
Untuk para pemangku, di sini akan diuraikan secara singkat Agem-agem atau Gagelaran
Pemangku. Setelah proses Gagelaran Pemangku
36

ini diselesaikan, barulah nganteb persembahan dan


mengajak pemedek (umat) melakukan persem
bahyangan bersama.
Namun, jika tak ada pemangku, mereka yang
dituakan yang akan memimpin upacara, hendaknya
tahu sedikit urutan persembahyangan, dan pakai
saja Gagelaran Pemangku ini sebisa-bisanya dengan catatan tidak memakai bajra. Mari kita ikuti
Gagelaran itu.
PEMBERSIHAN DIRI
Duduk Berssila:
OM OM Padmasana ya namah
Cuci Tangan:
Om rah pat astray a namah
Berkumur:
Om Um rah pat astra ya namah
Memantrai Badan:
OM Prasada sthiti sarira siwa suci nirmala ya
namah
37

Mengambil dan menghaturkan asap dupa:


OM ANG Brahma amretha dhipa ya namah
OM UNG Wisnu amretha dhipa ya namah
OM MANG Lingga purusa ya namah
Mengasapi badan:
Om Sri Guru jagat papebyo namah swaha
NGARGA TIRTHA
Mengambil bunga dipegang kedua tangan diletakkan di
depan dada, ucapkan Astra Mantra:
Om Um rah pat astra ya namah
OM Atma tatwa-atma suddha mam swaha
OM OM Ksama sampurna ya namah
OM Sri Pasupatye Hung Phat
OM Sriyam bhawantu
OM Sukham bhawantu
OM Purnam bhawsantu
Mengambil Genta dan diasapi:
Om Am dhupa astra ya namah
Memercikkan tirtha di genta
(Gunakan Astra Mantra seperti di atas)
38

Memuja Genta:
OM Kara Sadasiwa stham,
Jagat Natha hitang karah
Abhiwada wadanyam,
Ghanta sabdha prakasyate
OM Ghanta sabdha mahasrestah,
Ongkara parikirtitah
Candra nada bhindu drestham,
Spulingga siwa twam ca
OM Ghantayur pujyate dewah,
Abhawa-bhawa karmesu
Warada labdha sandeham,
Wara siddhi nih samsayam
Paliti Genta:
Om, Om, Om (tik ning)
Membunyikan Genta:
OM Ang Kang Kasolkaya Iswara ya namah
Ngaksama: (tangan kiri membunyikan genta, tangan
kanan pegang bunga)
39

(1)
OM Ksama swamam mahadewa,
Sarwa prani hitang karah
Mamoca sarwa papebhyah,
Phalaya swa sadasiwa
OM Papoham papo karmaham,
papa-atma papa sambhahwah
Trahimam pundari kaksah,
Sambhahya byantara suci
OM Ksantawya kayiko dosah,
Ksantawyo waciko mama
Ksantawyo manaso dosah,
Tat pramadat ksama swamam
Om Hinaksaram hina-padam,
Hina-mantram tathaiwanca,
Hina-bhaktim hina wreddhim,
Sada Siwa namostu te.
Om, Mantram hinam kriya hinam,
Bhakti-hinam Maheswrah,
Yat-pujitam Mahadewam,
Paripurna tad-astu-me.
40

(2)
OM Apsudewa pawitrani,
Gangga dewi namostute
Sarwa klesa winasanam,
Toyane parisuddhaya te
Sarwa papa winocini,
Sarwa rogha winasa ya,
Sarwa klesa winasanam,
Sarwa bhogam ewapnuyat

OM Sri kare sa-pahut kare,
Rogha dosa winasanam
Siwa-lokam maha-yaste,
mantre manah papa-kelah
Om Siddhim tri-sandhya sa-pala,
Sekala mala malahar
Siwa-amretha manggalan ca,
Nadinidam namah siwa ya
(3)
OM Panca-aksara maha tirtham,
Pawitram papa nasanam
41

Papa kotti sahasranam,


Aghadam bhawet sagaram
OM Panca-aksara parama-jnanam,
Pawitram papa nasanam
Mantram tam parama-jnanam,
Siwa logham pratisthanam
OM Namah siwa ya etyewam,
Param Brahman atmane wandam
Param sakti panca diwyah,
Panca Rsi bhawed agni
OM A-karas ca U-karas ca,
Ma-karo windu nada kam
Panca-aksara maya proktam,
Ongkara agni mantrake
OM Bhur Bwah Swah swaha
maha ganggayai tirtha pawitrani Ya namah swaha.
Gangga Puja: Dengan genta dan bunga
(1)
OM Gangga sindhu saraswati,
Suyamuna godhawari Kaweri sarayu mahendra,
42

Tenaya carma wati wai nuka


Badra netrawati maha suranadi,
Kyata ca ya ghandaki punyah
Purnam jalah samudra sahitah,
Kurwantu te manggalam
(2)
Om Namaste Bhagawn Gangga,
Namaste sitalambhwati,
Salilam wimalam toyam,
Swayambhu tirtha bhajanam.

Om Subhiksa hasta-hastaya,
Dosa-kilbhisa nasanam,
Pawitre su maha tirtham,
Gangga thapi maho dadhi.
Om Wajrapani maha tirtha,
papa-soka winasanam,
Nadi puspa-laya nityam,
Nadi tirtha taya priya.
Om Tirtha-nadisca kumbhasca,
Warna deha mahtmanam,
Muninam manggalesu ca,
Ye wapi ca Dewokasah.
43

Ngurip tirta: pakai bunga tunjung, kalau tak ada


kalpika atau bunga biasa. Tanpa bajra/genta, bunga
dipegang dengan kedua tangan di sela mata.
OM OM I A KA SA MA RA LA WA YA UNG
namo namah swaha
OM OM A RA KA SA MA RA LA WA YA UNG
namo namah swah
OM OM kurmeda jaya jiwa sarira raksan dadasi
me
OM Mjum sah wausat mrtyujaya ya namah
(kalau pakai bunga tunjung kurmeda diganti kumeda)
Ambil bajra, bunyikan, ambil bunga:
Om Mretyunjaya dewasya,
Yo namoni hanukerttiyet,
Dirghayusam awpnotu,
Sanggrame wijaya bhawet.
Om, Atma-tattwtma suddha ya mam swaha.
Masukkan bunga tadi ke dalam sangku, bajra tetap bersuara, dilanjutkan lagi dengan memasukkan bunga satu
persatu sesuai irama mantram di balik ini:
44

Om Prathama suddha, dwitya suddha, tritya suddha, caturti suddha, pancami sudha, sadmi sudha
sabda, sapta ti sudha, Om suddha, suddha, suddha
wariastu tat astu swaha
Ayuwerdi Stawa
Om Ayuwreddhi yaso wreddhi,
wreddhi pradnyan sukha sriyam.
Dharma santana wreddhisca,
santute sapta wreddhayam.
Ya ta mero sthito dewam,
Ya wat Gangga mahitale,
Candrako gagana yawat
tawat twa wijayi bhawet.
Om Dirghayur-astu-tad-astu-astu,
Om Awighnam-astu-tad-astu-astu.
Om Subham-astu-tad-astu-astu.
Om Sryam-bhawantu,
Om sukham-bhawantu
Om purnam-bhawantu.
Memercikkan tirtha ke awang-awang kalau
45

menghadap pelinggih ke pelinggih dengan Astra Mantra. Mantram Astra Mantra sudah ada di
depan,
Memercikkan tirtha ke diri sendiri.
Memakai basma, doa basma:
Om Idam bhasmam param guhyam,
Sarwa papa winasanam
Sarwa rogha prasamanam.
Sarwa kalusa nasanam.
Om Ang di antara alis mata
Om Ung di dada
Om Mang di tenggorokan luar.
Bagi seorang pemangku (pinandita), proses
permohonan tirtha suci sudah selesai, jika ritual di
atas dilakukan dalam keseharian, bisa dilanjutkan
dengan Kramaning Sembah.
Jika ritual di atas untuk memimpin umat melaksanakan upacara (di hadapan upakara) dilanjutkan
dengan pelaksanaan pengeresikan seperti, Byakaon, Durmenggala, Pengulapan, Prayascita. Tirtha
46

dipercikkan satu persatu ke arah pelinggih lalu


ke banten upakara. Byakaonan dan Durmenggala
ke arah pelinggih bagian bawah, Pengulapan dan
Prayascita ke pelinggih bagian atas.
Lalu memohon pesaksian dengan memuja pada
Akasa dan Ibu Pertiwi, setelah itu langsungkan
pemujaan dalam bentuk sehe sesuai dengan bahasa
yang dikuasai, apa tujuan persembahyangan itu.
Jika itu menyangkut piodalan, tentu saja didahului
dengan nedunang Bethara lengkap dengan segala
prosesnya.
Seorang pemangku belum diperkenankan
menggunakan lis gede, belum diperkenankan untuk membuat tirtha pemuput, oleh sebab itu tirtha
pemuput dimohonkan (istilahnya nuwur) di depan pelinggih sesuai tingkatan upakara, misalnya,
kalau di merajan gunakan tirtha pemerajan.

47

Berbagai
Puja Stawa

uja Stawa yang ada di dalam buku ini, hanya


untuk kepentingan praktis memuja leluhur
(Bethara), Hyang Widhi dan Istadewata
yang hakekatnya juga memuja Tuhan Yang Maha
Esa.
Dalam beberapa puja sengaja disebutkan lebih
dari satu sloka (bait) dengan maksud bisa dipilih
bait mana yang disukai atau mudah dihafal. Yang
penting, utamakan dulu bait pertamanya. Tidak
semua sloka harus diucapkan, karena pemujaan
seperti ini sifatnya adalah pujian, sehingga pujian
(puja-puji) bisa diulang-ulang sebagai rasa bhakti
kepada para Istadewata.
Akasa Stawa dan Pretiwi Stawa umumnya adalah
puja untuk Pesaksian. Jika ada upacara yang sedikit
besar, sebelum melakukan puja-puja persembahan,
48

ucapkan Akasa Stawa dan Pertiwi Stawa untuk


pesaksian:
Akasa Stawa
OM Akasa nirmalam sunyam,
Guru dewa bhyo mntaram,
Siwa nirmalam wiryanam,
Rekha Ongkara wijayam.
OM Meru srengga candra prabham,
Siwa layam murti wiryam,
Dhupam huwanam timiraca,
Amretha bhumi candra prabham.
OM Dewa dewi murti bhuwanam,
Wyomntaram murti wiryam,
Candra lokam dhupa bhuwanam,
Guru dewa murti wiryam.
OM, OM, Akasa bhyoma Siwa ya namah swaha.

49

Pretiwi Stawa
OM Prethiwi Srinam dewam,
Catur dewi maha wiryam,
Catur asrama Bhatari,
Siwam bhumi maha siddhyam dewam.
OM Ripurwani Bhasundari,
Siwapatni putra yoni,
Uma Durga Gangga Gauri,
Indrani Camundi dewi.
Brahma bhatari Waisnawe,
Komari Gayatri dewi.
OM Sri-dewi ya namah swaha.

Puja Memuja Leluhur


Tiga Guru Stawa
OM Dewa dewi tri Dewanam,
Trimurti trilinggtmakam,
Tri Purusa suddha nityam,
Sarwa jagat pratisthanam .

50

OM Guru purwam Guru dewam,


Guru madhyam Guru tattwam
Guru pantaram Dewam,
Guru dewa suddha atmakam.
OM Brahma Wisnu Iswara dewam,
Jiwtmanam tri lokanam,
Sarwa jagat pratisthanam,
Sarwa rogha wimurcatam,
Sarwa wighna winasanam.
OM, Ang, Ung, Mang, Paduka Guru
bhyo namah swaha.
Kawitan Stawa
(Puja untuk memuja leluhurWarga Pasek)
Om Siwa rsi maha tirtham,
Panca rsi Panca tirtham,
Sapta rsi catur yogam,
Lingga rsi maha linggam.
Om Rsi dartah mahmrtham,
Rsi raksa tamam nityam,
51

Nama kastha-kastha Brahmanam,


pasupati Guru Siwam.
Om Manik agni Jayasca dewam,
Siwa ageng Agnijaya anugrahakam
Pasapati Pasupati anugrahakam,
Agnijaya Jagatnatha anugrahakam
Om Pasupati Brahma Manik jatyam,
Sarwa amrtha anugrahakam
Sumerusca, Saganasca, De Kuturan, Bradasca,
Sarwmrtha hanugrahakam.
Om Panca rsi Sapta rsi
Paduka Guru bhyo namah swaha.
Untuk Memuja (di pura warisan) Pedanda
Sakti Wawu Rawuh
Om Dwijendra purwanam siwam,
Brahmanam purwantisthanam
Sarwa dewa masariram,
Surya mertha pawitranam
52

Puja Stawa untuk


Hyang Widhi


Giri Pati Stawa (untuk Sad Kahyangan)
Om Giripati Dewa-dewi,
Lokanatha jagatpati,
Sakti manta maha wiryam,
Jana manta Siwtmakam.
Om Iswara dibya caksu,
maha padma namo namah,
Ghore-ghore maha suksmam,
Adi dewa nama namah.
Om Maha rodhram maha suddham,
Sarwa ppa winasanam,
Maha murti maha tattwam,
pasupatye namo namah.
Om Mahadewa Sangkaranca,
Siwa Sambhuh bhawstuti,
Maheswara Brahma Rudrasca,
Siwa Isana ya namo namah.
53

Kahyangan Stawa
Om Indragiri murti dewyam,
Lokanatha Jagatpati,
Sakti wiryam Rudra murti,
Sarwa Jagat pawitranam.
Om Girimurti trilokanam,
Siwa murti Prajapati,
Brahma Wisnu Iswara dewam,
Sarwa Jagat prawaksyamam.
Om Surya dewa Mahadewa,
Siwa agni tejo maya,
Siwa Durga kali sira,
Sarwa Jagat wisyntakam.
Tri Bhuwana Stawa
Om Parama Siwa twam guhyam,
Siwa tattwa paroyanah,
Siwasya pranato nityam,
Candis ca ya namostu te.
Om Niwedyam Brahma Wisnusca,
Dewa Bhokta Maheswaram,
54

Sarwa wyadi nala bhakti,


Sarwa karyan prasiddhantam.
Om Jayarthi jaya-apnuyat,
Yasarthi yasa apnoti,
Siddhi sakala apnuyat,
Parama Siwa ya labhati
Om Parama Siwa ya namah swaha.
Puja di Pemrajan, Panti, Pedharman
Om Brahma Wisnu Iswaram dewam,
jiwatmanam tri lokanam
Sarwa jagat pratisthanam,
suddha klesa winasanam
Puja di Pura Desa
Om Isano sarwa widyana,
Iswara sarwa bhutanam
Brahmane dhipati Brahman,
Siwastu Sadasiwa ya

55

Puja di Pura Puseh


Om Giripati maha wiryam,
Mahadewa pratistha lingam
Sarwa dewa pranamyanam,
sarwa jagat pratisthanam
Puja di Pura Dalem
Om Catur dewi mahadewi,
catur asrame bhatari
Siwa jagat pati dewi,
Durgha masariram dewi
Puja di Padmasana
Om Akasa nirmalam sunyam,
guru dewa bhyomantaram
Siwa nirbhana wiryanam,
rekha Ongkara wijayam
Puja di Pura Segara
Om Nagendra krura murtinam,
gajendra matsya waktranam
Baruna dewa masariram,
sarwa jagat suddha atmakam
56

Puja di Pura Batur, Ulun Danu,


Ulun Carik
Om Sri danba dewika bawyam,
sarwa rupa wati tasya
Sarwa jnaka miti datyam,
sri sri dewi namastute
Puja Hyang Ardhanareswari
(juga dipakai saat Panca Sembah)
Om nama dewa adisthanaya,
sarwa wyapi wai siwa ya
Padmasana eka pratisthaya,
ardhanareswaryai namo namah

Puja di Pura Melanting


Om Ung Dewa suksma parama sakti
ya namo namah swaha
Om Ung Giripati ya sukla dewi, Sing Kling tiksna
ya namah swaha
Ing Ang Swabhawa dewi sukla dewi maha sakti
ya namah swaha

57

Puja Stawa untuk Istadewata


Kelompok Dewata Nawasanga
Iswara Stawa
Om Giri murti sweta warnam,
meru rajata bhaswaram
Purwa desa pratistanam,
purwa Iswara arcanam
Om Sarwa sweta suddha nityam,
Bhusana ratna swetanam,
Mani Surya sweta warnam,
Surya kotti prabha jwalam
Om Iswara dewa sa linggam,
Sarwa dewa pranamyakam,
Puruso sweta pawitram,
Santha jana suddha nityam.
Om Iswara dewa murtinam,
Wighna klesa winasanam,
Sarwa duhka wimurcatam,
Sarwa wyadhi nirantaram.
58

Om Iswara dewa murtinam,


Sarwa ppa praharanam,
Swasthi dam sarwa roghanam,
Labhati bala wiryanam.
Om Iswara dewa salinggam,
Swa sariram praja dipam,
Sarwa duhka winasanam,
Sarwa jagat suddha nityam.
Om Mang, Iswara dewrcanam,
Bhoga-urdhwa phala bhukti,
Sridhanam ca sadhanakam,
Wirya bala jiwtmakam.
Mahesora Stawa
Om Maheswara murti lokam,
agneya lingga arcanam
Sarwa usadhi nugranam,
Weda mantr4a siddhi yogam
Om,Suksma murti amrtha jiwam,
Bhuwana loka pawitram,
Sarwa narnugrahakam,
Jagat wighna pratisthanam.
59

Om Dharmosadi nugrahakam,
Amrtha bhumi maha wiryam
Moksanam sarwa ppebhyah,
Purna jiwam jagat trayam.
Om Sarwa klesa winasanam,
Sarwa marana muktaye,
Maheswara dewa wiryam,
sarwa wyadhi nirwaranam.
Om Nugranam yuwatim dewam,
Dirghayusa Jagatpurnam,
Wreddhi guna ya yadnyanam,
Sarwa lokmrtha jiwam.
Om Laksmi dewi gara dewi,
Giri putri candra-prabham,
Amrtha candra pawitram,
Sarwa jagat pratisthanam.
Om Namah Siwa ya dewanca,
Sarwa dewa suddha nityam,
Maheswara murti bhuwanam,
Sarwa rogha wimurcatam.
60

Brahma Stawa
Om Ang Brahma namas catur mukham,
Brahmagni rakta warnanca
Sphatika warta dewata,
sarwa bhusana raktakam
Brahma Prajapati Stawa
Om Namaste bhagawan Agne,
Namaste bhagawan Hare
Namaste bhagawan Isa,
Sarwa bhaksa Uttasana.
Om,Tri-warno bhagawan Agnir,
Brahma Wisnu Maheswarah,
Santhikam paustikam cai wa,
Raksanaca bhicarukam.
Om Brahma Prajapati sresthah,
Swayambhur warado Guruh,
Padma-yonis catur-waktro,
Brahma sakalam-ucyate.
Om Namostu bhagawan Agni,
Sarwoktena Uttasanah,
61

Wajra sara maha sara,


Dipto agnih jjwalanas tatha.
Om Sarwa ppa prasamanam,
Hiranya garbha sambahwam,
Lokam ca sariraca,
Sukham agnih pramucyate.
Rudra Stawa
Om Rudra dewa murti lokam,
giri ratna rakta warnam
Agni sakala murtinca,
Yama desa masarnam
Om Sarwa wighna masariram,
Sarwa rogha bhasmi swastham,
Dur-manggalam dusta cittam,
Sarwa bhicari moksanam.
Om Rudra dewa agni jwalam,
Sarwa bhaksa Huttasanam,
Murti-murti Rudra murti,
Brahma Wisnu Maheswaram.
62

Om Anugraham jiwitam dewam,


Dirghayu Jagat sampurnam,
Wreddhi gunam jaya janam,
Sarwa lokmrtha jiwam.
Om Rudra dewa agni murtiyam,
Sarwa bhaksa maha rodram,
Yamapati Mrtyu dewa,
Sarwa satru winasanam
.
Om Ang Kalgni Rudra jwala ya namah.
Om Siddhir astu ya namah swaha.
Mahadewa Stawa
Om Namostute Mahadewa,
pita warna Mahadewa
Padmasana Mahadewa,
Saci dewi samostute
Om Dewa dewa mahadewa,
Catur bhja Rudatmakam,
Pita warna Mahadewa,
Meru kancana bhaswaram.
63

Om Pascima pratistha linggam,


Ratna tejo pita warnam,
Surya prabham maha wiryam,
Sarwa Dewati dewanam.
Om Sapta dware Mahadewam,
Sapta Ongkara murtinam,
Bhusanam sarwa dewanam,
Ratna kancana pradiptam.
Om Maha rodram Mahadewam,
Surya kotti prabhaswaram,
Bhusanam sarwa bhuh lokam,
Sarwa dewa namskaram
Om Meru sapta swarga dewam,
Siwa Rudra murti sriyam,
Sarwa kanaka bhuktanam,
Bhusanam sarwa dewatam.
Om Mahadewa puja nityam,
Dhupanam sarwa bhuh lokam
Sarwa bhicara manggalam,
Sarwa dusta winasanam.
64

Om Giri murti Mahadewa,


Pasupati putro dewam,
Sarwa jagat pawitranam,
amrtha pitnugrahakam.
Om Jagat wighna winasanam,
Sarwa Dewa pratisthanam,
Suddha suddha sarwa klesa,
Sarwa praja sukha sriyam.
Om Sri dewam suddha sa linggam,
Amrtha sadhana manggalam
Bhoga wiryam udanakam,
Rogha dosa winasanam.
Sangkara Stawa
Om Giri dewa ratna wiryam,
Syama rupam murtgi bhwanam
Sangkara dewa salinggam,
Sarwa dewa pranamyakam
Om Jaya wijaya murtinam,
Suddha janam amrtha jiwam,
Amrtha bhumi pawitranam,
Sarwa papa winasanam.
65

Om Tri-mandhala pratisthanam,
Bhuta Pretha mandiraksam,
Sarwa jagat purna jiwam,
Sarwa wighna winasanam.
Om Sangkara dewa murtinam,
Wayabyanca pratisthanam,
Sarwa jagat awitranam,
Amrtha bhumi anugrahakam.
Om Bhuh loka mandhala purnam,
Sangkara dewnugrahakam,
Dirghayu bhuwana sampurnam,
Sarwa marana moksanam.
Wisnu Stawa
Om Ung namo Wisnu tri mukhanam,
Tri nayanam catur bhuyam
Kresna warnam sphatikantam,
Sarwa bhusana nilanam
Wisnu Stawa untuk Tirtha
Om Prenamya sirase Wisnu,
Triloke Brahma Sawitri,
66

Iswara loka pawitra,


Bhayam nasti kadacanam.
Om Kuwera priti dhanasca,
Karni ksatriya purusa,
Sambhu mulya ta suksma ya,
Ripu bhasmi durwinasa.
Om Sangkara Sang Hyang Sri-dewi,
Para lingga tri sudewa,
Bhasmi bhuta durwinasa,
Kreta rogha durwinasa.
Om Rudro trinayana dewo,
Bhayam asti kapawitram.
Bhaya klesa winasa ya,
Bhasmi klesa trikayatah.
Om Siwo Rudra tri nayanah,
Suksma Surymrthani,
Siwasca candram mah punyam,
Jayam satru winasanam.
Om Aditaya-aditaya.
Suksma taya maya-maya,
67

Suksma taya aditaya,


Siwa Rudra maya-maya.
Om Ang, Amrtha ya namah.
Om Sudha-suddha namah Siwa ya.
Om Sarwmrtha-aditaya.
Om Siwa-lingga purusa nama Siwa ya.
Om Ardhanareswarebhyo namah.
Om Salila sarwtmane ya namah swaha.
Wisnu Stawa Tirtha Pengelukatan
Om Wisnu Wisnu rahade triyade,
Sri Wisnu prajapati ksetra
Waraha kalpa pratama,
carana lala yuga
Kala mangsa kala dite yoga nasksatra nitaye
Wadhakti palam prapti kama naya
Sarwa prayascita karisye
Om sobhagyam astu tat astu astu swaha
Sambu Stawa
Om Airsanyam dewa prathistam,
Sambu dewa murti lokam
68

Sarwa tatta suddha nityam,


kawya jnanam siddhi wakyam
Om Suksma murti sakti jnanam,
Sarwa mantre yoga nityam
Sarwa jagat pratisthanam,
Rogha dosa winasanam.
Om Amrtha jnanam anugrahakam,
Amrtha bhumi prakirtitam
Uma dewi ghara dewi,
Mukti sriya bhoga murtaye.
Om, Ksatriya wibhuh murti wiryam,
Bhiksukam weda paragam
Sarwa jagat wreddhi bhogam,
Sarwa dewa ma sariram.
Siwa Stawa
Om Namah Siwa ya sarwa ya,
Dewa dewa ya wai namah
Rudrasya bhuwanesaya,
Siwa rupa ya wai namah
69

Om Twam Siwas twam Mahadewah,


Iswarah ParameSwarah,
Brahma Wisnusca Rudrasca,
Purusah Prekirttis tatha.
Om Prethiwi salilam twam-hi,
Twam-agnir wayur ewa ca,
Akasam twam param-sunyam,
Sakalam-niskalam tatha.
Om Namo Siwa ya namah swaha.
Kelompok Shakti
Uma Stawa
Om Parwati twam namasyami,
Rudra patim tapasinim,
Dayawatim suddhsanam,
Istnugraha karinim.
Om Gauri Umam namasyami,
Rudra deha diwasinim,
Yasa swinim gunawatim,
Bhaktnugraha karanim.
70

Om Satim saktam namasyami,


Bhawanim bhakta waksalam,
Guhya syabha Hari-dewi,
ubhyam nityam namo namah.
Om Uma-dewaya namah swaha.
Kuwera Stawa
Om Brahma Wisnu Iswara Rudra,
Rudra-dewa ya wai namah,
Wisnu Sangkara bhupati,
Dewa-diwya ya wai namah.
Ong-kara Sada Siwam-dewam,
jagatam sarwa pujanam,
Upayam sadhana smertham,
Suci dewa Sri Sadhanam.
Om Kawatam anugraha smertham,
Kanya-wati Siwa rupam,
Dandopadrawa sampurnam,
Kretta bhuwana sada-smertham.
Om, Kuwera-dewa ya namah swaha.
71

Saraswati Stawa
Om Saraswati namstu bhyam,
warade kama rupini,
Siddhrambhan kari syami,
Siddhir bhawantu me sada.
Om Pranamya sarwa dewanca,
paramtmanam ewa ca,
Rupa siddhi prayukta ya,
Saraswati namamy aham.
Om Padma-patra wisalaksi,
Padma kesari warnini,
Nityam padma laya dewi,
Samam pa-tu Saraswati.
Om Brahma putri mahadewi,
Brahmanya rahma Nandini,
Saraswati samjayani,
Pranayana Saraswati,

Om Sang Saraswati sweta warna ya namah.
Om Bang Saraswati rakta warna ya namah.
Om Tang Saraswati pita warna ya amah.
72

Om Ang Saraswati kresna-warna ya namah.


Om Ing Saraswati wiswa-warna ya namah.
Sri Stawa
Om Sri dewi maha waktram,
Catur warna catur bhujam,
Pradnya wiryam saro jeyah,
Cinta manir uru smertham.
Om Sri Tandhuli Mahadewi,
Sri-mati komala sobhitah,
Dadasi me maha bhogam,
sarwa drawya hiam labham.
Om Sri-Wrihi makuta jiwam,
Twam sarwa bhuwanandhari,
Dadasi me sukha nityam,
Jiwitam dhatu kancanam.
Om Dhana raji twam dewi,
Pradnya tanduli samjikah.
Mani ratnsana nityam,
Sarwa ratna gunnwita.
Om Sri-dewi ya namah swaha.
73

Laksmi Stawa
Om Namaste astu mahaa maaye,
Shrii pitthe surapuujite
Shankha chakra gadda haste,
Mahaa Laksmi namo stute
Om Namaste garuda aruudhe,
Kola asura bhayangkari
Sarwa paapa hare dewi,
Mahaa laksmi namo stute
Om Sarwagne sarwa warade,
Sarwa dustha bhayangkari
Sarwa dukha hare dewi,
Mahaa Laksmi namo stute
Om Siddhi buddhi prade dewi,
Bhukti mukti pradaa ayini
Mantra muurte sadda dewi,
Mahaa Laksmi namo stute
Om Aadyanta rahite dewi,
Aadi shakti maheswari
Yogaye yoga sambhuute,
Mahaa Laksmi namo stute
74

Om Sthuula suukshma mahaa raudre,


Maha shakti mahodare
Mahaa paapa hare dewi,
Mahaa Laksmi namo stute
Om Padmaasana sthite dewi,
Para brahma swaruu pini
Parameshi jagan maataha,
Mahaa Laksmi namo stute
Om Shweta ambarad hare dewi,
Naanaa alangka ara bhuushite
Jagat sthite jagan maataha,
Mahaa Laksmi namo stute

Sadasiwa Stawa
Om Siwa jagat pati dewam,
Sadasiwa mam pramanan
Mertha manggalam pawitram,
sarwela mala sampurnam

75

Istadewata Penguasa Semesta


Surya Stawa
Om Adhityasya paramjyoti,
rakta teja namostute
Sweta pangkaja madhyastha,
Bhaskaraya namostute
Om Aditya garbha pawana,
Aditya dewa raja twam,
Aditya twam gatir asi,
Aditya caksur ewa ca.
Om,Aditya jata wedasah,
Aditya janopa Suryah,
Surya rasmir Hrsi kesa,
Surya-sattwam maha-wiryam.
Om Hrang, Hring, Sah, parama
Siwditya ya namah.
Samudra Stawa
Om Namah Siwa ya sarwa ya,
Dewa-dewa ya wai namah,
76

Rudraya bhuwanesa ya,


Siwa waruna ya namah.
Om Sapta mudram Siwam garam,
jaladhi-tasik garayam,
Rudra ya bhuwanesaya,
Waruna Siwa sampurnna.
Om Hrang,Hring,Sah, Sri Samudra
guru bhyo namah swaha.
Segara Stawa
Om Gangga-puruso wiryanam,
Brahma mandhala Waisnawam,
Gangga rantngkara dewi,
Brahma murti tri-lokanam.
Om Jala nidhi murti lokam,
Bhumi matsya maha ghoram,
Bharuna dewam ca Dewanam,
Lembu haro Hari-murti.
Om Jala siddha maha Sakti,
Sarwa siddhi Siwa tirthah,
77

Siwmrtha manggalan ca,


Sri dewi Jagat pawitram.
Om Namah Siwa ya wai namah,
Nama Wisnu dwarswarah,
Prabhu wibhuh mahmrtham,
Sarwa pataka sampurnam.
Ananta Bhoga Stawa
Om Ksiti dewi Ananta bhogam,
Nugranam janadhi lokam,
Suddha lara tri lokanam,
Amrtha bhumi nugrahanam.
Om Nagendra-dewa murtinam,
Sapta-patala pratistham,
Sarwa Jagat sangghanakam,
Suddha purna tri-lokanam.
Om Amrtha bhognugrahakam,
Sarwa wisa wimurcatam,
Dewa-dewa maha suksmam,
Sarwa wighna winasanam.
78

Ganapati Stawa
Om Gana parama twam guhyam,
Gana tattwa parayanah,
Gana pranata labhanam,
Sukha Gana namostu te.
Om Asuci sarwa pawitram,
Sarwa karya suci mukti,
Bhukti Gana mahottama,
Dewa sukha paripurnam.
Om Tesu karti maha gana,
Mataras te sukha karyam,
Etana sarwa apunyat,
Suddha Dewa paripurnam.
Om Tesu karti maha trepti,
Mataras te Bhatarakah,
Etasam sarwa dewanam,
Treptyuyam bhawantu te.
Ghanapati Stawa untuk Pewintenan
Om Ghana pati rsi putram,
Bhuktyantu weda tarpanam,
79

Bhuktyantu Jagat tri lokam,


Suddha purna Sariranam.
Om Sarwa wisa winasanm,
Kala Durga durgi pati,
Marana mala murcyate,
Tri-Wristi pangupa jihwa,
Om Gangga Uma stawa-siddhi,
Dewa Ghana guru putram,
Sakti wiryam loka Sriyam,
jayati labha anugrahakam.
Om Astu-astu ya namah swaha.
Ganapati Gayatri (Gayatri Ganesa)
OM Ekadanta ya widmahe
Waktratundaya dimahi,
Tanno dantih pracodayat
OM Gana parama tvam guhyam,
Gana tattva parayana,
Gana pranata labhanam,
sukha Gana namo stute.
80

OM Asuci sarva pavitram,


Sarva karya suci muktim,
Bhukti Gana mahottarna,
Deva sukha paripurna,
OM Ganapati Rsi putram,
Bhuktyantu veda tarpanam,
Bhuktyantu jagat trilokam,
suddha purnam sariranam.
OM Sarva Visa vinasanam,
Kala Durga Durgi pati,
Marana mala mucyate,
Trivristi pangupajiwam.
Agni Stawa
Om Giripate dewa-dewa,
Loka natha jagat pate
Sakti mantam maha wirya,
jnana watam Siwatmakam
Candra Stawa
Om Candra mandala sampurna,
candor yam te pranamyate
81

Candradhipa param jyotir,


namas candra namostute
Danu Stawa
Om Indra giri putri wiryam,
Sri Gangga Uma Dewi ca
Saraswati wiryam diwyam,
mertha bhumi suddha jiwam
Durgha Stawa
Om Durgha murti panca griwam,
kalika wahana diwyam
Krura rupam agni jawalam,
kala murthi Rudramakam
Gangga Stawa
Om Apsu dewa pawitrani,
Gangga dewi namostute
Sarwa klesa winasanam,
toyane parisuddyate
Indra Stawa
Om Dewa-dewa maha sidham,
yajnikanam phalam idam
82

Laksmih siddhisca dirhayur,


Nirwighnam tu sukhakrti
Kumara Stawa
Om Namah Kumaraya sad anamaya,
Sikhi dhwajaya pratimaya loke
Sad krttikananda karaya nityam,
mamostu rajawara pujitaya
Pasupati Stawa
Om Namaste bhagawan Wisnu,
Namaste bhagawan Hare
Namaste bhagawan Krsna,
jagat raksa namostute
Prajapati Stawa
Om brahma prajapati sretah,
swayambhur warade guruh
Padma yonis catur waktro,
brahma sakalam ucyate
Samodaya Stawa
Om Samodaya ma siwaya,
nara asta ma sanggaya
83

Namaste wahyakasaya,
sarwa sarwa namostute
Baruna Stawa
Om Baruna ya pita purusaya,
pinggalaya babhru mayaya
Musala sula wajra panaye,
pritisanaya tasmai waruna ya
Basuki Stawa
Om Indra giri murti lokam,
nagendra sakti wiryawam
Basuki dewa murtinam,
sarwa dewa sama sukham
Bayu Stawa
Om Prana bayu murti bhwanam,
mukha sthanam pratisthanam
Siddhi yoga wakyam wajre,
sarwa mantre siddhi puja

84

Memandang Agama
dengan Kekinian
Tiga tulisan berikut ini adalah sebuah ulasan yang melihat agama dari kaca mata kekinian. Agama tidak semata
ritual, tetapi juga punya konteks hubungan horizontal.
Kebetulan ketiga tulisan ini berkaitan dengan memuja
dan memuliakan leluhur.
Yang pertama soal Hari Raya Galungan, yang
kedua Hari Raya Kuningan, dan ketika bagaimana kita
membaca bhisama kawitan jika dihadapkan dengan
persoalan masa kini.
Ketiga tulisan ini dibuat semasih saya walaka dan
belum medwijati sebagai sulinggih. Semoga bisa menambah wawasan, terutama berkaitan dengan pemujaan kepada leluhur.

85

Memaknai
Hari Raya Galungan
dalam Era Kekinian

i tahun-tahun 1970-an, Hari Raya


Galungan menghadirkan kesibukan
tersendiri pada Ibu saya. Sehabis melaksanakan persembahyangan ke berbagai Pura dengan
sesajen Galungan yang penuh buah dan makanan,
beliau lantas mengemas buah-buahan dan makanan
yang hampir sama dengan yang dipersembahkan ke
Pura.Tapi kali ini, buah dan makanan yang dibungkus rapi dan dimasukkan penarak itu, dipersembahkan kepada tiga keluarga yang beragama Islam,
yang sudah menetap lama di kampung kami.
Ketiga keluarga Muslim itu adalah penjual sate
keliling di kampung kami, berasal dari Madura
dan hidup sangat sederhana. Karena sudah lama
86

bermukim di kampung kami, ketiganya pun sudah


tercatat sebagai banjar pekraman dengan kewajiban-kewajiban tertentu, minus yang menyangkut
ritual Hindu. Sesekali saya menyertai ibu saya ke
sana karena salah satu anak keluarga Muslim itu
teman sekelas saya di SD dan saya merasakan
persaudaraan yang sejati. Senyum persahabatan, tak
ada sekat-sekat karena perbedaan agama. Ketupat
mereka sama, cuma cara sembahyang mereka yang
tak sama.
Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan
dharma melawan adharma. Di setiap agama ada
hari-hari kemenangan seperti ini. Dan khusus di
Hindu, hari kemenangan bisa ditentukan sendiri
oleh budaya lokal di mana Hindu itu masuk. Karena
itu, hari kemenangan umat Hindu yang budaya
lokalnya Bali, tak persis sama dengan yang bukan
budaya lokalnya Bali. Di India, kemenangan dharma itu dirayakan dengan nama Hari Raya Wijaya
Dasami. Rangkaian upacara pun selama 10 hari,
seperti halnya Galungan menuju Kuningan yang
juga berangkai 10 hari.
87

Di hari Galungan itu, umat Hindu harus mampu


menghadirkan kekuatan spritual agar bisa dan
mampu membedakan mana dorongan hidup yang
berasal dari adharma dan mana yang berupa kebenaran (dharma). Juga dapat membedakan sifat-sifat
keraksasaan (asura sampad) dan sifat-sifat kedewaan
(dewa sampad).
Lontar Sunarigama menulis: Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang janyana samadhi,
galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya
Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya
mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi inti perayaan ini adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian
yang terang-seterangnya. Bersatunya pikiran
yang terang inilah wujud dari dharma itu sendiri,
sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah
penjelmaan dari adharma. Dan setelah pikiran
terang itu muncul, umat Hindu saling mendatangi
88

tetangga, kerabat, kenalan untuk menjalin apa yang


kini dikenal secara umum sebagai silaturahmi. Itu
dilakukan keesokan harinya, saat Manis Galungan,
karena di hari Galungan itu sendiri umumnya disita
oleh mengadakan persembahan kepada leluhur di
berbagai Pura yang ada.
Sekarang, adakah tali silaturahmi itu terus dilakukan? Tentu masih ada, khususnya di kalangan
umat yang sama, Hindu. Bagaimana dengan jalinan
ke luar umat? Kalau pun masih dilakukan, saya
menduga kadarnya itu mulai berkurang. Ibu saya
telah tiada, tak ada keluarga di kampung saya yang
mewariskan kebiasaan ngejot ke nyama selam
itu. Keluarga penjual sate dari Madura itu pun telah
pindah, tetapi nyama selam bukan berarti tak ada.
Mereka ada yang berjualan bakso, bubur kacang hijau, makelar kopi, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan masyarakat Hindu setempat tak lebih
dari hubungan bisnis. Tak ada hari raya keagamaan
yang bisa lagi dirasakan secara bersama-sama. Galungan adalah milik Hindu, Lebaran adalah milik
Islam, Natal adalah milik umat Kristiani. Masingmasing berjalan dalam sekat-sekatnya tersendiri.
89

***
Kenapa tangan kita ini tidak lagi mengetuk pintu
untuk menyapa. Kenapa ketukan di setiap pintu rumah
kini jadi menakutkan. Kenapa jemari ini tidak bisa
menunjuk setiap kebaikan. Kenapa jemari ini harus
menunjuk dalam sarung?
Sepenggal puisi dalam film terbaru Garin Nugroho, Puisi Tak Terkuburkan, ini secara tepat sekali
mempertanyakan banyak hal dalam hubungan
adanya sekat-sekat di berbagai masyarakat yang
majemuk ini. Umat Hindu tak mengetuk pintu
umat Muslim di hari Raya Galungan untuk mengantarkan sekedar makanan dan buah-buahan,
karena adanya kekhawatiran, apakah cara-cara itu
bisa diterima sekarang ini? Juga umat Muslim tak
mengetuk pintu umat Hindu di hari Raya Idul Fitri
untuk bersalam-salaman sambil mengucapkan
Minal Aidin Walfaizin, karena apakah itu perlu
kalau bukan seiman? Sudah sejak lama ada perdebatan di kalangan masyarakat akar rumput, apakah
umat Islam boleh atau tidak mengucapkan Selamat
Hari Natal kepada umat Kristiani? Apakah seorang
90

penganut Hindu mengucapkan: Asalamualaikum


kepada seorang penganut Islam, diterima dengan
kebesaran jiwa dan perasaan lapang, ataukah dicibir
sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak perlu?
Sebaliknya, apakah seorang penganut Hindu akan
membalas sapaan Om Swastyastu yang disampaikan
umat beragama non-Hindu, atau justru bersikap
curiga?
Ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan,
karena kita memandang sekat-sekat yang ada, terutama masalah agama, sebagai sesuatu yang menghambat tali silaturahmi. Agama yang mengajarkan
perdamaian dan menebarkan kasih sayang untuk
sesama manusia, ternyata mulai dikotori oleh niat
untuk menghimpun semakin banyak pengikut di
masing-masing agama itu sendiri. Target jumlah
pengikut ini menjadi tujuan utama dan ini melahirkan sekat-sekat yang ekslusif. Kecurigaan pun
lahir: apakah kebiasaan yang dilakukan ibu saya
di dua dasawarsa yang lalu, tidak malah dicurigai
sebagai menghindukan orang Islam? Kecurigaan
seperti ini pada akhirnya memang mendapatkan
alasan, karena ada banyak kejadian belakangan
91

ini, sumbangan dari kelompok agama tertentu


selalu diimingi-imingi target: suatu saat yang
menerima sumbangan itu mau mengikuti agama
si penyumbang. Mereka umumnya mendalihkan
bahwa kegiatan mereka itu sejalan dengan ajaran
agamanya, sebagai agama misi.
Padahal semua agama adalah agama misi, hanya
cara dan tekanannya yang berbeda. Hindu pun
agama misi. Kalau tidak, untuk kepentingan apa
agama ini masuk ke Nusantara ini. Salah satu sloka
dalam Yayur Veda berbunyi:
Yathenam wacam kalyanim, awadai janebhyah, Brahmana Rajanyabhyam, Cudra ya caryaya ca, Swaya carana
ca (YV. XXV.2)
Artinya: Biar KUajarkan pengetahuan suci ini
(maksudnya Veda) kepada orang banyak, kaum
Brahmana, Ksatria, Sudra dan Wasiya, dan bahkan
kepada orang asing sekalipun.
Sepanjang gerakan agama diarahkan untuk
mendapatkan sebanyak pengikut, dan bukan tujuan
luhurnya sebagai menyebarkan perdamaian dan ka92

sih sayang, menyebarkan rasa persaudaraan yang sejati, maka kita akan masih melalui masa-masa yang
penuh kecurigaan. Bahkan curiga terhadap sebuah
senyum, apalagi terhadap ketulusan bantuan.
***
Darimana kita harus mengembalikan situasi ini
sehingga kecurigaan berkurang dan sekat-sekat
ekslusif mencair?Yang pertama-tama harus dicerna
adalah ajaran agama yang paling hakiki itu, bahwa
Tuhan mewahyukan ajarannya dalam kurun waktu
ribuan tahun tidak hanya sekali saja. Ada banyak
perantara yang dipakai Tuhan untuk menyebarkan
ajaran-Nya. Kita mengenal banyak Awatara, kita
mengenal banyak Nabi, kita pun mengenal beberapa Maharesi.Tuhan menciptakan manusia yang berbeda-beda warna kulitnya, jenis rambutnya, suku
dan etnisnya, bahasanya, budayanya, agar manusia
yang berbeda-beda itu bisa saling mengenal dan saling isi-mengisi, kasih mengasihi, bantu membantu.
Tercipta persaudaraan sejati di kalangan umat yang
berbeda. Bayangkanlah kalau manusia di bumi ini
semuanya berkulit putih, atau semuanya berambut
keriting, semua wajahnya sama, apakah justru ti93

dak terjadi kekacauan. Ada orang yang dilahirkan


miskin dan menderita, justru agar orang yang kaya
dan sejahtra merasa terhukum untuk membantu
si miskin ini. Ada tentara berpangkat sersan, agar
ada yang memberi hormat kepada jenderal. Kalau
semuanya jenderal, siapa yang harus lebih dulu
memberi hormat?
Keberagaman ini diciptakan agar umat manusia
menjalin tali silaturahmi di antara kelompoknya,
antar kelompok yang berbeda, antar bangsa dan seterusnya. Dan untuk itu toleransi mendapat tempat
yang tinggi. Marilah kita toleran terhadap segala
perbedaan yang ada dan menghargai perbedaan
itu.Tapi janganlah toleransi ini disalah-artikan, lalu
dengan seenaknya kita melecehkan aturan-aturan
yang ada di kelompok orang lain. Idiom-idiom yang
ada dalam satu kelompok lebih-lebih jika itu
bernama agama dan sangat disakralkan, harus
dihormati dan tak bisa dicomot kelompok lain
untuk tujuan yang menyimpang.
Ini yang belakangan merebak, khususnya di Bali.
Saudara kita umat Kristiani, mengambil idiom94

idiom Hindu dan menggunakannya di lingkungannya sendiri. Tanpa permisi dan tanpa izin. Doa
suci Hindu, Om Swastyastu, di pakai nama sekolah
yang justru tidak mengajarkan pendidikan Hindu.
Syukurlah Perguruan Swastyastu yang ada di Denpasar itu sudah berubah nama menjadi Perguruan
Santa Yosef. Namun masih ada Dewa-Dewa dalam
mitologi Hindu yang dicomot begitu saja untuk
mengembangkan ajaran yang bukan Hindu, bahkan untuk bisnis, misalnya, Swalayan Siwa dan
sebagainya. Aksara suci Om dipajang untuk tujuan
yang sangat vulgar, misalnya, dijadikan tattoo ditaruh di bagian tubuh yang jorok.
Namun, di kalangan umat Hindu etnis Bali pun,
hendaknya sadar pula, mana idiom dalam kelompok agama yang sakral dan tak boleh dicomot
kelompok agama lain, dan mana idiom adat atau
budaya lokal yang memang bisa diadopsi pihak lain.
Karena budaya dalam perkembangan peradaban ini
tak bisa lagi dimonopoli kelompok tertentu. Apalagi di zaman globalisasi ini. Budaya Bali itu sendiri
sudah mengadopsi berbagai jenis budaya luar.
95

Budaya, adat, agama, adalah sesuatu yang


berbeda-beda. Adat adalah kebiasaan atau tradisi
yang mempunyai wilayah teritorial tertentu. Budaya adalah proses peradaban manusia yang selalu
berkembang, saling mempengaruhi, dan bisa lintas
teritorial. Agama adalah sebuah keyakinan yang
rujukannya sudah jelas dan pasti, yakni adanya kitab
suci, penerima wahyu, dan hukum-hukum yang
tak bisa diperdebatkan, kecuali mengacu ke kitab
suci itu sendiri. Kalau kita tak bisa memisahkan
mana agama, adat, dan budaya, maka kita akan bisa
salah protes.
Apakah kita (umat Hindu) protes kepada umat
Kristen di Bali yang kalau ke gereja memakai pakaian adat Bali? Kan mereka orang Bali, lahir dan
besar di Bali dan mewarisi adat Bali. Apa kita protes umat Islam di Pegayaman yang memakai nama
Wayan, Ketut, Nengah dan berbahasa Bali halus
(lebih halus ketimbang umat Hindu tetangganya?).
Apakah kita protes bahwa Nyama Selam (umat Islam Pegayangam) mewarisi Subak dan memelihara
tradisi itu? Kain, anteng, udeng, destar, subak, Nyoman, Nengah,Wayan, adalah adat. Gong, legong,
96

drama gong, arja, pupuh sinom, pangkur, bahasa


Bali, adalah budaya. Apakah umat Kristen etnis Bali
dilarang mengarang lagu bertembangkan Sinom?
(Bukankah umat Hindu etnis Bali justru di masa lalu
mengadopsi Sinom itu dari Jawa, misalnya). Apakah
group-group tari di Jakarta dilarang mementaskan
Legong Kraton? Tentu saja tidak.
Kemudian budaya Bali diadopsi oleh orang luar:
penjor, pajegan, rangkaian kembang, rangkaian
janur, dan lain-lain. Apakah ini kita protes? Karena
itu, PHDI dan Departemen Agama/Lembaga
Umat Hindu membuat pembatasan lewat berbagai
seminar Kesatuan Tafsir, mana budaya tadi yang
berkaitan dengan agama (sakral) dan mana budaya
tadi yang tidak sakral, hanya sebatas hiasan. Ini yang
perlu disosialisasikan kembali, terutama kepada
anak-anak muda yang kini sangat kritis. Lewat
Seminar Kesatuan Tafsir yang gencar diadakan di
tahun 1970-an itu, lahirlah padanan seperti: papen
joran, urap sari, babentaran, dan banyak lagi. Kalau
ini masih kurang karena tuntutan zaman globalisasi,
di mana batas-batas budaya sudah tak jelas lagi
teritorialnya, kembalilah diinventarisasi apa-apa
saja yang perlu dirumuskan kembali.
97

Kalau umat Hindu etnis Bali protes karena


budayanya diadopsi umat beragama lain, orang
lain pun bisa protes kepada umat Hindu. Pakaian
kebaya itu dari mana asalnya? Ternyata dari Jawa,
sampai sekarang pun ada yang menyebut kebaya
dengan baju potongan Jawa. Lihat belakangan
ini, anak-anak muda Hindu di Bali, sudah mengadopsi cara orang Jawa menggunakan kain, rata
depannya, tidak lagi mekancut. Hal-hal seperti ini
tak terhindarkan.
Cara berpakaian itu budaya, bukanlah agama.
Umat Hindu di Kaharingan (Kalimantan Tengah)
tak ada sembahyang memakai pakaian cara budaya
Bali. Umat Hindu di Jawa tak ada menggunakan
destar (udeng) yang terbuka atasnya, tetapi memakai blangkon. Bahasa lokal pun bukan agama.
Mana ada umat Hindu etnis Kaharingan, Batak,
Toraja, Jawa yang menggunakan bahasa Bali dalam
menghaturkan sesajen. Tetapi kalau menggunakan
mantram, pasti sama, karena rujukannya Weda.
Memang kemudian diperlukan visi yang sama.
98

Dalam kasus-kasus seperti ini, PHDI sebagai


lembaga pengayom umat dan pembuat bhisama
harus segera berperan. Membiarkan kasus begini
berlarut larut menjadi polemik di masyarakat,
sama artinya dengan mengadu domba umat itu
sendiri.
Sebaliknya, umat lain yang mencomot begitu
saja apa yang kini akrab dijadikan simbol-simbol
dalam Hindu, juga jangan mencari gara-gara. Aksara suci semacam Om itu semestinya sudah diketahui secara luas, betapa sakralnya bagi pemeluk
Hindu, janganlah dinistakan sedemikian rupa.
Saya menyinggung kasus-kasus yang pernah
ramai jadi polemik ini hanyalah sebagai ilustrasi,
bagaimana kita semestinya menjalin persaudaraan
sejati di antara berbagai perbedaan. Ada aturan
umum yang harus sangat dihormati dalam persaudaraan ini, yakni etika dan itikad yang baik.
Etika menyangkut sopan santun, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Semuanya harus
mengacu kepada lingkungan budaya setempat.
Sebutlah satu contoh, Meru adalah bangunan suci
99

umat Hindu. Tapi, sebuah Meru yang suci tentu


memenuhi semua persyaratan, misalnya, bertumpang ganjil, dan sebagai-sebagainya. Tak ada Meru
bertumpang genap. Lalu, ada orang nyeleneh dan
mencari gara-gara, membuat WC dengan bangunan berbentuk Meru, tetapi bertumpang empat,
dan dia ngotot itu bukan Meru. Memang betul.
Secara hukum formal kita tak bisa mengatakan itu
menghujat agama. Tetapi, dari segi moral, etika,
dan sopan-santun, itu sudah sangat keblablasan.
Contoh ini hampir mirip dengan digunakannya Swastyastu sebagai nama sekolah yang tak ada
juntrungannya dengan Hindu. Masih dapat diperdebatkan, apakah Swastyastu yang berdiri sendiri
tanpa diawali kata Om itu sesuatu yang sakral atau
kehilangan kesakralannya? Apapun, karena kata itu
adalah doa suci dalam Hindu, didahului atau tidak
dengan kata Om, secara etika Swastyastu tak bisa
digunakan oleh sesuatu yang tidak berhubungan
dengan agama Hindu. Swastyastu tetap merupakan
idiom Hindu, yang harus dihormati oleh pemeluk
agama lain.
100

Di sinilah dibutuhkan kebesaran jiwa, jangan


mencampur-adukkan idiom-idiom kepercayaan
lain untuk kepercayaan yang lain lagi. Lantas,
karena semua ini sudah terjadi, apa yang seharusnya
dilakukan? Perlu dialog dari hati kehati, perlu
membuka diri, perlu dijalin semangat rekonsiliasi.
Kata terakhir ini mungkin kurang pas, tetapi tak apa
disebutkan, karena suasana yang penuh kecurigaan
ini harus segera diakhiri.
Kecurigaan antar kelompok yang berbau
SARA saat ini sudah mencapai tingkat yang sangat
mencemaskan. Perang saudara terjadi di berbagai
tempat, hanya karena beda agama. Kalau kita ingin mengembalikan situasi ke arah terwujudnya
persaudaraan yang sejati, kenapa harus mencari
gara-gara dengan memasuki rumah orang tanpa
mengetuk pintu dan mengambil apa-apa yang ada
di dalamnya untuk digunakan semaunya?
Perahu bangsa ini sedang oleng. Perahu bangsa
sudah retak di sana-sini. Kita harus sama-sama
menambalnya. Melalui Hari Raya Galungan, kita
harus bisa memilah-milah, yang mana kebenaran
101

dan yang mana kebathilan. Dan mari, kebenaran


(dharma) itulah yang kita menangkan. Kita jalin
kembali tali silaturahmi, kita tancapkan lagi semangat rekonsiliasi. Kita ketuk pintu setiap rumah, dan
kita menyapa dengan etika sopan santun. Kalau ada
yang salah, jemari ini lalu menunjukkan arah kebaikan. Bukan menunjuk dalam sarung, seperti pesan
dalam film arahan Garin Nugroho, yang hanya bisa
memfitnah, membunuh atau menghakimi.
Kalau saya khilaf, disapa saya, diajak bicara saya.
Kami diajarkan untuk bicara siapa yang salah dan siapa
yang benar, berani bicara letak yang salah, letak yang
benar. Itulah puisi yang penuh makna dalam film
Garin itu.Ya, mari kita saling menyapa, dan bukan
saling bertengkar.
***
Tapi, apa sebenarnya arti Galungan itu? Sekali
lagi perlu diingatkan, Galungan artinya keme
nangan. Dungulan (nama wuku saat Galungan)
juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki
ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan.
102

Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah


menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau
di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh
pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh
kecurangan dengan menyisakan korban rakyatrakyat yang terkapar karena membela simbol
partai?
Tidak sembarang kemenangan, tentu saja.Yang
dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma
kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi,
menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh
umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah
kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau
kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga,
barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman
penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu
yang benar. Para penentu kebenaran sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan,
kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang
bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat
adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa
bisa disuap. Bahkan pada diri kita sendiri bersemayam sifat-sifat adharma. Ketika anak kita belum
103

mendapat pelayanan yang baik di rumah sakit,


kita menempeleng perawat. Ketika seorang calon
legislatif merasa disaingi calon lain, ia menyuruh
orang untuk membakar baliho lawan, jika perlu
membawa pedang terhunus, main tebas. Adharma
bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya
bervariasi.
Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan
pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata
yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut tekad
untuk berbuat suci. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian
Jawa, itulah hakekat pensucian diri.
Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan,
mari kita belenggu keinginan jahat (adharma) kita.
Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban dilanjutkan Hari Penyajaan (di beberapa tempat disebut Pengejukan), itulah saatnya kita membelenggu
nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan
kotor kita musnahkan, kita sembelih sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari
104

Penampahan. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni


dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan
semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan
dharma. Inilah Galungan yang sejatinya.
Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah
mencari apa arti di balik simbol-simbol yang diciptakan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih jalan
di tempat dan tak pernah maju-maju dari jebakan
ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti
di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat
Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di
pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihaturkan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma
sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah
berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu
bertengkar soal kuburan, alam Bali diperkosa dari
pantai sampai gunung, berbeda partai saling bacok.
Lalu apa arti merayakan Galungan kalau adharma
tak pernah berkurang?
Galungan memang tak ada dalam kitab suci
Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma
melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah
105

ajaran untuk selalu berbuat yang benar, menghiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu
menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan
untuk menyerap budaya lokal, maka perayaan
dharma ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun
kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk
lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam
mudah untuk menghayatinya.
Di India kemenangan dharma itu dirayakan dua
kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan
dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diambil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan
raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh
Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa
Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) simbol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama
atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa
Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur
dan bersukaria atas kalahnya adharma, dan dirayakan sepuluh hari.
Barangkali untuk menyesuaikan dengan India
di mana agama Hindu lahir, leluhur kita di Bali juga
106

merayakan kemenangan dharma dua kali setahun,


meski tak persis dengan tahun Masehi, karena perhitungan yang dipakai adalah wariga, bukan sasih.
Dan perayaan yang disebut Galungan ini dijatuhkan
pada Rabu Kliwon Dungulan, lalu ditutup dengan
Hari Raya Kuningan, yang juga berjarak 10 hari.
Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan
Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan
Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada perayaan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada
wuku Dungulan. Seperti diketahui, wariga yang
ada di Bali sumbernya adalah di Jawa, nama wuku
maupun pasaran semuanya sama.
Masalahnya mungkin ini perlu dikajileluhur kita di Bali mengkaitkan perayaan Galungan
itu dengan mitos Mayadenawa. Sampai saat ini,
masyarakat Bali terjebak pada mitos itu. Padahal
tak ada prasasti apapun tentang Mayadenawa yang
dikaitkan dengan Galungan, kecuali karya sastra
yang sifatnya fiksi. Yang ada adalah prasasti yang
menyebutkan, orang Bali lama sekali tak merayakan Galungan, dan perayaan itu baru dibuat rutin
107

kembali sejak tahun 1126 ketika Bali diperintah


Sri Jayakusunu. Dikaitkannya Galungan dengan
legenda Mayadenawa membuat Galungan menjadi
Bali sentris dan barangkali ini membuat umat
Hindu non-Bali kurang sreg merayakan kemenangan dharma pada saat Galungan ini.
Ke depan kita harus lebih banyak lagi menelaah
ajaran Hindu berdasarkan sastra dan tatwa. Bagi
umat Hindu non-Bali, kalau memang tak sreg
merayakan kemenangan dharma bersama-sama
orang Bali, silakan membuat perayaan sendiri
pada hari yang berbeda. Seperti halnya di India, ini
menunjukkan Hindu begitu universal, ibarat taman
dengan beragam bunga yang indah. Adapun bagi
umat Hindu di Bali, mari kita rayakan Galungan
dengan mencari inti filsafahnya, membunuh sifatsifat adharma untuk kemenangan dharma, dan
mensyukuri kemenangan itu.
Suksesnya perayaan Galungan seharusnya bisa
dilihat dari masyarakat yang lebih tentram dan damai, bukan banyaknya orang mabuk di balai banjar
yang disulap jadi bar. Tak ada gunanya penjor dan
108

sesajen di hari Galungan kalau keributan yang terjadi, karena itu berarti adharma yang tetap menang.
Seharusnya kita hanya mengucapkan Selamat Hari
Raya Galungan untuk orang yang benar-benar
bisa mengalahkan adharma untuk kemenangan
dharma.
(Tulisan ini, dalam bentuk terpisah-pisah, pernah
dimuat Harian Radar Bali dan Majalah Majemuk
Jakarta)

109

Bagaimana
Merayakan
Hari Kuningan

erayakan Kuningan bagi umat Hindu


di Bali lebih banyak ditujukan kepada
leluhur. Karena itu yang dominan di
sini adalah tumpeng. Bahwa tumpeng itu warnanya
kuning, tidak jelas sumber sastranya. Mungkin juga
leluhur kita di masa lalu tak begitu jelimet harus
mengacu kepada sastra agama, tetapi lebih pada
kebiasaan masyarakat setempat bahwa tumpeng
kuning itu enak dipandang dan enak dimakan. Kebiasaan membuat tumpeng kuning sudah ada sejak
lama sebelum Hindu masuk di Indonesia.
Namun, Hari Raya Kuningan tidak spesifik
diatur dalam Kitab Weda. Sebagaimana halnya hari
110

raya lain, semuanya mengacu kepada tradisi lokal,


hanya jiwanya saja ada dalam ajaran agama. Misalnya, umat Hindu dianjurkan untuk merayakan hari
kemenangan dharma setelah simbo-simbol adharma ditumbangkan. Umat Hindu di India memakai
mitologi kemenangan Rama atas Rahwana, umat
Hindu di Bali memakai mitologi Mayadanawa. Jadi,
nama hari raya bisa beda dan kapan dirayakan serta
bagaimana cara merayakannya juga berbeda-beda.
Tapi, ada aturannya yang bersifat lokal.
Sayangnya, aturan merayakan Kuningan hanya
sedikit dan itu dimuat dalam lontar Sundarigama.
Disebutkan di situ, hendaknya umat menghaturkan
sesaji pada pagi hari dan jangan menghaturkan
sesaji setelah lewat tengah hari. Kenapa begitu?
Karena yang dihaturkan sesaji berupa tumpeng
berwarna kuning itu adalah Dewa Pitara alias leluhur kita sendiri. Para leluhur ini akan kembali
ke sorga pada tengah hari.
Umat Hindu menyembah (dalam hal ini lebih
baik digunakan istilah memuliakan) leluhur dan
menyembah Hyang Widhi. Dalam ajaran Hindu
111

juga disebutkan roh para leluhur menyatu dalam


sinar suci Hyang Widhi, bukan berada di sisiNya sebagaimana keyakinan umat beragama lain.
Karena itu, kalau pada pagi hari kita tidak sempat
menyembah leluhur, bersembahyanglah sore atau
malam hari ke hadapan Hyang Widhi, toh para leluhur kita sudah menyatu dalam sinar suci Hyang
Widhi. Hanya, tentu saja sarana persembahyangan
kepada Hyang Widhi berbeda bentuknya dengan
sarana persembahyangan kepada leluhur. Beberapa
pura besar melangsungkan piodalan pada saat Hari
Raya Kuningan, seperti Pura Sakenan di Pulau Serangan, Pura Pekendungan di Tabanan, dan banyak
lagi pura kawitan.
Tradisi merayakan Kuningan juga disertai dengan adanya simbol tamiang. Ini adalah alat untuk
menangkis serangan musuh, semacam perisai untuk membentengi diri. Siapa yang dibentengi? Bisa
leluhur yang sedang menikmati suguhan tumpeng
sehingga dalam perjalanannya selamat kembali ke
sorga (mur mwah maring swarga), bisa pula simbol
untuk diri kita sendiri agar selalu bisa selamat dari
serangan musuh. Kita baru saja mengalahkan ad112

harma dan merayakan kemenangan dharma pada


Hari Raya Galungan. Sepuluh hari larut dalam
kemenangan dharma dengan melakulan silakrama
(silaturahmi) dan tirtayatra (menghaturkan bhakti
ke pura-pura), maka kini saatnya kita membentengi
diri kita dari musuh-musuh yang baru. Tamiang
harus selalu berada dalam kehidupan kita seharihari.
Sekarang, bagaimana kita menerjemahkan penghormatan kepada leluhur itu serta membentengi
diri dari musuh-musuh yang baru? Menghormati
leluhur adalah mewarisi dan menjaga peninggalan beliau. Peninggalan itu banyak sekali, dari
harta benda yang diwariskan kepada keturunannya
langsung maupun peninggalan berupa pura, kitab
sastra, dan sebagainya. Warisan ini yang seringkali
luput dijaga oleh umat Hindu di Bali, sehingga banyak sekali tanah-tanah di Bali berpindah tangan ke
orang luar Bali. Di sinilah lemahnya orang Bali yang
tidak bisa membentengi dirinya dengan tamiang,
sehingga mudah sekali diserang. Serangan yang
paling berbahaya adalah serangan berupa konsu
merisme, mengejar materi untuk kenikmatan duni113

awi yang sifatnya terbatas. Mereka hanya mengejar


kesenangan sesaat. Beli sepeda motor atau mobil
dengan menjual warisan orangtua, misalnya. Atau
menjual warisan dengan alasan untuk biaya ngaben
leluhurnya, padahal biaya itu tidak begitu besar.
Menjaga warisan kolektif juga sangat kendor di
Bali. Lingkungan Pura Sakenan sudah rusak parah
sejak menyatunya Pulau Serangan dengan Pulau
Bali. Aura magis sudah berbeda dengan masa lalu,
ketika umat Hindu harus menyeberang laut menuju
pura peninggalan Danghyang Nirartha ini. Kegiatan
yang jauh dari religius sudah menjamah kawasan
ini, misalnya, musik hingar-bingar yang dipentaskan secara marathon.
Kasus Pura Sakenan hanya satu contoh dari begitu banyak kasus-kasus yang mulai menurunkan
tingkat kesucian tanah Bali. Kesucian Bali yang
diwariskan leluhur kita dari pendahulunya, sudah
rusak di tangan generasi Bali saat ini. Kita tak
kuasa membentenginya lagi, kita sudah tak punya
tamiang yang bagus untuk itu. Barangkali itu
sebabnya daya pertahanan Bali jadi lemah, bom
114

mudah meledak di Kuta dan Jimbaran. Dulu,


teroris yang berniat menghancurkan Bali, bomnya
meledak di perjalanan menuju Bali. Seperti ada
kekuatan magis yang menangkisnya karena Bali
masih suci.
Pada hari Tumpek Kuningan ini, marilah kita
membentengi diri lebih kuat lagi, dan mem
bentengi Bali dengan tamiang niskala yang tangguh dan suci.
(Tulisan ini pernah dimuat di Bali Post)

115

Mensosialisasikan
Bhisama Kawitan
untuk Kaum Muda

(Om awignam astu. Nunas lugra ring Ida Bethara


Kawitan seantukan titiyang purun ngojah Ida Bethara,
dumadak-dumanik titiyang tak keni sodsod upradrawa,
nunas pangampura banget tur nunas panugrahan Ida
Bethara mangde sami damuh Ida Bethara manggihin
kerahajengan. Om, namo namah swaha).

esungguhnya kita tak tahu pasti, karena


tak ada catatan sejarah yang otentik, kapan
para leluhur kita menginjakkan kakinya di
Bali. Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita
Mpu yang berjasa dalam membangun Bali, baik
menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun
meletakkan dasar-dasar ritual keagamaan di Bali.
Leluhur itu dikenal dengan sebutan Catur Sanak,
karena memang terdiri dari empat bersaudara.
116

Mereka adalah putra dari Mpu Lampita, yakni


Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan
Mpu Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita,
yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak ikut ke Bali.
Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang
Panca Tirtha. Seperti diketahui, Mpu Lampita
adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan
Mpu Wiradharma putra dari Mpu Withadarma.
Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra Hyang
Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali
dan membangun tempat yoga samadi di puncak
Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura
Lempuyang Luhur.
Empat Sekawan Sang Catur Sanak menjadi
penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka
meletakkan dasar-dasar adat, budaya dan agama,
tetapi juga membangun dasar parahyangan yang
kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan
mereka di Bali juga tak sekedar mengikuti jejak
leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke
Bali dari Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini
sebenarnya juga diundang oleh raja Bali saat itu,
Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa
117

saat ini, tugas beliau adalah mengemban dharma


negara dan dharma agama.
Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam
buku Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah
tiada, Jero Mangku Soebandi, disebutkan Mpu
Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921
atau 999 Masehi. Beliau menetap di Besakih dan
kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur
Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak
Sapta Rsi.
Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka
923 atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel.
Parhyangan beliau kini dikenal dengan Pura Dasar
Bhuwana Gelgel.
Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama
(1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini
parhyangan beliau dikenal dengan Pura Silayukti.
Dan terakhir datang Mpu Gnijaya pada tahun
Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap
di Bukit Bisbis dan parhyangan itu kini dikenal
dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya,
118

kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi


ini, belum tepat benar kita memperingati seribu
tahun kedatangan Mpu Gnijaya.Tapi apalah artinya
waktu, yang penting ini sudah kejadian yang sangat
lama dan perlu kita kenang kembali, dan dikenang
seterusnya.
Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini
Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu?
Semua parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk
pura dan dijadikan pura kawitan oleh semeton
Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas
disebutkan, mereka yang lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan
menemukan kehidupan yang baik.
Baca penggalan Bhisama Kawitan ini: Kamung
Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana
nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anakanak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa
ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring
Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Gelgel Dalem
Dasar, ring Silayukti.Yan kita lupa ring kahyangan nira
119

Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan


sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata
anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan,
sugih gawe kurang pangan.
Jadi, kalau kita lupa kahyangan Bethara Kawitan
sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak tenteram.Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan,
selalu menemui kebingungan, bertengkar sesama
semeton, banyak kerja kurang makan artinya
rejeki tak bagus.
Bagaimana kita menghayati atau membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani
muda Pasek? Kita tak perlu lagi menekankan kata
wastu yang artinya kira-kira semoga atau dumadak (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi bahwa Bethara Kawitan
itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk,
bukan bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Bhisama ini kita
kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan
betapa luas pengetahuan leluhur kita di masa lalu
dengan ajaran Hindu meski kita tak tahu dengan
120

cara apa leluhur kira mempelajari Weda.


Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur, selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman.
Leluhur yang dipuja menyatu dalam sinar Tuhan
bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan
Muslim namun leluhur yang sudah menjadi
Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa
kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu
hendaknya selalu ditekankan kepada anak-anak
muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan
memuja Tuhan, namun bisa dilakukan dalam ritual
berurutan. Itu yang membuat orang akan datang
ke pura-pura kawitan.
Jika kita hanya menyebutkan, mari bersem
bahyang ke Lempuyang Madya, anak-anak muda
akan bertanya: sembahyang di rumah juga bisa,Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik gunung
segala? Tetapi jika kita sebutkan, mari kita memuja
Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan
yoga semadi. Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana kisah
leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang
121

didapatkan di Lempuyang Madya.


Jangan melupakan kahyangan kawitan selama
sepuluh odalan artinya antara enam sampai
sepuluh tahun tergantung tegak odalan, apakah
memakai hitungan sasih atau wariga sebenarnya
sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat
Hindu wajib melaksanakan tirthayatra disesuaikan
dengan kemampuan yang ada. Kini banyak orang
melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang dianggap keramat, padahal
sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura
saja sampai lupa bertahun-tahun, bagaimana bisa
mengenal para semeton, lalu semeton saja tak
dikenal bagaimana bisa rukun dan guyub?
Salah satu fungsi pura adalah sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman.
Banyak teman bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak punya
teman?
Inilah cara-cara kita membaca bhisama dalam
kehidupan yang sangat modern ini, sehingga
122

bhisama tidak semata-mata menjadi catatan yang


usang dan ketinggalan jaman.
Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang
paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir
sebagai pewaris leluhur yang maha mulia. Saya
kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya:
Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang
Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh
Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang
winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita
prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna
kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu
metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring
kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh
aku, MpuWithadharma.
Jelas di sini disebutkan, Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita,
sebab kalian adalah keturunan Brahmana sejati,
turunan Arya Tatar. Kalau sampai sekarang
masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak
berhak menjadi Pandhita, apalagi disebutkan orang
123

Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang


yang tak kenal leluhurnya sama sekali. Bagaimana
bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur saja
tak diketahui?
Begitu pula kalau orang Pasek ngaben dipuput
Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa
jenasah orang Pasek tak boleh beralaskan biu
Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan
dalam Bhisama MpuWithadharma hal ini dikatakan
lebih lengkap lagi.
Dalam pergaulan modern, Bhisama Mpu Ketek
harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi
muda warga Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang angangken
asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan
paryangken asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun,
yan wus anut ring katattwanta, kadi linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana
pramodo pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu
ya asanak ri kita.Yan wus manut ring panjanji ubaya
upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang
kita aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha.
124

Bhisama ini menegaskan, kita sebagai warga


Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan
tulus setiap orang yang mengaku dirinya Pasek dan
Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati,
cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah
laku dan kesehariannya. Kalau dia mengaku Pasek
tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu,
malah Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah.
Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa
lalu sudah bisa melihat kejadian masa sekarang.
Ida Mpu Ketek saja sudah memberi peringatan
ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun
tak boleh curiga.
Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita
untuk pecah berantakan, ini inti yang harus terus
didengungkan. Semoga semangat yang sudah diwariskan seribu tahun ini tetap bergema di hati
setiap semeton pasek.
(Tulisan ini dipresentasikan pada Seminar 1000
125

Tahun kedatangan Mpu Gni Jaya di Bali, yang diselenggarakan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi Kabupaten
Karangasem di Amlapura)

126

da Pandita Mpu Jaya Prema Ananda melaksanakan


diksa dwijati pada 21 Agustus 2009, dengan Guru Nabe,
Ida Pandita Mpu Nabe Jaya
Rekananda dari Griya Nataran,
Kayumas Kelod, Denpasar.
Semasa walaka bernama
Putu Setia, lebih dari 30 tahun
tinggal di luar Bali (Yogyakarta
dan Jakarta), namun aktif dalam
berbagai organisasi umat Hindu.
Juga banyak menulis buku-buku
agama, budaya, selain buku tentang jurnalistik dan sosial
politik.
Kini menetap di Bali, lebih banyak di Pasraman namun
sesekali berada di Denpasar. Kontak selengkapnya:
Pasraman Dharmasastra Manikgeni
Banjar Taman Sari, Desa Pujungan
Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan 82163
Telepon (0362) 71116
Griya Alit Manikgeni
Jalan Pulau Belitung Gg. II/3 - Desa Pedungan
Denpasar 80222. Telepon (0361) 723765
Email: mpu_jayaprema@yahoo.co.id
Web: http//www.mpuprema.blogspot.com
Facebook: Mpu Jaya Prema Ananda
HP: (Karena sifatnya pribadi, bisa di-klik pada web
atau Facebook, atau tanya ke Griya/Pasraman)

127

Anda mungkin juga menyukai