Anda di halaman 1dari 21

Pura Tanah Lot

'Tanah Lot' adalah sebuah objek wisata di Bali, Indonesia. Di sini ada dua pura yang terletak di
atas batu besar. Satu terletak di atas bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing mirip
dengan Pura Uluwatu. Pura Tanah Lot ini merupakan bagian dari pura Dang Kahyangan. Pura
Tanah Lot merupakan pura laut tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut.

Legenda
Menurut legenda, pura ini dibangun oleh seorang brahmana yang mengembara dari Jawa. Ia
adalah Danghyang Nirartha yang berhasil menguatkan kepercayaan penduduk Bali akan
ajaran Hindu dan membangun Sad Kahyangan tersebut pada abad ke-16. Pada saat itu
penguasa Tanah Lot, Bendesa Beraben, iri terhadap beliau karena para pengikutnya mulai
meninggalkannya dan mengikuti Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben menyuruh Danghyang
Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot. Ia menyanggupi dan sebelum meninggalkan Tanah Lot
beliau dengan kekuatannya memindahkan Bongkahan Batu ke tengah pantai (bukan ke tengah
laut) dan membangun pura disana. Ia juga mengubah selendangnya menjadi ular penjaga pura.
Ular ini masih ada sampai sekarang dan secara ilmiah ular ini termasuk jenis ular laut yang
mempunyai ciri-ciri berekor pipih seperti ikan, warna hitam berbelang kuning dan mempunyai
racun 3 kali lebih kuat dari ular cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa Bendesa
Beraben 'akhirnya' menjadi pengikut Danghyang Nirartha.

Lokasi
Obyek wisata tanah lot terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar
13 km barat Tabanan. Disebelah utara Pura Tanah Lot terdapat sebuah pura yang terletak di
atas tebing yang menjorok ke laut. Tebing ini menghubungkan pura dengan daratan dan
berbentuk seperti jembatan (melengkung). Tanah Lot terkenal sebagai tempat yang indah untuk
melihat matahari terbenam (sunset), turis-turis biasanya ramai pada sore hari untuk melihat
keindahan sunset di sini.
Fasilitas
Dari tempat parkir menuju ke area pura banyak dijumpai art shop dan warung makan atau
sekedar kedai minuman. Juga tersedia toilet bersih yang harga sewanya cukup murah untuk
kantong wisatawan domestik sekalipun.

Hari Raya
Odalan atau hari raya di Pura ini diperingati setiap 210 hari sekali, sama seperti pura-pura yang
lain. Jatuhnya dekat dengan perayaan Galungan dan Kuningan yaitu tepatnya pada Hari Suci
Buda Cemeng Langkir. Saat itu, orang yang sembahyang akan ramai bersembahyang di Pura
Ini

Pura Luhur Batukaru

Berdasarkan Lontar Kusuma Dewa, Pura Luhur Batukaru tergolong ke dalam Pura Sad
Kahyangan yang dibangun sekitar abad ke-11 Masehi. Pura ini pun dapat dikatakan sezaman
dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Gowa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan
Pura Pusering Jagat. Pura Luhur Batukaru sendiri terletak di desa Wongaya Gede, Kecamatan
Penebel Bali.
Pura Luhur Batukaru berdiri di kaki Gunung Batukaru yang dikelilingi ribuan jenis pepohonan.
Tentu saja jika dilihat dari letak geografisnya, pura ini berada di daerah yang berhawa sejuk dan
segar, sehingga tidak berlebihan jika, pura ini dikatakan memiliki kekuatan relaksasi yang cukup
besar. Memasuki areal pura dari sisi selatan, beraneka ragam patung kuno akan menghantarkan
langkah kita menuju halaman utama pura. Ditempat ini terdapat beberapa pelinggih (tempat
pemujaan) diantaranya meru dan tiga buah candi yang konon menurut Jro Mangku Luhur
Batukaru Kebayan Lingsir, bangunan candi ini mirip candi-candi yang terdapat di Pulau Jawa
dan kini menjadi ciri utama Pura Luhur Batukaru.
Sementara itu disisi timur Pura Luhur Batukaru terdapat danau kecil yang memiliki pelinggih
tepat ditengah-tengahnya. Masyarakat setempat mempercai bahwa danau ini masih memiliki
hubungan tertentu dengan beberapa danau yang ada di Bali. Pura Luhur Batukaru yang dalam
konsepsi Hindu dianggap sebagai tempat berstananya Dewa Maheswara ini banyak dikunjungi
umat Hindu untuk menggelar persembahyangan yang jatuh saat piodalan pura hari Umanis
Galungan (sehari setelah perayaan hari raya Galungan). (gi)
Pura Besakih

Pura Besakih

Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan
Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura
Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17
Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu
Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai
pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara
semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah
pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya
dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran
Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu
Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta,
Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi.

Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya
Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di
dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung
tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam
Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga
tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat
manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.

Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-
unsur kebudayaan yang meliputi:

1. Sistem pengetahuan,
2. Peralatan hidup dan teknologi,
3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
4. Mata pencaharian hidup,
5. Sistem bahasa,
6. Religi dan upacara, dan
7. Kesenian.

Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan
wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu
yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.

Objek penelitian

Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat
yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.

Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan
dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, pundenberundak-undak, arca,
yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong,
maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.

Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah
sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai
istana Dewa tertinggi.

Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius
dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut
aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.

Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai
bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak
dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi
perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan
tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan,
ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan
ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari
umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam
ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.

Sekilas tentang Agama Hindu Dharma

Agama adalah ajaran tentang Ketuhanan. Semua agama adalah benar adanya. Marilah kita
sebagai manusia, mengayomi agama-agama yang ada, di seluruh dunia. Agama Hindu lahir
dari peradaban di sekitar sungai Shindu, berawal dari India, sekitar tahun 5500 sebelum
masehi.

Agama Hindu di Bali mendapat tempat di hati masyarakat, karena dianggap ssuai dengan
kebudayaan berkembang saat itu.

Uluwatu
Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura di Bali dengan lokasinya yang sangat indah. Daya
tarik utama bagi para wisatawan dari pura ini adalah panoramanya yang spektakuler. Terletak
di bagian barat laut, pura ini seperti bertengger di ujung tebing batu yang sangat tinggi dan
curam, dengan pemandangan lautnya dibawah berwarna biru bersih dan hantaman ombak yang
menghasilkan buih-buih putih yang sangat cantik.

Menurut sejarah, seorang pendeta Hindu yang berasal dari Jawa bernama Empu Kuturan
adalah orang yang pertama kali membangun pura di tempat ini. Kemudian diteruskan oleh
sejawatnya yang kemudian juga membangun pura Tanah Lot yang juga terkenal dengan
pemandangan matahari terbenam (sunset) yang sangat indah.

Untuk bisa masuk kedalam pura ini pengunjung harus mengenakan sarung dan selempang yang
bisa disewa ditempat itu. Waktu terbaik untuk mengunjungi pura Uluwatu adalah sore hari
pada saat matahari terbenam sehingga bisa menyaksikan pemandangan spektakulernya.

Tembahan informasi, disekitar komplek pura terdapat segerombolan monyet. Para monyet ini
biasanya suka usil dengan mengambil berbagai macam barang yang dibawa pengunjung. Barang
yang sering menjadi incaran mereka adalah kacamata, tas, dompetatau apa saja yang gampang
direbut. Jadi hati-hati dengan mereka apabila sedang berkunjung di komplek pura Uluwatu
Bali.
Pura Penataran Beratan
Adnyana under Pura di Tabanan

Pura Penataran Beratan–


Keindahan Alam dan Manisnya Madu Spiritual

Pura Dangkahyangan Penataran Beratan atau disingkat Pura Penataran Beratan adalah
sebuah tempat suci yang terletak di tepi Danau Beratan, Desa Candikuning, Kecamatan
Baturiti, Tabanan. Keindahan alam yang terdiri atas air danau yang tenang dan sejuk
serta hijau pepohonan di sekitarnya menjadi ciri khas dari pura ini.

Dari Kota Denpasar, untuk mencapai pura ini harus menempuh jarak sekitar 51 km.
Udara pegunungan yang dinginakan menyapa setiap pengunjung yang memasuki
kawasan Candikuning. Pura yang terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan
laut ini memang terkenal memiliki suhu yang sangat nyaman yakni berada pada kisaran
18-22 derajat Celsius. Sangat berbeda dengan suhu udara di tempat lainnya yang rata-
rata lebih tinggi. Selain itu kabut tipis yang menyelimuti daerah pegunungan ini
menjadi pesona tersendiri. Daerah Bedugul, Baturiti memang terkenal dengan pesona
alamnya, terutama berasal dari pemandangan Danau Beratan. Daerah ini sangat subur
dan sentra penanaman sayur dan tanaman hias.

Jika pemedek memasuki areal pura ini, pesona indahnya alam dan getaran spiritual
sangat terasa. Di samping karena hawanya yang sangat sejuk, air Danau Beratan yang
tenang dan sejuk seolah mengingatkan manusia pada keagungan spiritual. Bagi para
pemedek Pura Penataran Beratan menjadi salah satu tujuan tirtayatra yang sangat
bermakna. Sedangkan bagi para pelancong, areal pura yang tergabung dalam objek
wisata Danau Beratan ini mampu memberikan rasa terang, senang dan damai dengan
pelukan pesona keindahan alamnya.

Di pura yang diperkirakan dibangun pada zaman kerajaan di Bali ini, ada sesuatu
keindahan yang sukar untuk diterjemahkan ke dalam kata-kata. Banyak pengunjung
yang menyatakan sebagai suatu keindahan yang menyentuh rasa terdalam, semacam
nektar (madu) spiritual. Sejauh mata memandang, hijau pegunungan dan jernihnya air
lautakan menggugah perasaan terdalam manusia, yang mengingatkan pada keagungan
ciptaan Tuhan yang harus dirawat dan dijaga oleh manusia. Bisa menikmati alam yang
indah ini merupakan satu kesempatan yang indah yang mungkinakan terus terbayang
sepanjang perjalanan hidup.

Pura pertama yang ditemui ketika memasuki areal ini adalah Pelinggih Pande. Di sini
dapat ditemui peninggalan prasejarah yang berupa sarkopagus, alat-alat rumah tangga
dan benda-benda peninggalan kuno lainnya. Benda-benda ini dibuatkan
pelinggih sederhana di areal pura yang sempit itu. Pura ini bersebelahan dengan pohon
beringin besar yang telah berusia lebih dari seratus tahun. Setiap hari tertentu, para
pasemetonan Pande sering melakukan pemujaan di tempat ini. Selain itu persis di
depan Pura Penataran terdapat Pura Dalem Purwa.

Pura Penataran Beratan merupakan pura utama yang terdiri atas beberapa pelinggih
dan meru. Areal utama mandala dari pura ini juga merupakan daerah yang terluas dari
beberapa pura yang ada. Selain pintu utama, pemedek dapat memasuki pura melalui
dua pintu bagian depan dan satu pintu yang tembus persis di tepi danau. Aturan di
pura ini sangat ketat, di utama mandala hanya dapat dimasuki oleh mereka yang
melakukan persembahyangan saja dan berpakaian adat. Suasana di dalam pura terasa
sangat berbeda dengan di luar. Di situ lebih tenang dan lebih khidmat, tanpa ada
wisatawan yang lalu-lalang, apalagi ditambah dengan bau dupa yang semerbak. Umat
yang masuk ke dalam pura ini benar-benar bermaksud untuk menghubungkan diri
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sayang sekali, kondisi pura ini memprihatinkan karena
banyak bangunan yang mulai lapuk serta keropos.

Sementara itu, selain Pura Penataran, pura yang terletak pada danau yakni pura dengan
meru tumpang 11 dan meru tumpang 3 menjadi sorotan lensa para pengunjung. Pura
dengan meru tumpang 11 merupakan penghayatan terhadap Batara Pucak Mangu dan
tumpang 3 merupakan pemujaan Dewi Danu. Dua pura yang terletak di danau
terutama saat air danau penuh menjadi pemandangan tersendiri. Pura Dewi Danu
merupakan penghayatan akan kesejahteraan bumi, di mana air merupakan sumber
kemakmuran dan kesejahteraan jagat. Dengan melakukan pemujaan terhadap Dewi
Danu, diharapkan kesejahteraan masyarakat Bali semakin meningkat dan kesadaran
manusia untuk memelihara sumber-sumber alam semakin meningkat. Sebab, mata air
merupakan sumber kehidupan bagi manusia.
Keunikan lain dari areal pura ini adalah adanya sejenis pagoda yang terdapat arca
Buddha. Banyak pengunjung yang mengira bahwa tempat ini khusus dibangun untuk
memuja Sang Buddha, tetapi konon bangunan ini justru dibangun oleh umat
Hindu. Akan tetapi hingga kini masyarakat Hindu jarang melakukan pemujaan di
tempat ini, hanya ada beberapa umat Buddha yang melakukan sembah bakti.

Hampir setiap hari banyak pemedek dari berbagai daerah berdatangan untuk tujuan
tertentu di antaranya upacara yang berhubungan dengan pitra yadnya maupun dewa
yadnya. Selain itu, pura ini diyakini sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan
rezeki.

10 Pengider

Terdapat 10 pura pengider pada Pura Penataran Beratan. Masing-masing dewa yang
distanakan pada pura pengider ini berbeda. Kesepuluh pura pengider itu adalah Pura
Pucak Mangu, Pura Manik Umawang (Ulun Danu), Pura Rejeng Besi, Pura Pucak Resi
Sangkur, Pura Pucak Candi Mas, Pura Teratai Bang, terletak di lokasi Kebun Raya. Pura
Batu Meringgit terletak di lokasi Kebun Raya, Pura Pucak Pungangan, Pura Pucak Sari,
dan Pura Kayu Sugih.

Pada saat piodalan yang jatuh pada Anggarkasih Julungwangi ini, kesepuluh Batara
yang berstana di masing-masing pura pengider distanakan dan dipuja selama piodalan
berlangsung. Namun, dalam keseharian Tri Murti yakni Brahma, Wisnu dan Siwa
merupakan fokus pemujaan di pura ini.

Menurut beberapa sumber pemujaan Tri Murti di pura ini merupakan suatu bentuk
pencarian spiritual yang seimbang dan selaras atau sesuai dengan masyarakat Bali. Pura
ini di-empon oleh empat satakan, yang merupakan pengempon secara turun-temurun.
Satakan Candikuning sebagai pekandel dari pura ini yang terdiri atas lima desa
pakraman, Satakan Bangah, Satakan Baturiti dan Satakan Antapan. Keempat satakan
ini bekerja bahu-membahu dalam pelaksanaan piodalan maupun perawatan dari pura
ini. Sementara Puri Marga merupakan penganceng, sedangkan Puri Mengwi, Belayu
dan Perean sebagai pengabeh.

Ketua Badan Pengelola Objek Wisata Penataran Beratan IGN Budana Arta menyatakan
sejak 30 tahun terakhir Pura Penataran ini tidak pernah direhab, sehingga kondisinya
banyak yang sudah lapuk. Menurutnya, sebagai suatu tempat pemujaan, kelayakan pura
ini patut dipertimbangkan. Sedangkan sebagai tempat wisata keunikan berupa
kekunoan sering dianggap alami merupakan satu daya tarik tersendiri. Akan tetapi
sebagai tempat pemujaan dianggap sangat layak untuk dilakukan rehab.

Artha menyatakan sejak Maret lalu telah dilakukan rehab tahap I yang terdiri atas tujuh
pelinggih yang sudah keropos. Dana yang dibutuhkan untuk hal ini sebesar Rp 600
juta. Sedangkan untuk tahap II nanti, pihaknya merencanakan akan melakukan rehab
pagar, candi dan bangunan lainnya yang diperkirakan menelan dana sebesar Rp 2
milyar.
Kesepuluh pura pengider ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Baturiti, bahkan
Pura Pucak Sangkur sering dikaitkan dengan tempat memohon bagi para pejabat di
lingkungan Propinsi Bali. Pada saat bulan purnama banyak pemedek yang tangkil baik
dengan tujuan peningkatan spiritual maupun keinginan duniawi. Alamnya yang teduh
dan tenang di pura ini sering dijadikan sebagai tempat meditasi banyak penekun
spiritual.

Suatu kekeliruan yang telah meluas terjadi bahwa Pura Penataran ini sering disebut
Pura Ulun Danu. Menurut Artha, setelah dilakukan rembuk antartokoh-tokoh ternyata
yang benar merupakan Pura Penataran. Sedangkan yang dinyatakan sebagai Pura Ulun
Danu adalah Pura Manik Umawang yang letaknya memang di daerah hulu dari danau.
Nama Ulun Danu terus melekat dengan belum digantinya pelang nama objek wisata
Ulun Danu di pintu masuk areal ini. untuk hal tersebut, Artha mengaku akan segera
mengganti papan nama tersebut dengan nama pura yang sebenarnya. Selain itu, sejarah
pembangunan pura yang belum tercatat akan diupayakan untuk dikumpulkan sumber-
sumbernya yang selanjutnya akan dibukukan.

Selain melakukan rehab terhadap pura yang ada di areal objek wisata Beratan, menurut
Artha, tugas berat lainnya yang harus dilakukannya bersama seluruh komponen
masyarakat Bali adalah menjaga kelestarian tempat tersebut. Seluruh masyarakat Bali
hendaknya menjaga sumber alam ini dengan bijak. Sebab, jika terjadi penyusutan
volume air yang diakibatkan oleh perilaku manusia, kesuburan

Pura Ulun Danu Batur

Bertepatan dengan Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa, sebagaimana biasa saat
itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli.
Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai
stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang
Luhur, Karangasem.
SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan
sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik,
baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta
masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa
babad. Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam
Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi,
Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta
Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk.
Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II
yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk.
Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan
sebagai berikut.
Zaman Bahari
Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang
masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida
Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung
Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau
lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang
Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda
bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing,
demikian sabda Hyang Pasupati.
Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,
jawab ketiga putranya.
Nanda jangan khawatir,
tandas Hyang Pasupati.
Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa
gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung,
dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam.
Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang,
Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan
Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan
Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di
Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga
bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta
kahyangan bukannya sad kahyangan.
Pura Bukit Dharma

Masuknya Budaya Hindu ke Bali


Pada waktu Raja Udayana memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya
budaya Hindu ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai
puncaknya. Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu
buktinya. Pura Bukit Dharma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah
satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh Hindu dari Jawa ke Bali. Seperti
apakah sejarah Pura Bukit Dharma di Kutri itu?
Gunapriya Dharma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal
dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang
Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih
utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga
Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa
bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.
Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat
dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar
adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura Pedharman. Naik dari Pura
Padharman inilah letak Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari
keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.
Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari
Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di
Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti
sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa
dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.
Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang
plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama
Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari
masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan
Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.
Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno
masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali
nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama
Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat
itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber
ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang
berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali.
Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah
kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno
seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu
bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat
dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.
Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti
Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari
kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin
sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi
media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni
budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.
Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana
memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali.
Keberadaan Gunapriya Dharma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji
Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.
Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu
Gunapriya Dharma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di
Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada
abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi
pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak
mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.
Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-
cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di
India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan
raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga.
Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh
seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu,
maka ia disebut Mahisasura.
Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit
ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga
menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura
yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga.
Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami
sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.
Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India.
Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana.
Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari
melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya
lagi memuja Laksmi.
Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari
kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa
kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang
pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi
lambang kesejahteraan.
Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang
senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara
kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk
membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan
yang cerah.

Pura Gunung Payung dan Danghyang Dwijendra

PADA zaman dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk
melakukan swadharma-nya sebagai orang suci. Salah satu swadharrna pandita adalah
melakukan perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam
Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahari upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan
kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan
jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani jul
diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta.
Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Bud hi bagaikan kusir kereta.
Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Tm artinya yang
menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta.
Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan
kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dan pada manusia. Unsur-
unsur roham inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita.
Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang
terkemuka.
Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai
pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa. Mereka yang dinyatakan sebagai
pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam
Kekawin Nitisastra 1.6 yang seperti kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi
pandita seyogianya melalui proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang
ketat.
Pendidikan dan latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang
bersifat tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai
kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang
dinyatakan dalam Nitisastra 1.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana pandita
dikenakan.
Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 40
akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi panthta tersebut adalah Sang Satyawadi
artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta
artinya beliau yang dapat dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya beliau yang
dijadikan tempat mohon penyucian din oleh umat dan sang Panadahan Upadesa.
Nampaknya Danghyang Dwijendra Sebagai pandita telah mengamalkan petunjuk-
petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti
Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu
dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahamanku di mana
sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif. Ilmu
yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu
adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang
keberadaan dan pengelola dunia jul dengan baik dan benar. Dna ilmu itulah yang
dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.
Demikianlah per)alanan suci Danghyang Dwijendra di Bali mendatangi umat dan
memberikan kesejukan pada umat. Saat beliau datang di daerah Kuta Selatan untuk
niengakhiri keberadaan beiau di dunia sekala menuju dunia niskala beliau sempat
datang ke Desa Kutuh di Kuta Selatan di suatu bukit dekat pantai selatan Bali. Di
tempat itu beliau menjadi sang Patirthan artinya beliau memberi prayascita atau
penyucian pada umat yang datang memohon penyucian diri pada sang Pandita. Di
samping itu beliau juga melakukan pena4ahan Upadesa, artinya memberi pendidikan
kerokhanian kepada umat.
Karena kesaktian beliau itu tangkai payung yang beliau tancapkan di tanah perbukitan
yang kering itu dapat menimbulkan sumur dengan air yang tiada pernah kering sampai
saat ini. Di tempat inilah umat mendirikan pura yang kini disebut Pura Gunung Payung.
Itu artinya di pura un atas kedatangan Danghyang Dwijendra terdapat vibrasi kesucian
yang wajib dipelihara oleh generasi selanjutnya. Danghyang Dwijendra thyakini
mencapai dunia niskala dengan moksha di Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu yang
tidak jauh dan Pura Gunung Payung. Pura Luhur Uluwatu adalah satu dan Pura
Kahyangan Jagat sebagai pemujaan Tuhan dalam manivestasinya sebagai Dewa
Rudra. Pura Luhur Uluwatu didirikan atas anjuran Mpu Kuturan pada abad ke-II Masehi.
Pendirian Pura Luhur Uluwatu dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa dengan
landasan konsepsi Sad Winayaka.
Pura Luhur Uluwatu mi memiliki banyak pura prasanak atau pura jajar kemiri. Tm
artinya di areal perbukitan Kuta Selatan ini sejak zaman dahulu sudah terpatri vibrasi
kesucian yang dipelihara dengan adanya banyak Pura Prasanak dari Pura Luhur
Uluwatu. Di antaranya adalah Pura Gunung Payung jul. Karena itu sebagai generasi
penerus seyogianya dalam menata kawasan di areal Pura Luhur Uluwatu termasuk di
areal Pura Gunung Payung seyogianya memperhatikan nilai-nilai spiritual yang sudah
terbukti memberikan vibrasi kesucian pada areal tersebut bersinergi dengan areal suci
lainnya di seluruh Bali
Untuk memelihara vibrasi kesucian dikawasan bukit Kuta Selatan ini semua pihak
hendaknya bertimbang cermat dan seimbang dengan konsep Tri Semaya. Konsep Tri
Semaya itu adalah Atita, Nagata dan Wartamana. Apapun yang dilakukan saat ini
(Wartamana) hendaknya terlebih dahulu menelaah dengan cermat di masa lalu (Atita)
dan dengan berpikir panjang apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang.
Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja nilai-nilai luhur di masa lalu yang
susah payah dikerjakan oleh para pendahulu kita. Demikian juga hendaknya kita
berusaha melihat ke depan agar jangan sampai kita meninggalkan persoalan-persoalan
yang membuat generasi mendatang penuh beban derita karena kesalahan kita saat ini.
Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup Sejahtera
dengan berkelanjutan dan generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa.

Pura Barong-Barongan
Pura Barong-Barongan namanya. Unik memang, tetapi beginilah adanya. Pura Barong-
Barongan merupakan salah satu jejak perjalanan DangHyang Nirartha yang berada di
wilayah Badung Selatan, tepatnya di atas bukit Ungasan. Mengapa Pura ini disebut
dengan Pura Barong-Barongan?
SUARA angin menderu ditepi pantai menggambarkan betapa tenangnya suasana
disekitar Pura Barong-Barongan ini. Perubahan cuaca yang begitu drastis dikawasan
bukit ini memang membuat suasana menjadi lain di sekitar pura.
Dimana letak Pura ini?
Kalau kita berjalan menuju Banjar Sawangan, Desa Adat Peminge, Kelurahan Benoa,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tepatnya di Selatan areal Hotel Nikko Bali, atau
keselatan dari hotel tersebut kita bakal menjumpai jalan kapur menuju pantai. Diareal
inilah lokasi pura yang mempunyai sejarah panjang di Bali, dan tidak mungkin dilupakan
oleh umat Hindu di daerah ini. Sebenarnya dulu, katanya sebuah sumber kepada MBA
yang sempat metirtayatra ke pura ini. Pura Barong-Barongan bernama Pura Dalem
Karang Boma. Mengapa diberikan nama Pura Dalem Karang Boma? Konon menurut
lontar Dwijendra Tattwa, pura tersebut merupakan salah satu bagian dari napak tilas
Danghyang Dwijendra di Bali. Ketika tiba di lokasi perbukitan yang menjorok ke laut,
Danghyang Dwijendra kemudian menganugrahkan pasupati kepada anak didiknya.
Lantaran lokasi tersebut merupakan tempat memberikan pasupati, banyak sekali
keajaiban yang dimiliki tempat itu. Sehingga mulailah terbangun sebuah pura. Pura
tersebut awalnya bernama Pura Dalem Karang Mua. Karena pasupatinya itu bisa
diistilahkan dengan segala sesuatu yang bermuka seram. Sehingga pura tersebut
dikatakan sebagai Pura Karang Mua. Lama kelamaan pura ini akhirnya berubah nama
menjadi Karang Boma. Selain itu ada beberapa hal yang mengakibatkan pura ini
disebut Pura Barong-Barongan.
Yang memberikan nama Pura Barong-Barongan adalah para nelayan. Ceritera yang
berkembang di masyarakat adalah ketika para nelayan berangkat menangkap ikan di
laut, mereka melihat bahwa daratan yang menjorok ke laut dilihatnya menyerupai
barong. Untuk itu nelayan akhirnya menandai tempat itu agar tidak tersesat dilaut.
Batas daratan itulah yang dipakai tandanya. Saat itulah sebagian besar nelayan melihat
bahwa ada pura yang dipakai tanda ketika turun kelaut. Dan karena pura tersebut
bentuknya seperti barong, maka diberilah nama Barong-Barongan. Sederhana sekali.
Pura Barong-Barongan terdiri atas dua palebahan yaitu jaba sisi dan jaba tengah. Pura
ini disungsung oleh berbagai komponen masyarakat. Selain itu ada beberapa tempat
yang memohon pasupati ketapaknya masing-masing di pura Barong-Barongan.
Misalnya Tapakan Barong dari Krama Sesetan Banjar Lantang Bejuh, Suci- Badung,
Sidakarya, Pedungan, Bualu, Pagan, Kelandis dan sebagainya.
Yang mamedek di Pura ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai Pengemong,
Pengempon dan Pemaksan. Sebagai pengemongnya adalah keluarga Jro Mangku
Regig. Sementara iru sebagai pengemponnya adalah Pasek Gaduh, Pasek Kebayan
serta Pasek Gelgel dan Pasek Denpasar. Sedangkan yang terakhir Pemaksan.
Pemaksan ini adalah sejenis sekaa yang mempunyai tugas yang sama juga dengan
yang lainnya, yakni menyelenggarakan upacara yadnya. Jumlah pemaksan di Pura
Barong-Barongan tersebut adalah empat puluh empat orang. Piodalan Pura Barong-
Barongan ini adalah pada Tumpek Landep. Bersamaan dengan piodalan pusaka.
*ambara
DIJAGA MONYET DAN KERIS EMAS LUK TELU
SEORANG krama Kecos yang berprofesi sebagai nelayan, saat ditemui MBA
mengungkapkan Pura Barong-Barongan ini sangat angker. Dahulu, ketika Kecos masih
senang ke laut, tiap malam hari banyak sekali krama nelayan kawehan. Ia melihat
seolah-olah ada barong yang begitu saja muncul di Pura, melesat keatas dan menari-
nari. Karena kejadian itu sering terjadi, akhirnya masyarakat nelayan setempat
menyebut pura ini dengan nama Pura Barong-Barongan.
Kemudian bagi peminat spiritual, keanehan apapun yang terjadi di pura ini berasal dari
kekuatan magis. Melihat situasi sekelilingnya, maka ada beberapa getaran yang
mengakibatkan getaran wilayah tersebut menjadi sangat kuat. Selain berada ditepi
tebing, Pura ini memang mempunyai daya tarik tersendiri. Sayangnya jalan menuju
lokasi Pura ini kondisinya sangat memprihatinkan, padahal disebelahnya terdapat hotel
berbintang yakni Hotel Nikko. Ketika tiba di lokasi Pura ternyata MBA merasakan
getaran gaib yang luar biasa. Pada saat ditanyakan kepada Jro Mangku, ternyata
getaran gaib itu berasal dari hasil pasupati yang sering dilihat oleh peminat spiritual
seperti Keris Emas yang mempunyai luk tiga.
“Memang wilayah ini dulunya sangat angker. Akan tetapi saat ini keangkerannya itu
hanya bisa dirasakan oleh orang tertentu saja. Hal itu diakibatkan kepercayaan masing-
masing,” katanya. Suatu ketika ada beberapa orang penganut spiritual melakukan
semadi di Pura ini. Pada saat semadi tubuhnya bergetar ia bisa melihat bahwa ada
pusaka emas di depan matanya. Dengan penuh rasa bakti orang yang melakukan
semadi tersebut langsung memohon keselamatan serta tidak akan melakukan hal yang
negatif. Selain itu ada juga hewan yang sering menunggui areal Pura seperti kera. Kera
tersebut memang sangat banyak disekliling pura. Akan tetapi tidak berani untuk
mengganggu segala sesuatu yang ada disekitar pura. *ambara
TEMPAT PASUPATI PUSAKA DAN NUNAS PAICA
MUNGKIN hanya sebagian kecil krama yang mengetahui fungsi Pura tersebut. Menurut
Jro Mangku Regig fungsi Pura Barong-Barongan itu sudah jelas adalah untuk nunas
pasupati. “Ida Bhatara di Pura Barong-Barongan ini sangat sueca. Apapun yang diminta
masyarakat sebagian besar diberikan. Ida Bhatara yang melinggih di Pura Barong-
Barongan ini adalah sebagai pengelingsir Ida Bhatara Ratu Ayu Manik Maketel.
Sedangkan yang bertugas menjadi bendesa serta menguasai wilayah sekitarnya adalah
Ida Bhatara di tempat ini adalah seorang wanita berpakaian putih. Karena telah putus
(suci) maka segala sesuatu yang dibawanya itu selalu berkenaan dengan unsur
kesucian.
Dengan rambutnya yang panjang, Ida Bhatara selalu memberikan peanugrahan kepada
krama yang memerlukan. Seperti yang dikatakan di atas, Pura ini juga mempunyai
fungsi untuk nunas paica sebagai balian. Sudah banyak krama yang ada di luar
maupun sekitar tempat Pura berada nunas. Semua pinunas memang terkabul. Baik
memohon agar bisa ngiwa, nengen (kanan) ataupun yang lainnya. jadi intinya adalah
apabila ingin memohon keselamatan yang berkenaan dengan pasupati, baik nunas
agar bisa ngiwa, agar bisa mengobati maupun yang lainnya, bisa memohon di pura ini.
Sampai saat ini sudah banyak sekali balian yang sukses serta permohonannya
dikabulkan. Pada saat piodalan berlangsung banyak sekali tapakan barong yang
datang untuk menghadiri piodalan tersebut. *ambara
Jro Mangku Regig
NGIRING PEKAYUNAN
SEIRING dengan tugasnya sebagai pemangku di Pura Dalam Karang Boma (Pura
Barong-Barongan), Jro Mangku mempunyai kiat tersendiri. Bagi pemangku yang
mempunyai penampilan kalem dan tenang ini merasa bersyukur karena sampai saat ini
ia sekeluarga selalu diberikan kebahagiaan.
“Tiang bersyukur karena apa yang menjadi harapan keluarga tetap terpenuhi.” katanya.
Disisi lain meskipun banyak sekali hambatan yang ditemuinya, ia mengatakan dirinya
berusaha semaksimal mungkin untuk ngiring pekayunan.
Jro Mangku yang telah mengabdi selama 5 tahun ini telah merasakan berbagai hal
yang berkenaan dengan tugasnya sebagai pemangku. “sampai saat ini saya belum
menemui hambatan berarti. Karena apapun yang tiang lakukan adalah pengabdian
sebagai manusia,” akunya. Ketika ditanya ia mengaku teringat kembali pada masa
upacara padudusan tahun 1994, dimana saat itu untuk pertama kalinya dia diangkat
sebagai pemangku. “Keluarga tiang memang keturunan mangku di pura ini. Akan tetapi
kesan yang mendalam memang tiang dapatkan ketika diangkat menjadi pemangku,”
katanya.
Ia merasakan bahwa ketika diangkat menjadi pemangku ada beberapa penyesuaian
yang harus dilakukannya. Penyesuaian tersebut baginya memang gampang-gampang
susah. Pemangku yang berasal dari Banjar Sawangan ini sangat tabah dan tekun
melakukan aktivitas tapa brata dan semadi. Akhirnya dengan usaha yang dilakukannya
dengan tekun, iapun berhasil menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Sampai saat ini
Jro Mangku merasa aktivitas kesehariannya tidak terganggu oleh tugasnya sebagai
pemangku. Selain mendapat cobaan yang berat dalam menyesuaikan diri, ia juga
merasa bangga karena senantiasa bisa mendekatkan diri dengan Ida Bhatara. “Yang
paling pokok adalah bagaimana tiang bisa membantu umat dalam menyampaikan
keinginannya di pura itu,” katanya. Disisi lain, Jro Mangku juga merasa berkewajiban
untuk membantu masyarakat yang menemui kesulitan yang berarti bagi kehidupannya.
*ambara

Pura Tambangan Badung


Bali TV - Pura tambangan badung terletak di pusat kota denpasar, tepatnya di banjar
pemedilan kerandan, desa pemecutan denpasar. Lokasi pura ini sangat strategis dan
sangat mudah dijangkau, tepatnya di sebelah barat pasar pasah pemedilan, yang
terletak di jalan gunung batur denpasar.Mungkin banyak masyarakat yang mengetahui
keberadaan pura ini, namun tak banyak yang mengatahui apa dan bagaimana sejarah
dari pura yang satu ini.
Pada episode kali, ini ista dewata akan mengajak anda untuk bertirtayatra ke pura
tambangan badung, yang merupakan salah saru pura yang memupunyai rentang
sejarah yang panjang dan menarik.Pura tambangan badung merupakan salah satu
jajaran pura tua yang ada di bali. Pura ini sudah berdiri sebelum anglurah pemecutan
pertama berkuasa.Kemudian dalam peralanannya, pura tambangan badung diperluas
dan dipugar oleh bhatara sakti raja badung, kemudian diempon oleh puri agung
pemecutan.
setelah diperluas oleh raja badung, Pura tambangan badung beberapa kali mengali
proses perehaban diantaranya adalah pada tahun 1928 dan tahun 1990.
Di dalam tutur babad karana, diceritakan pura tambangan badung dulunya bernama
pura taman, kemudian berubah menjadi pura ayu penestaran panembahan badung,
sebelum menjadi pura tambangan badung. tutur babad karana juga menceritakan
tentang keadaan pura di lingkungan soring jagat badung, yang erat kaitannya dengan
puri dan pura panembahan badung dan bebanjaran di lingkungan pemecutan .Dengan
luas keseluruhan areal pura berkisar dua hektar, Pura tambangan badung dibagi
menjadi tiga mandala dengan komposisi pelinggih lebih banyak terletak di utama
mandala. Di mandala pertama yang terletak tepat di depan pasar, terdapat dua buah
meriam yang menghiasi candi bentar yang dusebut dengan gora dan gori.
Di mandala kedua, terdapat sebuah bangunan terbuka yang berfungsi sebagai wantilan
pura. Lepas dari madya mandala, kita akan memasuki utama mandala dengan
melewati sebuah candi kurung unik, dihiasi dengan dua buah arca di kanan kirinya
yang disebut dengan arca jaksa dan jaksi.Utama mandala, merupakan areal yang
paling luas dan dipenuhi dengan pelinggih pelinggih, termasuk pelinggih pokok pura.
Bila dilihat , utama mandala pura tambangan badung sekilas tampak mirip dengan
suasana di sebuah kerajaan. Salah satu keunikan dari pura ini, adalah adanya dua
pemedalan yaitu pemedalan siwa dalem tambangan badung di sisi timur, dan
pemedalan ida bhatari durga di sisi barat.Jajaran pelinggih yang menghiasi utama
mandala tersusun apik sesuai fungsi dan kedudukannya masing masing.
Ada beberapa pelinggih yang sangat unik, diantaranya adalah pelinggih hyang ibu
candi yang struktur bangunannya berbentuk candi, yang didalamnya terdapat dua buah
lingga. Konon di bawah candi inilah dipendam prasasti prasasti penting yang
mengisahkan tentang pura dan kerajaan bali.Pelinggih pokok pura, adalah pelinggih
luhur kaler atau yang juga disebut dengan anglayang, linggih ida bhatara siwa ring
gunung agung, batur, gunung jati. Bentuk pelinggih ini layaknya padmasana yang
dilengkapi dengan bedawang nala dan naga sebagai hiasannya.
Di sebelah pelinggih pokok, berdiri pelinggih gedong dalem tambangan badung yang
merupakan stana dari siwa dalem dan ratu ngurah ratu agung kiwa tengen.Selain
pelinggih pokok, utama mandala juga dilengkapi dengan pesanggrahan agung yang
terdiri dari beberapa pengayatan ke pura sad kahyangan seperti pengayatan ke pura
sakenan, pura uluwatu,pura batukaru, pura besakih, dan pura batur.
Pelinggih lain yang berada di areal utama adalah jajaran pelinggih hyang ibu,
diantaranya adalah hyang ibu agung, ibu meranggi, ibu ngurah, ibu jembrana, ibu
bongani, ibu rurung, ibu tameng, ibu pupuan, ibu bandem, ibu taruna, ibu tojan, ibu
mekel bukit, ibu klating, ibu tinggi, ibu janggal, ibu prani gata , ibu pasek agung dan ibu
sari. Selain beberapa pelinggih, pura tambangan badung juga dilengkapi dengan
beberapa buah bale pelengkap, seperti bale semanggen, bale prasanak, bale
penganten genah bhatara manik galih, bale gajah, bale pemiodan peranda sinuhun,
bale ban, bale pererepan ratu ayu, pewaregan dan lumbung.
Di sisi utara pura, terdapat sebuah palebahan pura yang merupakan linggih ratu ayu
saren taman. pelinggih ini merupakan stana ratu ayu mas meketel, ratu mas
mereronce, bhatari gayatri dan bhatari gangga.Ada beberapa tradisi unik yang
dilaksanakan di pura tambangan badung, diantaranya adalah tradisi tari baris
tangklong yang di pentaskan pada waktu penampahan galungan, dan tradisi unik siyat
sampian yang dilaksanakan pada waktu manis kuningan . Tujuan dari tradisi unik ini
adalah untuk pembersihan mala dan menanamkan jiwa ksatria.
Piodalan di pura tambangan badung didasarkan atas perhitungan pancawara,
saptawara dan pawukon, sehingga piodalan akan berulang setiap 210 hari sekali,
tepatnya pada wraspati wuku sungsang yang bertepatan dengan sugian jawa.
Sedangkan piodalan yang dilaksanakan satu tahun sekali adalah purnamaning kapat
yang disebut ngapat dan purnaming kedase bulan april.Berdasarkan lintas sejarah dan
kenyataan yang berkembang, pura tambangan badung merupakan pura yang berstatus
sebagai pura kahyangan tiga yaitu pura siwa dan pura kerajaan.

Anda mungkin juga menyukai