O
L
E
H
Ahmad Suyudi
Tkr 4
Smk Indonesia
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul DAYA TARIK BUDAYA BALI
KHUSUSNYA TARI TRADISONAL SEBAGAI ATRAKSI WISATA DALAM
RANGKA MENARIK WISATAWAN UNTUK BERKUNJUNG KE BALI.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan
makalah ini, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik, dan saran yang
membangun agar penulis bisa memperbaiki kekurangan dan kesalahan dalam
pembuatan dan penulisan makalah.
Semoga makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi para pembaca pada
umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
km2. Bentuk Pulau Bali seperti kipas yang direntangkan, yang di bagian
tengahnya terdapat pegunungan yang memanjang dari barat ke timur.
Pegunungan ini sekaligus sebagai batas alam antara Bali bagian utara dan Bali
bagian selatan.
Faktor yang menyebabkan Bali sebagai daerah tujuan wisata andalan di
Indonesia, karena memiliki kekhasan pada objek wisatanya, baik wisata alam
maupun wisata budaya. Bali memiliki ragam budaya sangat unik dan menarik,
dan selama ini telah menajadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung, salah
satunya yaitu Bali memiliki ragam tarian etnik. Sering dipertunjukan diacara
keagamaan ataupun menyambut tamu. Bahkan ada beberapa tarian, dimana tamu
dapat berpatisipasi dan ikut serta dalam pertunjukan tarian tersebut. Selain itu,
didukung pula oleh sarana dan prasarana yang lengkap.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kreativiti masyarakat bali dalam menarik kunjungan wisatawan
ke Bali
2. Seberapa besar pengaruh atraksi budaya yang ditampilkan untuk
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan khususnya pertunjukan tarian
tradisional.
1.3 Manfaat
Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya dalam
hal sebagai berikut:
1. Sebagai pengetahuan bagi pembaca bahwa Bali memilki daya tarik tidak
hanya memiliki kekayaan alam tetapi kaya akan budaya.
2. Dengan mengetahui banyak informasi mengenai Bali, maka akan
menumbuhkan rasa bangga dan rasa memiliki akan keaneka ragaman
budaya Bali, sehingga dapat ikut serta melastarikannnya.
3. Sebagai referensi bagi pembaca dalam mencari informasi mengenai
keaneragaman budaya Bali
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Seseorang atau lebih yang melakukan perjalanan wisata serta melakukan kegiatan
yang terkait dengan wisata disebut Wisatawan. Wisatawan dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Wisatawan
nusantara adalah wisatawan warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan
wisata sementara wisatawan mancanegara ditujukan bagi wisatawan warga negara
asing yang melakukan perjalanan wisata.
Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah tujuan wisata setidaknya
harus memiliki komponen-komponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) :
1
Sapta Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang menyatakan
bahwa setidaknya 6 aspek dari tujuh Sapta Pesona harus dimiliki oleh sebuah
daerah tujuan wisata untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali ke
tempat wisata, yaitu: Aman; Tertib; Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan
Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling
berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006).
Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada
something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1985). Something
to see terkait dengan atraksi di daerah tujuan wisata, something to do terkait
dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait
dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi\
wisatawan. Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui
something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah.
Pada era tradisional, souvenir yang berupa memorabilia hanya terbatas
pada foto polaroid yang menampilkan foto sang wisatawan di suatu obyek wisata
tertentu. Seiring dengan kemajuan tekonologi dan perubahan paradigma wisata
dari sekedar melihat menjadi merasakan pengalaman baru, maka produkproduk kreatif melalui sektor wisata mempunyai potensi yang lebih besar untuk
dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak hanya masuk melalui something to buy
tetapi juga mulai merambah something to do dan something to see melalui paketpaket wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan
kebudayaan lokal.
Obyek wisata dan atraksi wisata atau tourism resources adalah segala
sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orangorang mau datang berkunjung ke tempat tersebut.
Salah satu unsur yang sangat menentukan berkembangnya industri pariwisata
adalah obyek wisata dan atraksi wisata. Secara pintas produk wisata dengan obyek
wisata serta atraksi wisata seolah-olah memiliki pengertian yang sama, namun
sebenarnya memiliki perbedaan secara prinsipil. (Yoeti, 1996 : 172) menjelaskan
bahwa di luar negeri terminolgi obyek wisata tidak dikenal, disana hanya
mengenal atraksi wisata yang mereka sebut dengan nama Tourist Attraction
sedangkan di Negara Indonesia keduanya dikenal dan keduanya memiliki
pengertian masing-masing.
Adapun pengertian Obyek Wisata, yaitu : semua hal yang menarik untuk dilihat
dan dirasakan oleh wisatawan yang disediakan atau bersumber pada alam saja.
Sedangkan pengertian dari pada Atraksi Wisata, yaitu : sesuatu yang menarik
untuk dilihat, dirasakan, dinikmati dan dimiliki oleh wisatawan, yang dibuat oleh
manusia dan memerlukan persiapan terlebih dahulu sebelum diperlihatkan kepada
wisatawan.
Mengenai pengertian obyek wisata, maka dapatlah dilihat beberapa sumber
acuannya, antara lain :
1. Peraturan Pemerintah No. 24/1979 menjelaskan bahwa obyek wisata
adalah : perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta
sejarah bangsa dan tempat keadaan alam yang mempunyai daya tarik
untuk dikunjungi.
Keramahan Warga,
3. Daya Tarik Khusus
Theme Park, Taman Hiburan, dan Sirkus,
Pusat Perbelanjaan,
Meeting, Conferences, and Conventions,
Even Spesial,
Casino,
Entertainment,
4. Fasilitas dan Layanan Sebagai Daya Tarik Wisata
Hotel dan Resort,
Transportasi,
Masakan,
5. Daya Tarik Lainnya
Etnik, Agama, Nostalgia,
Stabilitas Politik, Kesehatan Umum, dan lain - lain
Biaya Perjalanan,
2.3 Suvey dan Teknik evaluasi
a. Identifikasi dan Deskripsi Daya Tarik Wisata,
Langkah pertama dalam melakukan survey mengenai atraksi pariwisata adalah
penelitian dokumen dan mencari informasi / wawancara dengan pemerintah dan
pihak terkait lainnya untuk mengetahui jenis dan lokasi yang ada. Kemudian
pengkategorian awal atraksi, jenis dan karakter informasi yang akan dihasilkan,
dan evaluasi kriteria. Hal hal ini dapat diubah selama melakukan survey.
Selanjutnya, survey lapangan meninjau atraksi atraksi yang ada.
BAB III
PEMBAHASAN
Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di
sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa
Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya
ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali
adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata
dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan
Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau
Seribu Pura. Dari banyaknya pulau-pulau yang tersebar di kepulauan Indonesia,
Bali merupakan pulau yang paling terkenal di dunia. Pulau yang terletak di
sebelah Selatan garis khatulistiwa ini memiliki luas wilayah sekitar: panjang 80
km dan lebar 150 km yang menyerupai bentuk ikan. Peradaban mencatat bahwa
Bali memiliki mikrokosmos yang luar biasa tentang sejarah, legenda,
kesusasteraan, seni, alam, dan manusia itu sendiri.
Di satu sisi tanah hijau yang subur, di sisi lain tanah coklat; di satu sisi terdapat
kera, tupai, berbagai macam burung, di sisi lain terdapat reptil besar dan kakatua.
Pulau yang menawan hati ini dibelah oleh sungai, kanal, dan lembah yang
dibungkus oleh hutan dan hamparan sawah dengan ujung pantai-pantai yang
indah. Dihiasi oleh danau yang mengisi sisa kawah gunung berapi. Keindahankeindahan tersebut memperlihatkan sebuah dataran yang memadukan khayalan
dengan kenyataan.Hal yang menonjol di Bali adalah visi keyakinan yang
menginspirasi setiap jiwa yang hidup di Bali untuk memanfaatkan alam dengan
Pariwisata. Seni pertunjukan Bali yang semula hanya ditarikan dalam konteks
upacara ritual kegamaan di pura, atau dalam konteks sosial saja tetapi juga
disajikan dalam konteks ekonomi (pariwisata). Baudrillard dan Lyotard menyebut
gejala seperti ini sebagai suatu gerak maju menuju masa post-industri.
Menurutnya berkembangnya suatu industri menyebabkan terjadinya pergeseran
dan keterputusan zaman yang mengakibatkan munculnya totalitas baru dengan
berbagai pengorganisasian dan prinsipprinsipnya (Featherstone, 1988: 195).
Sebagaimana munculnya bentuk-bentuk seni pertunjukan baru yang dikemas
untuk disajikan dalam konteks pariwisata, seperti: Cak, Sang Hyang, dan lain
sebagainya. Cak adalah sebuah dramatari yang ditarikan oleh 50 hingga 150 orang
pelaku yang ditarikan oleh penari laki-laki. Cak merupakan bagian dari tari Sang
Hyang, namun ketika tari ini ditampilkan untuk pariwisata, Cak ini ditampilkan
terpisah dan diberikan lakon Ramayana sehingga pertunjukan ini menjadi sebuah
dramatari. (Dibia, 1999: 43-44). Cak pertama kali muncul di Desa Bona
(Gianyar), di Desa Singapadu Gianyar, Desa Batubulan Gianyar, Desa Sumerta
Badung, dan lain-lainnya (Bandem, 1983: 84). Selain tari-tarian tersebut, muncul
pula tari Janger yakni sebuah tari yang juga dikemas dari koor wanita tari Sang
Hyang. Tari ini ditarikan oleh laki-laki dan perempuan. Penari laki-laki disebut
Kecak, sementara penari perempuan disebut Janger. Pemisahan koor perempuan
dari tari Sang Hyang inilah tari ini kemudian disebut tari Janger (Bandem, 1983 :
85).
Diterimanya tari Janger yang dikemas dari tari Sang Hyang itu diikuti oleh
munculnya tari Legong yang juga dikemas dari tari sakral Sanghyang Topeng
Legong. Tari Legong ini diciptakan oleh seniman Bali atas perintah Raja Gianyar
pada awal abad ke-20 di desa Ketewel Gianyar. Pada mulanya, tari ini merupakan
tari sakral, yang hanya dipentaskan di setiap Buda Keliwon Pagerwesi di Pura
Yogan Agung, desa Ketewel (Gianyar). Para penarinya keluar dari sebuah
pelinggih dengan mempergunakan topeng, dan di setiap pertunjukannya selalu
diawali proses kerawuhan (Goris, 1933 : 330).
Terinspirasi dari tari Legong tersebut di atas, masyarakat kemudian
menciptakan tari Legong yang bentuknya hampir sama dengan tari Legong
sekarang. Tari Legong yang terkenal di Bali saat itu adalah tari Legong dari Desa
Saba, Desa Bedulu, Desa Kedaton, Desa Kapal, Desa Sayan, dan Desa Peliatan.
Tari Legong ini awal mulanya hanya dipentaskan untuk masyarakat lokal saja,
namun dalam perkembangannya kemudian tari ini juga ditampilkan untuk
pariwisata. Masyarakat menganggap bahwa tari Legong ini merupakan tari klasik,
bermutu tinggi, karena tari ini banyak mengispirasi munculnya berbagai bentuk
tari baru lainnya. Selain tari Legong, muncul pula tari Joged Bumbung yakni
sebuah tari pergaulan yang ditarikan oleh seorang penari perempuan diiringi
gamelan Rindik yakni instrumen bambu berlaras slendro bernama Grantang. Tari
ini mempergunakan polapola gerak improvisasi yang melibatkan penonton untuk
berjoged bersama dengan penari (Dibia, 1999: 39). Tari ini diperkirakan muncul
pada tahun 1946, dan hingga kini masih disenangi masyarakat maupun wisatawan.
Tari Joged Bumbung ini memiliki persamaan dengan tari Gandrung dan Leko
(Beryl de Zoete & Walter Spies,1938: 242). Hal itu dapat dilihat dari tata
penyajian tarian ini yang memiliki persamaan kostum, koreografi (duet), hanya
saja tari Gandrung ini ditarikan oleh penari laki-laki, sementara tari Joged
Bumbung ditarikan oleh penari perempuan. Selain sama seperti tari Gandrung, tari
Joged Bumbung juga mirip seperti tari Leko, yakni sama-sama ditarikan secara
berpasangan, mempergunakan kostum sama seperti tari Joged Bumbung, hanya
saja pada tari Leko pasangan duetnya sudah ditentukan (tidak dari penonton)
(Walter Spies en R. Goris, 1937 : 25).
Banyaknya ragam seni pertunjukan yang ada di daerah ini merupakan
keunggulan bagi kebudayaan Bali. Agar aset budaya daerah ini tidak tergerus oleh
globalisasi, maka Pemerintah Daerah Bali berupaya melakukan penggalian,
pelestarian, dan pengembangan seni-seni pertunjukan tradisional tersebut di
bawah naungan banjar (sekaa gamelan, sekaa pesantian, sekaa kidung, dan lainlain). Upaya penggalian, pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional
Bali tersebut diprakarsai oleh Ida Bagus Mantra sejak tahun 1978 melalui kegiatan
Pesta Kesenian Bali (PKB) yang hingga kini terus diselenggarakan secara rutin
setiap satu tahun sekali (Dokumentasi Pesta Kesenian Bali XXVI, 2004 : 74).
Melalui Pesta Kesenian Bali yang diselenggarakan secara rutin tersebut
Pemerintah Daerah Bali mengharapkan berbagai potensi seni budaya tradisional
daerah ini dapat dilestarikan serta dikembangkan secara terus-menerus sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat Bali. Artinya bahwa Pesta Kesenian Bali
ini diharapkan mampu sebagai wadah lahirnya karya-karya baru yang akan
memperkaya khasanah kebudayaan Bali. Tujuan itu kiranya telah dicapai. Sejak
awal dilaksanakan Pesta Kesenian Bali ini hingga kini telah banyak lahir karyakarya seni pertunjukan baru antara lain sendratari kolosal seperti sendratari
Ramayana, sendratari Mahabharata, dan lain sebagainya. Sendratari Ramayana,
pertama kali diciptakan oleh Letnan Jendral G.P.H.
Djatikusumo pada tahun 1961. Munculnya sendratari di Bali terinspirasi dari
sendratari yang ada di Jawa Tengah yakni sendratari Ramayana (Dibia, 1999: 6669). Semula, sendratari ditampilkan dengan konsep pertunjukan tradisi. Namun
dalam Pesta Kesenian Bali tata-penyajian sendratari itu dikembangkan menjadi
sendratari kolosal, agar sesuai dengan tempat pementasannya (Bandem, 1996: 5660 ). Hal itu membuat berbagai unsur yang terdapat dalam pertunjukan itu
mengalami perubahan, antara lain: volume gerak tariannya digarap lebih besar,
ragam musik iringan tarinya ditambah agar lebih meriah, jumlah pelaku ditambah
agar sesuai dengan luasnya panggung, sehingga jika diamati secara keseluruhan
bentuk pertunjukan ini menjadi baru, berbeda dibandingkan bentuk pertunjukan
sebelumnya
(aslinya).
Penggabungan
beberapa
unsur
seni
dengan
di
Ubud
Gianyar
yang
menjadi
tujuan
wisata
pementasan itu adalah pihak puri, yang melakukan hubungan kerjasama dengan
para biro perjalanan wisata. Pementasan pertunjukan di pura Taman Ayun
diselenggarakan oleh keluarga puri Mengwi, pertunjukan di Puri Banyuning
Bongkasa diselenggarakan oleh pihak puri Banyuning, dan pertunjukan di Puri
berbagai seni budaya Bali ini bagi wisatawan asing dengan tanpa menimbulkan
konflik, namun tetap dapat membuat wisatawan merasa puas tentunya
memerlukan kematangan dalam wawasan tentang kebudayaan Bali dan
profesionalisme.
Sebagaimana masyarakat desa Mengwi yang juga tampak sangat kreatif
dan profesional ketika mereka menampilkan berbagai tradisi budayanya sebagai
bagian dari seni pertunjukan pariwisata di pura Taman Ayun tersebut. Peed
(carnaval) yang terdiri dari kaum perempuan menjunjung gebogan (rangkaian
buah dan bunga) menuju pura Taman Ayun yang diiringi Gamelan Balaganjur
untuk membentuk kesan seolah-olah pada saat itu terjadi upacara keagamaan.
Presesi yang bernuansa ritual tersebut juga melibatkan wisatawan sebagai pelaku
pertunjukan tersebut. Mereka dirias, mempergunakan kostum layaknya orang
sembahyang ke pura, dan ikut berjalan beriring-iringan dalam barisan prosesi dari
arah puri menuju Pura Taman Ayun.
Pola penyajian seni pertunjukan pariwisata tersebut di atas merupakan
rekayasa tradisi budaya masyarakat, yang sesungguhnya adalah wujud industri
kreatif dengan mengembangkan berbagai komponen budayanya untuk totontan
menarik bagi wisatawan. Kreativitas puri sebagai penyelenggara pertunjukan
dengan melibatkan masyarakat di sekitarnya itu sesungguhnya memerlukan
pengetahuan budaya yang mapan, agar apa yang ditampilkan dapat diterima
dengan suka cita oleh wisatawan sebagai konsumen dari produk wisata kreatif
tersebut. Bourdieu (1984) mengatakan hal tersebut di atas sebagai bentuk prilaku
sebagai
imbalan
sesuai
dengan
profesionalismenya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
tingkat
kreativitas
dan