Anda di halaman 1dari 10

TRADISI GREBEG SURO

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Metodologi Studi Islam dengan dosen pengampu
Akhmad Rijalul Akhsan, M.Pd.I

Disusun oleh :

Andrea Saputra ( 402200008 )

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahNya,
sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam yang berjudul
“GrebegSuro di Kota Ponorogo” ini. Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Metodologi
Studi Islam dengan dosen pengampu Akhmad Rijalul Akhsan, M.Pd.I Kami menyadari dalam
penyusunan makalah hasil observasi ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun
bahasa dan penyusunannya. Oleh karena itu, Kami mohon maaf atas kekurangan tersebut.
Saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan makalah hasil observasi.
Akhirnya Kami berharap semoga makalah hasil observasi ini dapat membawa wawasan
pengetahuan Mahasiswa Matematika Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang serta memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis sendiri pada
khususnya.

Ponorogo 28 april 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Di seluruh dunia pasti telah mengetahui dan mendengar salah satu kebudayaan yang ada di
Indonesia, khususnya kebudayaan yang ada di Jawa Timur. Salah satu kebudayaan Jawa yaitu
yang berada di kota Ponorogo adalah Grebeg Suro. Setiap daerah yang berada di seluruh
dunia pada waktu datangnya bulan Muharram, setiap daerah memperingati bulan Muharram
tersebut, dengan berbagai cara dan menurut versi mereka masing-masing. Tetapi yang sangat
unik disini adalah perayaan bulan Muharram yang ada di kota Ponorogo sangat begitu meriah
dan megah.
Acara Grebeg Suro ini selalu diadakan setiap tahun oleh pemerintah Ponorogo dan
Masyarakatnya. Sehingga acara ini termasuk acara rutinan dan bahkan menjadi budaya yang
ada di Ponorogo. Grebeg Suro ini digelar oleh masyarakat Ponorogo untuk menyambut bulan
Suro atau bertepatan dengan tahun baru Islam 1 Suro. Saat itu masyarakat Ponorogo
mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di Alun-Alun
Ponorogo.
Grebeg Suro Ponorogo merupakan acara tradisi kultural masyarakat Ponorogo dalam wujud
pesta rakyat. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas
Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Dalam acara Grebeg Suro ini banyak agenda didalamnya, sehingga banyak acara-acaranya
didalam acara Grebeg Suro ini. Dalam laporan observasi ini akan dibahas berbagai hal yang
mengenai acara budaya Grebeg Suro menurut versi penulis.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan Grebeg Suro?
2. Apakah tujuan dan manfaat diadakannya Grebeg Suro?
3. Bagaimana proses Grebeg Suro diselenggarakan?
4. Apakah pengaruh Grebeg Suro terhadap Masyarakat?
5. Bagaimana perspektif Islam atas Grebeg Suro?

1.3 Tujuan
Tujuan dalam penyususnan makalah ini adalah unuk menjawab rumusan masalah yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian Grebeg Suro
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaaat Grebeg Suro
3. Untuk mengetahui proses diselenggarakannya Grebeg Suro
4. Untuk mengetahui pengaruh Grebeg Suro terhadap Masyarakat
5. Untuk mengetahui perspektif Islam atas Grebeg Suro

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian kebudayaan
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi dan akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.
Ada pendapat yang mengatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi merupakan
unsur rohani, sedangkan daya merupakan unsur jasmani manusia.Dengan demikian, budaya
merupakan hasil budi dan daya dari manusia(Winarto,2009)
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latincolere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Dalam bahasa Belanda, cultuur berarti sama dengan
culture.Culture atau cultuur bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.Dengan
demikian kata budaya ada hubungannya dengan kemampuan manusia dalam mengolah
sumber-sumber kehidupan, dalam hal ini adalah pertanian. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia(Hermanto,2009)
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem
pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk
yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, aorganisasi social, religi seni dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat(Winarto,2009)

2.2 Sejarah Ponorogo


Ponorogo berasal dari dua kata yaitu pramana dan raga. Pramana berarti daya kekuatan,
rahasia hidup, sedangkan raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan
bahwa di balik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang
mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah / lawamah,
shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan
mapan akan menempatkan diri di manapun dan kapanpun berada.
Asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden
Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum’at saat bulan purnama,
bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Dalam
musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan Pramana Raga
yang akhirnya berubah menjadi Ponorogo.

2.3 Asal Mula Grebeg Suro


Sejarah diadakannya Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan
masyarakat pada malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan
mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo. Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah
Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi
kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya. Sebab
ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur, untuk itu
diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog didalamnya. Seni dan tradisi yang
ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan
Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Perayaan Grebeg Suro adalah acara yang diadakan Kabupaten Ponorogo setiap tahun guna
menyambut datangnya tahun baru Islam (1 Muharram). Berbagai acara-acara dihelat di Kota
Reyog dari awal bulan November ini seperti Tari SI Potro, Istighozah, Lomba Kakang
Senduk, pameran-pameran karya masyarakat Ponorogo, pameran bonsai, Festival Reyog
Nasional XVIII, dan masih banyak lagi.
Grebeg Suro adalah acara tradisi kultural masyarakat Ponorogo dalam wujud pesta rakyat.
Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan
Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.Grebeg suro merupakan acara
tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1 Suro pada tahun Jawa). Acara ini
merupakan kegiatan awal dalam menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap
tahun. Rangkaian Grebeg Suro di antaranya, prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati
pertama Ponorogo. Kemudian disusul pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan
menunggang bendi dan kuda yang dihiasi. Berikutnya akan ada Festival Reog Nasional di
alun-alun kota. Saat itu puluhan grup reyog di Jawa Timur bahkan dari Kutai Kartanagara,
Jawa Tengah, Balikpapan, dan Lampung akan turut tampil memeriahkan acara meriah ini.
Kegiatan ini dirayakan untuk mengenang kejayaan kerajaan Bantarangin yang berjaya dan
dikenalnya warok ( kesatria-kesatria pilih tanding yg sakti mandraguna. Acara yang selalu
diisi dengan pelepasan sesaji, kapala kerbau, nasi tumpeng atau yang lainnya ini menurut
banyak kalangan “hanya sebuah ritual” atau “upaya melestarikan budaya leluhur”. Grebeg
Suro berikut acara pelepasan sesajiannya dengan maksud apa pun adalah pelanggaran yang
besar terhadap ajaran Islam.
Umumnya para penyelenggara dan peserta berharap kepada Sang Pencipta bahwa dengan
acara ini mereka diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta maksud-maksud
yang lainnya. Dan tidak sedikit juga -dari mereka- yang mengharapkan hal serupa dari para
leluhur. Dalam buku-buku babad Ponorogo menyatakan bahwa, Batoro Katong (pendiri
Ponorogo) adalah utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo, serta
beliau adalah saudara kandung tapi lain ibu dari Raden Patah, Sultan Demak kala itu.Sejarah
diadakannya Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan masyarakat pada
malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan
berhenti di alun-alun Ponorogo.
Pada tahun 1987 Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan
gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada
pelestarian budaya. Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas
Ponorogo mulai luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan reog
didalamnya. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas
Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.

BAB III
METODOLOGI

A.Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis adalah studi pustaka dan kajian dari internet serta penelitian
melalui wawancara dan pembagian kuisioner. Dalam hil ini, bahan-bahan yang terkumpul
digunakan sebagai bahan pertimbangan terhadap hasil penelitian di lapangan serta menjadi
sumber ide untuk menggali pemikiran dan dapat dengan mudah dalam menganalisis fakta
serta memutuskan kesimpulan.

B.Instrumen Penelitian
Sesuai dengan metode penelitian maka dalam penelitian ini membutuhkan sampel dan
pertisipan yang terdiri atas :
1. Mahasiswa asli Ponorogo
2. Mahasiswa non Ponorogo

C. Langkah Penelitian
1. Pembagian kuisioner
Kuisioner yang dibagikan terdiri atas pertanyaan-pertanyaan mengenai respon audiens
terhadap budaya nsantara, pengetahuan audiens mengenai grebeg suro, dan apresiasi terhadap
buaya tersebut. Kuisioner ini ditujukan kepada mahasiswa non Ponorogo saja dengan
pertimbangan bahwa sebagai budaya nasional, grebeg suro tentuya sudah banyak dikenal oleh
orang-oang di luar Ponoroo juga. Apabia dari seian responden memberikan respon ositif dan
mnyetakan bahwa dirinya memilki pengethauan bayak tentang Grebeg suro Ponorogo, maka
langkah selanjunya adalah dengan dilakuknnya audiensi. Pertanyaan-pertayaan tesebut
dirangkumkan pada angket yang tertera pada lampiran.
2. Audiensi (wawancara)
Wawancara hanya ditujukan kepada mahasiswa asli Ponorogo agar harapannya audiens dapat
memberikan data yang valid sesuai dengan fakta yanag ada dari daerah asalnya yaitu
Ponorogo, sehingga diasumsikan bahwa data ataupun keterangan yang didapatkan dari
penduduk asli adalah benar. Berikut data hasil audiensi :
1. Nama : Muhammad Busro
Alamat : Dusun Palangan kecamatan Genengan Ponorogo
Jurusan : PBA Pasca Sarjana UIN Maliki Malang
Semester : 1
Pertanyaan : Menurut yang anda ketahui apa latar belakang diadakannnya grebeg suro
Ponorogo ?
Jawaban : Hal tersebut dilakukan dalam upaya pelestarian budaya dan mmpertahanakna
budaya yang ada serta mengingatkan kepada masyarakat kepada leluhur mereka
Pertanyaan : Kegiatan apa saja yang digelar dalam acara grebeg suro ?
Jawaban : Grebeg suro diwali dengan diadakannya festifal reog nasional sebelum tanggal 1
suro. Pesertanya berasala dari berbeagai wilayah, sehingga diadakan perlombaan dan
nantinya peserta terpilih akan diumumkan pada malam puncak grebeg suro tanggal 1
muharram.
Pertanyaan : Bagaiman runtutan agenda dari grebeg suro ?
Jawaban : pada sore hari, yaitu malam 1 suro dilakukan penyucian pusaka yang terdiri atas
keris dan payung peniinggalan leluhur pendiri Ponorogo. Setelah itu pusaka diarak oleh
pemerintah setempat menggunakan delman dan diiringi arakan-arakan semacam pawai atau
karnaval yang terdiri atas berbagai macam pawai keloling alun-alun di kota lama. Malam
harinya merupakan pengumuman pemenang dari festifal reog seklaigus pembukaan
perimgatan malam tahun baru Islam yaitu 1 Muharram seklaigus melakukan persiapan untuk
agenda pada esok harinya. Sementara itu keesokan harinya dilakukan larungan di telaga
ngebel yang menggunakan gunungan makanan untuk dilemparkan ke telaga tersebut.
Sbelumnya gunungna makanan tersebut diarak mengelilingi alun-alin bebrapa kali, baru
kemudian sekitar jam 9 pagi dilakukan larungan ke tlaga ngebel. Dahulu yang dilarung
adalah kapala sapi, namun sudah diganti dengan makana. Hali ini merupakan peran
pemerintah dalam mengislamisasi budaya hindu.
Pertanyaan : Menurut anda grebeg suro termasuk kebudayaan islam atau masih mengandung
budaya hindu ?
Jawaban : Menurut saya unsur Islam yang ada pada agenda grebeg suro adalah sedikit sekali
Pertanyaan : Perlukah grebeg suro dilestarikan ?
Jawaban : perlu,untuk mempertahankan budaa leluhur dan ini merupakan aset budaya yang
besar bagi rakyat Ponorogo
2. Nama :
Alamat :
Jurusan :
Pertanyaan :
Jawaban :
Pertanyaan :
Jawaban :
Pertanyaan :
Jawaban :

BAB III
LAPORAN OBSERVASI
3.1 Bentuk Kebudayaan
Tradisi yang tepatnya diperingati pada tanggal 1 Muhharam pada kelender Islam ini tidak
hanya di peringati sebagai tradisi yang hanya dilaksankan oleh masyarakat Ponorogo saja
namun sudah menjadi agenda Tahunan Pemerintah Kabupaten Ponorogo (Pemkab
Ponorogo). Budaya ini telah dilaksanakan oleh masyarakat sejak lama , dan hal ini sudah
dianggap menjadi agenda wajib Tahunan yang harus di laksanakan di Ponorogo. Pemerintah
Kabupaten pun telah memiliki agenda khusus dalam agenda kerja tahunan beserta dengan
anggaran khusus untuk semua acara “Grebeg Suro” Tahun tersebut.
Tradisi ini diawali dengan Kirab Pusaka yaitu pencucian pusaka-pusaka yang dimiliki
Ponorogo Oleh para orang yang dianggap memiliki peran spiritual yang di beri amanat untuk
menjaga dan setiap tahunnya mencuci pusaka-pusaka tersebut. Pusaka yang terdiri dari
Tombak dan Payung tersebut setelah dicuci lalu diarak dari tempat penyimpanannya yang
terletak di kota lama Ponorogo menuju Alun-Alun Kota Ponorogo sekarang dengan berjalan
kaki serta diiringi dengan iring-iringan para pemimpin dan semua perwakilan masyarakat
Ponorogo, Momen ini mendapat antusiasme yang sangat baik dari seluruh masyarakat
Kabupaten Ponorogo. Hal ini dapat dilihat dari orang-orang yang memenuhi sepanjang jalan
yang di lewati oleh hiring-iringan tarsebut.
Setelah tradisi Kirab Pusaka telah usai dilaksnakan oleh Pemkab Ponorogo, Selanjutnya
tradisi dilanjutkan di lingkungan tempat tinggal seluruh masyarakat, tradisi yang biasa
disebut dengan “Mapak Tanggal Suran” tradisi ini berarti menjemput tanggal di awal tahun
baru Islam, biasanya seluruh masyarakat di Ponorogo akan melakukan doa bersama atau
sering disebut dengan “Selametan” dengan membawa nasi kuning yang ditempatkan pada
wadah yang terbuat deri daun pisang yang diberi janur kelapa pada sekelilingnya, jumlah nasi
kuning yang dibawa yaitu sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang ada di dalam satu
rumah tersebut, setelah nasi kuning tersebut di kumpulkan, lalu masyarakat berkumpul di
tempat diselanggarakannya selametan,biasanya di mushola atau di tempat-tempat biasanya
dilaksanakan selametan masyarakat sering menyebut tempat tersebut dengan sebutan
“Cakruk” setelah melakukan doa bersama memohon segala yang terbaik untuk tahun ini,
selanjutnya nasi yang telah dikumpulkan tersebut di makan bersama-sama. Acara ini berakhir
sekitar pukul 8 malam.
Setelah tradisi Selametan usai biasanya seluruh masyarakat mempunyai kebiasaaan untuk
kembali menuju Alun-alun kota namun dengan berjalan kaki bersama-sama, hal ini dipercaya
bisa mendatangkan berkah bagi yang melakukannya, disana Pemkab telah mempersiapkan
berbagai acara yaitu pementasan Seni Reog Ponorogo yang menjadi Icon dari Kabupaten
Ponorogo, Biasanya sebelumnya Pemerintah telah menyelenggarakan agenda Tahunan Yaitu
Festival Reog Internasional yang dapat di ikuti oleh berbagai group Reog dari seluruh
Indonesia maupun luar negeri yang ingin ikut serta dalam Festival tersebut, Festival yang
memperebutkan tropi bergilir bagi pemenangnya ,Festival ini diselenggarakan sejak 30 atau
15 hari sebelum puncak acara “Grebeg Suro” tersebut dilaksanaka.
Pada puncak perayaan “Grebeg Suro” telah ditentukan siapa juara dari Ferstival Reog
Internasional tersebut, dan telah dipilih Group Reog Terbaik yang akan tampil di malam
tersebut, setelah semua prosesi tersebut selesai acara malam itu diakhiri dengan pesta
kembang api. Kembang api menandakan bahwa perayaan malam Grebeg Suro telah berakhir,
namun masih ada 1 acara lagi, yaitu “Larung Sesaji” yang dilaksanakan keesokan harinya
Bertempat di Telaga Ngebel Ponorogo.
Telaga yang Dipercaya banyak memiliki arti spiritual maupun budaya bagi Masyarakat
Ponorogo. Acara Ini Diawali dengan doa bersama oleh para orang-orang yang dianggap tetua
dan dipercaya memiliki peran secara spiritual di Ponorogo, acara ini juga dihadiri oleh Bupati
dan para pegawai Pemerintah yang lain, selain itu acara ini juga dihadiri oleh masyarakat
yang masih sanngat antusias untuk mengikuti tradisi tersebut.
Acara ini dilaksanakan di tepi telaga yaitu segala sesajen yang akan dilarung depersiapkan
diatas sebuah rakit yang akan dibawa ketengah telaga oleh seorang perenang yang akan
melarung sesajen tersebut, setelah sesen di beri doa-doa tertentu selanjutnya perenang
tersebut bersiap-siap untuk berenang membawa sesajen tersebut menuju tengah telaga dan
menenggelamkannya. Dengan tenggelamnya sesajen tersebut dan dengan berakhirnya acara
Larung Sesaji tersebut maka berakhir pula Prosesi acara “Grebeg Suro” yang diselenggaraka
pada tahun tersebut.

3.2 Permasalahan kebudayaan yang terjadi


Buku-buku bab Ponorogo menyatakan bahwa, Batoro Katong (pendiri Ponorogo) adalah
utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo, serta beliau adalah saudara
kandung tapi lain ibu dari Raden Patah, Sultan Demak kala itu, bahkan banyak para mubaligh
di Ponorogo yg “memaksakan” kata WAROK yg berarti WARA, yg istilah dalam bahasa
arab artinya “orang yg menjaga dari hal-hal yg subhat”. Jadi memang tidaklah berlebihan
kalau Ponorogo menjadi sebuah ikon sebuah kota yg islami.
REYOG merupakan sebuah kesenian asli dari Ponorogo yang bahkan menjadi icon
pariwisata propinsi Jawa Timur. REYOG tidak bisa dilepaskan dari Ponorogo, karena apabila
orang menyebut REYOG yang terlintas adalah Ponorogo dan demikian pula sebaliknya,
kalau menyebut Ponorogo yg ada dalam fikiran adalah REYOG.
Konon REYOG ini merupakan salah satu media dakwah para da’i saat itu untuk memasukkan
Islam ke tengah masyarakat. Sekarang kita lihat “nafas” yang ada di Ponorogo. Sejenak, kita
tinggalkan pondok pesantren yang mempunyai ribuan santri yang selalu dibanggakan oleh
sebagian masyarakat Ponorogo. Kita lihat acara Grebeg Suro yang menjadi agenda tahunan
bagi pemerintah daerah dan masyarakat Ponorogo.
Setiap perayaan Grebeg Suro yang memakan waktu hampir 3 minggu di awali dengan pentas
tari si POTRO yang dilanjutkan dengan Simaan Al Qur’an dan Istigotsah yang dihadiri
ribuan masyarakat Ponorogo. Hari-hari berikutnya diisi dengan pameran-pameran industri,
pangan atau pembangunan serta perlombaan-perlombaan mulai dari bidang agama sampai
dengan festival REYOG.
Acara-acara ini umumnya masih berupa acara kesenian biasa yang merupakan produk budaya
dari masyarakat. Tetapi yang patut menjadi catatan disini adalah adanya sebuah ritual khusus,
yaitu apa yang disebut Kirab Pusaka dan Larung Risalah di Telaga Ngebel.

3.3 Penyebab Munculnya permasalahan Kebudayaan


Acara Grebeg Suro sudah menjamur di kota Ponorogo. Dan ini merupakan kesenian dan
budaya yang ada disana. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa acara tersebut sangat menarik
dan mengundang berbagai masyarakat dan mancanegara. Tetapi disisi lain terdapat acara
GREBEG Suro terdapat ritual-ritual khusus yang tidak jelas asal-usulnya. Sebab dalam
sejarah berdirinya Ponorogo dimana dalam buku Babad Ponorogo karya Poerwowidjojo
(1997). Diceritakan, bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam
musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari
Jum’at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah
katongan sekarang). Didalam musyawarah tersebut di sepakati bahwa kota yang akan
didirikan dinamakan “Pramana Raga”yang akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi
Ponorogo.
Pramana Raga terdiri dari dua kata: Pramana yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup,
permono, wadi sedangkan Raga berarti badan atau jasmani. Kedua kata tersebut dapat
ditafsirkan bahwa dibalik badan, wadak manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa
olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah,
aluwamah, shufiah dan muthmainah.
Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan mnempatkan
diri dimanapun dan kapanpun berada. Sehingga dari sini kita tahu bahwa tidak mungkin para
tokoh yang sebagai pencetus sejarah dan para tokoh tersebut juga sebagai kyai atau ahli
agama, mengajarkan hal-hal yang tidak ada dalam agama islam. Sehingga disini terdapat
tanda tanya besar, dari mana ritual-ritual yang ada sekarang. Sehingga sampai sekarang
permasalahan itu tetap timbul, tetapi mungkin masyarakat sekarang hanya sebagai penerus
budaya, dan mungkin tidak tahu asul-asul ritual berasal dari mana. Sehingga terdapat dua
perpsektif yang sangat berbeda dengan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Sampai sekarang pun, perbedaan itu tetap ada. Karena ritual-ritual khusus itu sudah menjadi
budaya dan sekarang masyarakat sudah pandai menganalisa suatu budaya yang berbeda arah
dengan agama islam. Seperti larungan tumpeng di Ponorogo, bagi mereka yang menyakini
acara larungan tumpeng harus dirayakan karena sebagai simbul rasa syukur yang Tuhan
limpahkan nikmat selama ini. Dan mereka juga berkeyakinan acara tersebut juga membawa
keselamatan unttk kehidupan masa depan. Dan bagi masyarakat yang tidak menyakini hal-hal
tersebut, sangat tidak setuju akan kegiatan larung tumpeng. Karena didalam ajaran islam
bersyukur tidak diimplimentasikan dengan acara-acara atau ritual-ritual yang sakarang masih
terjadi. Islam mengajarkan bersyukur dengan etika dan cara yang sangat baik. Jadi
permasalahan sampai sekarang terjadi adalah ketidakserasian tentang ritual-ritual dalam acara
Grebeg Suro.

3.4 Dampak Masalah Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat


Sampai saat ini, tidak ada masalah tentang perbedaan pandang tentang Grebeg Suro. Karena
setiap golongan mempunyai cara-cara sendiri untuk memperingati dan melakukan aktivitas
ketika bulan Muharram atau Suro. Banyak orang Islam dan tahu tentang ajaran islam, tetapi
sampai saat ini budaya Ponorogo yang didalamnya juga terdapat ritual-ritual khusus masih
lestari. Seakan-akan hal tersebut benar. Sehingga semua orang beranggapan bahwa itu
memang sudah budaya.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisa
Menurut Ki Hajar Dewantara mengatakan kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan
bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam
hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertib
Jika dikaitkan dengan unsur-unsur budaya yang didalam ada tujuh unsur dan manusia sebagai
pencipta kebudayaan karena manusia dianugrahi akal dan budi daya. Dengan akal dan budi
itu manusia menciptakan dan mengembangkan kebudayaan. Sehingga ritual-ritual yang
terdapat pada acara Grebeg Suro merupakan hasil cipta manusia sekarang. Bisa disebut
Invention yaitu kebudayaan tercipta karena suatu rancangan/ perencanaan kebudayaan
dengan melalui suatu proses. Seperti larungan tumpeng yang terdapat di Telaga Ngebel
Ponorogo.
Acara Grebeg suro, sebagaian masyarakat Ponorogo yang terdiri dari berbagai acara dan
didalamnya juga terdapat ritual-ritual. Seperti halnya kirap pusaka. Budaya ini sebagai simbol
untuk mengenang jasa-jasa leluhur mereka. Kemudian larungan tumpeng bertujuan sebagai
simbol atau wujud rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas kenikmatan yang diberikan.
Dengan mwngadakan acara seperti ini akan mebawa berkah dan keselamatan masyarakat
ponorogo.
Menurut RaphLinton kegiatan kebudayaan (cultural activity) dibagi tiga salah satunya
Cultural Universal pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain kegiatan-kegiatan pertanian,
peternakan, sistem produksi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seni
tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain. Grebeg Suro di Ponorogo ini termasuk dalam cultural
Universal karena didalam acara Grebeg Suro ini salah satunya seni reog. Sehingga ini
termasuk dalam kegiatan kebudayaan. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
mengatakan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Memang acara
ini bukan dari leluhur mereka, tetapi diciptakan oleh anak cucu leluhur yang bertujuan untuk
mengenang jasa-jasa leluhur mereka. Sehingga tidak heran kalau ini menyebabkan konflik
antara masyarakat sendiri.
4.2 Solusi
Menurut penulis, setiap hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan adalah mitos belaka yang
tidak bisa dibuktikan kebenarannya dengan berpikir secara rasional. Banyak yang meyakini
adanya kirab pusaka disaat malam 1 suro itu membawa berkah. Sebenarnya, kita tidak boleh
berpikiran seperti itu karena dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tidak
mengetahuinya.
Mempercayai hal semacam itu sudah mendekati dengan kesyirikan. Maka dari itu, kita
sebagai mahasiswa dan penerus bangsa kita harus mempertahankan budaya kita sendiri
dengan membandingkan pada agama sebagai keyakinan kita dalam menyingkapinya. Agar
kita tidak jauh menyimpang dari keyakinan kita sendiri. Kita harus bisa berpikir secara
rasional dan mengurangi hal-hal yang bersifat mistis atau syirik dalam upacara kirap pusaka
tersebut. Kirap pusaka bukanlah ajang untuk melakukan pemujaan, melainkan seuatu acara
yang mungkin mempunyai makna tersendiri. Tidak mungkin leluhur kita melakukan upacara
seperti itu untuk hal-hal yang menyesatkan.
Kita harus menempatkan tujuan utama dalam acara itu yakni intropeksi diri dan menjauhkan
dari sifat pemujaan, yang kini menjadi keyakinan mereka yang mengikutinya. Kemudian
tentang sesaji yang dilakukan di Telaga Ngebel. Itu suatu kegiatan yang sangat jauh berbeda
dengan ajaran islam. Bersyukur tidak harus dilakukan dengan cara tumpeng di bawa ke
tengah Telaga. Mengenang jasa leluhur tidak harus dengan cara itu. Tidak mungkin leluhur
kita mengejarkan seperti itu. Dan mungkin ini dibuat atau diadakan oleh cucu leluhur.
Sehingga kita harus tahu sejarah dan mengapa itu dilakukan. Sebagai mahasisiwa kita harus
tahu dan mengenal sekaligus pelestari budaya, kita harus bias memilih budaya kita yang
mana bernilai baik dan sesuai ajaran agama. Sehingga kita tidak tersesat pada budaya yang
salah pengertian. Jadi selain menjadi penerus budaya, kita harus juga bisa menganalisis
budaya kita. Seandainya budaya kita tidak sesuai dengan ajaran agama khususnya Islam, kita
benahi dan kita serasikan dengan ajaran agama kita. Sehingga kita menjadi manusia yang
berbudaya dan bernuansa islam khususnya.

Anda mungkin juga menyukai