Anda di halaman 1dari 16

1

MODEL PENGEMBANGAN BALI SEBAGAI DESTINASI PARIWISATA


SPIRITUAL
Oleh :
Luh Gede Leli Kusuma Dewi
Agung Sri Sulistyawati
Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
PENDAHULUAN
Bali yang masih kental dengan adat istiadat dan kegiatan pariwisata budaya
bernafaskan Agama Hindu, sangat potensial bagi pengembangan paket wisata khusus
bernuansa religius spiritual. Prospektif paket wisata khusus, berupa wisata spiritual atau
religius kini makin marak dan banyak diminati wisatawan mancanegara (wisman) terutama
Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Dengan modal dasar spiritual yang kuat dan pengelolaan
yang baik, wisata spiritual diyakini akan berkembang dengan pesat. Namun, agar tidak
menghancurkan sendi-sendi budaya di Bali, merupakan kewajiban bagi pelaku usaha wisata
spiritual untuk memperhatikan adat istiadat di sekitarnya. Hal ini dikarenakan, wisata
spiritual sangat erat kaitannya dengan keutuhan adat istiadat dan norma yang dipegang
masyarakat setempat.
Sudibya (2010) menyatakan wisata spiritual itu lebih berkualitas untuk menjaga dan
meningkatkan kondisi Bali dan masyarakatnya daripada jenis wisata yang lain. Pernyataan
ini diperkuat oleh Pitana (2010) bahwa wisatawan spiritual mencari peace and harmony, dan
mereka yang tertarik wisata spiritual kebanyakan orang yang berpendidikan, peduli pada
budaya, peduli pada alam dan lingkungan, dan tidak mengganggu siapa pun. Pesatnya
perkembangan pariwisata di Bali harus diikuti rambu-rambu agar tetap berjalan di
koridornya yang benar. Ini penting dilakukan untuk menciptakan sebuah keharmonisan yang
dinamis dengan lingkungan di sekitarnya. Bali merupakan sebuah pulau kecil yang memiliki
keunikan tersendiri. Berbagai julukan diberikan, misalnya "The Morning of the World
(Paginya Dunia), The Last Paradise on Earth (Sorga Terakhir di Bumi) dan The Island of
Gods (Pulau Dewata)" serta berbagai julukan lainnya. http://venuemagz.com/September2012/seminar-wisata-spiritual-go-to-bali-before-i-die.html
Berkembangnya wisata spiritual tidak terlepas dari adanya pengaruh dari gerakan
new age khususnya di dunia barat yang ingin mencari ketenangan batin melalui praktik

spiritual lintas agama. Fenomena ini subur pada masyarakat Barat, untuk menerobos jalan
buntu dalam menemukan jati diri yang terkungkung sekularisme dan modernisme. Benih
New Age mulai tampak pada 1960-an. Kemudian semarak menjadi wacana publik pada
1980-an dan 1990-an (Sukidi, 2001).
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji wisata spiritual dari wacana wisata global
membahas tentang fenomena gerakan New Ager, elemen-elemen pariwisata spiritual, jenisjenis aktivitas pariwisata spiritual, dan menganalisis prospek Bali sebagai destinasi
pengembangan

pariwisata

spiritual

dari

aspek

hardware

dan

software,

serta

memformulasikan model pengembangan Bali sebagai destinasi pariwisata spiritual.


PEMBAHASAN
Gerakan Zaman Baru (New Age Movement), Spiritualitas, dan Pariwisata
New Age adalah potret zaman yang sedang gandrung meracik rasionalisme Barat
dengan mistik-spiritual Timur. Hanya saja, agama formal ditolak, karena dipandang
cenderung mengekang dan kering kerontang. Kesejukan spiritual bisa diselami dan
dinikmati dengan menembus batas agama. Esensi semua agama diyakini sama, dan seluruh
realitas dilihat sebagai pancaran Tuhan. Hobi kaum New Ager adalah wisata spiritual lintas
agama (Sukidi, 2001).
Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman baru, yang oleh Rederic
dan Mery Ann Brussat disebut sebagai "zaman kemelekan spiritual". Ada semacam arus
besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika,
Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult,
sect, new thought, new religious movement, human potentials movement, the holistic health
movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya hampir sama yaitu
memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati. Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri
khas New Agers yang secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement, terartikulasi
ke berbagai manuskrip metafisika-spiritualitas. Oleh karena itu, seperti sudah menjadi fakta
yang tak terbantahkan adalah adanya gerakan masif dari generasi New Age yang selalu
menyebut-nyebut dirinya sebagai flower generations, berkiblat pada mainstream
spiritualitas, mulai dari kegemaran menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa

yang menjadi tradisi spiritual New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi
mistik-spiritualnya.
Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain dipelopori Light
Groups, Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat cepat mendunia berskala
internasional, terutama setelah diselenggarakan seminar New Age oleh Association for
Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan diterbitkannya East West Journal tahun
1971 yang dikenal luas sebagai jurnalnya New Agers (Sukidi, 2001).
Ekspansi New Age menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai
protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan
spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan. Pertama, di lingkungan Gereja Kristen,
misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu saat gereja menerapkan doktrin extra
ecclesiam nulla salus, no salvation outside the church (tidak ada keselamatan di luar
gereja);.hal ini dipandang sebagai cermin watak gereja yang sarat claim of salvation.
Doktrin ini yang mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi
juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu,
"keselamatan" itu tidaklah penting di kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya
prinsip enlightenment, di mana muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age bahwa
manusia dapat tercerahkan, menjadi sacred self, karena pada kenyataannya manusia adalah
divine secara intrinsik. Paham inilah yang akhirnya menjadikan "pantheisme "begitu
fenomenal di kalangan New Age. Kedua, protes New Agers atas hilangnya kesadaran etis
untuk menatap masa depan. Oleh karena itu, salah satu manuskrip terpenting yang menjadi
wawasan etis New Agers dalam menatap masa depan adalah The Art of Happiness,
New Ethic for the Milllenium karya Dalai Lama.
Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme
dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka New
Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Oleh karena itu, New Agers sangat
menghayati betul arti pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi
dari sumber tunggal, divine energy), pantheisme (all is God and God is all), menekankan
kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi
justru melalui diri sendiri, karena God within our self, reinkarnasi (setelah kematian,
manusia terlahirkan kembali). Mirip konsep transmigration of the soul dalam Hindu, dan

seterusnya, seperti astrologi, channeling, pantheisme, tradisi Hinduisme, tradisi Gnostis,


Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi, dan seterusnya. Tradisi spiritual New
Agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama
tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah Universal Religion.
Agama Universal, di mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang
menjadi sandaran doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran
spiritualitas New Age yang meyakini bahwa "hanya ada satu realitas yang eksis".
(http://mansueta.blogspot.com/2009/05/aliran-new-age.html).
New ager dan para penganut keparcayaan universal lainnya memiliki potensi yang
sangat besar dalam pariwisata. Jutaan New Ager telah melakukan perjalanan setiap tahun,
biasanya mereka terlibat langsung dan aktif beraktivitas di destinasi wisata, mengajarkan
orang untuk lebih peduli pada diri sendiri, kembali ke spiritual, dan mengurangi
ketergantungan pada dunia materi (Brown 1998, Reisenger 2006 dalam Timothy et al 2006:
143). Pariwisata New Age adalah aktivitas dan tife perjalanan yang mengkombinasikan
beberapa elemen seperti budaya, religi, berbasiskan alam dan pariwisata kesehatan (health
tourism) (Gee dan Fayos-Sola, 1997). Kebanyakan dari New Ager ini merupakan wisatawan
yang tidak mudah berkunjung ke tempat yang sudah umum, berjemur di pantai, mengambil
gambar/memotret. Mereka biasanya berpartisipasi dan terlibat dalam kegiatan seperti:
meditasi, berdoa, dan mengikuti berbagai jenis ritual. Hal ini yang perlu diperhatikan oleh
tour operator dalam mengkemas paket wisata yang khusus ditawarkan kepada para
wisatawan New Age.
Setidaknya ada empat jenis aktivitas pariwisata bagi New Age yang sering diikuti
yaitu: pendidikan (education), kesehatan (health), pengembangan spiritual (spiritual
growth), dan sukarelawan (volunteer). Wisata edukasi atau edutourism menurut Strutt
(1999) adalah perjalanan dengan tujuan untuk belajar (learning) dan memperoleh
pengalaman (experience). Beberapa diantaranya fokus pada fotografi, seni, kayaking,
berkebun, menenun, musik dan tari, dan mempelajari bahasa-bahasa kuno. Wisata alternatif
seperti ini mendidik wisatawan untuk belajar hal-hal yang unik dan memerlukan keahlian
khusus serta terlibat secara mendalam dari pada sekedar melakukan observasi (Strutt
1999:17).

Wisata kesehatan (health holidays or holistic tourism) adalah berwisata yang fokus
pada kegiatan-kegiatan seperti yoga dan spa treatments, kunjungan ke dukun, metaphisics,
tarot, nature hiking, reflexology, crystal healing, meditation, dan aromatherapy. Berbeda
dengan jenis pariwisata massa (mass tourism) yang fokus pada pelarian dari kegiatan
rutinitas (escapism), holistic holidays adalah aktivitas yang menekankan wisatawan untuk
terlibat langsung mendapatkan pengalaman spiritual guna penemuan jati diri (Timoty, 2002).
Jenis aktivitas wisata ini bertujuan untuk mendapatkan kesehatan fisik dan kesehatan mental
(spiritual).
Seperti telah dikemukakan, bahwa perjalanan dari New Age adalah bertujuan untuk
pengembangan spiritual, beberapa jenis perjalanan dan kegiatan yang berkonsentrasi pada
berbagai elemen spiritual. Aktivitas dan ritual yang khusus seperti menghadiri seminar dan
workshop, berdoa dengan Pendeta Tibet di wihara Himalaya, meditasi di Glastonbury atau
mengikuti upacara kematian dan kelahiran kembali di dalam piramid di Mesir, dan
seterusnya. Paket wisata spiritual, terlebih yang menekankan spiritual berkaitan dengan alam
(nature) sering dipandu oleh para penulis New Age yang berpengalaman, dukun/spiritualis,
atau seseorang yang dihormati untuk mengajarkan berdialog secara mendalam kepada alam,
untuk menerima energi alam, dan menuntun cara terbaik untuk menjalani kehidupan
(Hooper 1994, dalam Timoty 2006).
Bentuk keempat dari kemasan paket wisata New Age adalah terkait dengan aktivitas
sebagai sukarelawan (volunteering) di negara-negara yang masih berkembang (Smith 2003,
Strutt 1999). Mengajar anak-anak membaca, mengajarkan bagaimana menjaga kesehatan
diri, membangun tempat tinggal, dan menanam sayur, merupakan jenis dari aktivitas para
wisatawan volunteer.
Pariwisata Spiritual
Istilah wisata spiritual, menurut berbagai bahasan terbilang baru dibandingkan
dengan wisata religi. Pada awalnya, wisata spiritual dan wisata religi dianggap sama meski
tak serupa. Baru belakangan dua hal itu dibedakan. Wisata religi terkait dengan perintah
agama, sedangkan wisata spiritual adalah wisata mencari pengalaman spiritual yang tak
pandang agama. Seorang pemeluk Islam yang pergi haji, ia bisa dikatakan berwisata religi
sekaligus spiritual. Namun, kalau dia mengunjungi Borobudur, bisa jadi ia hanya berekreasi,

atau mungkin juga mencari pengalaman spiritual (pengalaman batin) yang tak langsung
terkait dengan doktrin agama, melainkan pengalaman tentang hidup dan mati, tentang
hubungan antara Yang Maha Pencipta dan ciptaannya. Jadi, wisata religi sudah pasti juga
wisata

spiritual,

namun

wisata

spiritual

belum

tentu

wisata

religi.

(http://venuemagz.com/September-2012).
Rogers (2002:3) menyatakan spiritual merupakan jalan kembali ke dasar pluralitas
bentuk agama yang menjadi dasar rasional bagi keberagaman tanpa batas pada jalan
seseorang di dunia. Spiritualitas adalah hal alami dan universal dan oleh karenanya tidak
dapat hanya dikaitkan dengan budaya agama tertentu. Selanjutnya Dana (2008:21)
mendifinisikan wisata spiritual sebagai perjalanan wisata menuju tempat-tempat suci untuk
melaksanakan kegiatan spiritual berupa sembahyang, yoga, semadi, meditasi, konsentrasi,
dekonsentrasi, dan istilah lainnya sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Berkemenn 2006 (dalam Herntre dan Pechlaner, 2011) menyatakan bahwa secara
umum pariwisata spiritual berarti segala bentuk perjalanan wisata yang menyangkut
pejalanan fisik dan spiritual. Interaksi antara tubuh (body) dan pikiran (mind) juga mendapat
penekanan dari Bramer (2009) yang menyatakan bahwa spiritualitas adalah pencarian untuk
mempersatukan kepala (head), hati (heart, dan badan (body) yang dapat dicapai melalui
pergerakan badan fisik menyatu ke alam semesta (physical movement in nature). Freyer
(1996) dan Sneinacke (2007) menyatakan motif pariwisata spiritual dan religi adalah
pariwisata yang berorientasi pada kebudayaan. Melcher (2009), memiliki pemahaman yang
sama dan melihat kesenian, budaya dan religi sebagai motif utama dari pariwisata spiritual.
Bagaimanapun, dia menekankan juga persepsi individu tentang spiritualitas. Hal yang
menentukan adalah pengalaman seseorang selama melakukan perjalanan. Dengan demikian
spiritual berarti spesifik, subjektif, menyangkut idealisme kehidupan batin individu.
Langkah awal dari pengalaman spiritual berupa terbangunnya keakraban, pengertian dan
berhubungan dengan aktivitas (topic) pada suatu tempat, yang mana perasaan subjektivitas
menjadi sangat penting (Melcher 2009, dalam Herntre dan Pechlaner, 2011).
Pariwisata spiritual nampaknya merupakan segmen yang tidak terdifinisikan secara
jelas, namun sebagai topik kepariwisataan yang lintas batas, pariwisata spiritual terkait erat
dengan budaya, pendidikan, alam, dan perhelatan pariwisata (event tourism). Pengertian
pariwisata spiritual, dengan merujuk pada definisi spiritualitas itu sendiri hendaknya tidak

dilatarbelakangi oleh agama tertentu ( Pechlaner, 2010). Pechlaner menggambarkan elemenelemen pariwisata spiritual sebagaimana terlihat pada Gambar 1 sebagai berikut:

Motives
Religion,Culture,Health,
Quest for a deeper
Meaning and Identity

Sacred
people

Place

Spirituali
ty

Places

Atraction

Place of
Pilgrimage

Route

Event

Churches

Destination

Convents
Festival

Region

Gambar 1. Elemen-elemen Pariwisata Spiritual


Sumber: Pechlaner (2010)
Graf (2011) menyatakan bahwa perusahaan pariwisata khususnya yang menawarkan
produk health tourism berpeluang besar untuk meningkatkan produk dan layanannya dengan
menawarkan aktivitas spiritual. Produk health and spiritual tourism yang ditawarkan
semestinya memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah: berorientasi pada makna
(meaning oriented), berorientasi pada nilai (velue oriented), berkelanjutan (sustainable),
tidak menekankan pada moral dan dogma tertentu (without moral and dogma), memberi
pengalaman spiritual (let people experience spirituality), belajar/berlatih spiritualitas
(teach/practice spirituality). Graf (2011) mengklasifikasikan jenis aktivitas spiritual yang
dapat ditawarkan kepada wisatawan sebagai berikut:

Tabel Jenis Aktivitas Pariwisata Spiritual


Spiritual Offer
with nature and axecise
pilgrimage
meditative hiking
meditative walking

with counseling
talk with pastoral worker
talk with shaman
talk with spiritual coach

with music
singing mantras
chanting, tones

with creativity
meditative painting
ikebana

with physical exercises


yoga
tai chi
meditative dance
circle dance

with spiritual exercise


spiritual exercises
contemplation
meditation
trips to shamans
Sumber : Graf, 2011

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata Spiritual


Konsep pemberdayaan masyarakat mengacu pada bagaimana masyarakat setempat
memiliki

pengaruh yang besar secara sosial maupun secara organisasi kemasyarakatan

sehingga mampu mempengaruhi lingkungan hidup mereka. Lingkungan hidup disini meliputi
kombinasi antara penggunaan sumber daya dan social capital yang ada dengan aktivitas yang
dilakukan masyarakat terhadap penggunaan sumber daya tersebut. Penggunaan sumber daya
ini seyogyanya bersifat berkelanjutan, sehingga dapat digunakan saat ini maupun untuk masa
yang akan datang. Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat.
Partisipasi disini meliputi keikutsertaan stakeholders kunci di dalam proses perencanaan dan
pembuat keputusan. Partisipasi disini dapat berupa partisipasi aktif (seperti pemberian
informasi atau konsultasi) sampai partisipasi aktif (seperti bergabung dalam pengambilan
keputusan

serta

bergabung

www.propoortourism.org.uk.

dalam

manajemen

pemberdayaan

masyarakat).

Pitana (2006: 137) menyatakan bahwa untuk dapat meningkatkan partisipasi


masyarakat maka sangat diperlukan program-program pembangunan atau inovasi-inovasi
yang dikembangkan mengandung unsur-unsur:
1. Memberikan keuntungan secara relatif, terjangkau secara ekonomi dan
ekonomis dinggap biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari hasil yang
diperoleh (relative advantage);
2. Unsur-unsur dari inovasi dianggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan
kepercayaan setempat (compatibility);
3. Gagasan baru dan praktek baru yang dikomunikasikan dapat dengan mudah
dipahami dan dipraktekkan (complexity and practicability); dan
4. Unsur inovasi tersebut mudah diobservasi hasilnya lewat demonstrasi atau
praktek peragaan (observability).
Woodly (1993, dalam Pitana 2006) dengan tegas menyatakan bahwa Local
people participation is a prerequisite for sustainable tourism Dalam konsep
pemberdayaan, ada tiga komponen yang harus ada, yaitu :
1. Enabling setting, yaitu memperkuat situasi kondisi di tingkat lokal menjadi
baik, sehingga masyarakat lokal bisa berkreativitas. Ibaratnya, membuat
panggung yang baik, sehingga masyarakat lokal bisa menari di atas panggung
tersebut.
2. Empowering local community. Setelah ada panggung yang baik untuk menari
maka masyarakat setempat harus ditingkatkan kemampuannya menari.
Artinya, setelah local setting disiapkan, masyarakat lokal harus ditingkatkan
pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mampu memanfaatkan setting
dengan baik. Hal ini antara lain dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan
berbagai bentuk pengembangan SDM lainnya.
3. Socio-political support. Kalau panggung sudah baik, masyarakat lokal sudah
bisa menari, maka diperlukan adanya perangkat pendukung lain, seperti:
perlengkapan, penonton, dan seterusnya, yang tidak lain berupa dukungan
sosial, dukungan politik, networking, dan sebagainya. Tanpa dukungan sosial

10

politik yang memadai, masyarakat lokal tidak akan bisa menari dengan
baik di panggung, meskipun masyarakat tersebut sesungguhnya pintar
menari (Pitana, 2004).

Pengembangan Bali Sebagai Destinasi Pariwisata Spiritual


Pulau Bali merupakan tempat yang layak untuk pengembangan wisata spiritual,
bukan hanya karena sejarah Bali dengan ribuan pura dan beragam ritual budaya, melainkan
juga karena atmosfer Bali yang teduh dan damai berkat filsafat hidup Tri Hita Karana.
Konon, inilah filsafat yang menjadi jalan hidup orang Bali dalam menciptakan kedamaian
dan kesejahteraan. Tri Hita Karana bermakna tiga jalan menuju damai dan sejahtera: jalan
hubungan manusia dengan Yang Maha Pencipta; hubungan antara manusia dan alam
lingkungan; hubungan manusia dengan manusia.
Bali menjadi spiritual destination karena banyak upacara keagamaan dan budaya di
sini yang merupakan software Bali, sedangkan hardware-nya, adalah pura dan monumen
keagamaan. Dua unsur itu yang membuat banyak orang dari berbagai penjuru dunia memilih
Bali sebagai tempat mereka menautkan hubungan batin dengan pasangan hidupnya, yaitu
menikah dan sejak dulu banyak orang asing berikrar Go to Bali before I die.(Daniels
2012, dalam venuemagz.com). Bali memiliki potensi sangat besar untuk pengembangan
wisata spiritual. Sebab, Pulau Bali didukung keberadaan tempat ibadah seperti Pura Sad
Kahyangan, Dang Kahyangan, dan Kahyangan Tiga. "Julukan Bali sebagai Pulau Seribu
Pura (Land of One Thousand Temples), menjadi kekuatan untuk mengembangkan wisata
spiritual. Hal ini tidaklah berlebihan, karena jumlah pura di Bali saat ini tercatat lebih dari
20 ribu unit (Titib, 2012 dalam kompas detik com). Empat pura penjaga Bali seperti Pura
Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung, Pura Ulu Watu, Pura Batu Karu, dan Pura
Lempuyang, sering menjadi tempat bagi para turis untuk meditasi dan bersemadi.
Keberadaan ribuan pura yang tersebar di desa-desa di Bali menjadi aset utama dalam
kegiatan pariwisata spiritual. Pura-pura tersebut dapat dijadikan tempat untuk sembahyang,
bersemadi, dan meditasi. Kegiatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan para pemangku
(pendeta) yang bertanggung pada masing-masing pura sehingga bisa berjalan dengan lancar
(Budiarta 2012 dalam madebayu.blogspot.com). Selain pura di Bali juga terdapat beberapa

11

pasraman dan ashram sebagai tempat melakukan wisata spiritual. Di Bali, ashram telah
dikenal sejak abad ke-9 dengan istilah pasraman. Salah satu Pasraman, sesuai penelitian
arkeologi situs Pura Gajah, di Desa Bedahulu, Gianyar, dahulu adalah Pasraman Siwa
Budha, tempat para pendeta memberikan pelayanan kerohanian kepada masyarakat (Suantra
dan Muliarsa, 2006 dalam madebayu.blogspot.com). Di Pasraman Guru Kula - Bangli para
siswa disediakan asrama dan khusus bagi siswa miskin, biaya pendidikan dan biaya hidup
selama di asrama ditanggung pihak yayasan. Kurikulum yang diajarkan sama dengan
sekolah formal namun lebih bernuansa Hindu. Di luar jam sekolah siswa diberikan
pengetahuan tambahan seperti budi pekerti, agama Hindu, seni, cara bercocok tanam, cara
beternak, dan lainnya. Dengan konsep kesederhanaan dan nuansa Hindu dalam pendidikan
dan kehidupan sehari-hari, Pasraman Guru Kula dapat memberikan dampak positif terhadap
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Ada empat Ashram yang dikelola oleh Indra Udayana Vedanta Community yaitu: (i)
Ashram Gandhi Puri Sevagram yang terletak di Jalan Raya Sidemen, Desa Paksebali,
Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung; (ii) Ashram Gandhi Puri Chatralaya di Jalan
Gandapura, Denpasar; (iii) Ashram Gandhi Puri Satya Dharma, Singaraja; dan (iv) Ashram
Gandhi Puri Vidyagiri di Mataram. Di Ashram tersebut banyak warga asing yang belajar
kegiatan spiritual. Dari beberapa kegiatan spiritual tersebut yang paling menarik bagi
wisatawan adalah meditasi, yoga, malukat, agnihotra, dan berdoa dengan mantra Gayatri.
Hasil penelitian Ruki (2008) mengatakan bahwa yoga, meditasi, dan kegiatan lainnya bila
dipraktekkan dengan benar akan bermanfaat sebagai terapi yang bisa membuat wisatawan
merasa lebih bahagia, rileks dan tenang dalam waktu cepat.
Bali sebagai sebuah destinasi wisata yang mayoritas penduduknya beragama Hindu,
merupakan potensi tersendiri (software) untuk mengembangkan pariwisata spiritual. Pada
filsafat ketimuran, pemikiran bahwa spiritualisme dapat dipenuhi dari dalam diri sudah ada
sejak lama. Dalam ajaran hindu, manusia adalah perwujudan Tuhan, karena jiwa (roh)
adalah percikan terkecil dari Brahman, sehingga jiwa manusia adalah bagian dari Tuhan itu
sendiri. Dalam Weda dinyatakan: Tatwamasi, yang berarti aku adalah engkau, agama hindu
menyatakan bahwa manusia dan alam berasal dari satu sumber yang sama yaitu Tuhan yang
Maha Esa (Edwin, 1992 dalam Narottama, 2012).

12

Agama Hindu adalah agama yang paling tua (muncul antara tahun 3102 SM-1300
SM), ia telah melewati berbagai faham dan konsep ketuhanan yang pernah ada di dunia.
Dalam Hindu, terdapat berbagai konsep tentang Ketuhanan, seperti konsep panthesime,
monism, monotheisme, polytheisme, bahkan ada konsep atheism. Namun konsep yang
paling banyak dipakai dan umum di masyarakat adalah konsep monotheisme. Konsep
monotheisme dalam Hindu beranggapan jika Tuhan, tidak ada duanya serta merupakan pusat
dari kehidupan di alam semesta. Konsep pantheisme dalam Hindu, bahwa Tuhan tidak
memiliki wujud maupun tempat tertentu dan menyatu dengan setiap ciptaannya bagaikan
garam di air laut. Alam semesta adalah Tuhan itu sendiri. Konsep atheism (dalam ajaran
Samkya) ada di dalam Hindu, namun tidak terlalu popular. Filsafat ini beranggapan bahwa
alam semesta bukan ciptaan Tuhan, telah ada, namun tidak berasal, dan tidak memiliki sebab
(Madrasuta, 2001).
Agama Hindu dikenal sangat toleran, salah satunya adalah ajaran Catur Marga.
Dengan demikian ajaran Agama Hindu mencerminkan toleransi dan sifat adil yang dimiliki
oleh Tuhan. Sehinga Agama Hindu menganggap semua agama memiliki tujuan yang sama,
hanya sudut pandang dan cara pelaksanannya saja yang berbeda, karena Hindu menghormati
kebenaran yang dating dari segala arah (Narottama, 2012).
Model Pengembangan Bali sebagai Pusat Aktivitas Pariwisata Spiritual
Bali yang sudah sejak lama dikenal oleh wisatawan mancanegara, dipandang perlu
untuk terus mengembangkan pariwisata spiritual mengingat wisatawan yang mengikuti
aktivitas spiritual pada umumnya memiliki spending power yang tinggi, berpendidikan
tinggi dan sangat peduli dengan kelestarian budaya dan lingkungan. Sebagai destinasi wisata
yang mayoritas penduduknya beragama Hindu memiliki potensi berupa software dan
hardware yang sangat mendukung berkembangnya pariwisata spiritual. Banyaknya terdapat
pura, gereja, wihara, monument, yang merupakan hardwere sedangkan budaya, adat istiadat,
cara hidup masyarakat Bali dan filsafat ajaran Hindu merupakan software yang dimiliki Bali
sebagai pendukung berkembangnya aktivitas pariwisata spiritual.
Biro Perjalanan Wisata dalam mengkemas paket wisata spiritual dituntut untuk
menciptakan produk yang unik dan autentik dengan nilai jual yang kompetitif melibatkan
para penekun spiritual, memberdayakan masyarakat lokal, melestarikan budaya dan

13

lingkungan sekitarnya. Keterlibatan pemerintah dan akademisi mutlak diperlukan dalam


pengembangan Bali sebagai destinasi pariwisata spiritual. Pemerintah dalam hal ini banyak
berperan dalam memberikan regulasi dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana
kepariwisataan. Sedangkan akademisi sangat berperan dalam memberikan masukan berupa
hasil kajian akademis kepada praktisi dan masyarakat terkait motivasi dan tren dari
wisatawan spiritual ke depan, agar selalu dapat diantisipasi kebutuhannya untuk terciptanya
produk yang berkualitas secara berkelanjutan. Salah satu model alternatif pengembangan
Bali sebagai destinasi pariwisata spiritual dituangkan oleh penulis pada gambar 2 berikut:

Wisatawan
(New Age)
Hardware :
Banyak Pura
(Sad Khayangan
dan Dang
Khayangan),
Wihara,
Gereja,
Monumen,
Bajan

Software :
Push faktor

Pull faktor

Bali sebagai Destinasi


Pariwisata Spiritual
Pengemasan Paket
Wisata Spiritual

Biro Perjalanan Wisata


(Praktisi / Bisnis Owner)

Tokoh dan
Penekun Spiritual

Tempat/Lokasi
Penyelenggaraan Wisata
Spiritual

Akademisi,
Pemerintah

Filosofi hidup masyarakat


Bali :
Toleransi,
Beragam upacara /prosesi
agama,
Tatwamasi,
Tri Kaya Parisuda,
Tri Hita Karana,
Tri Guna,
Panca Sradha
SDM Wisata
Spiritual
Konsep
Pemberdayaan
Masyarakat Lokal
Konsep Pelestarian
Lingkungan

Kemasan Paket Wisata


Spiritual Berkualitas

Gambar 2. Model Pengembangan Bali Sebagai Destinasi Wisata Spiritual di Bali


(Bali Spiritual Destination Developments Model)

14

Kesimpulan
Berkembangnya wisata spiritual sangat terkait dengan adanya gerakan New Age yang
timbul karena adanya penolakan dari ajaran agama formal yang cenderung mengekang dan
miskin spiritual. Para New Ager menoleh pada spiritualitas baru lintas agama yang sangat
menghayati ajaran monism, menekankan kesucian individu dan proses dalam pencarian
Tuhan melalui diri sendiri. Adanya gerakan New Age ini merupakan peluang bagi
berkembangnya pariwisata spiritual. Pengembangan wisata spiritual terkait dengan berbagai
elemen yang terlibat seperti: (i) motivasi wisatawan, berkaitan dengan kegiatan siarah,
budaya, kesehatan, dan penemuan jati diri. (ii) Atraksi, ini terkait dengan rute ziarah, gereja,
pura, masjid, wihara dan lain-lain, dan festival. (iii) Tempat, terkait dengan tempat-tempat
spiritual seperti satu destinasi maupun tempat khusus pada satu daerah, (iv) Orang suci, ini
berkaitan dengan pelaku atau penekun spiritual seperti pendeta, dukun, guru yoga, dan lainlain. (v) Event, ini berkaitan dengan perayaan yang diyakini sebagai hari suci. Berbagai jenis
aktivitas wisata spiritual yang dapat ditawarkan kepada wisatawan meliputi aktivitas:
kegiatan ziarah (pilgrim), konsultasi dengan orang suci/penekun spiritual, meditasi, yoga,
kontemplasi, menyanyikan lagu-lagu rohani/mantra, dan lain-lain.
Bali memiliki potensi sangat besar untuk pengembangan wisata spiritual. Sebab,
Pulau Bali didukung keberadaan tempat ibadah (hardware) seperti Pura Sad Kahyangan,
Dang Kahyangan, dan Kahyangan Tiga, dengan modal dasar spiritual yang kuat dan
pengelolaan yang baik, wisata spiritual diyakini akan berkembang dengan pesat. Namun,
agar tidak menghancurkan sendi-sendi budaya di Bali, merupakan kewajiban bagi pelaku
usaha

wisata

spiritual

untuk

memperhatikan

adat

istiadat

di

sekitarnya.

Hal ini dikarenakan, wisata spiritual sangat erat kaitannya dengan keutuhan adat istiadat dan
norma (softwere) yang dipegang masyarakat setempat. Pemahaman tentang pariwisata

15

spiritual dan aspek-aspeknya dijadikan sebagai landasan dalam merancang model


pengembangan pariwisata spiritual di Bali, demi terciptanya kepuasan wisatawan,
menguntungkan masyarakat lokal, pemerintah dan pelaku usaha yang berwawasan
lingkungan secara berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Dana, I W. 2008. Wisata Spiritual di Bali dan Prospeknya. Bali Travel News Edisi
Indonesia. Vol. III. No. 02 (21). Denpasar: Koperasi Tarukan Media Dharma.
Graf Alexandra, 2011. Spirituality and Health Tourism, Trends and Issues in Global
Tourism. Springer Verlag Berlin Heidelberg.
Gee, C.Y. and Fayos-Sola, E. (1997) International Tourism : A Global Perspective, Madrid:
World Tourism Organization.
Herntrei Marcus dan Pechlaner. 2011. Spiritual Tourism The Church as Partner in
Tourism? Trend and Issues in Global Tourism : Springer-Verlag Berlin.
Holman, Christine. 2011. Surfing for A Shaman. Annals of Tourism Research, Vol. 38. 1, pp.
90-109.
Madrasuta, Ngakan Made. 2001. Saya Beragama Hindu. Denpasar : T.U. Warta Hindu
Darma.
Narottama, Narayana. 2012. Wisata Spiritual: Studi Kasus Partisipasi Orang Asing Dalam
Upacara Pitrayajna di Desa Pekraman Muncan, Selat, Karangasem, Bali. Denpasar:
Tesis S2 Kajian Pariwisata Universitas Udayana.
Pitana, I Gde. 2006. Kepariwisataan Bali dalam Wacana Otonomi daerah. Jakarta:
Puslitbang kepariwisataan.
Pitana, I Gde 2004. Mispersepsi Pemberdayaan Masyarakat dalam Kepariwisaaan Bali. Bali
Post, Maret 2004. Hal 7.
Rogers, C.J. 2002. Secular Spiritual Tourism. Central Queenland University. (cited 25
September 2008) from: http:/www.iipt.org/africa2007/PDFs/CatherineJRogers.pdf.
Ruki, Made. 2008. Pengembangan Pariwisata Spiritual di Ashram Gandhi Puri Sevagram,
Klungkung, Bali (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

16

Strutt, R. (1999) Pack your bags and learn,new Age 16(7): 17-20
Sharpley, Richard dan Jepson, Deborah. Rural Tourism a Spiritual Experience. Annals of
Tourism Reseach. Vol 38, no. 1, pp. 52-71.
Smith, M. (2003) Holistic holidays : tourism and the reconcialiation of body, mind, and
spirit, Tourism Recreation Research 28 (1) : 103-108.
Sukidi, 2001. New Age Wisata Spiritual Lintas Agama. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama.
Timoty, J Dalen and Daniel H. Olsen. 2006. Tourism, Religion & Spiritual Journeys.
Abingdon : Routledge.
Timoty, D.J. 2002.Sacred journeys: religious heritage and tourism, Tourism Recreation
Reseach 27 (2) : 3-5 Issues in Global Touris.
http://venuemagz.com/September-2012/seminar-wisata-spiritual-go-to-bali-before-i-die.html
diunggah pada tanggal 2 Juni 2013.
http://travel.kompas.com/read/2012/01/06/16000175/Wisata.Spiritual.di.Bali.Belum.Digarap
.Maksimal. Diunggah tanggal 2 Juni 2013.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=579&Itemid=99.
Diunggah tanggal 2 Juni 2013.
http :// www.propoortourism.org.uk/what is ppt. html.
http://madebayu.blogspot.com/2012/02/pariwisata-alternatif-pariwisata-bali.html.
Diunduh tanggal 2 Juni 2013. Pariwisata Alternatif: Pariwisata Bali Masa Depan
(Literature Review).

Anda mungkin juga menyukai