PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural dari sabang hingga
merauke memiliki ciri khas budayanya masing-masing. Mulai dari pakaian adat,
senjata tradisional, lagu daerah, rumah adat, tarian adat, bahasa, hingga upacara adat.
Kesadaran akan keberagaman ini dituangkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika
dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Tantular, artinya berbeda-beda tapi tetap
satu jua. Tinggal di dalam masyarakat yang amat plural tentunya membutuhkan sikap
terbuka dan toleransi yang tinggi.
Kelurahan Cigugur merupakan salah satu wilayah yang memiliki keunikan
tersendiri di kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Diferensiasai sosial dan masyarakat
multikultural sangat lekat dengan budaya tradisionalnya menjadikan Kelurahan
Cigugur sebagai sentra budaya dan menjadi ikon kabupaten Kuningan. Terletak di
kaki gunung Ciremai, menjadikan kelurahan Cigugur yang subur, sejuk, dan menjadi
sumber mata air bersih melimpah dan dapat mencukupi kebutuhan masyarakat lokal.
Karena karunia Tuhan yang melimpah itu, masyarakat Cigugur melakukan suatu
tradisi yang disebut Seren taun. Acara Seren Taun yang diselenggarakan setiap
tanggal 18 Rayagung sampai 22 Rayagung dalam kalender penanggalan Sunda,
upacara ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sebagai
tontonan unik dan tersendiri bagi warga lokal maupun wisatawan.
Upacara Seren Taun di Cigugur memiliki banyak nilai-nilai budaya dan
keunikan dibandingkan dengan upacara serupa. Oleh sebab itu kami tertarik untuk
melakukan observasi tentang rangkain Upacara Seren Taun dan melihat interaksi
masyarakat adat dengan masyarakat sekitar.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin kami ketahui dari observasi ini adalah:
1.2.1 Bagaimanakah sejarah upacara Seren Taun di Cigugur?
1.2.2 Bagaimana prosesi adat Seren Taun dan apa saja maknanya?
1.2.3 Bagaimanakah respon masyarakat terhadap upacara Seren Taun?
1.2.4 Adakah hambatan dalam melaksanakan Seren Taun?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan kami melakukan observasi ini adalah:
1.3.1 Mengetahui sejarah upacara Seren Taun di Cigugur.
1.3.2 Mengetahui prosesi adat Seren Taun dan makna yang terkandung di dalamnya.
1.3.3 Mengetahui respon masyarakat terhadap upacara Seren Taun.
1
1.3.4
1.4
Metode
Metode yang digunakan dalam melakukan observasi ini adalah dengan melakukan;
a. Wawancara; dan
b. Studi dokumen.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pelaksanaan Observasi
a. Waktu
b. Tempat
Jawa Barat.
di
pendopo
Paseban
Tri
Panca Tunggal,
kediaman
Pangeran
suku Aborigin, suku Afrika, India, bangsa manapun sudah dipersiapkan untuk
kehidupan manusia. Tidak ada spesialisasi apapun, semua manusia derajatnya sama,
semua manusia diberikan makanan pokok yang sama hanya pikiran manusia yang
dikotori oleh nafsu yang mengakibatkan pengkotak-kotakan. Jadi sesungguhnya
kehidupan yang diciptakan Tuhan itu sama untuk kepentingan manusia itu sendiri.
2.3
b.
Pesta Dadung
Pesta Dadung merupakan upacara sakral masyarakat dilaksanakan di
diangkat
masyarakat
dan
yang
dijadikan
ditampilkan
kebiasaan
dalam
memiliki panjang kurang lebih 12 meter, tujuannya sebagai perkakas ngibing atau
menari dan membawakan lagu yang diiringi gamelan. Ibing atau tarian yang
dipake adalah tarian Jalak Pengkor (burung jalak pincang) hasil kreasi Bapak
Angkin Jiwa Laksana. Sedangkan kawih/tembang untuk mengiringi gamelan
menggunakan musik Kangsreng atau Waledan. Kedua musik ini ciptaan Sunan
Gunung Djati atau yang biasa disebut Wali Sanga. Oleh karena itu pergelaran
pesta dadung mempunyai visi untuk melestarikan kehidupan agraris dan
berkembangnya ajaran Islam. Sebab dahulu tersebarnya agama Islam sangat
efektif melalui kesenian.
Falsafah dari tradisi Pesta Dadung yaitu kesenian tradisional Masyarakat
Kabupaten Kuningan yang masih menjunjung tinggi nilai budaya leluhur dari
tahun ke tahun. Nilai yang dalam tradisi ini salah satunya nilai religi, dimana
tradisi ini awal dari kebiasaan pengembala dan petani yang menjadi media
mengungkapkan rasa syukur, sebab dadung pada waktu itu dipakai untuk
mengikat kerbau atau sapi untuk membajak sawah. Selain itu pesta dadung
merupakan media untuk penyebaran agama Islam di Kabupaten Kuningan.
Disamping menjaga alam, didalam prosesi pesta dadung ini terjadi proses
pelestarian alam dengan cara penanaman bibit tanaman. Kegiatan ini dilakukan
bersamaan antara masyarakat dengan pihak pemerintah.
c. Seribu Kentongan
Pawai Budaya diikuti oleh para tokoh adat yang berasal dari berbagai
pulau di Nusantara dengan menggunakan delman mengitari Kota Kuningan
sebagai sarana sosialisasi Seren Taun yang bernafaskan bhineka tunggal ika.
g. Gondang
h. Kidung Spiritual
Kidung spiritual antar-iman menyadari bahwa keberagaman adalah
kebesaran dan kehendak Sang Pencipta. Peserta kidung spiritual berasal dari
berbagai daerah di Nusantara seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali,
Nusa Tenggara, dan Papua dengan latar belakang agama dan kepercayaan yang
berbeda, bersama berdoa untuk kedamaian semesta alam.
i. Ngareremokeun
Upacara ini merupakan bertemunya energi hidup dari Sang Hyang Asri
Pwah Aci yang disimbolkan dalam kekuatan tubuh pucuk pohon dan kesuburan di
tanah. Tari Pwah Aci merupakan salah satu seni tari spiritual yang di dalamnya
tersirat ungkapan rasa hormat dan bhakti kepada Sang Pemberi Hidup melalui
gerak dan ekspresi. Upacara ini diiringi angklung buncis dari Kanekes.
Pada tanggal 22 Rayagung, dilaksanakan Puncak Acara Seren Taun yang terdiri
dari:
a. Tari Buyung
Tari buyung merupakan tarian khas masyarakat Cigugur yang diciptakan oleh Ibu
Emalia Djatikusumah. Tarian ini merupakan persembahan para perempuan desa
yang senantiasa mengingatkan kita kepada kita Dimana Bumi Dipijak, Disitu
Langit Dijunjung. Tari buyung
merupakan
simbol
perempuan
b.
Angklung Buncis
Angklung
Gambar
2.6 Angkluk
buncis
didukung
oleh Buncis
lima puluh
orang
pemain,
Prosesi ngajayak diikuti oleh rombongan dari empat penjuru yang terdiri
dari lulugu barisan muda mudi, bapak-bapak dan ibu-ibu yang membawa padi dan
buah beuti hasil panen menuju tempat upacara di Paseban.
d. Penumbukan Padi
2.5
antropolognya (Van Beck) mengadu domba kepada kaum muslim dan kelompok
santri bahwa, pengikut Madrais ingin mendirikan agama baru bernama Jawa Sunda.
Padahal, Sunda Wiwitan menggali spiritual lama bukan baru, ini merupakan salah
satu contoh politik adu domba (devide et impera) yang dilakukan Belanda. Muncul
stigma dan diskriminasi, dikatakan pula pengikut Pangeran Madrais disuruh minum
keringat dan menyembah api.
Pada masa pemerintahan Orde Baru stigma pada jaman Belanda direproduksi
menjadi politik SARA dengan membuat pelarangan Upacara Seren Taun, termasuk
memakai iket (kain segitiga/segiempat yang dilipat-lipat dan dililitkan di kepala).
Orang Sunda yang memakai iket ditangkap dan dipenjarakan. Kebiasaan menumbuk
padi menggunakan alu (Nutu) pun dilarang, sehingga terpaksa mengupas biji-biji padi
menggunakan tangan. Apabila ada yang tetap nutu, maka ditangkap oleh petugas
setempat. Pelarangan Upacara Seren Taun ini berlangsung selama 17 tahun, yaitu
antara tahun1982-1999.
Saat Adburrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi presiden, cucu Pangeran
Madrais, yaitu Pangeran Jatikusumah memerintahkan putri dan menantunya untuk
menemui Gus Dur. Akhirnya Gus Dur meminta Upacara Seren Taun tetap
dilaksanakan dan ia akan menghadirinya atau diwakilkan orang kepercayaannya tapi
jangan sampai ada yang tau, agar bisa tahu respon pejabat setempat. Tiga hari
sebelum Upacara Seren Taun ada surat peringatan dari polres Kuningan bahwa, siapa
saja yang melaksanakan Upacara Seren Taun akan ditangkap dan dibubarkan. Ketika
Gus Dur tidak bisa datang, pada malam Jumat Kliwon tepat pukul 12, perwakilan dari
Paseban datang ke Istana Negara. Ia menemui Pak Bondan Gunawan, Sekretaris
Negara dan Sekretaris Pengendalian Pemerintahan (Menteri Koordinator).
Pemerintah daerah Kuningan tetap anti Seren Taun. Oleh sebab itu,
diusahakan Gus Dur dating ke Cigugur. Akhirnya dilihat kapan jadwal Gus Dur
ziarah, ada satu waktu ketika Gus Dur akan ziarah ke Karangkamulyan, Ciamis.
Perwakilan Paseban menghubungi staf khusus Gus Dur, ia menjelaskan bahwa, dulu
12
dalam sejarah munculnya Padjajaran dan Galuh itu karena Perjanjian Galuh I pada
tahun 734 antara Ciung Wanara dengan Rakeyan Banga (Hariang Banga) yang
bertempat di Kuningan.
Sehingga Gus Dur berminiat untuk mengunjungi Cigugur dulu. Pada waktu itu
mobil presiden berangkat lebih dulu, sedangkan Gus Dur naik helikopter dan berhenti
di Penggung, Cirebon. Mobil RI 1 hanya dikawal 2 mobil Paspampres, sehingga
membuat geger seluruh aparat daerah Kuningan. Akhirnya Gus Dur menghadiri
Upacara Seren Taun. Setelah Gus Dur menghadiri upacara seren taun, terjadilah
perang dingin dengan pemerintah setempat, hingga akhirnya menerima karena tetap
dilaksanakan setiap tahunnya. Keterlibatan Cigugur bahwa bukan milik satu golongan
saja akhirnya diakui. Kemudian Pangeran Jatikusumah diundang sebagai perwakilan dari
Sundanesse Traditional Belief di International Faith Conference, New York, Amerika Serikat.
2.6
13
Kerukunan ini bukan hanya terjadi saat Upacara Seren Taun, tetapi dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam sebuah keluarga, ayahnya seorang penganut
Sunda Wiwitan, ibunya beragama Islam, namun anaknya beragama Katolik. Hal ini
bukanlah hal aneh di Cigugur. Warganya hidup berdampingan dari hidup hingga mati.
Komplek makam yang ada di Kampung Pasir bukan makam orang Katolik, Islam,
Protestan, Budha, Hindu, atau Sunda Wiwitan, tetapi makam orang Cigugur.
Disanalah Pangeran Madrais dimakamkan bersama keluarganya yang lain.
Disampingnya adalah makam warga Cigugur, ada yang Islam, Katolik, Budha, bahkan
Hindu. Sebuah keunikan yang jarang ditemui di daerah lain. Karena pada prinsipnya
mereka meyakini bahwa, hidup berasal dari zat yang sama, hanya cara penyebutannya
saja yang berbeda, sama seperti yang dikatakan oleh Pangeran Gumirat.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
14
3.2
Saran
Sebagai budaya yang telah diwariskan nenek moyang, Seren Taun harus
dilestarikan oleh segenap warga Cigugur. Regenerasi harus terus dilakukan demi
kelangsungan Seren Taun, agar kiranya bisa tetap disaksikan oleh anak cucu kita.
Bukan hanya orang Cigugur yang harus menjaga kelestariannya, tapi seluruh bangsa
Indonesia harus memiliki keterikatan akan budayanya masing-masing. Hal ini dapat
tercipta apabila kita terjun langsung dan mengenali budaya itu secara lebih dekat.
Agar tidak terjadinya kesalahan dalam menceritakan maupun melaksanakan tradisi
ini, maka harus didokumentasikan baik dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan
kronologinya, maupun berupa foto atau video.
Lampiran
DOKUMENTASI
15
Melihat hasil karya batik Cigugur yang dipamerkan di Jakarta dan dihadiri oleh ibu Ani
Yudhoyono
16
Pangeran Djatikusuma
17
saat menghdiri
Conference
di International Faith
(PBB)
18
19
Balong Girang, merupakan tempat diadakannya Nyiblung sekaligus habitat ikan dewa
20
Foto Kelompok
21
22
23