Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural dari sabang hingga
merauke memiliki ciri khas budayanya masing-masing. Mulai dari pakaian adat,
senjata tradisional, lagu daerah, rumah adat, tarian adat, bahasa, hingga upacara adat.
Kesadaran akan keberagaman ini dituangkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika
dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Tantular, artinya berbeda-beda tapi tetap
satu jua. Tinggal di dalam masyarakat yang amat plural tentunya membutuhkan sikap
terbuka dan toleransi yang tinggi.
Kelurahan Cigugur merupakan salah satu wilayah yang memiliki keunikan
tersendiri di kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Diferensiasai sosial dan masyarakat
multikultural sangat lekat dengan budaya tradisionalnya menjadikan Kelurahan
Cigugur sebagai sentra budaya dan menjadi ikon kabupaten Kuningan. Terletak di
kaki gunung Ciremai, menjadikan kelurahan Cigugur yang subur, sejuk, dan menjadi
sumber mata air bersih melimpah dan dapat mencukupi kebutuhan masyarakat lokal.
Karena karunia Tuhan yang melimpah itu, masyarakat Cigugur melakukan suatu
tradisi yang disebut Seren taun. Acara Seren Taun yang diselenggarakan setiap
tanggal 18 Rayagung sampai 22 Rayagung dalam kalender penanggalan Sunda,
upacara ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sebagai
tontonan unik dan tersendiri bagi warga lokal maupun wisatawan.
Upacara Seren Taun di Cigugur memiliki banyak nilai-nilai budaya dan
keunikan dibandingkan dengan upacara serupa. Oleh sebab itu kami tertarik untuk
melakukan observasi tentang rangkain Upacara Seren Taun dan melihat interaksi
masyarakat adat dengan masyarakat sekitar.

1.2

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin kami ketahui dari observasi ini adalah:
1.2.1 Bagaimanakah sejarah upacara Seren Taun di Cigugur?
1.2.2 Bagaimana prosesi adat Seren Taun dan apa saja maknanya?
1.2.3 Bagaimanakah respon masyarakat terhadap upacara Seren Taun?
1.2.4 Adakah hambatan dalam melaksanakan Seren Taun?

1.3

Tujuan
Adapun tujuan kami melakukan observasi ini adalah:
1.3.1 Mengetahui sejarah upacara Seren Taun di Cigugur.
1.3.2 Mengetahui prosesi adat Seren Taun dan makna yang terkandung di dalamnya.
1.3.3 Mengetahui respon masyarakat terhadap upacara Seren Taun.
1

1.3.4
1.4

Mengetahui hambatan dalam melaksanakan Seren Taun.

Metode
Metode yang digunakan dalam melakukan observasi ini adalah dengan melakukan;
a. Wawancara; dan
b. Studi dokumen.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Pelaksanaan Observasi
a. Waktu

: Sabtu, 14 November 2015

b. Tempat

: Cagar Budaya Nasional, Gedung Paseban Tri Panca Tunggal

Jalan Raya Cigugur, Kampung Wage, Kel. Cigugur, Kec. Cigugur,


Kab. Kuningan,

Jawa Barat.

c. Narasumber : 1. Pangeran Gumirat Barna Alam


2. Oki Satrio Jati
2.2

Sejarah Seren Taun


Seren Taun merupakan sebuah evolusi manusia dalam berkeyakinan tentang
kemahaesaan Tuhan. Jika melihat dari sejarah evolusi sosial, setiap manusia
mengalami evolusi perjalan awal mula dari jaman primitif, dinamise, animism, bukan
hanya pengstigmaan. Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun
sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan
Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri,
dewi padi dalam kepercayaan Sunda Kuna. Kini upacara Seren Taun bukan sekadar
tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga
dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
Di Cigugur, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22
Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa,
dipusatkan

di

pendopo

Paseban

Tri

Panca Tunggal,

kediaman

Pangeran

Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim


panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara. Ada satu hal
yang unik dari tanggal diselenggarakannya Upacara Adat Seren Taun, yaitu 22. 22
terdiri dari 20 + 2. 20 disini menandakan sebagai simbol sifat wujud manusia yang
terdiri dari darah, daging, paru-paru dan sebagainya. dan 2 menandakan laki-laki dan
perempuan (2 insan manusia).
Seren Taun berarti menyerenkanmenserah terimakantahun yang lama
untuk menyambut tahun yang baru. Dalam tahun yang lama kita harus bersyukur atas
rahmat yang kita terima untuk umat manusia tanpa membeda-bedakan agama, suku,
dan bahasa. Acara seren tahun disini juga berproses dari yang sederhana, dan intinya
acara ini ucapan rasa syukur kepada tuhan atas karunia segala jenis tumbuhan, hewan
untuk kebutuhan umat manusia, karena setiap makanan pokok setiap daerah itu
berbeda-beda tuhan telah menyediakan segala kebutuhan untuk orang-orang seperti
3

suku Aborigin, suku Afrika, India, bangsa manapun sudah dipersiapkan untuk
kehidupan manusia. Tidak ada spesialisasi apapun, semua manusia derajatnya sama,
semua manusia diberikan makanan pokok yang sama hanya pikiran manusia yang
dikotori oleh nafsu yang mengakibatkan pengkotak-kotakan. Jadi sesungguhnya
kehidupan yang diciptakan Tuhan itu sama untuk kepentingan manusia itu sendiri.
2.3

Prosesi Upacara Seren Taun


Seren Taun merupakan Gelar Budaya Tradisional Agraris Sunda yang masih
berada dan biasa dilaksanakan di Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Gelaran acara pada prosesi Upacara Seren Taun yaitu:
a. Damar Sewu
Acara Damar Sewu mengawali rangkaian upacara adat Seren Taun di
Cigugur Kabupaten Kuningan. Pagelaran kesenian ini menganalogikan
manusia dalam menjalani proses kehidupan baik secara pribadi maupun sosial.
Damar Sewu dimulai dengan menyalakan api pada kuntum bunga teratai yang
kemudian disebar dengan menggunakan obor ke empat penjuru mata angin
sebagai tanda semangat yang senantiasa akan selalu berkembang pada setiap
generasi. Damar sewu biasa diadakan pada malam hari. Setiap pagelaran ini
dilangsungkan selalu diminati penonton.

b.

Gambar 2.1 Obor

Pesta Dadung
Pesta Dadung merupakan upacara sakral masyarakat dilaksanakan di

Mayasih pada 18 Rayagung. Pesta Dadung merupakan upaya meruwat dan


menjaga keseimbangan alam agar hama dan unsur negatif agar tidak menggangu
kehidupan manusia juga sebagai syukuran bagi para petani dan anak-anak
gembala. Asal mula Pesta Dadung dikenalkan
ke masyarakat luar desa setelah pemimpin atau
kepala desa baru, yaitu Bapak Angkin Jiwa
Laksana pada tahun 1818. Sebelumnya Pesta
Dadung merupakan sarana bermain anak-anak
yang

diangkat

masyarakat

dan

yang

dijadikan
ditampilkan

kebiasaan
dalam

pertunjukkan yang lebih menarik. Dadung


4

memiliki panjang kurang lebih 12 meter, tujuannya sebagai perkakas ngibing atau
menari dan membawakan lagu yang diiringi gamelan. Ibing atau tarian yang
dipake adalah tarian Jalak Pengkor (burung jalak pincang) hasil kreasi Bapak
Angkin Jiwa Laksana. Sedangkan kawih/tembang untuk mengiringi gamelan
menggunakan musik Kangsreng atau Waledan. Kedua musik ini ciptaan Sunan
Gunung Djati atau yang biasa disebut Wali Sanga. Oleh karena itu pergelaran
pesta dadung mempunyai visi untuk melestarikan kehidupan agraris dan
berkembangnya ajaran Islam. Sebab dahulu tersebarnya agama Islam sangat
efektif melalui kesenian.
Falsafah dari tradisi Pesta Dadung yaitu kesenian tradisional Masyarakat
Kabupaten Kuningan yang masih menjunjung tinggi nilai budaya leluhur dari
tahun ke tahun. Nilai yang dalam tradisi ini salah satunya nilai religi, dimana
tradisi ini awal dari kebiasaan pengembala dan petani yang menjadi media
mengungkapkan rasa syukur, sebab dadung pada waktu itu dipakai untuk
mengikat kerbau atau sapi untuk membajak sawah. Selain itu pesta dadung
merupakan media untuk penyebaran agama Islam di Kabupaten Kuningan.
Disamping menjaga alam, didalam prosesi pesta dadung ini terjadi proses
pelestarian alam dengan cara penanaman bibit tanaman. Kegiatan ini dilakukan
bersamaan antara masyarakat dengan pihak pemerintah.

c. Seribu Kentongan

Gambar 2.2 Pemukulan kentongan pertama oleh


Pangeran Djatikusuma

Seribu kentongan merupakan acara penutup rangkaian acara di bukit Situ


Hyang. lebih dari 1000 orang terdiri dari masyarakat dan anak-anak sekolah serta
seluruh peserta pendukung rangkaian acara seren taun menuju Paseban Tri Panca
Tunggal ditutup dengan 10 orang rampak kendang. Dimulai dengan pukulan induk
oleh Ketua Adat kemudian diikuti oleh ribuan peserta. Ini memiliki makna bahwa
kentongan awi ( Bambu ) memiliki arti kita harus senantiasa ingat dan eling pada
asal wiwitan atau hukum adikodrati yang menentukan nilai kemanusian dan
kebangsaan.
d. Penanaman Pohon
Penanaman pohon merupakan salah satu bentuk kepedulian dan antisipasi
juga manifestasi dari rasa syukur, mencintai, memelihara dan menjaga apa yang
sudah Maha Pencipta berikan. Penanaman pohon biasanya dilakukan setelah Pesta
Dadung.
e. Nyiblung dan Dayung Buyung
Nyiblung adalah permainan musik air yang biasa dimainkan masyarakat
dulu ketika menunggu mengambil air minum dimata air. Sedangkan dayung
buyung adalah berenang dengan menggunakan buyung sebagai pelampung.
Biasanya dilakukan oleh masyarakat ketika mandi dekat mata air.
f. Pawai Budaya

Gambar 2.3 Pembukaan Pawai Budaya oleh Pangeran


Gumirat

Pawai Budaya diikuti oleh para tokoh adat yang berasal dari berbagai
pulau di Nusantara dengan menggunakan delman mengitari Kota Kuningan
sebagai sarana sosialisasi Seren Taun yang bernafaskan bhineka tunggal ika.
g. Gondang

Gambar 2.4 Doa sebelum Gondang

Gondang adalah panduan kawih sunda ibu-ibu masyarakat adat yang


menampilkan keceriaan dan rasa syukur pada saat menumbuk padi dengan alu dan
lesung yang diiringi alunan musik tradisional.

h. Kidung Spiritual
Kidung spiritual antar-iman menyadari bahwa keberagaman adalah
kebesaran dan kehendak Sang Pencipta. Peserta kidung spiritual berasal dari
berbagai daerah di Nusantara seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali,
Nusa Tenggara, dan Papua dengan latar belakang agama dan kepercayaan yang
berbeda, bersama berdoa untuk kedamaian semesta alam.
i. Ngareremokeun

Gambar 2.5 Ngareremokeun yang diiringi angklung


Kanekes

Upacara ini merupakan bertemunya energi hidup dari Sang Hyang Asri
Pwah Aci yang disimbolkan dalam kekuatan tubuh pucuk pohon dan kesuburan di
tanah. Tari Pwah Aci merupakan salah satu seni tari spiritual yang di dalamnya
tersirat ungkapan rasa hormat dan bhakti kepada Sang Pemberi Hidup melalui
gerak dan ekspresi. Upacara ini diiringi angklung buncis dari Kanekes.

Pada tanggal 22 Rayagung, dilaksanakan Puncak Acara Seren Taun yang terdiri
dari:
a. Tari Buyung

Tari buyung merupakan tarian khas masyarakat Cigugur yang diciptakan oleh Ibu
Emalia Djatikusumah. Tarian ini merupakan persembahan para perempuan desa
yang senantiasa mengingatkan kita kepada kita Dimana Bumi Dipijak, Disitu
Langit Dijunjung. Tari buyung
merupakan

simbol

perempuan

jaman dulu yang mengambil air


memakai buyung dan kendi untuk
kebutuhan sehari-hari. Air diambil
dari mata air yang bersumber dari
Gunung Ciremai.
Gambar 2.6 Tari
Buyung

b.

Angklung Buncis

Angklung

Gambar
2.6 Angkluk
buncis
didukung
oleh Buncis
lima puluh

orang

pemain,

menggambarkan keceriaan masyarakat petani dalam menyambut hasil panen dan


rasa syukur atas rezeki yang telah dilimpahkan dan berharap ditahun mendatang
Tuhan akan memberikan berkahnya melalui hasil panen yang berlimpah.
c. Ngajayak

Gambar 2.7 Ngajayak

Prosesi ngajayak diikuti oleh rombongan dari empat penjuru yang terdiri
dari lulugu barisan muda mudi, bapak-bapak dan ibu-ibu yang membawa padi dan
buah beuti hasil panen menuju tempat upacara di Paseban.
d. Penumbukan Padi

Gambar 2.8 Nutu (penumbukan padi)

Penumbukan padi dumulai dengan ketukan alu di lisung indung (lesung


induk) yang dilakukan oleh tokoh adat sebanyak tujuh kali kemudian diikuti
10

secara serempak oleh masyarakat secara bergiliran. Padi yang berjumlah 22


kwintal akan ditumbuk 20 kwintal dan 2 kwintal untuk dijadikan bibit.
2.4

Keunikan Upacara Seren Taun


Upacara Seren Taun tidak hanya diadakan di Cigugur saja, di Jawa Barat ada
kurang lebih 6 kampung adat yang melaksanakan Seren Taun,yaitu kampung adat
Kuta ciamis, kampung adat Naga kab. Tasik, kampung adat Urug - kab.garut,
kampung adat Dukuh - garut, kampung adat Ciptagelar - sukabumi, kampung Badui
Dalem. Walau dengan nama yang sama dan inti sarinya sama, tetap ada perbedaannya.
Upacara Seren Taun di Cigugur ini dilaksanakan oleh semua umat manusia
dari berbagai komponen bangsa, baik itu kepala sukunya, tokoh-tokoh kerohanian,
berbagai bangsa belahan dunia pun turut hadir mengikuti acara Seren Taun. Tanpa
membedakan ras apapun dan agama. Uniknya setiap tamu yang datang dari manapun
tidak diwajibkan memakai kebaya, namun menggunakan baju khas dari daerah atau
Negara masing-masing, contoh, dari Jepang menggunakan kimono, Mexico memakai
baju adat mexico. Saat itulah kita bisa merasakan keanekaragaman budaya.

2.5

Pelarangan Seren Taun di Masa Orde Baru


Pada jaman penajajahan Belanda, ada orang yang mengawasi Pangeran
Madrais (pendiri sunda wiwitan). Tahun 1890, Pangeran Madrais mengajarkan jika
orang Sunda ingin merdeka, maka harus makan dan minum keringat sendiri. Tahun
1901, Pangeran Madrais dibuang ke Boven Digoel. Latar belakangnya karena petani
menentang tanam paksa di wilayah Kuningan, Cirebon selama 15 tahun. Contoh
perang Kedondong selama 1816-1840 di Daerah Kedondong. Masyarakat petani,
pesantren, dan masyarakat adat/ keraton akan aman jika bersatu. Ikatan budaya dan
sosial, ekonomi masyarakat Kuningan, Cirebon, Majalengka pada tanah sangat tinggi.
Saat tanam paksa (cultur stelsel) diterapkan oleh Belanda, ada banyak perlawanan.
Ada perlawanan petani Gebang dibawah kepemimpinan Sidung Asirin dan Swarsa,
perlawanannya selama 25 tahun. Setelah Pangeran Madrais menyebarkan paham jika
orang sunda ingin bebas, maka harus makan dan minum keringat sendiri. Pengertian
makan dan minum keringat sendiri diplintir oleh Belanda. Belanda dan
11

antropolognya (Van Beck) mengadu domba kepada kaum muslim dan kelompok
santri bahwa, pengikut Madrais ingin mendirikan agama baru bernama Jawa Sunda.
Padahal, Sunda Wiwitan menggali spiritual lama bukan baru, ini merupakan salah
satu contoh politik adu domba (devide et impera) yang dilakukan Belanda. Muncul
stigma dan diskriminasi, dikatakan pula pengikut Pangeran Madrais disuruh minum
keringat dan menyembah api.
Pada masa pemerintahan Orde Baru stigma pada jaman Belanda direproduksi
menjadi politik SARA dengan membuat pelarangan Upacara Seren Taun, termasuk
memakai iket (kain segitiga/segiempat yang dilipat-lipat dan dililitkan di kepala).
Orang Sunda yang memakai iket ditangkap dan dipenjarakan. Kebiasaan menumbuk
padi menggunakan alu (Nutu) pun dilarang, sehingga terpaksa mengupas biji-biji padi
menggunakan tangan. Apabila ada yang tetap nutu, maka ditangkap oleh petugas
setempat. Pelarangan Upacara Seren Taun ini berlangsung selama 17 tahun, yaitu
antara tahun1982-1999.
Saat Adburrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi presiden, cucu Pangeran
Madrais, yaitu Pangeran Jatikusumah memerintahkan putri dan menantunya untuk
menemui Gus Dur. Akhirnya Gus Dur meminta Upacara Seren Taun tetap
dilaksanakan dan ia akan menghadirinya atau diwakilkan orang kepercayaannya tapi
jangan sampai ada yang tau, agar bisa tahu respon pejabat setempat. Tiga hari
sebelum Upacara Seren Taun ada surat peringatan dari polres Kuningan bahwa, siapa
saja yang melaksanakan Upacara Seren Taun akan ditangkap dan dibubarkan. Ketika
Gus Dur tidak bisa datang, pada malam Jumat Kliwon tepat pukul 12, perwakilan dari
Paseban datang ke Istana Negara. Ia menemui Pak Bondan Gunawan, Sekretaris
Negara dan Sekretaris Pengendalian Pemerintahan (Menteri Koordinator).

Pemerintah daerah Kuningan tetap anti Seren Taun. Oleh sebab itu,
diusahakan Gus Dur dating ke Cigugur. Akhirnya dilihat kapan jadwal Gus Dur
ziarah, ada satu waktu ketika Gus Dur akan ziarah ke Karangkamulyan, Ciamis.
Perwakilan Paseban menghubungi staf khusus Gus Dur, ia menjelaskan bahwa, dulu
12

dalam sejarah munculnya Padjajaran dan Galuh itu karena Perjanjian Galuh I pada
tahun 734 antara Ciung Wanara dengan Rakeyan Banga (Hariang Banga) yang
bertempat di Kuningan.
Sehingga Gus Dur berminiat untuk mengunjungi Cigugur dulu. Pada waktu itu
mobil presiden berangkat lebih dulu, sedangkan Gus Dur naik helikopter dan berhenti
di Penggung, Cirebon. Mobil RI 1 hanya dikawal 2 mobil Paspampres, sehingga
membuat geger seluruh aparat daerah Kuningan. Akhirnya Gus Dur menghadiri
Upacara Seren Taun. Setelah Gus Dur menghadiri upacara seren taun, terjadilah
perang dingin dengan pemerintah setempat, hingga akhirnya menerima karena tetap
dilaksanakan setiap tahunnya. Keterlibatan Cigugur bahwa bukan milik satu golongan
saja akhirnya diakui. Kemudian Pangeran Jatikusumah diundang sebagai perwakilan dari
Sundanesse Traditional Belief di International Faith Conference, New York, Amerika Serikat.

2.6

Seren Taun Sebagai Lambang Kebhinekaan di Desa Cigugur


Seren Taun bukan hanya milik penganut Sunda Wiwitan, namun milik seluruh
bangsa Indonesia, apalagi setelah diakui sebagai Cagar Budaya Nasional. Upacara
Seren Taun menjadi medium bersatunya berbagai kalangan dari berbagai agama, suku
bangsa, dan profesi. Dalam rangkaian Upacara Seren Taun, masyarakat di Kecamatan
Cigugur dari berbagai agama sibuk membuat berbagai pernak-pernik yang akan
digunakan. Para penari buyung pun bukan hanya penganut Sunda Wiwitan saja, ada
yang beragama Katolik dan Islam. Pada malam sebelum dilaksanakan Upacara Seren
Taun, warga yang beragama Katolik akan menggelar Misa 22 Rayagung di Gereja
Katolik Kristus Raja Cigugur, begitu juga dengan yang beragama Islam akan
menggelar shalat bersama di Masjid Jami Cigugur.
Puncak pelaksanaan Upacara Seren Taun dihadiri oleh Bupati beserta
jajarannya, tokoh agama, tokoh pemuda, wisatawan mancanegara, dan tentunya warga
Cigugur dan sekitarnya. Orang asli Cigugur yang berada di luar kota pun seringkali
menyempatkan hadir dalam upacara tahunan ini. Hal ini berarti kecintaan warga
kepada budayanya sangat besar. Toleransi dalam Upacara Seren Taun tidak bisa
diragukan lagi, acara dimulai pagi hari dan seluruh prosesi selesai sebelum pukul 12
siang. Ini dimaksudkan untuk menghargai kaum muslim. Setelah waktu shalat Isya,
acara hiburan dilaksanakan lagi hingga tengah malam.

13

Kerukunan ini bukan hanya terjadi saat Upacara Seren Taun, tetapi dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam sebuah keluarga, ayahnya seorang penganut
Sunda Wiwitan, ibunya beragama Islam, namun anaknya beragama Katolik. Hal ini
bukanlah hal aneh di Cigugur. Warganya hidup berdampingan dari hidup hingga mati.
Komplek makam yang ada di Kampung Pasir bukan makam orang Katolik, Islam,
Protestan, Budha, Hindu, atau Sunda Wiwitan, tetapi makam orang Cigugur.
Disanalah Pangeran Madrais dimakamkan bersama keluarganya yang lain.
Disampingnya adalah makam warga Cigugur, ada yang Islam, Katolik, Budha, bahkan
Hindu. Sebuah keunikan yang jarang ditemui di daerah lain. Karena pada prinsipnya
mereka meyakini bahwa, hidup berasal dari zat yang sama, hanya cara penyebutannya
saja yang berbeda, sama seperti yang dikatakan oleh Pangeran Gumirat.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1

Kesimpulan

14

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki


beragam kekayaan budaya dan tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan. Kita
sebagai generasi penerus bangsa harus ikut andil dalam melestarikan budaya dan
tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia kita tidak boleh melupakan warisan
leluhur kita. Banyak cara untuk melestarikan ragam budaya untuk bangsa ini salah
satunya adalah dengan cara ikut serta dalam kegiatan acara yang menyangkut budaya,
ikut melestarikan budaya Indonesia.
Keanekaragaman budaya Indonesia terutama didaerah Cigugur terlihat saat
acara seren taun. Toleransi yang terjalin antar setiap suku bangsa dan Negara sangat
terasa dan dengan sendirinya akan timbul saat adanya kebersamaan. Kerukunan juga
terjalin bukan hanya saat perayaan seren taun saja tetapi bisa terjalin dalam kehidupan
sehari-hari seperti yang terlihat didalam masyarakat di Cigugur, yang memiliki rasa
toleransi yang sangat tinggi. Keberanekaragaman agama disana pun sangat terasa
mereka hidup berdampingan tanpa ada beban sekalipun. Selain itu juga masyarakat
ikut serta dalam setiap perayaan Seren taun itu juga sebagai salah satu bentuk cara
untuk melestarikan budaya Indonesia. Dengan cara seperti itu tradisi seren taun tidak
akan terlupakan dan akan selalu dilestarikan.

3.2

Saran
Sebagai budaya yang telah diwariskan nenek moyang, Seren Taun harus
dilestarikan oleh segenap warga Cigugur. Regenerasi harus terus dilakukan demi
kelangsungan Seren Taun, agar kiranya bisa tetap disaksikan oleh anak cucu kita.
Bukan hanya orang Cigugur yang harus menjaga kelestariannya, tapi seluruh bangsa
Indonesia harus memiliki keterikatan akan budayanya masing-masing. Hal ini dapat
tercipta apabila kita terjun langsung dan mengenali budaya itu secara lebih dekat.
Agar tidak terjadinya kesalahan dalam menceritakan maupun melaksanakan tradisi
ini, maka harus didokumentasikan baik dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan
kronologinya, maupun berupa foto atau video.

Lampiran
DOKUMENTASI

15

Melihat hasil karya batik Cigugur yang dipamerkan di Jakarta dan dihadiri oleh ibu Ani
Yudhoyono

Alu yang biasa digunakan


dalam acara Nutu atau
penumbukan padi oleh para
tokoh adat dan tamu undangan

16

Pangeran Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (Pangeran Madrais)

Pangeran Djatikusuma

17

saat menghdiri
Conference

di International Faith
(PBB)

Peninggalan Kerajaan Gebangkinatar

18

Singgahsana Raja Kerajaan Gebangkinatar

Setiap benda yang tersisa


dari kerajaan disimpan
dengan baik, termasuk
penghargaan yang
diterima oleh Paseban.
Relief juga memiliki makna
tersendiri dan tetap
dipertahankan

Gamelan asli dari


Kerajaan Gebangkinatar,
masih dipakai saat
upacara Seren Taun.

19

Balong Girang, merupakan tempat diadakannya Nyiblung sekaligus habitat ikan dewa

Ikan Dewa, merupakan


ikan nila hitam, sisiknya
besar, ikan ini bisa
menghilang dengan
sendirinya saat kolam
dikuras. Oleh karena
keunikannya tidak ada
orang yang berani
mengonsumsinya dan

Selain untuk nyiblung


dan habitat ikan dewa,
Balong Girang
dijadikan obyek wisata
kolam renang dan
terapi ikan.

Wawancara bersama Kang Oki Satrio ditemani pemuda setempat

20

Foto Kelompok

21

Lokasi : Patung Kuda di


Taman Kota Kuningan

Lokasi : Depan pendopo


tempat Gondang dan
Kidung Spiritual

Lokasi : Didepan Balong


Girang, dalam perjalanan
pulang

22

Foto bersama Pangeran Gumirat Barna Alam di dalam Gedung Paseban


Kunjungan Gus Dur pada Seren Taun

23

Anda mungkin juga menyukai