Anda di halaman 1dari 44

PURA SAD KHAYANGAN

November 3, 2011 at 5:50am

PURA SAD KHAYANGAN

Pengertian Pura

Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di
Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal
dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat
pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci /
tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan
merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun
882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.

Pengelompokan Pura

Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang
Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.

2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain
dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti :
Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain
berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru
suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha
menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas
dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan
dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan
lebih lanjut.
Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya
lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:

1). Pura Umum.

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala
manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga
sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah
pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura
Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang
Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat
Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang
disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang
Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh
Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.

Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang
Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan
yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan
purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan
Mengwi.

Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya
mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak
yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.

Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura
Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut
sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah
tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2). Pura Teritorial


Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota
masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar
atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat
ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah
pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat
pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur
mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi
pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga
disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan
Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat
Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas
Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat-
tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah
Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga,
melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura
Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri
mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan
Pura Luhur Uluwatu.

3). Pura Fungsional

Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan
karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani,
berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai
ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura
Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti,
Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.

Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani
tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum,
Alas Rasmini dan lain sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan
pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan
di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4). Pura Kawitan:

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan
garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk
perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura
Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau
kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga
inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini
mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia.
Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari
satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari
seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan
Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung.
Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari
beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat
pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat
pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran
Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih
patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga
batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan
yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura
di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28
sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

a. Berdasarkan atas Fungsinya :

1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa
dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk
melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat
asal, wangsa yang bersangkutan.
2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci
Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman

b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:

1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala
Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.

2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh
Desa Adat.

3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan
Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura
Subak, Melanting dan sebagainya .

4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur
berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura
Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.

Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok
pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya
dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan
pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh
lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.

Yang berlandaskan konsepsi Sad Winayaka ialah:


1. Pura Besakih di Kabupaten Karangasem.
2. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
3. Pura Gua Lawah di Kabupaten Klungkung.
4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.
5. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
6. Pura Puser Tasik (Pura Pusering Jagat di Pejeng) di Kabupaten Gianyar.

--------------------------------------------------------------

Pura Kahyangan Rwa Bineda

-Purusa Pura Besakih

-Pradana Pura Ulun Danu Batur

Pura Kahyangan Catur Loka Pala

-Utara Uttara Pura Pucak Mangu.

-Timur Purwa Pura Lempuyang Luhur

-Selatan Daksina Pura Andakasa

-Barat Pascima Pura Luhur Batukaru

Pura Kahyangan Sad Winayaka atau

Pura Sad Kahyangan

1 Pura Besakih.

2 Pura Lempuyang Luhur.

3 Pura Gua Lawah.

4 Pura Uluwatu.

5 Pura Batukaru.

6 Pura Pusertasik.
Pura Kahyangan Padma Bhuwana

-Tengah: Madya Pura Pusering Jagat

-Utara: Uttara Pura Ulun Danu Batur

-Timur Laut: Ersanya Pura Besakih

-Timur: Purwa Pura Lempuyang Luhur

-Tenggara: Gneya Pura Gua Lawah

-Selatan: Daksina Pura Andakasa

-Barat Daya: Neritya Pura Uluwatu

-Barat: Pascima Pura Batukaru

-Barat Laut: Wayabya Pura Pucakmangu

Pura Dang Kahyangan

 Pura Dasar Buana


 Pura Silayukti
 Candi Agung Gumuk Kancil
 Pura Gunung Raung
 Pura Bukit Sinunggal
 Pura Rambut Siwi

Pura Kahyangan Jagat Menurut Lokasi

Badung

 Pura Uluwatu
 Pura Padedekan Mengwi
 Pura Dalem Puri Puserjagat Sobangan
 Pura Pucak Mangu
 Pura Pucak Bon
 Pura Dalem Solo
 Pura Pucak Gegelang
 Pura Hyang Api
 Pura Kancing Gumi
 Pura Bukit Sari Sangeh

Bangli

 Pura Bukit Mentik


 Pura Jati
 Pura Dalem Balingkang
 Pura Ulun Danu Batur
 Pura Ulun Danu Batur Songan
 Pura Penulisan
 Pura Bukit Indrakila

Buleleng

 Pura Penegil Darma


 Pura Gambur Anglayang
 Pura Ponjok Batu
 Pura Pulaki
 Pura Pabean
 Pura Pucak Manik
 Pura Melanting
 Pura Kerta Kawat
 Pura Pemuteran
 Pura Bukit Sinunggal
 Pura Segara Rupek

Denpasar

 Pura Griya Tanah Kilap


 Pura Prapat Nunggal
 Pura Taman Ayung
 Pura Dalem Pangembak
 Pura Candi Narmada
 Pura Sakenan

Gianyar

 Pura Gunung Raung


 Pura Samuan Tiga
 Pura Erjeruk
 Pura Masceti
 Pura Gunung Kawi Sebatu
 Pura Dalem Pingit Sebatu
 Pura Tirta Empul
 Pura Pusering Jagat
 Pura Penataran Sasih
 Pura Kebo Edan
 Pura Gua Gajah
 Pura Pangukurukuran
 Pura Selukat
 Pura Bukit Jati
 Pura Bukit Darma

Jembrana

 Pura Rambut Siwi


 Pura Amertasari

Karangasem

 Pura Lempuyang Luhur


 Pura Penataran Agung Besakih
 Pura Dalem Puri
 Pura Gelap
 Pura Batu Madeg
 Pura Merajan Selonding
 Pura Merajan Kanginan
 Pura Gua Raja
 Pura Bangun Sakti
 Pura Pesimpangan
 Pura Kiduling Kreteg
 Pura Hyang Aluh
 Pura Manik Mas
 Pura Pasar Agung
 Pura Pengubengan
 Pura Tirta
 Pura Ulun Kulkul
 Pura Banua Kawan
 Pura Basukihan
 Pura Pajinengan
 Pura Andakasa
 Pura Silayukti
 Pura Dalem Pandawa
 Pura Dukuh Sakti Catur Lawa

Klungkung

 Pura Dasar Buana


 Pura Segara Watuklotok
 Pura Gua Lawah
 Pura Penataran Peed
 Pura Gua Giri Putri
 Pura Segara Peed
 Pura Taman Peed
 Pura Agung Kentel Gumi

Tabanan

 Pura Tambawaras
 Pura Muncaksari
 Pura Batukaru
 Pura Batu Belig
 Pura Besikalung
 Pura Terate Bang
 Pura Tanah Lot
 Pura Luhur Serijong
 Pura Luhur Natar Sari Apuan
 Pura Pucak Geni

Luar Bali

 Pura Mandara Giri Semeru Agung


 Pura Payogan Agung Kutai
 Pura Ponten Bromo
 Pura Jagatkerta Gunung Salak
 Candi Agung Gumuk Kancil

Luar Negeri

 Pura Santi Bhuwana Belgia

Nawa Dewata

Nawa Dewata atau Dewata Nawa Sanga adalah sembilan penguasa di setiap penjuru mata
angin dalam konsep agama Hindu Dharma di Bali. Sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa
Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya. Diagram matahari bergambar Dewata Nawa Sanga
ditemukan dalam Surya Majapahit, lambang kerajaan Majapahit.
Bagian-bagian Nawa Dewata

Wisnu

Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana,
wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", di Bali beliau dipuja di
Pura Batur.

Sambhu

Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya
(kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", di Bali beliau dipuja di
Pura Besakih.

Iswara

Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan)
gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang.

Maheswara

Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya
(kendaraan) macan, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", di Bali beliau dipuja di Pura
Goa Lawah.

Brahma

Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya
(kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", di Bali beliau dipuja di Pura
Andakasa.

Rudra

Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya
(kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", di Bali beliau dipuja
di Pura Uluwatu.

Mahadewa

Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya
(kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", di Bali beliau dipuja di Pura
Batukaru.

Sangkara
Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja,
wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", di Bali beliau dipuja
di Pura Puncak Mangu.

Siwa

Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya
(kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I"
dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Pusering Jagat.

SUMBER :PHD BALI

Diagram Surya Majapahit menampilkan tata letak para dewa Hindu di sembilan arah penjuru
utama mata angin.
nawa dewata

AUM

Om Swastyastu

1. Pengertian Pura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di
Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal
dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat
pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci /
tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan
merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun
882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.

Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ Sanghyang di Turuñan


" yang artinya tempat suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa
tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang
artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk
Dewa Tanda.

Prasasti -prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali
Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di
Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan
raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti
memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa
Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M) datanglah Mpu
Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja
Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau
Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa
Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali
membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.

Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka
Pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan
pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman dibangun
Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau
mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis - jenis Upacāra, jenis - jenis
pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa.

Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - istana raja
disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja
akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna
tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata
wijayapura artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa
tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang
beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu
contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut
Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada,
maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut
Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan
kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung
disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti
istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada periode
pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha
di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama
Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya
peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham -
paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan
pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang
sulit dibedakan secara pisik.

Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan
gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada
meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik
sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah
yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja
Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.

Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau
Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala
manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian namun
kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura
atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun
tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal
dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan
terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar
yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum,
sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.

Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak
yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai
salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem pemujaan terhadap leluhur tersebut
kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia.
Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan
budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan
Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi
bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam
proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian)
Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu tempat
pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.

Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah
bahkan seolah - olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa
kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan
leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan
berkembang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu
terlihat pada sistem kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama
sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan sistem pemujaan
dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain
terlihat pada konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di
samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan salah satu
pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara.

2. Pengelompokan Pura

Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang
Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.

Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin
terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga
untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah
melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah
memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain
dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti :
Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain
berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru
suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha
menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas
dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan
dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan
lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya
lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
1). Pura Umum.

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala
manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga
sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah
pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura
Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi
sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang
Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat
Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang
disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang
Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh
Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.

Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang
Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan
yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan
purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan
Mengwi.

Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya
mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak
yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.

Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura
Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut
sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah
tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2). Pura Teritorial

Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota
masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar
atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat
ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah
pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat
pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur
mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi
pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga
disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan
Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat
Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas
Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat-
tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah
Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga,
melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura
Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri
mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan
Pura Luhur Uluwatu.

3). Pura Fungsional

Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan
karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani,
berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai
ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura
Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti,
Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.

Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani
tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum,
Alas Rasmini dan lain sebagainya.

Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan
pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan
di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4). Pura Kawitan:

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan
garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk
perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura
Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau
kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga
inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini
mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia.
Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari
satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari
seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan
Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung.
Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari
beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat
pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat
pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran
Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih
patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga
batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan
yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura
di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28
sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

a. Berdasarkan atas Fungsinya :

1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam
segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan
pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa
yang bersangkutan.

2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci
Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman

b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:

1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-
Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.

2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh
Desa Adat.

3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina
(kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak,
Melanting dan sebagainya .

4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur
berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura
Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.

Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok
pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya
dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan
pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh
lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.

3. Tata Upacāra Membangun Pura

a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini dilaksankan sebagai
Upacāra awal dalam persiapan membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang
sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacāra ini dilaksanakan
secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan
adanya pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya
seperti membangun sepelebahan pura baru.
b. Upacāra Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti
tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing mandala
(palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan aturan yang termuat
baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi.

c. Upacāra Nasarin. Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului dengan
Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi,
pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah bata merah yang telah dirajah
dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan
Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah
dengan aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen. Dan
sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih
dan diisi kuangen.

d. Upacāra Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih
dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan
melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan Upacāra pujawali, sedangkan
untuk membersihkan/ mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan
berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan
memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura masing-masing, maka akan ditentukan atas/
berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah
berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna.

e. Upacāra Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan
dilaksanakan Upacāra Mendem Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang
disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan Pelinggih yang lainnya
tidak sama - hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis
bebantennyapun juga ada yang berbeda.

Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga
mengikuti isi Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di
Besakih.

Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : "Yan meru tumpang 11, tumpang
9, tumpang 7, tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya,
utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring prabot manusa genep
mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka,
bebek mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah,
prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar.
Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah
rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan
sapradeg. Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi
musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah jarum kadi
ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru
tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah
papendemane 11 tali, madya 8 tali, nista 4 tali.
Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah
prabot manusa genep, wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga,
miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas, slaka, nyalian mas, udang
mas, getem (ketam) temaga, tanlempas mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih,
metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara,
pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi
mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah
lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir padagingan ika,
kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang
ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun
kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka
kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca
mirah korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana"

Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan
bahasa Bali lumrah, sehingga telah dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang
ada di Bali.

f. Ngenteg Linggih. Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari
pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan
- linggih berarti menobatkan/ menstanakan.

Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala
manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat
terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang bersangkutan. Mengenai
pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut :

Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten
suci 4 (empat) soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut
gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir yang dikemas dalam empat bakul,
uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi
lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya (menurut
petunjuk Sulinggih). Pada undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci samida beserta
beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng
merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada Sanggar
tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan
lamak candra, lamak segara pada rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada
masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi
pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan
perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225,
benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras
senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,- (lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding,
dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.

Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah
dengan plegembal. Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan,
didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen selengkapnya dengan bebangkit
warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi.

Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci putih,
bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan
manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama Pelinggih), berupa suci 1,
bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, baying-
bayang (kulit) angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi
dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan
Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri dengan
persembahyangan bersama.

Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih
pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang
menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih

4. Upacāra Pujawali (Odalan)

Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu
suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan
Para Dewa sekalian.

Bagi umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang menjadi salah
satu bentuk persembahan ini sesungguhnya merupakan suatu wujud nyata ungkapan rasa terima
kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi, terutapa meyakinkan getaran-getaran nurani
bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai manusia amat tergantung daripada-Nya.

Ungkapan rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu
dalam melaksanakan Yadnya (korban suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti petunjuk-
petunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12 - 13 berbunyi sebagai
berikut :

"istam bhogam hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana
eva sah" - Dipelihara oleh Yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau
inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya
adalah pencuri.

"Yajnasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty


atmakaranat" - Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu
terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makan bagi
kepentingan sendiri adalah makan dosanya sendiri.

Dengan demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan,
akan berusaha berbuat segala sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk
melaksanakan Yadnya kepada-Nya.
Namun apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang tulus
ikhlas yang terlahir dari lubuk hati yang paling dalam (suci - bersih), bukan didasarkan atas besar
kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan berikutnya menyatakan betapa sederhananya
yadnya itu boleh dilaksanakan :

"Patram puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami
prayatatmanah" - Siapapun dengan kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun, bunga, buah-
buahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar dari hati yang suci, Aku
terima. (Bhagawadgita, III. 28)

Memperhatikan beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad
melaksanakan dan mensukseskan Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan segala
ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian sebuah Pujawali / Pidodalan
dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :

a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja


diiringi Kidung suci
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha
Pengulapan.
3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan
b. Toya Anyar
c. Byakala:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
d) Prayascitta:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
e) Pengulapan:
a). Pengeresikan
b).Tirtha – Padma
c). Bungkak Bulan – Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.

Catatan:
 Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -
Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat
Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar
Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale
Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas
kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.
1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning
sembah
2. Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih

b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)-

Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita
memohon Tirtha 5 (Lima) Jenis dari Taman Sari atau Beji
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring
ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian
Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala,
tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e.
Kacang-kacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke
Madya Mandala (Sanggar Tapeni)

c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)-

Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1. Daksina Taksu
(Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci alit, Pejati,
Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh, dibawahnya 3. Dua tempeh sukla 2, kain
putih -/+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan 11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah
diingsah, cili lanang-istri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang
pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang laki-
laki oleh ditanding oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh Wanita) 5. Muspa ke hadapan
Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian Upacāra
pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang bertengkar/berselisih faham dan
semuanya bergembira, serta agar tidak boros 6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha
Pengarksa Karya dan Tirtha Panginih-inih 7. Dilanjutkan dengan membuat adonan tepung untuk
samuhan catur, suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.

d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja


diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita,
dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a.
Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala
diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)
Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis d). Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-
TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten -
Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA),
Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar
Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar-, Bale untuk Nedunang - Pemedal Agung-
Pelinggih Maya – Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal
Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi
ini.  Jika tidak ada kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan 1.
Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning
sembah 2. Nunas Tirtha Wangsuhpada 3. Puja parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan
Bumbung dan Banten.

e. Upacāra Pecaruan

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi


Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan,
Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan
urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten
Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Ida pedanda Catatan:
 Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah,
Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut
(SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu
diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar-
Caru, Bale untuk Nedunang - Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong-
Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala
 Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Pandita/Pinandita mapuja ke Surya
(Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan
Tirtha Pecaruan (Byakala, Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah Timur-Tenggara-Selatan
- Barat Daya- Barat- Utara- Tengah. 7. Pandita / Pinandita Ngayabang Caru dibantu oleh umat (7
Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta 10. Nyarub
Caru, dengan urut-urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud, Kulkul, dilaksanakan memutar
berlawanan dengan arah jarum jam (prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11.
Kemudian Pandita / Pinandita Mepuja dalam rangka Nedunang.

f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa

 Telajakan Wastra Putih dari Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi Canang Cari. 
Di Panggungan: Suci Laksana, Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan: Segehan Agung,
Arak-Berem-Tuak.  Perlengkapan lainnya: Peasepan, Kober, Lontek, Tumbak, Mamas,
Penuntun, Sesayut Penuntun Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane,
Tempat Tirtha, Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong Bleganjur.  Banten Arepan ; Peras,
Daksina, Segehan,  Tirtha Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah Semua Uperengga di atas
berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa, diiringi dengan kidung dan Gong Bleganjur a.
Ngemargian Tirtha Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua prosesi di
atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit Tirtha, Anglurah. c. Masegeh
Agung oleh pinandita d. Tedun dari panggungan dengan melewati Panggungan dengan urut-
urutan dari depan:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten pemagpag

 Banten Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha  Daksina
Pralingga  Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman
Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi,
Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26 orang

g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati

1, Pangulapan, Datengan, Canang Pangrawos, Masing-masing Daksina Pralingga; Soda


Pemendak, Pependetan dan atau bebarisan 1. Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2.
Tarian papendetan 3. Memargi ke Utama Mandala menuju Bale papelik 4. Bleganjur sampai di
depan Kori Agung

h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati

1, Masing-Masing Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman
menjadi 1 tempat), di bawah: Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari
Untuk Mesucian

i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)

Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng Lima, Eteh-eteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi,
bedak), Masing-Masing Daksina Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra
(kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita mulai ngaturang banten bersamaan
ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari Padmasana samapi Anglurah
dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d. Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak
Wangi h. Cermin i. Masegeh Cacahan 3. Persiapan Purwa Daksina

j. Upacāra Mapurwa Daksina

1. Pinandita ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh Arak-Berem-Tuak. 2.


Urut-urutan Purwa Daksina:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten
pemagpag  Banten Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha
 Daksina Pralingga  Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana,
Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha
Santi, umat • Selesai Purwa Daksina, Ngelinggihan Ke masing-masing pelinggih oleh Pinandita
dibantu Para Sutra

k. Upacāra Pujawali

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi


Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala,
Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading
– Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke
pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur Kumbha dari Pandita g. Lis
Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Pandita Catatan:  Semua kegiatan a – g dimulai dari
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan –
Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat
Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar
Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale
Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas
kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 16 orang pengayah untuk prosesi ini. 1. Pandita
mapuja ngaturang Pujawali 2. Sembahyang bersama 3. Mejaya-jaya 4. Nunas tirtha 5. Dharma
Wacana 6. Puja Parama Santih

l. Upakāra Ngayarin:

A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha,
Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati, Kopi
/Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang lainnya: masing-masing:
Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar
Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan,
Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya masing-
masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin dilaksanakan jika
pujawali / piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan
umat sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan

m. Upacāra Penyineban

1. Pinandita ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4.


Nedunang Daksina Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-urutan Nyineb a. Purwa
Daksina:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten pemagpag  Banten
Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha  Daksina Pralingga
 Tedung  Salaran  Tegen-tegenan Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari
Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga
Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7. Pinandita
ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha Pralina untuk
Daksina Pralingga 10. Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama
Santih 13. Meprani

n. Upacāra Ngelemekin

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja


diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita,
dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a.
Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala
diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)
Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-
TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari
sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu
diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar-
Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat –
Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 13 orang
pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina Lingga
Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang
bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina
kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia, Banjar 11. Puja parama santih 12. Asah-Asih-Asuh

o. Penutup

Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat
diketengahkan pada kesempatan ini. Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat
Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah melaksanakannya ?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai
Yajamana tetapi tugas Umat Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang.
Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang
tidak dapat kita lakukan, lebih-lebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk kerahayuan
jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak kekurangannya,
namun ada baiknya untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita bersama -
Moksartham Jagadhita Om Santih Santih Santih Om

1. PENDAHULUAN
Dalam rangka mengadakan penelitian terhadap Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali secara
konsepsional tidak bisa terlepas dengan Pura Kahyangan Jagat di Bali lainnya yang juga
telah dijumpai landasan konsepsinya yaitu:
1. Kahyangan Jagat di Bali yang berlandaskan Rwabhineda.
2. Kahyangan Jagat di Bali yang berlandaskan konsepsi Catur Lokapala.
3. Kahyangan Jagat di Bali yang berlandaskan konsepsi Sad Winayaka.
2. PENGERTIAN
Sad Kahyangan adalah enam buah pura Kahyangan Jagat di Bali, yang menjadi tempat
pemujaan seluruh Umat Hindu.
3. LANDASAN
Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali berlandaskan pada:
1. Landasan filosofis yaitu konsepsi Sad Winayaka (menurut lontar Dewa Purana
Bangsul)
2. Landasan historis : Pura Sad Kahyangan itu sudah ada sebelum kedatangan Gajah
Mada di Bali tahun 1343 Masehi.
3. Landasan Tradisi yaitu.: Masyarakat di Bali pada umumnya telah memandang
bahwa, Pura- Pura itu adalah Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali.
4. RUMUSAN
Berdasarkan uraian di atas, maka Kahyangan Jagat di Bali ialah:
1. Yang berlandaskan konsepsi Rwabhineda ialah:
1. Pura Besakih sebagai Purusa di Kabupaten Karangasem.
2. Pura Batur sebagai Pradhana di Kabupaten Bangli.
2. Yang berlandaskan konsepsi Catur Lokapala ialah:
1. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
2. Pura Andakasa di Kabupaten Karangasem.
3. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
4. Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung.
3. Yang berlandaskan konsepsi Sad Winayaka ialah:
1. Pura Besakih di Kabupaten Karangasem.
2. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
3. Pura Gua Lawah di Kabupaten Klungkung.
4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.
5. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
6. Pura Puser Tasik (Pura Pusering Jagat di Pejeng) di Kabupaten Gianyar.
Kahyangan Jagat yang berlandaskan konsepsi Sad Winayaka inilah yang
dimaksud Pura Sad Kahyangan Jagat di Bali.
4. Di samping Kahyangan Jagat tersebut di atas, masih banyak Kahyangan Jagat di
Bali lainnya.
5. Pura Pura Kahyangan Jagat

1. PURA ANDAKASA
Pura Andakasa adalah pura kahyangan jagat yang terletak di Banjar Pakel, Desa
Gegelang, Kecamatan Manggis, Karangasem. Pura ini didirikan atas konsepsi Catur Loka
Pala dan Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka Pala
adalah empat pura sebagai media pemujaan empat manifestasi Tuhan untuk memotivasi
umat mendapatkan rasa aman atau perlindungan atas kemahakuasaan Tuhan. Keempat
pura itu dinyatakan dalam kutipan Lontar Usana Bali di atas. Mendapatkan rasa aman
(raksanam) dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera (danam) sebagai kebutuhan dasar
masyarakat yang wajib diupayakan oleh para pemimpin atau kesatria. Demikian
dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.89.Tidak begitu jelas memang sejarah
berdirinya. Namun keberadaannya disebutkan dalam beberapa peninggalan tertulis
seperti lontar-lontar dan peninggalan kepurbakalaan. Dari peninggalan tertulis,
diperkirakan pura ini didirikan oleh Mpu Kuturan sekitar abad XI. Di samping itu Pura
Luhur Andakasa juga memiliki kaitan dengan pemuka agama Hindu Sang Kulputih, yang
pernah bertapa di tempat ini sebelum menuju Lempuyang dan Besakih. Dan berdasarkan
observasi pada area-area di pura ini dapat diduga pura ini mengalami perkembangan dan
perbaikan sekitar abad 17 – 18 Masehi. Sebuah prasasti terdapat di Pura Panyimpenan
Pura Luhur Andakasa, namun tidak tertulis pada prasasti itu keberadaan pura ini. Seperti
dikemukakan dalam berbagai lontar, Pura Luhur Andakasa berstatus sebagai salah satu
Kahyangan Jagat, juga Sad Kahyangan yang berarti menjadi sungsungan seluruh umat
Hindu di Bali khususnya, umumnya di Indonesia. Sebagai Kahyangan Jagat, Pura Luhur
Andakasa merupakan stana dari Hyang Tugu atau Dewa Brahma yang menguasai
kawasan selatan dalam struktur Dewata Nawasanga, manifestasi Hyang Widhi yang
menghuni 9 arah mata angin.
2. PURA BATUKARU
Pura Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mega
Dewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan dengan memfungsikan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru
ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh arti sebutan Tuhan
itu adalah Tuhan sebagai yang menumbuhkan. Pura Luhur Batukaru terletak di desa
Wongaya Gede, kecamatan Penebel, kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di
bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama
pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke
Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu.
Pura Jero Taksu ini memang letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru. Tujuan
persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang
di Pura Luhur Batukaru mendapat sukses. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang
letaknya di bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Luhur
Batukaru. Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci
muka dan cuci kaki di pancuran tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura
Pancuran tersebut sebagai tanda penyucian sakala dan niskala atau lahir batin sebagai
syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan kesucian jasmani dan rohani
3. PURA ULUNDANU BATUR
Sebelum letusan Gunung Batur yang dasyat pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak
di kaki gunung itu dekat tepi barat daya danau Batur yang merusakkan 65.000 rumah,
2.500 pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi keajaiban menghentikannya pada kaki
Pura. Orang-orang melihat semua ini sebagai pertanda baik dan melanjutkan untuk tetap
tinggal disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi seluruh pura kecuali “pelinggih”
yang tertinggi, temapt pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air
danau. Kemudian warga desa bersikeras untuk menempatkannya di tempat yang lebih
tinggi dan memulai tusag mereka untuk membangun kembali pura. Mereka membawa
pelinggih yang masih utuh dan membangun kembali Pura Batur.
Beberapa lontar suci Bali kuno menceritakan asal mula Pura Batur yang merupakan
bagian dari “sad kahyangan“, enam kelompok pura yang ada di Bali yang tercatat dalam
lontar Widhi Sastra, lontar Raja Purana dan Babad Pasek Kayu Selem. Pura Batur juga
dinyatakan sebagai pura “Kayangan Jagat” yang disungsung oleh masyarakat umum.
Sejarah Pura Batur merupakan persembahan untuk Dewi kesuburan, Dewi Danu. Dia
adalah Dewi dari air danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur,
mengalir dari satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya, lambat laun turun ke bumi.
Dalam lontar Usaha Bali, salah satu sastra suci yang ditempatkan di pura itu, ada legenda
kuno yang melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.Legenda tersebut diceritakan
sebagai berikut :
Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati (Siwa) memindahkan
puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Dibawanya
satu bagian dengan tangan kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya. Kedua
belahan itu dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan kanannya menjadi
Gunung Agung tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (mahadewa Siwa) dan yang
dibawanya dengan tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air
Danau. Legenda ini menjadikan Gunung terbesar di Bali dan dua elemen simbolis “laki-
laki dan perempuan” (Purasa dan Pradana) atau dua asal mula manifestasi dari sumber;
Tuhan (Ida Sang Hyang Wishi Wasa).
4. PURA LEMPUYANG
Pura Lempuyang Luhurterletak di Bukit Gamongan, pada puncak puncak bukit Bisbis
atau Gunung Kembar di desa Purahayu, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem.
Jaraknya dari kota AmlaPura lebih kurang 22 km, arah keutara melalui Tirtagangga
menuju desa Ngis di kecamatan Abang kemudian membelok ketimur langsung ke desa
Purahayu. Kendaraan bermotor maupun dengan sepeda hanya bisa sampai di desa Ngis,
kemudian berjalan kaki menuju desa Purahayu dan selanjutnya berjalan diatas bukit
menuju Pura yang berada di puncak bukit Bisbis.Perjalanan yang memakan waktu lebih
kurang 3 jam itu cukup berat dan memayahkan, karena kadang-kadang menemui jalan
yang sempit dan berjurang terjal, serta meanjak terus. Namun kepayahan itu dapat
diimbali dengan indahnya panorama yang dapat dinikmati dari atas bukit selama
pendakian itu. Lebih-lebih dari puncak Lempuyang pemandangan ke arah utara sangat
indah, kelihatan pantai Amed dan desa Culik, ke Timur Gunung Seraya, ke Selatan kota
AmlaPura, Candi Dasa, Padangbai dengan lautnya yang membiru dan ke Barat kelihatan
desa-desa yang berada di bawah seperti Desa Ngis, Basang alas, Megatiga serta Gunung
Agung yang nampak indah. Pura Lempuyang Luhur termasuk Pura Sad Kahyangan di
Bali (Menurut Lontar Widisastra) yang juga merupakan kahyangan jagat yang termasuk
salah satu dari “Pura-Pura” delapan penjuru angin di Pulau Bali.
5. PURA BESAKIHInilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat
kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara
Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum
dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di
Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau
pertapa yang bernama Resi Markandeya.Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para
pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan
dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya
bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang
itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya
beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para
pengikutnya merabas hutan di pulau Dawasetelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan
kepada para pengikutnya.Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera
berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah
8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua
para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati
dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara
yadnya (bebanten / sesaji)Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi
Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di
Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung.
Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan
perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa
yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa
bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang
berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat
pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan
dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan
tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara
yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para
pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-
pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup
banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang
Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai
mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-
masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi
(payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan
perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen)
selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu
ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang
datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah
baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah
sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura
Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya
kemudian sampai hari ini bernama Besakih.

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum
dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat
Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai
kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di
perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti
Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan
pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di
samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau
keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana
itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan
sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal
pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan
bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung
di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya
dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran
agama Hindu

6. PURA GUA LAWAH


Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang
Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga
Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga
Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan
samudara agar menguap menajdi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya
menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan.
Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya
menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu
pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu
konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah. Karena ada gempa tahun 1917, goa itu
menjadi tertutup.Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar
seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut
dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI
Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi. Dalam Lontar
Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama ”Babading
Dharma Wawu Anyeneng’ yang isinya menyatakan tentang pendirian beberapa Pura di
Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi.
Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup
upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia.

7. PURA ULUWATU
Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura
Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk
memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut
berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu
umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media
untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi ini.Karena itu, di Pura Luhur
Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa
Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa
dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika
hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina
secara benar, tepat dan seimbang.Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini
didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam
Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut
Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa
Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.

Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980
Institut Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat
mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad
Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar
tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada adanya
pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.

Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten
Badung. Di candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi
Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini
menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar
Kusuma Dewa sangat tepat.

Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu
sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap
seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu
berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau
Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma
Bhuwana.

Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu
sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti,
Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai
pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu
didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa
Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.

Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu
Dharma Pusat mengatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga
dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura
Luhur Uluwatu. Karena itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk
menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan
dihilangkan sering khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu.

Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala
sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan
menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan
menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu
menghadang.

Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral
dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan
ketahanan mental itu salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga
manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Brahma.

Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan
dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk
menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Dewa Siwa. Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa
Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu.

Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan
dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur
Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura
Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada
zaman kedatangan Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi.

Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem
Jurit dan Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam
wujud Murti Puja. Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan
peninggalan sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem
pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura
Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih
sederhana saat itu.

Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura
Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura
Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura
Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur
Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak.

8. PURA RAMBUT SIWI


Pura Rambut Siwi — kurang lebih 17 km di timur kota Negara — adalah pura untuk
memuja Tuhan sebagai dewanya pertanian. Turun ke bawah di bagian tenggara Pura
Rambut Siwi terdapat Pura Segara. Pura ini ada juga yang menyebutnya Pura Taman.
Bersebelahan dengan Pura Segara itu terdapat Pura Penataran. Dalam acara
persembahyangan apalagi kalau ada pujawali atau piodalan, ketiga pura itu sangat
nampak keterkaitannya. Pujawali diadakan setiap enam bulan wuku yaitu pada hari Buda
Umanis Prangbakat. Umumnya kalau kita bersembahyang ke Pura Rambut Siwi ini pasti
juga dilakukan persembahyangan di Pura Segara dan Pura Penataran. Naik ke atas di
barat dayanya barulah Pura Rambut Siwi berdiri megah. Memperhatikan susunan letak
tiga pura tersebut nampak pura tersebut sangat tua umurnya. Karena sebelum Mpu
Kuturan mengajarkan pembangunan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali
sudah ada tiga jenis pura di setiap kerajaan di Bali yaitu Pura Segara, Pura Penataran dan
Pura Puncak. Pura Rambut Siwi ini tergolong Pura Puncak-nya karena letaknya di
puncak atau di dataran tinggi kalau dilihat dari Pura Segara dan Penataran. Hal ini
melambangkan pemujaan Tuhan menjiwai Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka.
Tiga pura tersebut melukiskan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, di alam bawah,
tengah maupun di alam atas.Di samping itu, tiga pura ini sebagai media untuk memohon
kedamaian di Tri Loka tersebut. Memohon kedamaian di Tri Loka itu dinyatakan dalam
mantram Atharvaveda dalam kutipan di atas. Kalau langit, udara dan tanah serta air di
bumi dalam keadaan damai maka kehidupan agraris yang berpangkal pada eksistensi
pertanian pasti berlangsung dengan baik. Masyarakat di daerah Jembrana memohon
kepada Tuhan di Pura Rambut Siwi dengan Pura Penataran dan Pura Segara-nya agar
bumi, udara dan langit tidak terganggu fungsinya menjadi sumber kehidupan ekonomi
agraris di Jembrana. Kemakmuran ekonomi itu sangat tergantung pada tercukupnya
kebutuhan masyarakat akan makan, minum, sandang dan perumahan. Kalau tanah dan air
rusak, udara kotor penuh polusi maka pertanian itu akan sulit dikembangkan dengan
baik.Mengapa pura ini sekarang lebih terkenal dengan sebutan Pura Rambut Siwi? Hal
itu terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa Timur atau
Majapahit ke Bali. Menurut Mpu Bhaskara Murti dari Geria Madu Sudana di kota
Negara, saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi
adalah Pura Rambut Siwi. Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar
Mpu Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan
diterkam oleh harimau. Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut.
Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan. Karena demikian, penjaga pura
akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha. Di samping itu penjaga pura
mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula. Atas kewisesaan Mpu Dang
Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sediakala. Mpu Dang Hyang Nirartha
mengambil sehelai rambut beliau diletakkan di pura tersebut untuk dijadikan sarana
pemujaan di pura tersebut. Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi. Nama
Rambut Siwi inilah yang lebih populer sampai saat ini.Saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke
Bali yang berkuasa di Jembrana adalah I Gusti Ngurah Rangsasa. Konon penguasa ini
menganut ajaran Bairawa. Ajaran Bairawa ini bersumber dari ajaran Tantrayana. Pada
zaman dahulu banyak yang menyalahartikan ajaran Tantrayana ini. Misalnya salah satu
ajarannya ada yang menyatakan tentang maituna yang diartikan sebagai hubungan seks
secara bebas dan erotis. Hakikat ajaran maituna adalah suatu sikap yoga untuk
menguatkan dan meningkatkan hubungan purusa dengan pradana dalam diri. Dari
hubungan tersebut akan muncul daya spiritual dari dalam diri yang lebih hebat. Daya
spiritual itu akan mampu mengekspresikan kesucian Atman mencapai Brahman/keadaan
diri yang seperti itu akan berdaya guna untuk membangun jati diri yang sehat jasmani dan
rohani. Dalam Mahanirwana Tantra dinyatakan bahwa Tantrayana itu menguatkan
kekuatan Guna Sattwam dan Rajas secara seimbang menguasai pikiran. Pikiran yang
dikuatkan oleh Guna Sattwam dan Rajas itu akan mampu membuat manusia berniat baik
dan berbuat baik secara nyata.

Nampaknya ajaran Tantrayana inilah yang diluruskan oleh Mpu Dang Hyang Nirartha
ketika datang di Jembrana khususnya dan di Bali pada umumnya.

9. PURA PULAKI
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak, Buleleng, sekitar 53
kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan
Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang
jika kebetulan lewat dari Gilimanuk ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin
bersembahyang secara beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan
yang dimulai pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan
secara tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu
setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.Ketua Kelompok Pengkajian Budaya Bali
Utara Drs. I Gusti Ketut Simba mengatakan, jika mengacu pada sistem kepercayaan yang
umum berlaku di Nusantara — sejak zaman prasejarah gunung senantiasa dianggap
tempat suci dan dijadikan stana para dewa dan tempat suci para roh nenek moyang —
maka diperkirakan Pura Pulaki sudah berdiri sejak zaman prasejarah. Hal ini merunut
pada konsep pemujaan Dewa Gunung, yang merupakan satu ciri masyarakat prasejarah.
Sebagai sarana tempat pemujaan biasanya dibuat tempat pemujaan berundak-undak.
Semakin tinggi undakannya, maka nilai kesuciannya semakin tinggi. “Seperti Pura-pura
di deretan pegunungan dari barat ke timur di Pulau Bali ini,” kata Simba.Di kawasan Pura
Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang
dibuat dari batu, antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain.
Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat diduga latar
belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat
prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki
yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan
ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan Pulaki menjadi
cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang
sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. Bahkan,
kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan dalam bentuk barter.
Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar.
Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan tanaman lontar di sepanjang pantai dari
Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, kata Simba, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik
berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini
berlanjut hingga peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam
buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan
Gajah Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti
Pegametan, Pulaki dan Wangaya.

Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan agama Hindu sekte
Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku ”Bhuwana Tatwa Maharesi
Markandeya” susunan Ketut Ginarsa.

Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat juga dalam buku ”Dwijendra Tatwa”
karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada tertulis, “Baiklah adikku, diam di sini saja,
bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem
Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan
disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh
manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki.”

Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya potongan candi yang bentuknya seperti
candi yang ada di Kerajaan Kediri. Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data
itu, maka kesimpulannya keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada
sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan
peristiwa dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki
tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari
penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar tahun 1920
atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu zaman prasejarah
sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun 1489, Pura Pulaki masih
tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga
dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut Tri
Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam dan putih
yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.

Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya
dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu,
menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap
setia ngaturang bhakti kepada Batara di Pulaki dengan naik perahu dari Kalisada. Namun
saat itu Pura-pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada batu-batu
yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di
tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat
pengayatan karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. “Karena tempat ini sudah
dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin masuk ke pedalaman,” katanya.

Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh
pemerintah kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu
kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-
pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan
pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura
Melanting, Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa
dipisahkan. Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu
termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan alam
semesta.

Mari Berwisata! Candi Cetho: Tempat Suci Indah Pembebas Kutukan

March 4, 2013 by Wawan Surajah 2 Comments

Kecamatan Jenawi di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, masuk dalam wilayah lereng bukit
Gunung Lawu. Layaknya tempat lain di kaki gunung, lokasi ini seperti mendapat anugerah
dengan keindahan alamnya. Hawa sejuk dan segar serta pemandangan hijau jadi suguhan utama.
Meskipun beberapa lokasi wisata harus ditempuh melalui jalanan terjal dan berkelok, Kecamatan
Jenawi selalu menawarkan kejutan begitu wisatawan mampu mencapai lokasi tujuan.

Salah satu lokasi tujuan wisata paling terkenal yang dimiliki Kecamatan Jenawi adalah Candi
Cetho yang terletak di atas bukit Dusun Cetho, Desa Gumeng, di ketinggian 1496 meter dpl.
Situs bersejarah di akhir masa kejayaan Majapahit ini seperti halnya sekarung hadiah yang
dijanjikan bagi mereka yang sanggup menggapai puncak bukit Desa Gumeng.

Bagaimana tidak, lokasi candi ini seperti berada di atas bukit dengan jalan yang sangat menanjak
layaknya rintangan yang harus dilalui wisatawan sebelum mendapatkan yang mereka inginkan.
Jalanan semakin menanjak begitu wisatawan semakin mendekati lokasi wisata dan tak jarang
juga banyak kendaraan pengunjung baik motor atau mobil macet karena tidak kuat mendaki
tanjakan curam tepat di bibir pintu masuk candi.

Usaha mendaki tanjakan menuju candi seketika akan terbayar begitu wisatawan menginjakan
kaki di situs bersejarah itu. Hamparan peninggalan leluhur yang indah dan tertata rapi layaknya
taman di area ekskavasi sepanjang 190 meter dan lebar 30 meter menjadi hadiah bagi mereka
yang berhasil menggapainya.

Memang candi yang ditafsir dibangun pada tahun 1475 M itu mirip layaknya taman yang
berteras dan semakin meninggi ke arah puncak. Terdapat 13 teras bersusun yang semakin
meninggi ke arah puncak menghadap ke barat. Dari ke 13 teras tadi pemugaran hanya dilakukan
pada sembilan teras saja dengan beraneka ragam peninggalan terletak pada tiap teras.

Pada tahun 1975 – 1976 situs bersejarah Candi Cetho dipugar oleh Sudjono Humardani dengan
dasar perkiraan tetapi tidak meninjau pada kondisi asli situs candi. Hal ini jelas memunculkan
banyak kritikan meskipun konsep punden berundak masih dipertahankan. Hasil pemugaran yang
dilakukan oleh Sudjono Humardani antara lain adalah gapura-gapura di pintu masuk, bangunan
pertapaan dari kayu, patung-patung termasuk phallus, dan bangunan utama menyerupai piramida
pada bagian puncak.

Peninggalan yang paling menonjol di situs candi ini adalah temuan prasasti dan juga tatanan batu
mendatar pada teras ke VII dan III. Tafsir dari prasasti memberikan informasi tentang tahun
pendirian dan fungsi candi yaitu didirikan pada tahun 1397 Saka atau 1475 M sebagai tempat
peruwatan atau tepat pembebas dari kutukan.
Hal itu semakin jelas dari tafsir tatanan batu mendatar yang membentuk Garuda yang
membentangkan sayap. Pada bagian atas tatanan batu itu diketemukan simbol phallus yang
menyentuh simbol vagina yang ditafsirkan sebagai labang penciptaan atau kelahiran setelah
kebebasan dari kutukan.
Temuan lain yang semakin menguatkan fungsi candi adalah relief yang menceritakan mitologi
Samudramanthana dan Garudeya, relief yang juga ditemukan di Candi Sukuh. Kedua relief
tersebut menceritakan kisah pembebasan Winata oleh Garudeya yang diperbudak Kardu.

Candi Cetho adalah lokasi tujuan wisata andalan Kabupaten Karanganyar. Meskipun selalu
ramai dikunjungi wisatawan di akhir pekan, wisatawan tetap diminta menjaga ketertiban saat
berada di kompleks wisata budaya ini karena candi ini juga digunakan sebagai lokasi pemujaan
oleh warga sekitar yang beragama Hindu dan juga mereka yang menganut Kejawen.

Saat mengunjungi Candi Cetho, wisatawan tidak hanya akan mendapati suasana nyaman, indah,
dan udara sejuk segar tetapi juga pemandangan indah cari puncak bukit dan hutan-hutan di
sekitar kompleks candi. Bonus lain adalah Puri Taman Saraswati dan Candi Kethek yang dapat
dikunjungi sekaligus karena lokasi yang hanya terpisah jarak kurang lebih 300 meter.
Tidak hanya kondisi di lokasi wisata budaya Candi Cetho saja yang indah. Mengunjungi candi
ini berarti wisatawan akan melintasi kawasan Kebun Teh Kemuning. Selama di perjalanan itu
pula wisatawan akan disuguhi tontonan indah, hijau yang terbentang luas.

Untuk urusan tiket pengunjung tidak perlu bingung karena kawasan wisata di Kecamatan Jenawi
adalah kawasan wisata murah dengan tiket masuk tidak lebih dari Rp 3.000. Murah bukan? Apa
lagi yang anda tunggu sekarang. Mari berwisata!

PURA PEMACEKAN/PURA PASEKAN DI SOLO

Bagi yang memiliki minat dan ketertarikan berwisata spiritual Tirta Yatra, yaitu melakukan
perjalanan napak tilas persembahyangan mengunjungi pura-pura, baik yang berada di daratan
pulau bali ataupun di nusantara, pastilah mengenal Pura Patilesan (peristirahatan) Kyayi I Gusti
Ageng Pemacekan, yang lebih di kenal sebagai Pura Pasek dan merupakan induk dari Pura Pasek
yang ada di daratan Bali. Pura ini terletak di desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten
Karanganyar Jawa Tengah, Indonesia. Kira-kira 35 km sebelah timur kota Solo, satu jam
perjalanan ditempuh dengan kendaraan. Letaknya yang tidak jauh dari obyek wisata
Tawangmangu, di kaki gunung Lawu membuat pura Pemacekan yang dikelilingi alam nan hijau
menjadi semakin sejuk.
Menengok kembali sejarah jaman dulu, pada awalnya bangunan ini memang merupakan tempat
peribadatan umat Hindu yang berupa punden atau candi atau pura. Sebagaimana masyarakat
Jawa pada zaman dulu memang banyak sekali penganut Hindu, tak terkecuali di wilayah
Karangpandan ini. Hal ini terbukti ditemukannya bangunan Hindu di daerah sekitar tak jauh dari
pura Pemacekan semisal Candi Sukuh, Candi Cetho, dll. Namun seiring berjalannya waktu,
dengan terjadinya akulturasi kebudayaan antara penganut agama lain, penganut Hindu di sekitar
pura menjadi semakin sedikit, meski dalam catatan sejarah, bangunan yang memiliki dominasi
warna kuning dan merah ini pernah di bangun menjadi lebih megah dan mewah pada masa
Pakoe Boewono XII. Keterlibatan raja dari Keraton Surakarta dalam pembangunan kembali
Pura Pemacekan (Pura Pasek) ini adalah cukup beralasan, karena bila di lihat dari silsilah
vertikal raja-raja yang yang terpampang di dinding bangunan Pura Pemacekan itu, di mulai dari
kerajaan Singosari dimasa pemerintahan Ken Arok hingga raja Surakarta yang sekarang adalah
masih memiliki ikatan darah persaudaraan dengan Ki Ageng Pasek atau di kenal dengan nama
Pangeran Arya Kusuma ini karena merupakan salah seorang menantu Pangeran Brawijaya V
(raja terakhir dari kerajaan Majapahit), yang patilesannya terdapat di dalam bangunan Pura Pasek
ini. Ki Ageng Pasek yang dikenal sebagai Arya Kusuma juga adalah seorang senopati kerajaan
yang memiliki keahlian khusus, penunggang kuda saat berperang. Hingga meninggalnya dan
kemudian dimakamkan di desa Pasek, Kecamatan Karangpandan, kabupaten Karanganyar, yang
saat ini tepat di petilesannya didirikan Pura Pemacekan (Pura Pasek).

Piodalan di pura Pemacekan ini biasanya diselenggarakan setiap tujuh bulan saat bulan
purnamasidi atau bertepatan dengan pengetan weton dari Ki Ageng Pasek yang mana Upacara
Piodalan ini selain di rayakan oleh para pengempon Pura umat Hindu di karanganyar serta
daerah Solo dan sekitarnya yang khususnya bermarga Pasek juga dihadiri oleh ratusan warga
Hindu Bali dari marga Pasek juga. Salah seorang Pengempon Pura Pasek ini adalah juga warga
dari Desa Kemoning Klungkung yang berdomisili di Solo, yaitu bapak Nyoman Nasa, dalam
menjalani masa-masa pension beliau, selalu mengabdikan hari-harinya merawat Pura Pasek ini.

Menghubungkan cerita Pura Pasek yang ada di tanah Jawi ini dengan issue-issue yang
berkembang belakangan ini di daratan bali, dimana seiring dengan berjalannya waktu dan
semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat di Bali, akhirnya menumbuhkan keingintahuan
untuk menelusuri lebih jauh tentang asal-usul nenek moyang atau leluhur keluarga mereka, yang
di mulai tidak hanya ketika leluhur mereka berdomisili di balidwipa (pulau bali), melainkan di
telusuri lebih jauh ketika nenek moyang mereka masih berdomisili di jawadwipa (pulau jawa)
ketika kerajaan majapahit masih mengalami masa kejayaannya. penelitian oleh setiap individu
mengenai silsilah keluarga / kelompok ini kemudian di tuliskan kedalam suatu babad, sehingga
akhirnya di Bali saat ini dikenal berbagai macam Babad. seperti di tuliskan di website
babadbali.com (http://www.babadbali.com/babad/babadbali.htm ) yaitu:

Lebih lanjut, menelusuri silsilah keluarga sedari nenek moyang baik dengan pergi ke tanah jawi
atau melalui membaca babad yang di tulis orang lain, di bali saat ini sepertinya sedang menjadi
trend. Salahkah kegiatan mereka ini, tentu tidak. kegiatan untuk mengetahui silsilah keluarga
leluhur mereka, disamping akan menambah wawasan dari setiap pembacanya, membaca babad
ini juga di khawatirkan sebagian orang akan memisahkan masyarakat bali menjadi kelompok-
kelompok (soroh / clan) karena menemukan silsilah dirinya dalam babad. kekhawatiran yang
berlebihan ini mungkin masih dianggap wajar, hal ini untuk menghindarkan terulangnya
fenomena masyarakat bali dari penafsiran yang berbeda-beda akan suatu konsep kehidupan
bermasyarakat. sebagai contoh penafsiran akan keberadaan sistem wangsa di dalam kehidupan
sosial kemasyarakat umat Hindu di Bali. dimana kalau menurut Manawa Dharmasastra, sistem
wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial paradigma tinggi-
rendah (tidak setara antara wangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak
menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra, melainkan sistem wangsa
itu di buat untuk menentukan keakraban atau kerukunan famili, dan bukan untuk menentukan
kasta atau varna seseorang. kita harapkan semoga masyarakat bali tidak terjerumus akan
pemahaman yang sempit akan Babad ini. Kembali ke topik Babad, untuk apa sesungguhnya
fungsi keberadaan Babad itu atau untuk apa Babad itu di tulis? pada prinsipnya Babad itu adalah
sejarah. Babad atau sejarah di tulis untuk melihat perjalanan sebuah peradaban. Dari penulisan
ini kita menjadi tahu, siapa tokoh yang memainkan peran dalam peradaban itu.

Mengambil contoh dari salah satu Babad diatas yaitu Babad Pasek, umat Hindu dari seluruh
pelosok daratan Bali yang bermarga Pasek, belakangan ini tidak hanya melakukan Tirta Yatra
persembahyangan bersama ke Pura Dasar Gelgel Klungkung yang di yakininya sebagai induknya
Pura Pasek di Bali , melainkan juga melakukan Tirta Yatra persembahyangan bersama ke Pura
Patilesan (peristirahatan) Ki Ageng Pemacekan yang oleh masyarakat Bali di yakininya sebagai
induknya Pura Pasek – pura Pasek yang ada di Bali, dan belakangan ini selalu menunjukkan
statistik yang kian terus meningkat bila di lihat dari jumlah kendaraan bis rombongan dari bali.

Akhir kata, seandainya ada pembaca artikel ini yang bermarga Pasek yang tertarik untuk
melakukan wisata spiritual Tirta Yatra ke Pura Pasek yang ada di Jawa ini, berikut alamat
detailnya: Pura Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, desa Pasekan Kecamatan Karangpandan
Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.

Anda mungkin juga menyukai