Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ni Nyoman Bintang Ratna Sari

NIM : 239022140025

Kelas / Jurusan : BAA / Desain Interior

Mata Kuliah : Agama Hindu

RINGKASAN MATERI AGAMA HINDU : PURA

PENGERTIAN PURA

Tuhan Yang Maha Esa dan para devata bersthana di kahyangan atau svarga-loka,
diiringi oleh para Siddha, Vidyadhara-Vidyadhari. Shtana-Nya yang abadi adalah
kahyangan/sorga yang disebut “luhuring akasa” oleh Masyarakat Bali. Pada waktu-waktu
upacara, Ida Sang Hyang Widhi dan para devata serta roh suci leluhur dimohon hadir turun ke
dunia untuk bersthana di sthana yang telah disediakan untuk-Nya yang disebjut pura dengan
aneka nama, jenis serta fungsi dari bangunan pelinggihnya. Bagi para devata yang tidak
memiliki sthana khusus di sebuah pura, dibuatkanlah sthana sementara untuknya yang disebut
“dangsil”, berupa meru yang terbuat dari bambu, memakai atap janur atau daun aren.

Seperti halnya meru ataupun candi, pura merupakan simbol dari kosmos atau alam
sorga dan bukanlah sebagai makam raja-raja. Praktek upacara yang masih tetap hidup dan
terpelihara di Bali maupun di India, menunjukan bahwa pura adalah replica dari kahyangan
atau sorga. Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura
juga melambangkan alam kosmos, jaba, pisan adalah alam bhumi (bhürloka), jaba tengah
adalah bhuvahloka dan jeroan adalah svahloka atau sorga. Khusus pura Besakih secara
kescluruhan melambangkan saptaloka (luhuring ambal-ambal) dan saptapatala (soring ambal-
ambal). Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan kawasan untuk membangun pura, dalam
tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah
yang berbau harum, yang "gingsih'dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempoat yang
ideal untuk membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan dari Bhavişya Puräna dan
Brhat Sarnhitā, yang secara sederhana disebut sebagai hyang-hyangning sāgara- gri", atau
"sāgara-giri adumukha", tempatnya tentu sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar
pada lokasi yang ideal tersebut.
Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng
yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya
kata pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan atau
hyang. Dalam perkembangan lebih lanjut kata pura digunakan di samping kata kahyangan atau
parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala
manifestasinya) dan bhaṭṭära atau dewapitara yaitu roh suci leluhur. Kendatipun demikian
namun kini masih dijumpai kata pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misalnya
Amlapura atau kota asem (bentuk Sanskertanisasi dari karang asem).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua,
namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang
berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli berupa
pemujaan terhadap arwah leluhur di samping juga pemujaan terhadap kekuatan alam yang
maha besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode
megalithikum, sebelum kebudayaan India datang di Indonesia.

PENGELOMPOKAN PURA

Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja
Hyang Widhi/dewa dan bhaṭara , dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja Hyang Widhi, para devatā.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhaṭṭāra yaitu roh suci leluhur

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan) yang antara lain
dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti:
ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran). Berdasarkan atas ciri-ciri
tersebut, maka terdapat beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas
karakter atau sifat kekhasannya adalah sebagai berikut :

1. Pura Umum
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala
manifestasinya (dewa). Pura Umum dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering
disebut Kahyangan Jagat Bali. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri-ciri tersebut
adalah pura Besakih, pura Batur, pura Caturlokapāla dan pura Sadkahyangan.
Golongan-golongan pura umum :
• Pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa
seorang pandita guru suci atau Dang Guru. Hal ini karena pada hakekatnya
semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau atas dasar ajaran agama
Hindu yang disebut rsirna. Pura pura yang tergolong ke dalam karakter yang
disebut Dang Kahyangan adalah : pura Rambut Siwi, pura Purancak, pura
Pulaki, pura Ponjok Batu, pura Sakenan, pura Silayukti, pura Lempuyang
Madhya dan lain-lainnya.
• Pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan dari kerajaan yang
pernah ada di Bali, seperti pura Sakenan, yang merupakan pura Kerajaan
Kesiman, pura Taman Ayun yang merupakan pura Kerajaan Mengwi. Ada
tanda-tanda bahwa masing-masing kerajaan yang pernah ada di Bali, sekurang
kurangnya mempunyai satu jenis pura, yaitu: pura Penataran yang terletak di
ibu kota kerajaan, pura Puncak yang terletak di puncak bukit atau pegunungan
dan pura Segara yang terletak di tepi Pantai laut.
2. Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah (teritorial) sebagai tempat pemujaan dari
anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat oleh kesatuan wilayah dari
suatu banjar atau desa tersebut. Ciri khas suatu desa adat pada dasarnya memiliki tiga
buah pura disebut Kahyangan Tiga, yaitu: pura Desa, pura Puseh, pura Dalem yang
merupakan tempat pemujaan bersama. Nama-nama kahyangan tiga ada juga yang
bervariasi pada beberapa desa di Bali, pura Desa sering juga disebut pura Bale Agung.
Pura Puseh juga disebut pura Segara, bahkan pura Puseh desa Besakih disebut pura
Banua. Pura Dalem banyak juga macamnya. Pura Dalem yang merupakan unsur
Kahyangan Tiga adalah pura Dalem yang memiliki setra (kuburan). Di samping itu
banyak juga terdapat pura yang disebut Dalem, tetapi bukan merupakan pura sebagai
unsur Kahyangan Tiga di antaranya: pura Dalem Maspahit, pura Dalem Canggu, pura
Dalem Gagelang dan sebagainya.
3. Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional, umat panyiwinya terikat oleh ikatan
kekaryaan karena mempunyai profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup
seperti: bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah
tanah basah mempunyai ikatan pemujaan yang disebut pura Empelan yang sering juga
disebut pura Bedugul atau pura Subak. Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan
pemujaan seperti tersebut di atas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan
pemujaan yang disebut pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain
sebagainya.Berdagang merupakan salah satu sistem mata pencaharian hidup
menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut pura Melanting.
Umumnya pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang
dalam lingkungan pasar tersebut.
4. Pura Kawitan
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur
berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh
leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan.
• Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti
maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang
sama. Klen ini mempunyai tempat pemujaan yang disebut pura Dadya sehingga
mereka disebut tunggal Dadya.
• Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas
terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga besar (extended
family). Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-
anak mereka yang belum kawin. Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut
sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan taksu, sedangkan tempat
pemujaan keluarga luas disebut sanggah gede atau pamarajan agung.
• Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadya)
dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat
tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura paibon atau pura
panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu, ada yang
menyebut pura Batur (Batur Klen), pura Penataran (Penataran Klen) dan
sebagainya.

Pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :


Berdasarkan atas Fungsinya :
• Pura Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang
Widhi Wasa dalam segala prabhava-Nya (manifestasi-Nya).
• Pura kawitan, yaitu pura sebagai tempat suci untuk memuja
"Atmäsiddhadevatä" (roh suci leluhur).
Berdasarkan atas Karakterisasi nya :
• Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam
aneka prabhawa-Nya misalnya pura Sad Kahyangan dan pura Kahyangan Jagat.
• Pura Kahyangan Desa (teritorial) yaitu pura yang dipuja dan dipelihara oleh
desa Pakraman atau desa Adat.
• Pura Swagina (pura fungsional) yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh
ikatan swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata
pencaharian seperti: pura Subak, Melanting dan sebagainya.
• Pura Kawitan, yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan "wit"
atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: sanggah,
pamarajan, ibu, panti, dadya, batur, panataran, padharman dan yang sejenisnya.

STRUKTUR PURA

Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau
jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di
samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan
jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti pura
Agung Besakih.

Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi macrocosmos (bhuwana agung), yakni:

• Pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari "triloka", yaitu:
bhürloka (bumi), bhuvaḥloka (langit) dan svaḥloka (sorga).
• Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhah) dan
alam bawah (adhaḥ), yaitu ākāśa dan prthivi.
• Pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan "saptaloka"
yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhürloka, bhuvaḥloka,
svaḥloka, mahaloka, janaloka, tapaloka dan satyaloka.
• Pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari "ekabhuvana", yaitu
penunggalan antara alam bawah dengan alam atas.

Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian
horizontal sedang pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal.
• Pembagian horizontal itu melambangkan "prakrti" (unsur materi alam semesta)
• Pembagian yang vertikal adalah simbolis "puruşa" (unsur kejiwaan/spiritual alam
semesta).

Penunggalan konsepsi prakrti dengan puruşa dalam struktur pura merupakan simbolis dari pada
"Super natural power". Hal itulah yang menyebabkan orang orang dapat merasakan adanya
getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa) dalam sebuah pura.
Sebuah pura di kelilingi dengan tembok (bahasa Bali = penyengker) sebagai batas pekarangan
yang disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah "padurakṣa" (penyangga sudut) yang
berfungsi menyangga sudut-sudut pekarangan tempat suci (dikpālaka).

Sebagian telah dijelaskan di atas, pada umumnya pura-pura di Bali terbagi atas tiga halaman,
yaitu :

1) Jabaan (jaba pisan) atau halaman depan/luar


Pada umumnya pada halaman ini terdapat bangunan berupa "bale kulkul" (balai tempat
kentongan digantung), "bale wantilan" (semacam auditorium pementasan kesenian,
"bale pawaregan" (dapur) dan "jineng" (lumbung).
2) Jaba Tengah
Halaman tengah biasanya berisi bangunan "bale agung" (balai panjang) dan "bale
pagongan" (balai tempat gamelan).
3) Jeroan (halaman dalam)
Halaman ini termasuk halaman yang paling suci berisi bangunan untuk Tuhan Yang
Maha Esa dan para dewa manifestasi-Nya. Di antara jeroan dan jaba tengah biasanya
dipisahkan oleh candi kurung atau kori agung. Sebelum sampai ke halaman dalam
(jeroan) melalui kori agung, terlebih dahulu harus memasuki candi bentar, yakni pintu
masuk pertama dari halaman luar (jabaan atau jaba pisan) ke halaman tengah (jaba
tengah). Candi bentar ini adalah simbolis pecahnya gunung Kailäsa tempat
bersemadhinya dewa Śiva. Di kiri dan kanan pintu masuk candi bentar ini biasanya
terdapat arca Dvarapala (patung penjaga pintu, dalam bahasa Bali disebut arca pangapit
lawang), berbentuk rakṣasa yang berfungsi sebagai pengawal pura terdepan. Pintu
masuk kehalaman dalam (jeroan) di samping disebut kori agung, juga dinamakan
gelung agung. Kori Agung ini senantiasa tertutup dan baru dibuka bila ada upacara di
pura. Umat penyungsung (pemilik pura) tidak menggunakan kori agung itu sebagai
jalan keluar-masuk ke jeroan, tetapi biasanya menggunakan jalan kecil yang biasanya
disebut "bebetelan", terletak di sebelah kiri atau kanan kori agung itu. Pada bagian
depan pintu masuk (kori agung) juga terdapat arca Dvärapala yang biasanya bermotif
arca dewa-dewa (seperti Panca Devata). Di atas atau di ambang pintu masuk kori agung
terdapat hiasan kepala rakṣasa, yang pada pura atau candi di India disebut Kirttimukha,
pada ambang candi pintu masuk candi Jawa Tengah disebut Käla, pada ambang candi
di Jawa Timur disebut Banaspati dan di Bali disebut Bhoma. Cerita Bhoma atau
Bhomāntaka (matinya Sang Bhoma) dapat dijumpai dalam kakawin Bhomäntaka atau
Bhomakāwya. Bhoma adalah putra dewa Viṣṇu dengan ibunya dewi Pṛthivi yang
berusaha mengalahkan sorga. Akhirnya ia dibunuh oleh Viṣṇu sendiri. Kepalanya yang
menyeringai ini dipahatkan pada kori agung. Menurut cerita Hindu, penempatan kepala
rakṣasa Bhoma atau Kirttimukha pada kori agung dimaksudkan supaya orang yang
bermaksud jahat masuk ke dalam pura, dihalangi oleh kekuatan rakṣasa itu. Orang-
orang yang berhati suci masuk ke dalam pura akan memperoleh rakhmat-Nya.

Anda mungkin juga menyukai