Anda di halaman 1dari 8

Tempat ibadah yang ada di indonesia

1. Gereja

Gereja Indonesia sudah hadir sejak abad ke-2 Masehi, pertama kali di
Fansur/Barus, Sumatra Utara. Sejak saat itu, sampai sekarang di Indonesia telah
terdapat/telah ada banyak sekali jenis-jenis (aliran/denominasi) gereja. Pada umumnya
gereja-gereja Kristen di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga aliran utama, yaitu:

 Gereja Katolik Roma dengan sistem episkopal di bawah kepemimpinan Paus


 Gereja-gereja Protestan yang merupakan hasil dari Reformasi Protestan dan berdiri
mandiri
 Gereja Ortodoks dengan sistem episkopalnya
Khusus untuk gereja-gereja dari aliran ritual Pentakosta kadang-kadang digolongkan terpisah
dari kelompok gereja-gereja Protestan karena perbedaan ritual dan pengakuan iman,
meskipun dari sejarahnya gereja Pentakosta muncul dari denominasi-
denominasi ajaran Protestan.
Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks di Indonesia tidak terbagi-bagi menurut denominasi
sebagai mana halnya yang ada pada gereja-gereja Protestan/Pentakosta. Karena gereja
Protestan dan aliran Pentakosta terbagi-bagi menjadi unsur gereja yang lebih kecil maka
gereja-gereja Kristen Protestan (dan Pentakosta) memiliki banyak cabang bahkan disetiap
daerahnya. Gereja-gereja tersebut dapat diklasifikasikan menurut ajaran teologi, kelompok
etnis, bahasa pengantar, atau gabungan dari ketiganya.

Gereja Protestan di Indonesia (disingkat GPI) lahir di Ambon, Maluku pada tahun 1605,
dengan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie, atau lebih dikenal
dengan Indische Kerk. Tetapi pada tahun 1619 kantor pusatnya dipindahkan
ke Batavia seturut dengan berpindahnya kedudukan Gubernur Jenderal ke Batavia. Gereja
Protestan ini mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh misi Portugis dan dikemudian
hari karena pekerjaan misi maka pelayanannya semakin meluas. Wilayahnya meliputi
beberapa daerah antara lain: Maluku, Minahasa, Kepulauan Sunda Kecil (sekarang: Nusa
Tenggara Timur, termasuk Pulau Sumbawa), Jawa, Sumatra, dll.[1]

Gereja Katolik di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke


kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano
(kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga
kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso,
seorang saudagar Portugis. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan
rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam
Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu
adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi
pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.

2. Pura

Pura adalah istilah untuk tempat ibadat agama Hindu di Indonesia. Pura
di Indonesia terutama terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas
penduduk penganut agama Hindu.

Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram,
-pore), yang artinya adalah gerbang, misal, angkasapura berarti Gerbang angkasa. Dalam
perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat
ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan
bangsawan.

Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang
sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa zona yang dikelilingi
tembok. Masing-masing zona ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh
ukiran. Lingkungan atau zonasi yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan
seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara dengan atap
bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep
Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:

1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari
lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat
digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan
berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas
pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan),
Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam
zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik,
Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Meskipun demikian, tata letak zona Nista Mandala dan Madya Mandala kadang tidak mutlak
seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul atau Perantenan (dapur)
pura dapat pula terletak di Nista mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang Candi
bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar
merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura
dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau
Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk
membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali.
Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi
bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.

Ada beberapa jenis pura, masing-masing melayani fungsi tertentu dari ritual Bali di
seluruh kalender Bali. Pura-pura Bali diatur sesuai dengan dunia fisik dan spiritual orang-
orang Bali, yang sesuai dengan poros suci kaja-kelod, dari gunung di puncak dunia para
dewa, arwah hyang, dataran subur tengah di dunia manusia dan makhluk lain, sampai ke
pantai dan lautan, dan banyak alam di Indonesia.

Pura kahyangan jagad


adalah pura yang universal. Seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang ke
sana. Pura Kahyangan Jagat tersebar di seluruh dunia. Di Bali karena berkaitan dengan
sejarah yang berusia panjang, pura Kahyangan Jagat digolong-golongkan dengan beberapa
kerangka (konsepsi). Misalnya kerangka Rwa Bineda, kerangka Catur Loka Pala dan
sebagainya.[1] Pura ini biasanya terletak di daerah pegunungan pulau, dibangun di atas lereng
gunung atau gunung berapi. Gunung-gunung dianggap sebagai dunia magis suci dan
berhantu, tempat tinggal para dewa atau hyang.[2] Pura kahyangan yang paling penting di Bali
adalah kompleks Pura Besakih di lereng Gunung Agung. Contoh lain adalah Pura
Parahyangan Agung Jagatkarta di lereng Gunung Salak, Jawa Barat.

Pura Tirta
disebut juga "Kuil Air", sejenis pura yang selain berfungsi keagamaan, juga memiliki fungsi
pengelolaan air sebagai bagian dari sistem irigasi Subak. Para pendeta di kuil-kuil ini
memiliki wewenang untuk mengelola alokasi air di sawah di desa-desa yang mengelilingi
candi. Beberapa kuil tirta terkenal karena air keramatnya dan memiliki 'petirtaan' atau kolam
pemandian suci untuk ritual pembersihan. Kuil air lainnya dibangun di dalam danau,
seperti Pura Ulun Danu Bratan. Contoh terbaik dari jenis pura ini adalah Pura Tirta Empul.

Pura Desa
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Dewa Brahma dan para Dewa, yang terletak
di dalam desa atau kota bersangkutan, berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan orang
Bali.

Pura Puseh
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Vishnu.

Pura Dalem
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Shiva, Durga, ibu pertiwi, Banaspatiraja
(barong), Sang Bhuta Diyu, Sang Bhuta Garwa, dan dewa-dewa lainnya, Biasanya shakti
Siwa, Durga, dihormati di kuil ini. Dalam siklus hidup manusia, kuil ini terhubung dengan
ritual tentang kematian. Adalah umum juga untuk pura dalem memiliki pohon besar seperti
pohon beringin atau kepuh yang biasanya juga digunakan sebagai tempat suci. Pura Dalem
biasanya terletak di sebelah kuburan para leluhur sebelum upacara 'ngaben' '(kremasi).

Pura Mrajapati
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah prajapati (penguasa orang) atau kekuatan
kosmik. Paling sering, di kuil ini Siwa disembah dalam bentuknya sebagai prajapati .

Pura Segara
"Kuil laut", sebuah pura yang terletak di tepi laut untuk menenangkan Dewa laut. Biasanya
penting selama ritual Melasti. Salah satu contoh dari jenis pura ini adalah Pura Tanah
Lot dan Pura Uluwatu.

Pura Dang Kahyangan


Pura yang digunakan untuk Pemujaan kepada para Dang Guru Suci yang telah berjasa dalam
penyebaran Agama Hindu di Bali seperti Pura Agung Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Silayukti, dll

Pura Swagina
pura yang memiliki keterikatan dengan karya/pekerjaan manusia sehingga sering disebut pura
fungsional. Pemuja dari pura-pura ini disatukan oleh kesamaan di dalam kekaryaan atau di
dalam mata pencaharian seperti; Pura Melanting untuk para pedagang, Pura Segara untuk
nelayan, Pura Subak, Pura Bedugul, Pura Ulundanu, Pura Ulunsuwi untuk para Petani tanah
basah maupun kering.
3. Vihara

Vihara Buddhagaya Watugong atau juga dikenal dengan nama Vihara


Buddhagaya merupakan salah satu tempat ibadah agama Buddha yang terletak
di Pudakpayung, Banyumanik, Semarang Jawa Tengah. Lokasi tepatnya berada di depan
Markas Kodam IV/Diponegoro. Komplek Vihara Buddhagaya Watugong tersebut terdiri dari
dua bangunan induk utama yaitu Pagoda Avalokitesvara dan Dhammasala serta beberapa
bangunan lain. Pagoda Avalokitesvara adalah bangunan yang mempunyai nilai artistik tinggi,
dengan tinggi mencapai 45 meter dan ditetapkan sebagai pagoda tertinggi di Indonesia. Di
dalamnya terdapat patung Dewi Kwan Im dengan tinggi lima meter. Sedangkan Dhammasala
terdiri dari dua lantai yang mana lantai dasar digunakan sebagai ruang aula serbaguna untuk
kegiatan pertemuan dan lantai atas digunakan untuk upacara keagamaan yang terdapat patung
Sang Buddha. Bangunan lain yang terdapat di dalam vihara yaitu Watugong, Plaza
Borobudur, Kuti Meditasi, Kuti Bhikku, Taman bacaan masyarakat, Buddha Parinibana,
Abhaya Mudra dan Pohon Bodhi.
Pada mulanya Vihara Buddhagaya hanya digunakan sebagai tempat ibadah. Namun, dengan
melihat arsitektur bangunan yang sangat kental dengan etnik Tiongkok dan Thailand,
sehingga akhirnya Vihara ini juga dikembangkan menjadi obyek dan daya tarik wisata.
Vihara ini menjadi salah satu kebanggaan bagi warga Kota Semarang pada khususnya
dan Jawa Tengah pada umumnya.
Vihara Buddhagaya Watugong mempunyai sejarah panjang hingga perkembangan yang besar
pada saat ini. Kurang lebih 500 tahun sesudah keruntuhan Kerajaan Majapahit, muncul lah
berbagai kegiatan dan peristiwa yang menyadarkan berbagai kalangan penduduk akan
warisan luhur nenek moyang yaitu Buddha Dhamma agar dapat kembali dipraktekkan oleh
para pemeluknya. Usaha yang semula banyak digagas di zaman Hindia-Belanda. Akhirnya
harapan akan adanya orang yang mampu untuk mengajarkan Buddha Dhamma pada para
umat dapat terwujud dengan kehadiran Bhikkhu Narada Maha Thera dari Srilanka pada tahun
1934. Gayung pun bersambut, kehadiran Dhammadutta tersebut dimanfaatkan oleh umat dan
simpatisan untuk mengembangkan diskusi dan memohon penjabaran Dhamma secara lebih
luas lagi. Puncaknya muncul putra pertama Indonesia yang mengabdikan diri secara penuh
pada penyebaran Buddha Dhamma, yakni pemuda Bogor bernama The Boan An yang
kemudian menjadi Bhikkhu Ashin Jinarakkhita.
Pada tahun 1955 Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin perayaan Waisak 2549 di Candi
Borobudur, pada saat itu juga ada seorang hartawan yang menjadi tuan tanah
dari Semarang yang bernama Goei Thwan Ling dengan latar belakang agama Buddha yang
terkesan pada kepiawan dan kepribadian dari Bhikku Ashin Jinarakkhita, maka Goei Thwan
Ling menghibahkan dan mempersembahkan sebagian tanah miliknya untuk digunakan
sebagai pusat dan pengembangan Buddha Dhamma. Tempat itulah yang kemudian diberi
nama Vihara Buddhagaya. Pada 19 Oktober 1955 didirikan Yayasan Buddhagaya untuk
menaungi aktivitas vihara. Dari vihara inilah kemudian satu episode baru pengembangan
Buddha Dhamma berlanjut.
Mulai tahun 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sang pelopor kebangkitan Buddha Dhamma
di nusantara menetap di Vihara Buddhagaya Semarang. Banyak sejarah besar yang beliau
torehkan bersama Vihara Buddhagaya, seperti Upasika Indonesia saat perayaan Asidha pada
bulan Juli 1955, menggagas perayaan Buddha Jayanti yang diperingati oleh umat Buddha di
seluruh dunia tahun 1956, penanaman pohon Bodhi pada tanggal 24 Mei 1956 dan
pendirian Sima Internasional pertama di KASAP (belakang Makodam IV/Diponegoro) untuk
penahbisan Bhikkhu.[2]
Kemudian beberapa saat selama kurang lebih delapan tahun vihara ini sempat terlantar,
namun sekarang bangkit kembali di bawah binaan Sangha Theravada. Maka pada bulan
Februari 2001 dilakukan revitalisasi dan renovasi pada vihara ini yang dimulai terlebih
dahulu dengan pembangunan Gedung Dhammasala yang diresmikan pada tanggal 3
November 2002 oleh Gubernur Jawa Tengah yaitu H.Mardiyanto. Selanjutnya dibangun pula
bangunan yang lain yaitu Pagoda Avalokitesvara pada bulan November 2004 dan diresmikan
pada tanggal 14 Juli 2005 oleh Gubernur Jawa Tengah yaitu H.Mardiyanto. [3]
Wihara (bahasa Sansekerta: विहार Vihara) adalah sebutan bagi rumah ibadah
umat Buddha di Indonesia.
Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil. Klenteng adalah
rumah ibadah penganut taoisme, maupun konfuciusisme. Tetapi di Indonesia, karena orang
yang ke Wihara/kuil/klenteng umumnya adalah etnis Tionghoa, maka menjadi agak sulit
untuk dibedakan, karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme, Taoisme, dan
Konfuciusisme.[1] Salah satu contohnya adalah Vihara Kalyana Mitta yang terletak di daerah
Pekojan, Jakarta Barat.
Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan antara klenteng dan Wihara. Klenteng
dan Wihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada
dasarnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial
masyarakat selain fungsi spiritual. Wihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi
spiritual saja. Namun, wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada
Wihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.
Perbedaan antara klenteng dan wihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S pada
tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk
kepercayaan tradisional Tionghoa, oleh pemerintah Orde Baru.[2] Klenteng yang ada pada
masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi istilah
dari bahasa Sanskerta ataupun bahasa Pali, mengubah nama sebagai Vihara dan mencatatkan
surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah
kemudian umat awam sulit membedakan klenteng dengan Vihara.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak wihara yang kemudian
mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani
menyatakan diri sebagai klenteng daripada wihara.

4. Kelenteng

Klenteng atau kelenteng (bahasa Hokkian: 廟, bio) adalah sebutan untuk tempat ibadah
penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di
Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut
agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya sering dianggap sama dengan tempat
ibadah agama Konghucu. Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan
istilah tokong.[1] Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat
menyelenggarakan upacara.
Kelenteng adalah istilah “generic” untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa,
dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa, tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia,
sebagai contoh di Sumatra mereka menyebutnya bio; di Sumatra Timur mereka
menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan
di orang Hakka menyebut kelenteng dengan istilah thai Pakkung, pakkung
miau atau shinmiau. Tapi dengan waktu seiring, istilah ‘kelenteng’ menjadi umum dan mulai
meluas penggunaannya.[2]
Klenteng dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan
dinamakan Kwan Im Teng 觀音亭. Klenteng ini dipersembahkan kepada Kwan Im(觀音dewi
pewelas asih atau Avalokitesvara bodhisatva Dari kata Kwan Im Teng inilah orang
Indonesia akhirnya lebih mengenal kata Klenteng daripada Vihara, yang kemudian
melafalkannya sebagai Klenteng hingga saat ini. Klenteng juga disebut sebagai bio yang
merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng
di Republik Rakyat Tiongkok.
Pada mulanya, klenteng adalah tempat penghormatan pada leluhur 祠 "Ci" (rumah abuh) atau
dewa, masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai
rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang
pada awalnya dihormati oleh marga mereka. Seiring perkembangan zaman, penghormatan
kepada dewa-dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus yang dikenal sebagai klenteng
yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Di dalam klenteng bisa ditemukan
(bagian samping atau belakang) dikhususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati
oleh para sanak keluarga masing-masing. Ada pula di dalam klenteng disediakan tempat
untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur seperti ajaran-
ajaran Konghucu, Taoisme, dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha. Klenteng
selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para dewa-dewi, dan tempat mempelajari
berbagai ajaran, juga digunakan sebagai tempat yang damai untuk semua golongan tidak
memandang dari suku dan agama apapun.
Klenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja.
Selain Gong-guan (Kongkuan), Klenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam
kehidupan komunitas Tionghoa dimasa lampau.[3]
Pada masyarakat awam, banyak yang tidak mengetahui perbedaan dari klenteng dan vihara.
Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi. Klenteng
pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial
masyarakat selain berfungsi sebagai tempat spiritual. Namun, vihara juga ada yang
berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang
memang berasal dari Tiongkok. Contoh adalah kelenteng Taikak sie ( Da Jue si 大覺寺 )
Semarang yang termasuk tempat ibadah agama Buddha Mahayana. Hal ini perlu diketahui
bahwa vihara dalam bahasa Mandarin adalah si 寺. Contoh vihara Shaolin 少林 atau yang
dikenal dengan sebutan Shaolin si 少林寺.
Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa Gerakan 30
September pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan
Tionghoa termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng
yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian
mengadopsi nama dari bahasa Sanskerta atau bahasa Pali yang mengubah nama sebagai
vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan
peribadatan dan kepemilikan, sehingga terjadi kerancuan dalam membedakan klenteng
dengan vihara.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti
nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri
sebagai klenteng daripada vihara atau menamakan diri sebagai Tempat
Ibadah Tridharma (TITD).

Anda mungkin juga menyukai