1. Gereja
Gereja Indonesia sudah hadir sejak abad ke-2 Masehi, pertama kali di
Fansur/Barus, Sumatra Utara. Sejak saat itu, sampai sekarang di Indonesia telah
terdapat/telah ada banyak sekali jenis-jenis (aliran/denominasi) gereja. Pada umumnya
gereja-gereja Kristen di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga aliran utama, yaitu:
Gereja Protestan di Indonesia (disingkat GPI) lahir di Ambon, Maluku pada tahun 1605,
dengan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie, atau lebih dikenal
dengan Indische Kerk. Tetapi pada tahun 1619 kantor pusatnya dipindahkan
ke Batavia seturut dengan berpindahnya kedudukan Gubernur Jenderal ke Batavia. Gereja
Protestan ini mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh misi Portugis dan dikemudian
hari karena pekerjaan misi maka pelayanannya semakin meluas. Wilayahnya meliputi
beberapa daerah antara lain: Maluku, Minahasa, Kepulauan Sunda Kecil (sekarang: Nusa
Tenggara Timur, termasuk Pulau Sumbawa), Jawa, Sumatra, dll.[1]
2. Pura
Pura adalah istilah untuk tempat ibadat agama Hindu di Indonesia. Pura
di Indonesia terutama terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas
penduduk penganut agama Hindu.
Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram,
-pore), yang artinya adalah gerbang, misal, angkasapura berarti Gerbang angkasa. Dalam
perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat
ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan
bangsawan.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang
sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa zona yang dikelilingi
tembok. Masing-masing zona ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh
ukiran. Lingkungan atau zonasi yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan
seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara dengan atap
bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep
Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari
lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat
digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan
berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas
pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan),
Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam
zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik,
Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Meskipun demikian, tata letak zona Nista Mandala dan Madya Mandala kadang tidak mutlak
seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul atau Perantenan (dapur)
pura dapat pula terletak di Nista mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang Candi
bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar
merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura
dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau
Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk
membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali.
Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi
bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.
Ada beberapa jenis pura, masing-masing melayani fungsi tertentu dari ritual Bali di
seluruh kalender Bali. Pura-pura Bali diatur sesuai dengan dunia fisik dan spiritual orang-
orang Bali, yang sesuai dengan poros suci kaja-kelod, dari gunung di puncak dunia para
dewa, arwah hyang, dataran subur tengah di dunia manusia dan makhluk lain, sampai ke
pantai dan lautan, dan banyak alam di Indonesia.
Pura Tirta
disebut juga "Kuil Air", sejenis pura yang selain berfungsi keagamaan, juga memiliki fungsi
pengelolaan air sebagai bagian dari sistem irigasi Subak. Para pendeta di kuil-kuil ini
memiliki wewenang untuk mengelola alokasi air di sawah di desa-desa yang mengelilingi
candi. Beberapa kuil tirta terkenal karena air keramatnya dan memiliki 'petirtaan' atau kolam
pemandian suci untuk ritual pembersihan. Kuil air lainnya dibangun di dalam danau,
seperti Pura Ulun Danu Bratan. Contoh terbaik dari jenis pura ini adalah Pura Tirta Empul.
Pura Desa
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Dewa Brahma dan para Dewa, yang terletak
di dalam desa atau kota bersangkutan, berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan orang
Bali.
Pura Puseh
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Vishnu.
Pura Dalem
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah Shiva, Durga, ibu pertiwi, Banaspatiraja
(barong), Sang Bhuta Diyu, Sang Bhuta Garwa, dan dewa-dewa lainnya, Biasanya shakti
Siwa, Durga, dihormati di kuil ini. Dalam siklus hidup manusia, kuil ini terhubung dengan
ritual tentang kematian. Adalah umum juga untuk pura dalem memiliki pohon besar seperti
pohon beringin atau kepuh yang biasanya juga digunakan sebagai tempat suci. Pura Dalem
biasanya terletak di sebelah kuburan para leluhur sebelum upacara 'ngaben' '(kremasi).
Pura Mrajapati
Tipe pura yang didedikasikan untuk menyembah prajapati (penguasa orang) atau kekuatan
kosmik. Paling sering, di kuil ini Siwa disembah dalam bentuknya sebagai prajapati .
Pura Segara
"Kuil laut", sebuah pura yang terletak di tepi laut untuk menenangkan Dewa laut. Biasanya
penting selama ritual Melasti. Salah satu contoh dari jenis pura ini adalah Pura Tanah
Lot dan Pura Uluwatu.
Pura Swagina
pura yang memiliki keterikatan dengan karya/pekerjaan manusia sehingga sering disebut pura
fungsional. Pemuja dari pura-pura ini disatukan oleh kesamaan di dalam kekaryaan atau di
dalam mata pencaharian seperti; Pura Melanting untuk para pedagang, Pura Segara untuk
nelayan, Pura Subak, Pura Bedugul, Pura Ulundanu, Pura Ulunsuwi untuk para Petani tanah
basah maupun kering.
3. Vihara
4. Kelenteng
Klenteng atau kelenteng (bahasa Hokkian: 廟, bio) adalah sebutan untuk tempat ibadah
penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di
Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut
agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya sering dianggap sama dengan tempat
ibadah agama Konghucu. Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan
istilah tokong.[1] Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat
menyelenggarakan upacara.
Kelenteng adalah istilah “generic” untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa,
dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa, tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia,
sebagai contoh di Sumatra mereka menyebutnya bio; di Sumatra Timur mereka
menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan
di orang Hakka menyebut kelenteng dengan istilah thai Pakkung, pakkung
miau atau shinmiau. Tapi dengan waktu seiring, istilah ‘kelenteng’ menjadi umum dan mulai
meluas penggunaannya.[2]
Klenteng dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan
dinamakan Kwan Im Teng 觀音亭. Klenteng ini dipersembahkan kepada Kwan Im(觀音dewi
pewelas asih atau Avalokitesvara bodhisatva Dari kata Kwan Im Teng inilah orang
Indonesia akhirnya lebih mengenal kata Klenteng daripada Vihara, yang kemudian
melafalkannya sebagai Klenteng hingga saat ini. Klenteng juga disebut sebagai bio yang
merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng
di Republik Rakyat Tiongkok.
Pada mulanya, klenteng adalah tempat penghormatan pada leluhur 祠 "Ci" (rumah abuh) atau
dewa, masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai
rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang
pada awalnya dihormati oleh marga mereka. Seiring perkembangan zaman, penghormatan
kepada dewa-dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus yang dikenal sebagai klenteng
yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Di dalam klenteng bisa ditemukan
(bagian samping atau belakang) dikhususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati
oleh para sanak keluarga masing-masing. Ada pula di dalam klenteng disediakan tempat
untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur seperti ajaran-
ajaran Konghucu, Taoisme, dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha. Klenteng
selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para dewa-dewi, dan tempat mempelajari
berbagai ajaran, juga digunakan sebagai tempat yang damai untuk semua golongan tidak
memandang dari suku dan agama apapun.
Klenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja.
Selain Gong-guan (Kongkuan), Klenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam
kehidupan komunitas Tionghoa dimasa lampau.[3]
Pada masyarakat awam, banyak yang tidak mengetahui perbedaan dari klenteng dan vihara.
Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi. Klenteng
pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial
masyarakat selain berfungsi sebagai tempat spiritual. Namun, vihara juga ada yang
berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang
memang berasal dari Tiongkok. Contoh adalah kelenteng Taikak sie ( Da Jue si 大覺寺 )
Semarang yang termasuk tempat ibadah agama Buddha Mahayana. Hal ini perlu diketahui
bahwa vihara dalam bahasa Mandarin adalah si 寺. Contoh vihara Shaolin 少林 atau yang
dikenal dengan sebutan Shaolin si 少林寺.
Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa Gerakan 30
September pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan
Tionghoa termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng
yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian
mengadopsi nama dari bahasa Sanskerta atau bahasa Pali yang mengubah nama sebagai
vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan
peribadatan dan kepemilikan, sehingga terjadi kerancuan dalam membedakan klenteng
dengan vihara.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti
nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri
sebagai klenteng daripada vihara atau menamakan diri sebagai Tempat
Ibadah Tridharma (TITD).