Anda di halaman 1dari 14

Pura Besakih

Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan
belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan
pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan
bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan
nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.

Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri
Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada
mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung
Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI
HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar
beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-
bagikan kepada para pengikutnya.

Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama
para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang
dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan
belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan
ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya
(bebanten / sesaji)

Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat
pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktuSang
Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa
Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru,
disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha
kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya
berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan
membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang
akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan
tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya,
yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh
bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai
dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka
berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeyamemerintahkan agar
perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah
untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi
(payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu
disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya
diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi
namaBASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-
waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa
bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar
Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan
terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini
bernama Besakih.

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam
ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan
membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan
Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih
dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan.
Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan
secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga
fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi
lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang
dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya
dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan
bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa
Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang
pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.
Pura Lempuyang

Pura ini terletak di puncak bukit Bisbis, termasuk wilayah kecamatan Abang, Kabupaten Daerah
Tingkat II Karangasem, sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Ida Sanghyang
Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Icwara. Pura ini berstatus sebagai salah satu “Sad
Kahyangan Jagad” sehingga dengan demikian jelas bahwa pura ini merupakan penyungsungan
jagat yg terletak pada arah timur pulau Bali. Dengan demikian dilihat dari segi letak, dapat
dijelaskan bahwa fungsi dari pura ini sebagai perlambang untuk menjaga keseimbangan alam
semesta.

Awal berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini erat kaitannya dengan tibanya Bhatara Tiga di bali,
dimana antara lain disebutkan bahwa Bhatara Tiga tiba di di Bali pada hari Jumat Kliwon, wara
Tolu, bertepatan dengan sasih (bulan) Kalima pada tahun icaka 113 (sekitar November 191).
Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu bahwa diantara Bhatara Tiga itu Bhatara Gnijaya
berparhyangan di gunung Lempuyang (bukit bisbis). Bhatara Tiga tiba di Bali dari gunung
Semeru (Jawa Timur) atas perintah Bhatara Pacupati, untuk dijadikan junjungan pulau Bali.
Sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian seperti tibanya Raja Cri Jayacakti yang
kemudian bersemedhi disana adalah merupakan kelanjutan dan kelengkapan semata-mata. Di
Pura Lempuyang Luhur ini terdapat suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan dan
bersifat khusus ialah dengan terdapatnya serumpun bambu “Buluh Gading”. Di dalam ruas-ruas
bambu ini akan didapat “tirta” (air suci) yang lazim disebut “Tirta Pingit”, karena tidak setiap
orang yang dating sembahyang kesana akan memperolehnya, melainjkan hanya suatu kelompok
keturunan saja yang mendapatkan tirta tersebut, sedang dari warga lainnya tidak mungkin.
Pangempon Pura Lempuyang Luhur ialah seluruh kerama desa Puraayu, adapun susunan, jumlah
dan nama palinggih (bangunan suci) yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai
berikut:

 Sebuah Padmasana yang terletak pada bagian Utara menghadap ke Selatan sebagai
parhyangan Bhatara Luhuring Akasa
 Dua buah palinggih berbentuk seperti padmasana yang pondasinya menjadi satu terletak
pada bagian Timur menghadap ke Barat. Yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang
Gnijaya dan yang di sebelah Selatan sebagai Parhyangan para putera beliau.
 Sebuah Bale Pawedhan atau Phyasan sebagai tempat meletakkan sajen dan sekaligus
sebagai Bale Pawedhan (tempat memuja).
 Sebuah bangunan Gedong Pasimpenan, sebagai tempat menyimpan alat-alat upacara.

Palinggih yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur, lazim juga disebut Kahyangan “Tri Purusa”
yaitu Ciwa, Sadha Ciwa, dan Parama Ciwa sebagai perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Upacara aci atau pujawali di Pura Lempuyang Luhur ada dua jenis yaitu setiap enam bulan Bali
(210 hari) bertepatan dengan hari Kamis Umanis, wara Dungulan (Umanis Galungan) dan pada
setiap Purnamaning Wesaka (Purnama sasih kadasa).

Pemangku dari Pura Lempuyng Luhur ini selalu dijabat oleh satu keturunan secara tradisional
menurut garis purusa (patrilinial), sedang mengenai “pengangge” yang dipergunakan di Pura
Lempuyang Luhur ini selalu berwarna putih dan kuning. Bilamana aka diselenggarakan upacara
aci atau piodalan seluruh bahan-bahan ramuan disediakan oleh para “Truna” (pemuda),
sedangkan yang mengerjakannya adalah para “ “Daha” (krandan) ialah para wanita remaja. Ini
dimaksudkan agar, semuannya bersifat suci, karena rohaniah, walaupun kadang-kadang hal ini
belum dapat sebagai jaminan mengenai kesucian tersebut.

Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain
Besakih dan Ulun Danu Batur, yakni Pura Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak di
puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua
di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan
suci yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa
Iswara.

Pura Lempuyang Luhur dan Pura Sad Kahyangan lainnya didirikan pada abad ke-11 Masehi saat
Mpu Kuturan mendampingi Raja Udayana memerintah Bali bersama permaisurinya. Pura Sad
Kahyangan didirikan untuk melindungi Bali agar masyarakatnya tetap melakukan hal-hal yang
dibenarkan menurut ajaran agama.

Dari Pura Lempuyang inilah dipancarkan sinar kepemimpinan religius untuk menerangi jiwa
raga rakyat Bali mewujudkan cita-cita hidupnya membangun Bali yang aman sejahtera.
Pura Goa Lawah

Bhatara Tengahing Segara

Ava divas tarayanti


Sapta suryasya rasmayah.
Apah samudrriya dharaah. (Atharvaveda VII.107.1).

Maksudnya:
Sinar tujuh matahari itu menguapkan secara alami air laut ke langit biru. Kemudian dari langit
biru itu hujan diturunkan ke bumi.
Tuhan menciptakan alam dengan hukum-hukumnya yang disebut rta. Matahari bersinar
menyinari bumi. Air adalah unsur terbesar yang membangun bumi ini.

Demikianlah sinar matahari dengan panasnya menyinari bumi termasuk air laut dengan sangat
teratur. Itulah hukum alam ciptaan Tuhan. Air laut yang terkena sinar matahari menguap ke
langit biru. Air laut yang kena sinar matahari itu menguap menjadi mendung. Karena hukum
alam itu juga mendung menjadi hujan. Air hujan yang jatuh di gunung akan tersimpan dengan
baik kalau hutannya lebat. Dari proses ala ciptaan Tuhan inilah ada kesuburan di bumi. Bumi
yang subur itulah sumber kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Semuanya itu terjadi karena
rta yaitu hukum alam ciptaan Tuhan. Alangkah besarnya karunia Tuhan kepada umat manusia.
Itulah hutang manusia kepada Tuhan. Manusia akan sengsara kalau proses alam berdasarkan rta
itu diganggu.

Untuk menanamkan sikap hidup tidak merusak proses alam itulah Tuhan dipuja sebagai Dewa
Laut. Dalam tradisi Hindu di Bali Tuhan sebagai Dewa Laut itu disebut ''Bhatara Tengahing
Segara''. Di Bali Pura Goa Lawah merupakan Pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut.
Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung inilah sebagai pusat Pura
Segara di Bali untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut.

Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri
Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga.
Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki
penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menajdi
mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di
hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya
menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di
kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus
sampai ke Pura Goa Lawah. Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup.

Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar Usana Bali
dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun
atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada
abad ke XV Masehi. Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya
yang bernama ''Babading Dharma Wawu Anyeneng' yang isinya menyatakan tentang pendirian
beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun
107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai
penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia.

Upacara ini berfungsi sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang
diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya di lakukan di
Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.

Pura Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah simbol lingga
yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai simbol untuk memuja Tuhan yang salah
satu kemahakuasaannya mempertemukan unsur purusa dengan predana. Bertemunya purusa
sebagai unsur spirit dengan predana sebagai unsur meteri menyebabkan terjadinya penciptaan.
Demikiankah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai simbol pradana.
Hal ini untuk melukiskan proses alam di mana air laut menguap menjadi mendung dan mendung
menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam
yang dilukiskan oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukm Tuhan. Karena itulah di tepi
laut di Desa Pesinggahan dirikan Pura Goa Lawah dan di Gunung Agung dirikan Pura Besakih
dengan 18 kompleksnya yang utama. Di Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses
alam tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses itu
alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia.

Pujawali atau piodalan di Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara Tengahing Segara dan
Sang Hyang Basuki dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia. Di jeroan Pura, tepatnya di
mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru
Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari sebagai Pelinggih
Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai
pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.
Pura Uluwatu

Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur
Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan
sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura
Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin
di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi
ini.

Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga
dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan
Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini.
Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina
secara benar, tepat dan seimbang.

Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan
sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam
Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih,
Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura
Pusering Jagat.

Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut
Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat mengadakan
penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar
Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi
atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu
menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.

Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung.
Di candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu
dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun
yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat.

Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai
Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap seperti di Pura Luhur
Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat
pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan
berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana.

Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu sebagai salah
satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu
Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai pura yang didirikan
berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan
yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam
memberi energi kepada ciptaannya.

Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma
Pusat mengatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan
suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena
itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan
sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering khusus memuja Dewa Siwa
Rudra di Pura Luhur Uluwatu.

Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu
yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu
yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu
tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.

Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan
daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental itu
salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk
menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa
Brahma.

Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk menghilangkan
sesuatu yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi
spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura
Luhur Uluwatu.
Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura
Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara
Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura
Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Dang Hyang
Dwijendra pada abad ke-16 Masehi.

Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem Jurit dan
Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja.
Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan
Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau datang
ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena
kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu.

Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura Prasanak
tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura
Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua Pura
Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura
Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak.
Pura Batukaru

Pura Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa.
Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai
pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh -- sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan.

Tuhan sebagai sumber yang mempertemukan air dengan tanah sehingga muncullah kekuatan
untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh subur dengan
daunnya yang hijau mengandung klorofil sebagai zat yang menyelamatkan hidup. Pemujaan
Tuhan di Pura Luhur Batukaru hendaknya dijadikan media untuk membangun daya spiritual
membangun semangat hidup untuk secara sungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan
sumber-sumber air.

Dengan tanah yang terjaga kesuburannya dan sumber-sumber air terlindungi, maka tumbuh-
tumbuhan akan subur. Tumbuh-tumbuhan yang subur akan berlanjut terus apabila udara tidak
tercemar oleh emisi CO2. Udara yang tercemar akan dapat menimbulkan hujan asam yang
merusak pucuk tumbuhan-tumbuhan. Jadi pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh
memiliki makna yang dalam bagi kehidupan umat manusia di bumi ini. Adanya konferensi
tentang merubahan cuaca yang diikuti oleh 187 negara di Nusa Dua patut dijadikan momentum
untuk mengingatkan diri kita tentang nilai yang terkandung di balik Pemujaan Sang Hyang
Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru.
Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan.
Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru.
Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang
ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di
Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru.

Tujuan persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang
di Pura Luhur Batukaru mendapatkan keberhasilan. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang letaknya di
bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru.

Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki
di pancuran tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura Pancuran tersebut sebagai
tanda penyucian sakala dan niskala atau lahir batin sebagai syarat utama agar pemujaan dapat
dilakukan dengan kesucian jasmani dan rohani.

Pura Luhur Batukaru ini juga termasuk Pura Sad Kahyangan yang disebut dalam Lontar Kusuma
Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman denganPura
Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering
Jagat. Sebagai penggagas berdirinya Sad Kahyangan adalah Mpu Kuturan.

Banyak pandangan para ahli bahwa Mpu Kuturan mendirikan Sad Kahyangan Jagat untuk
memotivasi umat menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti,
Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti.

Pura Luhur Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat
bertapa sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada
umumnya. Pandangan tersebut didasarkan pada adanya penemuan sumber-sumber air dan
dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air ini dapat disimpulkan
bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para Wanaprastin untuk
menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut.

Setelah pendirian Pura Luhur Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan
dengan jelas bagaimana keberadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan
dari kitab Babad Buleleng. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada
tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman tidak ada
lagi musuh yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas kerajaan lalu mengadakan
perluasan ke Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam perjalanan bertemu dengan
daerah Batukaru yang merupakan daerah Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
bersama prajuritnya lalu merusak Pura Luhur Batukaru. Pura tersebut diobrak-abriknya.

Di luar perhitungan Ki Panji Sakti tiba-tiba datang tawon banyak sekali galak menyengat entah
dari mana asalnya. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang
galak dan berbisa itu. Ki Panji Sakti lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan
niatnya untuk menyerang kerajaan Tabanan. Karena pura tersebut dirusak oleh Ki Panji Sakti
maka bangunan pelinggih rusak total. Tinggal onggokan berupa puing-puing saja.

Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti
sekarang ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dari pemerintah daerah
berupa bantuan. Sampai sekarang Pura Luhur Batukaru sudah semakin baik keadaannya.
Pura Pusering Jagat

Pura Pusering Jagat berada di Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring, Gianyar. Pura Pusering
Jagat ini tergolong pura yang sangat tua usianya. Di dalam pura ini terdapat banyak peninggalan
purbakala. Pura Pusering Jagat ini dalam Lontar Kusuma Dewa disebut Pura Pusering Tasik
sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan di Bali. Tidak kurang dari sembilan lontar yang ada
di Bali menyatakan tentang Sad Kahyangan yang berbeda-beda. Tahun 1979 pernah dilakukan
penelitian tentang keberadaan Sad Kahyangan di Bali oleh tim peneliti IHD (Unhi sekarang).
Tim peneliti tersebut menetapkan Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa
tersebut sebagai Sad Kahyangan di Bali. Hal itu dilakukan karena Sad Kahyangan yang
dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu didirikan saat Bali masih bersatu dalam satu
kerajaan dengan Mpu Kuturan sebagai Pandita Kerajaan. Setelah Bali menjadi sembilan
kerajaan, sepertinya tiap-tiap kerajaan di Bali memiliki Sad Kahyangannya masing-masing. Hal
inilah yang menyebabkan adanya beberapa lontar menyatakan adanya Sad Kahyangan yang
berbeda-beda.

Dalam Lontar Kusuma Dewa itu Pura Pusering Jagat dinyatakan sebagai tempat pemujaan
Batara Amangkurat. Artinya di Pura Pusering Jagat ini Tuhan dipuja sebagai dewa penuntun
mereka yang sedang memangku jabatan menata kehidupan rakyat. Penguasa itu akan mengabdi
pada yang dikuasai apabila mereka yang berkuasa itu adalah mereka yang memiliki sikap hidup
yang religius. Tanpa religiusitas yang kuat penguasa dapat berbuat sewenang-wenang pada
rakyat yang dikuasainya. Di Pura Pusering Jagat ini palinggih yang paling utama adalah
Palinggih Ratu Pusering Jagat.

Di samping itu terdapat palinggih yang disebut Gedong Purusa. Di palinggih ini terdapat simbol
Purusa dan Pradana yang digambarkan dengan alat reproduksi laki-laki dan perempuan. Dalam
ajaran Samkhya Yoga, Purusa dan Pradana ini adalah ciptaan Tuhan (Iswara) yang pertama.
Purusa adalah benih-benih kejiwaan, sedangkan Pradana adalah benih-benih kebendaan. Melalui
Purusa dan Pradana inilah Tuhan menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk mengisi alam
semesta ini. Hal ini juga berarti para penguasa yang memuja Tuhan di Pura Pusering Jagat ini
diharapkan mendapatkan kekuatan spiritual untuk menyeimbangkan eksistensi Purusa dan
Pradana agar terus bersinergi. Dengan kuatnya sinergi Purusa atau unsur kejiwaan dengan
Pradana unsur kebendaan maka akan terciptalah berbagai sumber kehidupan untuk mewujudkan
kehidupan yang sejahtera lahir batin. Swadharma utama para penguasa rakyat (Sang
Amangkurat) adalah mengupayakan terciptanya nilai-nilai kejiwaan dan kebendaan secara
berkesinambungan untuk membangun manusia dan masyarakat yang semakin berkualitas. Di
samping Palinggih Gedong Purusa ada Palinggih Ratu Sidakarya. Palinggih ini sebagai sarana
memuja Tuhan untuk menguatkan spiritualitas umat yang memuja Tuhan untuk mencapai
keberhasilan dalam kerjanya (sidhakarya). Tujuan memuja Tuhan untuk meningkatkan etos kerja
umat dalam menyelenggarakan kehidupannya.

Tujuan pemujaan Tuhan di Pura Sad Kahyangan di Bali memang untuk menegakkan Sad Kerti
yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti. Sad Kerti
itu enam upaya untuk menjaga eksistensi kesucian atman, fungsi samudera, hutan, sumber air,
sistem sosial dan individu yang solid. Di timur Gedong Purusa terdapat peninggalan kuno
berbentuk bejana yang disebut sangku sudamala. Bejana ini sebagai simbol wadah air suci untuk
menyucikan hidup manusia. Karena dengan kesucian itulah dharma dapat ditegakkan dalam
hidup ini. Di sangku sudamala ini ada gambar yang menandakan angka tahun Saka 1251. Di
sebelah kanan Palinggih Sidakarya terdapat Palinggih Catur Muka. Palinggih ini sebagai media
pemujaan Dewa Catur Loka Pala manifestasi Tuhan sebagai pelindung empat arah. Lewat
pemujaan Tuhan sebagai Catur Muka yaitu Dewa Iswara, Dewa Brahma, Dewa Maha Dewa dan
Dewa Wisnu ini dimohonkan terciptanya sumber-sumber kehidupan berupa rasa aman dan
sejahtera di semua penjuru dunia. Hal ini dimaksudkan untuk memohon adanya pemerataan yang
adil untuk memperoleh kehidupan yang aman dan sejahtera di semua penjuru yang mesti
diupayakan oleh mereka yang memegang jabatan untuk melayani publik atau jagat.

Anda mungkin juga menyukai