Anda di halaman 1dari 27

AJI SANGKHYA

OLEH : IDA KETUT DJELANTIK

ALIH BAHASA OLEH GEDE SANDHI B.A.

Diterbitkan oleh: Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha. Proyek Penerangan Bimbingan dan Dakwah Agama Hindu dan Budha. 1973
1

CETANA DAN ACETANA


Yang dijadikan obyek utama dalam pembahasan buku ini adalah Dia yang dualis, yang sama kemuliaan dan keutamaan-Nya, samasama gaib dan bersifat rahasia, luput dari pengaruh suka duka. Dalam ilmu pengetahuan disebut CETANA dan ACETANA. Cetana dan acetana itu keadaan dan tempatnya adalah bertentangan. Cetana bersifat suci bersih, bijaksana, sadar tiada ketempatan lupa, lurus tiada putus dan akhir. Cetana bertempat diatas (luhur). Acetana yang bertempat dibawah, bersifat lupa tak sadar bagaikan batu layaknya. Meskipun memiliki kemuliaan dan kegaiban yang sama dan keduadua-Nya luput dari suka duka, namun hanya Cetana saja yang mampu memasuki tattva yang berada diatas dan itulah sebabnya maka lebih unggul tattva yang berada diatas. Pada waktu Cetana dan Acetana bertemu, melahirkan adanya semua yang berwujud ciptaan, terutama alam semesta seperti apa yang akan diuraikan selanjutnya. Apabila keduanya terpisah maka akan lenyaplah alam semesta ini bagaikan impian yang lenyap mengikuti kesadaran yang bangun dari tidur. Cetana dan Acetana itulah yang disebut Civa-Tattva dan MayaTattva. Cetana disebut Civa-Tattva dan Acetana disebut MayaTattva. Oleh karena Cetana itu ada yang bersifat kuat, sedang dan kendor (lemah), maka menurut sifatnya dibagi atas tiga bagian dengan nama : Siva, Sada Siva dan Parama Siva. Masing-masing akan diuraikan sebagai tertera dibawah ini.

I. PARAMA SIVA TATTVA Kesadaran pertama itu adalah yang paling luhur dan utama, itulah yang sejati bersih dan bening, sebab tiada terselubung oleh apapun juga. Dia kekal tiada berubah, tiada dilahirkan, tiada tua maupun

tidak akan mati. Tiada awal dan tiada akhir tegak tiada bergoyang, tiada mengalir dan berjalan. Bukan suara, peraba, rasa dan bau, juga bukan hal. Oleh karena itu maka tak dapat mendengar, merasa, melihat, mencium maupun berfikir. Benar-benar bersih sebab tiada terjamah oleh penyakit suka duka. Ia tiada termasuk kedalam cyclus utpatti sethiti dan praline yaitu lingkaran kelahiran, hidup dan mati, tiada terhitung sebab tiada terbilang, pendek kata Dia bukan hal yang dapat dibandingkan. Dialah yang sering dijadikan teka-teki oleh para arif bijaksana (Wiku) yaitu Dia yang ada pada inti bawang yang berada dalam empulur buluh. Dialah yang disebut Parama Siva Tattva, yang menjadi sumber dari segala yang hidup, yang memenuhi luar dan dalam dari segala yang ada, baik yang tampak maupun yang tiada tampak. Dialah kesadaran tertinggi yang tiada terjamah oleh lupa dan yang sejati hidup. Dialah yang disebut dengan nama SANGHYANG WIDHI.

II. SADA SIVA TATTVA Kesadaran tingkat kedua berada dibawah Parama Siva, juga sama bersifat gaib, suci nirmala yang menjadi jiwa dari segala yang bernyawa, Guru Besar dari para Guru yang selalu dipuji, dijunjung dan dimuliakan serta dipikirkan oleh para Wiku umumnya. Meskipun seolah-olah sama kegaiban dan sifat-sifat yang dimiliki oleh kesadaran yang pertama itu, namun ada hal-hal yang membedakannya, sebab Dia telah mulai terjamah oleh kebingungan. Tetapi kebingungan yang ada pada beliau itu adalah berupa kekuatan (kesaktian) yang dapat memenuhi apa yang dikehendaki, artinya apa yang dipikirkan dan dikehendaki terwujud dalam seketika. Kekuatan yang dapat memenuhi segala kehendaknya itu disebut : PADMASANA. Kalau dibandingkan dekat artinya dengan bentuk bunga teratai. Symbul bunga teratai itu adalah menandakan kekuatan beliau yang tiada terbatas,
3

bagaikan lapisan bunga teratai. Padmasana itu juga disebut Cadu Sakti. Cadu sakti berarti memiliki empat kemaha-kuasaan yang disebut : 1. Dnjana Sakti 2. Wibhu Sakti 3. Prabu Sakti 4. Kriya Sakti Dnjana Sakti terdiri atas tiga kekuatan yaitu : 1) Duradarsana : memiliki pengamatan tembus 2) Durasrawana : memiliki pendengaran tembus 3) Duradnjana : memiliki pemikiran tembus Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa sejauh-jauh warna, rupa, suara dan pikiran dari segala mahluk dapat dilihat, didengar dan diketahui oleh-Nya. Wibhu Sakti : memiliki kekuatan yang amat gaib. Dapat memenuhi dan memasuki segala yang ada, namun sangat gaib dan rahasia tak tampak oleh mata, bagaikan api yang terdapat dalam kayu, bagaikan minyak dalam susu, demikian kegaiban-Nya yang menembus luar dan dalam dari segala yang ada. Prabu Sakti : Dialah yang menguasai alam semesta. Tiada sesuatu yang dapat menolak perintahnya, tunduk patuh tanpa reserve, benar-benar Raja baik lahir maupun batin. Kriya Sakti : maha karya. Alam semesta dan segala isinya adalah diantara beliau itu. Disamping itu masih ada pula kekuasaan beliau yang jumlahnya delapan jenis yaitu : 1) Anima : dapat dibentuk besar maupun kecil, gaib bagaikan langit, memenuhi yang sebesar-besarnya dan dapat memasuki yang sekecil-kecilnya. 2) Lagima : maha berat dan maha ringan, dapat mengambang diatas air dan berjalan diudara. 3) Mahima : dipuja dan disembah dimana-mana, bahagia disebarang tempat. 4) Prapti : terjadi apa yang dikehendaki, tercapai sebarang keinginannya.

5) Prakamia : dapat berwujud bayi, dewasa maupun tua, menjadi lelaki maupun perempuan, juga mampu memasuki pikiran dari segala yang berpikir. 6) Isitwa : disurga maupun dikahyangan disembah dan dimuliakan oleh para dewa, dapat memerintah dan mengusir para Dewata di kahyangan. 7) Wasitwa : tiada terhalang sebarang perintahnya, tiada hangus oleh api, tiada basah oleh air. Dalam sekejap mengitari alam semesta, bebas dari mara bahaya masuk dan bergerak didalam air, tanah, cahaya dan angin maupun langit. 8) Jatrakamawasjitwa : terkabul barang perintahnya, terlaksana sekehendaknya, kendati menurunkan derajat Dewa menjadi manusia. Sebenarnya tidak mungkin kita dapat melukiskan kekuasaan dan sifat-sifatNya yang memenuhi alam semesta tiada batas dan akhir itu. Dalam Padmasana itu beliau berada pada waktu berwujud Mantra, Sanghyang Isana sebagai kepala, Tatpurusa selaku bibir, Sanghyang Agora selaku hredaya (bathin), Bamadewa sebagai pusat pikiran dan selaku badan adalah Sanghyang Sadiodjata. Demikianlah hakekat Sanghyang Sada Siva itu. Sebagai bahan tambahan dan ulangan mengenai keadaan Sanghyang Parama Siva itu telah diuraikan diatas bahwasannya beliau itu adalah kekal, tiada keinginan maupun kebingungan. Disini pada Sanghyang Sada Siva telah mulai terjamah oleh wisaja (keinginan), yang berupa kekuatan (kesaktian) yang menyebabkan kebingungan. Jadi keinginan yang berupa kekuatan itulah yang menjadi wilayah Sanghyang Sada Siva itu. Sanghyang Sada Sivalah yang seakan-akan menjadi alat Sanghyang Widhi dalam mengendalikan dan menentukan segala mahluk, justru karena itu beliau disebut Sanghyang Titah, Sanghyang Wisesa, Sanghyang Maha Guru, Sanghyang Wasa Wasitwa. Sebenarnya masih banyak gelar yang diberikan kepada beliau yang kiranya belum perlu diuraikan pada bagian ini.
5

III. SIVATMA TATVA Kesadaran ketiga dibawah Sada Siva Tattva dinamai Sanghyang Sivatma, juga disebut Sanghyang Mayasira Tattva, Sanghyang Dharma, Sanghyang Jagatkarana, Sanghyang Iswara dan Sanghyang Rudra. Sivatma Tattva inilah yang dikatakan mulai terjamah oleh hembusan dari Tattva yang berada dibawah yang disebut ACETANA, yang berarti lupa, atau tak sadar. Kesadaran yang telah bercampur dengan lupa itu mengakibatkan agak bingung. Tegasnya Sanghyang Sivatma Tattva telah terjamah oleh bingung. Kebingungan inilah yang menyebabkan beliau itu gelisah, ingin mengadakan serba tattva. Serba Tattva disini yang dimaksud adalah dari PURUSA TATTVA menurun hingga pada PANCA MAHABHUTA TATTVA, sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Perlu pula ditegaskan bahwa Sanghyang Siva yang tiga itu yaitu Parama Siva, Sada Siva dan Sivatma itu pada hakekatnya adalah tunggal, semua bersifat suci dan bersih yang menjadi sumber kehidupan alam semesta. Yang menyebabkan seakan-akan ada perbedaan diantara beliau-beliau itu sebenarnya terletak pada pengaruh kesadaran beliau-beliau itu saja. Seperti misalnya Sanghyang Surya bersih bening berkilauan tiada noda. Namun cahaya beliau yang menyinari alam semesta ini terkena oleh bermacam warna lagi pula ada yang bersih dan ada yang kotor. Keadaan yang demikian itulah yang menyebabkan seolah-olah beliau itu berbeda-beda. Demikian halnya ketiga Sanghyang Siva itu hanya pengaruh kesadaran beliau yang memenuhi alam semesta ini dapat bercampur oleh bermacam-macam warna seakan-akan beliau itu berbeda-beda. Jelaslah bahwa hanya pengaruh kesadaran beliau itulah yang kemudian terkena oleh Maya lalu bercampur, itulah yang disebut Sanghyang Sivatma atau MAYASIRA TATTVA.

IV. PURUSA DAN PERDANA TATTVA Setelah Siva dan Maya itu bertemu maka lahirlah PURUSA dan PERDANA TATTVA. Oleh karena kedua tattva itu mempunyai sifat dan wisaja yang berbeda maka dibawah ini diuraikan dari masing-masing bagian itu. a. PURUSA TATTVA Siva dan Maya itu diumpamakan seperti ayah dan ibu. Putranya adalah Purusa Tattva. Sifat dari Purusa Tattva banyak mengambil dari sifat kesadaran sang ayah. Akan tetapi oleh karena bibit itu telah tercampur oleh ketidaksadaran, sekurang-kurangnya kesadarannya telah menurun, kurang kalau dibandingkan dengan kesadaran sang ayah (Sanghyang Siva). Jadi telah bertambah bingung dan gelisah. Kegelisahan beliau berbentuk wilayah tahu (wisaja-weruh). Tegasnya beliaulah yang mempunyai wilayah tahu itu, atau senang tahu. Maka Sanghyang Purusa Tattva itu adalah senang tahu akan segala yang ada seperti : dunia dan seisinya, sama halnya dengan mata yang mempunyai wilayah yang senang melihat segala yang berbentuk dan berwarna, bagaikan pikiran senang berpikir, seperti senang menyinari. Demikianlah halnya Sanghyang Purusa Tattva sulit untuk tidak tahu. Dikatan bahwa arah kekuatan disini menuju keatas. b. PRADANA TATTVA Pradana Tattva yang banyak mengambil sifat-sifat ketidak sadaran sang ibu yaitu Maya Tattva, benar-benar menjadikan Pradana Tattva itu penuh lupa. Segala sesuatu yang bersifat lupa pastilah tidak bersifat tahu. Itulah sebabnya Pradana Tattva itu bukannya yang tahu tetapi justru yang diketahui oleh Purusa Tattva. Artinya apa yang diketahui oleh Purusa Tattva itulah yang bernama Pradana Tattva.
7

Apabila Purusa Tattva itu tersebar luas memenuhi alam semesta, maka Pradana Tattva pun tiada berbeda penuh sesak memenuhi sarwa sekalian alam. Sang Purusa menebar urip, Sang Pradana menyediakan wadah, Sang Purusa menyebarluaskan tahu, maka Sang Pradana tiada ketinggalan menyebarluaskan yang diketahui. Tegasnya meskipun Pradana Tattva itu keadaannya bertentangan namun pada hakekatnya bertemu, sebab tarik menarik yang tak mudah untuk dipisahkan. Dunia dan segala isinya adalah terbentuk dari Purusa Pradana. Tiada sesuatu dalam alam semesta ini yang tiada terdapat Pradana Purusa. Purusa sebagai urip maka Pradana adalah sarira. Sebenarnya Pradana itu adalah badan dari Purusa, oleh karena itu maka semua perwujudan yang ada didunia ini adalah PradanaPurusa. Apabila Purusa pisah dari Pradana maka ia akan pulang ke Sivatattva, Sivatattwa pisah dari Maya pulang ke Sadasivatattva, Sadasivatattva pisah dari kebingungan (biahpara) yaitu asta iswarya atau yang disebut Padmasana itu maka ia akan pulang ke Paramasivatattva yang sejati suci nirmala, juga disebut Paramamoksa. Demikian sebaliknya apabila Pradana dan Purusa tetap bersenyawa maka hidup ini akan terus berwujud, dan dari perwujudan ini akan membentuk badan lagi dan begitu seterusnya hingga berlapis-lapis. Suatu contoh dalam hal ini adalah kelapa. Jika minyak itu dianggap Purusa (urip), maka santan adalah Pradana. Demikian halnya persenyawaan antara Purusa dan Pradana itu menyebabkan baik jasmani maupun rohani itu berlapis-lapis hingga tiada bagian dari alam semesta ini yang luput dari Purusa dan Pradanatattva. V. CITTA Dari pertemuan antara pradana purusa itu artinya setelah tahu dan yang siketahui itu lekat maka lahirlah citta. Cita itu banyak mengambil kesadaran sang purusa yang dianggap sebagai asal, tetapi oleh karena bibit itu telah terpengaruh oleh ketidak sadaran,
8

sudah tentu kesadaran sang cita lebih rendah dari Purusatattwa, jadi sudah bertambah bingung. Ketidaksadaran yang ada pada sang cita itu dinamakan Tri Guna, triguna adalah atribut atau sifat dari pada cita. Tri guna banyak mengambil sifat-sifat Pradana sebagai sang ibu, dan oleh karena itu menyebabkan sang cita bertambah tak sadar; itulah sebabnya sulit bagi sang cita untuk pulang ke Purusatattva, sama halnya dengan kesulitan Purusa pulang ke Sivatattva oleh karena telah terkena penyakit sang Prana. Begitu halnya sang Sivatmatattva sulit untuk kembali ke Sadasivatattva oleh karena terikat oleh maya yang menjadi biang ketidaksadaran itu. Dalam Tri Guna terkandung tiga atribut atau sifat yang dinamakan : satva, rajah dan tamah. Meskipun triguna banyak memiliki ketidaksadaran, namun masih ada jua sifat-sifat sadar itu yang didapat dari sang ayah yaitu Purusatattva. Yang terbanyak memiliki kesadaran dari ketiganya itu adalah satva, sang rajah sudah lebih bingung namun yang paling bingung adalah sang tamah. Oleh karena ketiganya mempunyai sifat dan watak yang berbeda-beda maka dibawah ini diuraikan lebih lanjut untuk mendapat gambaran yang lebih jelas. a. Satva Satva adalah sifat yang paling sadar, cerdas dan cemerlang. Semua tingkah laku yang bersendikan keadilan dan kebenaran (Dharma) adalah gerak satva. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa cita satva itu adalah perwujudan dari gerak Tri Kaya Parisuda artinya pikiran, perkataan dan perbuatan itu bersih dan benar. Cita satva itu menjadikan orang disekitar kita tenteram dan bahagia. b. Rajah Yang terbaik dari sifat-sifat rajah itu adalah gemar pada yang menurut, yang memuji, tetapi sangat pantang pada yang menentangnya. Adapula padanya sifat tepat, taat dan setia. Lain daripada itu ada usaha dan kegiatan, namun sifat-sifat sombong, angkuh, mementingkan diri sendiri, ngawur dan tidak mau bertimbang rasa. Dalam kata-kata adalah kaku, suka memaki, menantang, sumbar dairi sinilah asalnya. Dalam pikiran suka
9

marah, dengki, irihati, dendam. Tegasnya cita rajah itu adalah kelompok yang menyebabkan rasa takut dan susah bagi orang lain. c. Tamah Apalagi sifat sang tamah ini, sudah jelas yang paling tak sadar, sifat-sifat pengantuk, gugup, kumal dan malas, bodoh disamping sifat pembohong. Ada kalanya terang sesaat yaitu pada waktu memenuhi hawa nafsu. Disitulah persidangan semua tingkah jahat, jauh daripada sifat-sifat susila, asal menyenangkan bagi dirinya sendiri tak peduli pada kesulitan orang lain. Itulah sifat tamah. Penjelasan : Tri Guna yaitu sifat-sifat satva, rajah dan tamah itu adalah pendorong kegiatan yang menjadi perwujudan tingkah laku umat manusia. Sebagai mana telah dijelaskan diatas, sifat-sifat satva, rajah dan tamah itu sangat berlawanan, tetapi ketiganya itu adalah sumber daripada kekuatan, sangat berkuasa sangat sulit untuk mengelakan. Ketiga cita itulah sumber daripada sebab musabab yang akan membawa baik-buruk, suka-duka, sorga neraka dan juga selaku penuntun menuju moksa. VI. BUDHI Apabila sang cita itu telah terikat oleh kesenangan dan kenikmatan, yaitu kenikmatan yang berupa satva, rajah dan tamah, bagaikan pengantin yang sedang dimabuk asmara maka lahirlah Budhi. Budhi dalam hal kesadaran adalah lebih rendah dari pada sang Cita yang telah susut kesadarannya. Sudah jelas bertambah bingung dan bimbang bahkan menjadi ragu-ragu dan tidak serius. Tahunya tiada mendalam seolah-olah tidak tahu, mengerti seakan tidak ngerti namun dikata tidak juga tidak kena, ada kesungguhan namun tidak serius, demikian gambaran budhi itu terhadap masalah oleh karena telah banyak kesadaran itu tercampur oleh lupa. Mengenai sang budhi sudah banyak wilayah ketidaksadarannya dan beraneka warna. Untuk dapat meninjau dunia budhi dengan serba ringkas yang termasuk didalamnya adalah : Caturaiswarya, Astatuti, Astasidi dan Pancawretaya. Dibawah ini akan diuraikan dengan serba ringkas dari bagian-bagian tersebut.
10

c. ASTA SIDI Asta sidi berarti kesanggupan mencapai sesuatu yang jumlahnya delapan bagian.Jenis-jenis dan keterangannya adalah sebagai tersebut di bawah ini : 1. DANA. Sebagaimana halnya sudah jelas bahwa arti dana itu adalah beramal dan berbakti. Masih banyak pembagian daripada dana itu akan tetapi disini hanya diambil yang pokok-pokok saja. Drewya dana artinya ikhlas mengamalkan kekayaan seperti emas, uang, sawah, lading, permata dsb. Priya dana artinya ikhlas mengamalkan apa-apa yang dicintai seperti anak, saudara, istri dsb. Sariradana berarti ikhlas mengamalkan jiwa raga. Ketiga bagian dana tersebut diatas tertuju pada orang yang patut, bagi barang siapa yang mementingkan kebahagiaan dunia. Jelasnya ialah agar dasar dan tujuan daripada dana itu bersifat baik menuju dan menghasilkan yang baik pula. Sebaiknya segala macam dana itu agar diikuti oleh sikap yang menyenangkan, keluar dari hati yang tulus ikhlas, mendalam dan tanpa pamerih, tidak memperhitungkan pembalasan. Lain daripada itu ada lagi semacam dana yang mampu dilaksanakan oleh orang yang sekalipun miskin dan dapat mengalahkan drewya dana yaitu yang dinamakan abajadana Dasar pelaksanaannya ialah tiada pernah menyakiti sesama mahluk apalagi terhadap manusia. Sang abaja-dana sangat memperhatikan tingkah laku, pikiran dan kata-kata yang selalu menyenangkan orang lain. Sang abaja-dana adalah benar-benar merupakan sumber kebahagiaan, bagaikan danau yang selalu mengalirkan air yang jernih bagi orang disekitarnya. Arti dana yang paling penting ialah dapat

11

menghilangkan kegelapan pikiran yang bersifat kikir dan mementingkan diri sendiri. Hanya dengan keikhlasan beramal kepada orang yang patut menerima, mengikhlaskan apa yang kita cintai bagi menolong seamanya yang menderita; Pada tingkatan ini orang akan menemui rasa tulus ikhlas tanpa batas, bagaikan cahaya matahari yang gemilang tanpa noda. 2. ADIAJANA. Disini berarti bhakti kepada Tuhan dengan jalan memanjatkan doa, rajin mempelajari kitab-kitab suci serta memikirkan ajaran-ajaran yang menuju kepada kebahagiaan dan kedamaian. SABDA. Dapat menerima ilham dengan jalan rajin dan mendalami ajaran-ajaran suci. Dengan jalan ini segala sesuatu yang tak dapat dipecahkan dengan jalan pikiran menjadi terang melalui ilham.

3.

4.

TARKA Yang telah memiliki dugaan yang tepat. Bebas dari rasa purba sangka, sehingga alas an-alasan yang dimajukannya menjadi tepat. 5. LUPUT SAKING BOTIKADUHKA. Bebas dari segala jenis penyakit bikinan dunia, seperti : racun, senjata, penyakit yang berasal dari binatang, kayu dsb. 6. LUPUT SAKING ADIDEWIKADUHKA. Bebas dari penyakit yang berasal dari halhal yang gaib, seperti : gila, ayan, kasurupan dsb. 7. LUPUT SAKING ADIAMIKADUHKA. Luput dari penyakit yang disebabkan oleh pikiran seperti : marah, loba, irihati, sakit hati dsb.
12

8.

UTAMASIDI. Disini dijelaskan adalah yang telah mencapai yoga, seperti Yogiswara. Orang yang telah mendalam dalam ilmu yoga dan telah mencapai astaaiswarya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Sadasiva Tattva.

Asta Sidi ini juga dibagi atas pengelompokan sebagai berikut : dari 1 s.d. 4 disebut Wahya Sidi, dari 5 s.d. 7 Diatmika Sidi dan yang ke 8 bernama Utama Sidi. d. KEBALIKAN CATURAISWARYA Kebalikan dari caturaiswarya juga banyaknya empat yaitu : 1. Adharma, 2. Adnjana, 3. Aweragia, 4. Aaiswarya. Huruf a berarti menolak atau lawan dari pada kata-kata yang terletak di belakangnya. Jadi a-dharma berarti tidak dharma atau lawan daripada dharma. Orang yang adharma adalah orang yang anti terhadap suatu yang baik, atau susila. Kepercayaan terhadap adanya sorga dan neraka dianggap kepercayaan orang bingung. Dia tiada percaya terhadap halhal yang abstract atau yang gaib. Adnjana : orang yang tiada memiliki pengertian pratyaksa, anumana dan agama. Aweragia : orang yang sangat mementingkan kesenangan duniawi. Aaiswarya : miskindalam segala-galanya. Miskin harta benda dan pengetahuan, hanya memiliki sakit hati dan diselimuti terkurung oleh rajah tamah. e. PANCA WRETAYA Ada lima kebingungan yang bermukim dalam budi yang dinamakan panca-wretaya, atau disebut panca wiparya. Dibawah ini dijelaskan macam-macam sifat yang menyebabkan kebingungan sang budi itu.

13

Awidya = bodoh. Yang dimaksud bodoh disini adalah tidak adanya pengetahuan tentang rohani. Misalnya mengenai : pikiran, cita, budi dan terutama mengenai pradana adalah bagian dari pada jiwa (rohani). Oleh ketidak tahuannya itu menyebabkan pikiran itu hanya mengalir kepada yang duniawi saja, mengejar kesenangnan duniawi sajayang pada hakekatnya tidak kekalitu dan yang menjadi sumber kesengsaraan dan penderitaan. Oleh karena awidya itu adalah merupakan biang daripada panca-wretaya itu maka yang empat lagi temennya itu akan mempercepat mendorong kearah jurang prihatin, oleh karena sangat bingung. Semakin malas mempelajari tattva semakin bertambah gemuk awidya itu, semakin besar loba dan semakin dibelenggu oleh penderitaan. Asmita = merasa ada. Asmitalah yang menyebabkan diri kita ini merasa ada, begitu pula terhadap yang lain. Merasa ada ini mempunyai pengaruh dan keinginan terhadap apa yang dirasa ada misalnya adanya langit. Itulah sebabnya ia ingin bercampur dengan langit, ingin berjalan dilangit dan tinggi seperti langit. Asmita juga disebut moha. Raga = kehendak. Kehendak itu tak pernah ada putusnya dan puasnya. Ia lepas dari Sang Hyang Widhi, tertarik oleh keinginan astaiswarya, ingin menikmati kesenangan dan merasakan kesaktian. Raga itu juga disebut maha moha. Dwesa = benci. Kalau kehendak itu selalu diikuti, ditaati kemauannya maka dengan tiada kita sadari kita telah masuk kealam dwesa yaitu benci terhadap jalan yang benar jalan yang menuju pada kebahagiaan dunia. Dwesa adalah sahabat karib dari raga yang sangat cepat membawa kedalam jurang sakit hati. Abiniwesa = andatamisra = andatasmira. Artinya sangat takut kehilangan barang-barang yang merasa telah menjadi miliknya. Sangat terikat oleh harta kekayaan. Orang yang seperti itu sudah tentu sangat sedih kalau kehilangan sesuatu,

14

oleh karena ia sangat lekat dan saying akan barang-barang itu takut meninggalkan untuk mencari yang lebih berharga. KETERANGAN Sangat sedikit orang yang mampu melepaskan diri dari belenggu rantai baja panca wretaya itu. Disebutkan bahwa tidak sedikit yogi yang terlena karena menikmati si pancawretaya yang laksana taman firdaus menyebabkan orang terpesona akan keindahan menyebabkan terlambat menuju moksa-bawana. Namun meskipun demikian bagi yang benar-benar memahami keadaan yang demikian itu dan tiada sesuatau yang dapat menolong melepaskan diri kita dari penderitaan dan benar-benar memahami bahwa hanya diri sendirilah yang dapat menolong diri kita sendiri. Orang yang demikian itu selalu mencari jalan dan berusaha keras mencari celah-celah yang mungkin dapat melepaskan diri dari hembusan angina putting beliungnya pancawretaya yang maha deras itu. VII. AHENGKARA Setelah budi itu melekat dengan wilayah keinginannya (wisaya) bagaikan pertemuan antara sepasang suami istri yang dalam keadaan kasih mesra maka setelah mengandung lahirlah sang ahengkara. Ada baiknya disini dijelaskan bahwa budi itu turun setingkat maka menjadilah ahengkara. Wilayah keinginan ahengkara itu adalah mengakui. Dari sinilah pula timbulnya alam pikiran yang menganggap bahwa ini punyaku semua itu adalah miliku. Dialah yang selalu menjadi saksi utama untuk membenarkan segala sesuatu yang menjadi milik di dunia ini. Dia selalu berusaha agar semua bisa dimiliki. Demikianlah keinginan si ahengkara itu yang sangat sulit untuk menggantikan apalagi untuk menghilangkan. Timbul marah dengki irihati dan dendam apalagi maksudnya tidak terpenuhi. Biasanya ahengkara itu selalu dihiduphidupkan dan dipelihara namun bagi orang yang mementingkan kebahagiaan sejati ia selalu berusaha untuk membunuhnya, dibakar dengan dnyana seperti dengan tapa berate dan samadi.

15

Ahengkara itu mempunyai wilayah keinginan yang bernama : wekerta, tejasa dan butadi. Ketiganya mempunyai sifat-sifat yang sama dengan satwa rajah tamah yang bernama tri guna itu, sebagai sifat sang cita. Wekerta sama dengan satva, tejasa = rajah dan butadi = tamah. Budi yang menurunkan ahengkara juga dijadikan sifat oleh sang ahengkara oleh karena itu sang ahengkara memiliki sifat-sifat : budi wekerta, budi tejasa dan budi tamasa. Untuk melengkapi keterangan mengenai tri guna maka disini akan dijelaskan satu persatu sifat-sifat dari ahengkara itu oleh karena masing-masing mempunyai bagian-bagiannya sendiri. VIII. EKADASA INDRIA DAN PANCA TAN MATRA a. EKA DASA INDRIA Dari budi ahengkara wekerta maka lahirlah e k a d a s a indria. Eka dasa berarti sebelas.Indria itu adalah yang terdapat dalam tubuh yang dipergunakan untuk mengenal dan melaksanakan sesuatu.Bilangan,nama dan fungsinya adalah sebagai dibawah: 1. SROTENDRIA 2. TUAK INDRIA 3. CAKSU INDRIA 4. JIHWA INDRIA 5. GRANENDRIA 6. WAK INDRIA 7. PANINDRIA 8. PADENDRIA 9. PAYUNDRIA 10. PASTENDRIA 11. RAJENDRIA b. PANCA TAN MATRA Kalau dari ahengkara wekerta lahir eka dasa indria, maka panca tan mantra ini dilahirkan oleh: ahengkara butadi.yang disebut panca tan mantra itu adalah keadaan yang lima,yang samara tanpa bekas tiada berwujud, bagaikan awing-awang. Adapun jenisnya adalah sebagai berikut : 1. SABDA TAN MATRA : Suara samar atau suara mengawang. Contohnya suara gamelan, gender dan
16

sebagainya. Lama sesudah itu pada suatu saat ia mendengar lagi suara seperti ini dapat diumpamakan sabda tan matra. 2. SPARSA TAN MATRA : Bekas-bekas yang terasa bagi sesuatu yang pernah disentuh atau diraba oleh kulit 3. RUPA TAN MATRA : Bekas-bekas cahaya yang pernah kita lihat bagaikan sinar matahari yang telah tenggelam tetapi tampak masih samara-samar 4. RASA TAN MATRA : Bekas-bekas rasa yang pernah dikecap atau dimakan 5. GANDA TAN MATRA : Bekas-bekas bau yang pernah tercium IX. PANCA MAHA BUTHA Panca maha bhuta berarti lima unsur yang maha ada. Menurut kelahirannya dapat dituturkan sebagai berikut : Timbulnya Panca Maha Bhuta berasal dari Panca Tan Matra, dengan perincian sebagai berikut : 1. AKASA : lahir dari sabda tan matra melalui piriran 2. BAYU : lahir dari sparsa tan matra melalui akasa 3. TEJA : lahir dari rupa tan matra melalui bayu 4. APAH : lahir dari rasa tan matra melalui teja 5. PERTIWI : lahir dari ganda tan matra melalui apah Demikian keadaannya dan sesuai dengan tingkatan kasar halusnya maka lahir pertama yaitu akasa adalah yang paling halus dan pertiwi yang terakhir adalah yang paling kasar. 1. Akasa diartikan langit yang paling abstrak, sunyi, sepi, tiada wujud tiada rupa maupun warna, tiada rasa dan tiada bekas paling halus diantara panca maha bhuta. 2. Bayu diartikan angin. Masih sangat halus namun ada nampak tanda-tanda keadaannya kalau dibandingkan dengan akasa yang sangat gaib. Bayu masih dapat dirasakan dengan kulit pada waktu bergerak. 3. Teja diartikan sinar atau cahaya. Segala yang berkilau, bersinar, dan yang menyebabkan adanya terang. Yang terutama tergolong kedalam jenis ini adalah bintang-bintang seperti Soma, Anggara, Buda, Wrhaspati dan Saniscara;
17

namun yang menjadi sumber dari kelompok iniadalah Sang Hyang Surya. Segala macam agni adalah perwujudan dari pada teja. 4. Apah berarti air. Segala yang cair dan mengalir seperti : air, minuman, susu, dsb. semua tergolong kedalam apah. 5. Pertiwi. Segala sesuatu yang bersifat padat, kental, dapat hancur atau robek seperti : tanah, batu-batu, mas, perak, besi dan sebangsanya adalah tergolong kedalam pertiwi. Panca maha bhuta itu masing-masing mempunyai sifat (guna). Guna dalam hal ini disamakan dengan wisaya (wilayah). 1. SABDA adalah sifat dari akasa 2. SPARSA adalah sifat dari bayu 3. RUPA adalah sifat dari teja 4. RASA adalah sifat dari apah 5. GANDA adalah sifat dari pertiwi Akan tetapi sifat dari yang lebih halus dijadikan pula sifat dari yang lebih kasar, sebagai penjelasan dibawah ini : Akasa hanya mempunyai sifat satu saja yaitu sabda Bayu memiliki dua sifat yaitu sabda dan sparsa Teja memiliki tiga sifat yaitu sabda, sparsa dan rupa Apah memiliki empat sifat yaitu sabda, sparsa, rupa dan rasa. Pertiwi memiliki lima sifat yaitu sabda, sparsa, rupa, rasa dan ganda. Sabda, sparsa, rupa, rasa dan ganda itu disebut panca wisaya atau panca Guna : 1. Sabda berarti suara. Segala sesuatu yang dapat ditangkap dengan telinga. 2. Sparsa yaitu segala yang dapat dirasa dengan kulit. 3. Rupa adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh mata. 4. Rasa segala yang dapat dikecap oleh lidah seperti keenam rasa yaitu manis, pahit, asin, asam, sepet dan pedas. 5. Ganda berarti bau. Segala yang dapat diindra dengan hidung seperti harum, amis dan sebagainya. Ada juga bau yang tiada harum juga tiada busuk, maka bau yang seperti itu disebut caca ganda sadarana.
18

Semua keterangan di atas sampai dengan sifat dan wilayahnya (guna wisaya), semua terkumpul didalam pertiwi tattva, sebab Sang Hyang Ibu Petiwi itu dikatakan adalah tempat terhimpunnya segala macam tattva dan oleh karena itu sangat diutamakan oleh kita semua, terutama oleh orang-orang bijaksana sangat dijunjung dan dihormati, dirahasiakan dalam alam pikiran. Panca maha bhuta diringkas dinamakan Bhuana. Sebagaimana telah sama kita maklumi sedemikian penuh isi dunia ini dengan keindahan berupa warna, yang tak mungkin habis diceritakan oleh lidah, sulit mengingat dengan ingatan dan memikirkannya dengan pikiran. Tiada sedikit sungai-sungai yang lebar dan panjang mengalirkan air yang bersih tiada putusnya memberikan kemakmuran dan kesenangan bagi suatu Negara. Demikian pula gunung-gunung kekayaan yang terkandung didalamnya menjadikan ala mini demikian indah yang tak habis-habisnya untuk dipercakapkan. Tetapi kendatipun demikian indahnya namun oleh karena ala mini adalah perwujudan dari pada Pradana Purusa yang memuat hal-hal yang berlawanan menyebabkan dunia ini tiada kurang pula menyebabkan penderitaan. Demikian misalnya dengan hewan maupun tumbuh-tumbuhan ada yang bermanfaat tetapi ada juga yang membahayakan. Baik-buruk, suka-duka, senang-susah berdampingan tiada celah. Semua itu berkisar diantara suka-duka berputar tiada hentinya. Disamping it terus dikejar oleh umur tua yang akhirnya menyebabkan kita tersudut semua merasa sakit, merasa lemah, merasa berkurang yang kemudian ditutup dengan kematian. Itulah sebabnya dunia ini dikatakan tempat penderitaan sedangkan kesenangan itu hanyalah berupa umpan saja. Alam semesta ini dikatakan terbagi atas 14 lapisan. Yang terdapat dalam pertiwi sebanyak 7 lapis yang dinamakan Sapta Patala, dan yang termasuk ke dalam angkasa 7 lapis yang dinamakan Sapta Loka. Dalam beberapa lontor mengenai Sapta Patala itu berbedabeda namanya dan yang satu memberi keterangan sedang yang lain tidak. Oleh karena itu dibawah ini dicantumkan sebanyak dua pembagian dengan namanya masing-masing dapat dijadikan bahan pemikiran bagi pembaca.
19

A. Pertama 1. Patala 2. Wetala 3. Nitala 4. Maha Tala : tempat bermikimnya Sang Hyang Basuki 5. Sutala :tempat Sang Hyang Anantabhoga 6. Tala-Tala 7. Rasa Tala : linggih Sang Hyang Baruna B. Kedua 1. Patala = liket 2. Nitala = lebu 3. Sutala = lemah 4. Antala =lemah kuning 5. Tala = paras/padas 6. Tala-Tala = geresik 7. Maha Tala = watu Pada lapisan dasar dari sapta patala adalah tempat Sang Hyang Kalagni Rudra, tempat terdapatnya api yang maha besar nan tak kunjung padam yang luasnya seratus ribu yojana. Yang dinamakan Sapta Loka adalah sebagai yang tercantum di bawah ini : 1. Bhuh Loka, yaitu pertiwi dan apah dirangkap menjadi satu. Disini tempat hidup manusia. 2. Bhuah Loka, yaitu teja dan bayu digabung menjadi satu. 3. Swah Loka, terdiri atas akasa dan manah. Tempat Sang Hyang Indra 4. Maha Loka, yaitu sifat dari apah. Disini tempat Sang Hyang Prajapati dan yang sederajat. 5. Jnana Loka, sifat dari teja. Tempat Sang Hyang Wisnu dan yang sederajat. 6. Tapa Loka, sifat dari bayu. Tempat Sang Hyang Brahma. 7. Setia Loka, sifat dari akasa. Tempat Sang Hyang Sangkara dan yang sederajat. Keterangan mengenai lapisan-lapisan dari alam semesta ini kita akhiri sampai disini.
20

X. MANUSIA Diatas telah dijelaskan bahwa Pertiwi itu adalah perkumpulan dari serba tattva; artinya : dari cetana sampai dengan purusa tattva dan seterusnya mengenai indria, manah dan panca tan matra semua itu terdapat di dalam pertiwi. Kini semua inti sari dari jagat itu terutama yang dinamakan sad rasa maka terjadilah manusia. Jadi sudah jelas bahwa manusia itu adalah perkumpulan dari serba tattva. Jika kita memperhatikan hal itu adalah keliru jika kita menganggap bahwa manusia itu terlepas dari Sanghyang Widhi. Manusia dengan Tuhan dapat dikatakan tunggal paling tidak seperti ayam dengan telor, matahari dengan cahayanya atau seperti pangkal dengan ujung. Sejauh-jauh hubungan manusia dapat dikatakan tunggal. Dalam hubungan ini dapat kita pikirkan lebih mendalam mengenai hadirnya Dia pada tubuh kita. Suatu contoh mengenai hal ini adalah misalnya mengenai biji buah beringin. Meskipun kita tidak dapat melihat, meraba, mencium namun kita dapat mengetahui bahwa pada biji itu terdapat bakal pohon, akar dan daun. Demikianlah hendaknya kita dapat menerima dengan cara logika tentang adanya Dia pada diri kita. Kalau telah mantap penerimaan akal kita tentang keadaan itu dan merasa memperoleh segala-galanya dari Dia, terutama hidup kita ini maka tentulah kita merasa berhutang terutama hutang jiwa yang tak boleh kita lupakan untuk selama-lamanya. Mungkin dapat diambil bahan perbandingan antara kita dengan Sanghyang Widhi yang telah memberikan hidup pada kita adalah serupa dengan angka 1000 atau dengan lebih banyak lagi angka nol-nya. Semua bilangan yang kosong (nol) itu diberi nilai oleh angka 1 didepan. Andaikata bilangan kosong itu menjauhi angka satu tadi artinya melepaskan diri dari angka satu itu maka nilainyapun tak ada. Demikianlah halnya manusia yang mendapat hidup dari Sanghyang Widhi umpamanya lupa dan bermaksud akan menjauhinya apalagi mengingkarinya, sudah pasti akan menjadi hampa rugi yang sama artinya dengan angka nol yang banyaknya lima puluh buah hanya bernilai lima puluh kosong.

21

Itulah sebabnya adalah patut kita bakti atas krunianya yang tiada batasnya itu. Untuk memperdalam pengertian kita antara hubungan manusia dengan Sanghyang Widhi yang menjadi sumber dari segala yang hidup. Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian terdahulu bahwa sari-sari dari Panca Maha Bhuta itulah yang menjadikan mahluk manusia ini. Kami percaya bahwa pengertian mengenai hal ini sudah cukup namun ada baiknya untuk memantapkan kami tambahkan pula keterangan sebagai dibawah ini.

Hubungan Antara Manusia Dengan Sanghyang Widhi


Pancaran dari cetana yang telah terpengaruh oleh ketidaksadaran yang dibawah (Maya Tattwa), kemudian pecah berganti rupa, warna dan banyak lagi hingga sulit untuk mengenalnya satu persatu. Kesemuanya itu menjelma dan berwujud lalu bernama manusia. Sudah tentu tiada mampu kita menjelaskan dan menerangkan satu persatu apa yang terdapat pada diri manusia itu sepenuhnya, akan tetapi sebagai gambaran ringkas untuk membuktikan tentang hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widhi itu benarbenar ada pada kita. Jadi apabila alam semesta ini disebut macrocosmos maka umat manusia ini adalah perwujudan alam semesta dalam bentuknya yang micro. Sad rasa dan semua inti sari buana itu lalu menjadi kama. Kama itu ada dua macam yaitu yang berwarna merah dinamakan kama bang juga disebut swanita. Kama putih yaitu kama petak yang dinamakan sukla. Pertemuan sukla dan swanita inilah yang menjadikan manusia. Apabila unsur swanita yang lebih banyak maka akan menjadi perempuan, jika sukla yang lebih banyak maka ia akan menjadi laki-laki. Apabila sama jumlahnya maka ia akan menjadi kedi dan walawadi (banci). Kama putih menjadikan tulang, otot dan walung, sedang yang merah menjadi darah, daging dan gajih. A. Bagian-bagain tubuh yang berasal dari Panca Tan Matra Sabda Tan Matra menjadi karma
22

Sparsa Tan Matra menjadi kulit (carma) Rupa Tan Matra menjadi penyingakan Rasa Tan Matra menjadi lidah Ganda Tan Matra menjadi irung B. Yang berasal dari Sapta Patala Patala menjadi pantat Wetala menjadi paha Nitala menjadi dengkul Mahatala menjadi paha Sutala menjadi pergelangan kaki Tala Tala menjadi punggung kaki Rasa Tala menjadi telapak kaki C. Yang berasal dari Sapta Loka Buh Loka menjadi perut Buah Loka menjadi hati Swah Loka menjadi dada Tapo Loka menjadi kerongkongan Jana Loka menjadi lidah Maha Loka menjadi hidung Satia Loka menjadi mata D. Yang berasal dari Panca Maha Butha Pertiwi menjadi serba kental, kesat, dank eras, seperti : kulit, daging, otot, tulang dan sebagainya Apah menjadi yang serba encer seperti : darah, sumsum, keringat dan sebagainya Teja menjadi yang serba mengkilat, bercahaya dan yang menimbulkan kalori pada tubuh seperti : mata celah-celah daging dan otot Bayu menjadi yang serrba bergerak seperti nafas Akasa menjadi yang serba berlubang seperti : lubang hidung, kuping dan sebagainya E. Tempat-tempat Panca Budindria Srotendria bertempat pada kuping menjadi alat pendengar
23

Tuakindria bertempat pada kulit menjadi alat peraba Caksuindria bertempat pada mata menjadi alat penglihat Jihwaindria bertempat pada lidah menjadi alat pengecap Granendria bertempat pada hidung menjadi alat pencium F. Tempat-tempat Panca Karmendria Wakindria bertempat pada bibir menjadi alat bicara Panindria bertempat pada tangan menjadi alat untuk mengambil Padendria bertempat pada kaki menjadi alat untuk berjalan Payundria bertempat pada poros menjadi alat pembuang kotoran Pastendria bertempat pada alat kelamin untuk saluran air seni dan sanggana G. Rajendria adalah alat untuk berpikir memikirkan apa yang datang yang berupa perangsang dari dasendria itu. H. Tempat dan keterangan mengenai Dasabayu Keterangan mengenai Bayu memang belum dijelaskan dari tattva yang paling atas hingga pertiwi tattva. Akan tetapi pada bagian pradana dan purusa tattva, hanya dijelaskan mengenai jalannya yang naik dan turun. Disini akan diberikan penjelasan serba ringkas sebagai tambahan keterangan. Bayu itu sebenarnya hanya ada satu saja (tunggal), tetapi oleh karena tugas dan fungsinya berbeda-beda menyebabkan namanya berlainan dan dibagi atas sepuluh bagian, yaitu : 1. Prana Bayu : bertempat pada papusuhan hingga dada dan alis. Itu yang disebut mahanata (Parama Siva). Sanghyang Parama Siva adalah raja dari Prana Bayu, yang menjdi urip mengolah dan mengatur jalannya semua bayu. 2. Udana Bayu : bertempat pada ubun-ubun yang mengatur penglihatan dan bibir, terus masuk menembus hingga di dada, disini terbagi tiga, lalu memecah lagi menjadi 65. Yang menjadi dewanya bayu disini adalah Sanghyang Sda Siva.

24

3. Samana Bayu : bertempat pada langit-langit hingga jantung, masuk kedalam tri nadi (tiga urat nadi), lalu memecah menjadi 72. Dewa dari samana bayu ini adalah Sanghyang Iswara yang membuat darah, daging, gajih dan nyali. 4. Apana Bayu : bertempat pada kelamin, menampung sari dari makanan dan minuman dijadikan mani, ampasnya dijadikan air kencing dan kotoran, menyusup masuk kedalam lima urat nadi, disitu terpecah menjadi 50, menyusup lagi kedalam jantung terus ke lutut. Sanghyang Rudra adalah dewa dari apana bayu. 5. Biana Bayu : bertempat pada persendian dan buku-buku alat untuk menggerakkan tubuh, juga menyusup kedalam tiga nadi kemudian memecah menjadi 50. Itulah yang mengetahui serta mengatur hidup dan mati. Tegasnya dialah yang berwujud hidup atau mati. 6. Naga Bayu : bertempat pada langit-langit yang menyebabkan atob (tag) dan dehem. Naga Bayu terpecah menjadi 60. 7. Kurmara Bayu : bertempat pada langit-langit dan jantung, yang mengolah kelopak mata, terbagi menjadi 70. 8. Krakara Bayu : bertempat pada buah pinggang dan limpa, juga pada jantung dan langit-langit yang menyebabkan sedu sedan, dan bersin, terpecah menjadi 80. 9. Dewadata Bayu : bertempat pada semua daging dan pada kerut-kerut perut, yang menyebabkan batuk, terpecah menjadi 90. 10. Dananjaya Bayu : bertempat dan menyusup pada semua daging hingga kulit, pada semua badan yang menjadikan suara dan memecah menjadi 1000. Dikatakan bahwa dananjaya bayu tidak ikut pergi apabila roh itu telah meninggalkan badan pada waktu kita mati. Jadi tetap ada pada mayat.

Nama-nama Dan Keterangan Dari Kesepuluh Urat Nadi


Nadi itu adalah urat tempat dan jalannya bayu (tenaga) serta menyusup kesegala bagian tubuh, akan tetapi nadi yang dimaksud dalam macro-cosmos (Bhuana Agung) disebut Bengawan (tukad) yaitu :
25

1. Ida : nama nadi yang terletak pada bagian kanan yang menjadi saluran makanan hingga ke dubur. 2. Pinggala : nama nadi yang terletak dibagian kiri yang menjadi saluran segala jenis minuman (cairan) terus sampai ke tempat alat kelamin 3. Susumena : nadi yang bertempat ditengah-tengah yang menjadi saluran bayu yang terbagi tiga 4. Gandari : cabang nadi yang menjadi jalannya bayu menuju ke bibir, hidung, mata, kuping dan ubun-ubun 5. Asti : cabang nadi jalannya bayu yang menuju ke persendian hingga ke kulit dan bulu (roma) 6. Jihwa : cabang nadi yang menjadi jalan bayu menuju ke jantung 7. Pusa : cabang nadi yang menuju ke paru-paru 8. Alembusa : cabang nadi yang menuju ke hati dan ke nyali 9. Kuhuh : cabang nadi jalannya bayu menuju ke limpa 10. Sangkini : cabang nadi jalannya bayu menuju ke pusat (ungsilan) dan pada celah-celah Masih banyak sebenarnya yang patut dijelaskan mengenai hubungan atau jalinan antara umat manusia dengan Sanghyang Widhi. Demikian pula mengenai penjelasan-penjelasan yang menjadikan wujud dari badan manusia ini belum dijelaskan secara mendalam. Namun menurut hemat kami kiranya sudah memadai bagi pembaca yang ingin mengetahui jalinan antara manusia dengan penciptanya sebagaimana telah kami gambarkan secara garis-garis besarnya. Bagi yang berminat mempelajari lebih mendalam sebaiknya mengambil buku-buku yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan tattva-tattva di atas. Sebagai penutup kami tetap berdoa semoga dikemudian kami masih dapat menambah dan menyempurnakan isi dari penerbitan yang akan dating. Akhirul kalam hingga pada MANUSATATTVA kami akhiri dan atas kekurangannya mohon dimaafkan.

26

27

Anda mungkin juga menyukai