Anda di halaman 1dari 91

KATA PENGANTAR

Atas Asung Wara Nugraha Ida Hyang Widhi, Tuhan Yang



Maha Kuasa, peneliti merasa sangat bahagia dapat mempersem-

bahkan sebuah hasil penelitian lontar Prakempa, kendatipun

ujudnya masih sangat sederhana. Hasil penelitian ini dimaksud-

kan sebagai studi awal dari sebuah penelitian kelompok Akademi

Seni Tari Indonesia ( ASTI) Denpasar pada periode 1986 dan

hasilnya diharapkan berguna sebagai bahan pelajaran gambelan

Bali di masa yang akan datang.

Dalam rangka berperan serta pada Temu Wicara Etnomu-

sikologi II Indonesia yang berlangsung di Surakarta mulai tanggal

7 s/d 9 April 1986, pembahasan mengenai lontar Prakempa ini

dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu pengkajian tentang filsafat-

nya secara umum dilakukan oleh peneliti sendiri, sedangkan un-

tuk pengkajian aspek estetikanya dilakukan oleh Prof. Dr. Andrew

Toth, dosen Etnomusikologi ASTI Denpasar.

Peneliti mengucapkan terima kasih yang tak terhingga ke-

pada Bapak Drs. Pande Putu Martha dan Bapak I Nyoman Catra,

S.S.T. atas bantuannya untuk ikut menerjemahkan naskah ini

ke dalam Bahasa Indonesia, lanjut penyelesaian pengetikannya.

Kepada Bapak Prof. Dr. Andrew Toth, Bapak I Way an

Dibia, S.S.T, M.A., Bapak I Nyoman Astita, M.A. atas ide-idenya

yang sangat stimulan sehingga memungkinkan selesainya studi

awal ini. Kepada Saudara Pino Confessa dan N.L.N. Suasthi
Widjaja, S.S.T. peneliti mengucapkan terima kasih banyak atas

kerelaannya untuk menyediakan foto-foto demi kesempurnaan

buku ini.

Akhirnya peneliti mengucapkan terima kasih yang se-

banyak-banyaknya kepada Dr. Mary Zurbuchen atas dorongan

nya, khususnya melalui tulisan beliau yang berjudul The Shadou

Theatre of Bali: Exploration in Language and Text memberi inspi

rasi pada studi awal dari penelitian ini.

Selanjutnya kepada The Ford Foundation, peneliti meng-

ucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas dukungan-

nya sehingga naskah ini dapat diedarkan secara luas.

Denpasar, 12 Desember 1986

Penulis.






















DAFTAR ISI

Halaman.

KATA PENGANTAR................................ iii

DAFTAR ISI...................................... v

BAB. I PENDAHULUAN........................... x

A. Latar Belakang Penelitian............... 1

B. Rumusan Masalah................... 1

C. Jangkauan Penelitian .................. 2

D. Tujuan Penelitian..................... 2

E. Metodelogi Penelitian...................... 3

BAB. II BENTUK DAN ISI.......................... 5

A. Prakempa Sebagai Seni Sastra.................... 5

B. Empat Unsur Pokok......................... 10

1. Filsafat atau Logika.......................... 10

2. Etika atau Susila..............................15

3. Estetika (Lango)..............................19

4. Gagebug (Teknik).............................27

5. Kepustakaan.................................28

BAB. Ill TEKS PRAKEMPA DAN TERJEMAHANNYA

KE DALAM BAHASA INDONESIA............29

LAMPIRAN.






BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian.

Prakempa ialah sebuah lontar mitologi gambelan Bali yang

diduga cukup tua umurnya. Ditinjau dari segi etimologi bahwa

kata "prakempa" berarti pergolakan dunia, atau ramalan tentang

pergolakan dunia (Panitia Penyusunan Kamus Bali Indonesia,

1978: 449). Dalam konteksnya dengan gambelan Bali, prakempa

kiranya dimaksudkan sebagai seluk-beluk gambelan Bali yang pada

hakekatnya berintikan tatwa (filsafat atau logika), susila (etika),

lango (estetika) dan gagebug (teknik) yang bertalian dengan

gambelan Bali.

Proses belajar-mengajar dalam gambelan Bali sejak zaman

lampau dilakukan secara oral tradisi, suatu proses pelajaran dari

mulut ke mulut dan dari satu generasi ke generasi yang lain tanpa

menggunakan sistem tertulis. Munculnya lontar Prakempa ini

memberi petunjuk yang jelas bahwa pada suatu masa para ahli

gambelan sudah mulai mencatat tentang gambelan Bali, kendati-

pun isinya terbatas pada pembahasan umum mengenai empat

bidang di atas. Menelaah latar belakang budaya gambelan yang

termuat dalam lontar Prakempa itu, seyogianya akan mempertebal

apresiasi seseorang terhadap gambelan itu sendiri.

Lontar Prakempa yang dijadikan obyek penelitian ini dite-

mukan oleh Bapak Almarhum I Gusti Putu Made Geria, seorang
ahli gambelan Bali yang semasa hidupnya pernah menjabat se-

bagai dosen gambelan pada Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI)

Denpasar. Ditemukannya lontar Prakempa ini merupakan suatu

usaha pelestarian dari beberapa aspek gambelan Bali dan naskah ini

merupakan literatur seni yang tak ternilai harganya.

B. Rumusan Masalah.

Pada awal dari uraian ini peneliti telah menegaskan bahwa,

lontar Prakempa mengandung empat aspek utama yang dapat di-

jadikan rumusan masalah dalam penelitian ini. Aspek-aspek itu

ialah filsafat atau logika, suatu dasar filosofis tentang gambelan

Bali dan keseimbangan hidup manusia ; etika, suatu aspek ritual

dan hirarki gambelan; estetika struktur dan hokum lagu

dan cara menabuh gambelan Bali. Dal^

keempat aspek di atas akan menjadi masalah

utama dan bagaimana identitas lontar Prakempa ini.

C. Jangkauan Penelitian.

Lontar Prakempa sebagai sebuah karya sastra yang bermutu

tinggi, merupakan ujud-ungkap gambelan Bali yang mengandung

empat aspek tersebut di atas, oleh karena itu pembahasan dalam

penelitian ini akan dibatasi pada aspek filsafat atau logika, etika,

estetika dan teknik menabuh dalam gambelan Bali. Kendatipun

masih ada lontar-lontar lainnya yang membahas tentang gambelan

Bali seperti lontar Aji Gurnita dan lontar Gong Wesi, namun oleh

terbatasnya kemampuan dan waktu, maka penelitian ini akan di-

batasi pada pembahasan lontar Prakempa saja.

Jika lontar Aji Gurnita disebut-sebut dalani penelitian ini, maka

fungsinya hanya sebagai pembanding tanpa pengkajian yang

mendalam.

Di samping lontar Aji Gurnita dan lontar Gong Wesi, pene-

liti menyadari pula masih ada versi lontar Prakempa yang lain yang

tersimpan dalam perpustakaan dan menjadi koleksi para sujana di

Bali. Menurut pendapat peneliti lontar-lontar itu perlu dikumpul-

kan dan dikaji guna memperoleh sebuah edisi kritis, serta menyem-

purnakan penelitian ini. Mengingat bahwa penelitian ini merupa-

kan pendahuluan dari suatu penelitian yang lebih luas, maka

pembuatan edisi kritis itu terbuka untuk penelitian selanjutnya.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai lontar Prakempa ini mempunyai tujuan

untuk memperoleh pengetahuan yang deskriptif tentang lontar itu.

Melalui penganalisaan bagian demi bagian dari naskah lontar Pra-

kempa, peneliti mengharapkan untuk mendapat satu kesimpulan

tentang filsafat atau logika, etika, estetika dan teknik menabuh

dalam gambelan Bali. Hasil penelitian ini, di samping sebagai pe-

nyelamatan tentang aspek-aspek gambelan Bali, juga dapat dijadi-

kan bahan studi perbandingan serta berguna bagi penyebaran

informasi tentang gambelan Bali.



E. Metodelogi Penelitian

Untuk mendapat hasil penelitian seperti yang diharapkan,

pembahasan mengenai lontar Prakempa ini dilakukan dengan

metoda deskriptif, suatu penguraian bagian demi bagian secara

terperinci dan akhirnya ditarik suatu kesimpulan sebagai akibat

dari pembahasan tersebut.

Prof. Dr. A.L. Becker dalam artikelnya yang berjudul

Text-Building, Epistemology, and Aesthetics in Javanese Shadow

Theatre (Pembentukan Teks, Epistimologi dan Estetika dalam

Teater Wayang Jawa) menguraikan bahwa sebuah analisa tentang

teks memerlukan beberapa jenis hubungan untuk menciptakan

sebuah konteks konsepsional yang mendalam. Jenis-jenis hubung-

an itu ialah :

1. Hubungan antara kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat dan

unit-unit yang lebih besar dalam teks itu sendiri (hubungan ini

dinamakan kaitan dalam teks itu sendiri).

2. Hubungan teks ini dengan teks-teks lainnya : suatu kelanjutan

bahwa hal ini merupakan pengulangan atau hal yang baru

(pembicaraan mengenai masa sekarang atau masa lampau).

3. Hubungan antara penulis dengan keduanya, baik hubungan

antara penulis dengan teksnya maupun antara penulis dengan

pendengar atau pembacanya - dilihat dari sudut pandangan

penulis atau dari sudut pandangan pendengar/pembaca (tujuan

dari pembentukan teks itu sendiri).

4. Hubungan antara unit-unit dalam teks itu sendiri dengan ke-

jadian-kejadian yang non literer - hubungan kerangka acuan

(Becker, 1979: 8).


Metoda yang digunakan oleh Prof. Dr. Becker dalam me-

nganalisa teks teater Wayang Kulit Jawa itu bermanfaat juga untuk

menganalisa lontar Prakempa, oleh sebab itu peneliti akan meng-

gunakan metoda ini secara umum untuk menelaah bagian-bagian

dari lontar Prakempa, kendatipun pengkajian ini belum sempurna

seperti yang peneliti harapkan.

Sebelum melakukan pembahasan secara lebih terperinci,

lontar Prakempa ini diterjemahkan dari bahasa Kawi ke dalam

bahasa Indonesia idan terjemahan tu dibuat dalam bentuk alinea

yang diberi nomor dari nomor 1 s/d 84. Dengan sistem

memudahkan peneliti untuk memberi ulasan dan komentar pada

bagian-bagian yang perlu.
















BAB II

BENTUK DAN ISI

A. Prakempa Sebagai Seni Sastra

Prakempa sebagai salah satu dari karya seni sastra yang me-

nguraikan tentang gambelan Bali tak dapat dipisahkan eksistensi-

nya dari karya seni sastra yang lain. Dilihat dari segi bentuknya

Prakempa merupakan sebuah prosa yang menggunakan bahasa

Jawa Kuna (Kawi) dan ditulis dengan huruf Bali yang bagus

ujudnya. Sebelum menguraikan Prakempa sebagai karya seni sastra

yang bermutu tinggi, penting kiranya diuraikan karya seni sastra

lainnya untuk memperoleh gambaran tentang kedudukan Prakem-

pa di tengah-tengah seni sastra Bali lainnya.

Seni sastra Bali purba yang berkembang pada zaman Pra-

Hindu merupakan seni sastra rakyat yang bersifat tradisi lisan dan

dipelajari turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.

Seni sastra rakyat ini walaupun mengalami perubahan zaman, ia

tetap berkembang subur di kalangan masyarakat Bali. Adapun

jenis-jenis seni sastra (kesusastraan) itu meliputi I Buta teken

I Bongol (Si Buta dan Si Tuli), Pan Sugih teken Pan Tiwas (Pak

Kaya dan Pak Miskin), Men Bekung ( Ibu Mandul), Men Muntig

(Ibu Muntig) dan lain sebagainya (Bagus, 1976: 4-50).

Adanya hubungan yang erat antara Bali dan Jawa yang di-

mulai sejak abad ke-8 menyebabkan seni sastra Bali dipengaruhi

oleh seni sastra Hindu Jawa. Pra?asti Bebetin yang berangka tahun

896 Masehi merupakan karya seni sastra yang agung dan menye-

butkan berjenis-jenis seni pertunjukan di dalamnya seperti seni

gambelan, tari dan nyanyi. Praasti Bebetin sendiri dibuat atas

nama Raja Ugrasena di Bali (Goris, 1952: 55).

Kemudian pada akhir abad ke-10 di pulau Bali muncullah

seorang raja yang bergelar Dharma Udayana dan beliau mengambil

permaisuri dari Jawa Timur, seorang permaisuri keturunan dari

raja Mpu Sendok yang bergelar Mahendradatta. Dari pernikahan

tersebut lahirlah seorang putra yang bemama Airlangga dan ke-

mudian beliau dinobatkan menjadi raja di Jawa Timur, menggan-

tikan raja Cri Dharmawangsa yang memerintah dari tahun 991 -

1007. Menurut keterangan dari Prof. P.J. Zoetmulder dalam

bukunya yang berjudul Kalangwan menyebutkan bahwa pada

zaman pemerintahan Cri Dharmawangsa ini para pujangganya

menggubah wiracaritera Mahabrata dari bahasa Sansekerta ke

dalam bahasa Jawa Kuna dan gubahan itu terkenal dengan sebutan

Astadasaprarwa (Zoetmulder, 1983: 111).

Raja Airlangga sendiri sangat mencintai kebudayaan dan

pada saat pemerintahannya muncullah sebuah sastra Mahabharata

yang berjudul Kakawin Arjuna Wiwaha dan sastra itu digubah oleh

Mpu Kanwa (Simpen, 1982: 30). Ketika raja Airlangga menduduki

tahta kerajaan, di samping Kakawin Arjuna Wiwaha lahir pula

sebuah sastra Mahabharata yang dinamakan Kakawin Bhoma-

kawya gubahan Mpu Bharadah.

Sesudah kerajaan Mataram (Jawa Timur) dibagi menjadi

dua yaitu kerajaan Jenggala dan Kediri lahirlah sebuah sastra Ma-

habharata lagi yang disebut Kakawin Kresnayana. Kakawin ini

digubah oleh Mpu Triguna dan di dalamnya disebut-sebut tentang

raja Cri Jayawarsa Digjaya Castraprabhu yang memerintah keraja-

an Kediri (Daha) pada tahun 1104. Selanjutnya setelah raja Ma-

panji Jayabhaya memerintah Kediri pada akhir abad ke-12 maka

lahirlah Kakawin Bharatayudha yang dikarang oleh Mpu Sedah

dan Mpu Panuluh. Demikian selanjutnya bahwa dari abad ke-10

sampai dengan abad ke-12 wiracaritera Mahabharata secara terus-

menerus ditransformasikan dan sastra Mahabharata ini berkem-

bang baik di pulau Bali sebagai akibat hubungan yang baik antara

Jawa dan Bali saat itu.

Kedatangan orang-orang Majapahit ke Bali pada awal abad

ke-16 meningkatkan lagi hubungan antara Jawa dan Bali dalam

bidang kesenian khususnya seni sastra dan seni pertunjukan.

Kesenian Bali mendapat pengaruh yang kuat dari kesenian Jawa

dan elemen-elemen itu nampak pada sistem laras gambelan,

komposisi lagu, penggunaan busana dalam seni tari, bentuk tari

dan kesenian Bali yang semula berfungsi sebagai seni sakral, kini

menjadi seni yang bersifat sekuler dan penampilannya lebih me-

ngutamakan persembahan yang artistik.

Selanjutnya antara abad ke-16 - 19 yaitu pada pemerintah-

an raja-raja Bali seperti Dalem Waturenggong (1460 - 1550), Dalem

Bekung (1550 - 1580), Dalem Sagening (1580 - 1665), Dalem

Dimade (1665 1686) dan seterusnya, kesenian Bali berkembang

mencapai puncak keemasannya yaitu dengan terciptanya berjenis-

jonis tarian seperti Gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja,

bogong Keraton dan seni sastra klasik lainnya.


Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460 -

1550) di Gelgel, datang pula seorang pendeta yang benama Dang

Hyang Nirarta, seorang sastrawan dari Majapahit dan beliau mem-

perkenalkan arsitektur seperti pura dan puri dengan styl yang

megah seperti yang diwarisi di Bali sekarang. Di samping mempu-

nyai keahlian dalam seni arsitektur, Dang Hyang Nirarta memiliki

keahlian dalam bidang seni sastra dan meninggalkan warisannya

dalam bentuk lontar seperti Wukir Padelengan, Rareng Canggu,

Anting-anting Timah, Ampik, Jagul Tua, Usana Bali, Usana Jawa,

Sebun Bangkung dan lain-lainnya (Ditjen Pariwisata, 1973: 108).

Pada pemerintahan raja-raja Bali di atas kecuali munculnya

seni sastra yang mengandung isi filsafat, astronomi, etik dan lain

sebagainya, berkembang juga seni sastraIthihasa , yaitu seni sastra

yang terdiri dari bermacam-macam tembang. Di atas sudah diurai-

kan pula bahwa sejak zaman raja Dharmawangsa sampai zaman

Majapahit di Jawa Timur telah berkembang bentuk sastra kakawin

(Mahabharata dan Ramayana) dan kidung Malat, sedangkan pada

zaman raja-raja Bali kakawin dan kidung diperbanyak produksinya

oleh para pujangga istana, termasuk terjadinya transformasi sastra

Kakawin dan Kidung menjadi Sekar Macapat, suatu pengalihan

sastra Kawi menjadi sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang).

Kakawin dan Kidung digubah menjadi Gaguritan atau Paparikan.

Diduga pada saat itu lahirlah Paparikan Adiparwa, Bharatayudha,

Narasoma, Bomantaka yang diciptakan berdasarkan wiracaritera

Mahabharata.

Dewasa ini hampir seluruh seni sastra yang disebutkan di

muka masih terpelihara baik di Bali, tersimpan dalam perpustaka-

an perseorangan, maupun dalam perpustakaan lontar yang terbe-

sar di Bali yaitu Gedong Kirtya di Singaraja.

Menurut katalog yang diterbitkan oleh Gedong Kirtya yang klasi-

fikasinya disusun oleh Nyoman Kajeng, maka dari ribuan lontar

yang menjadi milik perpustakaan tersebut dapat diklasifikasikan

sebagai berikut :

A. Weda (Weda, Mantra dan Klapasastra).
B. Agama (Palakerta, Sasana, dan Niti).
C. Wariga (Wariga, Tutur, Kan da dan Usada).
D. Ithihasa (Parwa, Kakawin, Kidung dan Gaguritan).
E. Babad (Pamancanggah, Usana dan Uwug).
F. Tantri (Tantri dan Satua)
G. Lelampahan (memuat lakon Gambuh, Arja, Wayang dan lain-
lainnya).

Kelompok yang terakhir ini ditambahkan oleh I Made Suwija, se-

orang kurator yang kini sedang bertugas di perpustakaan Gedong

Kirtya (Agastia, 1985: 4).

Menunjuk klasifikasi tersebut di atas, lontar Prakempa dumasuk-

kan dalam kelompok Wariga dan oleh Dr. Th. Pigeaud dalam

bukunya yang berjudul Literature of Java (Kesusastraan Jawa),

lontar Prakempa didaftar dengan nomor kode :

K M35 Lor

869 57 - (Pigeaud, 1968:936)

Sebagai karya seni sastra yang bermutu tinggi, Prakempa

dimasukkan ke dalam golongan Wariga disebabkan oleh isinya

tentang gejolak dunia dan gejolak itu mempunyai kaitan bunyi,

nada dan suara yang ditimbulkan oleh gambelan Bali.

Di samping itu lontar Prakempa mengandung juga tentang Tu,tur

dan secara eksplisit dikatakan bahwa Prakempa ini merupakan

tutur (nasehat) dari Bhagawan Gottama kepada para muridnya.

Ungkapan ini tercantum dalam epilog lontar ini.

Siapa sesungguhnya Bhagawan Gottama ini, merupakan se-

buah pertanyaan yang belum terjawab sampai sekarang. Nama ini

bisa saja merupakan nama kiasan dari seseorang, atau nama se-

sungguhnya dari penulis lontar Prakempa ini. Di dalam wiracari-

tera Ramayana (Kapi Parwa) disebutkan bahwa Bhagawan Gotta-

ma ialah seorang pendeta dari pertapaan Grastina. Beliau mempu-

nyai seorang istri bidadari dari keindraan yang bemama Dewi

Indradi. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putri dan dua orang

putra yaitu Dewi Anjani, Bali dan Sugriwa. Ketiga tokoh itu

menjadi tokoh yang terkenal dalam wiracaritera Ramayana dan

diketahui oleh masyarakat secara luas (Depdikbud, 1981 : 183).

Di dalam Kitab Jataka disebutkan bahwa Gottama yang

nama lengkapnya Siddharta Gautama adalah putra raja Kapilawas-

tu yang menjadi Buddha dan mengajarkan kepada umatnya bahwa

pembebasan jiwa dapat dicapai dengan jalan kebaikan kesucian

dan cinta kasih terhadap sesama manusia (Depdikbud, 1981: 125).

Menduga bahwa pengarang lontar Prakempa adalah pendeta

Gottama dari wiracaritera Ramayana atau Siddharta Gautama,

pemimpin agama Buddha merupakan sebuah dugaan yang koliru.

Peneliti tidak menemui petunjuk apa pun tentang kemungkinan

bahwa Prakempa sebagai sastra Ramayana ataupun sebagai ajaran

agama Buddha. Kalau drmikian maka prrhm ynan kedufl yang akan

muncul ialah : Mungkinkah pengarang lontar ini seorang brahmana

Buddha ? Semua hal ini nampaknya juga belum pasti. Sementara

kepastian tentang tokoh Gottama ini masih belum jelas, peneliti

hanya dapat menduga bahwa nama ini hanya merupakan nama

samaran dari seorang guru gambelan yang utama atau yang cerdik.

Seperti apa yang peneliti uraikan di atas, bahwa Prakempa

sebagai sebuah karya seni sastra merupakan sebuah prosa yang

panjangnya sekitar 84 alinea, berbahasa Jawa Kuna (Kawi) dan

ditulis dalam huruf Bali yang sangat bagus bentuknya. Guna

memberi visualisasi yang lebih menarik lontar Prakempa itu di-

sertai dengan simbul-simbul atau prasi. Bahasa Jawa Kuna (Kawi)

yang digunakan dalam Prakempa nampaknya sejajar dengan bahasa

Kawi yang digunakan pada lontar-lontar Babad (Sejarah Raja-

raja Bali) dan lontar Babad yang tertua yang disebut Babad Dal em

diperkirakan muncul pada pertengahan abad ke-18. Kendatipun

demikian lontar Prakempa ini jauh lebih muda daripada Babad-

babad tersebut di atas.

Di dalam usaha memahami isi Prakempa ini perlu kiranya

diketengahkan salah satu lontar mengenai gambelan Bali lainnya,

yaitu lontar Aji Gurnita. Saat ini peneliti telah memperoleh tiga

naskah lontar Aji Gurnita, yaitu dua buah naskah berasal dari

Gedong Kirtya, Singaraja dan sebuah lagi berasal dari puri Kaba-

kaba, Tabanan. Lontar ini lebih banyak membahas tentang gam-

belan Meladprana (Gambuh) sebagai sumber dari beberapa gam-

belan Bali lainnya.

Prakempa dan Aji Gurnita mempunyai persamaan dalam

bentuk dan sama-sama menggunakan sebuah bab yang disebut

"Catur Muni-muni" atau Nasehat Empat Bunyi-bunyian. Adapun

empat bunyi-bunyian yang dimaksud meliputi gambelan Gambuh,

gambelan Palegongan, gambelan Pajogedan dan gambelan Baba-

rongan. Bab Catur Muni-muni yang terdapat dalam Aji Gurnita

memiliki uraian yang sedikit lebih panjang dari uraian yang terda-

pat dalam Prakempa disebabkan karena bagian akhir dari bab itu

digunakan untuk menguraikan falsafah dari gambelan Meladprana

yang dibagi menjadi empat bunyi-bunyian tersebut. Jadi, epilog

yang terdapat pada bab Catur Muni-muni Aji Gumita tidak terda-

pat pada lontar Prakempa.

Adanya persamaan yang mendasar dari kedua lontar terse-

but menimbulkan pertanyaan pada penehti, apakah mungkin

terjadi interpolasi antara kedua lontar tersebut atau setidak-tidak-

nya ada kaitan yang erat antara kedua naskah itu. Interpolasi

(menambah-mengurangi) bisa terjadi apabila kita mengetahui

umur masing-masing lontar tersebut.

Kalau dilihat dari isi kedua lontar itu Prakempa memberikan

gambaran yang lebih menyeluruh tentang gambelan Bali (termasuk

teknik dan hukum lagu gambelan Bali), sedangkan Aji Gurnita ti-

dak membahas kedua aspek itu. Melibat kelengkapan aspek-aspek

yang dibahas dalam Prakempa kiranya lontar ini akan bermanfaat

bagi studi tentang pengetahuan gambelan Bali di masa yang akan

datang.

B. Empat Unsur Pokok

Seperti hipotese yang diajukan pada penelitian ini, sudah.

mulai jelas bahwa lontar Prakempa memiliki empat unsur pokok

yaitu filsafat atau logika, etika, estetika dan teknik menabuh

dalam gambelan Bali. Untuk jelasnya peneliti uraikan hal-hal

seperti berikut :

1. Filsafat atau Logika

Pembahasana mengenai filsafat atau logika di dalam lontar

Prakempa ini diawali dengan sebuah manggala yaitu permohonan

maaf dari pengarangnya sendiri atas kelancangan dan keberanian-

nya menulis naskah Prakempa itu. Permohonan maaf ditujukan

kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diungkapkan melalui huruf

modre Om merupakan singkatan dari kata AUM, manifesta-

si dari Sang Hyang Tri Wisesa yaitu Brahma, Wisnu dan Ciwa.

Sang Hyang Tri Wisesa yang lajim pula disebut Tri Murti adalah

Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam ujudNya sebagai pencipta

(Brahma), pelindung (Wisnu) dan pemusnah (Ciwa) (alinea : 1 - 4).

Uraian mengenai filsafat atau logika dalam gambelan Bali

dimulai dengan terciptanya bunyi, suara, nada dan ritme oleh Sang

Hyang Tri Wisesa di mana nada-nada itu diujudkan dengan simbul

penganggening akasara, seperti bisah ( ) , taleng ( ) dan

cecek ( ) . Gambelan sebagai musikal instrumen atau sebagai

musik tak dapat dipisahkan dari konsep keseimbangan hidup o-

rang Bali yang meliputi konsep keseimbangan hidup manusia

dengan Tuhan, konsep keseimbangan hidup manusia dengan

alam sekitarnya, dan konsep hidup manusia dengan sesamanya.

Ketiga konsep keseimbangan hidup di atas dinamakan Tri Hita

Karana.

Orang Bali, di mana pun ia berada dan apa pun yang ia per-

buat, konsep keseimbangan hidup ini akan menjadi dasar per-

buatannya. Sesuai dengan dasar filsafat atau logika yang tercantum

dalam lontar Prakempa, konsep keseimbangan hidup mapusia itu

dapat terujud dalam beberapa dimensi yaitu :

1. Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi tunggal, yaitu

keseimbangan hidup yang berdasarkan falsafah mokshartham

jagadditaya ca iti dharmah.

2. Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi dualistis, yaitu

percaya terhadap adanya dua kekuatan yang dasyat seperti

baik dan buruk, siang dan malam, laki dan perempuan, kaja

dan kelod, sekala dan niskala, dan lain-lainnya.

3. Keseimbangan hidup dalam dimensi tiga yaitu percaya de-

ngan adanya unsur serba tiga dalam kehidupan seperti tri

murti : brahma, wisnu dan piwa; tri loka : bhur loka (dunia

bawah), bhuvah loka (dunia antara) svah loka (dunia atas);

tri aksara : ang, ong dan mang; tri sakti : saraswati, laksmi dan

uma; tri guna : satvam (sifat baik), rajas (sifat loba) dan tamas

(sifat malas) dan lain-lainnya.

4. Keseimbangan hidup dalam empat dimensi, yaitu percaya ter-

hadap adanya kekuatan serba empat dalam kehidupan seperti

catur lokapala : indra, yama, kwera dan baruna; catur asrama

dharma : brahmacari, grahasta, wanaprasta dan bhiksuka; catur

purusa artha : dharma, artha, kama, dan moksha, serta lain-

lainnya.

5. Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi lima, yaitu per-

caya adanya kekuatan serba lima dan hidup manusia seperti

panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa;panca

cradha : Tuhan , jiwa, karmapala, reinkarnasi dan moksha;

panca yadnya : dewa yadnya, pitra yadnya, manusia yadnya,

rsi yadnya dan buta yadnya, serta lam-lainnya.

6. Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi enam seperti :

sad ripu, enam perbuatan yang tidak baik : kama (nafsu), kro-

da (marah), moda (jahat), loba (rakus), himsa (menyiksa) dan

matsarya (iri hati); sad rasa : pedas, asam, manis, asin, pahit

dan sepet, serta lain-lainnya.

7. Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi tujuh, yaitu ke-

seimbangan hidup yang percaya dengan adanya tujuh konsepsi

seperti sapta wara; redite (minggu), soma (senen), anggara

(selasa), buda (rebo), wraspati (kemis), sukra (jumat) dan

saniscara (sabtu); sapta loka : bhur, bvah, svah, traya, jana,

maha, satya dan loka.

8. Keseimbangan hidup manusia dalam delapan dimensi, yaitu

kepercayaan manusia terhadap delapan kekuatan seperti astais-

warya : anima (halus), loghima (maha ringan), prakamya (sega-

la kehendaknya terjadi), mahima (menyeluruh), prapti (segala

tempat dapat dicapai), icitwa (utama dalam segala hal), wapit-

wa (paling berkuasa), dan yatrakamawasayitwa (tak ada yang

dapat menentang kodratnya).

9. Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi sembilan, yaitu

manusia percaya dengan adanya sembilan unsur dalam kese-

imbangan seperti dewata nawa sanga : ipwara, brahma, maha-

dewa, wisnu, mahesora, rudra, sangkara, pambhu dan piwa.

10. Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi sepuluh, yaitu

kepercayaan terhadap adanya sepuluh unsur dalam keseim-

bangan seperti dasa aksara : sa, ba, ta, a, i, na, ma, pi, wa, ya.

Keseluruhan dimensi (konsepsi) keseimbangan hidup manu-

sia di atas menjadi dasar falsafah dari perujudan lontar Prakempa

itu dan konsepsi keseimbangan itu akan muncul secara satu persa-

tu dalam lontar itu. Dimensi-dimensi di atas saling berkaitan satu

sama lainnya dan menunjukkan adanya dua kekuatan yang vital,

yaitu kekuatan baik dan buruk.

2. Etika atau Susila.

Sebagai sebuah hasil kesusastraan, Prakempa merupakan

sumber etika masyarakat dan dapat dijadikan bahan pelajaran

etika bagi masyarakat Bali. Etika ialah suatu kebiasaan, adat atau

tata susila tentang kehidupan masyarakat. Dibahasnya berjenis-

jenis konsep keseimbangan hidup manusia dalam berbagai dimensi

di atas, memberi petunjuk pada kita bahwa Prakempa ini memper-

soalkan masalah etika, khususnya dipandang dari sudut perbuatan

baik dan buruk manusia.

Di samping itu, Prakempa sebagai lontar mengenai gambel-

an, menyebutkan bermacam-macam gambelan Bali, berikut meng-

uraikan tentang peranan dan aspek ritual yang dimiliki oleh setiap

bentuk barungan itu. Perbedaan peranan dan bentuk gambelan itu

memberi indikasi akan adanya etika tertentu dalam gambelan

Bali.

Menurut "Nasehat Catur Muni-Muni" yang tercantum dalam

lontar Prakempa ini, gambelan Bali dapat digolongkan menjadi

beberapa perangkat dan masing-masing perangkat mempunyai

instrumentasi, orkestrasi, teknik permainan dan fungsi yang berbe-

da-beda. Adapun jenis-jenis gambelan Bali yang tercantum dalam

Prakempa ialah gambelan Smar Pagulingan (Barong Singa), Smar

Patangian, Smar Palinggihan (Joged Pingitan), Smar Pandirian

(Barong Ket), Melad Prana (Gambuh), Angklung, Bebonangan,

Gam bang, Genggong, Slunding dan sebuah gambelan sakral yang

terbuat dari logam taru wuku yang belum diketahui ujudnya (ali-

nea : 41, 51, 55, 65, 67 dan 80). Hampir semua perangkat gambel-

an di atas masih hidup sampai sekarang.

Menurut lontar Prakempa ini, semua barungan gambelan

di atas mempunyai fungsi yang berlainan sesuai dengan tempat

(lingkungan), waktu dan kondisi. Gambelan Slunding digunakan

untuk mengiringi doa puja para pendeta yang sedang mengadakan

tapa semadi di hutan-hutan. Gambelan Meladprana digunakan

untuk mengiringi tari Gambuh ritual, baik berlangsung di sorga-

loka maupun di istana para raja-raja. Gambelan Smar Pagulingan

digunakan sebagai pengiring tari Pependetan khususnya pada upa-

cara yang berlangsung di istana para raja. Bebonangan yang di-

sebut pula gambelan Ktug Bumi dipakai untuk mengiringi upacara

Bhuta Yadnya (pengeruwatan, pembersihan). Gambelan-gambelan

yang lain berfungsi untuk mengiringi upacara perkawinan (Manusa

Yadnya),upacara pembakaran mayat dan ngerorasin (Pitra Yad-

Yadnya), upacara puja-wali (Dewa Yadnya), upacara suka duka dan

upacara pesta istana lainnya (alinea : 38, 59, 67, 68, dan 82).

Menunjuk perbedaan fungsi gamblean-gambelan di atas,

memberi petunjuk pada kita bahwa gambelan-gambelan itu telah

memiliki stratifikasi (tingkatan) tertentu dan penyalahgunaan

masing-masing barungan itu akan menimbulkan masalah etik, serta

kurang menjamin keseimbangan dalam hidup manusia.

Masalah etika dalam gambelan, kecuali dari segi fungsi dapat

dilihat pula dari segi ritual (upacara). Dalam lontar Prakempa se-

tiap barungan gambelan diupacari pada hari Tumpek Krulut,

yaitu hari Sabtu Keliwon, Wuku Kerulut yang secara siklus hadir

setiap 210 hari sekali

Xz^^^*yang secara siklus hadir

setiap 210 hari sekali.

Tumpek merupakan salah satu hari yang dianggap angker (kramat)

oleh orang-orang Bali.

Masyarakat Bali yang sangat menghargai waktu dan menganggap-

nya sebagai sesuatu yang "berbahaya" memberi perhatian secara

mengkhusus terhadap waktu transisi, seperti ngedaslemah (menje-

lang pagi hari), jeg-ai (tepat siang hari), sandyakala (menjelang

malam), tengah lemeng (tepat jam 24.00 menjelang pagi hari) dan

waktu-waktu lain yang sejenis. Hari Tumpek Wayang sebagai hari

yang penuh dengan transisi (peralihan) yaitu peralihan wuku, hari,

tanggalan dan pasar merupakan hari kramat dan bagi seseorang

yang lahir pada Tumpek Wayang harus diruwat dengan upacara

dan Wayang Sapuleger. Dengan ruwatan orang itu akan ter-

hindar dari pengaruh hari yang angker. Ketika mengadakan upa-

cara untukgamb elan pada Hari Tumpek Kerulut, lontar Prakempa

telah memberi petunjuk tentang sesajen dan mentra-mentra yang

digunakan (alinea : 52, 54, 60 dan 74).

Mengenai aspek tata susila yang lain yang dibahas oleh lon-

tar Prakempa ialah apa yang dinamakan kutukan. Bagi seorang

guru gambelan diwajibkan untuk menghayati falsafah dasar dari

Prakempa ini, berikut aturan-aturan kesusilaan yang terkandung

di dalamnya. Bagi mereka yang tidak mengindahkan itu akan di-

kenai kutuk yang cukup dasyat, di mana arwah mereka tidak

akan mendapat sorga bahkan mereka akan menjadi dasar kawah

neraka. Mereka tidak dibenarkan untuk menitis sebagai manusia

lagi, melainkan akan menjadi binatang rayap yang selalu dihina.

oleh manusia (alinea : 53).

Guna memperoleh gambaran yang lebih luas tentang etika

yang terdapat dalam Prakempa ada baiknya peneliti lukiskan

tentang bermacam-macam bentuk dan fungsi gambol an Bali pada

chart berikut. Bentuk gambelan seperti Nekara, Beri, Tingklik,

Jegog, Bumbung dan Kebyar tidak disebut secara cksplisit dalam

Prakempa dan nama-nama barungan itu merupakan tambahan

dari penulis, serta disesuaikan dengan kenyataan yang ada seka-

rang.

3. Estetika (Lango).

Pembahasan mengenai estetika gambelan dalam lontar Pra-

kempa berintikan unsur-unsur laras (tangga nada) dan tabuh

(struktur atau komposisi lagu). Menurut naskah ini, gambelan Bali

memiliki 4 (empat) jenis laras yaitu laras Pelog 5 (lima) nada, laras

Pelog 7 (tujuh) nada, laras Slendro 5 (lima) nada dan laras Slendro

4 (empat) nada. Semua larasdaras itu bersumber pada seperangkat

gambelan yang bernama gambelan Genta Pinara Pitu (alinea 26,

27, 28, 29 dan 30).

Di samping menguraikan laras yang terdapat dalam instru-

men-gambelan, lontar Prakempa mencantumkan berbagai laras

dalam vokal (suara) dan larasdaras itu disebutnya sebagai suara

mantara, sruti, agosa, anugosa, undantya, anudantya, andana sika

dan bhuh loka. Ke delapan laras vokal itu digunakan dalam

tembang-tembang seperti tembang Gede : Weda, Sruti, Mantra,

Wirama dan tembang Tengahan : Kidung atau Malat. Sedangkan

laras yang terdapat dalam jenis tembang Macapat : Dhurma, Si-

nom, Adri, Ginada dan laindainnya sama sekali tidak memperoleh

pembahasan (alinea : 24).

Selanjutnya naskah ini menyebutkan adanya 3 (tiga) jenis

patet dalam gambelan Pelog seperti patet Demung, patet Selisir

dan patet Sundari.

Sedangkan dalam gambelan Slendro terdapat juga jenis patet

yang meliputi patet Pudak Sategal, patet Sekar Kemoning dan

patet Asep Cina. Di dalam ceritera Panji yang berjudul Wangbang

Wideya, patet Asep Cina disebut pula Asep Menyan sebagai salah

satu dari patet Gender Wayang Bali (Robson, 1971: 35).

Beranalogi dengan kenyataan sekarang bahwa patet-patet

yang terdapat dalam gambelan Smar Pagulingan (Genta Pinara

Pitu) meliputi bentuk-bentuk seperti berikut :



Sebelum lanjut membahas mengenai pengertian tabuh seba-

gai unsur penting dalam pembicaraan tentang estetika gambelan,

lontar Prakempa menguraikan pula secara singkat jenis-jenis lagu

(gending) yang terdapat dalam gambelan Gong (Gong Gede).

Adapun lagu-lagu dimaksud meliputi lagu Smarandana, lagu Wira-

nata, dan lagu Galangkangin. Kecuali lagu Wiranata, kedua lagu

yang lainnya kini masih populer di kalangan para penabuh yang

biasa memainkan Gong (Gong Gedep Di samping pembahasan

mengenai lagu-lagu di atas, pada ringkasan yang sama, naskah

Prakempa menyinggung pula tentang arti simbolis dari instrumen

gong (sebagai sorga), kempul (sebagai perkumpulan segala yang

bersifat suci) dan kajar (sebagai irama atau guru segala tabuh)

(alinea : 32).

Secara harfiah kata tabuh artinya logat atau aturan ting-

kah laku dan pelaksanaanya. Tabuh juga diberi arti sebagai lagu,

gending, nyanyian atau pupuh (alinea : 35) Dewasa ini ma-

syarakat Bali, istilah tabuh diinterpretasikan sebagai orkestrasi(ke-

indahan lagu) dan struktur atau komposisi lagu. Sedangkan di da-

lam lontar Prakempa keterangan mengenai komposisi (struktur)

lagu disebut sebagai angsel atau pepada. Lanjut dari itu bahwa ang-

sel atau pepada yang terdapat dalam gambelan Gong (Gong Gede)

meliputi Angsel Pisan, Angsel Telu, Angsel Pat, Angsel Nem dan

Angsel Kutus.

Dalam kehidupan gambelan Bali sekarang istilah angsel se-

bagai bentuk (komposisi) lagu jarang diketahui dan angsel sudah

biasa digunakan sebagai istilah pengaturan dinamika dalam gen-

ding. Oleh sebab itu dalam pembahasan selanjutnya istilah tabuh

dimaksudkan sebagai komposisi lagu.

Pengertian mengenai Tabuh sebagai komposisi lagu, bela-

kangan ini dibahas secara tertulis oleh Bapak I Nyoman Rembang

dalam bukunya yang berjudul "Hash Pendokumentasian Notasi

Gending-gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali" di

dalam buku tersebut tidak saja ditulis mengenai ukuran lagu (kom-

posisi), tetapi dicatat pula sekitar 45 buah komposisi lagu Gong

(Gong Gede) dari berbagai daerah di Bali. Untuk jelas pengertian

estetika dalam Prakempa, khususnya yang menyangkut soal struk-

tur lagu di bawah ini peneliti kutipkan tabel dari Bapak I Nyoman

Rembang :



4. Gagebug (Teknik).

Aspek terakhir yang menjadi sorotan yang cukup tajam dari

pengarang lontar Prakempa ini ialah gagebug atau teknik menabuh

gambelan. Gagebug merupakan suatu hal yang pokok dalam gam-

belan Bali. Gagebug atau teknik permainan bukan hanya sekedar

ketrampilan memukul dan menutup bilahan gambelan, tetapi

mempunyai konotasi yang lebih dalam daripada itu. Gagebug

mempunyai kaitan erat dengan orkestrasi dan menurut Prakempa

bahwa hampir setiap instrumen mempunyai gagebug tersendiri dan

mengandung aspek "physical behavior" dari instrumen tersebut.

Sifat fisik dari instrumen-instrumen yang terdapat dalam gambel-

an memberi keindahan masing-masing pada penikmatnya.

Di dalam lontar Prakempa terdapat sebuah alinea panjang

yang mendemonstrasikan bermacam-macam gagebug di dalam

gambelan Gong (Gong Gede) termasuk pula berjenis-jenis gagebug

dalam gambelan Gender Wayang (alinea : 40) dan kemudian ter-

dapat sebuah alinea yang khusus membahas teknik pukulan gam-

belan Angklung dan gambelan Genggong. Di samping teknik yang

berarti ketrampilan menabuh, bagian ini menyebutkan pula bebe-

rapa jenis tatorekan (interlocking figuration) sebagai ciri khas

gambelan Bali. Ada sepuluh jenis tatorekan yang dicantumkan da-

lam lontar Prakempa dan bagian ini bisa menjadi suatu penelitian

yang cukup menarik dalam usaha membakukan teknik permainan

gambelan Bali (alinea : 41).

Di pihak lain, almarhum I Gusti Putu Made Geria telah

membahas secara panjang lebar mengenai teknik menabuh dalam

gambelan Smar Pagulingan dan Palegongan yang kini naskahnya

disimpan di ASTI Denpasar.

Almarhum Bapak I Gusti Putu Made Geria selama hidupnya

merupakan seorang Gottama yang ulet dan rajin dan beliau me-

ninggalkan barangkali ratusan gending Gambuh, Gong Gede, Le-

gong Keraton dan Angklung yang kini tersimpan dalam beberapa

perpustakaan pribadi dari murid-muridnya dan mudah-mudahan

satu persatu dari catatan itu dapat diteliti dan dimanfaatkan untuk

umum. Catatan-catatan itu yang tidak saja merupakan contoh

lagu, tetapi termasuk teknik pukulan dan sistem tatorekan, akan

sangat bermanfaat bagi generasi mendatang.

5. Kepustakaan

Aryasa I. W.M. Nilai Mitos Gambelan Bali dalam Lontar Aji

Gurnita Denpasar : Taman Budaya, 1983.

Agastia, Ida Bagus Gede "Jenis-jenis Naskah Bali" (Soetoono ed.

Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika Tata-

krama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali dan Sunda, Pro-

yek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara

(Javanologi) Ditjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, Yogyakarta, 1985.

Bagus, I Gusti Ngurah Satua-satua sane Banyol ring Kesusastraan

Bali, Balai Penelitian Bahasa, Singaraja, 1976

Becker, A.L. Text-building, Epistemology, and Aesthetics in Java-

nese Shadow Theatre. In The Imagination of Reality.

A.L. Becker and A. Yengoyan, eds. pp. 211 - 243. North-

wood, NJ : Ablex.

Depdikbud Sejarah Untuk SMP Kurikulum 1975 CV Baru Jakarta,

1981.

Direktorat Jendral Pariwisata Pengaruh "Mass Tourism" Terhadap

Tata Kehidupan Masyarakat Bali, Denpasar 1973.

Goris, Roelof Prasasti Bali (vol. I) N.V. Masa Baru Bandung, 1954.

Pigeaud, Th. literature of Java (vol. II) Leiden : The Hague, 1968.

Robson, S.O. Wangbang Wideya The Hague Martinus Nijhoff

1971.

Rembang, I Nyoman Hasil Pendokumentasian Notasi Gending-

gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali Proyek

Pengembangan Kesenian Bali, Depdikbud Denpasar 1984/

1985.

Simpen, A.B. Riwayat Kesusastraan Jawa Kuna Denpasar, 1982.

Team Penyusun (Drs. I W. Warna, Ketua ) Ramus Bali Indonesia

Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1978.

Zurbuchen, Mary Sabina The Shadow Theatre of Bali : Explo-

ration in Language and Text. Ph. D. dissertation Michigan

University, 1981.

Zoetmulder, P.J. Kalangwan (terjemahan), Jakarta 1983.

Wallis, R.H. The Voice as a Mode of Cultural Expression in Bali

Ph. D. diss. University of Michigan, 1980.
































BAB III

Teks Prakempa dan Terjemahannya

Kedalam Bahasa Indonsia

PRAKEMPA

1. "Ora Awighnam Astu Nama Siddham".

2. "Ksamaswamem Mahadewa, sarwa praniti ika pamoca papa

byuh, kenecipta maranusantun".

3. Pakulun Paduka Bhatara Hyang Mami, hulunta neda kretha

nugraha ri pada Bhatara makabehan, moga tan katamanan

upadrawa de Hyang Mami, moga tan kaknaning jara merana,

katekaning kula wadwa warga sedaya. Pada manggih dirgayusa,

yuwana wenata urip anut dala kapandang, swang sami pada

manggih karahayon.

4."Om Sidhingastu namasiwaya,

"Om Canthi, canthi, canthi.

5. Iti wiwitning Swara Bumi "Prakempa", ngaran wetnya hana

bumi mwang swara wit wus sangkaning yoganira Sang Hyang

Tri Wisesa, apan wus nisti denira Sang Hyang Sandhi Reka.

Hana katon kadi bola ginandu tanpa teja, anrawang-anruwung,

hana metu aksara tiga sangkaning pantaraning madyanira.

Ring luhur arupa wisah - kayeki rupanya ( ), ring madya

arupa taleng - keyeki rupanya ( ), mwang ring sor arupa

kecek - kayeki rupanya. ( ).

6. Mwah hana Panca Maha Bhuta lwirnya : Pretiwi, Apah, Teja,
Bayu, Akasa, hana katon Surya, Candra, Lintang mwang

Tranggana mwang manca warna lwirnya : Sabda, Ganda, Rupa,

Rasa mwang Saparsa.

PRAKEMPA

1. Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kami tidak mendapat-

kan halangan apa-apa dan segala pujaan kami dapat berhasil

dengan sempurna.

2. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kehadapan Hyang

Widhi yang menguasai alam semesta, segala kata-kata kami

yang salah, karena cita-cita kami terlalu besar untuk memba-

ngunkan inti sari daripada kegembiraan.

3. Sembah kami kehadapan paduka Bhatara, kami mohon wara-

nugraha kehadapan paduka Bhatara semua, moga-moga kami

tidak kena kutuk dari Bhatara yang kami sembah, demikian

juga agar jangan kami hidup sengsara beserta keturunan dan

saudara-saudara kami sekeluarga. Semuanya supaya panjang

umur, gagah perkasa, berwibawa, seperti hidupnya tanam-

tanaman yang daunnya kelihatan sangat rimbun, masing-

masing agar mendapat keselamatan.

4. Ya, Tuhan Yang Maha Pengasih, semoga tercapailah angan-

angan yang selaras dengan panca indra.

Ya, Tuhan ijinkanlah kami jalan damai, damai, damai, tidak

terhalang.

5. Ini asal mulanya suara bumi "Prakempa" namanya, sebabnya

ada bumi dan suara asalnya adalah dari yoganya beliau Sang

Hyang Tri Wisesa karena beliau telah dapat mengeluarkan Sang

Hyang Sandhi Reka. Ada kelihatan sebagai bola gandu, tidak

bercahaya, sunyi senyap, ada keluar aksara tiga yang asalnya

di antara badan beliau. Yang di atas berupa wisah, seperti ini

rupanya ( ), yang di tengah berupa taleng, begini rupanya

( ), dan yang di bawah berupa cecek, begini rupanya ( )

6. Dan ada lagi Panca Maha Bhuta yaitu : Pertiwi, Apah, Teja,

Bayu Akasa; ada kelihatan Matahari, Bulan, Bintang dan

banyak bola-bola di langit serta lima warnanya seperti : Sabda,

anda, Rupa, Rasa dan Saparsa.

7. Kunang ring pangider-ideran, mwang inadyanihana teja awar-

na-warna mwang aksaranya kateka tekeng swara lwirnya :

Ring Purwa arupa putih, aksaranya Sang.

Ring Nairiti arupa dadu, aksaranya Nang.

Ring Daksina arupa bang, aksaranya Bang.

Ring Pascima arupa kwanta, aksaranya Mang.

Ring Kulon arupa jnar, aksaranya Tang.

Ring Bayabya arupa wilis, aksaranya ing.

Ring Uttara arupa ireng, aksaranya Ang.

Ring Ersanya arupa bhiru, aksaranya Wang.

Ring Madya arupa panca-warna, aksaranya Ing;

Ring Madya W.

Ring Sor Y.

Mwang swaranya :

ring Purwa : dang

ring Naritti : ndang

ring Daksina : ding

ring Pascima : nding

ring Kulon : deng

ring Bayabya : ndeng

ring Uttara : dung

ring Ersanya : ndung

ring Madya : dong ring luhur

ndong ring sor.

8. Iki swara wus kang rinancana denira Bhagawan Wiswakarma,

angamet swara wus umetu saking bhumi. Hana asta swara

lwirnya : swara Byomantara gora ika swara wetu saking akasa,

swara wetu saking apah Arnawa Pruti ngaran, swara wetu

saking pretiwi Buhloka ruti ngaran, mwang swara Agosa,

Andugosa, Udantia, Andudantia, Andunasika, ika swara wit

wetu sangkaning Bhumi.

9. Ika rineka sinandyaken dasa swara lwirnya : Panca Swara patut

Pelog, mwang Panca Swara patut Slendro. Patut Pelog, Panca

Tirta ngaran; patut Slendro, panca Gni ngaran. Panca Tirta

peraganing Smara, Panca Gni peraganing Ratih, Marmanya

Smararatih hana Sapta Swara ika^arining pecampuhaning Dasa

Swara lwirnya : ding, dong, deng, ndeung, dung, dang, ndaing.

7. Adapun di sekeliling dan di tengah-tengahnya ada cahaya

beraneka warna disertai dengan aksara dan bunyinya yaitu :

di Timur rupanya putih, aksaranya Sang,

di Tenggara rupanya dadu, aksaranya Nang.

di Selatan rupanya merah, aksaranya Bang,

di Barat-Daya rupanya jingga, aksaranya Mang.

di Barat rupanya kuning, aksaranya Tang,

di Barat-Laut rupanya hijau, aksaranya Sing,

di Utara rupanya hitam, akasaranya Ang.

di Timur-Laut rupanya biru, aksaranya Wang,

di Tengah rupanya lima warna, aksaranya Ing;

diTengah : W.

di Bawah : Y.

Dan swaranya :

di Timur : dang

di Tenggara : ndang

di Selatan : ding

di Barat-Daya : nding

di Barat : deng

di Barat-Laut : ndeng

di Utara : dung

di Timur-Laut : ndung

di Tengah : dong di atas
ndong di bawah.

8. Ini suara yang telah direncanakan oleh Bhagawan Wiswakarma,

mengambil puara yang telah keluar dari bumi. Ada delapan

suara yaitu : suara Byomantara, suara yang besar keluar dari

angkasa, suara yang keluar dari air - Amawa Pruti namanya,

suara yang keluar dari tanah - Buhloka sruti namanya, dan

suara Agosa, Andugosa, Udantia, Andudantia, Andunasika

itulah suara yang keluar berasal dari bumi.

9. Itu dibentuk, digabungkan menjadi sepuluh suara yaitu panca

suara patut Pelog dan panca suara patut Slendro. Patut Pelog

Panca Tirta namanya, Patut Slendro Panca Gni namanya.

Panca Tirta perujudan Smara, Panca Geni perujudan Ratih.

Sebabnya ada Semara Ratih, ada tujuh suara yang merupakan

inti sari dari percampuran sepuluh suara yaitu : ding, dong,

Iki jatinya swara kang wetu sangkaning pangajinira Sang Hayng

Bhuwana, kang ingaran Swara Genta Pinara Pitu, swara ini

kang wus kawini bangga kadi inucap ring luhur, hana mungguh

ring pangider-ideran mwang aksaranya, mwang ring madya

katekatekeng aksaranya juga. Mangkana juga swara Agosa,

Anugosa, Udanya, Anudantya mwang Anunasika, swara iki

juga inamet. Mangkana kalinganya.

10. Iti Sang Hyang Eta Teto.

11. Kayeki wetunya sangkaning payoganira Sang Hyang Tri Wi-

sesa marmanya hana Sang Hyang Tri Ongkara, Tri Aksara

ngaran.



Iti maka cihnaning Pertiwi, Akasa mwang pantaranya. Iti

peragaing Agni, Bayu, Angin, iki ngamijilaken salwiming

tumuwuh mwang salwiming mabudhi manah, maiki wiwita-

nya.

deng, ndeung, dung, dang, ndaing. Ini sebenarnya suara yang

sejati keluar dan berasal dari ciptaannya Sang Hyang Bhuwana

yang dinamai Swara Genta Pinara Pitu, suara ini yang telah

diceritakan di atas, ada tercatat berkeliling tempat dengan

aksara-aksaranya dan di tengah-tengah dengan aksaranya juga.

Demikian juga suara Agosa, Anugosa, Udanya, Anudantya, dan

Anunasika, dari suara ini juga diambil. Demikianlah kenyataan-

nya.

10. Ini Sang Hyang Eta Teto.

11. Seperti inilah keluar dari yoganya Sang Hyang Tri Wisesa,

maka dari itu yang menyebabkan ada Sang Hyang Tri Ongkara,

Tri Aksara namanya.

Ini yang menjadi cirinya Pertiwi, Akasa dan antaranya. Ini

yang menjadi perujudan Api, Bayu, Angin yarig menghidup-

kan segala yang hidup, segala yang berbudi dan pikiran inilah

yang menjadi asal mulanya.

12. Iti Panca Mahabhuta.
13. Iti Sang Hyang Panca Mahabhuta ngaran kang wetu sangkaning

pangkajanira Sang Hyang Bhuwana, Iwirnya mekadi ring luhur.

Apan iki pinaka upajiwaning salwiring tumuwuh mwang sarwa

mabudhi manah, nanging Sang Hyang Tri Wisesa angawe

Utpeti, Sthiti, mwang Pralina.

Mangkana kalinganya, donia hana mijil, hana urip mwang hana

mati.

12. Iti Panca Mahabhuta.

13. Ini Sang Hyang Panca Mahabhuta namanya yang keluar dari

kakinya Sang Hyang Buana terutama seperti di atas. Karena ini

yang menghidupkan segala yang tumbuh dan yang mempunyai

budi serta pikiran. Tetapi semua itu Sang Hyang Tri Wisesa

yang membuat Utpeti, Sthiti dan Pralina. Demikian sebenar-

nya, tujuannya ada tumbuh, ada hidup dan ada mati.

14. Iti Manca Warna.

15. Iti Manca Warna maka daging Bhuwana kabeh. Sabdaning

sarwa sabda, gandaning sarwa ganda, rupaning sarwa rupa,

rasaning salwiring marasa mwang buddhining salwiring ma-

buddhi.

Iki Panca Muka, satru dahat mawisesa nanging jatinya kadang

iki. Iki angawe karahayon mwang angawe kasengsaran. Mang-

kana kaknganya.

14. Ini Lima Warna.

15. Yang lima warna inilah menjadi isinya dunia semua. Pikiran

segala pemikiran, kata-kata segala perkataan, untuk melihat

segala apa yang dilihat, untuk merasakan segala perasaan dan

laksana segala pelaksanaan. Ini lima muka, musuh yang sangat

ampuh dan dahsyat tetapi sebenarnya itu semua keluarga. Ini

yang membikin sejahtera dan selamat, begitu juga sebaliknya

inilah yang membikin kesengsaraan. Begitulah kenyataannya.

16. Iti Aksara Pangider-ider Mwang Rupa

17. Iti aksara maka sengkering Bhuwana, apan bhuwana inurip

denira Sang Hyang Haji Saraswati mwang Sang Hyang Panca

Mahabhuta maka rupa jiwaning salwiring maurip. Swara

mwang Aksara pinaka dasar, apan Sang Hyang Saraswati ma

pangemban Sang Hyang Urip.

16. Ini Huruf-huruf berkeliling dan rupanya.

17. Ini hurup yang menjadi pagarnya bumi, karena bumi dihidup-

kan oleh Sang Hyang Aji Saras wati dan Sang Hyang Panca

Mahabhuta yang menjadi rupa dan jiwanya segala yang hidup.

Suara dan hurup-hurup yang menjadi alasnya, karena Sang

Hyang Saraswati yang memelihara Sang Hyang Urip.

18. Iti Swara Pangidering Bhuwana mwang Aksaranya.

Catatan :

S H = Sang Hyang.

19. Iti swara ring pangider-ideran, inamet ring Swara GentaPinara

Pitu. Panca swara patut Pelog, panca swara patut Slendro. Iki

inangge ring tabuh-tabuhan, mwang swara patut pitu. Apan

Swapiaki wus pinarah ti denira Sang Kawi, marmanya hana

Dasa Swara umungguh ring pangider-ideran. Mangkana wetnya.

18. ini suara beredar di dunia dan hurup-hurupnya.

Catatan :

SH = SangHyang.

19. Ini suara yang berkeliling tempatnya, diambil dari Suara Genta

Pinara Pitu. Panca suara patut Pelog, panca suara patut Slen-

dro. Ini dipakai dalam tabuh-tabuhan, dan suara patut pitu

(tujuh). Karena Swapiaki telah diajarkan oleh Sang Kawi, dari

itu makanya ada sepuluh suara (Dasa Swara) bertempat di

dalamnya berkeliling. Begitulah asalnya.


20. Iti Swara Genta Pinara Pitu Pinarah Tiga.

Iti swara wus pinai^Ttiga. Iti panca^ra patut Pelog, Panca

Tirta ngaran. Panca Tirta peraganing Sang Hyang Swara, srupa

kama petak/peraganing yayah. Ginamel denira Sang Hyang

Wisnu, apain Bhatara Wisnu peraganing Bhuwhna makabehan

Iti swara/ patut pitu, iki swara wiwitannya swaisa sangkaning

Bhatara /Pinara Pitu, iki wus rinancana denira Bhagawan Wis-

wakarma, marmmanya hana manggekatekanyan mangke.

Swara liningganin denira Sang Hyang Rarashiti ginambel

denira Sang Hyang Iswara

Iti swara papatutan tiga, ring luhur Slendro, Panca Brahma ngaran/Panca Brahma

peraganira Sang Hyang Ratih arupa Kumbang. Smararatih

maka angga Sapg Hyang Predana Purusa Jatf; marmanya Smara

angawe katuridan>ltatih angawe prapape^ning manah .

Mangkana witnya.

21. Iti swara papatutan tiga, ring luhur swara patut Pelog ring

madya swara patut Pitu, ring sor swara patut Slendro Tri swa

ra patutan iki kang inangge salwiring tatabuhan sami, mwang

salwiring wirama katekatekang sarwa Pupuh Kakidungan.

Mangkana kalinganya.

20. Ini suaranya Genta Pinara Pitu Pinarah Tiga.

Ini suara patut pitu. Ini Panca suara patut Pelog, Panca

Tirta namanya, Panca Tirta peraganing Sang Hyang Suara,

berupa sperma putih berbadan bapak. Dibawa oleh Bhatara

Hyang Wisnu, karena Bhatara Wisnu yang mehguasai seantero

dunia.

Ini suara patut pitu, ini asal mulanya suara dari Bhatara Pinara

Pitu, ini telah direncanakan oleh Bhagawan Wiswakarma,

makanya, ada dipakai sampai sekarang. Suara yang dikuasai

oleh Sang Hyang Rarasati dibawa oleh Sang Hyang Iswara.

Ini suara patut Slendro, Panca Brahma namanya. Panca Brah-

ma berbadan Sang Hyang Ratih berupa Kumbang. Smararatih

berbadan Sahg Hyang Predana Purusa jati/ makanya Smara

yang membahagiakan keinginan, Ratih yang membikin panca-

indranya pikiran/perasaan.

Begitulah asal mulanya.

21. Ini suara papatutan tiga, di atas suara patut Pelog, di tengah

suara patut Pitu, di bawah suara patut Slendro. - Tiga suara

patutan ini yang dipakai untuk semua tatabuhan dan segala

wirama hingga kepada segala lagu-lagu nyanyian Kakidungan.

Begitulah jelasnya.

23. Iti swara Angkus Prana sumanjing

ring Rebab, kanginangge salwir-

ing tatabuhan sa- mi, dyasti ring

Weda, Mantra, Cru- ti mwang Wirama.

Katekatekeng sar- wa kakidungan

pinaka dasarin pula kretti.


24. Iti Asia Swara Umanjing ring Gambelan,


25. Kang wetu sangkaning pangkajanira pita (Sang Hyang piti)

Iti Asta Swara kang umanjing juga ring tatabuhan, mwang ring

swara lagu, swara wetu sakeng Aksara swara wetu sakeng Apah

mwang swara wetu sakeng Pretiwi. Swara wetu sangkaning

Bhumi, Bhuh Loka Nanda ngaran; swara metu sakeng Aksara,

Byomantara Gosa ngaran; mwang swara kang wetu sakeng

Apah, Arnawa Cruti ngaran; mwang swara Awyanjana, Agosa,

Anugosa, Udantya, Anudantya mwang Anunacika; mangkana

lwirnya.


23. Ini suara Angkus Prana masuk di dalam Rebab


yang dipakai untuk se- gala lagu-lagu tatabuhan


semua, begitu juga un- tuk Weda, Mentra,Cruti

dan Wirama. Hingga sampai dengan lagu-lagu

nyanyian yang dipakai alasnya scgala yang di-

cita-citakan.





24. Ini Asta Suara yang masuk di dalam bunyi-bunyian


25. Yang keluar dari asal mula kakiiti (Sang Hyangiti)

Ini Asta Suara yang masuk juga di dalam bunyi-bunyian dan

pada suara lagu, suara keluar dari huruf-huruf, suara keluar

dari Apah dan suara keluar dari Pertiwi. Suara keluar dari asal

mulanya Bumi, Bhuh Loka Nanda namanya; suara keluar dari

huruf-huruf Byomantara Gosa namanya; dan suara yang keluar

dari Apah, Arnawaruti namanya; dan suara Awyanjana, Ago-

sa, Anugosa, Udantya, Anudantya dan Anunacika demikianlah

banyak macamnya.

30. Iti Swara Catur Loka Pala.

31. Iti Swara patutan Catur, ingambil ring Sapta swara Genta Pi-

nara Pitu ngaran, iki kang rumanjing ring Angklung, apan sapta

swara iki kewaseaken angwetuaken salwiring swara papatutan

sami, marmanya hana papatutan tiga, lwirnya; yan ring patut

Pelog, Demung, Salisir mwang Sundari. Yan ring Patut Slendro

yaika, Pudak Sategal, Sekar Kemoning mwang Asep Cina.

Patutan iki kang umanjing ring Gender Pawayangan, Ring

Pajogedan mwang ring sarwa Pupuh-pupuh sami.

30. Ini Suara Catur Loka Pala.

31. Ini suara patutan Catur, diambil dari suara Genta Pinara Pitu

namanya, ini yang masuk pada Angklung, karena tujuh suara

ini yang berkuasa mengeluarkan segala suara papatutan semua,

makanya ada papatutgn tiga-tiga yaitu : yang masuk dalam

patutan Pelog, Demung, Selisir, Sundari. Bila pada patutan

Slendro yaitu, Pudak Sategal, Sekar Kemoning dan Asep Cina.

Papatutan ini yang masuk pada Gender Pawayangan dan di

dalam Pajogedan hingga sampai kepada segala lagu-lagu se-

mua.

33. Iti Palingganing Yayah Ibu, Peraganing Smara Ratih.

34. Iti peraganing Sang Hyang Akasa mwang Sang Hyang Ibu Pre-

tiwi. Apan Sang Hyang Akasa peraganing guru rupaka, ngaran

Yayah. Kunang Sang Hyang Ibu Pretiwi peraganing Hindhung

ngaran I Meme. Ika maka lingganing Sang Hyang Dwi Warna,

kang umungguh ring ulap-ulap, ider-ider ngaran, marmanya

kateka mangke inangge ring paryangan, minakadi ring pura-

pura mwang ring sanggar-sanggar, mwang ring lwiring kosali.

Mangkana wiwitanya.

35. Iti wiwitning tabuh mwang gending-gending, apan gending

mwang tabuh jatinya sama bheda, apan hana inucap gending

lwirnya, Tabuh Pisan, tabuh Telu, tabuh Pat, tabuh Nem


33. Ini Tempatnya Bapak Ibu, Berbadan Semara Ratih.

34. Ini berbadan Sang Hyang Akasa dan Sang 'Hyang Ibu Pertiwi.

fcarena Sang Hyang Akasa berbadan guru Rupaka, bernama

Bapak. Sedang Sang Hyang Ibu Pertiwi berbadan hidung,

bernama Ibu. Itu yang menjadi tempatnya Sang Hyang Dwi

Warna, yang bertempat ulap-ulap, ider-ider namanya, maka

dari itu hingga sampai sekarang dipakai di pura dan pada

sanggar-sanggar, hingga sampai kepada bangunan-bangunan

rumah. Demikianlah asal mulanya.

35. Ini asal mulanya tabuh (lagu) dan nyanyian-nyanyian, karena

nyanyian dan lagu sebenarnya sama beda, karena ada ter-

sebut nyanyian yaitu, Tabuh Pisan, Tabuh Telu, Tabuh Pat,


mwang tabuh Kutus. Iki tan tabuh ngaran, jatinya mgSel

mwang papada. Apan prakaraning gendmg yogya angangge

kempli mwang kempul. Yaning angangge kempli ping kutus

kempul ping kutus, ika Asta pada ngaran. Hana ingaranan Eka

pada, Tri pada, Catur pada, Pada-pada mwang Asta pada.

Apan maka wiyaktyaning tabuh, wetunya sangkaning kendang,

kajar mwang cengceng. Apan katiga sinanggeh guru. Kendang

guruning tabuh, kajar guruning paniti, cengceng guruning ora-

bak-ombakan. Apan gending irit dening kendang, kajar mwang

cengceng. Mangkana jatinya.

36. Iti pretyakaning tabuh. Tabuh kang inaranan tata ing bhuh.

Tata ngaran prawerti, prawerti ngaran kasusilan, susila ngaran

sasana mwang panglaksana. Apan wiwiting hana wyaktinya

sangkaning tiga, apan Sang Hyang Tri Wisesa angadakaken

salwiring tumuwuh mwang salwiring maurip. Iti hana Sang

Hyang Buh Loka yaika sangkaning payoganira Sang Hyang Tri

Wisesa kang gumawe utpeti, sthiti, pralina.

Matangnyan hana mijil, hana urip mwang hana mati. Hana

nista, madya mwang utama.Hana pretiwi, Akasa mwang Apah.

Apan mula pagawenira Sang Tri Purusa marmanya ring Madya-

loka kang manggeh maka pangentaning jagat, sang Tri Purusa

juga lwirnya, Sang Brahmana, sang Satria, mwang sang Sudra.

Apan tri kang sinanggeh satria mwang kaparusan. Yan sang

Brahmana amanggehaken iwa sesana, ika sang purusa ngaran.

Yan sang Satria amanggehaken kerajanityan ika juga purusa

ngaran, mwang yan sang Sudra juga amanggehaken tataning

bretya sesana, juga purusa sesana ngaran. Apan wit wetuning

manusa ping tiga. Sapisan wit metu sangkaning budhi angen-

angen, matemahan Sang Hyang Kamandalu, Sang Hyang Kama

mijil. Wus wentenaken dening Ibu, matemahan ta wulan. Ri

wus genep wulanya, mijil marupa manusa, ika marmanya hana

Tabuh Nem dan Tabuh Kutuk. Ini bukan tabuh namanya,

sebenarnya angsel dan pepada. Karena segala alat-alat nyanyian

harus memakai kempli dan kempul. Bila nyanyian memakai

kempli delapan kali dan juga kempul delapan kali, itu yang

bernama Asta pada. Ada juga bemama Eka pada, Tri pada,

Catur pada, Pada-pada dan Asta pada. Karena, yang sebenar-

nya tabuh keluarnya dari kendang, kajar dan cengceng. Ketiga

itulah yang sebenarnya guru; Kendang guru daripada tabuh,

kajar guru daripada peniti, cengceng gum daripada ombak

ombakan. Karena nyanyian diikuti oleh kendang kajar dan

cengceng. Demikianlah sebenarnya.

36. Inilah keterangan dari susunan tabuh. Tabuh berasal dari tata

dan bhuh. Tata yang disebut prawerti, prawerti artinya kasu-

silan, susila yang berarti sesana dan pelaksana. karena asal mula

yang sebenarnya berasal dari tiga, karena Sang Hyang Tri Wi-

sesa yang mengadakan segala yang tumbuh dan segala yang

berjiwa. Makanya ada Sang Hyang Bhuh Loka yaitu dari yoga-

nya Sang Hyang Tri Wisesa. Karena Sang Hyang Tri Wisesa

yang membikin Lahir, Hidup, dan Mati; Utpeti, Stiti, Pralina.

Makanya^ ada lahir ada hidup dan ada mati, ada nista madya

dan utama. Ada Pertiwi, Akasa dan Apah. Karena memang

benar dari hasil karyanya Sang Tri Purusa maka dari itu di

Madya-loka (di dunia) yang wajib mengatur negara Sang Hyang

Tri Purusa juga yaitu : Sang Brahmana, Sang Satrya dan Sang

Sudra. Karena yang tiga itu dianggap satria dan kapurusan.

Bila Sang Brahmana yang dikuatkan yaitu pelaksanaan iwa,

itu yang disebut purusa namanya. Bila sang Satria yang betul-

betul menegakkan tata tertib negara, itu juga disebut purusa

namanya, serta bila Sang Sudra yang mentaati dan benar-benar

menjalankan kewajiban kerakyatan (bretya sesana) juga dise-

but purusa sesana. Karena asal mula adanya manusia tiga kali.

Pertama keluar dari asalnya budi angan-angan menjadi Sang

Hyang Kamandalu, Sang Hyang Kama keluar. Setelah diada-

kan oleh Ibu, terjadinya itu sebulan. Setelah lengkap bulanan-

nya keluar merupakan manusia. Itu makanya ada Tri Budhi,

Tri Wiratmara. Berasal dari Tri Budhi ada Budhi Satwam,

Budhi Rajas dan Budhi Tamas itu yang bernama Dharma,

Artha, Kama. Itu makanya ada tiga-tiga yang menjadi pelak-

sana maka dari itu ada tiga puncak begmi tem-

patnya Sang Hyang Tri Purusa yang sebenarnya

ada Sang Hyang Tri Aksara begini rupanya :

berbadan Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu dan Sang Hyang Iswara.

Karena ini yang memutuskan hidup dan mati. Demikian jelas-

nya.

37. Tetapi yang Tujuh Suara itu keluar dari Genta Pinara Pitu yang

menjadi asalnya, diambil oleh sawateking Swargaloka, yaitu

dari watek Apsara Gana, Wrapsara-wrapsari dan Resing Langit,

Resi Tapa dan segala Bhuta Kala semuanya. Di Sorga membi-

kin gambelan Simladprana namanya. Karena sangat menarik

dan manis terdengar meliputi seluruh anggota badan, oleh

karena mengambil dari bunyi-bunyian Sang Hyang Semara

dan Ratih, maka dari itu menimbulkan rasa gembira yang men-

dengar. Itulah makanya Sang Hyang Indra membikin gambelan

Smar Pagulingan, Smara Aturu namanya. Sang Hyang Kwera

membikin gambelan Smar Patangian namanya Smara Wungu.

Sang Hyang Yama membikin gambelan Smar Palinggyan,

Smara Alungguh namanya. Sang Hyang Brahma membikin

gambelan Smar Pandirian, Smara Angadeg namanya. Dan

warga Resi Tapa membikin gambelan Slonding namanya.

Warga Resi yang ada di Langit membikin gambelan Gong.

Semua Bhuta Kala membikin gambelan Babonangan namanya.

38. Ini semuanya mengambil dari gegambelan Simladprana.

Inilah sebabnya gambelan Simladprana hanya di Sorgaloka

tempatnya. Gambelan Salonding di dalam Wana Asrama

tempatnya. Gambelan Smar Pagulingan di Indraloka tempat-

nya. Gambelan Smar Patangyan di Kweraloka tempatnya.

Gambelan Smar Palinggyan di Yamaloka tempatnya. Gambel-

an Smar Pandirian di Brahmaloka tempatnya. Gambelan Gong

di Akasa tempatnya.

Dan itu Bebonangan di Sapta Petala tempatnya. Itu makanya

ada dituruti oleh para prabu di Madyaloka hingga sampai se-

karang. Karena mengadakan upacara ramai-ramai di kerajaan

nira ring watek Dewata. Mangkana kalinganya

37. Kunang ikang sapta swara wetu sangkaring Genta Pinara Pitu

maka purwanya, ingamet denira sawateking Swargaloka, lwir-

nya watek Apsara Gana, Wrapsara-wrapsari mwang Resing

Langit, Resi Tapa mwang sawatek Bhuta Kala makabehan.

Ring Swarga amangun gambelan Simladprana ngaran. Denya

lelep amanis saha angawe karna manohara srengga amradprana,

apan angambil tabang-tabang ira Sang Hyang Smara Ratih,

dadya amangun gambiraning manah sang angrungu. Dadya

Sang Hyang Indra Gambelan Smar Pagulingan, Smara aturu

ngaran, Sang Hyang Kwera amangun gambelan Smar Patangian

ngaran Smara Wungu. Sang Hyang Yama amangun gambelan

Smar Palingyan, Smara Alungguh ngaran. Sang Hyang Brahma

amangun gambelan Smar Pandirian, Smara Angadeg ngaran.

Mwang sawateking Resi Tapa amangun gambelan Salonding

ngaran. Sawateking Resi ing Langit amangun Gambelan Gong.

Sawateking Bhuta Kala amangun Gambelan Babonangan

ngaran.

38. Iki sami ngamet saka ing gagambelan Simladprana. Ika ma-

tangyan Gambelan Simladprana ring Swargaloka stananya.

Gambelan Salonding ring Wana Aprama stananya. Gambelan

Smar Pagulingan stananya ring Indraloka. Gambelan Smar

Patangian ring Kweraloka stananya. Gambelan Smar Pa-

linggyan ring Yamaloka stananya. Gambelan Smar Pandirian

ring Brahmaloka stananya. Gambelan Gong ring Akasa stana-

nya. Mwang ikang Babonangan ring Sapta Petala stananya.

Ika marmanya hana tiniru dening para prabhu ring Madyaloka

katekeng mangke. Apan magawe karamyaning karaton ira sang

Prabhu mwang kaagunganing karatonira, mwang sailen-ilening

Yadnyanira sang nata ratu. Apan sang ratu sama juga kotama-
nira ring

watek Dewata. Mangkana kalinganya.

39. Iti wekasing paniti mwang gagebug, paniti ngaran irama, maka

pranajiwaning tabuh. Gagebug makapranajiwamng gending

ngaran. Yan paniti tunggal umungguh ring gong. Yaning paniti

roro umungguh ring jegogan, Dirga ngaran mwang Sagara,

kama seraga araning swara. Paniti catur ngaran Guru mwang

Segara, Kama Saraga araning swara. Paniti catur Dirga ngaran

mwang Kroti Guci ngaran. Yan ring giying Tutunrami ngaran,

Manohara araning swara. Paniti asta umungguh ring pemade

mwang kantil, Reswa ngaran mwang Hatimurti ngaran Pengan-

car mwang Sadulur araning swara. Paniti "16" umungguh ring

paniti Ganaputra ngaran Itelutur araning swara. Paniti "32"

umungguh ring tatorekan Sketi ngaran, Ngapikarna araning

swara.

40. Iti haraning Gagebug.

Yaning gagebug gong, Kaget atangi ngaran Bhuhloka nada

ngaran. Yaning gagebug trompong Sekar Tanjungsusun nga-

ran, denya angembat silih asih. Ikang gagebug babarangan Sad-

pada angaras santun ngaran, mwang babancangan, Tadah rasmi

araning swara. Ikang gagebug rariyongan I Gajahmina ngaran.

Ikang gagebug giying, Tun tun Rasmi ngaran. Ikang gagebug

pemade mwang kantil, I Talutur mwang sadulur ngaran. Ikang

gagebug gender rambat Ekatanu mwang aninglas ngaran.

Yaning gagebug babarangan Anutasih ngaran. Yaning gage-

bug gender pewayangan Kumbangatarung ngaran. Yaning

gagebug sanunggal Ekapruti ngaran. Yaning gagebug tan pa

selat Anunggalpati ngaran. Yaning gebug selat siki Chandrapra-

ba ngaran. Yaning gebug selat kalih Paduarsa ngaran. Yaning

gebug selat telu Dahanamuka ngaran. Yaning gebug selat pat

Anerang sasih ngaran. Yaning gebug selat lima Anerang Wisaya

ngaran. Yaning gebug selat nem Gana wedana ngaran. Yaning

gagebug selat pitu Anglangkah Giri ngaran. Yaning gebug selat

kutus Asti aturu ngaran.

sans prabu, dan untuk membangunkan kewibawaan di keraja-

an beliau, dan tari-tarian yadnyanya sang nata ratu. Karena

sang nata ratu sama derajatnya dengan para dewata.

Demikian halnya.

39 Ini arti daripada paniti dan gagebug. Paniti disebut irama,

menjadi inti daripada jiwanya tabuh. Gegebug menjadi inti

dari jiwanya nyanyian, demikian jelasnya. Bila paniti menjadi

satu bertempat di gong. Jikalau paniti dua bertempat pada

jegogan, Dirga namanya dan Segara, nama suaranya Kama

Seraga. Paniti catur namanya Guru, nama suaranya Segara

Kama Seraga. Paniti catur Dirga namanya dan Kreti Guci nama-

nya. Bila pada giying Tutunrami namanya, nama suaranya

Manohara. Paniti asta bertempat pada pemade dan kantil.

Reswa dan Hatimurti namanya, Pengancar dan Sadulur nama

suaranya. Paniti "16" bertempat pada peniti Ganarupa nama-

nya, suaranya bernama Itelutur. Paniti "32" bertempat pada

tatorekan Seketi namanya dan Ngapikarna nama suaranya.

40. Ini yang bernama Gagebug.

Bila gagebug Gong, Kaget atangi namanya, Bhuhloka nada

namanya. Jika gagebug trompong Sekar Tanjungsusun nama-

nya, caranya angembat ganti berganti. Begitu juga gagebug

babarangan Sadpada angeraras santun namanya dan baban-

cangan, suaranya bernama Tandak rasmi. Gagebug rariyong-

an I Gajahmina namanya. Bila gagebug giying, Tuntun rasmi

Gagebug pemade dan kantil, I Talutur dan Sadulur namanya.

Gagebug gender rambat Ekatanu dan Aninglas namanya. Bila

gagebug babarangan Anutasih namanya. Jika gagebug gender

pawayangan, Kumbangatarung namanya. Gagebug sanunggal

Ekayruti namanya. Jika memukul seling satu, Chandrapraba

namanya. Kalau seling dua Paduarsa namanya. Memukul

seling tiga Dhanamuka namanya. Seling empat memukul

Anerang sasih namanya. Bila memukul seling lima Anerang

wisaya namanya. Seling enam memukulnya Gana wedana

namanya. Memukul seling tujuh Anglangkah Giri namanya.

Seling delapan memukul Asti aturu namanya.

41. Iti gagebug Angklung.

Gagebug Angklung Kumbang atarung ngaran, Tadah asih aran-

ing swara. Mwah tingkahing gagebug Gambang, Angentrag ruru

ngaran, Geleng pengasuh araning swara. Mwang tandang Rere.

baban, Bhuta ngawa sari ngaran, Madukaralalita araning swara.

Mwang tandang Sasulingan Tunjung arip ngaran, Karna manu-

hara araning swara. Mwang tandang Angenggong, Hametbet

lati ngaran, Madukara santun araning swara, denya samar

nyata ngaran. Mwah tandang angebug Cengceng, Edan ulangun

ngaran, banyu runtuh araning swara. Mwah tandang angebug

Kaklentangan Kaget asih ngaran. Nyan wustuning gagebug.

Tatorekan, 1, hanyekati, 2, hagegelut, 3, hababelit, 4, uder-

uderan, 5, tulak wangsul, 6, aling-aling, 7, habeburu, 8, hate-

tungkangan, 9, ajejepit, 10, anyarang paksi ngaran. Mangkana

kramanya, denya anati mantra lingga mwang catur mantra

lingga. Mangkana kalinganya.

42. Iti Pretyekaning Asta Swara, lwirnya :

Swara Loka Danda, swara Byomantara Gora, swara Amawa

Cruti, swara Agosa, swara Anugosa, swara Anudantya, swara

Anunasika, saika kwehnya.

Kunang ikang swara Byomantara Gora, adalan ring Kanta,

umanjing ring kendang.

Ikang swara Bhuhloka ruti adalan ring luhuring kanta,

umanjing ring gong.

Swara Arnawa ruti adalan ring luhuring lidah, umanjing

ring cengceng.

Swara Agosa, adalan wed ing lidah, umanjing ring jegog-

an.

Swara Anugosa adalan ring labing lidah, umanjing ring

trompong.

Swara Anudantya adalan ring antanin cangkem umanjing

ring giying mwang jublag.

Swara Anusika adalan ring murda, umanjing ring riyong-

Mangkana Kramanya.

41. Ini pukulan Angklung.

Pukulan Angklung Kumbang atarung namanya, nama suaranya

Tadah asih. Dan cara-cara memukul Gambang, Angentrag ruru

namanya suaranya bernama Geleng pengasuh. Dan cara me-

mainkan Rerebaban Bhuta ngawa sari namanya, Makara lalita

nama suaranya. Dan tandang Sasulingan Tunjahg arip nama-

nya, nama suaranya Karna manohara. Kalau tandang Angeng-

gong, Hametbet lati namanya, suaranya bernama Madukara

santun, karena samar nyata namanya. Dan tandang memukul

Cengceng, Edan ulangun namanya air jatuh nama suaranya.

Kalau tandang memukul Keklentangan Kaget asih namanya.

Demikian nyatanya nama-nama memukul. Tatorekan 1, hanye-

kati, 2, hagegelut, 3, hababelit, 4, uder-uderan, 5, tulak wang-

sul, 6, aling-aling, 7, habeburu, 8, hatetungkangan, 9, ajejepit,

10, anyarang paksi namanya. Demikianlah cara-caranya apabila

mentaati mantra. Begitulah jelasnya.

42. Ini susunan nama-nama dari Asta Suara, yaitu :

Suara Loka Danda, suara Byomantara Gora, suara Arnawa

Cruti, suara Agosa, suara Anugosa, suara Anudantya, suara

Anunasika, sedemikian jumlahnya.

Suara Byomantara Gora itu jelasnya ada bertempat di

leher, masuk pada kendang.

Suara Bhuhloka Qruti, tempatnya ada di atas leher masuk

di gong.

Suara Arnawa Cruti tempatnya ada di atas lidah, masuk

pada cengceng.

Suara Agosa tempatnya di pangkal lidah, masuk pada

jegogan.

Suara Anugosa tempatnya di ujung lidah, masuk pada

trompong.

Suara Anudantya tempatnya pada tenaga 1 renggangnya

mulut, masuk di jublag dan giying.

Suara Anusika tempatnya pada rahang atas masuk di

riyong. Demikianlah caranya.

43. Kramaning swara, lwirnya : Sandi awyanjana, apan hana warga

sandinya mwang mantra lingganya hana swara luhur mwang

swara sor. Ika matangnyan sang anggurwanmg tatabuhan

yogya wruha ring kretta lingganing swara lwirnya : yaning

lingga ring dang alit, tan yogya angampel dening swara ding

ageng, mwah yaning lingga ring dong alit, tan yogya angampel

dening swara dung ageng, apan tan mula warganya, mwang

mantranya. Kang wenang angampel swara ika lingga swara ring

ding ageng, dung alit mantranya. Yaning lingga ring dung

ageng, dong alit mantranya. Ika swara tan katuminan ngaran.

Nanging ring patut Salendro hana anak retanya, ring patut

Pelog genahnya. Apan swara patut pelog ngaran laki patut

Salendro ngaran wadu. Ika marmanya swara patut Salendro

wenang sekama-kama, apan pawakan wadu. Mangkana lwir-

nya.

44. Iti wekasing Aji Mredangga ngaran.

Om, Awighnamastu, Kunang ikang dasar swara Dasa Bayu nga-

ran, dasa aksara Ongkaranya, marmanya matemahan Panca

Tirta mwang Panca Gni, kayeki lingganya : swara dang, a, ding,

i, deng, e, dung, u, dong, o. Yan swara salendro kayeki :

ndang, a, nding, i, ndeng, e, ndung, u, ndong, o. Mwah swara

dang dewanya Iswara, ding Brahma, deng Mahadewa, dung

Wisnu, dong Ciwa. Yaning Salendro : ndang Mahadewi, nding

Saraswati, ndeng Gayatri, ndung Sri Dewi, ndong Huma Dewi,

wekasan atemahan lanang lwirnya : Mahesora, Sangkara,

Ludra, Sambhu, Budha. Yeka salendro pelog.

45. Maka tatabuhan Gambuh, kayeki jajaranya. Yan gurnita patut

pelog rumuhun patut salendro ring untat, lwirnya : dung,

ndung, dang, ndang, ding, nding, dong, ndong, deng, ndeng.

Lyan mahh kayeki; dang, ndang, ding, nding dong ndong,

deng, ndeng, dung, ndung. Lyan malih kayeki ; ding,

nding, dong, ndong, deng, ndeng, dung, ndung, dang, ndang.

Lyan malih kayeki ; dong, ndong, deng, ndeng, dung, ndung,

Dang, ndang, ding, nding.

43 Tentang perkembangan suara yaitu : Sandi awyanjana, karena

ada keluarga sandinya dan mentra lingganya, ada suara atas

dan bawah. Maka dari itu barang siapa yang berguru kepada

tetabuhan harus mengetahui dengan dalil-dalilnya dan tempat-

tempatnya suara yaitu : apabila tempat pada dang kecil tidak

boleh disertai dengan suara ding besar, dan apabila tempat

pada dong kecil, tidak boleh disertai dengan suara dung besar,

karena bukan itu warganya, dan mentranya. Yang boleh

menyertai suara ini, tempat suara pada ding besar dung kecil

mentranya, itu suara tidak ketuminan namanya. Tetapi pada

pa tut Slendro ada anak leretannya, pada patut pelog tempat-

nya. Karena suara patut Pelog bernama laki, patut Slendro

bernama perempuan. Itu makanya suara patut Slendro boleh

di mana-mana karena berbadan perempuan. Demikianlah

kenyataannya.

44. Ini keterangan Aji Merdangga namanya.

Ya Tuhan semoga tak terhalang, Penjelasan daripada dasar

suara Dasa Bayu namanya, Dasa Aksara Ongkaranya, maka

dari itu menjadi Panca Tirta dan Panca Geni, begini tempat-

nya : suara dang, a, ding, i, deng, e, dung, u, dong, o. Bila suara

Slendro begini : ndang, a, nding, i, ndeng, e, ndung, u, ndong,

o. Dan suara dang dewanya Iswara, ding - Brahma, deng -

Mahadewa, dung - Wisnu, dong Ciwa. Pada suara Slendro :

ndang - Mahadewi, nding - Saraswati, ndeng - Gayatri, ndung -

Sri Dewi, ndong - Huma Dewi. Kemudian menjadi laki yaitu :

Mahesora, Sangkara, Ludra, Sambhu, Budha, itu Slendro dan

Pelog.

45. Untuk tatabuhan Gambuh begini deretannya. Bila gurnita

patut Pelog pertama patut Slendro belakangan, yaitu : dung,

ndung, dang, ndang, ding, nding, dong, ndong, deng, ndeng.

Yang lain lagi begini : dang, ndang, ding, nding, dong, ndong,

deng, ndeng, dung, ndung. Ada lagi lainnya begini : ding,

nding, dong, ndong, deng, ndeng, dung, ndung, dang, ndang.

Begini lagi lainnya : dong, ndong, deng, ndeng, dung, ndung,

dang, ndang, ding, nding.

46 Walikakena salendro tumuta pelog kadi jajaran nng nguni juga.

swara pelog ngaran swara Anusas.ka adalan nng Grena,

tara slTdro NgadaL Kriya adalan ring wodmg hdah, talmg,-

nya sawang bero karungu. Kunang ikangswara dang^sastranya

Ksa tinunggu dening Sodyajata, dmg, Ks. Sang Bamodewa,

deng Ksesang Tat Purusa, dung Ksu, sang Aghora, dong Kso

sang Isana.

47. Kunang ikang swara ndang sastranya Hra, tinunggu dening sang

Korfika. Nding Hri, sang Gargha, ndeng Hre, sang Metn, ndung

Hru, sang Kurutya, ndong Hro, sang Wretanjala.

48. Ikang swara Pelog Panca Dewatanya : Iswara, Brahma, Maha-

dewa, Wisnu, Piwa. Ikang swara : dang, ding, deng, dung,

dong; sastranya, Ca, Ba, Ta, A, I. Kunang ikang swara salendro

Panca Dewatanya : Mahesora, Sangkara, Ludra, Sambhu,

Budha. Iking swara, ndang, nding,. ndeng, ndung, ndong,

sastranya; Na, Ma, Ci, Wa, Ya. Kunang ikang swara pelog lima

kwehnya swara salendro lima kwehnya, ginepukaken mate-

mahan dasa aksara lwirnya; Ca, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Pi, Wa,

Ya. Ginungwa juga dening Angsanya matemahan Panca Aksara

mwang Panca Brahma, kayeki, Cang, Bang, Tang, Ang, Ing,

Panca Tirta, Nang, Mang, Ping, Wang, Yang.

49. Panca Gni mwah kasuksmanya Panca Tirta, maring jeroning

Kopala apupul, iniliran dening Pancasya lwirnya; Ksa, Kasi,

Ksu, Kse, Kso, wetu ring karna tengen matemahan swaraning

tatabuhan, karungu angrerengih lelep manis tan sah amangun

ulanguning cita, mawetu manah oneng. Mwah ikang Panca

Brahma, aneng Jero Garbha apupul, iniliran dening Panca

Reswa lwirnya, Hra, Hri, Hru, Hre, Hro, wetu ring karna kiwa

matemahan swara tatabuhan, angalup tanpa angawa karna

manohara, amangun gumiraning manah, wetu samangkana

apupul swara tatabuhan ika dadi sanunggal, lila ambek sang

angrungu makabehan, riwekasan umanjing akena ri lenging

irung kahh terus tekeng hati, apupul swara ika sumusup ring

lenging hati awor lawan manah, wekasan dadi manah menget

setata.

46 Slendro dibalikkan menuruti Pelog, seperti deretan yang dulu

juga. Suara Pelog disebut suara Anusasika tempatnya di irung,

suara* Slendro Ngadah Kriya tempatnya di pangkal lidah maka

dari itu kedengarannya suara agak bero. Sedang itu suara dang

hurufnya Ksa ditunggu oleh Sodyajata, ding, Ksi sang Bamo-

dewa, deng Kse, sang Tat Purusa, dung Ksu, sang Aghora, dong

Kso sang Isana.

47. Sedang suara ndang itu hurufnya Hra, ditunggu oleh sang

Korpika. Nding Hri sang Gargha, ndeng Hre sang Metri, ndung

Hru, sang Kurutya, ndong Hro sang Wretanjala.

48. Suara Pelog itu lima dewatanya, Iswara, Brahma, Mahadewa,

Wisnu, iwa : Itu suara, dang, ding, deng, dung, dong; huruf-

nya, Ca, Ba, Ta, A, I. Suara Slendro itu lima dewatanya, Mahe-

sora, Sangkara, Ludra, Sambhu, Budha. Ini suara, ndang,

nding, ndeng, ndung, ndong, hurufnya, Na, Ma, Ci, Wa, Ya.

Sedang suara Pelog lima banyaknya, suara Slendro lima ba-

nyaknya, disatukan menjadi sepuluh huruf-huruf yaitu Ca, Ba,

Ta, A, I, Na, Ma, i, Wa, Ya. Juga ditunggu oleh Angsanya

menjadi Panca Aksara dan Panca Brahma begini : Gang, Bang,

Tang, Ang, Ing, Panca Tirta, Nang, Mang, ing, Wang, Yang.

49. Panca Geni dan Panca Tirta di dalam kepala tempatnya ber-

kumpul, dicampuri oleh Pancasya yaitu, Ksa, Ksi, Ksu, Kse,

Kso, keluar melalui telinga kanan menjadi suara tatabuhan

kedengaran merdu dan manis serta menarik perasaan tidak

putus-putusnya membangun suka cita dan menimbulkan pera-

saan senang. Dan itu Panca Brahma kesenangan di dalam

Garbha (hati) berkumpul dicampuri oleh Panca Reswa yaitu :

Hra, Hri, Hru, Hre, Hro, keluar melalui telinga kiri menjadi

suara tatabuhan, berbau harum tidak membawa dan menarik

pendengaran, membangun perasaan gembira, demikian keluar-

nya berkumpul suara tatabuhan itu menjadi satu, senang pe-

rasaan orang banyak mendengarnya dan akhirnya masuk ke

dalam kedua lobang hidung terus menembus ke hati, berkum-

pul suara itu terus masuk ke dalam hati bercampur dengan

pikiran, kemudian menjadi buah pikiran dan selalu merasa

ingat.

50. Maring umuning tatabuhan ika wus araket ring idep ika mar-

manya angawe kaweruhan ikang wwang mahyun angamel

laguning tatabuhan. Yeki kang ginelar dening para guruning

watek tatabuhan. Yan tan weruh ri pangidep teka yeki tan

yogja sira anggurwaning tatabuhan, apan dahat ila-ila donia,

anemu sengsara kapatinya wekasan.

51. Kunang lwirning tatabuhan kang utamaning utama yaning

logam taru wuku, anut dasa uga. Anging harang wwang wruha

apan masangitan dening tutur suksma, piningit dening sang

sadaka, tan yogya wera, apeliha juga wong kinaweruhi.

52. Mwang yaning angupakara salwiring tatabuhan rikala wuku

Krulut, ring dina Ganiscara Keliwon. Bebantenya, kang inarep

sesayut pengambeyan, pras, panyeneng, sodan, daksina, bla-

baran, katipat gong kelanan, canang burat wangi lenga wangi,

pasucian, rantasan, kumkuman saha panyamblehan. Mwah

pangulapan panegteg, prayascita sakeng sang wiku. Lyan

sakeng rika sakarepta ngawewehan wenang, mwah rikala

samangkana sang wruh tatabuhan, asuci laksana. Mangkana

kalinganya.

53. Yan tan sang wruh sawuwus pascating tatabuhan, kang wus

dadi guruning tatabuhan, anetepaken kang tepeting sastra iki,

ayu palanya tekeng patinya wekasan. Mwah yan tan angweruhi

ri pamutusing sastra iki, papa palanya tekeng patinya, atmanya

dadi dasaring kawah Tambragohmuka, tan walya jadma mwah,

matemahan guricak mwah salwiring duleging rat, apan anamo-

haken tutur yukti. Kengetakena ayua lupa


54. Kunang yan ngupakara tabeh-tabehan, riwusnya ngupakara

yogya sakwehing sekaning tabeh-tabehan ika ngabakti pM

tiga. Saprsan ring sekar, angacep ring Sang Hyang Agni, Surya,

50. Dari bunyinya tatabuhan itu telah melihat di dalam hati sanu-

barinya, itulah sebabnya orang mengetahui dan ingin mengeta-

hui dan' menguasai lagunya tatabuhan. Inilah yang dipergelar-

kan oleh para guru-guru dari tatabuhan. Apabila tidak menge-

tahui dan tidak dapat meresapkan hal ini tidak boleh kalian

menjadi guru dari tatabuhan, karena sangat berbahaya olehnya

dan dikemudian hari pada saat meninggal dunia menderita

kesengsaraan.

51. Dan lagi segala tatabuhan yang paling utama apabila logam

taru wuku, menuruti sepuluh juga. Tetapi jarang orang menge-

tahui karena bercampur dengan nasehat suksma, tidak disebar-

kan oleh yang bijaksana, tidak boleh diumumkan apabila

kepada orang yang tidak dikenal.

52. Dan apabila merayakan segala tatabuhan, pada waktu wuku

Kerulut, pada waktu hari Sabtu, Keliwon. Bahan-bahan seSa-

jennya, yang utama memakai sesayut pengambeyan, peras,

panyeneng, sodaan, daksina, blabaran, ketipat gong kelanan,

canang burat wangi lenga wangi, pasucian, rantasan, kumkum-

an dengan penyamblehan (ayam panggang). Dan pengulapan

panegteg, prayascita dari sang wiku. Lain daripada itu boleh

juga ditambah sekehendak kelalaian dan pada waktu itu orang

yang telah meresapkan tatabuhan asuci laksana (membersih-

kan diri luar dalam). Demikian sebenarnya.

53. Apabila orang tidak mengetahui dan bijaksana dari bunyi-

bunyian tatabuhan dan telah menjadi guru dari tatabuhan, me-

netapkan dan teliti menuruti aksara ini, selamat pahalanya

hingga sampai meninggal dunia di kemudian hari. Demikian

juga sebaliknya apabila tidak mengetahui dengan inti sari dari

aksara ini, neraka pahalanya hingga sampai saat matinya, roh-

nya menjadi alasnya kawah Tambragohmuka, tidak bisa

menitis menjadi manusia lagi, menjadi kuricak (binatang me-

rayap) dan segala yang tidak disenangi orang, karena tidak

menghiraukan dan tidak menghayati nasehat-nasehat yang

sejati. Ingatlah selalu jangan sekali-kali dilupakan.

54. Ingatkan lagi apabila merayakan bunyi-bunyian setelah mera-

yakannya semua pengikut bunyi-bunyian itu sembahyang tiga

kali. Pertama dengan bunga kepada Sang Hyang

Candra, Lintang mwah ri Sang Hyang Akasa. Apan sira lwih ri
Isining Bhuwana Agung, pinaka saksining sembah. Malih sapi-

San dening sekar mewarna angacep ri Sang Hyang Bayu, Sabda,

Idep. Apan sira maka pangukuhing Bhuwana Alit maka uriping

Sariranta. Wus mangkana ngabakti dening kawangi, angacep

Ring Sang Hyang Menget. Ika kasuksmania. Ri wus mangkana

annuli matirta dening

kumkuman ri nguni, sirat ping tiga, inem

ping tiga, usap angganta ping tiga. Ri wus mangkana nembah

puyung sapisan, angacep sang Hyang Gangga, apan Sang Hyang

Gangga maka dasar kumkuman ika.


Ageni Curya, Candra, Bintang dan kepada Sang Hyang Akasa.

Karena semua itu yang mengetahui isi daripada dunia semesta,

Dan menjadi saksi pada waktu sembahyang. Lagi sekali dengan

Bunga berwarna ditujukan kepada Sang Hyang Bayu Sabda

Idep. Karena semua itu menjadi kekuatan di dalam badan

(Bhuwana Alit) yang menjiwai seluruh badan. Setelah itu sem-

bahyang dengan kawangi ditujukan kepada Sang Hyang

Menget. Itu yang maha sukmanya. Setelah demikian mohon

tirta dan air kumkuman yang telah tersedianya lebih dulu,

diperciki tiga kali, di minum tiga kali, (gosokkan) pada anggota

badan tiga kali. Setelah itu sembahyang kosong lagi sekali ditu-

jukan kepada Sang Hyang Gangga yang menjadi alas dari kum-

kuman itu.

ITI TUTUR CATUR MUNI-MUNI

55. Catur ngaran patpat, muni-muni ngaran gagambelan. Nyata

gagambelan Smar Pagulingan ngaran Smara Aturu, gendingnya

Pagambuhan maka gagambelan Barong Singa, Gagambelan

Smar Patangian ngaran Smara Awungu, gendingnya pasesen-

donan maka gagambelan Legong Keraton. Gambelan Smar

Palinggyan ngaran Smara Alungguh, gendingnya maka gagam-

belan Joged Papingitan. Gambelan Smar Pandirian ngaran

Smara Ngadeg gendingnya Pakakintungan maka gagambelan

Barong Ket.

56. Kunang 1 wiring gagambelan : Smara Aturu tiniladan sakeng

Indraloka, Ikang Smara Awungu tiniladan sakeng Yamaloka,

ikang Smara Alungguh tiniladan sakeng Kweraloka, ikang

Smara Angadeg tiniladan sakeng Bharunaloka. Kunang gagam-

belan sakawan iki inangge sajeroning purinira sang prabhu

stananya, apan yan ring sekala sang prabhu sama kotamanya

lawan watek Lokapala.

57. Kunang papatutan gagambelan sekawan iki sama pelog tan

tan kalen, pepatutannya, ana patut patut lima, ana patut nem,

ana patut pitu ndi ikang ingoneng. Yan patut lima swaranya

karungu : dang, ding, dung, deng, dong. Mwah yang patut nem

maimbuh malih asiki, ana swara karungu bero, kadi swara

kalima inguni, sapisan karaket dening swara dang ageng.

Yan patut pitu maimbuh malih asiki, ana swara karungu bero

alit, kadi swara kalima kaye nguni juga, sapisan karaket dening

swara deng alit.

58. Kunang yan anabuh papatutan lima, yan ana swara gendingnya

kabero pinukulan kenes, mwah kang gending swara sadurung-

nya kabero, pinukulnya kalen yan tinepepan sinarengan, dyas-

tu bero ageng alit sama juga dadinya, yan uruha malu gagam-

belan pada juga pepatut lima lawan nem, dyastu pitu tan

popama ngawe manah oneng, tan sah mangun citta prapanca,

adalan saking karna ngaran karna manohara prapanca de

swaraning gagambelan.

INI NASEHAT CATUR MUNI-MUNI

55 Catur artinya empat, muni-muni yaitu gagambelan. Dan itu

gegambelan Smar Pagulingan artinya Smara Aturu, nyanyian -

nya Pagambuhan untuk gegambelan Barong Singa, Gagambelan

Smar Patangian artinya Smara Awungu, nyanyiannya pasesen-

donan yaitu untuk gagambelan Legong Keraton. Gagambelan

Smara Palinggihan artinya Smara Alungguh, nyanyiannya

untuk gagambelan Joged Papingitan. Gambelan Smar Pandirian

bernama Smara Ngadeg nyanyiannya Pakakintungan untuk

gagambelan Barong Ket.

56. Sedang segala gegambelan yaitu : Smara Aturu meniru dari

Indraloka, Smara Awungu mencontoh dari Yamaloka, Smara

Alungguh dapat dari Kweraloka dan itu Smara Ngadeg meniru

dari Bharunaloka. Semua gagambelan yang disebut ini dipakai

di dalam purinya sang prabhu di sana tempatnya, karena men-

jadi kenyataan sang prabhu sama utamanya dengan keadaan di

Lokapala.

57. Adapun papatutan gagambelan sekawan ini sama dengan pelog

tidak ada bedanya, papatutannya, ada patut lima, ada patut

enam, ada patut tujuh hal itu menurut keinginan. Bila patut

lima swara yang kedengaran : dang, ding, dung, deng, dong.

Dan bila patut enam, ditambah lagi satu, ada kedengaran suara

bero, seperti suara kelima di atas, menjadi satu dicampur de-

ngan suara dang besar. Bila patut tujuh ditambah lagi satu

suara, ada kedengaran suara bero kecil, seperti suara kelima

di atas juga menjadi satu dicampur dengan suara deng kecil.

58. Apabila menabuh papatutan lima, bila ada suara nyanyian

kabero cara memukulnya merindukan, dan itu nyanyian sebe-

lumnya suaranya bero, memukulnya pelan dan menutupnya

bersamaan walaupun bero besar dan kecil sama juga jadinya,

bila bertentangan dulu tatabuhannya sama juga papatut lima

dengan enam, walaupun tujuh tidak menjadi soal juga mem-

bangunkan perasaan senang, tidak putus-putusnya menim u -

kan perasaan gembira, adalah dari telinga kenya^u^yea

na mendengar sangat manis dan rhenarik pancaindra suaranya

bunyi-bunyian.


59 Mwah yan hana swakarya yan ageng wenang gambelan iki

tinabuh, kala Sang Hyang Catur Wedha inuncaraken dening

sang wiku sang amuput karya. Kunang yan karya hayu ring

sanggar atawa ring kabuyutan, ring paryangan agung, alit,

gagambelan iki kang utama pinalu ring kana. Mwah ring pa.

ngambilan pabuncingan muang pangupa pah wang, angelaraken

sopakaraning babanten, mwang papendetan katur ring Dewa.

60. Kunang yan angaci-aci punang gegambelan iki, kala dina anis-

cara Keliwon Kerulut, babantenya kadi inucap ri nguni juga,

nghing kumkumannya bineda-beda. Yan Smar Pagulingan,

asekar sarwa putih; yan Smar Patangyan, asekar sarwa bang;

yan Smar Palinggyan, asekar sarwa kuning; yan Smar Pan diri-

an, asekar sarwa ireng. Anging sang Pandita juga aweh tirta

mwang panglukatan.

61. Nihan babarungan gagambelan kang manut tatanya. Yan Smar

Pagulingan, ndyata : kempul sanunggal sawurnya paketutan

nding, kempyung satungguh swaranya dong-deng, kajar sa-

nunggal, suling ageng roro, suling babarangan roro, terompong

babarangan sanunggal, curing pangageng sapasang, jublag sa-

pasang, panyacah sapasang, gangsa ageng sapasang, gangsa

manengah sapasang, sama ngumbang ngisep, gumanak tatiga,

kangsi satungguh, ricik alit kalih tungguh, ricik manengah

satungguh; jangkep kayeki.

62. Mwah yan Smar Patangian, ndyata : kempul satunggal sawur-

nya manyomanan ndung, kemong gantung sanunggal swaranya

ndung, kajar sanunggal sawurnya ndung, gupek roro lanang

wadon, rebab sanunggal, suling ageng roro, suling babarangan

roro sama ngumbang ngisep, gender ageng sapasang, jegogan

sapasang, jublag sapasang, panyacah sapasang, kantil sapasang,

gangsa manengah sapasang, gangsa alit apasang, nging sama

ngumbang ngisep, gumanak tatiga, genta orag apancer alit,

kecek tigang wungkul alit, kecek manengah kalih wungkul,

kecek ageng sawungkul, jangkep kayeki.

59. Dan apabila ada pekerjaan yang besar boleh bunyi-bunyian

ini dibunyikan, pada waktu Sang Hyang Catur Wedha di-

mantrakan oleh penghulu agama yang mengelarkan pekeria

hayu dewa yadnya di sanggar dan di sanggar kawitan di lr

hyangan agung, dan kecil, bunyi-bunyian ini paling utama

harus dibunyikan di sana. Juga boleh dipukul pada waktu per

kawinan atau manusayadnya, inilah mengelarkan segala

upakara-upakara sesajen, serta tari papendetan dihaturkan

kehadapan Hyang Widhi.

60. Gagambelan ini mengenai upakara-upakara hari perayaannya

jatuh pada hari Sabtu Keliwon wuku Kerulut, sesajennya

sama dengan seperti yang telah dipaparkan di muka, tetapi

air kumkumannya berbeda-beda. Bila Smar Pagulin'gan se-

mua bunga-bunganya putih; dan mengenai Smar Patangian,

bunganya semua merah warnanya; untuk Smar Palinggyan

warna bunganya semua kuning; bila Smar Pandirian, warna

bunganya semua hitam. Tetapi sang Pandita juga yang harus

memberi tirta pembersihan (pengelukatan).

61. Inilah perkumpulan alat-alat dari bunyi-bunyian yang menu-

ruti tata caranya. Bila Smar Pagulingan alat-alat yang menyer-

tai yaitu : kempul satu yang suaranya paketutan nding, kem-

pyung satu tungguh suaranya dong-deng, satu kajar, dua suling

besar, dua suling kecil, terompong babarangan satu, curing

besar satu pasang (dua), jublag sepasang, panyacah sepasang,

gangsa besar sepasang, gangsa menengah sepasang, sama ngum-

bang ngisep, gumanak tiga, kangsi setungguh, cukup sekian ini.

62. Dan apabila Smar Patangian, alat-alatnya yaitu : kempul satu

suaranya ndung, kemong gantung satu suaranya ndung, kajar

satu suaranya ndung, gupek dua lanang-wadon, satu rebab,

suling besar dua, suling babarangan dua, sama ngumbang-

ngisep, gender besar satu pasang, jegogan satu pasang, jublag

sepasang, penyacah sepasang, kantil sepasang, gangsa mene-

ngah sepasang, gangsa kecil sepasang, tetapi sama ngumbang-

ngisep, gumanak tiga, genta orag sepancar kecil, kecek tiga

cakep kecil, kecek menengah dua cakep, kecek besar satu

cakep, cukup begini.

63. Mwah yan Smar Palinggyan ndyata : kempul sanunggal sawur-

nya pamadeya ndeng, kemong gantung sanunggal sawurnya

ndong, kemong jongkok sanunggal sawurnya ndang, kendang

agung' sanunggal lalanangan rebab sanunggal, suling ageng

roro, suling babarangan roro sama ngumbang-ngisep, terom-

pong ageng sanunggal, terompong babarangan sanunggal, cu-

ring pangageng apasang, jegog sapasang, jublag apasang, pa-

nyacah sapasang, gangsa ageng sapasang, gangsa manengah

sapasang sama ngumbang-ngisep, gumanak tatiga manengah,

kangsi satungguh, ricik alit kalih tungguh, kecek manengah

satungguh, jangkep kayeki.

64. Mwah yan Smar Pandirian ndyata : kempul sanunggal sawur-

nya wayahan ndong, kempyung satungguh swaranya dang,

dung, kemong jongkok sanunggal swaranya ndong, kendang

ageng sanunggal wawadonan kala-kala apapanggulan, rebab

sanunggal, suling ageng sanunggal, suling babarangan roro, gen-

der pangageng apasang, gender babarangan apasang, jegog se-

pasang, jublag sapasang, panyacah sapasang, kantil sapasang,

gangsa manengah sapasang, gangsa alit sapasang sama ngum-

bang ngisep. Gumanak menengah tatiga, genta orag apancer

alit, kecek alit tigang wungkul, kecek menengah tigang wung-

kul, jangkep kayeki.

65. Kunang ri nguni sawateking tapa brata ring wana wukir pada

ring pasramanira hana katon gender, trompong, curing, daun-

nya kayu kang inaranan pipil, yan gender apelawah pring, yan

trompong apelawah tambang, yan curing apelawah kayu, ika

katiganya inaranan gagambelan Salunding.

66. Yan hyun atetabuh Smar Pagulingan, Smar Palinggyan, trom-

pong dyastu curing pinalu. Yan hyun atabuh Smar Pandirian

mwang Smar Patangyan, gender pinalu. Mangkana wateking

tapa brata ring wana wukir. Yanaken dina ayu ri wusira aweda,

amuja, ajapa, angastungkara ri padha Bhatara, sama amalu

salonding, hana gender, hana trompong mwang hana curing

sakarepira sowang-sowang. Hana juga pareng lawan anak bini

nira weh pengaluskarira mwang ktumbanira

63. Alat-alat Smar Palinggyan yaitu : kempul satu suaranya mene-

ngah ndeng, kemong gantung satu suaranya ndong, kemong

jongkok satu suaranya ndong, kendang besar satu lalanangan,

rebab satu, suling besar dua, suling babarangan dua sama

ngumbang-ngisep, terompong besar satu, terompong babarang-

an satu, curing besar satu pasang, jegog satu pasang, jublag satu

pasang, penyacah satu pasang, gangsa besar satu pasang, gangsa

sedang (menengah) satu pasang, sama ngumbang ngisep, gu-

manak tiga menengah, kangsi setungguh, ricik kecil dua tung-

guh, kecek menengah sepangkon, cukup semua ini.

64. Persediaan alat-alat untuk Smar Pandirian yaitu : kempul satu,

suaranya yang lebih besar ndong, kempyung satungguh suara-

nya dang-dung, kemong duduk satu suaranya ndong, kendang

yang besar satu wawadonan kala-kala apapanggulan (jarang-

jarang memukul), rebab satu, suling besar satu, suling baba-

rangan dua, gender yang besar satu pasang, jegog satu pasang,

jublag satu pasang, penyacah satu pasang, kantil satu pasang,

gangsa menengah sepasang, gangsa kecil satu pasang sama

ngumbang ngisep, gumanak menengah tiga, genta orag satu

pancer kecil, kecek kecil tiga cakep, kecek menengah tiga

cakep, kecek besar satu cakep, cukup sekian semua ini.

65. Konon waktu zaman dahulu segala tapa berata yang ada di

dalam hutan hingga ke gunung-gunung, semua di dalam asra-

manya ada kelihatan gender, trompong, curing, daunnya kayu

yang disebut pipil, pelawah gendernya dipakai dari bambu, se-

dang pelawah terompongnya dipakai dari tempurung kelapa

(tambang) sedang pelawah curingnya dipakai dari kayu, ketiga

dari bunyi-bunyian itu disebut Salunding.

66. Bila ingin memunyikan Smar Pagulingan, Smar Palinggyan,

trompong atau curing dipukul. Bila hen dak membunyikan

Smar Pandirian dan Smar Patangyan, gender dipukul. Demiki-

an segala pertapa-pertapa yang menjalani beratanya di dalam

hutan dan di pegunungan. Pada waktu hari baik setelah beliau

memuja dengan ajapa wedha serta mengastungkara (memuji

Tuhan) kehadapan Hyang Widhi (Bhatara-bhatara), serta

67. Iki purwakaning Aji Mredangga ngaran, yan hana swakaryan

sang prabhu, anut aneng gagambelan babonangan mwang gong

katu genahnya, mangge ring wesmanira sang prabhu, ri kala

hana swakaryanira sang natha. Stananing gagambelan ring

bancingah agung, ikang Babonangan maring yasa kiwaning

gopura stananya. Gong ika ring yasa tengah stananya, maka

pengapiting gopura karwa gagambelan ika.

68. Lyan malih yan hana wwang akarya suka duka, yogya gagam-

belan ika inangge ring stananing swakarya, yadyapi babonang-

an atawa gong pada juga kotamanya. Wenang juga tinabuh

rikalaning apujawali maring sanggar kabuyutan mwang par-

yangan mwang sarwa tatiwan lwirnya, Pitra Tarpana, Sawa

Wedana katekatekeng Dewa Yadnya, pada wenang gelaraken

gagambelan ika. Mangkana kojaranya.

69. Kunang papatutan Babonangan lawan Gong patutan lima juga

lwirnya, dang, ding, deng, dung, dong. Gendingnya yan babo-

nangan ketug bhumi ngaran. Yan gong grehakasa ngaran.

Kunang katatwanya babonangan ika tiniru maring sor bhumi

rikalaning sawateking bhutakala apupul. Sedeng mangkana

pinalu gagambelan babonangan ika, gumeter rasaning bhuana

denya dadya angawe reresing manah kadi agempur rasaning

pretiwi dening swaraning babonangan ika, sang prabhu mwang

asraman senjata ring lebuh agung.

memukul Salunding, ada gender, ada trompong dan ada

memukul curing, sekehendak beliau masing-masing AdJhJ

beserta dengan anak istrinya memberi pelajaran untuk semhT

yang dan menuruti jejak-jejak kebenaran.

67. Inilah asal usul Aji Mredangga, bila ada upacara-upacara untuk

sang prabu menurut bunyi-bunyian yang hams dipakai babo-

nangan dan gong diatur tempatnya, dipakai di istananya sang

prabu pada waktu mengadakan upacara-upacaranya, tempat

segala bunyi-bunyian harus di bancingah agung (tanah lapang

yang ada di hadapan istana). Tempat Babonangan dihiasi di

sebelah kiri dari gapura (candi bentar), tempatnya Gong dihiasi

di sebelah kanan gapura, jadi gapura diapit oleh Gong dan Ba-

bonangan kedua dari bunyi-bunyian itu.

68. Lain lagi apabila ada orang mempunyai kerja suka-duka (upa-

cara agama), bunyi-bunyian itu boleh dipakai di tempat me-

ngadakan upacara-upacara walaupun Babonangan atau Gong

sama juga utamanya. Boleh juga dibunyikan pada waktu ada

pujawali (piodalan di pura-pura) atau sanggar kawitan dan di

parhyangan, dan untuk kerja segala kematian mengenai Pitra

Tarpana, Sawa Wedana dan sampai dengan Dewa Yadnya.

Semua boleh dipakai bunyi-bunyian itu. Demikian kenyataan-

nya.

69. Perbedaan papatutan Babonangan dengan Gong patut lima

juga yaitu : dang, ding, deng, dung, dong. Nyanyian babonang-

an ketug bumi namanya. Bila gong grehakasa namanya.

Tentang riwayat Babonangan itu dapat meniru dari bawah

bumi pada waktu segala warga dari bhutakala berkumpul,

pada waktu itu bunyi-bunyian Babonangan itu dtpukul, ber-

getar rasanya bumi olehnya, menimbulkan perasaan ngen aan

menakutkan seolah-olah hancur lebur rasanya bumi pern

dari suara Babonangan itu, menjadi bunyi-bunyian^itu

meruncingkan senjata. Segala babarungan sang prabu dan gu-

dang senjata di lebuh (lapangan yang istimewa ai P

tempatnya.

70. Kunang katatwaning Gong, tinirwan maring luhunng akasa,

ri kah wateking resi ing langit mwang watek Dewasanga apu-

pul Hana ring kakana pinalu gegambelan ika, bentar rubuh

rasaning akasa magawe kawedi-wedining gong ika maka ga-

gambelan ri teianing tamyu, mwah ri dateng sang marep-arep

pamendakira sang prabhu.

71. Kunang babarungan Gong Babonangan kengetakena kayeki,

Gong roro lanang wadon, swaranya dang angumbang ding angi-

sep. Kempul sanunggal swaranya ding alit angumbang.

Babende sanunggal swaranya dang ghora. Ponggang satungguh

swaranya dang-dung. Kemong sanunggal swaranya dung

angumbang alit. Rareyongan pangageng kalih tungguh swara-

nya, dang dung satungguh, deng dung satungguh, rereyongan

babarangan kalih tungguh swaranya dang dung satungguh,

deng dong satungguh. Kendang kali lanang wadon saha pa-

panggulan. Rebab sanunggal, suling ageng apasang, suling

babarangan apasang, sama ngumbang ngisep. Jegogan sapasang,

jublag sapasang, panyacah sapasang, gangsa ageng sapasang,

gangsa menengah sapasang, gangsa alit sapasang, sama ngum-

bang ngisep. Gumanak tigang siki, genta orag kalih pancer

manengah. Cengceng alit tigang wungkul, cengceng manengah

kalih wungkul, cengceng ageng sawungkul.

Jangkep kayeki.

72. Mwah babarungan Gong ndyata : Gong roro sawurnya deng

ageng angisep mwah deng angisep alit. Kempul sawiji sawurnya

ding alit angumbang. Babende sawiji sawurnya dang ghora,

ponggang satungguh swaranya dang-dung, kemong sawiji

sawurnya ding, kempyung satungguh sawurnya dung angisep

alit dung angumbang ageng, kemong jongkok sawiji sawurnya

dang alit. Kendang kalih lanang-wadon saha papanggulan.

Kemong jongkok atungguh, trompong pangageng satungguh,

trompong babarangan satungguh. Rebab sawiji, suling ageng

apasang, suling babarangan apasang, sama ngumbang ngisep.

Jegog sakawan, jublag sakawan, penyacah sakawan, gangsa

ageng sakawan, gangsa menengah sakawan, gangsa alit saka-

70. Mengenai riwayat Gong dapat meniru dari ruang angkasa pada

waktu warga Resi dari langit dan Dewa Nawasanga berkumpul

Pada ketika itu bunyi-bunyian di pukul di sana, gemetar dan

lebar rasanya di ruang angkasa, mendengarkan bunyi dari gong

dipukul, itu para tamu yang datang merasa tertarik meresap

hingga ke dalam hati sanubarinya, dan kedatangannya yang

sangat diharap-harapkannya serta disambut dengan meriah

oleh sang prabhu.

71. Mengenai alat-alat bebarungan Gong Babonangan ingatkan

dengan baik-baik seperti ini : Gong, dua lanang dan wadon sua-

ranya dang angumbang angisep. Kempul satu suaranya ding

angisep. Babende satu suaranya dang gora. Ponggang satungguh

suaranya dang dung, Kemong satu suaranya dung angumbang

alit. Rareyong besar (pangageng) dua tungguh suaranya dang

dung satu tungguh, deng dung setungguh, rareyongan baba-

rangan dua tungguh suaranya dan dung setungguh, deng dong

setungguh. Kendang dua lanang wadon beserta papanggulan.

Rebab satu, serunai besar satu pasang (dua buah), serunai ba-

barangan satu pasang sama ngumbang ngisep. Jegogan satu pa-

sang, jublag sepasang, penyacah sepasang, gangsa besar satu pa-

sang, gangsa menengah sepasang, gangsa kecil sepasang sama

ngumbang ngisep. Gumanak tiga, genta orag dua pancer mene-

ngah. Cengceng kecil tiga cakep, ceng ceng menengah dua

cakep, ceng ceng besar satu cakep. Lengkaplah semua.

72. Dan persediaan alat-alat Gong untuk satu barung yaitu : Gong

dua suaranya deng besar angisep dan deng angisep kecil. Kem-

pul satu suaranya ding kecil angumbang. Babende satu buah

suaranya dang gora, ponggang satungguh suaranya dang-dung,

kemong satu suaranya ding, kempyung satungguh suaranya

dung angisep kecil dung angumbang besar, kemong duduk satu

suaranya dang kecil. Dua buah kendang lanang wadon serta

pepanggulan. Kemong jongkok satungguh, trompong yang

besar setungguh, trompong babarangan setungguh. Rebab satu,

sending besar dua, sending babarangan sepasang sama ngum-

bang ngisep. Jegog sepasang, jublag sepasang, Penyacah sepa-

sang, gangsa besar sepasang, gangsa menengah sepasang, gangsa

wan sama ngumbang ngisep. Apan Gong tabuhnya lambat

mamanya pada sakawan. Gumanak ageng tigang siki, genta

orag manengah kalih pancer, cengceng alit tigang wungkul,

cengceng manengah tigang wungkul, cengceng ageng sawung-

kul genta orag alit kalih pancer, gumanak manengah tigang

siki, kecek alit tigang wungkul, kecek manengah kalih wung-

kul, kecek ageng sawungkul.

73. Kunang yan anabuh gambelan iki maring purin sang prabhu

tegesnya ring tengening gopura stananya ring luhur pinakanya,

babonangan ring sor pinakanya, luhur ngaran akasa sor ngaran

pertiwi, pertiwi mwang akasa pinaka uriping manusa sehana-

nya ring sekala, yeka tinihi ira de sang mawang rat.

74. Sang mawang rat ngaran sang prabhu yan ring sekala. Kunang

yan mangupakara gagambelan iki ring dina aniscara Keliwon

Krulut, babantennya teher kadi nguni juga. Kewala yan ba-

bonangan kumkumanya asekar sarwa wangi sepaliha bang.

Yaning gong kumkumannya sami sekar sarwa wangi sepaliha

putih, yeka kengetakena aywa lupa.

75. Iki sangkaning tatabuhan wetning hana tatabuhan kabeh,

sangkanya wus saking bayu inemuaken maring pering sangka-

nya kinarya suling, mwah pangarading rambut maring logam.

Kinaryaakena sopakara kayu mwang tengkulak, kulit pasu,

lka rinipta dadi ingaranan rebab. Manut swaranya suling

mwang rebab ika yan sinarengan umuni kunang swaraning

rebab mengawe karna manohara rumenga swara galak manis.

Mwah swara suling tan sah gumawe karna seraga rumenga swa-

ra lembut harum amanis, marmanya magawe prapancaning

manah angrungu, kadi lengenging rumenga nadaning Smara

Katih ri tatkala abawu rasa. Lwir mangkana swaraning suling

sinarengin dening rebab pada muni, kalinganya unining rebab

kadi reng pangucapira Sang Hyang Semara, unining suling

lwir pangucapira Sang Hyang Ratih, purusa pradana jatmya.

Sastranya Ang', 'Ah', matemahan Ongkara Sumungsang

kecil sepasang, sama ngumbang' ngisep. Oleh karena gong itu

tabuhnya lambat makanya semua sepasang. Gumanak besar

tiga, genta orag menengah dua pancer, ceng-ceng kecil tiga

cakep, ceng-ceng menengah tiga cakep, cengceng besar satu

cakep, genta-orag kecil dua pa ncer gumanak manengah tiga

buah, kecek kecil tiga cakep, kecek menengah dua cakep

kecek besar satu cakep.

73. Apabila menyuarakan bunyi-bunyian ini di istana raja itu ber-

arti di kanan dari gapura dan di atas seharusnya babonangan

di bawah harus ditempatkan, atas bernama angkasa sedang

bawah berarti pertiwi (tanah), pertiwi dan angkasa yang meng-

hidupkan semua manusia kenyataannya, itu yang dilaksanakan

oleh kepala negara.

74. Sang mawang rat yaitu kepala negara yang memerintah kenya-

taannya. Tentang hari perayaan bunyi-bunyian ini yaitu pada

hari Sabtu Keliwon Wuku Krulut, sesajennya tetap seperti

yang telah disebutkan di muka juga. Hanya kalau babonangan

air kumkumannya segala bunga yang harum-harum sebagian

bunganya berwarna merah. Bila gong air kumkumannya semua

yang harum-harum sebagian bunganya berwarna putih. Itu

yang harus diingat jangan sekali-kali dilupakan.

75. Ini asal mulanya bunyi-bunyian makanya ada banyak macam-

nya bunyi-bunyian datangnya dari sumbernya napas ditiupkan

ke dalam bambu dibikinnya seruling dan rambut digosokkan

pada logam. Dibikin dari sopakara kayu dan tengkulak, dan

kulit pasu, itu diolah dijadikan rebab. Menurut suaranya seru-

ling dan rebab itu bila berbarengan bersuara maka dari bunyi

rebab itu membikin telinga senang gembira mendengar suara

merdu dan manis dan dari bunyinya seruling tidak putus-

putusnya membikin telinga kepingin dan cinta kasih, mende-

ngarkan suara lemah lembut harum manis, maka dari itu mem-

bikin perasaan dan menimbulkan panca indranya mendengar-

kannya, seperti mendengar kebaikan nada suara dari Semara

Ratih pada waktu bertemu memadukan rasa asmara. Demiki-

anlah umapamanya suara seruling dicampur dengan suara

rebab pada waktu berbunyi bersamaan. Suara rebab umpama-

nya seperti kelentum kata-kata dari Sang Hyang Semara,

sedang suara seruling seperti kata-kata Sang Hyang Ratih'

Purusa pradana sebenarnya. Hurufnya 'Ang', 'Ah', itu menjadi

Ongkara Sumungsang dan Ongkara Ngadeg. Maka dari itu

boleh olehnya surya (penglihatan) dimasukkan silih berganti

ke dalam hati sehingga tumbuh ke pasta (kemaluan) sama-

sama keluar dari dalam hati.

76. Apabila orang mendengar suara lemah lembut merdu harum

manis dari telinga terus masuk ke dalam hati, dan beredar di

dalam hidup ke luar pikiran menimbulkan panca indranya.

Oleh orang yang berbadan ongkara suduk swari, ong kara

sumungsang dan ngadeg pergi dari hati datang ke pasta, turun-

nya Sang Hyang Ongkara Sumungsang. Ongkara Ngadeg pergi

dari hati terus masuk ke dalam hati berganti Ratih ke dalam

kemaluan perempuan. Semara ada di dalam hati, sama-sama

membangunkan rasa cinta dan senang, hingga melekat perasaan

cinta kasih sayang. Sedang Sang Hyang Ratih pada kemaluan

perempuan diantar oleh Panca Bayu menguasai kemaluan

perempuan. Oleh sang maha Pandita tidak dapat dikenai dan

digoda oleh segala yang bersifat tontonan (pertunjukan)

karena sudah diketahui tidak boleh tidak pasti dapat dikenai

oleh panca indranya pikiran. Mengenai riwayat ini sangat pen-

ting dan maka utama adanya, dapat meneguhkan jiwa orang

yang menjelma, dan membikin suka citanya orang yang hidup.

Dirahasiakan oleh sang wiku (orang bijaksana), dan oleh raja-

raja sampai dengan sang mahapatih oleh karena ketiga mereka

ini yang mengatur tata tertib di dunia ini sewajarnya mereka

mengetahui riwayat ini.

77. Lama kelamaan didengar oleh orang-orang berkat ajaran dari

ketiga mereka sedang sang pandita pun boleh juga mengajarkan

kepada masyarakat banyak, karena sang wiku memegang

segala ajaran-ajaran dari aksara semua.

78. Asal mula bunyi-bunyian yaitu meladprana diturut oleh Sma-

ralaya karena kedengaran suaranya merdu manis, boleh dipakai

Pada waktu mengadakan keramaian oleh para raja-raja untuk

membangunkan kewibawaan istananya, pada waktu dibunyi-

79 Ikang wwang amalu wong sinelir ikang wwang pratameng ta-

taning keraton, kang wruheng sestakara solah pantos wraspati

bhasa karuna amanis saha pranamya wruh ri tataning Catur

Jadma, mwang wruh ring sahabing waringin, wruha nginng

cidra sasuka duka sang prabhu sang apatih anglakwa kesa, pi-

tuturira sang wiku. Mangkana kalinganya.

80. Kunang gagambelan simladprana ika gendingnya pagambuhan,

patutanya hana sapuluh swara lwirnya, dang, ding, deng, dung,

dong ngaran pelog, ndang, nding, ndeng, ndung, ndong ngaran

salendro. Dadinya pelog tinabeh mwang salendro marmanya

gending, ding, nding, keneskang tatabuhan. Ikang gagambelan

simladprana ika patut pelog kaselendroan.

81. Kunang babarunganya, kempul sanunggal pelog sinarengan

dening pesawur salendro, rebab sawiji, suling pangageng gabah

wangunya lwih ageng dening suling pangageng sawiji, sawurnya

angumbang, suling pangageng sapasang sawumya angumbang

juga mwang angisep, suling babarangan sapasang sawumya

ngumbang ngisep, mwang suling panitir wangunya lwih alit

dening suling babarangan sawiji sawumya angisep alit. Kenyir

satungguh pawangunnya kadi gangsa daunya trini, mepateh

swara ndeng pasawur pelog kaslendroan. Klenang sawiji sawur-

nya ndong pelog kasalendroan, kajar sawiji sawumya ndung

pelog kasalendroan, gupek lanang wadon, gumanak tigang

wiji alit, kangsi kalih tungguh alit, ricik tigang tungguh alit.

Jangkep kayeki.

82. Lwiring gagambelan iki pinalu ring ajeng ingangge ri tatkala

sang nata asasuguh ri wadwanira, mwang ring para wiku, ri

tanda mantri sumantri adipati, mwang tanda rakryan, sawatek
kan tempatnya di bagian tempat kesenian sang prabu yang ada

di luar.

79. Mengenai orang yang memukul yaitu orang yang telah terpilih

orang itulah yang terutama telah mengetahui tata tertib di

kerajaan, yang telah mengetahui serta bijaksana tingkah laku

sederhana dan merasa bertanggung jawab, bahasa dan kata-

katanya manis serta hormat mengetahui tata cara terhadap

Catur Jadma (empat macam warna golongan manusia), dan

bijaksana mengatur serta melindungi masyarakat, pandai me-

nyertai dan mengeluarkan pendapat-pendapat turut dengan

suka duka sang prabu dan kepada para pepatih berlaku setia

menuruti nasehat-nasehat sang wiku. Demikian kenyataannya.

80. Mengenai bunyi-bunyian simladprana itu nyanyiannya pagam-

buhan, patutannya ada sepuluh suara yaitu, dang, ding, deng,

dung, dong, bernama pelog, ndang, nding, ndeng, ndung,

ndong, bernama slendro. Jadinya pelog dibunyikan dengan

slendro maka nyanyiannya ding, nding, tepat mengenai tata-

buhan, itu bunyinya simladprana patut pelog bercampur de-

gan slendro.

81. Dan lagi bebarungannya, kempul satu pelog dicampur dengan

suara slendro, rebab satu, seruling yang besar gabah bangun-

nya lebih besar dari seruling yang terbesar satu, suaranya

angumbang, seruling yang terbesar dua (sepasang) suaranya

angumbang juga dan angisep, seruling babarangan sepasang

suaranya ngumbang ngisep, dan seruling panitir bangunannya

lebih kecil dari seruling babarangan satu suaranya angisep

kecil. Kenyir satu tungguh bangunnya seperti gangsa berdaun

tiga lembar mengenai suara ndeng bersuara pelog bercampur

slendro. Klenang satu ndong pelog bercampur dengan slendro,

kajar satu suaranya ndting pelog campur dengan slendro.

Gupek lanang wadon gumanak tiga yang kecil, kangsi dua

tungguh yang kecil, ricik yang kecil tiga tungguh. Cukup se-

kian adanya.

82. Tata cara bunyi-bunyian ini dipukul terutama dipakai pada

waktu sang prabu mengadakan pesta bertemu kepada pemuka-

pemuka masyarakat dan kepada sang wiku (pandita), kepada

sahabing waringin, makadi ri kala amangan anginum sang nata

sedeng alila lila dinuluran swara kakidungan tur amangge ga.

gambelan ika sang prabhu ikang inaranan Gambuh. Caritanira

ri wusing tatwa utara mwang sarwa sang kata, ika pinaka

lakonya.

83. Kunang ikang wwang angigel pinilih rupanya kang anom ape-

kik, anom ayu, pada wustameng tataning papajaran, tan len

uga ananing sahebing waringin, kang punuji puji ri kalaning

asesolah, tan sah angawe lilaning panalu amangun sukaning

indria magawe suka citaning sang prabhu amulat. Iniring de

tanda rakryan mwang sahebing waringin tan doh sang wiku

raja sewo sogatta kanta bhudi sang prabhu, tan sah maring

arsa agelar sopacara lubaruk pranyatanira, sang kaya nembuh

rasmining tontonan mwang angawe rarasing panangkilan.

Mangkana kalinganya nguni.

84. Om Awighanm Astu Namo Siddham, Iti Pawekasira Bhagawan

Gottama ri Sisyanira

menteri-menteri dan kepala menteri adipati, kepada tanda

rakryan, hingga sampai dengan masyarakat pada waktu makan-

makan dan minum sang prabu sedang bersenang-senang,

disertai dengan suara nyanyian kekidungan, disertai mema-

kai dengan bunyi-bunyian itu oleh sang prabu dinamai

Gambuh. Yang diceriterakan yaitu riwayat keagungan raja-

raja dan segala pengarang-'pengarang itu yang menjadi lakon-

nya.

83. Dan mengenai penari-penarinya dipilih yang muda-muda serta

rupanya tampan dan cantik, serta telah lulus dengan segala pe-

lajaran, tidak lain itu ialah semua masyarakat yang telah ter-

puji pada waktu pergelaran, tidak putus-putusnya membikin

kesenangan pada waktu memukulnya serta menimbulkan suka

indria dan membikin senangnya sang prabu sedang melihat,

diiring oleh para menteri dan masyarakat terutama didampingi

oleh sang pandita dan pemuka-pemuka agama, sang prabu me-

rasa gembira dan senang selalu bersukacita mengadakan upa-

cara lubaruk kenyaannya, ketika melihat kemeriahannya
pergelaran, dan membikin tenangnya rasa segala hamba sahaya.

Demikianlah riwayatnya pada zaman lampau.

84. Om Awighnam Astu Namo Siddham. Ini nasehat-nasehat peri-

ngatan dari Bhagawan Gottama kepada murid-muridnya.-

Anda mungkin juga menyukai