Dimade (1665 1686) dan seterusnya, kesenian Bali berkembang
mencapai puncak keemasannya yaitu dengan terciptanya berjenis-
jonis tarian seperti Gambuh, Topeng, Wayang Wong, Parwa, Arja,
bogong Keraton dan seni sastra klasik lainnya.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460 -
1550) di Gelgel, datang pula seorang pendeta yang benama Dang
Hyang Nirarta, seorang sastrawan dari Majapahit dan beliau mem-
perkenalkan arsitektur seperti pura dan puri dengan styl yang
megah seperti yang diwarisi di Bali sekarang. Di samping mempu-
nyai keahlian dalam seni arsitektur, Dang Hyang Nirarta memiliki
keahlian dalam bidang seni sastra dan meninggalkan warisannya
dalam bentuk lontar seperti Wukir Padelengan, Rareng Canggu,
Anting-anting Timah, Ampik, Jagul Tua, Usana Bali, Usana Jawa,
Sebun Bangkung dan lain-lainnya (Ditjen Pariwisata, 1973: 108).
Pada pemerintahan raja-raja Bali di atas kecuali munculnya
seni sastra yang mengandung isi filsafat, astronomi, etik dan lain
sebagainya, berkembang juga seni sastraIthihasa , yaitu seni sastra
yang terdiri dari bermacam-macam tembang. Di atas sudah diurai-
kan pula bahwa sejak zaman raja Dharmawangsa sampai zaman
Majapahit di Jawa Timur telah berkembang bentuk sastra kakawin
(Mahabharata dan Ramayana) dan kidung Malat, sedangkan pada
zaman raja-raja Bali kakawin dan kidung diperbanyak produksinya
oleh para pujangga istana, termasuk terjadinya transformasi sastra
Kakawin dan Kidung menjadi Sekar Macapat, suatu pengalihan
sastra Kawi menjadi sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang).
Kakawin dan Kidung digubah menjadi Gaguritan atau Paparikan.
Diduga pada saat itu lahirlah Paparikan Adiparwa, Bharatayudha,
Narasoma, Bomantaka yang diciptakan berdasarkan wiracaritera
Mahabharata.
Dewasa ini hampir seluruh seni sastra yang disebutkan di
muka masih terpelihara baik di Bali, tersimpan dalam perpustaka-
an perseorangan, maupun dalam perpustakaan lontar yang terbe-
sar di Bali yaitu Gedong Kirtya di Singaraja.
Menurut katalog yang diterbitkan oleh Gedong Kirtya yang klasi-
fikasinya disusun oleh Nyoman Kajeng, maka dari ribuan lontar
yang menjadi milik perpustakaan tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
A. Weda (Weda, Mantra dan Klapasastra). B. Agama (Palakerta, Sasana, dan Niti). C. Wariga (Wariga, Tutur, Kan da dan Usada). D. Ithihasa (Parwa, Kakawin, Kidung dan Gaguritan). E. Babad (Pamancanggah, Usana dan Uwug). F. Tantri (Tantri dan Satua) G. Lelampahan (memuat lakon Gambuh, Arja, Wayang dan lain- lainnya).
Kelompok yang terakhir ini ditambahkan oleh I Made Suwija, se-
orang kurator yang kini sedang bertugas di perpustakaan Gedong
Kirtya (Agastia, 1985: 4).
Menunjuk klasifikasi tersebut di atas, lontar Prakempa dumasuk-
kan dalam kelompok Wariga dan oleh Dr. Th. Pigeaud dalam
bukunya yang berjudul Literature of Java (Kesusastraan Jawa),
lontar Prakempa didaftar dengan nomor kode :
K M35 Lor
869 57 - (Pigeaud, 1968:936)
Sebagai karya seni sastra yang bermutu tinggi, Prakempa
dimasukkan ke dalam golongan Wariga disebabkan oleh isinya
tentang gejolak dunia dan gejolak itu mempunyai kaitan bunyi,
nada dan suara yang ditimbulkan oleh gambelan Bali.
Di samping itu lontar Prakempa mengandung juga tentang Tu,tur
dan secara eksplisit dikatakan bahwa Prakempa ini merupakan
tutur (nasehat) dari Bhagawan Gottama kepada para muridnya.
Ungkapan ini tercantum dalam epilog lontar ini.
Siapa sesungguhnya Bhagawan Gottama ini, merupakan se-
buah pertanyaan yang belum terjawab sampai sekarang. Nama ini
bisa saja merupakan nama kiasan dari seseorang, atau nama se-
sungguhnya dari penulis lontar Prakempa ini. Di dalam wiracari-
tera Ramayana (Kapi Parwa) disebutkan bahwa Bhagawan Gotta-
ma ialah seorang pendeta dari pertapaan Grastina. Beliau mempu-
nyai seorang istri bidadari dari keindraan yang bemama Dewi
Indradi. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putri dan dua orang
putra yaitu Dewi Anjani, Bali dan Sugriwa. Ketiga tokoh itu
menjadi tokoh yang terkenal dalam wiracaritera Ramayana dan
diketahui oleh masyarakat secara luas (Depdikbud, 1981 : 183).
Di dalam Kitab Jataka disebutkan bahwa Gottama yang
nama lengkapnya Siddharta Gautama adalah putra raja Kapilawas-
tu yang menjadi Buddha dan mengajarkan kepada umatnya bahwa
pembebasan jiwa dapat dicapai dengan jalan kebaikan kesucian
dan cinta kasih terhadap sesama manusia (Depdikbud, 1981: 125).
Menduga bahwa pengarang lontar Prakempa adalah pendeta
Gottama dari wiracaritera Ramayana atau Siddharta Gautama,
pemimpin agama Buddha merupakan sebuah dugaan yang koliru.
Peneliti tidak menemui petunjuk apa pun tentang kemungkinan
bahwa Prakempa sebagai sastra Ramayana ataupun sebagai ajaran
agama Buddha. Kalau drmikian maka prrhm ynan kedufl yang akan
muncul ialah : Mungkinkah pengarang lontar ini seorang brahmana
Buddha ? Semua hal ini nampaknya juga belum pasti. Sementara
kepastian tentang tokoh Gottama ini masih belum jelas, peneliti
hanya dapat menduga bahwa nama ini hanya merupakan nama
samaran dari seorang guru gambelan yang utama atau yang cerdik.
Seperti apa yang peneliti uraikan di atas, bahwa Prakempa
sebagai sebuah karya seni sastra merupakan sebuah prosa yang
panjangnya sekitar 84 alinea, berbahasa Jawa Kuna (Kawi) dan
ditulis dalam huruf Bali yang sangat bagus bentuknya. Guna
memberi visualisasi yang lebih menarik lontar Prakempa itu di-
sertai dengan simbul-simbul atau prasi. Bahasa Jawa Kuna (Kawi)
yang digunakan dalam Prakempa nampaknya sejajar dengan bahasa
Kawi yang digunakan pada lontar-lontar Babad (Sejarah Raja-
raja Bali) dan lontar Babad yang tertua yang disebut Babad Dal em
diperkirakan muncul pada pertengahan abad ke-18. Kendatipun
demikian lontar Prakempa ini jauh lebih muda daripada Babad-
babad tersebut di atas.
Di dalam usaha memahami isi Prakempa ini perlu kiranya
diketengahkan salah satu lontar mengenai gambelan Bali lainnya,
yaitu lontar Aji Gurnita. Saat ini peneliti telah memperoleh tiga
naskah lontar Aji Gurnita, yaitu dua buah naskah berasal dari
Gedong Kirtya, Singaraja dan sebuah lagi berasal dari puri Kaba-
kaba, Tabanan. Lontar ini lebih banyak membahas tentang gam-
belan Meladprana (Gambuh) sebagai sumber dari beberapa gam-
belan Bali lainnya.
Prakempa dan Aji Gurnita mempunyai persamaan dalam
bentuk dan sama-sama menggunakan sebuah bab yang disebut
"Catur Muni-muni" atau Nasehat Empat Bunyi-bunyian. Adapun
empat bunyi-bunyian yang dimaksud meliputi gambelan Gambuh,
gambelan Palegongan, gambelan Pajogedan dan gambelan Baba-
rongan. Bab Catur Muni-muni yang terdapat dalam Aji Gurnita
memiliki uraian yang sedikit lebih panjang dari uraian yang terda-
pat dalam Prakempa disebabkan karena bagian akhir dari bab itu
digunakan untuk menguraikan falsafah dari gambelan Meladprana
yang dibagi menjadi empat bunyi-bunyian tersebut. Jadi, epilog
yang terdapat pada bab Catur Muni-muni Aji Gumita tidak terda-
pat pada lontar Prakempa.
Adanya persamaan yang mendasar dari kedua lontar terse-
but menimbulkan pertanyaan pada penehti, apakah mungkin
terjadi interpolasi antara kedua lontar tersebut atau setidak-tidak-
nya ada kaitan yang erat antara kedua naskah itu. Interpolasi
(menambah-mengurangi) bisa terjadi apabila kita mengetahui
umur masing-masing lontar tersebut.
Kalau dilihat dari isi kedua lontar itu Prakempa memberikan
gambaran yang lebih menyeluruh tentang gambelan Bali (termasuk
teknik dan hukum lagu gambelan Bali), sedangkan Aji Gurnita ti-
dak membahas kedua aspek itu. Melibat kelengkapan aspek-aspek
yang dibahas dalam Prakempa kiranya lontar ini akan bermanfaat
bagi studi tentang pengetahuan gambelan Bali di masa yang akan
datang.
B. Empat Unsur Pokok
Seperti hipotese yang diajukan pada penelitian ini, sudah.
mulai jelas bahwa lontar Prakempa memiliki empat unsur pokok
yaitu filsafat atau logika, etika, estetika dan teknik menabuh
dalam gambelan Bali. Untuk jelasnya peneliti uraikan hal-hal
seperti berikut :
1. Filsafat atau Logika
Pembahasana mengenai filsafat atau logika di dalam lontar
Prakempa ini diawali dengan sebuah manggala yaitu permohonan
maaf dari pengarangnya sendiri atas kelancangan dan keberanian-
nya menulis naskah Prakempa itu. Permohonan maaf ditujukan
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diungkapkan melalui huruf
modre Om merupakan singkatan dari kata AUM, manifesta-
si dari Sang Hyang Tri Wisesa yaitu Brahma, Wisnu dan Ciwa.
Sang Hyang Tri Wisesa yang lajim pula disebut Tri Murti adalah
Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam ujudNya sebagai pencipta