Sri Hastanto
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Jalan Ki Hajar Dewantara No. 19 Jebres Surakarta 57126
ABSTRACT
Êmbat is one of the musical concepts in Javanese gamelan music – karawitan Jawa. It is a kind of mu
sical characteristic of a gamelan ensamble which is generated by its interval structure – Jv. jangkah
– of that gamelan. The only way to understand Êmbat, one may investigate gamelan tuning system.
Êmbat had been metioned in old Javanese manuscripts including Centhini and Wédhapradangga.
Kunst and Hood also discussed Êmbat in some extend, but the result does not quite fit to reality.
This work aims to explain the concept of Êmbat from the angle of the culture owner – Javanese. In
order to explain the concept, this study has firstly to discover the concept of pitch in karawitan Jawa,
secondly the tolerance of the limit in sifting tones , and finally approaching the main goal: the con
cept of Êmbat it self. To reach the goal this study conducted some simple experiments. The study of
Êmbat is one example of “art studies” rather than “the study of the art” as it is often done where the
art is positioned as an “object”. Whereas “art studies” target study in this case Êmbat and Javanese
gamelan – is positioned as the subject. Such a study would be referred to the workings of the disci
pline of art and not a science discipline that always puts the art as objects.
Munculnya karakteristik tertentu dari praktisi ini yang dijadikan pijakan utama
sebuah gamelan yang selanjutnya disebut dalam studi ini.
Êmbat itu bersumber pada pelarasannya Studi Êmbat ini merupakan salah satu
yaitu proses fisik melaras tinggi rendah contoh ‘studi seni’ bukan ‘studi tentang
– pitch – setiap bilah atau pêncon sebagai seni’ seperti yang sering dilakukan di
sumber nada dari sebuah laras atau raras. mana seni diposisikan sebagai ‘obyek’.
Setiap laras mempunyai sejumlah nada Sedangkan ‘studi seni’ sasaran studi itu –
tertentu dengan tinggi pitch yang berurut- dalam hal ini adalah Êmbat dan karawitan
an dari nada tinggi ke nada rendah atau Jawa – diposisikan sebagai subyek. Studi
sebaliknya dari rendah ke nada tinggi. Se- semacam ini kiranya dapat disebut cara
berapa tinggi dan rendahnya nada secara kerja disiplin seni dan bukan disiplin ilmu
internasional diukur dengan berapa kali pengetahuan yang selalu menempatkan
getaran perdetik yang disingkat cps – cicles seni sebagai obyek.
per second – dalam bahasa Inggris, dan di Penulis telah dan masih melaksanakan
dalam bahasa Jerman disebut hertz. Isti- riset dengan disiplin seni seperti ini sejak
lah yang kedua itulah yang lebih populer paling tidak 30 tahun3. Sejak penulis gagal
digunakan di Indonesia. Tulisan ini juga menerapkan berbagai teori musikologi
menggunakan istilah hertz yang disingkat untuk membongkar rahasia konsep pathêt
dengan ‘hz’. Jadi kita dapat mengatakan dalam karawitan Jawa. Teori musikologi
mi¬salnya frekuensi nada pertama dari se- seperti mode, harmony, over blown fifth, dan
buah pelarasan adalah 450 hz, nada kedua sebagainya memang manjur untuk mem-
575 hz, nada ketiga 658 hz dan sebagainya. bedah berbagai permasalahan musik art
Di antara nada satu dengan urutannya barat, tetapi tidak untuk karawitan Jawa
mempunyai jarak yang disebut jangkah2 – tidak untuk untuk pathêt dan juga tidak
jarak nada. Di dalam musik Barat disebut untuk êmbat.
interval. Tetapi di dalam tulisan ini tidak Konsep teroretik yang paling cocok un-
akan menggunakan kata interval sebab tuk karawitan Jawa adalah konsep-konsep
kata itu di dalam musik barat telah mem- karawitan yang telah puluhan tahun diba-
punyai konotasi yang erat hubungannya ngun oleh para empu karawitan seperti
dengan konsep harmoni. Jadi di dalam Martopangrawit, Mloyowidodo, Guno-
tulisan ini digunakan istilah ‘jangkah’. pangrawit, Prawira Pangrawit dan para
Tentu saja jarak nada tidak dapat diukur empu sebayanya. Mereka telah melakukan
dengan getaran seperti frekuensi nada. riset puluhan tahun tanpa mereka sadari.
Secara internasional untuk jarak nada Mereka telah membangun berbagai kon-
disetujui menggunakan satuan cent yang sep teoretik tanpa mereka sadari. Beda
diindonesiakan menjadi ‘sen’ seperti yang mereka dengan Jaap Kunst atau Mantle
digunakan Alexander John Ellis pada saat Hood terletak pada sistem menyimpanan
mempublikasikan jarak-jarak nada musik dan publikasinya. Kalau Kunst dan Hood
non barat pertama kalinya (Ellis, 1885). lewat tulisan, kalau Martopangrawit cs le-
Menurut para pelaras gamelan - gamelan wat karya seninya baik sebagai komposer
tunners – Êmbat itu dibentuk dengan maupun penyaji karawitan. Tidak perlu
mengatur struktur tertentu dari jangkah dicatat secara harafiah sebab sudah kasari
di dalam sebuah laras. Pernyataan para ra atau embody dalam sanubari mereka.
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 321
Hanya konsep teoretikal merekalah yang narnya para empu telah melakukan pe-
pa¬ling sahih digunakan sebagai pisau nelitian secara empirik dalam kehidupan
pembedah masalah karawitan. berkeseniannya sehari-hari. Mereka juga
Kaum musikologi barat manakah yang telah menemukan konsep-konsep yang
mempunyai pengalaman berkarawitan bersifat teoretis dari hasil generalisasi pe-
Jawa selama dan sedalam Martopangrawit ngalaman mereka dalam kehidupan kese-
dan para empu sebayanya itu? Di dunia nian. Bagaimana mungkin mereka dapat
ini tidak ada. Kuwajiban kita sekarang menyajikan atau menciptakan gending se-
inilah menata sistemisasi pencatatan dan hingga dapat mendirikan bulu kuduk kita
penyimpanan data serta aplikasi kon- kalau tidak mempunyai konsep teoretis
sep-konsep yang telah digali oleh para yang sempurna. Hanya seperti telah di-
empu dari bumi nusantara ini sendiri. singgung sebelumnya hasil penelitian dan
Itulah batu, kerikil, dan pasir yang akan konsep-konsep seni yang mereka susun ti-
menjadi bahan utama dibangunnya di- dak dicatat dan dipublikasikan secara ter-
siplin seni nusantara. Konsep gêmbyang, tulis tetapi tersimpan di dalam sanubari
kêmpyung, tanjak kanan, tanjak kering, ada kesenimanannya. Jadi disiplin seni itu su-
ada, pathêtan, luruh, lanyap, Êmbat dan se- dah ada jauh sebelum Grounded Research,
bagainya itu tidak diambil dari Yunani, hanya belum tersistemisasi. Para sarja-
tidak dari Perancis, bukan dari pendapat- na barat baru akhir-akhir ini mengakui
nya Socrates atau Aristoteles, tetapi hal- bagaimana kehebatan empirical pratices itu:
hal itu merupakan pengalaman berkese-
nian di bumi nusantara ini yang panjang Our goal of generating theory also subsumes
this establishing of empirical generalizations, for
dan mengalami re visi-demi revisi sampai generalizations not only help delimit a grouded
akhirnya menjadi sesuatu yang dirasakan theory’s boundaries of applicability; more im
mantap. Itulah bahan utama teori seni portant, they help us broaden the theory so that is
more generaly aplicable and has greater explana
yang melandasi penelitian Êmbat ini. tory and predictive power. (Glaser and Strauss,
Langkah seperti ini mirip dengan 2011:24)
langkah-langkah Grounded Research yang
Tujuan kita menghasilkan teori juga me-
mendasarkan diri pada temuan di lapang- masukkan penetapan generalisasi empiris
an bahkan teori yang digunakan sebagai ini, karena generalisasi bukan hanya mem-
pembedah permasalahanpun dapat dike- bantu menentukan batasan-batasan teori
dasar tentang pemakaian; lebih penting lagi,
temukan di dalam pengamatan lapangan generalisasi membantu kita memperluas
(Clarke and Fiese, 2010: 363-397). Namun teori sehingga secara lebih umum dapat di-
cara kerja disiplin seni tidak dapat dika- pakai serta memiliki penjelasan yang lebih
besar dan kekuatan prediktif.
takan sebagai membeo Grounded Research
yang baru digunakan tahuan 1960an oleh
ilmu-ilmu sosial, sedangkan cara kerja di-
siplin seni – khususnya karawitan Jawa PEMBAHASAN
– sudah dipraktekkan sejak karawitan itu
ada, jauh sebelum Grounded Research di- Studi Êmbat dan Permasalahannya
umumkan sebagai perangkat penelitian
yang sahih. Mengatur struktur jangkah berarti
Dengan dasar empirical practices sebe- para pelaras dengan sengaja mengge-
Hastanto: Konsep Êmbat 322
ser jarak nada-nada tertentu tetapi harus Menengok Masalah Êmbat ke Belakang
masih dalam bingkai rasa kepénak, sesuai
dengan rasa keindahan. Dalam bersing- Admirasi untuk Jaap Kunst dalam hal
gungan dengan “rasa” inilah timbul satu kepionirannya meneliti musik gamelan
pertanyaan yang harus dijelaskan yaitu: tidak akan habis-habisnya. Mengagumi
Sejauh mana jangkah itu dapat digeser tan- beliau tidak cukup hanya mengacungkan
pa melewati batas ambang bingkai rasa jempol tetapi harus melakukan sesuatu
kepénak tadi. Bila batas ambang toleransi yang riil seperti misalnya merunut dan
rasa kepénak tadi dilewati maka telinga kita melengkapi apa yang telah Kunst temukan
akan mengatakan ora pénak – tidak sesuai untuk kita dan dunia musikologi. Masalah
dengan rasa keindahan. Kalau tidak enak- Êmbat disinggung dalam dua – tiga alinea
nya itu sedikit dalam dunia karawitan di- di dalam bukunya Music in Jawa (Kunst,
beri istilah sliring, dan bila banyak diberi 1973:252-253). Atas informasi dari para
istilah bléro. empu Jawa Kunst menulis bahwa Êmbat
Pertanyaan berikutnya yang melanda- suatu pelarasan kalau laras sléndro diten-
si pemaparan ini adalah: Bagaimana wu- tukan oleh jarak nada barang dan gulu4;
jud struktur jarak nada – Êmbat – dalam sedangkan di dalam laras pélog ditentukan
sebuah laras yang mampu membangun oleh jarak penunggul dan gulu5. Bila jarak
karakteristik pelarasan dengan rasa musi- kedua nada itu – dalam sléndro – lebih jauh
kal sigrak, dan luruh. dari rata-rata (240 sen) maka karakteristik
Jawaban dua buah pertanyaan itulah pelarasannya adalah sigrak atau branyak.
yang dipaparkan dalam tulisan ini. Saat ini Tetapi bila lebih dekat dari jarak nada ra-
eksplanasi dititik beratkan kepada meto- ta-rata maka sifat pelarasanannya luruh.
dologinya, karena pada saat penelitian Demikian juga di dalam laras pélog, bila an-
masih sangat terbatas teba geraknya yang tara penunggul dan gulu lebih jauh dari 120
disebabkan oleh satu dan lain hal. Sasaran sen akan dirasa sigrak dan bila sebaliknya
penelitian yang saat itu dilaksanakan ma- lebih dekat sekitar 110 sen akan dirasa se-
sih sangat dibatasi yaitu daerah budaya bagai pelarasan yang bersifat luruh.
ga-melan gaya Surakarta, masih lebih khu- Kunst juga mencatat, menurut Sulardi
sus lagi, baru menjamah laras slendro saja. – salah satu empu gamelan di Solo, ha-
Namun paparan ini sudah cukup untuk nya di dalam laras sléndro saja yang dike-
mendapatkan ekplanasi mengenai konsep nal adanya tiga jenis pelarasan yaitu laras
Êmbat di dalam gamelan Jawa. Eksplanasi sundari untuk pelarasan luruh, laras lara-
itu dijabarkan dengan menjawab dua per- sati untuk yang sigrak, dan laras lugu yang
tanyaan pokok dalam hal embat yaitu: rata-rata. Sulardi mengatakan bahwa yang
1. pertama, mengenai ambang toleran- terakhir itu tidak mempunyai êmbat. Kunst
si rasa musikal terhadap rasa kepénak berhenti di situ dalam menyinggung ten-
sam-pai dengan rasa bléro; tang êmbat. Kini setelah 78 tahun lewat pe-
2. kedua, bagaimana wujud struktur jang nelitian yang penulis lakuan inilah yang
kah nada yang menelorkan dua Êmbat akan mencek apa yang ditemukan oleh
berbeda yaitu sigrak dan luruh, yang sang pionir saat itu6.
keduanya dirasakan kepénak; Mantle Hood mengupas perihal
pelarasan dalam tulisannya yang berju-
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 323
dul “Sléndro and Pélog Redifined” yang Javanese Gamelan and the Theory of Musical
dimuat dalam Selected Reports Institute of Competence and Interaction hanya menying-
Ethnomusicology. Ia mengulas apa yang gung sekali mengenai êmbat. Ia mencerite-
diutarakan Kunst tersebut di atas. Di dalam rakan bahwa pemain rebab dan sindhen
tulisannya itu Hood mengoreksi pendapat yang bermain di beberapa gamelan yang
Kunst dan menilai kurang akurat sebab berbeda harus menyelaraskan Êmbat
yang digunakan sebagai pegangan hanya bawaannya – yang telah ada di dalam di-
pelarasan pada satu gêmbyangan7 padahal rinya – dengan Êmbat gamelan (Brinner,
seluruh gamelan itu mencapai 6 gêmbyan 1984:59). Menurut penulis yang dahulu
gan. Ia menyarankan bila ingin melihat juga seorang pemain rebab hal yang de-
karakteristik pelarasan – yang ia beri is- mikian tidak selalu. Hal itu dilakukan
tilah species – jangan hanya berlandasan kalau kita menemui Êmbat gamelan yang
kepada satu gêmbyang saja tetapi harus sangat asing bagi kita. Walaupun demiki-
seluruh teba gêmbyangan yang ada di da- an Brinner telah mencatat dengan cermat
lam satu set gamelan (Hood, 1966:35-37). bahwa peristiwa yang demikian ada di
Dalam hal ini Hood juga menyatakan, tengah kehidupan karawitan.
karena adanya temuan Kunst bahwa ada Wédha Pradangga menyinggung kata
sifat pelarasan luruh, sigrak, dan lugu, pa- Êmbat dalam ceritera lahirnya gamelan
dahal juga ada pengertian pelarasan alit, pélog. Yaitu setelah laras sléndro menjadi
sêdhêng, dan agêng, maka orang-orang kebiasaan maka maka Prabu Jayalengkara
Jawa mengenal adanya 18 species pelarasan menginginkan laras yang lain dengan cara
– Kunst tidak menyatakan itu – Hood lah merenggangkan dan menyempitkan ja-
yang menyimpulkannya: “Therefore, the rak nada – dalam istilah Wédha Pradangga
Javaese recognize in all, 18 different species of disebut godhakan – pelarasan sléndro. Maka
sléndro and pélog”(Hood, 1966:35). Penulis terbentuklah sebuah laras lain yang di da-
mengira angka 18 itu datangnya dari 3 lam buku ini digambarkan sangat enak
macam pelarasan alit, sedheng dan ageng; dirasakan (Pradjapangrawit 1990:9-11).
dikalikan 3 yaitu luruh, sigrak, dan lugu; di- Inti dari sumber ini meliputi dua informasi.
kalikan 2 yaitu sléndro dan pélog. Pernyata- Pertama, yaitu cara praktis untuk menge-
an ini sangat fantastis. tahui panjang pendek jarak nada dengan
Menurut penulis saran Hood itu ada mengacu pada tata jari rebab; kedua, bah-
benarnya tetapi belum tentu Kunst di sini wa penggeseran jarak nada akan menim-
salah. Kita lihat dahulu bagaimana para bulkan karakteristik pelarasan yang berbe-
empu Jawa melihat pelarasan gamelan da dan itu adalah hakekat êmbat.
Jawa. Kiranya kita dapat bersabar sam- Sri Hastanto berargumentasi bahwa
pai hasil eksperimen dengan para empu pada dasarnya sléndro dan pélog adalah
dalam penelitian embat itu dipaparkan. sistem pelarasan lima nada (Hastanto,
Demikian juga adanya 18 species sléndro 2009:26-27). Argumentasi ini untuk mene-
dan pélog setelah di tanyakan kepada para pis pendapat bahwa pélog adalah sistem
empu karawitan Jawa, ternyata mereka ti- tujuh nada dengan demikian pélog lima
dak pernah berfikir ke arah itu. nada nadalah konsep yang akan dijadikan
Benjamin Brinner dalam bukunya yang dasar dalam mencari eksplanasi penger-
berjudul Knowing Music, Making Music: tian dan konsep êmbat.
Hastanto: Konsep Êmbat 324
Studi Êmbat dalam Disiplin Seni taan penulis telah disusun oleh Ir. Priadi
Dwi Hardjita mejadi mesin otomatis de-
Pada dasarnya studi Êmbat adalah ter- ngan memasukkan rumus Hornbostel ke
masuk dalam kategori penelitian kualita- dalamnya, sehingga dengan memasukkan
tif karena metode utama yang digunakan A4 – 20, mesin ini akan menjawab secara
adalah metode otoritas yaitu otoritas para otomatis berapa tinggi frekuensi nada itu
empu karawitan dengan kemampuan dalam hz.
ketajaman pendengarannya akan menen- Tidak hanya itu, otomatisasi yang di-
tukan kualitas pelarasan baik itu watak susun oleh Ir. Priadi Dwi Hardjito sung-
pelarasan garis besar seperti pelarasan guh sangat meringankan kerja penulis
yang kepénak dan pelarasan yang tidak sebab dengan memasukkan bahan kasar
kepénak atau bléro dan kualitas pelarasan frekuensi yang masih berbetuk A4-20 dan
yang lebih halus seperti watak pelarasan sebagainya ke dalam urutan nada satu
luruh dan branyak di dalam pelarasan gêmbyang akan langsung keluar frekuensi
yang berkualitas kepénak. Walaupun de- (hz) nada-nada dalam satu gêmbyang itu
mikian bahan yang disajikan kepada para lengkap dengan jarak nadanya (sen) dari
empu untuk mendapatkan judgment ada- satu nada ke nada yang lain. Dwi Hardji-
lah hasil kerja eksakta yaitu perhitungan to menyusun dua software otomatisasi ini
frekuensi nada-nada instrumen gamelan dengan nama KORGOT-125 untuk laras
dalam satuan hertz (hz) dan jarak nada da- sléndro dan KORGOT-127 untuk laras
lam satuam cent (sen). pélog. Oleh Ir. Priadi Dwi Hardjito kedua
Perhitungan frekuensi itu menggu- software itu secara eksklusif hanya diijin-
nakan jasa mesin buatan KORG Orchestral kan boleh dipakai oleh penulis saja karena
Tuner dengan seri OT – 12. Mesin ini cu- belum sempat dipatenkan.
kup akurat untuk menentukan frekuensi Dengan penggunaan mesin eksak-
se-buah nada. Bila mesin ini “mendengar” ta itu penulis tidak menyebut peneli-
nada ia akan menginformasikan kepada tian embat ini bersifat kuantitatif karena
kita secara digital frekuensi nada terdekat hitung-menghitung secara eksakta itu
dengan frekuensi yang telah ditentukan hasilnya masih akan ditentukan dengan
untuk orchestra musik barat ( c-d-e-f-g-a- rasa oleh para empu dengan ketajaman
b-c) dalam segala tataran oktafnya dalam pendengarannya. Oleh sebab itu secara
satuan ukuran hertz (hz), disertai dengan tegas penulis menyatakan bahwa pada
penyimpanganya dalam ukuran sen. Jadi dasarnya penelitian ini adalah penelitian
misalnya sebuah nada diperdengarkan kualitatif, dengan langkah-langkah se-
maka Korg OT-12 akan merespon dengan bagai berikut.
misalnya A4 440 hz secara digital dan Di dalam gamelan terdapat dua
jarum menunjukkan -20. Itu berarti bah- sistem pelarasan yaitu laras sléndro dan
wa frekuensi nada tersebut adalah lebih laras pélog. Tetapi seperti telah diuraikan
rendah dari 440 hz dengan selisih atau sebelumnya, tahap ini baru menggarap
penyimpangan 20 sen. Dengan rumus laras slendro saja. Beberapa konsep
Hornbostel: cent = 1200 x (log (f2/f1)) : log 2 musikal di dalam laras slendro yang
Maka frekuensi nada itu dapat diketahui. perlu diketahui adalah: Nama nada dan
Perhitungan yang rumit itu atas permin- istilah gêmbyang.
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 325
Take: 1
GÊMBYANG-1 GÊMBYANG-2 GÊMBYANG-3
ND CR RG - CN ND CR RG - CN ND CR RG - CN
+ + +
6 6 6
1 1 1
2 2 2
3 3 3
5 5 5
Take: 2
GÊMBYANG-1 GÊMBYANG-2 GÊMBYANG-3
ND CR RG - CN ND CR RG - CN ND CR RG - CN
+ + +
6 6 6
1 1 1
2 2 2
3 3 3
5 5 5
Take: 3
TAKE:
GÊMBYANG-1 GÊMBYANG-2 GÊMBYANG-3
ND CR RG - CN ND CR RG - CN ND CR RG - CN
+ + +
6 6 6
1 1 1
2 2 2
3 3 3
5 5 5
Tabel-1
Blangko Pengukuran Nada
Keterangan:
ND (nada) : Nada yang diukur
CR (cromatic) : Kedekatan nada itu dengan nada-nada kromatik
RG (range) : Pada tataran oktaf ke berapa
-+ : Selisih kurang atau lebih dari nada kromatik terdekat
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 327
Berikut adalah contoh setelah hasil pengukuran nada dengan Korg seri OT12
diisikan di blanko:
rRm
For MaAt TPP
eEnN
guGk
UuKrURAN
an TaT
nagnggagla: l1: 616DDeesseem
mbeerr2200009
MAG AMELAN
Namm a Gamelan : :BBiIrRuUEEkKs-S-SSaAsSaAnN
a AMM
uUlyLaYA
LOKASI : TAMAN BUDAYA JAWA TENGAH
Lokasi : Taman Budaya Jawa Tengah
eN
Ge nD
deErRBBaArRuU
nNgG
SlSêLnÉdNrD
o RO
Take: 1
TAKE: 1
GÊMBYANG-1 GÊMBYANG-2 GÊMBYANG-3
ND CR RG - CN ND CR RG - CN ND CR RG - CN
+ + +
6 6 Bb 3 + 20 6 Bb 4 + 30
1 C 2 + 30 1 C 4 + 50 1 C# 5 - 30
2 Eb 2 - 10 2 Eb 4 - 20 2 Eb 5 - 5
3 F 3 + 30 3 F 4 + 25 3
5 G# 3 - 30 5 G# 4 - 35 5
Take: 2
GÊMBYANG-1 GÊMBYANG-2 GÊMBYANG-3
ND CR RG - CN ND CR RG - CN ND CR RG - CN
+ + +
6 6 Bb 3 + 10 6 Bb 4 + 15
1 C 2 + 30 1 C 4 + 50 1 C# 5 - 30
2 Eb 3 - 20 2 Eb 4 - 10 2 Eb 5 - 10
3 F 3 + 30 3 F 4 + 25 3
5 G# 3 - 30 5 G# 4 - 30 5
Take:
TAKE: 33
GÊMBYANG-1 GÊMBYANG-2 GÊMBYANG-3
ND CR RG - CN ND CR RG - CN ND CR RG - CN
+ + +
6 6 Bb 3 + 10 6 Bb 4 + 10
1 C 2 + 40 1 C 4 + 50 1 C# 5 - 30
2 Eb 3 - 10 2 Eb 4 - 10 2 Eb 5 - 10
3 F 3 + 30 3 F 4 + 30 3
5 G# 3 - 30 5 G# 4 - 30 5
Tabel-2
Data Kasar Hasil Pengukuran Nada
Hastanto: Konsep Êmbat 328
Tahap berikutnya adalah menghitung frequensi nada dan jangkah satu nada dengan
berikutinya. Software yang digunakan adalah KORGOT-125 (singkatan dari KORG seri
OT 12 dengan kapasitas pengukuran frequensi dan jangkah sebanyak 5 nada) sehingga
oleh penciptanya Ir. Dwi Hardjito diberi nama KORGOT-125. Beri-kut adalah salah satu
contoh hasil kerja studio dengan KORGOT-125 untuk Gamelan wayangan yang ada di
Taman Budaya Jawa Tengah
ND 6 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6
Hz 119.06 138.59 158.99 182.35 210.06 239.91 278.79 320.25 365.74 420.13 479.82
Cnt 262.97 237.75 237.29 244.95 230.01 260.00 240.03 229.96 240.00 230.01
GB GÊMBYANG-3 GÊMBYANG-4
ND 6 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6
Hz 239.22 278.79 318.40 365.74 420.13 479.82 555.97 640.46 735.73 847.57 987.77
Cnt 265.00 230.03 239.96 240.00 230.01 255.03 244.32 240.07 245.00 265.00
GB GÊMBYANG-5 GÊMBYANG-6
ND 6 1 2 3 5 6 1
Hz 968.00 1119.56 1288.39 1484.28 1704.55 1986.94 2349.30
Tabel-3
Hasil Olah Data dari KORG OT-12 (bahan mentah)
menjadi Struktur jangkah dengan bantuan KORGOT-125
Keterangan:
1. Terlihat pada Tabel-3 nada-nada, fruensi dalam hertz, dan jangkah dalam sen dari Gembyang
pertama sampai dengan keenam (seluruh teba nada yang ada di dalam gamelan Jawa Tengah.
2. Dalam urusan êmbat hanya struktur jangkah yang akan digunakan. Frekuensi hanyalah batu
loncatan untuk mengukur jangkah.
Langkah-langkah Empirik dalam Meng- karawitan. Dalam hal ini akan dikumpul-
gali Konsep kan berbagai konsep-konsep kecil yang
akhirnya digunakan untuk membangun
Langkah-langkah menggali konsep konsep yang lebih besar, dalam tulisan
Langkah-langkah Empirik dalam Menggali Konsep
musikal ini berdasarkan emperical prac ini adalah konsep Êmbat dalam karawitan
tices – berbagai peristiwa musikal da- Jawa. Konsep-konsep kecil itu adalah se-
karawitan Jawa yang didasari pada bagai berikut
Langkah-langkah menggali konsep musikal ini berdasarkan emperical practices
lam
pengalaman empirik para empu/seniman
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 329
Konsep Pitch dan Batas Toleransi itu lewat TRUE RTA nada itu digeser ke
Pergeseran dalam Karawitan Jawa ketas maupun ke bawah sampai 10 kali
dan setiap pergeseran para empu kem-
Kalau di dalam Pendahuluan kita bali diminta pendapatnya apakah itu ma-
menyinggung tiga jenis pelarasan yai- sih nada nêm. Bila masih dapat ditolerir
tu agêng, sêdhêng, dan alit – pelarasan sebagai nada nêm setiap empu diminta
berfrekuensi rendah, sedang, dan tinggi menyontreng YA, bila sudah tidak dapat
maka dalam karawitan Jawa tidak me- ditolerir menyontreng TIDAK. Hasilnya
nentukan tinggi rendah nada harus “seki- sebagai berikut.
an”. Lalu ba¬gaimana aturannya. Apakah Dari empat empu yang digunakan se-
tidak ada aturan seberapa tinggi nada 6 bagai “alat” eksperimen, 3 empu menun-
(nêm) misalnya. Apakah tidak seperti di jukkan pola rasa yang sama, sedangkan
barat bahwa nada A itu harus 440 Hz. Para seorang empu – dalam tabel tercatat se-
empu me-ngerti permasalahan ini hanya bagai EMPU-A – mempunyai kelainan
mereka kesulitan cara menjawabnya. Un- rasa11 sehingga dianggap sebagai anomaly
tuk itu diterobos dengan sebuah eksperi- dan diabaikan konfirmasinya seperti terli-
men kecil sebagai berikut. hat dalam tabel berikut.
Konfirmasi Empu
No. Pergeseran Frekuensi Hz
Empu A Empu B Empu C Empu D
1 Nada Awal 463 Ya Ya Ya Ya
2 Naik 473 Ya Ya Ya Ya
3 Naik 483 Tidak Tidak Tidak Ya
4 Naik 478 Tidak Tidak Tidak Tidak
5 Turun 453 Tidak Ya Ya Ya
6 Kembali Nada Awal 463 Tidak Ya Ya Ya
7 Turun 453 Tidak Ya Ya Ya
8 Turun 443 Tidak Tidak Tidak Tidak
9 Turun 433 Tidak Tidak Tidak Tidak
10 Kembali Nada Awal 463 Tidak Tidak Ya Ya
Tabel-4 Toleransi Pergeran Frekuensi Nada (Konfirmasi Para Empu)
2. Batas Tolerasi Pergeseran Nada mengolah data hasil kerja lapangan. Dalam
Bahwasanya dalam karawitan Jawa ti- kerja lapangan telah diukur nada-nada
dak boleh sesukanya menggeser ting- dan dihitung jangkah nada satu dengan
gi rendah sebuah nada. Pergeseran ke lainnya dari 5 perangkat gamelan terse-
atas maupun ke bawah itu tidak boleh but sebelumnya masing-masing meliputi
melampaui batas toleransi rasa kepenak. ricikan: gender barung, gender penerus,
Berarti tinggi rendah sebuah nada da- saron penerus, saron barung, demung, dan
lam karawitan Jawa mempunyai ba- slenthem yang semuanya mencakup 5, 5
tas kepantasan. Sementara ini penulis gembyang. Seluruh hasil pengukuran dan
mengusulkan temuan ini dengan is- perhitungan ini didistribusikan kepada 3
tilah semi absolute pitch, dalam bahasa peneliti untuk dilihat pola-pola jangkahnya
Indonesia diusulkan dengan “bebas dan dirumuskan. Dalam kerja secara terpi-
terbatas”, dan dalam bahasa Jawa isti- sah ini ada diketemukan kejanggalan tetapi
lahnya sangat umum yaitu “pantes” jumlahnya sangat sedikit (kurang dari 1%),
3. Teba Batas Toleransi Pergeseran Nada misalnya jangkah yang pada umumnya 220
Dari pengalaman di atas dapat dilihat sen, ada salah satu yang mencapai 341 sen
bahwa batas toleransi menggeser nada – pergeseran sebesar ini tentu salah satu
dalam karawitan Jawa tidak boleh lebih nadanya mengalami pergeseran lebih dari
dari 10 Hz. 10 Hz yang “ditabukan” oleh konsep batas
toleransi pergeseran nada. Hal ini dapat
disebabkan oleh human eror dalam mema-
Konsep tentang Rasa Êmbat dan Kom- sukkan data atau memang sumber bunyi
ponen Pembentuknya yang diukur telah rusak. Hal-hal yang de-
mikian diabaikan dalam merumuskan pola
Ketiga konsep hasil temuan dalam Eks- jangkah setiap gamelan. Hasil dari peker-
perimen-1 akan digunakan sebagai instru- jaan para peneliti setelah dibandingkan
men untuk menyusun konsep embat dalam tidak terdapat perbedaan seperti terlihat
karawitan Jawa yang akan dimulai dengan sebagai berikut.
Gamelan Struktur Jangkah dlm satuan Sen
Rangkungan
Nada 6–1 1–2 2–3 3–5 5–6
Panjang: 6-1/3-5
RRI Surakarta 243-272 233-240 215-235 260-275 225-240 Rata-2 : 1-2/5-6
Pendek : 2-3
Panjang: 6-1/56
Wayangan TBS 263-290 237-243 230-250 240-245 230-265 Rata2: 1-2/2-3/3-5
Pendek : -
Panjang: 3-5
Kyai Slamet 230-247 227-243 232-240 250-285 220-230 Rata:6-1/1-2/2-3
dan 5-6.
Panjang: 2-3
Gedhong
250-257 232-235 240-272 245-254 210-255 Rata: 6-1/1-2/3-
Gedhe ISI Ska
5/5-6; Pendek: -
Panjang: 2-3/5-6
Eks
237-255 220-237 235-260 240-245 240-258 Rata: 6-1/3-5
Sasonomulyo
Pendek: 2-3
Tabel-5
Kesimpulan Struktur Jangkah Empat Gamelan Sasaran Penelitian
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 331
di ajang penelitian. Setiap gending hasil Dari hasil eksperimen ternyata keli-
rekaman dari ke lima gamelan itu disa- ma gamelan tersebut lebih dapat meng-
jikan – diperdengarkan dalam format play ekspresikan karakteristik embatnya bila
back – kepada para empu. Mereka tidak menyajikan gending manyura, sedangkan
diberi tahu gamelan mana yang sedang bila me-nyajikan gending sanga kurang
disajikan. Para empu telah diperlengkapi jelas karakteristik embatnya dengan de-
dengan borang yang berisi kode empu, mikian simpulan akhirnya mengambil
kode gamelan, dan dua kotak pilihan rasa karakteristik yang dimunculkan dalam
embat ‘luruh’ dan ‘sigrak’. Pelarasan ‘lugu’ menyajikan gending manyura.
tidak dimasukkan karena para empu teru- Kini saatnya membuka kartu, sebe-
tama pelaras gamelan, mengatakan bahwa narnya apa yang membuat pelarasan itu
tidak mungkin orang membuat pelarasan mempunyai karakteristik ‘luruh’ (Sundari)
yang ‘lugu’. Orang mesti minta ‘sigrak’ atau ‘sigrak’ (Larasati). Hal itu dapat kita
atau ‘luruh’, kalau ‘lugu’ tidak ada rasanya. lihat lewat struktur jangkah gamelan yang
Setiap kali gending diperdengarkan para dimaksud:
empu diminta menyontreng ‘luruh’ atau
Hastanto: Konsep Êmbat 332
Keterangan:
― : Jangkah jauh (tidak melebihi 290 sen)
Keterangan: – : Jangkah rata-rata (di bawah 260 sen)
― : Jangk∧ah jauh: J(atnidgakkahmpeelnedbeikhi(k2u9r0an
segnd)ari 240 sen)
– : Jangkah rata-rata (di bawah 260 sen)
∧ : Jangkah pendek (kurang dari 240 sen)
Dari hasil eksperimen ini terlihat bahwa nyai empirical practices cukup. Tetapi itu
pelarasan yang mempunyai embat “sigrak” bukan halangan untuk melakukan studi
adalah pelarasan yang struktur jangkah- seni dengan disiplinnya sendiri yaitu di-
nya terdiri dari jangkah panjang dan jang- siplin seni. Epirical practices dapat ditimba
kah rata-rata tidak melibatkan jangkah dari para empu seni bidangnya masing-
pendek terlihat pada Gamelan Wayangan masing.
TBS, Gamelan Gedhong Gedhe ISI Sura- Prosedur kerja disiplin seni ini sebe-
karta, dan Gamelan Kyai Slamet. Sedang- narnya bukan hal yang baru, seperti telah
kan pelarasan yang mempunyai karak- disinggung beberapa kali bahwa prosedur
teristik embay “luruh” adalah pelarasan ini sudah dilakukan bersama dengan la-
yang struktur jangkahnya menggunakan hirnya kesenian itu sendiri. Penglaman
jangkah pajang dan rata-rata dengan meli- empirik “dikumpulkan” para empu secara
batkan jangkah pendek seperti terlihat kumulatif bahkan dari empu-empu sebe-
pada Gamelan Audio RRI Surakarta dan lum generasinya. Dari pengalaman itu
Gamelan Eks Sasonomulyo. telah lahir banyak konsep kesenian yang
setiap saat mendapat koreksi dari generasi
yang menerima estafet, sehingga mereka
PENUTUP melakukan revisi demi revisi sampai me-
nemukan sebuah kemantapan atas sebuah
Apa yang ditulis ini merupakan ekspla- konsep.
nasi sulung mengenai ‘studi seni’ – bukan Konsep-konsep itu telah digunakan
“studi tentang seni” – dengan demikian oleh para seniman baik untuk menya-
tentu masih banyak kekurangannya. Wa- jikan maupun menciptakan karya yang
laupun demikian penulis berusaha keras hasilnya dapat kita lihat semua, tidak
mendemonstrasikan bagaimana seni di- mengecewakan bahwa menjadi salah
letakkan sebagai subyek yang menelor- satu kekaguman dunia. Itu membukti-
kan berbagai pengalaman empirik para kan bahwa penelitiannya maupun cara
olah seni. Para peneliti seni yang masih membangun konsep sahih adanya. Tanpa
tergolong muda tentu belum mempu- kesahihan itu tentu hasilnya tidak akan
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012: 225 - 350 333
bahwa para empu tidak mau berpreten- di dalam laras pelog dalam notasi Kepatihan
diberi simbol angka arab 1 dan 2
si telah melakukan penelitian maupun
Pertama kali Music in Jawa diterbitkan
6
menyusun konsep teoretik. Kita sebagai tahun 1933 kalau penelitian Kunst memakan
pemegang estafet kehidupan kesenian waktu 10 tahun berarti di tahun 1923 Kunst
selanjutnya wajib menje-laskan prosedur sudah mengetahui informasi dasar mengenai
êmbat. Kalau sekarang tahun 2011 berarti telah
disiplin seni ini kepada khalayak. 78 tahun berselang.
Penulis sangat berharap, konsep- Dalam musik barat disebut oktaf tetapi
7
konsep kesenian yang bersifat teoretik karena oktaf mempunyai konotasi tersendiri
telah menumpuk hasil empirical practices maka istilah karawitan Jawa gêmbyang akan
lebih cocok.
para empu masa lalu dan kita teruskan
Gender adalah salah satu instrumen
8
sampai saat ini dapat kita paparkan dan gamelan Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
kita pertanggungjawabkan kebenarannya yang mempunyai 12 sampai 13 bilah nada jadi
– bukan kebenaran akademis – tetapi ke- meliputi dua gembyang lebih 2 atau 3 nada.
Ada dua macam gender yaitu gender barung
benaran artistik. Semoga tulisan ini dapat dan gender penerus. Pelarasan gender penerus
menggugah para pengemban kehidupan satu gembyang lebih tinggi daripada gender
seni baik praktisi maupun mengamat seni barung.
untuk menunjukkan kepada dunia bah- Sebuah instrumen dalam gamelan Jawa
9
dapat digeser tinggi rendahnya dalam pelarasan gamelan berarti sedikit digeser ke
atas
teba tertentu dan masih diakui sebagai
Ternyata pada saat itu sang empu baru
11
nada nêm, itu merupakan salat satu contoh
menghadapi masalah rumah tangga, jadi
kebenaran artistik dalam karawitan Jawa. perasaannya tidak dapat terfokus
CATATAN AKHIR
DAFTAR PUSTAKA
1
Istilah Êmbat juga terdapat di daerah bu-
daya lainnya seperti misalnya di Sunda tetapi Brinner, Benjamin,
mempunyai arti yang lain. 1984 Knowing Music, Making Music:
Penulis berusaha memunculkan istilah-is-
2
Javanese Gamelan and the Theory
tilah teknis yang telah dipakai sejak lama oleh
of Musical Competence and Interac
komunitas karawitan Jawa
tion. Chicago-London: The Uni-
Sejak tahun 1981 untuk mempersiapkan
3
Ellis, A. J.,
1885 “On the Musical Scales of Various
Nations.” Journal of the Society of
Arts No. 1,688 (Vol. 33): 485-527
{esp. 508-514}; dengan koreksi da-
lam 1,690 (33):570; dan appen¬-
dix dalam 1,719 (33):1102-1111
{esp. 1107-1108}. London
Hastanto, Sri.
2009 Konsep Pathêt dalam Karawitan
Jawa. Surakarta: ISI Press dan
Pascasarjana ISI Surakarta.
------------------
2010 “Konsep Êmbat dalam Karawitan
Jawa”, Laporan Penelitian Pro-
gram Hibah Kompetisi B-Seni
Jurusan Rtnomusikologi ISI Sura-
karta, Direktorat Jenderal Pendi-
dikan Tinggi Kementaerian Pen-
didikan Nasional
Hood, Mantle
1996 “Sléndro and Pélog Redifined”. Se
lected Reports Institue of Ethnomu
sicology. Vol. I No.1 Los Angles:
University of California
Kunst, Jaap
1973 Music in Java, Vols.I dan II. Erns
L. Heins (ed.) The Hague: Marti-
nus Nijhoff
Prodjapangrawit, R. Ng.
1990 Wedha Pradangga. Sri Hastanto
(ed.), Surakarta: STSI Surakarta
dan The Ford Foundation