Aris Setiawan
Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Abstract
Jawatimuran karawitan/ east Java musicians during its development become into a sub dominant
when compared with Surakarta or Yogyakarta. Jawatimuran said often as a complement to the
writing of that two major genres of the musical. As a result, many ordinary people who think Karawitan
Jawatimuran is not somewhat different with style from Surakarta and Yogyakarta . This article tries
to use descriptive analysis, ie, classifying data related to the uniqueness Karawitan Jawatimuran
then assembled , analyzed, presented in a coherent and deeply. Thus ,to bring back its configuration
(appearance of ) musical Jawatimuran not merely re- describe, but as an attempt to make sense
of today’s its appearance increasingly not find space discourse. The result can be seen that
Jawatimuran musicians have different specifications, namely forms, techniques, terminology
and so forth.
Pengantar
Bk: 2 1 6 5 6 1 2 3 . 2 . g1
merubah gending berdasar atas tuntutan
estetika musikal yang dibangunnya. Selain itu
//. 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 2 . 3 . 6
dimungkinkan pula terstimuli oleh perbedaan
selera (pemenuhan selera karakter) dari . 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 6 . 3
seorang penyaji atau penggarap. Jadi bukannya . 5 .... dst.//
mereka tidak mengetahui balungan gending
aslinya, melainkan karena beberapa sebab di Lebih jelasnya, terkait dengan perbedaan
atas yang mengharuskan mereka merubah garap gending dalam konteks kewilayahan
(balungan) gending yang ada. Di Jawa Timur, (geografis) dapat dibaca pada tulisan Tasman
perbedaan balungan gending justru diserap (1981). Dalam kertas tersebut Tasman
sebagai kekayaan budaya lokal dari masing- mencoba mengurai gending-gending yang ada
masing daerah. Perbedaan yang ada kemudian dalam lanskap garap ala Surabaya dan
diambil dan diramu menjadi icon atau identitas Mojokerto.
masyarakat atau daerah yang Pada konteks ini budaya kupingan bukan
mengelaborasinya. Dengan demikian sangat merupakan faktor utama penyebab terjadinya
wajar dan lazim dijumpai pada budaya karawitan perbedaan balungan gending. Budaya kupingan
Jawatimuran di mana nama satu gending diiikuti hanyalah salah satu stimulan awal yang
oleh banyak nama sesuai latarbelakang merangsang atau memicu berubahnya
wilayahnya. Seperti gending Jula-juli balungan gending. Foktor utama adalah dalam
Mojokertoan, Malangan, Jombangan dan diri dan benak para pengrawit itu sendiri terkait
Suroboyoan. dengan kemampuannya untuk mengingat dan
Penulis memandang bahwa nama-nama mengelaborasi gending secara sama dan utuh.
daerah yang mengitari gending tersebut Selain itu faktor lain yang juga tidak kalah penting
bukanlah sekedar nama yang dilekatkan begitu adalah ketiadaan penggunaan notasi karawitan
saja. Namun, nama-nama daerah tersebut waktu itu.
mengindikasikan bahwa gending yang Budaya kupingan juga tidak senantiasa
bersangkutan telah diinterpretasi oleh beberapa merubah balungan gending. Banyak dijumpai
masyarakat di wilayah tertentu, kemudian gending yang memiliki kesamaan pada
membentuk perbedaan dan ciri khas yang pada notasinya (balungan gending) namun memiliki
akhirnya diakui sebagai kekayaan lokalitas perbedaan garap. Semisal Jula-juli Suroboyoan,
daerah terkait. Oleh karena itu sangat wajar Jombangan, Malangan, Meduroan. Walaupun
dijumpai dalam karawitan Jawatimuran dalam takaran balungan gending yang sama,
pengrawit berbincang: “mau digarap cara apa namun tiap-tiap wilayah basis kehidupannya
gending terkait, apakah cara Surabaya, Mojokerjo memiliki perbedaan garap yang sangat dominan.
atau Jombangan?”. Hal ini mengindikasikan Seperti yang diutarakan oleh Zoel Mistortoify
bahwa nama wilayah tersebut juga berimplikasi bahwa setiap wilayah basis perkembangan
pada perbedaan garapnya. Gending Jula-juli memiliki kecenderungan garap
Sebagai contoh, selain Jula-juli, berikut dan karakter musikal yang berbeda. Garap jula-
adalah salah satu gending yang berbeda juli di Madura terkesan lebih maskulin (keras)
balungan gending dan diinterpretasi menurut dari pada Surabaya dan Jombang (1007:11),
lokalitas daerah masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam kisaran eksplorasi
nada tinggi atau melengking yang senantiasa
Gending Titipati Slendro Pathet Wolu Mojokertoan dimunculkan. Selain perbedaan garap dalam
Bk: . 2 . 2 1 y t . 2 2 3 5 . 3 2 g1
bingkai geografis, kecenderungan budaya
kupingan juga mengakibatkan terbentuknya pola
// 3 2 3 1 3 2 3 6 3 2 3 1 3 6 3 5 garap pribadi atau individual.
. 2 . 5 . 2 . 6 . 1 . 5 . 2 . 1
diketahui secara pasti pencipta gending-gending kesenian tradisi terutama karawitan. Informasi
tradisi, namun setidaknya dapat terdeksi dengan ini diperoleh dari keterangan A.M. Munardi
baik akan waktu dan masa gending tersebut sebagai berikut.
diciptakan. Hal ini sebagai efek dari lekatnya “Sebagai suatu daerah yang pernah
budaya keraton. Gending-gending ciptaan para memiliki kebudayaan istana-istana
empu lazim dipersembahkan menjadi milik raja semenjak abad XI sampai dengan XIV,
yang berkuasa saat itu. Pemicunya karena rasa seharusnya wilayah etnis ini (Jawa Timur-
pen.) memiliki tradisi yang kuat dalam
pengabdian yang sungguh-sungguh, sehingga
kehidupan tradisi musik karawitan.
empu karawitan enggan menyebut namanya Sayang sekali istana-istana Kahuripan
dan akan mentabsihkan karyanya atas nama sampai dengan Majapahit itu tidak banyak
raja. Hal ini dikuatkan oleh Waridi sebagai berikut. meninggalkan warisan kesenian di
“Sebenarnya pada jaman kerajaan dan daerah-daerah bekas kerajaan itu berdiri.
penjajahan banyak bermunculan karya Bahkan setelah runtuhnya Majapahit,
cipta gendhing yang dicipta oleh para perkembangan karawitan di daerah Jawa
empu karawitan baik yang hidup di dalam Timur mengalami kemunduran dan
maupun di luar tembok keraton, yang berjalan lamban” (1993:1).
dicipta secara individual maupun oleh
kelompok, akan tetapi mereka enggan Selain itu apabila di Surakarta terdapat
untuk memperlihatkan dirinya.
satu referensi yang biasa digunakan sebagai
Keengganan menampakkan dirinya
diduga sebagai akibat dari situasi acuan dalam melihat masa penciptaan gending
psikologis yang mengharuskan dirinya tertentu yakni Serat Wedhapradangga
untuk selalu mengabdikan seluruh hasil sementara hal yang demikian tidak ditemukan
kerjanya kepada atau untuk raja” (2000:7). di Jawa Timur. Oleh karena itu, siapa pencipta
dan pada masa apa gending tersebut diciptakan
Dengan demikian gending-gending yang tidak dapat ditelusuri, selanjutnya gending-
ada seolah-olah diciptakan oleh sang raja gending yang ada berkembang dan interpretasi
(Walaupun tidak menutup kemungkinan besar secara beraneka ragam oleh setiap masyarakat.
bahwa beberapa gending yang ada memang
benar-benar diciptakan oleh sang raja yang Milik Bersama
berkuasa). Nama raja yang berkuasa menghiasi Statusnya yang anonim mengakibatkan
gending yang dicipta pada masanya, semisal gending-gending tradisi di Jawa Timur tidak
gending Ladrang Sri Kuncoro dicipta pada diketahui siapa penciptanya. Akibatnya terdapat
masa PB. X. Informasi atau data yang demikian kebebasan untuk menafsir kembali gending
dapat diperoleh di Serat Wedhapradangga. yang ada. Impresinya, gending-gending
Berdasarkan ulasan tersebut, gending-gending karawitan Jawatimuran menjadi milik bersama.
tradisi di Surakarta, walaupun tidak diketahui Oleh karena anonim, setiap individu maupun
persis siapa pencipta pastinya, namun dapat kelompok dapat merubahnya tanpa harus
dilacak terkait waktu dan masa penciptaannya, bertanggung Jawab kepada siapapun. Hasil
yakni pada masa pemerintahan raja tertentu. perubahan yang dilakukan pada akhirnya
Hal ini sangat berbeda dengan dikembalikan pada masyarakat. Apabila
keberadaan gending tradisi Jawatimuran. masyarakat merasa perubahan yang dilakukan
Keraton tidak memberi pengaruh yang cukup sesuai dengan kehendak dan dinamika jaman
signifikan dalam perkembangan karawitan maka gending dengan nuansa baru tersebut
Jawatimuran, bahkan boleh dikatakan tidak akan dipertahankan. Sebaliknya jika perubahan
nampak. Dengan demikian hal tersebut sangat yang dilakukan tidak berkenan bagi masyarakat
berbeda dengan Surakarta, keberadaan keraton atau khalayak seni umumnya, maka gending
di Jawa Timur belum dapat menunjukkan satu yang ada tidak digunakan atau segera akan
kepastian terkait pencipta maupun masa berubah menjadi wujudnya yang baru lagi. Hal
penciptaan gending tertentu. Hal ini sebagai efek yang demikian dikuatkan oleh Waridi sebagai
dari legitimasi keraton yang memudar, sehingga berikut.
tidak banyak meninggalkan pengaruh bagi
“Dengan alasan statusnya yang anonim, gamelan yang memiliki sistem pelarasan
maka ia dapat difahami sebagai milik slendro kecuali daerah Malang). Secara
bersama, ada kebebasan untuk sederhana, slendro dapat dijelaskan sebagai
mengubah menurut cita rasa estetik baik sistem nada pentatonik tanpa nada tengahan
individu maupun kelompok, tanpa harus
(unhemitonik). Konsepnya jarak antar nada-
bertanggung Jawab kepada siapapun.
Tanggung Jawab hanya bersifat etik dan nada (interval) yang dibentuknya ‘relatif’ sama.
estetik akan terseleksi secara alami di Namun dalam tataran implementasinya, sistem
tengah-tengah masyarakat nada slendro tumbuh dan berkembang
pendukungnya. Kalau ternyata terdapat beraneka “warna dan rasa” pada setiap wilayah
karya yang menurut individu maupun kebudayaan, setiap sub kultur hingga komunitas
kelompok dirasa kurang sreg dari aspek dan individu. Gamelan slendro tumbuh subur di
garapnya, secara spontan diubah. area persebaran karawitan Jawatimuran tak
Fenomena ini ditingkat praktik karawitan terkecuali juga di Madura. Menurut Zoelkarnain
hidup secara subur” (2000:9). Mistortoify di Madura juga berkembang
karawitan Jawatimuran beraneka warna,
Gending-gending tradisi banyak dengan rasa sesuai selera masyarakat
diinterpretasi ulang dengan nuansa dan logat setempat (2007:10). Berdasarkan catatan yang
yang lebih baru sehingga hasilnyapun menjadi dibuat Tasman (1981) dan Piet Asmoro (1971),
baru. Tradisi dalam konteks ini hanya dijadikan secara kuantitatif hal ini dapat dilihat dari
sebagai bahan mentah yang dimasak atau keberadaan gending-gending laras slendro
digarap ulang. Aspek kekaryaan baru tidak hanya dengan jumlah lebih banyak dari pada laras
sebatas mencipta gending secara benar-benar pelog. Bukti lain adalah hampir semua bentuk
baru, namun juga berusaha mengembangkan seni pertunjukan di daerah-daerah tersebut lebih
dari apa yang sudah ada sebelumnya. Ucu lekat dengan menggunakan gamelan slendro,
Mulyana dengan tegas menyatakan bahwa semisal pertunjukan ludruk, wayang kulit,
seseorang disebut sebagai musisi, komposer jaranan dan juga klenengan. Bahkan hingga kini
atau kreator musik tidak hanya sebatas ketika banyak dijumpai kelompok ludruk, wayang dan
seorang tersebut mencipta karya yang benar- klenengan yang begitu lekatnya dengan laras
benar baru, tapi juga mampu memunculkan slendro sehingga seolah enggan menerima
kesan, keunikan dan nuansa berbeda pada kehadiran laras pelog. Simak saja bagaimana
karya lama yang digubahnya (2009:3). Ludruk “Karya Budaya Mojokerto” dan “Ludruk
Dalam krawitan Jawatimuran (dan juga Budi Wijaya” Jombang, “Grup Klenengan
secara umum) tidak dikenal Hak Atas Kekayaan Lamongan dan Jaranan Gresikan” yang setia
Intelektual (HAKI), sehingga hal cipta menjadi dengan gamelan slendro. Walaupun terkadang
samar atau berada di wilayah abu-abu. Menjadi gending yang dibawakan sebenarnya berlaras
kesenian milik bersama, siapa pun berhak atas pelog namun digubahnya dalam laras slendro.
gending itu. Sampai pada titik ini, mencipta Supriyanto dalam skripsinya menginformasikan
gending tidak dimaksudkan untuk mencari bahwa gamelan slendro adalah gamelan utama
keuntungan materi, namun semata demi dalam budaya karawitan dan terutama dunia
kepuasan batin seniman. Setelah gending itu wayang kulit di Jawa Timur. Hal ini ditandai
tercipta, masyarakat bebas menggunakannya dengan seringnya gamelan laras ini digunakan
tanpa takut terkekang dan membayar pada Si dalam sajian pertunjukannya (2006:11).
Pencipta awalnya. Hal ini yang dalam beberapa Terdapat perbedaan antara slendro di
waktu terakhir juga menjadi perdebatan rami di Jawa Timur dan Surakarta serta Yogyakarta.
berbagai ruang diskusi dan seminar karawitan. Apabila di Jawa Timur, slendro dalam tataran
implementasi oktafnya dimulai dengan nada 1
Laras Slendro (ji) dengan ending di nada @ (ro cilik), sehingga
Daerah di Jawa Timur yang urutan nadanya dapat dirangkai menjadi
menggunakan konsep karawitan Jawatimuran 12356!@. Sementara apabila di Surakarta dan
seperti di Surabaya, Lamongan, Sidoarjo, Yogyakarta dimulai dengan nada y (nem) dan
Jombang, Mojokerto, Gresik lebih akrab dengan diakhiri dengan nada ! (ji cilik), sehingga urutan
nadanya dapat dirangkai menjadi y2356!. Gending Cokronegoro. Artinya, letak ricikan
Gending-gending baik dalam takaran klenengan struktural (kenong, kempul), permainan kendang
maupun untuk pertunjukan wayang dan ludruk sama dengan Gending Cokronegoro. Bahkan
kebanyakan diolah dengan laras slendro. konsekuensinya konsep padang uliannya pun
serupa. Masyarakat dan komunitas karawitan
Budaya ‘Sak’ Jawa mengenal konsep padang ulian yang dapat
Lanskap karawitan Jawatimuran tidak diartikan secara sederhanya sebagai alur
mengenal adanya penggolongan gending pergerakan melodi balungan gending (dalam
layaknya pada karawitan Surakarta seperti konteks ini). Padang diibaratkan sebagai sebuah
ketaw ang, lancaran, ladrang dan lain pertanyaan dan ulian sebagai Jawabannya.
sebagainya. Budaya karawitan Jawatimuran Dalam terminologi musik barat dikenal dengan
lebih dapat memaknai dan ditentukan oleh adanya frase naik (padang) dan frase turun
golongan gending berdasar atas budaya (ulian).
“mencandra” gending lain yang lebih terkenal.
Dalam konteks ini terdapat gending-gending Baris pertama:
tertentu dalam berbagai tingkatan bentuk yang . ! . 6 . 3 . p2 (Cokronegoro) dan . 6 . 1 .
digunakan sebagai acuan atau padanan untuk 6 . p1 (Ijo-ijo): Padang / seleh ringan / analogi
menyertai gending-gending pada umumnya pertanyaan.
(yang belum sepenuhnya dikenal). . 6 . 5 . 3 . n2 (Cokronegoro) dan . 5 . 3 .
Usaha penggolongan gending yang 5 . n6 (Ijo-ijo): Ulian / seleh berat /analogi Jawaban.
dilakukan oleh seniman dan masyarakat
komunitas karawitan Jawatimuran yakni dengan Baris kedua :
memberi aksentuasi kata ‘sak’ pada gending- . 3 . 2 . 6 . p5 (Cokronegoro) dan . 2 . 1 .
gending yang ada. Semisal, Gending Ijo-ijo ‘sak’ 2 . p3 (Ijo-ijo): Padang / seleh ringan / analogi
Cokronegoro, Gending Angleng ‘sak’ Samirah, pertanyaan.
gending lain terutama dalam klenengan biasa, disajikan sebelum suatu pertunjukan tertentu
misalnya Gending Lambang sak Ganda diberlangsungkan. Pertunjukan tersebut dapat
Kusuma. Gending Ganda Kusuma merupakan saja klenengan (konser), ludruk atau tayuban.
gending yang lebih akrab dalam benak mereka, Dengan dibunyikannya giro berarti pertunjukan
karena gending ini digunakan untuk iringan terkait telah dimulai. Oleh karena posisi gending
wayang kulit Jawatimuran. Lebih jelasnya lihat giro adalah di awal, berarti fungsinya digunakan
Supriyanto (2006). sebagai penyambut tamu dan penonton (1983:
Kendatipun demikian, pada karawitan 44).
Jawatimuran, aksentuasi kata “sak” hanya
digunakan pada gending-gending yang belum 2. Gagahan
memiliki wilayah atau ruang kategorisasi secara Gagahan merupakan bentuk gending
jelas, sehingga harus diambil padanan gending settingkat di atas giro. Dengan demikian,
yang sifatnya lebih terkenal. Namun, terdapat gagahan memiliki struktur gending yang lebih
adanya bentuk gending-gending dalam panjang terkait irama serta dua kali lipat letak
karawitan Jawatimuran yang dalam terminologi pukulan ricikan strukturalnya dibanding giro.
penggunaannya tidak menggunakan kata “sak”, Namun demikian, jika kita mendengar gending
yakni gending-gending yang sudah memiliki giro dan gagahan hampir tidak berbeda. Hal ini
wilayah penyebutan (ruang) secara khusus. disebabkan karena ricikan gamelan yang
Adapun gending-gending tersebut adalah giro, digunakan sama. Perbedaannya hanya pada
gagahan, ayak dan krucilan. kisaran irama dan panjang pendeknya wilayah
gatra. Gagahan lebih membutuhkan waktu lama
1. Giro dalam penyajiannya karena struktur gendingnya
Giro merupakan gending yang disajikan lebih panjang dari giro. Umumnya saat ini,
secara instrumentalia tanpa vokal (sindhèn dan kebanyakan para pengrawit Jawa Timur
gèrongan) dan juga tanpa ricikan garap kecuali kesulitan dalam menyajikan gending gagahan
kendang, seperti rebab, gender, siter, gambang dan giro secara lengkap. Hal ini dapat dimaklumi
dan bahkan suling. Sementara itu, kendang yang karena elaborasi musikal yang ada relatif rumit
digunakan bukan kendang Jawatimuran dengan dengan kisaran pola permainan kendang yang
ukuran besar (cekdongan [lihat penjelasan panjang dan berbeda antara satu pola dengan
garap ricikan kendang]) layaknya dalam gending pola berikutnya, sehingga apabila ditulis dalam
dengan aksentuasi ‘sak’ di atas. Kendang yang teks notasi kepatihan akan menjadi berlembar-
digunakan adalah kendang kalih atau ‘dua lembar. Kebanyakan seniman Jawa Timur
kendang’, yakni kendang ketipung dan kendang hanya mengambil sebagian kecil dari gagahan
gèdhé. dan giro pada irama lancarnya (di awal sesudah
A: . 3 . p6 . 3 . n5 . 3 . p2 . 3 . ng5 buka).
! 3 ! 6 ! 3 ! 5 ! 3 ! 2 ! 3 ! g5
636p2 636n5 636p2 636n5
B:
A:
..53 6!56 2153 6!65 2153 6!32 6!56 216g5
636p2 636n5 2.2p3 56!gn6
C: ! 3 ! 2 ! 3 ! p6 ! 3 1 2 ! 2 ! n5
! 5 ! 3 ! 6 ! 2 ! 3 ! 6 ! 3 1 g5 B : !5!3 !5!6 !5!3 !5!6
.6.3.6.p2 .6.3.6.n5 .232325p3 .6.5.3.ng2 3311 3311 3311 331g1 .552 2335 566! !66g5
!556 6!!@ @55! !66g5 2255 2255 2255 225g5 Gedog Sendarum Slendro Sepuluh
5331 1223 35!6 655g3 6633 6633 6633 663g3
.3.2.3.g2 .6.5.6.g5 .6.5.6.g5 .!.6.!.g6
3552 2335 566! !66g5 56!@ .6!@ 6!52 532g1
A:
.!.6.!.g6 .2.1.6.g5 .6.5.6.g5 .6.3.5.g3 selama ini menjadi minoritas dalam lanskap
.5.3.5.g3 .6.5.3.g2
karawitan nusantara sudah selayaknya mampu
menunjukkan derajat dan kedudukannya. Hal
B: 6123 216n5 2356 !65ng3 tersebut dapat dilakukan dengan menghidupkan
.612 .365 !653 253g2
kembali kegiatan penelitian, diskusi dan seminar
karawitan Jawatimuran. Kedua, semngat dalam
C: .632 5635 !653 253g2 membangun dan mempertahankan karawitan
Jawatimuran tak semata hanya menjadi
.632 5635 !653 253g2 tanggungjawab para seniman dan akademisi
D: .6.6 2321 32!6 523g5 seni, namun juga semua lapisan masyarakat
Jawa Timur. Tulisan di atas setidaknya menjadi
2356 5365 !621 321g6 babak awal dalam mengawali penelitian dan
.2.6 .2.1 3216 523g5
E:
ulasan lain yang lebih tajam. Konklusinya,
karawitan Jawatimuran memiliki varian yang
mengisahkan derajatnya yang mempribadi, unik
dan tipikal. Pandangan ini sekaligus
Adapun strukur penggolongan gending di mendekonstruksi bahwa Karawitan
atas tidak berlaku mutlak bagi setiap musisi Jawatimuran tak ada bedanya dengan karawitan
karawitan Jawatimuran. Oleh karena karawitan lain seperti Karawitan Surakarta dan
tradisi Jawatimuran adalah milik bersama, Yogyakarta. Dengan demikian, Karawitan
sehingga tidak terdapat adanya konvensi- Jawatimuran yang telah menjadi aset sudah
konvensi yang mengikat. Dengan demikian selayaknya tidak dibiarkan beku. Namun
setiap orang dapat membuat struktur dikembangkan dilestarikan dan lebih penting lagi
penggolongan gending sendiri berdasarkan atas dipertahankan.
selera dan kepentingannya. Penggolongan
gending yang diutarakan oleh penulis di atas Kepustakaan
dirangkum berdasarkan atas usaha dari
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) A. Tasman Ronoatmojo. 1981. “Notasi Gending
Surabaya dan seniman karawitan Jawa Timur Mojokerto-Suroboyo”. Surabaya:
dalam memperkenalkan gending Jawatimuran Bidang Kesenian Kantor W ilayah
sebagai sarana pembelajaran atau pendidikan Departeman P dan K Propinsi Jawa
seni. Timur bersama Sekolah Tinggi
Kesenian W ilwatikta Surabaya
Kesimpulan Yayasan Badan Pembina Perguruan
Tinggi Wilwatikta Surabaya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
A.M.. Munardi. 1983. Pengetahuan Karawitan
dapat disimpulkan bahwa karawitan
Jawatimuran. Jakarta: Departemen
Jawatimuran memiliki ciri dan keunikan yang
Pendidikan dan Kebudayaan.
spesifik, berbeda dengan genre karawitan
daerah lain. Mengetahui lebih dalam terkait Aris Setiawan. 2013. “Diyat Sariredjo:
konfigurasi karawitan Jawatimuran berarti Kekaryaan dan Pemikirannya” dalam
mendudukkan karawitan sebagai sebuah hasil Jurnal Dewa Ruci Pascasarjana
karya tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat Institut Seni Indonesia Surakarta
yang mengitarinya. Dengan demikian Volume 8 No.1 Desember 2013.
membicarakan karawitan Jawatimuran berarti Asal Sugiarto. 2005. “Gending Jula-Juli dalam
pula membicarakan masyarakat Jawa Timur. Pergelaran Ludruk: Suatu Kajian
Karawitan mampu sebagai penanda dalam Etnomusikologis” Tesis S-2 Minat
melihat detak hidup budaya di Jawa Timur. Utama Musik Nusantara Program
Namun demikian, beberapa hal menjadi catatan Pascasarjana ISI Yogyakarta.
penting. Pertama, karawitan Jawatimuran yang
Jakob Sumardjo. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian
Institut Teknologi Bandung, Wilwatikta Surabaya.
Joko Santoso. 2007. “Kartolo Kreativitasnya Ucu Mulyana Santosa. 2009. “Garap Kendang
dalam Kidungan Jula-Juli dan Mamat Rochmat dalam Tari Keurseus”.
Lawakan” (Tesis S-2 Jurusan Tesis S2 Pengkajian Seni Musik
Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Nusantara Pascasarjana ISI Surakarta.
Surakarta.
Wahyudianto. 2004. “Tari Remo Surabayan di
Joko susilo dan Soenarto. 2001. “Diktat Mata Surabaya: Aspek Politik dalam Seni
Kuliah Musik Nusantara Pokok 1”. Tari”. Tesis S-2 Kajian Seni
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Pertunjukan, STSI Surakarta.
Surabaya.
Waridi. 2000. “Garap dalam Karawitan Tradisi:
R.M. Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Konsep dan Realitas Praktik”. Makalah
Indonesia di Era Globalisasi Seminar Karawitan Nasional. STSI
Yogyakarta: Gajah Mada University. Surakarta.
Rahayu Supanggah. 1990. Dalam “Balungan”, _____. 2000. “Garap dalam Karawitan Tradisi:
Jurnal Masyarakat Musikologi Konsep dan Realitas Praktik” Makalah
Indonesia: Yayasan Masyarakat Seminar Karawitan Nasional, STSI
Musikologi Indonesia Bekerjasama Surakarta.
dengan Duta Wacana University Press Warsito. 2005. “Lobong, Gendhing Kethuk 2
Yogyakarta. Kerep Minggah Kinanti. Sebuah
Soenarto. 1987. “Garap Kendang Klenengan Tinjauan Garap Musikal”. Skripsi S-1
Gending-Gending Alit Karawitan Gaya Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi
Jawatimuran” (Skripsi S1 Jurusan Seni Indonesia Surakarta.
Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian
Zoel Mistortoify. 2007. “Kejhungan Madura:
Wilwatikta (STKW) Surabaya.
Sebuah Ungkapan Ekspresi
Sukesi 2008. “Kecenderungan Garap “Kekerasan” [?]”, Makalah Seminar
Sindhenan Jawa Timur Surabayan”. Hibah Hasil Penelitian Dosen Muda dan
Tesis S2 Pengkajian Seni Minat Musik Fundamental, Institut Seni Indonesia
Nusantara Pascasarjana ISI Surakarta. Surakarta.
Supriyanto. 2006. “Gadhingan dalam Pakeliran
Jawatimuran”. Skripsi S-1 Jurusan