Anda di halaman 1dari 14

Aris Setiawan : Konfigurasi Karawitan Jawatimuran

KONFIGURASI KARAWITAN JAWATIMURAN

Aris Setiawan

Jurusan Etnomusikologi
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Abstract

Jawatimuran karawitan/ east Java musicians during its development become into a sub dominant
when compared with Surakarta or Yogyakarta. Jawatimuran said often as a complement to the
writing of that two major genres of the musical. As a result, many ordinary people who think Karawitan
Jawatimuran is not somewhat different with style from Surakarta and Yogyakarta . This article tries
to use descriptive analysis, ie, classifying data related to the uniqueness Karawitan Jawatimuran
then assembled , analyzed, presented in a coherent and deeply. Thus ,to bring back its configuration
(appearance of ) musical Jawatimuran not merely re- describe, but as an attempt to make sense
of today’s its appearance increasingly not find space discourse. The result can be seen that
Jawatimuran musicians have different specifications, namely forms, techniques, terminology
and so forth.

Key words : karawitan, East jawa, configuration

Pengantar

Sebelumnya perlu diketahui bahwa kata


Jawatimuran merujuk pada gaya musikal
kedaerahan yang berbasis Jawa Timur. Kata
Jawatimuran menjadi penting untuk dihadirkan
karena tidak semua karawitan di Jawa Timur
memiliki gaya Jawatimuran. Trenggalek, Madiun,
Ngawi, Nganjuk, Kediri adalah contohnya.
Karawitan Jawatimuran berarti secara spesifik
menunjuk pada lokus atau daerah yang
menggunakan konsep musikal atau kaidah
karawitan Jawatimuran yakni Surabaya, Gambar 1. Kendang cekdongan pada
Jombang, Malang, Sidoarjo, Gresik, Madura, karawitan Jawatimuran.
Mojokerto. Secara sederhana, indikasi karawitan (Foto. Aris Setiawan 2008)
Jawatimuran dapat diketahui dengan melihat
penggunaan instrumen kendang cekdongan,
kendang dengan ukuran relatif besar jika Di sisi lain, terdapat daerah di Jawa
dibanding kendang ciblon di Solo dan Yogya. Timur yang memiliki garap karawitan tipikal, yang
Posisi membunyikannyapun berbeda. Tangan hanya dapat dijumpai pada daerah tertentu,
kanan berada dalam tebokan kecil (tak, lung, Banyuwangi dan Madura misalnya. Kedua
tok) sementara tangan kiri berada dalam daerah tersebut dalam konteks ini tidak
tebokan besar (dhe, tung, dhet, ket, dan lain digolongkan sebagai karawitan Jawatimuran
sebagainya). Lebih jelasnya lihat gambar berikut sebagaimana tersebut di atas. Masyarakat
ini. setempat lazim menyebutnya sebagai garap

Volume 11 No. 1 Juli 2013 1


Jurnal Seni Budaya

karawitan Banyuwangian dan Meduroan, lebih Karawitan Jawatimuran dalam


spesifik dengan menyebut nama daerah. perkembangannya belum menjadi satu kajian
Penggunaan instrumen gamelan, cara keilmuan yang sentral dalam konstelasi
memainkan, dan tentu saja garap sangat karawitan Nusantara. Walaupun terdapat dua
berbeda dengan daerah sebaran Karawitan lembaga pendidikan seni yakni SMKI (Sekolah
Jawatimuran. Hal ini menjadi catatan tersendiri Menengah Karawitan Indonesia, sekarang SMKN
yang menggambarkan bahwa Jawa Timur 12 Surabaya) dan Sekolah Tinggi Kesenian
memiliki kekayaan karawitan yang beragam dan Wilwatikta (STKW) Surabaya, namun kajian dan
unik. Oleh karena itu, penelitian dan kajian terkait penelitian dalam bentuk kajian teks belum
olehnya harus senantiasa digelar agar dapat mendapat porsi yang maksimal. Hasilnya,
terwacanakan dan memberikan pemahaman penelitian tentang karawitan “Jawatimuran”,
secara gamblang terkait posisi karawitan dalam skala konseptual dan realitas praktiknya
Jawatimuran dalam konstelasi karawitan dapat dihitung dengan jari. Walaupun demikian,
nusantara. Berikut adalah jabaran detailnya. penelitian-penelitian yang mengkaji garap dalam
karawitan “Jawatimuran” bukannya tidak ada.
Sukesi (2008) dalam tesisnya berjudul
Garap dalam Karawitan Jawatimuran “Kecenderungan Garap Sindhenan Jawa Timur
Surabayan” dalam bab II mengulas sedikit
Perbincangan atau ulasan tentang garap tentang gambaran umum karawitan
sebenarnya sudah banyak dilakukan dan digelar “Jawatimuran” terutama di Surabaya dalam
di berbagai jenjang penelitian karawitan, baik takaran teknik permainan instrumen maupun
sebagai syarat studi sehingga menghasilkan struktur gendingnya. Selain itu, walaupun dalam
teks ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis dan skala dan porsi yang terbatas, tetapi terdapat
disertasi maupun dalam bentuk buku. beberapa tesis dari Wahyudianto (2004), Asal
Rahayu Supanggah mengetengahkan Sugiarto (2005), dan Joko Santosa (2007) yang
bahwa garap yaitu perilaku praktik dalam kesemuanya menyinggung konsep garap dalam
menyajikan (kesenian) karawitan melalui karawitan “Jawatimuran”. Kebanyakan dari hasil
kemampuan tafsir (interpretasi), imaginasi, penelitian tersebut mendudukkan garap sebagai
ketrampilan tekhnik, memilih vokabuler suplemen pelengkap dalam narasi teks tema
permainan instrumen atau vokal dan kreativitas utama bahasannya. Dengan demikian, garap
kesenimanannya. Musisi memiliki peranan yang karawitan “Jawatimuran” belum ditempatkan
sangat besar dalam menentukan bentuk, warna dalam satu ruang kajian tersendiri yang
dan kualitas hasil akhir dari suatu penyajian menduduki porsi sentral atau utama.
(musik) karawitan maupun ekspresi (jenis) Ulasan tentang garap dalam karawitan
kesenian lain yang disertainya. Garap Jawatimuran selayaknya harus senantiasa
merupakan rangkaian beberapa aktivitas dimunculkan dalam penelitian tentang karawitan
meramu dan mengolah unsur kesenian yang Jawatimuran. Hal ini menjadi penting sebagai
terintegrasikan ke dalam sebuah sistem satu pewacanaan dalam membangun pilar
(2005:8). keilmuan karawitan Jawatimuran yang selama
Dengan demikian ulasan tentang garap ini belum berkembang dengan baik. Oleh karena
dalam karawitan sebenarnyalah bukan barang itu, dalam konteks ini penulis akan memaparkan
baru. Kendatipun demikian, posisi sentral ulasan konsep garap dalam karawitan Jawatimuran
selama ini hanya berkutat pada determinasi dengan lebih rinci. Garap karawitan
ruang karawitan di Jawa dalam dualisme Jawatimuran dalam hal ini akan dibagi ke dalam
Surakarta dan Yogyakarta. Banyak tulisan- dua tema bahasan. Pertama, sifat-sifat yang
tulisan yang mengetengahkan garap karawitan membingkai karawitan Jawatimuran; Kedua,
dengan rinci, sehingga posisi keilmuan tentang slendro, budaya ‘sak’ dan elaborasi instrumen
konsep karawitan di dua wilayah tersebut yang dimunculkan dalam orkestrasi gending.
menjadi hidup dan berkembang baik. Sayangnya Selengkapnya ke dua hal tersebut dapat
hal tersebut belum terjadi di Jawa Timur. dijelaskan sebagai berikut.

2 Volume 11 No. 1 Juli 2013


Aris Setiawan : Konfigurasi Karawitan Jawatimuran

Sifat-sifat Karawitan Jawatimuran berulang kali dan kemudian mengingatnya.


Namuan demikian, transmisi pembelajaran
Sifat-sifat karawitan Jawatimuran terdiri gending dari satu orang ke orang lain juga biasa
dari beberapa aspek yakni pertama, budaya dilakukan dari mulut ke mulut secara oral.
kupingan yang dapat berimplikasi pada Semisal seorang empu karawitan mengajarkan
pewilayahan jenis gaya karawitan dan gaya gending pada muridnya dengan jalan
individual. Kedua, sifat karawitan Jawatimuran menyuarakan gending terkait. Murid kemudian
adalah komunal di mana hal ini berimplikasi pada mendengar dan selanjutnya menghafalkannya.
bentuknya yang anomim dan milik bersama. Dengan demikian transmisi penyebaran gending
Dua aspek tersebut dapat dijelaskan dengan karawitan tidak hanya sebatas dilakukan dengan
rinci sebagai berikut. mendengarkan gending lewat sajian-sajian
klenèngan (konser) baik secara langsung
Budaya Kupingan maupun tidak (seperti melalui radio), tetapi juga
Kupingan berasal dari kata kuping yang dari mulut ke mulut (2000:4).
berarti telinga. Dalam lanskap budaya karawitan Berangkat dari dua jalur pembelajaran
khususnya Jawa Timur, kupingan lebih dapat tersebut, poin utama yang dapat digulirkan
dimaknai sebagai cara atau metode belajar bahwa kebanyakan para pengrawit (panjak:
dengan mengandalkan telinga sebagai Jawa Timur) belajar gending karawitan dengan
instrumen (indera) utama. Lebih luas lagi, cara mengandalkan telinga mereka sebagai alat
belajar yang demikian juga biasa disebut utama. Akibatnya, sangat dimungkinkan antara
dengan budaya oral. Penulis sangat sadar satu pengrawit dengan pengrawit lainnya
bahwa dalam realitas empiriknya tidak hanya terdapat perbedaan tafsir gending. Budaya
karawitan Jawatimuran yang berkembang kupingan menjadikan pemahaman terhadap
dalam budaya kupingan atau oral. Namun suatu gending yang ada adalah hasil abstraksi
hampir semua karawitan di Nusantara pada dan endapan akumulasi rangkaian sistem
awalnya berkembang secara kupingan . balungan gending yang diwarisi dari para
Kendatipun demikian, pada karawitan pengrawit sebelumnya. Akibatnya sebuah
Jawatimuran, budaya kupingan justru gending dapat saja diinterpretasi secara
membawa implikasi lain yang lebih besar beraneka ragam oleh para pengrawit yang ada.
seperti terbentuknya gaya kewilayahan yang Kata balungan gending dalam konteks ini dibatasi
berdasar atas gaya individual. Selain itu, posisi pada notasi musikal yang menjadi acuan dasar
keraton yang banyak memberi pengaruh dan gending itu untuk dibunyikan. Penulis
legitimasi pada gending-gending karawitan, menganalogikan balungan gending sebagai
sama sekali tidak terjadi dalam lanskap catatan notasi kecil yang tersimpan di saku para
karawitan Jawatimuran. Dengan demikian, pengrawit sebagai sarana menghafalkan atau
pemaparan terkait dengan budaya kupingan menjadi acuan dalam membunyikan gending
(oral) hingga menjadikan bentuk gending itu terkait. Dengan demikian dalam penulisannya,
anonim dan komunal (bebas) menjadi penting tidak harus menyertakan instrumentasi dari
untuk digulirkan dalam bahasan mengenai garap banyak instrumen (ricikan) semisal bonang,
karawitan Jawatimuran kali ini. gender, rebab. Namun cukup dengan hanya
Waridi dalam salah satu tulisannya juga notasi saron atau instrumen slenthem saja.
menyinggung bahwa pembelajaran karawitan Walaupun di sisi lain penulis menyadari, makna
(gending) dengan metode oral lebih dapat dari kata balungan gending tak hanya sebatas
disebabkan karena pada awalnya budaya itu, namun lebih kompleks.
karawitan dalam tataran praktik, transmisi Tentu saja catatan notasi tersebut
maupun dokumentasi tidaklah mengenal sistem tidaklah merangkum elaborasi musikal
notasi. Cara belajar yang demikian dapat instrumen karawitan secara keseluruhan.
dijelaskan bahwa seorang pengrawit yang masih Catatan notasi tersebut hanya sebatas catatan-
belajar (ajaran) berusaha memahami dan catatan kecil dari hasil endapan abtraksi musikal
menghafal gending dengan jalan mendengarkan seorang musisi karawitan terhadap sebuah

Volume 11 No. 1 Juli 2013 3


Jurnal Seni Budaya

gending secara akumulatif. Catatan tersebut garap dalam konteks gending-gending


dapat menjadi tidak bermakna ketika dipegang Jawatimuran. Sementara itu apabila pada
atau dibaca oleh pengrawit yang lain, karena budaya karawitan Surakarta dan Yogyakarta,
berbeda daya interpretasinya. Sementara itu perbedaan notasi gending tidak dianggap
catatan-catatan kecil tersebut dalam benak sebagai suatu masalah yang berimplikasi besar
pemiliknya sudah mewakili keseluruhan dan bahkan terkesan wajar. Hal ini pernah
orkestrasi sebuah gending. Dengan membaca dicontohkan oleh Rahayu Supanggah terkait satu
catatan atau notasi tersebut, dalam imaji gending yang banyak memiliki beragam notasi
pengrawit telah memiliki daya interpretasi untuk secara berbeda (1990:122). Hal tersebut
mengabastraksikan keseluruhan kesatuan menjadi satu kelaziman dan dianggap sebagai
wujud gending secara utuh. kekayaan vokabuler yang cenderung bervariatif.
Kemampuan otak sebagai alat Lebih lanjut, berikut contoh yang diketengahkan
penyimpan dan pengingat tentu memiliki oleh Rahayu Supanggah terkait gending
keterbatasan. Hal ini dapat disebabkan oleh Ketawang Puspowarno.
beberapa faktor seperti usia dan kemampuan
otak yang terbatas jika disuplai dengan hal yang
beranekaragam setiap saat. Dengan demikian, a. . 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 5 . 6 . 3
satu gending akan mengalami perubahan b. . . 6 . 2 3 2 1 3 2 6 5 2 3 5 3
dalam kurun waktu tertentu karena persoalan
c. . 6 . 2 . . . 1 3 2 6 5 . 6 5 3
dan sebab di atas. Namun, perbedaan tafsir
hingga memunculkan varian garap musikal yang --
berbeda merupakan hal yang wajar dalam dunia a. . 1 . 2 . 3 . 1 . 3 . 2 . 1 . 6
karawitan di Nusantara. Bahkan hal tersebut b. . . 3 2 5 3 2 1 . 3 . 2 . 1 . 6
dianggap sebagai kekayaan vokabuler garap,
lebih bervariatif , sehingga tidak terjadi c. . . . 2 . 3 . 1 . 3 . 2 . 1 . 6
penghakiman salah dan benar.
Satu gending dapat memiliki beberapa Keterangan pada notasi di atas (a)
repertoar tafsir notasi atau balungan gending oleh adalah notasi balungan yang terdapat di Paku
pengrawit satu dengan yang lain. Terlebih untuk Alaman. (b) notasi balungan yang terdapat di
mempelajari suatu gending tertentu tidak ada Mangkunegaran. (c) pemain jalanan.
aturan harus dimulai pada rinstrumen atau
ricikan apa terlebih dahulu. Implikasinya, Di Jawa Tengah (khususnya Surakarta),
interpretasi terhadap notasi gending gending di atas terkotak-kotak menjadi tiga
kemungkinan besar mengalami perubahan wilayah basis balungan gending seperti Paku
sesuai dengan tingkat apresiasi seorang Alaman, Mangkunegaran dan pemain jalanan.
seniman atau pengrawit dalam memahami Sementara pada karawitan Jawatimuran,
garap gending. Seorang pengrawit yang unggul perbedaan notasi gending yang demikian
dalam permainan ricikan gender misalnya, tentu membawa implikasi besar pada satu ruang
dalam endapan akumulasi pikiran serta tafsir pewacanaan terkait gaya kedaerahan, yang
balungan gending akan menggunakan patokan berimplikasi pada perbedaan kekhasan garap.
gender sebagai bahan olahnya (ngrèngèngan) Dengan demikian perbedaan notasi atau
Berbeda dengan pengrawit yang memiliki balungan gending tersebut sebagai akibat dari
kepiawaian dalam permainan ricikan bonang, budaya kupingan pada akhirnya membawa
dalam endapan akumulasi pikiran serta tafsir implikasi yang lebih kompleks sebagai berikut.
terhadap balungan gending pasti menggunakan
ricikan bonang sebagai media olahnya. Secara Gending dalam Konteks Geografis
tidak langsung hal ini mengindikasikan dampak Akibat dari budaya kupingan, satu
berubahnya balungan atau notasi gending yang gending dapat diinterpretasi secara berbeda oleh
ada. pengrawit baik secara individual maupun
Perubahan balungan gending tersebut, kelompok (kolektif). Penulis menyadari bahwa
mengakibatkan terjadinya pengkotak-kotakan budaya kupingan bukanlah satu-satunya sebab

4 Volume 11 No. 1 Juli 2013


Aris Setiawan : Konfigurasi Karawitan Jawatimuran

dari berubahnya balungan gending sehingga . 2 . 1 . 2 . 6 . 2 . 1 .


berakibat pula pada garap. Ada sebab-sebab lain 6 . 5 .... dst.//
yang juga tidak dapat dikesampingkan seperti
kreativitas yang tinggi dari penyaji, sehingga Gending Titipati Slendro Pathet Wolu Suroboyoan

Bk: 2 1 6 5 6 1 2 3 . 2 . g1
merubah gending berdasar atas tuntutan
estetika musikal yang dibangunnya. Selain itu
//. 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 2 . 3 . 6
dimungkinkan pula terstimuli oleh perbedaan
selera (pemenuhan selera karakter) dari . 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 6 . 3
seorang penyaji atau penggarap. Jadi bukannya . 5 .... dst.//
mereka tidak mengetahui balungan gending
aslinya, melainkan karena beberapa sebab di Lebih jelasnya, terkait dengan perbedaan
atas yang mengharuskan mereka merubah garap gending dalam konteks kewilayahan
(balungan) gending yang ada. Di Jawa Timur, (geografis) dapat dibaca pada tulisan Tasman
perbedaan balungan gending justru diserap (1981). Dalam kertas tersebut Tasman
sebagai kekayaan budaya lokal dari masing- mencoba mengurai gending-gending yang ada
masing daerah. Perbedaan yang ada kemudian dalam lanskap garap ala Surabaya dan
diambil dan diramu menjadi icon atau identitas Mojokerto.
masyarakat atau daerah yang Pada konteks ini budaya kupingan bukan
mengelaborasinya. Dengan demikian sangat merupakan faktor utama penyebab terjadinya
wajar dan lazim dijumpai pada budaya karawitan perbedaan balungan gending. Budaya kupingan
Jawatimuran di mana nama satu gending diiikuti hanyalah salah satu stimulan awal yang
oleh banyak nama sesuai latarbelakang merangsang atau memicu berubahnya
wilayahnya. Seperti gending Jula-juli balungan gending. Foktor utama adalah dalam
Mojokertoan, Malangan, Jombangan dan diri dan benak para pengrawit itu sendiri terkait
Suroboyoan. dengan kemampuannya untuk mengingat dan
Penulis memandang bahwa nama-nama mengelaborasi gending secara sama dan utuh.
daerah yang mengitari gending tersebut Selain itu faktor lain yang juga tidak kalah penting
bukanlah sekedar nama yang dilekatkan begitu adalah ketiadaan penggunaan notasi karawitan
saja. Namun, nama-nama daerah tersebut waktu itu.
mengindikasikan bahwa gending yang Budaya kupingan juga tidak senantiasa
bersangkutan telah diinterpretasi oleh beberapa merubah balungan gending. Banyak dijumpai
masyarakat di wilayah tertentu, kemudian gending yang memiliki kesamaan pada
membentuk perbedaan dan ciri khas yang pada notasinya (balungan gending) namun memiliki
akhirnya diakui sebagai kekayaan lokalitas perbedaan garap. Semisal Jula-juli Suroboyoan,
daerah terkait. Oleh karena itu sangat wajar Jombangan, Malangan, Meduroan. Walaupun
dijumpai dalam karawitan Jawatimuran dalam takaran balungan gending yang sama,
pengrawit berbincang: “mau digarap cara apa namun tiap-tiap wilayah basis kehidupannya
gending terkait, apakah cara Surabaya, Mojokerjo memiliki perbedaan garap yang sangat dominan.
atau Jombangan?”. Hal ini mengindikasikan Seperti yang diutarakan oleh Zoel Mistortoify
bahwa nama wilayah tersebut juga berimplikasi bahwa setiap wilayah basis perkembangan
pada perbedaan garapnya. Gending Jula-juli memiliki kecenderungan garap
Sebagai contoh, selain Jula-juli, berikut dan karakter musikal yang berbeda. Garap jula-
adalah salah satu gending yang berbeda juli di Madura terkesan lebih maskulin (keras)
balungan gending dan diinterpretasi menurut dari pada Surabaya dan Jombang (1007:11),
lokalitas daerah masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam kisaran eksplorasi
nada tinggi atau melengking yang senantiasa
Gending Titipati Slendro Pathet Wolu Mojokertoan dimunculkan. Selain perbedaan garap dalam
Bk: . 2 . 2 1 y t . 2 2 3 5 . 3 2 g1
bingkai geografis, kecenderungan budaya
kupingan juga mengakibatkan terbentuknya pola
// 3 2 3 1 3 2 3 6 3 2 3 1 3 6 3 5 garap pribadi atau individual.
. 2 . 5 . 2 . 6 . 1 . 5 . 2 . 1

Volume 11 No. 1 Juli 2013 5


Jurnal Seni Budaya

Gaya Pribadi atau Individual Pada karawitan Jawatimuran, selain


Dalam tulisannya, Warsito menekankan gaya kedaerahan, gaya individu juga ramai
bahwa akibat dari budaya kupingan, tiap individu menghiasi lanskap budaya karawitannya.
memiliki kebebasan tafsir untuk merubah, Terlebih, karena dalam karawitan Jawatimuran
menambah, menghias gending-gending yang terdapat kebebasan tafsir oleh tiap musisinya,
ada. Akibatnya karawitan Jawatimuran hal ini lebih disebabkan karena tidak terdapatnya
berkembang beraneka ragam ‘rasa’ dan ‘warna’ konvensi-konvensi atau aturan yang mengikat
sesuai dengan kulturisme (lingkar budaya) dalam tafsir garap karawitan Jawatimuran.
masyarakat pemiliknya di tiap-tiap daerah. Apalagi jika dikaitkan dengan kebiasaan para
Bakan gaya individu (sosok, empu) juga menjadi individu tersebut belajar karawitan bukan
anutan yang cukup penting bagi masyarakat berdasar atas notasi, namun akibat dari budaya
pelaku karawitan umumnya. Pada titik ini, yang kupingan di atas. Budaya kupingan secara tidak
dimaksud dengan gaya individu adalah langsung melegalkan tiap musisi untuk
kemampuan seseorang dalam memainkan merubah, menghias atau menginterpretasi
ricikan karawitan tertentu yang memiliki tingkat ulang garap yang ada pada gending-gending
virtousita tinggi, sehingga pola maupun Jawatimuran. Impresinya, tiap individu memiliki
tekniknya banyak diacu dan ditiru oleh kalangan keunikan garap sendiri yang disesuaikan dengan
seniman lain maupun generasi sesudahnya tingkat serta kemampuannya mengolah. Tidak
(2005:3). menutup kemungkinan cara atau gaya baru
Guna menandai teknik, cengkok dan yang dibawanya tersebut menyublim menjadi
gaya permainan dari seseorang tersebut adalah gaya atau logat kedaerahan, karena implikasi
dengan mendudukkan namanya berdampingan dari keterkerkenalan atau kepopuleran gaya
dengan nama ricikan yang lekat dengannya, yang dibawanya. Waridi (2005) dan Sumanto
misalnya Kendangan Diyat Sariredjo, Rebaban (1990) juga mencontohkan bahwa bahwa gaya
Piet Asmoro, Genderan Mbah Kasdu dan lain dan karakter ki Nartosabdo telah menyublim
sebagainya. Adanya nama-nama tokoh yang menjadi gaya kewilayan atau biasa disebut
membingkai permainan ricikan tersebut dengan Semarangan. Hal ini terjadi pula di
mengandung arti sebagai gaya perorangan. Banyumas, Darno mengetengahkan bahwa
Individu-individu tersebut bukannya mencipta karawitan Banyumasan versi kota lahir dari gaya
cengkok ataupun gaya yang benar-benar baru, (kendangan) yang digulirkan oleh Rasito Purwa
namun dengan mengolah bahan (tradisi) yang Pangrawit (Wawancara 7 Mei 2010).
sebelumnya sudah ada. Hal ini pernah Hal ini pernah dialami oleh Diyat
disinggung oleh Jakob Sumardjo bahwa Sariredjo, salah satu maestro pengendang
seniman menjadi kreatif dan besar bukan karena Jawatimuran. Seperti yang diceritakan Aris
mencipta sesuatu yang baru namun bertolak Setiawan Diyat belajar karawitan terutama
dari bahan yang telah tersedia sebelumnya ricikan kendang dengan metode nguping atau
(2000:84). kupingan. Pada konteks ini Diyat mencoba
Individu-individu tersebut berbeda menirukan apa yang didengarnya secara persis.
dengan individu lainnya. Mereka lebih memiliki Namun lambat laun tidak hanya sekedar meniru
tingkat kreativitas yang tinggi. Bahan-bahan secara apa adanya, Diyat mencoba
(tradisi) yang telah tersedia tidak dibiarkan begitu menginterpretasi ulang garap karawitan
saja, namun diinterpretasi kembali menurut cara terutama kendang dengan gaya atau logatnya
pandang mereka, sehingga hasilnya sendiri. Implikasinya hal tersebut memunculkan
memunculkan jenis varian gaya baru yang lebih gaya kendangan ala Diyat Sariredjo. Gaya atau
segar. Dalam konteks kekaryaan karawitan, pola baru yang dikembangkannya menjadi begitu
individu-individu tersebut tidak mencipta dikenal oleh masyarakat karawitan umumnya.
cengkok memainkan ricikan secara baru, Adapun faktor utama adalah ketika
namun berangkat dari cengkok lama yang kendangannya disiarkan secara reguler oleh
berusaha dikembangkan sehingga nampak RRI Surabaya dalam acara klenengan yang
(seolah) menjadi baru. bertajuk “Manding Jamuran” (Manasuka

6 Volume 11 No. 1 Juli 2013


Aris Setiawan : Konfigurasi Karawitan Jawatimuran

Gending-gending Jawatimuran). Apalagi ketika bahwa budaya kupingan mengakibatkan


itu media komunikasi elektronik lain seperti karawitan tradisi Jawatimuran memiliki
televisi (terlebih internet) masih terbatas kebebasan tafsir karena ketiadaan konvensi
keberadaannya, sehingga radio menjadi yang mengikat, implikasinya banyak lahir gaya-
santapan utama untuk mendengarkan informasi gaya individu yang baru layaknya Diyat Sariredjo,
dan hiburan sehari-hari (2013:20). beberapa di antaranya seperti Genderan Senain,
Pola, cengkok, tekniknya dalam Kendangan Mbah Ajib. Gaya individu yang ada
memainkan ricikan kendang banyak terkadang tidak hanya berhenti pada satu ruang
didengarkan oleh masyarakat luas, sehingga pewacanaan saja, namun juga menjelma
banyak dianut dan ditiru oleh musisi karawitan menjadi gaya kedaerahan. Hal ini sebagai akibat
lainnya terutama yang masih dalam tahap dari sisi kreativitas tinggi yang dimiliki oleh
belajar. Pada konteks yang demikian, para individu atau figur terkait, sehingga melalui media
musisi maupun seniman yang masih ajaran tertentu (semisal, kasus Diyat lewat RRI
(pemula), belajar melalui metode nguping Surabaya) gayanya banyak dianut dan ditiru oleh
kendangan Diyat Sariredjo. Seperti telah sebagian besar masyarakat dalam ruang lingkup
disinggung di muka, metode nguping merupakan wilayah tertentu. Kemudian gaya individu dan
salah satu metode belajar yang paling efektif, segala piranti yang menyertainya tersebut diakui
karena dengan seringnya mendengarkan sebagai milik kewilayahannya.
(nguping) secara tidak langsung bahan-bahan
yang ada terakumulatif dalam otak dan akhirnya Komunal
hafal serta dapat menirukannya dengan kadar Sebagai implikasi dari budaya kupingan
kemiripan yang tinggi. Dengan demikian, gaya yang mengakibatkan kebebasan tafsir balungan
kendangan ala Diyat Sarirdjo banyak diacu dan gending, maka menyebabkan gending-gending
ditiru, sehingga lambat laun berkembang karawitan Jawatimuran memiliki sifatnya yang
menjadi satu wacana gaya kedaerahan komunal. Artinya setiap orang dapat merajut,
(Surabaya). merubah, menambah, dan sekaligus
Gaya kendangan ala Diyat Sariredjo menginterpretasi kembali gending yang ada
menyublim menjadi gaya kedaerahan saat ini sesuai dengan kehendak dan kemampuan daya
lebih dikenal dengan ‘Gaya Kendangan musikalnya. Karena kebebasan yang demikian,
Suroboyoan’. Informasi yang demikian banyak karawitan atau gending di Jawa Timur menjadi
ditemukan di berbagai referensi baik berupa teks milik semua khalayak tidak terkecuali seniman.
tertulis maupun pernyataan para seniman R.M. Soedarsono mengetengahkan bahwa
setempat. Seperti tulisan Soenarto yang bentuknya yang demikian lazim disebut sebagai
mengulas tentang garap kendangan (alit) gaya communal support, artinya segala hal yang
Jawatimuran, menekankan bahwa gaya berkaitan dengan eksistensi dan hidup matinya
kendangan Surabaya untuk saat ini banyak suatu subjek (gending) tergantung dari tangan
terbentuk secara akumulatif dari gaya masyarakat itu sendiri (2002:24). Oleh karena
kendangan yang dikembangkan dan dibangun itu, akibat dari bentuknya yang komunal
oleh Diyat Sariredjo (1987:6). Gaya kendangan mengakibatkan gending-gending tradisi
Diyat Sariredjo menjadi satu wacana gaya Jawatimuran terbagi menjadi dua elemen,
kedaerahan karena banyak diacu oleh seniman anonim dan milik bersama.
karawitan lain ketika mendengarkannya siaran
di RRI Surabaya. Mereka menekankan bahwa, Anonim
karena pada saat itu notasi karawitan belum Konsekuensi logis dari sifatnya yang
berkembang baik dalam lanskap karawitan komunal mengakibatkan gending-gending
Jawatimuran, maka metode yang paling efektif tradisi di Jawa Timur berkembang tanpa
adalah dengan mendengarkan atau nguping, diketahui siapa penciptanya (anonim). Lebih dari
sehingga (sekali lagi) kadar kemiripan menjadi itu selain posisi pencipta, posisi kapan dan pada
sangat tinggi. masa apa gending tersebut diciptakan juga tidak
Berdasar atas pemaparan di atas, dapat terdeteksi. Hal ini berbeda dengan budaya
setidaknya dapat diambil satu kesimpulan karawitan di Surakarta, walaupun jarang

Volume 11 No. 1 Juli 2013 7


Jurnal Seni Budaya

diketahui secara pasti pencipta gending-gending kesenian tradisi terutama karawitan. Informasi
tradisi, namun setidaknya dapat terdeksi dengan ini diperoleh dari keterangan A.M. Munardi
baik akan waktu dan masa gending tersebut sebagai berikut.
diciptakan. Hal ini sebagai efek dari lekatnya “Sebagai suatu daerah yang pernah
budaya keraton. Gending-gending ciptaan para memiliki kebudayaan istana-istana
empu lazim dipersembahkan menjadi milik raja semenjak abad XI sampai dengan XIV,
yang berkuasa saat itu. Pemicunya karena rasa seharusnya wilayah etnis ini (Jawa Timur-
pen.) memiliki tradisi yang kuat dalam
pengabdian yang sungguh-sungguh, sehingga
kehidupan tradisi musik karawitan.
empu karawitan enggan menyebut namanya Sayang sekali istana-istana Kahuripan
dan akan mentabsihkan karyanya atas nama sampai dengan Majapahit itu tidak banyak
raja. Hal ini dikuatkan oleh Waridi sebagai berikut. meninggalkan warisan kesenian di
“Sebenarnya pada jaman kerajaan dan daerah-daerah bekas kerajaan itu berdiri.
penjajahan banyak bermunculan karya Bahkan setelah runtuhnya Majapahit,
cipta gendhing yang dicipta oleh para perkembangan karawitan di daerah Jawa
empu karawitan baik yang hidup di dalam Timur mengalami kemunduran dan
maupun di luar tembok keraton, yang berjalan lamban” (1993:1).
dicipta secara individual maupun oleh
kelompok, akan tetapi mereka enggan Selain itu apabila di Surakarta terdapat
untuk memperlihatkan dirinya.
satu referensi yang biasa digunakan sebagai
Keengganan menampakkan dirinya
diduga sebagai akibat dari situasi acuan dalam melihat masa penciptaan gending
psikologis yang mengharuskan dirinya tertentu yakni Serat Wedhapradangga
untuk selalu mengabdikan seluruh hasil sementara hal yang demikian tidak ditemukan
kerjanya kepada atau untuk raja” (2000:7). di Jawa Timur. Oleh karena itu, siapa pencipta
dan pada masa apa gending tersebut diciptakan
Dengan demikian gending-gending yang tidak dapat ditelusuri, selanjutnya gending-
ada seolah-olah diciptakan oleh sang raja gending yang ada berkembang dan interpretasi
(Walaupun tidak menutup kemungkinan besar secara beraneka ragam oleh setiap masyarakat.
bahwa beberapa gending yang ada memang
benar-benar diciptakan oleh sang raja yang Milik Bersama
berkuasa). Nama raja yang berkuasa menghiasi Statusnya yang anonim mengakibatkan
gending yang dicipta pada masanya, semisal gending-gending tradisi di Jawa Timur tidak
gending Ladrang Sri Kuncoro dicipta pada diketahui siapa penciptanya. Akibatnya terdapat
masa PB. X. Informasi atau data yang demikian kebebasan untuk menafsir kembali gending
dapat diperoleh di Serat Wedhapradangga. yang ada. Impresinya, gending-gending
Berdasarkan ulasan tersebut, gending-gending karawitan Jawatimuran menjadi milik bersama.
tradisi di Surakarta, walaupun tidak diketahui Oleh karena anonim, setiap individu maupun
persis siapa pencipta pastinya, namun dapat kelompok dapat merubahnya tanpa harus
dilacak terkait waktu dan masa penciptaannya, bertanggung Jawab kepada siapapun. Hasil
yakni pada masa pemerintahan raja tertentu. perubahan yang dilakukan pada akhirnya
Hal ini sangat berbeda dengan dikembalikan pada masyarakat. Apabila
keberadaan gending tradisi Jawatimuran. masyarakat merasa perubahan yang dilakukan
Keraton tidak memberi pengaruh yang cukup sesuai dengan kehendak dan dinamika jaman
signifikan dalam perkembangan karawitan maka gending dengan nuansa baru tersebut
Jawatimuran, bahkan boleh dikatakan tidak akan dipertahankan. Sebaliknya jika perubahan
nampak. Dengan demikian hal tersebut sangat yang dilakukan tidak berkenan bagi masyarakat
berbeda dengan Surakarta, keberadaan keraton atau khalayak seni umumnya, maka gending
di Jawa Timur belum dapat menunjukkan satu yang ada tidak digunakan atau segera akan
kepastian terkait pencipta maupun masa berubah menjadi wujudnya yang baru lagi. Hal
penciptaan gending tertentu. Hal ini sebagai efek yang demikian dikuatkan oleh Waridi sebagai
dari legitimasi keraton yang memudar, sehingga berikut.
tidak banyak meninggalkan pengaruh bagi

8 Volume 11 No. 1 Juli 2013


Aris Setiawan : Konfigurasi Karawitan Jawatimuran

“Dengan alasan statusnya yang anonim, gamelan yang memiliki sistem pelarasan
maka ia dapat difahami sebagai milik slendro kecuali daerah Malang). Secara
bersama, ada kebebasan untuk sederhana, slendro dapat dijelaskan sebagai
mengubah menurut cita rasa estetik baik sistem nada pentatonik tanpa nada tengahan
individu maupun kelompok, tanpa harus
(unhemitonik). Konsepnya jarak antar nada-
bertanggung Jawab kepada siapapun.
Tanggung Jawab hanya bersifat etik dan nada (interval) yang dibentuknya ‘relatif’ sama.
estetik akan terseleksi secara alami di Namun dalam tataran implementasinya, sistem
tengah-tengah masyarakat nada slendro tumbuh dan berkembang
pendukungnya. Kalau ternyata terdapat beraneka “warna dan rasa” pada setiap wilayah
karya yang menurut individu maupun kebudayaan, setiap sub kultur hingga komunitas
kelompok dirasa kurang sreg dari aspek dan individu. Gamelan slendro tumbuh subur di
garapnya, secara spontan diubah. area persebaran karawitan Jawatimuran tak
Fenomena ini ditingkat praktik karawitan terkecuali juga di Madura. Menurut Zoelkarnain
hidup secara subur” (2000:9). Mistortoify di Madura juga berkembang
karawitan Jawatimuran beraneka warna,
Gending-gending tradisi banyak dengan rasa sesuai selera masyarakat
diinterpretasi ulang dengan nuansa dan logat setempat (2007:10). Berdasarkan catatan yang
yang lebih baru sehingga hasilnyapun menjadi dibuat Tasman (1981) dan Piet Asmoro (1971),
baru. Tradisi dalam konteks ini hanya dijadikan secara kuantitatif hal ini dapat dilihat dari
sebagai bahan mentah yang dimasak atau keberadaan gending-gending laras slendro
digarap ulang. Aspek kekaryaan baru tidak hanya dengan jumlah lebih banyak dari pada laras
sebatas mencipta gending secara benar-benar pelog. Bukti lain adalah hampir semua bentuk
baru, namun juga berusaha mengembangkan seni pertunjukan di daerah-daerah tersebut lebih
dari apa yang sudah ada sebelumnya. Ucu lekat dengan menggunakan gamelan slendro,
Mulyana dengan tegas menyatakan bahwa semisal pertunjukan ludruk, wayang kulit,
seseorang disebut sebagai musisi, komposer jaranan dan juga klenengan. Bahkan hingga kini
atau kreator musik tidak hanya sebatas ketika banyak dijumpai kelompok ludruk, wayang dan
seorang tersebut mencipta karya yang benar- klenengan yang begitu lekatnya dengan laras
benar baru, tapi juga mampu memunculkan slendro sehingga seolah enggan menerima
kesan, keunikan dan nuansa berbeda pada kehadiran laras pelog. Simak saja bagaimana
karya lama yang digubahnya (2009:3). Ludruk “Karya Budaya Mojokerto” dan “Ludruk
Dalam krawitan Jawatimuran (dan juga Budi Wijaya” Jombang, “Grup Klenengan
secara umum) tidak dikenal Hak Atas Kekayaan Lamongan dan Jaranan Gresikan” yang setia
Intelektual (HAKI), sehingga hal cipta menjadi dengan gamelan slendro. Walaupun terkadang
samar atau berada di wilayah abu-abu. Menjadi gending yang dibawakan sebenarnya berlaras
kesenian milik bersama, siapa pun berhak atas pelog namun digubahnya dalam laras slendro.
gending itu. Sampai pada titik ini, mencipta Supriyanto dalam skripsinya menginformasikan
gending tidak dimaksudkan untuk mencari bahwa gamelan slendro adalah gamelan utama
keuntungan materi, namun semata demi dalam budaya karawitan dan terutama dunia
kepuasan batin seniman. Setelah gending itu wayang kulit di Jawa Timur. Hal ini ditandai
tercipta, masyarakat bebas menggunakannya dengan seringnya gamelan laras ini digunakan
tanpa takut terkekang dan membayar pada Si dalam sajian pertunjukannya (2006:11).
Pencipta awalnya. Hal ini yang dalam beberapa Terdapat perbedaan antara slendro di
waktu terakhir juga menjadi perdebatan rami di Jawa Timur dan Surakarta serta Yogyakarta.
berbagai ruang diskusi dan seminar karawitan. Apabila di Jawa Timur, slendro dalam tataran
implementasi oktafnya dimulai dengan nada 1
Laras Slendro (ji) dengan ending di nada @ (ro cilik), sehingga
Daerah di Jawa Timur yang urutan nadanya dapat dirangkai menjadi
menggunakan konsep karawitan Jawatimuran 12356!@. Sementara apabila di Surakarta dan
seperti di Surabaya, Lamongan, Sidoarjo, Yogyakarta dimulai dengan nada y (nem) dan
Jombang, Mojokerto, Gresik lebih akrab dengan diakhiri dengan nada ! (ji cilik), sehingga urutan

Volume 11 No. 1 Juli 2013 9


Jurnal Seni Budaya

nadanya dapat dirangkai menjadi y2356!. Gending Cokronegoro. Artinya, letak ricikan
Gending-gending baik dalam takaran klenengan struktural (kenong, kempul), permainan kendang
maupun untuk pertunjukan wayang dan ludruk sama dengan Gending Cokronegoro. Bahkan
kebanyakan diolah dengan laras slendro. konsekuensinya konsep padang uliannya pun
serupa. Masyarakat dan komunitas karawitan
Budaya ‘Sak’ Jawa mengenal konsep padang ulian yang dapat
Lanskap karawitan Jawatimuran tidak diartikan secara sederhanya sebagai alur
mengenal adanya penggolongan gending pergerakan melodi balungan gending (dalam
layaknya pada karawitan Surakarta seperti konteks ini). Padang diibaratkan sebagai sebuah
ketaw ang, lancaran, ladrang dan lain pertanyaan dan ulian sebagai Jawabannya.
sebagainya. Budaya karawitan Jawatimuran Dalam terminologi musik barat dikenal dengan
lebih dapat memaknai dan ditentukan oleh adanya frase naik (padang) dan frase turun
golongan gending berdasar atas budaya (ulian).
“mencandra” gending lain yang lebih terkenal.
Dalam konteks ini terdapat gending-gending Baris pertama:
tertentu dalam berbagai tingkatan bentuk yang . ! . 6 . 3 . p2 (Cokronegoro) dan . 6 . 1 .
digunakan sebagai acuan atau padanan untuk 6 . p1 (Ijo-ijo): Padang / seleh ringan / analogi
menyertai gending-gending pada umumnya pertanyaan.
(yang belum sepenuhnya dikenal). . 6 . 5 . 3 . n2 (Cokronegoro) dan . 5 . 3 .
Usaha penggolongan gending yang 5 . n6 (Ijo-ijo): Ulian / seleh berat /analogi Jawaban.
dilakukan oleh seniman dan masyarakat
komunitas karawitan Jawatimuran yakni dengan Baris kedua :
memberi aksentuasi kata ‘sak’ pada gending- . 3 . 2 . 6 . p5 (Cokronegoro) dan . 2 . 1 .
gending yang ada. Semisal, Gending Ijo-ijo ‘sak’ 2 . p3 (Ijo-ijo): Padang / seleh ringan / analogi
Cokronegoro, Gending Angleng ‘sak’ Samirah, pertanyaan.

. 2 . 1 . 2 . ng6 (Cokronegoro) dan . 6 . 5 .


Gending Layon Kintir ‘sak’ Luwung dan lain
3 . gn2 (Ijo-ijo): Ulian / seleh berat / analogi Jawaban.
sebagainya. Dalam implementasinya, ‘sak’ pada
contoh tersebut dapat dijelaskan bahwa nama
gending yang terletak sebelum kata ‘sak’ (Ijo-
ijo, Angleng, Layon Kintir) berada dalam kisaran Selain Gending Cokronegoro gending-
permainan baik pola, teknik, letak ricikan gending lain yang bentuknya lebih besar (di atas
struktural serta konsep padang uliannya dengan Cokronegoro) dan digunakan sebagai
gending yang sesudah kata ‘sak’ (Cokronegoro, pencandraan adalah Gending Samirah Slendro
Samirah, Luwung). Guna lebih jelasnya, berikut Sanga, Luwung Slendro Sanga, Jonjang Slendro
akan disajikan salah satu contoh. Sanga, Lambang Slendro Wolu, Jula-juli Slendro
Gending Cokronegoro Slendro Sanga Wolu. Gending-gending tersebut cukup dikenal
Bk : 6 3 6 5 6 6 2 1 3 2 1 g6 oleh masyarakat dalam karawitan Jawatimuran,
[. ! . 6 . 3 . p2 . 6 . 5 . 3 . n2
sehingga digunakan sebagai persamaan
(ukuran) sebutan untuk gending lain yang
. 3 . 2 . 6 . p5 . 2 . 1 . 2 . ng6] sejenis.
Namun demikian, hal tersebut tidak
Gending Ijo-ijo Slendro Sanga, ‘Sak’ berlangsung multak. Banyak kelompok-
Cokronegoro kelompok dan komunitas karawitan
Bk : . 1 2 3 . 5 . 6 . 5 . g2
Jawatimuran tertentu yang menggunakan idiom
gending lain yang lebih mereka kenal dari pada
[. 6 . 1 . 6 . p1 . 5 . 3 . 5 . n6
gending-gending di atas, namun tetap dengan
. 2 . 1 . 2 . p3 . 6 . 5 . 3 . ng2] menggunakan aksentuasi kata ‘sak’ untuk
menyebutnya. Bagi para pengrawit wayang kulit
Jawatimuran biasanya memiliki nama idiom
Berdasarkan contoh di atas menunjukkan
gending-gending dalam pewayangan yang
bahwa Gending Ijo-ijo termasuk dalam golongan
digunakan sebagai bahan pencandraan untuk

10 Volume 11 No. 1 Juli 2013


Aris Setiawan : Konfigurasi Karawitan Jawatimuran

gending lain terutama dalam klenengan biasa, disajikan sebelum suatu pertunjukan tertentu
misalnya Gending Lambang sak Ganda diberlangsungkan. Pertunjukan tersebut dapat
Kusuma. Gending Ganda Kusuma merupakan saja klenengan (konser), ludruk atau tayuban.
gending yang lebih akrab dalam benak mereka, Dengan dibunyikannya giro berarti pertunjukan
karena gending ini digunakan untuk iringan terkait telah dimulai. Oleh karena posisi gending
wayang kulit Jawatimuran. Lebih jelasnya lihat giro adalah di awal, berarti fungsinya digunakan
Supriyanto (2006). sebagai penyambut tamu dan penonton (1983:
Kendatipun demikian, pada karawitan 44).
Jawatimuran, aksentuasi kata “sak” hanya
digunakan pada gending-gending yang belum 2. Gagahan
memiliki wilayah atau ruang kategorisasi secara Gagahan merupakan bentuk gending
jelas, sehingga harus diambil padanan gending settingkat di atas giro. Dengan demikian,
yang sifatnya lebih terkenal. Namun, terdapat gagahan memiliki struktur gending yang lebih
adanya bentuk gending-gending dalam panjang terkait irama serta dua kali lipat letak
karawitan Jawatimuran yang dalam terminologi pukulan ricikan strukturalnya dibanding giro.
penggunaannya tidak menggunakan kata “sak”, Namun demikian, jika kita mendengar gending
yakni gending-gending yang sudah memiliki giro dan gagahan hampir tidak berbeda. Hal ini
wilayah penyebutan (ruang) secara khusus. disebabkan karena ricikan gamelan yang
Adapun gending-gending tersebut adalah giro, digunakan sama. Perbedaannya hanya pada
gagahan, ayak dan krucilan. kisaran irama dan panjang pendeknya wilayah
gatra. Gagahan lebih membutuhkan waktu lama
1. Giro dalam penyajiannya karena struktur gendingnya
Giro merupakan gending yang disajikan lebih panjang dari giro. Umumnya saat ini,
secara instrumentalia tanpa vokal (sindhèn dan kebanyakan para pengrawit Jawa Timur
gèrongan) dan juga tanpa ricikan garap kecuali kesulitan dalam menyajikan gending gagahan
kendang, seperti rebab, gender, siter, gambang dan giro secara lengkap. Hal ini dapat dimaklumi
dan bahkan suling. Sementara itu, kendang yang karena elaborasi musikal yang ada relatif rumit
digunakan bukan kendang Jawatimuran dengan dengan kisaran pola permainan kendang yang
ukuran besar (cekdongan­ [lihat penjelasan panjang dan berbeda antara satu pola dengan
garap ricikan kendang]) layaknya dalam gending pola berikutnya, sehingga apabila ditulis dalam
dengan aksentuasi ‘sak’ di atas. Kendang yang teks notasi kepatihan akan menjadi berlembar-
digunakan adalah kendang kalih atau ‘dua lembar. Kebanyakan seniman Jawa Timur
kendang’, yakni kendang ketipung dan kendang hanya mengambil sebagian kecil dari gagahan
gèdhé. dan giro pada irama lancarnya (di awal sesudah
A: . 3 . p6 . 3 . n5 . 3 . p2 . 3 . ng5 buka).
! 3 ! 6 ! 3 ! 5 ! 3 ! 2 ! 3 ! g5
636p2 636n5 636p2 636n5
B:
A:
..53 6!56 2153 6!65 2153 6!32 6!56 216g5
636p2 636n5 2.2p3 56!gn6
C: ! 3 ! 2 ! 3 ! p6 ! 3 1 2 ! 2 ! n5
! 5 ! 3 ! 6 ! 2 ! 3 ! 6 ! 3 1 g5 B : !5!3 !5!6 !5!3 !5!6

D: ! 6 ! 2 ! 5 ! p6 ! 3 ! 2 ! 6 ! n5 !5!3 !5!6 2.23 563g5


! 2 ! 3 ! 6 ! 2 ! 6 ! 3 ! 6 ! g5
C : .6.3.6.p2 .6.3.6.n5 .6.3.6.p2 .6.3.6.n5

.6.3.6.p2 .6.3.6.n5 .2.2.2.p3 .5.6.!.ng6

Terkait dengan giro, A.M. Munardi D: .!.5.!.3 .!.5.!.6 .!.5.!.3 .!.5.!.6


menambahkan bahwa suasana gending dalam
golongan ini cenderung meriah karena disajian .!.5.!.3 .!.5.!.6 .2.2.2.3 .5.6.3.g5

E : .6.3.6.p2 .6.3.6.n5 .6.3.6.p2 .6.3.6.n5


secara instrumentalia tanpa ricikan garap dan
vokal (kecuali kendang). Di Jawa Timur, giro

Volume 11 No. 1 Juli 2013 11


Jurnal Seni Budaya

.6.3.6.p2 .6.3.6.n5 .232325p3 .6.5.3.ng2 3311 3311 3311 331g1 .552 2335 566! !66g5

F: .5.6.2.5 .6.2.3.2 .5.6!5!6 532.2321


Notasi di atas adalah transkrip dari
2356!5!6 532.2321 235.6.35 .3.26!6g5 permainan ricikan saron, karena ricikan ini
G : .5.5.532 .3.5.6.5 .6.!.2.3 .2.1.6.5
dalam gending ayak memiliki peran yang paling
dominan dalam mengkonstruk pola melodis.
.6.!.2.3 .2.1.6.5 32323253 .6.5.3.g2

H : .5.6.2.5 .6.2.3.2 .5.6!5!6 532.2321


4. Krucilan
Krucilan merupakan salah satu gending
2356!5!6 532.2321 235.6.35 .3.26!6g5 yang juga sering ditemui dalam pertunjukan
wayang serta tari remo dan ludruk di Jawa
Timur. Gending ini lebih sederhana dari pada
Menurut Munardi gagahan bagi sebagian ayak di atas. Krucilan dalam pertunjukan
kalangan adalah gending yang memiliki rasa wayang, ludruk dan tari remo juga digunakan
gagah serta agung (1983: 44). Fungsi utamanya sebagai pendukung dramatisasi pencapaian
juga digunakan sebagai penyambut tamu pada nuansa musikalnya (gagah, luruh). Krucilan
acara pertunjukan tertentu baik konser karawitan dalam terminologi masyarakat karawitan
maupun pertunjukan lainnya seperti ludruk dan Jawatimuran lebih dapat memberikan kesan
tayub. Namun demikian, gagahan juga banyak yang tegas serta gagah jika disajikan dengan
dijumpai para pertunjukan wayang kulit tempo cepat seperti dalam pertunjukan tari
Jawatimuran, fungsi gending ini bukan lagi remo, dan luruh atau bahkan sedih jika disajikan
sebagai penyambut tamu namun sering pula dengan irama lambat terutama dalam adegan
digunakan untuk mengangkat unsur dramatik wayang dan terlebih ludruk. Berikut adalah
musikal pada adegan-adegan tertentu yang contoh notasi krucilan.
sifatnya agung atau gagah.
Krucilan Slendro Wolu
3. Ayak
Ayak merupakan salah satu gending !6@p! 65!pn^ @!6p! 56!pn@ !6@p! 65!pn6 @!6p5 @!6gn5
yang kehadirannya cukup lekat dengan
pertunjukan wayang kulit Jawatimuran. Namun Sepadan dengan gending ayak, notasi
demikian, banyak jenis pertunjukan lain yang di atas diambil dari permainan saron yang
juga sering menggunakannya semisal ludruk, merajut polanya secara melodis. Hingga saat
konser karawitan dan lain sebagainya. Ayak ini krucilan sering dijumpai di berbagai
lebih menekankan konstruk wujudnya lewat pertunjukan tersebut di atas.
permainan ricikan saron yang lebih menonjol
sebagai ricikan melodis. Fungsi dan peran 5. Gedog
utamanya adalah mendukung unsur dramatik Gedog merupakan jenis gending di Jawa
musikal pada adegan-adegan wayang bahkan Timur yang kental dengan nuansa ketegasan
juga drama ludruk. Penyajian gending ayak lebih (Munardi, 1983:45). ‘Rumah’ bagi gending ini
terkesan mengalir. Hal ini dikarenakan oleh adalah dalam pertunjukan wayang kulit
permainan ricikan saron yang rutut dan rapat Jawatimuran. Namun sesekali juga digunakan
dalam pola permainannya. dalam konser karawitan. Terlebih pada acara
‘Manding Jamuran’ (Manasuka Gending-gending
Ayak Krucil Slendro Wolu Jawatimuran) di RRI Surabaya. Gedog adalah
2255 225n5 2255 225ng5 5663 355n6 6223 355gn6 salah satu bentuk gending yang seolah tidak
3366 3366 3366 336g6 6!!5 566! !335 566g!
pernah terlewatkan ketika siaran digelar.

!556 6!!@ @55! !66g5 2255 2255 2255 225g5 Gedog Sendarum Slendro Sepuluh
5331 1223 35!6 655g3 6633 6633 6633 663g3
.3.2.3.g2 .6.5.6.g5 .6.5.6.g5 .!.6.!.g6
3552 2335 566! !66g5 56!@ .6!@ 6!52 532g1
A:

12 Volume 11 No. 1 Juli 2013


Aris Setiawan : Konfigurasi Karawitan Jawatimuran

.!.6.!.g6 .2.1.6.g5 .6.5.6.g5 .6.3.5.g3 selama ini menjadi minoritas dalam lanskap
.5.3.5.g3 .6.5.3.g2
karawitan nusantara sudah selayaknya mampu
menunjukkan derajat dan kedudukannya. Hal
B: 6123 216n5 2356 !65ng3 tersebut dapat dilakukan dengan menghidupkan
.612 .365 !653 253g2
kembali kegiatan penelitian, diskusi dan seminar
karawitan Jawatimuran. Kedua, semngat dalam
C: .632 5635 !653 253g2 membangun dan mempertahankan karawitan
Jawatimuran tak semata hanya menjadi
.632 5635 !653 253g2 tanggungjawab para seniman dan akademisi
D: .6.6 2321 32!6 523g5 seni, namun juga semua lapisan masyarakat
Jawa Timur. Tulisan di atas setidaknya menjadi
2356 5365 !621 321g6 babak awal dalam mengawali penelitian dan
.2.6 .2.1 3216 523g5
E:
ulasan lain yang lebih tajam. Konklusinya,
karawitan Jawatimuran memiliki varian yang
mengisahkan derajatnya yang mempribadi, unik
dan tipikal. Pandangan ini sekaligus
Adapun strukur penggolongan gending di mendekonstruksi bahwa Karawitan
atas tidak berlaku mutlak bagi setiap musisi Jawatimuran tak ada bedanya dengan karawitan
karawitan Jawatimuran. Oleh karena karawitan lain seperti Karawitan Surakarta dan
tradisi Jawatimuran adalah milik bersama, Yogyakarta. Dengan demikian, Karawitan
sehingga tidak terdapat adanya konvensi- Jawatimuran yang telah menjadi aset sudah
konvensi yang mengikat. Dengan demikian selayaknya tidak dibiarkan beku. Namun
setiap orang dapat membuat struktur dikembangkan dilestarikan dan lebih penting lagi
penggolongan gending sendiri berdasarkan atas dipertahankan.
selera dan kepentingannya. Penggolongan
gending yang diutarakan oleh penulis di atas Kepustakaan
dirangkum berdasarkan atas usaha dari
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) A. Tasman Ronoatmojo. 1981. “Notasi Gending
Surabaya dan seniman karawitan Jawa Timur Mojokerto-Suroboyo”. Surabaya:
dalam memperkenalkan gending Jawatimuran Bidang Kesenian Kantor W ilayah
sebagai sarana pembelajaran atau pendidikan Departeman P dan K Propinsi Jawa
seni. Timur bersama Sekolah Tinggi
Kesenian W ilwatikta Surabaya
Kesimpulan Yayasan Badan Pembina Perguruan
Tinggi Wilwatikta Surabaya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
A.M.. Munardi. 1983. Pengetahuan Karawitan
dapat disimpulkan bahwa karawitan
Jawatimuran. Jakarta: Departemen
Jawatimuran memiliki ciri dan keunikan yang
Pendidikan dan Kebudayaan.
spesifik, berbeda dengan genre karawitan
daerah lain. Mengetahui lebih dalam terkait Aris Setiawan. 2013. “Diyat Sariredjo:
konfigurasi karawitan Jawatimuran berarti Kekaryaan dan Pemikirannya” dalam
mendudukkan karawitan sebagai sebuah hasil Jurnal Dewa Ruci Pascasarjana
karya tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat Institut Seni Indonesia Surakarta
yang mengitarinya. Dengan demikian Volume 8 No.1 Desember 2013.
membicarakan karawitan Jawatimuran berarti Asal Sugiarto. 2005. “Gending Jula-Juli dalam
pula membicarakan masyarakat Jawa Timur. Pergelaran Ludruk: Suatu Kajian
Karawitan mampu sebagai penanda dalam Etnomusikologis” Tesis S-2 Minat
melihat detak hidup budaya di Jawa Timur. Utama Musik Nusantara Program
Namun demikian, beberapa hal menjadi catatan Pascasarjana ISI Yogyakarta.
penting. Pertama, karawitan Jawatimuran yang

Volume 11 No. 1 Juli 2013 13


Jurnal Seni Budaya

Jakob Sumardjo. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian
Institut Teknologi Bandung, Wilwatikta Surabaya.
Joko Santoso. 2007. “Kartolo Kreativitasnya Ucu Mulyana Santosa. 2009. “Garap Kendang
dalam Kidungan Jula-Juli dan Mamat Rochmat dalam Tari Keurseus”.
Lawakan” (Tesis S-2 Jurusan Tesis S2 Pengkajian Seni Musik
Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Nusantara Pascasarjana ISI Surakarta.
Surakarta.
Wahyudianto. 2004. “Tari Remo Surabayan di
Joko susilo dan Soenarto. 2001. “Diktat Mata Surabaya: Aspek Politik dalam Seni
Kuliah Musik Nusantara Pokok 1”. Tari”. Tesis S-2 Kajian Seni
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Pertunjukan, STSI Surakarta.
Surabaya.
Waridi. 2000. “Garap dalam Karawitan Tradisi:
R.M. Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Konsep dan Realitas Praktik”. Makalah
Indonesia di Era Globalisasi Seminar Karawitan Nasional. STSI
Yogyakarta: Gajah Mada University. Surakarta.
Rahayu Supanggah. 1990. Dalam “Balungan”, _____. 2000. “Garap dalam Karawitan Tradisi:
Jurnal Masyarakat Musikologi Konsep dan Realitas Praktik” Makalah
Indonesia: Yayasan Masyarakat Seminar Karawitan Nasional, STSI
Musikologi Indonesia Bekerjasama Surakarta.
dengan Duta Wacana University Press Warsito. 2005. “Lobong, Gendhing Kethuk 2
Yogyakarta. Kerep Minggah Kinanti. Sebuah
Soenarto. 1987. “Garap Kendang Klenengan Tinjauan Garap Musikal”. Skripsi S-1
Gending-Gending Alit Karawitan Gaya Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi
Jawatimuran” (Skripsi S1 Jurusan Seni Indonesia Surakarta.
Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian
Zoel Mistortoify. 2007. “Kejhungan Madura:
Wilwatikta (STKW) Surabaya.
Sebuah Ungkapan Ekspresi
Sukesi 2008. “Kecenderungan Garap “Kekerasan” [?]”, Makalah Seminar
Sindhenan Jawa Timur Surabayan”. Hibah Hasil Penelitian Dosen Muda dan
Tesis S2 Pengkajian Seni Minat Musik Fundamental, Institut Seni Indonesia
Nusantara Pascasarjana ISI Surakarta. Surakarta.
Supriyanto. 2006. “Gadhingan dalam Pakeliran
Jawatimuran”. Skripsi S-1 Jurusan

14 Volume 11 No. 1 Juli 2013

Anda mungkin juga menyukai