Anda di halaman 1dari 4

Membaca Kembali Bothekan Karawitan II: Garap

Buku ini merupakan "karya seni" Rahayu Supanggah pada tahun 2007, sebagai wujud
sumbangsihnya pada dunia-nya. Rahayu Supanggah mengawali pembasahan buku tersebut dengan
pemaparan wacana teoritik kesenian di Indonesia yang menurut Supanggah sangat jauh tertinggal
dengan kekaryaan seninya. Faktanya di Indonesia menurut Supanggah masih sedikit yang
menjadikan kesenian sebagai obyek penelitian.

Pengagungan teori-teori "barat" sebagai pisau bedah untuk meneliti kesenian-kesenian di Indonesia
dan sering kali merupakan "paksaan" terhadap kesenian itu sendiri, berdampak kurang baik bagi
kesenian di Indonesia. Kesadaran akan fenomena tersebut kemudian tulisan "Garap" ini
dikemukakan sebagai salah satu langkah awal mencari solusi atas keprihatinan Supanggah. Garap
yang ditulis berdasarkan pengalaman Supanggah selama 40 tahun sebagai seorang pengrawit,
merupakan aktualisasi empirik dari endapan-endapan pengalaman Supanggah. Berikut sepintas
tentang pembahasan garap dalam karawitan Jawa.

Supanggah dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam karya seni tidaklah hadir secara tiba-tiba
namun terdapat semacam bangunan atau unsur-unsur garap di dalamnya. Unsur-unsur garap
tersebut meliputi ide garap, proses garap, tujuan garap, serta hasil garap.

Garap dalam tulisan Rahayu Supanggah dianalogkan dengan realitas kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat seperti membuat rumah, bertani, memasak dan lain sebagainya. 

Garap dalam karawitan dapat diberi pengertian sebagai berikut, yaitu perilaku praktik dalam
menyajikan (kesenian) karawitan melalui kemampuan tafsir (interprestasi), imajinasi,  ketrampilan
teknik, memilih vokabuler permainan instrumen/ vokal, dan kreativitas kesenimanannya. Unsur-
unsur dalam garap antara lain adalah seperti: ide garap, proses garap yang terdiri dari; bahan garap,
penggarap, perabot garap, sarana garap, pertimbangan garap, penunjang garap, unsur selanjutnya
adalah tujuan garap dan yang terakhir adalah hasil garap.

Ide garap, sebuah akar dari konsep garap yang melihat ide atau gagasan yang ada pada benak
seniman pelaku garap, terutama dalam proses penciptaan gending ini. Supanggah menyebutkan
bahwa ide garap dapat muncul dalam bentuk apapun, darimana, dan dimanapun. Ide garap menurut
Supanggah dapat hadir, dijumpai, terjadi dikehidupan kita sehari-hari yang melibatkan fenomena-
fenomena tertentu seperti fenomena alam, sosial serta dari unsur musikalitas tertentu. Ide ini
kemudian di"visualkan" melalui permainan gamelan, yang melibatkan proses garap.

Proses garap yang meliputi bahan garap, merupakan materi dasar, bahan mentah yang diacu, di
"masak", dan digarap oleh sekelompok orang. Bahan garap merupakan balungan imajener gending
(kerangka) yang menghasilkan karakter musikal. Supanggah dalam pembahasannya, membedakan
antara balungan gending dan gending. 
Pemaknaan makna balungan gending yang didentikan dengan pola tabuhan saron, telah dibantah
oleh Supanggah. Balungan gending merupakan, kerangka imaginer yang kasarira dimasing-masing
benak para pengrawit. Kemudian kerangka-kerangka tersebut dituangkan dalam pola permainan
gamelan yang akhirnya membentuk apa yang dinamakan gending.

Gending ada setelah disajikan serta bukan sekumpulan partitur, perlu adanya tafsir dari para
pengrawit hingga ada kesan rasa musikal tertentu. Balungan gending oleh Supanggah digolongkan
menjadi beberapa jenis, yang semuanya terikat dalam konsep gatra, dimana hal tersebut
menunjukan bahwa gatra merupakan embrio awal tersusunnya sebuah gending. 

Gending inilah kemudian di analisa berdasarkan bentuk, ukurab, fungsi, laras dan/atau pathet, serta
rasa musikalnya. Hal terakhir ini disebabkan oleh proses garap yang kedua yaitu penggarap yang
dalam konteks ini merupakan unsur terpenting dalam proses garap. Selain dari faktor pendidikan hal
yang cukup penting dari penggarap kaitannya dengan pembentukan karakter garap adalah
lingkungan. 

Lingkungan bagi penggarap memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan karater garap,
karena penulis beranggapan bahwa lingkungan merupakan peristiwa sosial yang saling berinteraksi,
membentuk, mengkonstruk pola pikir seniman sesuai dengan kehendak dan kemauan atas
fenomena sekitarnya. Penggarap, menurut Supanggah ada beberapa kelompok spesial yang hadir
secara kodrati, alami, keturunan maupun genetika. Kemudian ada yang menyebutnya bakat, hal
yang menurut Supanggah tidak boleh diirikan.

Perabot garap, sarana garap, pertimbangan serta penunjang garap merupakan jaring dari proses
garap yang dipergunakan dalam melihat kecenderungan proses pembentukan karakter musikal
gending. 

Perabot garap merupakan benda fisik yang berupa instrumen yang dipergunakan oleh seniman
dalam menggarap. Sarana ini, setidaknya dapat digunakan dalam mencari keterkaitan dari seniman
dalam memahami perabot garapnya yaitu gamelan, karena setiap daerah pasti memiliki dan
memberikan konstruk makna tersendiri terhadap keberadaan instrumen atau alat musik yang
mereka miliki, misal sebagai pendukung ritus upacara ataupun hiburan semata. Sarana garap
mempengaruhi oleh Supanggah dimaknai dengan perangkat fisik yang sering digunakan sebagai
instrumen eksplorasi (berupa gamelan) bagi para pengrawit. Sarana ini kemudian diklasifikasi
menurut bentuk fisik, unsur musikal, hirearki dan organonologinya.

Perabot garap setidaknya dapat memberikan konsep musikal yang mendasari seniman dalam
menggarap gending ini. Konsep musikal (yang meliputi aturan, kebiasaan-kebiasaan) tentunya akan
memiliki perbedaan antara daerah satu dengan yang lainnya. 

Hal ini sangat terkait dengan konsep tafsir yang mereka miliki kaitannya dalam menggarap suatu
gending. Setiap kebudayaan karawitan pasti memilki tafsir tersebut, tafsir musikal yang ada tentunya
akan berpengaruh besar terhadap lahirnya karakter musikal yang membingkai gending. Adapun
prabot garap tersebut meliputi teknik, pola, irama dan laya, laras, pathet, konvensi dan dinamika.

Penentu garap merupakan beberapa hal yang mendorong atau menjadi pertimbangan utama dari
penggarap untuk melakukan garap, menyajikan suatu komposisi gending melalui sajian ricikan yang
dimainkannya atau vokal. 

Pengertian tersebut memberi membedah persoalan apa saja yang menentukan terbentuknya
karakter musikal gending, apakah menyangkut fungsi sosial, fungsi hiburan, atau bahkan hal lain
seperti ritual. 

Perlu diketahui pula bahwa otoritas merupakan dampak yang mempengaruhi garap. Sebagai contoh,
selera-selera pencipta gending kraton, sangat didominasi oleh raja, karenanya garap yang disajikan
pun sesuai dengan apa yang dikehendaki raja, bahkan hak cipta pun diklaim oleh raja. 

Kemudian bagaimana para "composer" gamelan sebagai corong pemerintah, seperti lagu P4 karya
Nartosabdo yang berisi tentang himbauan betapa pentingnya P4 untuk dimengerti dan dilakukan
oleh masyarakat waktu itu. 

Otoritas lain lahir dari beberapa faktor, selain kekuasaan, juag lahir dari pribadi-pribadi yang
berwibawa dalam kelompoknya sehingga melahirkan karya-karya baru yang berbau individu, seperti
gaya Nartosabdan, Cokrowarsitan yang kesemuanya mempunyaiu ciri musikal yang khas. Penentu
garap juga dipengaruhi oleh keterkaitan gamelan dengan fungsi-fungsi sosial dan layanan seni, akan
menimbulkan garap yang berbeda pula.

Penunjang garap merupakan beberapa faktor yang menjadi penunjang dalam terbentuknya karakter
musikal gending diantaranya pengaruh internal dalam diri seniman, pengaruh eksternal yang dapat
mencakup karya pesanan, pengaruh dari empu sebelumnya maupun keraton, atau bahkan karena
terdapat adanya hal lain misal sesuatu yang hubungannya dengan renik.

Tujuan, dari ide garap sampai pada proses garap, penulis memandang bahwa keberadaan gending
memilki tujuan yang ingin disampaikan oleh seniman maupun masyarakat pelaku seninya. Tujuan ini
sangat ditentukan oleh ide garap seperti diatas, namun juga tidak terlepas dari aspek-aspek di dalam
prosesnya. 

Penulis berasumsi bahwa dengan adanya tujuan ini maka karakter musikal gendingpun akan
terbentuk. Sebagai contoh, gending Irian Barat Karya Martopangrawit karena ditujukan sebagai
media perjuangan terhadap penjajah Belanda pada tahun 1960-an maka membawa dampak
karakter musikalnya yang cenderung "tegas", "keras", dan "patriotik (bahasanya)". Hal ini
menggambarkan bagaimana tujuan menjadi faktor penting yang hasilnya akan menentukan karakter
musikal sebuah gending.
Seperti yang kita ketahui, bahwa lahirnya sebuah teori berasal dari sebuah perenungan yang dalam
hiangga melahirkan suatu gagasan dimana gagasan tersebut merupakan satu kerangka pikir yang
dapat digunakan sebagai pijakan norma. Salah satunya lahir dari para filosof-filosof dan pujangga-
pujangga. Kemudian lahirnya teori dapat berdasarkan satu pengalaman empirik yang dituangkan
dalam sebuah kerangka ilmiah dan didudukan sebagai landasan pikir. 

Pengertian teakhir inilah yang sering dijumpai dalam penulisan-penulisan ilmiah. Ketika Garap
didudukan dalam ranah dan teori, sebenarnya tulisan Supanggah tersebut merupakan gabungan dari
keduanya, selain lahir dari sebuah perenungan juga lahir karena pengalaman empirik yang telah ia
lalui selama ini. Supanggah melihat garap sebagai sesuatu yang bergerak diantara ruang dan waktu.
Sudut pandang yang dia pilih adalah, sudut pandang pengrawit. Berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya ketika karawitan dipandang dari sisi antropologi, sosial, histori dan disiplin
ilmu yang lain, Supanggah melihat karawitan dari sisi pelaku, seniman, pengrawit, insider.

Sebenarnya tulisan Supanggah mengenai garap ini, telah membuka beberapa mata peneliti yang
sering keliru dalam melihat sisi karawitan dan sering menjadikan hasil penelitian tersebut menjadi
salah arah. 

Pertimbangan garap yang begitu banyak, sebenarnya sesuatu yang tidak disadari atau dengan kata
lain, sebenarnya semua hal yang dipaparkan oleh Supanggah adalah sesuatu yang sudah menjadi
jiwa, kasarira, menjadi satu dan sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dipikirkan secara detail,
"serius" dan mendetail. Semuanya dilalui para pengrawit dengan naluri mereka. Naluri-naluri
pengrawit -- yang kebetulan Supanggah adalah seorang pengrawit pula -- inilah yang kemudian
dicatat, disarikan, dipotret, serta melahirkan buku berjudul Garap. 

Sebenarnya setiap pengrawit mempunyai intuisi untuk membukukan apa yang dia alami, tetapi
seperti pendapat Supanggah di depan bahwa menulis belum menjadi iklim yang bagus, tentu saja
pengrawit tidak memusingkan masalah itu karena mereka memang "murni" sebagai pelaku seni,
tidak memusingkan masalah tulis-menulis, itu tugas para peneliti, seniman akademis(?). Rahayu
Supanggah mengakui bahwa tulisannya ini memang disengaja untuk tidak ilmiah berikut pengakuan
atasnya. Namun dengan "ketidak-ilmiahan" justru menjadikan buku Bothekan II : Garap menjadi
menjelaskan "apa itu karawitan Jawa" dari sudut pandang pemiliknya.

By. Sigit Setiawan

Anda mungkin juga menyukai