NYAMUK
DARI
KREMI Karya Afrizal Malna
Aku menemukan sebuah warna hitam, seperti tetesan, di sebuah kertas nota
pembelian sepasang sepatu. Warna hitam itu menarik perhatianku karena dia
berada tidak pada tempatnya. Lebih sebagai kotoran di nota yang tercetak
dengan rapi itu. Kenapa begitu saja aku berpikir bahwa warna hitam itu
bukan bagian dari kertas nota? Bahkan aku menyebutnya sebagai “kotoran”?
Aku menjadi sangat sensitif dengan setiap kata yang kugunakan untuk melihat
persoalan ini. Aku tidak mau terjebak dalam pilihan kata yang tidak tepat
yang akhirnya akan membawaku semakin juah dari persoalan tetesan warna
hitam pada kertas nota pembelian sepatu itu. Kita bisa tersesat jauh hanya
karena pilihan kata yang tidak tepat, lalu konflik mulai bermunculan
menggerogoti setiap kalimat yang kita gunakan. Ini bukan negeri bahasa. Ini
negeri kertas nota pembelian sepasang sepatu. Memilih kata untuk berbicara
sama di antara memilih api dan bensin. Aduh, kenapa “api” dan “bensin”?
Kenapa bukan “bunga” dan “kupu-kupu”? Aku seperti melihat mahluk yang
terkepung binatang buas yang namanya bahasa. Lalu mahluk itu tidak punya
Aku menjadi sangat sibuk. Aku segera memesan kendaraan terbuka untuk
membawa kulkas yang berisi kertas nota dengan warna hitam itu ke kota.
Kendaraan terbuka segera datang. Aku menyewanya seharga 350 ribu untuk
mau mengangkut kulkas itu ke pusat kota. Aku berangkat dengan kendaraan
terbuka yang kini mengangkut kulkas itu. Memasuki pusat kota yang aku suka
ini. Solo. Sebuah kota dimana kita masih bisa melihat kereta berada
berdampingan dengan jalan untuk kendaraan biasa. Pada jam-jam tertentu
kereta akan lewat seperti membawa kota-kota lain ke pusat kota Solo. 5 Tahun
yang lalu, pertumbuhan kota tidak terlalu pesat. Aku menyukai sebuah kota
yang pertumbuhannya tidak terlalu pesat. Perkembangan antara kota dan
penghuninya masih seimbang. Pertumbuhan kota tidak meninggalkan
penghuninya. Tapi kini, Solo, aku kira akan tidak ada bedanya lagi dengan
kota-kota lain seperti JogJakarta atau Semarang. Pusat-pusat perbelanjaan
mulai tumbuh di mana: super market, mall, hypermart, paket-paket
perumahan, iklan-iklan raksasa yang tidak tertata di jalan-jalan umum. Tidak
akan ada lagi “kota desa”. Aku kira sebagian besar penghuni Solo lebih
banyak hidup dengan budaya desa. Kota berarti akan tumbuh menghianati
penghuninya sendiri. Pertumbuhan kota yang kian formal perlahan-lahan akan
membunuh kekuatan budaya dan ekonomi informal yang selama ini
menghidupi kota ini dengan pasar-pasar rakyat mereka yang karakternya
kuat. Becak akan menjadi kendaraan tua yang kesepian. Gajah Putih, hewan
kramat Keraton Kasunanan Kartasura di bawah raja Paku Buana II, yang
menemukan kota ini setelah Keraton Kasunanan hancur oleh pemberontakan
Sunan Kuning dan Pangeran Sambernyawa pada pertengahan abad 18,
mungkin akan kehilangan kota ini untuk kedua kalinya. Kota yang pernah
memberikan masalalu yang penuh cerita untuk warganya: sebuah daerah
rawa-rawa yang diubah menjadi kota dengan cara menyumbat sumber air
yang telah menjadikannya sebagai rawa-rawa dengan sebuah alat musik –
sebuah gong. Gong itu mereka namakan dengan sebutan Sekar Delima. Dan
sebuah sejarah lisan yang menggunakan kepala seorang penari perempuan
masih perawan yang juga ikut digunakan untuk menyumbat sumber air itu.
Pagi telah datang lagi seperti sebuah gerobak yang berisi banyak muatan. Kini
aku berada dalam kamar mandi. Duduk di atas klosed memandangi bangkai
anjing dalam kamar mandi saya. Bangkai anjing yang kemarin pagi
kupergunakan untuk arus listrik agas kulkas tetap hidup dalam aksi di tengah
kota. Aku baru tahu kalau pada tubuh bangkai anjing itu juga ada tetesan
warna hitam. Tidak ada luka kutemukan pada bangkai anjing itu. Doi mati
karena seseorang telah menabraknya. Mungkin doi luka dalam. Aku lihat
memang ada sedikit darah di bibirnya yang telah mengering. Mungkin doi
mati karena ciuman yang saling menyakiti dengan pacarnya. Matanya telah
Aku kira aku ttidak sedang merebus batu untuk makan siangku. Sejak aku
menerima kertas nota pembelian sepatu yang ada tetesan warna hitamnya itu,
banyak hal yang tidak kuduga aku alami. Dan aku mengikutinya seperti
seekor anjing yang mengikuti tuannya. Dan seperti anjing itu pula, di tengah
jalan, yang tidak tahu kemana tuannya akan pergi, tiba-tiba sebuah kendaraan
menabraknya dan mati. Kremi. Begitu pula halnya dengan diriku.
Pertemuanku dengan Kremi membawaku ke banyak hal. Tetapi di tengah
jalan, sebelum tahu apa sebenarnya yang sedang aku alami, tiba-tiba cerita
mati. Bangkai anjing itu tidak bercerita lagi. Aku seperti seorang yang tiba-
tiba mati muda di tengah sebuah jalinan cerita yang dibawa Kremi. Lalu aku
menguburkannya. Tidak mungkin aku memasukkan bangkai anjing itu ke
dalam kulkas. Aku tak tahu siapa sebenarnya yang telah meninggalkanku di
tengah jalan seperti ini, persis sama dengan aksi kulkas yang aku lakukan di
tengah perempatan jalan kemarin pagi. Aku telah menguburkan bangkai
anjing itu. Tapi rasanya bangkai anjing itulah yang telah mengubur diriku
dengan cara kematian dan cerita-ceritanya yang berlangsung hampir dua hari
ini setelah peristiwa aksi kulkas di perempatan jalan. Kremi harus melalui
kematiannya sendiri untuk bisa membocorkan kisah-kisahnya kepadaku. Aku
tak bisa membayangkan bagaimana kalau perkenalanku dengan Kremi
berlangsung lebih awal, sejak dia masih hidup dan bukan setelah mati. Seperti
telah terjadi pertukaran yang mahal antara nyawa Kremi dengan kisah-kisah
yang dialaminya untuk sampai kepadaku. Dan dia membiarkan dirinya mati
hanya agar kisah-kisahnya bisa hidup dan menempuh jalannya sendiri. Aku
harus kembali ke tetesan warna hitam di kertas nota pembelian sepatuku
tempo hari, awal dari semua kejadian yang membuatku kini berdiri di depan
kuburan Kremi. Aku tahu tidak ada yang berubah dengan tetesan warna hitam
itu. Tapi aku terus mengamatinya seperti mengamati waktu yang bergerak
detik demi detik. Berhari-hari mataku tidak pernah lepas dari tetesan hitam
itu. Kegiatan seperti itu terus kulakukan dengan sabar, hati-hati. Pikiranku
semakin menyempit, semakin fokus ke seputar tetesan hitam itu. Bersama itu
pula berbagai ingatan dan kenanganku mulai menguap, berjatuhan seperti
daun gugur. Nama-nama, berbagai peristiwa, tempat dan waktu kejadian,
berbagai referensi mulai menghilang dari ingatanku. Pikiranku seperti pohon
yang ditinggal pergi oleh daun-daunnya dan menjelang tumbang. Dunia di
luarku menguap seperti bongkah-bongkah es yang meleleh di bawah sengatan
matahari musim panas. Seperti hembusan angin kencang yang mengikis
bukit-bukit pasir di padang pasir. Pikiranku kini hampir seperti kertas putih
yang kosong. Pikiranku kian jarang memerintahkan tubuhku untuk melakukan
sesuatu. Lalu aku mulai merasakan ada pengait yang lepas dari dengkulku.
Tulang tempurung dengkulku ternyata lepas. Aku melihat saat-saat kakiku
pergi meninggalkan diriku. Aku juga melihat saat-saat tanganku pergi
meninggalkan tubuhku. Kini aku hampir tak bergerak lagi, diam bersama
tetesan warna hitam itu. Aku kembali merasakan 50 tahun berlalu melewati
tubuhku. Usus di perutku kembali bergerak memenuhi punggungku.
Bagaimana kini aku harus melihat diriku? Kening yang kesepian tanpa pikiran
Setelah peristiwa Kremi, saya sudah tidak bisa lagi melihat diri saya. Saya
hanya bisa merasakan. Jadi saya tidak perlu lagi sibuk keramas agar rambut
saya tidak kotor. Sekarang saya sedang berdiri di atas lingkaran obat nyamuk
yang menyala. Dan saya melihat kembali semua cerita dari bangkai anjing itu
dalam lingkaran obat nyamuk ini, yang baranya terus merambat seperti
membuat jejak-jejak api dan abu. Beberapa saat lagi bara api itu akan sampai
ke saya juga. Saya tidak tahu apakah saya akan meninggalkan obat nyamuk
itu kalau baranya telah sampai ke saya? Atau saya membiarkan diri saya
menjadi bagian dari yang akan terbakar oleh bara yang merambat dalam