Anda di halaman 1dari 16

Monolog

NYAMUK
DARI
KREMI Karya Afrizal Malna

1 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


BAYANGAN TEKS
NASKAH INI, DALAM KONTEKS PERFORMING ART ATAU PERTUNJUKAN TEATER
MUNGKIN LEBIH BAIK DISEBUT SEBAGAI “SOLO PERFORMANCE”. STRUKTURNYA
DIBANGUN MENYERUPAI INSTALASI PERTUNJUKAN. INSTALASI YANG DIBANGUN
SENDIRI OLEH AKTOR YANG MEMERANKANNYA. SETIAP PEMBAGIAN PERISTIWA
MEMILIKI KEMUNGKINANNYA SENDIRI UNTUK BERKEMBANG ATAU MENJADI LAIN
SAMA SEKALI DARI PERISTIWA LAINNYA. TIDAK ADA BATAS ANTARA DUNIA LUAR
DENGAN DUNIA DALAM ATAU ANTARA KARAKTER LUAR DENGAN KARAKTER
DALAM YANG DIMAINKAN AKTOR. SEPENUHNYA MONOLOG INI MEMBUKA
KEMUNGKINAN UNTUK AKTOR MENGGUNAKAN BERBAGAI MEDIA YANG
DIJALANKANNYA SENDIRI. AKTOR BUKAN DIBUAT SIBUK OLEH RUANG
PERTUNJUKAN YANG TELAH DIRANCANG. MELAINKAN SEBALIKNYA: AKTOR
MEMBUAT RUANG MENJADI SIBUK OLEH PERBUATANNYA SENDIRI DALAM
MEMBANGUN RUANG PERTUNJUKAN. IDE DASAR DARI NASKAH INI BERANGKAT
DARI USAHA UNTUK MENYAMPAIKAN BAGAIMANA MEMORI TERHADAP SATU
PERISTIWA YANG MEMBEKAS, ATAU SEJARAH TENTANG SEBUAH KOTA, MEMBUAT
RUANG TERSENDIRI DALAM DIRI SESEORANG YANG MEMILIKI MEMORI ITU.
MEMORI ITU TIDAK BISA DIHAPUS, MELAINKAN TUMBUH SEPERTI BENALU DALAM
WAKTU. KADANG MEMORI ITU BISA MENJADI MOTIVASI UNTUK ENERJI
KEHIDUPAN, TETAPI JUGA KADANG MENJADI BATU BESAR YANG MEMBAWA
NALURI KEMATIAN. DI ANTARA DUA ENERJI INI, KEHIDUPAN SEPERTI
MENCIPTAKAN NYANYIANYA SENDIRI DENGAN PARA PENYANYI YANG
BERSEMBUNYI DALAM TUBUH KITA SENDIRI. SEPATU DAN ANJING MENJADI IKON
PENTING YANG MERAJUT INSTALASI PERTUNJUKANNYA INI.

1. Nota Pembelian Sepasang Sepatu

Aku menemukan sebuah warna hitam, seperti tetesan, di sebuah kertas nota
pembelian sepasang sepatu. Warna hitam itu menarik perhatianku karena dia
berada tidak pada tempatnya. Lebih sebagai kotoran di nota yang tercetak
dengan rapi itu. Kenapa begitu saja aku berpikir bahwa warna hitam itu
bukan bagian dari kertas nota? Bahkan aku menyebutnya sebagai “kotoran”?
Aku menjadi sangat sensitif dengan setiap kata yang kugunakan untuk melihat
persoalan ini. Aku tidak mau terjebak dalam pilihan kata yang tidak tepat
yang akhirnya akan membawaku semakin juah dari persoalan tetesan warna
hitam pada kertas nota pembelian sepatu itu. Kita bisa tersesat jauh hanya
karena pilihan kata yang tidak tepat, lalu konflik mulai bermunculan
menggerogoti setiap kalimat yang kita gunakan. Ini bukan negeri bahasa. Ini
negeri kertas nota pembelian sepasang sepatu. Memilih kata untuk berbicara
sama di antara memilih api dan bensin. Aduh, kenapa “api” dan “bensin”?
Kenapa bukan “bunga” dan “kupu-kupu”? Aku seperti melihat mahluk yang
terkepung binatang buas yang namanya bahasa. Lalu mahluk itu tidak punya

2 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


tempat lagi untuk menyelamatkan diri. Seluruh tempat sudah sempit dan
penuh. Tak ada lagi ruang kosong. Orang tidak percaya lagi dengan adanya
ruang kosong. Kalau ruang kosong itu masih ada dan ditemukan, pasti dengan
segera orang berbondong-bondong pergi untuk menguasai ruang itu dan
seketika dia berubah menjadi tempat yang penuh lagi. Semua tempat sudah
ada pemiliknya. Tidak ada ruang tanpa identitas. Dan mahluk itu pun akhirnya
harus membiarkan dirinya menjadi santapan bahasa yang buas itu. Perlahan-
lahan dia tenggelam sebelum akhirnya sekarat. Sebelum sekarat, dalam satu
detik, dia masih sempat teringat: apakah sorga itu ada? Kalau ada, pasti sorga
itu bukanlah bahasa. Bahasa adalah neraka. Tidak ada orang yang bisa
menolongmu untuk keluar dari jeratan bahasa. Tuhan pun tidak pernah
mengajarimu berdoa dan berbuat baik agar tidak masuk ke dalam api bahasa.
Aduh, siapa sih yang telah berlaku ceroboh meninggalkan tetesan hitam di
kertas nota itu? Percetakan pasti tak bersalah. Percetakan selalu bersih
seperti pintu sorga. Kertas nota itulah yang kotor hanya karena tetesan warna
hitam di atasnya.
Siapa yang mau perduli dengan semua ini?
Aku toh tidak mungkin kembali ke toko tempatku membeli sepatu itu, dan
meminta mereka untuk menukar kertas nota pembelian tanpa tetesan hitam di
kertasnya. Nota yang bersih. Penjual sepatu di toko itu pasti akan terheran-
heran dan melihatku seperti seekor kuda tanpa kepala yang datang ke
tokonya bukan untuk urusan sepatu, melainkan urusan kertas nota pembelian
yang bersih. “Mbak, atau, mas, tolong dong ganti nota pembelian sepatu saya
dengan nota yang bersih, yang tidak ada nodanya.
Please ya, tolong saya.” Ah itu tidak mungkin. Itu hanya akan mempermalukan
saya. Tetapi kenapa tidak mungkin? Kenapa akan mempermalukan saya?
Mungkin pegawai itu akan dipecat oleh bosnya karena telah memberikan nota
dengan noda hitam di atasnya. Ah, masak pemecatan dilakukan hanya karena
sebuah noda hitam di atas nota. Tidak mungkin, toh? Tetapi tetesan itu telah
membuat kesibukan baru untukku hari ini. Seperti ada orang lain yang
memasuki diriku karena tetesan warna hitam di kertas nota itu. Pasti yang
datang dan masuk ke dalam diriku itu adalah orang yang telah meneteskan
warna hitam di atas kertas nota pembelian itu. Busyet, ada tamu tak diundang
nih, yang datang dari tetesan warna hitam di kertas nota pembelian itu. Dan
aku sudah tak ingat lagi dengan sepasang sepatu yang baru kubeli yang telah
membuatku kini harus berhubungan dengan tetesan hitam. Kalau ini aku
laporkan ke majikan pemilik toko sepatu itu, pasti dia akan memecat pelayan
tokonya yang telah memberikan kertas nota yang tidak bersih kepadaku. Atau
mungkin juga dia akan melihatku sama seperti melihat seekor kuda tanpa
kepala yang datang ke tokonya bukan untuk urusan sepatu, melainkan urusan
kertas nota pembelian yang bersih. Aku mencoba memeriksa kembali diriku.
Aku mulai berpikir mungkin aku bisa mengenali orang yang memasuki diriku
itu dengan cara memeriksa kembali kenapa aku menyebut tetesan itu sebagai
berwarna hitam?
Idiih, apa sih warna hitam itu? Beri aku penjelasan dong. Bagaimana aku
harus merumuskan apa itu warna hitam? Konsentrasiku semakin penuh
memikirkan soal warna hitam itu. Salah satu yang bisa aku kenali adalah
bahwa warna hitam itu selalu gelap. Gelap? Kenapa gelap? Bukankah warna
hitam itu terang? Kalau gelap, pasti aku tidak akan bisa melihat bahwa
tetesan itu berwarna hitam. Tidak mungkin melihat hitam sebagai gelap.

3 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


Tidak mungkin melihat hitam dalam kegelapan. Kegelapan memiliki mata
yang lain, mata yang tidak melihat, tetapi mata yang memandang. Aku merasa
ada semacam kekejaman pada cara berpikirku dalam melihat soal warna
hitam itu. “Semacam”? Bukan “semacam”. Kok begini, sih? Pilihan kata
seperti ini tidak tepat. Seakan-akan aku sedang merayu diriku sendiri agar
berpenampilan alternatif terhadap apapun. Warna hitam yang berada dalam
kertas nota pembelian itu bukan alternatif, toh? Dia ada absolut di kertas itu.
Ada sebelum aku membeli sepasang sepatu itu. Lalu apa urusannya aku harus
mensejajarkan diriku dengan tetesan hitam itu siang ini. Gila sudah jam 2
siang. Panas dan warna hitam nih. Warna hitam adalah warna yang telah
meninggalkan surga, memilih jalannya sendiri seperti iblis yang meninggalkan
jalan Tuhan. Warna hitam tidak mau mengakui manusia sebagai mahluk yang
termulia. Semua kematian hampir selalu mengenakan jubah hitam, kerudung
hitam, busana hitam. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana manusia
hidup tanpa warna hitam. Warna hitam adalah negatif dan beroposisi
terhadap warna lain. Semua warna takut terhadap warna hitam, karena
genetisnya yang kuat. Semua warna yang berusaha menyentuh warna hitam,
maka rasakanlah, warna itu akan berubah menjadi warna lain. Seperti
pikiranmu yang berubah menjadi kaleng rombeng. Mungkin warna hitam itu
adalah asal usul warna. Siapa tahu? Mungkin juga hidup ini terbuat dari
warna hitam, toh? Siapa tahu memang bergitu. Atau lebih sempit lagi,
mungkin hidup ini lahir dari sebuah warna hitam yang menetes tanpa sengaja
dari sebuah kekuatan yang sedang menulis dengan menggunakan tinta. Lalu
tetesan itu menjadi seperti kita yang dikutuk untuk hidup ribuan tahun. Dan
tidak bisa terbebaskan dari perangkat bahasa, karena bahasa adalah genetis
dari kekuatan yang sedang menulis itu. Lalu bahasa membentuk seluruh
pernik-pernik kehidupan kita. Dan kini aku sedang menyaksikan bagaimana
tetesan warna hitam di kertas nota pembelian sepasang sepatu itu sedang
membuka sebuah medan bahasa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana
suatu malam warna hitam mendatangi kota ini dan mengubah seluruh warna
kota. Warga kota akan terkejut dan terheran-heran ketika pagi hari mereka
bangun, dan seluruh warna kota telah berubah. Busyet, kini aku kian mengerti
kenapa ada tetesan warna hitam dalam kertas nota pembelian itu. Waktu
sudah menunjukan jam 3 menjelang sore hari ini. Jari-jari tanganku mencoba
meraba tetesan warna hitam itu. Jari-jari tanganku seperti jari-jari tangan
milik orang buta yang sedang membaca kekosongan. Kehampaan. Hitam tidak
bisa dijelaskan dengan cara lebih hitam lagi. Jari-jari tanganku punya
pendapat lain yang lebih tegas. Bahwa aku tidak bisa mengikuti arah kemana
warna hitam itu akan pergi, dari mana asalnya dan untuk apa dia berada di
sini, di kertas nota pembelian itu? Walaupun aku sudah memberi pengandaian
bahwa mungkin hidup ini diawali dari sebuah tetesan warna hitam yang jatuh
tanpa sengaja dari “sesuatu” kekuatan yang sedang menulis dengan tinta.
Siapa yang mau perduli dengan pengandaian seperti ini. Muke lu gile apa.
Aku mulai memperhatikan ruang dalam rumahku. Aku harus menyimpan
tetesan hitam dalam kertas nota pembelian itu. Aku tidak boleh berlama-lama
dengannya. Toh, aku masih harus mengerjakan banyak hal hari ini. Diletakkan
dimana? Dimana, ya? Dalam lemari pakaian saja, ya. Lemari pakaian itu kan
terbuat dari bambu, ya. Kalau musim hujan selalu berjamur dan
mengeluarkan bau kan. Lemari pakaian itu punya ibuku, ya. Dia kan orang
Jerman. Kini tinggal di Berlin seorang diri, ya. Seorang psikolog yang pernah

4 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


bekerja menterapi orang untuk bisa membebaskan diri dari pengalaman-
pengalaman traumatiknya, ya. Sekarang dia banyak keliling dunia dengan
teman-temannya untuk mengisi hari tuanya kan. Bulan ini dia sedang berada
di Mumbai, India. Hampir setiap malam dia mabuk, ya. Ah, jangan disimpan
dalam lemari pakaian ibuku itu. Aku ingin menyimpannya dalam lemari buku.
Kan, sama-sama kertas: buku-buku dan nota pembelian sepasang sepatu itu.
Aku segera membuka pintu lemari bukuku. Kacanya sudah berjamur tipis,
seperti kabut tipis karena lembab. Dalam lemari itu aku menemukan seekor
laba-laba yang sudah membuat sarang di sebuah buku yang berjudul Benua
Ketiga dan Terkahir. Sebuah novel yang ditulis Jhumpa Lahiri, penulis dari
India yang lahir di London. Aku akan benci kalau laba-laba itulah yang merasa
telah menulis novel itu dan kini sedang melanjutkan ceritanya. Tapi nota
pembelian itu kan bukan novel juga bukan buku. Kok rasanya, repot sekali, ya.
Ibuku kan orang Jerman. Simpel, praktis, tidak mau buang-buang senyum
yang tidak penting. Tapi nota pembelian sepatu kan bukan orang Jerman.
Koplok, koplok. Ini hanya soal menyimpan kertas nota yang ada tetesan warna
hitam itu, kan? Kan masih ada laci meja. Disimpan di bawah kasur juga bisa.
Disimpan dalam ember juga bisa. Kan tidak ada persoalan. Di tempel di kaca
jendela atau di kaca cermin juga tidak apa-apa, kan semua orang yang datang
ke rumahku bisa ikut menyaksikan tetesan warna hitam di kertas pembelian
itu. Tidak ada masalah, toh. Aku mulai merasa rumah ini sebenarnya sedang
menolak agar kertas nota pembelian itu tidak disimpan dalam rumah. Ah,
rumah ini jadi terasa asing. Padahal setiap pagi aku mengepel lantainya dan
setiap minggu membersihkan kaca jendela. Akhirnya aku nekat. Aku
masukkan kertas nota itu ke dalam kulkas. Aku tidak tahu kenapa aku
memasukkannya ke dalam kulkas. Pasti tindakan itu ada motifnya yang aku
sendiri tidak memahaminya. Mungkin aku memiliki motif tak sadar untuk
membuat batu es berwarna hitam. Atau semua es seharusnya berwarna hitam,
sehingga orang tidak akan lagi menggunakan “salju putih” sebagai ungkapan,
melainkan “salju hitam”. Mungkin juga aku ingin membekukan warna hitam
itu. Aku menghormati setiap motif gelap seperti ini. Di balik semua motif
gelap selalu ada jalan panjang yang tak terduga. Uh. Lalu aku tidur dengan
pikiran pasti warna hitam itu tidak akan bisa tidur sepanjang malam ini. Pasti
dia menggigil kedinginan. Kalau warna hitam itu punya jari-jari tangan, pasti
jari-jari tangannya terasa perih, terasa tumbuh sesuatu yang runcing-runcing,
sensitif dan tertekan karena kedinginan. Mungkin juga aku salah. Mungkin
warna hitam itu tidak bisa tidur karena dia sibuk mengaduk-aduk seluruh isi
kulkas dan memakan semua makanan yang bisa dimakannya dalam kulkas itu.
Mungkin juga dia keluar meninggalkan kulkas itu dan pergi menemui
kekasihnya. Warna hitam mulai membuatku punya alasan untuk bangun esok
hari. Hari yang lain. Hari yang penuh dengan godaan baru atau mungkin juga
gangguan baru yang telah dibawa oleh warna hitam itu. Pagi hari aku bangun
dan menemukan warna hitam itu masih ada dalam kulkas. Aku periksa seluruh
isi kulkas, tak ada yang berubah. Aku hanya menemukan bawang merah dan
bawang putih yang mulai tumbuh berdaun. Sudah sebulan memang aku tidak
menggunakan dua bawang yang berwarna putih dan kecoklat-coklatan itu.
Semua warna rasanya ada dalam kulkas ini. Semua warna tanpa aku sadar
sedang kubekukan di dalam kulkas itu. Warna hitam itulah yang menyadariku
akan motif gelap yang kumiliki untuk membekukan warna. Seluruh pelukis
akar berduka sepanjang hidupnya kalau hidup ini tidak lagi berwarna, kalau di

5 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


dunia ini seluruh warna telah mati, telah pergi. Hidup tanpa warna. Aku
tertawa kecil dengan pikiran ini. Ada sesuatu yang membuatku gelisah,
harapan-harapan tak terduga, pikiran-pikiran tak terduga. Warna hitam dan es
yang melarikan konsentrasiku dari urusan rutin sehari-hari. Terimakasih.
Terimakasih. Hallo selamat pagi. Anda baik pagi ini? Baik? Aku harap baik.
Aku harap anda bahagia. Aku harap semua kebutuhan anda tersedia pagi ini.
Aku harap anda pergi mandi dengan rasa bahagia yang menggigiti seluruh
bagian isi tubuh anda. Aku harap air menyiram tubuh anda seperti tanaman
yang mengeluarkan cahaya saat seseorang menyiram air ke tubuh tanaman
dan tanah yang membalut akarnya. Selamat pagi, saudara-saudara semua.
Selamat pagi. Tak ada ucapan yang lebih baik dari ucapan “selamat pagi”
yang anda ucapkan kepada orang yang berpapasan dengan anda. Seakan-akan
anda akan mendukung semua keputusan dan pekerjaan yang akan
dilakukannya hari ini. Selamat pagi. Hallo. Selamat pagi. Siapa yang bisa
mendengar suaraku? Tak ada siapa-siapa dalam di sini. Kecuali aku dan
tetesan hitam di kertas nota pembelian itu.

2. Gajah Putih dan Arus Listrik dari Bangkai Anjing

Aku menjadi sangat sibuk. Aku segera memesan kendaraan terbuka untuk
membawa kulkas yang berisi kertas nota dengan warna hitam itu ke kota.
Kendaraan terbuka segera datang. Aku menyewanya seharga 350 ribu untuk
mau mengangkut kulkas itu ke pusat kota. Aku berangkat dengan kendaraan
terbuka yang kini mengangkut kulkas itu. Memasuki pusat kota yang aku suka
ini. Solo. Sebuah kota dimana kita masih bisa melihat kereta berada
berdampingan dengan jalan untuk kendaraan biasa. Pada jam-jam tertentu
kereta akan lewat seperti membawa kota-kota lain ke pusat kota Solo. 5 Tahun
yang lalu, pertumbuhan kota tidak terlalu pesat. Aku menyukai sebuah kota
yang pertumbuhannya tidak terlalu pesat. Perkembangan antara kota dan
penghuninya masih seimbang. Pertumbuhan kota tidak meninggalkan
penghuninya. Tapi kini, Solo, aku kira akan tidak ada bedanya lagi dengan
kota-kota lain seperti JogJakarta atau Semarang. Pusat-pusat perbelanjaan
mulai tumbuh di mana: super market, mall, hypermart, paket-paket
perumahan, iklan-iklan raksasa yang tidak tertata di jalan-jalan umum. Tidak
akan ada lagi “kota desa”. Aku kira sebagian besar penghuni Solo lebih
banyak hidup dengan budaya desa. Kota berarti akan tumbuh menghianati
penghuninya sendiri. Pertumbuhan kota yang kian formal perlahan-lahan akan
membunuh kekuatan budaya dan ekonomi informal yang selama ini
menghidupi kota ini dengan pasar-pasar rakyat mereka yang karakternya
kuat. Becak akan menjadi kendaraan tua yang kesepian. Gajah Putih, hewan
kramat Keraton Kasunanan Kartasura di bawah raja Paku Buana II, yang
menemukan kota ini setelah Keraton Kasunanan hancur oleh pemberontakan
Sunan Kuning dan Pangeran Sambernyawa pada pertengahan abad 18,
mungkin akan kehilangan kota ini untuk kedua kalinya. Kota yang pernah
memberikan masalalu yang penuh cerita untuk warganya: sebuah daerah
rawa-rawa yang diubah menjadi kota dengan cara menyumbat sumber air
yang telah menjadikannya sebagai rawa-rawa dengan sebuah alat musik –
sebuah gong. Gong itu mereka namakan dengan sebutan Sekar Delima. Dan
sebuah sejarah lisan yang menggunakan kepala seorang penari perempuan
masih perawan yang juga ikut digunakan untuk menyumbat sumber air itu.

6 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


Inilah kota musik dan tari. Gong yang dipukul oleh air. Dan tarian penari
perempuan tanpa kepala di atas rawa-rawa. Begitu selalu aku bercerita
tentang kota ini kepada teman-temanku. Rasanya mereka senang juga seram
dengan ceritaku seperti itu tentang kota ini, dibandingkan kalau aku bercerita
bagaimana pemberontakan selalu terjadi terhadap raja, karena kemarahan
menghadapi bagaimana Raja dan Keraton tidak berdaya di bawah kekuasaan
Belanda, dimana raja harus minta ijin dulu kepada pemerintahan Belanda
hanya untuk memilih raja di antara sekian pangeran yang harus dipilih. Atau
pemberontakan karena intrik dalam Keraton. Keraton bisa dihancurkan. Raja
bisa dibunuh, dihianati atau hanya dijadikan boneka oleh kekuasaan lain. Tapi
mitos tentang Gajah Putih, gong Sekar Delima dan rawa-rawa tak bisa
dibunuh. Ia hidup dalam memori sejarah rakyat yang tulus menerima rajanya.
Aku merasa sangat bahagia pagi ini, saudara-saudara. Apakah anda bisa
merasakan kebahagiaanku? Rasanya aku ingin menyapa seluruh warga kota.
Rasanya mereka semua adalah saudaraku, sahabat handai tolanku. Rasanya
seluruh warga kota sedarah denganku. Tapi mereka tidak punya kulkas
dengan warna hitam di atas kertas nota pembelian sepatu di dalamnya. Hanya
akulah yang memilikinya. Orang lain tidak memilikinya. Karena itu aku akan
berbagi soal kebahagiaan ini. Aku tidak perduli siapa mereka. Aku hanya
membutuhkan minat mereka terhadap isi kulkas yang sedang aku bawa ini.
Akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Kulkas diturunkan dari
kendaraan dan aku letakkan di tengah perempatan jalan raya besar di pusat
kota. Aku takjub melihat kulkas itu berada di tengah, dikepung oleh empat
jalan besar yang seluruh mulutnya tertuju ke arah kulkas itu. Aku
membayangkan kulkas itu seperti Gajah Putih, hewan kramat Keraton yang
menemukan kota ini pada pertengahan Abad 18 yang lalu. Sekarang Gajah
Putih itu tidak lagi menghadapi rawa-rawa atau polisi-polisi Belanda,
melainkan menghadapi kendaraan-kendaraan berbensin yang seliweran di 4
ruas jalan raya besar itu. Seluruh mata yang berada dalam kendaraan dan
orang-orang yang menyeberang mulai memperhatikan kulkas itu. Aku mencari
arus listrik agar kulkas tetap bisa menyala. Arus listrik itu aku dapatkan dari
bangkai seekor anjing yang mati dan tergeletak di salah satu mulut jalan di
antara empat arus jalan itu. Aku tak perduli kenapa ada arus listrik dalam
tubuh anjing mati itu. Mungkin masih ada kehidupan dalam tubuhnya yang
telah mati itu. Mungkin ada kehidupan yang belum mau pergi, lalu berubah
menjadi arus listrik dalam tubuhnya yang mati. Kehidupan yang tetap berdiam
dalam tubuh bangkai. Mungkin kehidupan itu merasa mendapatkan
pengalaman yang lain ketika berada dalam tubuh yang mati bukan dalam
tubuh yang hidup. Kehidupan yang berada dalam bangkai itu memang tidak
membuat bangkai itu hidup, melainkan hidup sebagai arus listrik. Kini kulkas
telah menyala dialiri arus listrik dari bangkai anjing itu. Pintu kulkas aku
buka. Warna hitam itu … aduh warna hitam itu begitu memikat seluruh
konsentrasiku. Bawang-bawang yang tumbuh dan berdaun dalam kulkas itu …
aduh, tanaman-tanaman yang tumbuh dalam es. Orang-orang mulai
berdatangan melihat kulkasku. Aku sibuk membagikan selembar kertas dan
pulpen kepada setiap yang datang untuk menulis. Aku minta kepada mereka
untuk satu persatu menjelaskan “apakah menurut anda warna hitam itu?”
Setiap jawaban mereka ditulis di atas selembar kertas itu. Mereka senang.
Mereka sangat senang. Ibu-ibu tersipu-sipu. Aku tidak tahu kenapa mereka
tersipu-sipu. Mungkin mereka memang memiliki pengalaman yang berbeda-

7 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


beda mengenai warna hitam, dan selama ini belum pernah memiliki
kesempatan untuk berbicara tentang pengalaman mereka itu. Mereka seperti
diajak ke suatu tempat di luar dari rutinitas yang biasa mereka lakukan hari
ini. Mereka seperti dibebaskan dan diajak keluar dari rutinitas itu. Mereka
mulai sibuk menulis. Ada yang serius menuliskannya. Ada yang tersenyum-
senyum. Ada yang terkikik-kikik. Ada yang ribut saling bicara dengan
temannya. Ada yang tertawa keras. Tertawa sangat keras sehingga tawanya
semakin membawa orang-orang itu keluar dari kondisi kota. Mereka tak takut
lagi dengan kemacetan. Mereka dengan rela meninggalkan kendaraan mereka
di jalanan: motor, becak, mobil, bis, sepeda dan gerobak. Mereka
meninggalkan begitu saja pengertian tentang jalan. Jalan raya kini sudah
berubah menjadi tumpukan kendaraan yang ditinggalkan oleh para
pemiliknya. Sementara itu aku sibuk menghadapi polisi yang panik dengan
perubahan ini. Mereka akan membubarkan tindakanku yang telah membuat
kota menjadi macet. Mereka bilang tindakanku adalah politis. Tindakanku
adalah salah satu motif boikot untuk melumpuhkan seluruh jaringan akses di
kota ini. Pemerintahan kota bisa menuntutku hukuman penjara 10 tahun. Aku
bilang kepada polisi apakah kalian ini hantu atau binatang, karena kalian
sama sekali tidak berminat dengan kegairahan warga kota terhadap warna
hitam dalam kulkas itu. Keyakinan polisi untuk menjalankan tugas rutinnya
pagi ini mulai goyah. Akhirnya para polisi pun ikut sebagai warga kota yang
sibuk merumuskan tentang apa itu warna hitam di atas kertas yang aku
berikan. Seluruh kertas mulai dikumpulkan. Jumlahnya sangat banyak.
Hampir 7 ribu lembar kertas yang berisi rumusan tentang warna hitam dalam
waktu 3 jam.
Warna hitam itu adalah bunga yang pernah diberikan seseorang pada hari
pesta ulang tahunnku. Padahal dia dan aku tahu tidak ada bunga berwarna
hitam. Karena itu bunga berwarna hitam adalah bungan iblis.
Warna hitam itu adalah tempat anjingku bermain-main sepanjang hari dan
melolong di setiap malam.
Warna hitam itu adalah ibuku yang mati saat melahirkan diriku.
Warna hitam adalah dia yang menuntunku pulang ke rumah saat aku sedang
mengalami mabuk berat.
Warna hitam itu adalah suara yang sering aku dengar datang dari dalam
jiwaku.
Warna hitam itu digunakan oleh seluruh orang untuk menulis, karena dilarang
menulis dengan warna merah.
Warna hitam itu adalah celana dalam yang aku pakai hari ini. Kalau ini aku
bacakan sekarang, seluruh kota akan tahu kalau hari ini aku memakai celana
dalam berwarna hitam.
Warna hitam itu adalah bapakku yang marah-marah karena aku tidak suka
belajar.
Warna hitam itu adalah saat aku berjalan seorang diri di pantai di waktu
malam.
Warna hitam itu adalah burung yang ditembak saat masuk ke tengah kota.
Warna hitam itu adalah lelaki yang telah menghamiliku.
Warna hitam itu keren.
Lebih baik kamu memasukkan bangkai anjing ke dalam kulkasmu agar semua
orang mengerti apa itu warna hitam.
Warna hitam itu adalah rakyat yang melawan negara karena bosan.

8 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


Warna hitam itu adalah pemeriksaan KTP, SIM dan STNK.
Warna hitam itu adalah sihir.
Warna hitam itu adalah seseorang yang membeli sepasang sepatu dan ada
tetesan warna hitam di atas kertas nota pembeliannya.
Warna hitam itu harganya 800 ribu rupiah. Busyet, kenapa dia
mengembalikan lagi soal warna hitam di atas kertas nota pembelian itu
kepada diriku? Pasti orang itu telah membaca kertas nota pembelian dalam
kulkas itu. Karena di dalam nota itu tertulis tentang sepatu yang aku beli itu.
Termasuk harga sepatu 800 ratus ribu itu kan. Aku pun mulai tertarik untuk
mewawancarai mereka. Apa yang ingin anda lakukan hari ini setelah menulis
mengenai warna hitam itu? Ah, saya tidak ingin bekerja hari ini. Saya ingin
menemui kekasih saya dan bercinta dengannya. Saya ingin keluar dari
pekerjaan saya dan hidup dari apapun yang bisa saya kerjakan sendiri. Hari
ini saya ingin merampok. Mencari uang itu bukan pekerjaan. Pekerjaan
seharusnya adalah mencipta, berkarya seperti seniman, bukan mencari uang.
Uang lebih baik dirampok saja, setelah itu saya kembali berkarya, mencipta.
Hari ini saya kepingin hamil oleh lelaki manapun. Saya tidak perduli. Saya
hanya ingin merasakan ada janin yang hidup dan mengisi rahim saya yang
sudah selama 30 tahun ini kosong. Saya tidak ingin rahim saya diisi oleh
sebuah panci. Saya ingin ada janin bayi dalam rahim saya. Hari ini saya ingin
pergi entah kemana tanpa tujuan. Saya kepingin hidup tanpa tujuan. Hari ini
saya tidak mau sekolah lagi dan belajar pada apapun yang saya suka: Belajar
dari kucing bagaimana dia mencari dan memburu mangsanya. Belajar
bagaimana negara bisa punya kuping untuk mendengar dan kaki untuk
berjalan. Belajar dari tikus bagaimana caranya menggigiti batang sabun di
malam hari. Belajar bagaimana caranya membeli sepatu yang ada tetesan
warna hitam di atas kertas nota pembeliannya. Dan harganya 800 ribu rupiah.
Saya harus mencarinya di toko manapun untuk mendapatkannya. Warga kota
hari itu telah menemukan orientasi baru dalam hidup mereka. Mereka seperti
bertemu dengan diri mereka masing-masing. Aksi yang telah kubuat itu
memang di luar dugaanku. Aksi yang pada intinya telah membuat sebuah
pertemuan besar antara warga kota dengan diri mereka masing-masing.
Mereka seperti sedang membuat reoni dengan diri mereka sendiri. Mereka
lalu pulang dengan harapan baru. Matahari siang memancar seperti
mengeluarkan cahaya yang sama sekali baru. Sinarnya menerobos ke seluruh
sisi kehidupan seperti air yang merembes ke dalam kapas. Langit seperti
lukisan besar yang ikut merayakan keharuan warga kota yang pertama kali
bisa bertemu dengan diri mereka masing-masing hari itu.

3. Reoni Waktu dalam Kamar Mandi

Pagi telah datang lagi seperti sebuah gerobak yang berisi banyak muatan. Kini
aku berada dalam kamar mandi. Duduk di atas klosed memandangi bangkai
anjing dalam kamar mandi saya. Bangkai anjing yang kemarin pagi
kupergunakan untuk arus listrik agas kulkas tetap hidup dalam aksi di tengah
kota. Aku baru tahu kalau pada tubuh bangkai anjing itu juga ada tetesan
warna hitam. Tidak ada luka kutemukan pada bangkai anjing itu. Doi mati
karena seseorang telah menabraknya. Mungkin doi luka dalam. Aku lihat
memang ada sedikit darah di bibirnya yang telah mengering. Mungkin doi
mati karena ciuman yang saling menyakiti dengan pacarnya. Matanya telah

9 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


tertutup, seperti tidur yang nyenyak. Tidur yang merekam kepergian. Lama
aku memandanginya dengan konsentrasi yang tidak pernah lepas dari bangkai
anjing itu. Konsentrasi yang membawaku melihat bangkai anjing itu seperti
bahasa yang hening. Bahasa yang baru saja mandi dan tidur dengan nyenyak.
Bahasa yang tidak berisik, seperti kamus yang terbuat dari sungai dan
gemerisik daun. Bahasa yang hanya digunakan untuk membaca dan
memahami, dan bukan untuk bicara. Bangkai anjing itu lalu mulai bercerita.
Aku tidak tahu jenisnya. Aku bukan termasuk bagian dari para pencinta
anjing. Aku hanya suka dengan bangkai anjing. Tubuhku bersih dan
terpelihara, katanya. Tuanku telah memeliharaku dengan baik. Setiap hari
aku dimandikan dan diberi bedak. Tidak ada satu kutu pun yang bisa
menyelinap di antara bulu-buluku yang halus dan berwarna putih. Setiap pagi
dan malam aku bermain dengan tuanku. Tuanku selalu mengajakku bicara.
Dia banyak bercerita tentang kelakuan manusia, hingga aku banyak mengenal
soal manusia lewat tuanku. Tuanku bilang manusia itu sombong, karena telah
merayu Tuhan agar malaikat dan setan menyembahnya. Hampir setiap malam
tuanku membawaku keluar. Mengajakku melihat kehidupan di malam hari.
Apa saja yang dilakukan manusia di malam hari. Manusia itu membedakan
jenis pekerjaannya antara malam hari dan siang hari. Kadang tuanku
membawaku hanya untuk menonton seorang anak yang tertidur pulas
sepanjang malam. Aku rasanya ingin menelan kepala anak itu. Tapi tuanku
bilang, kita tidak boleh mengganggu mahluk apapun yang sedang tidur. Tidur
itu adalah pertemuan sempurna antara kita dengan hidup. Tidur itu tidak
berwarna. Tidak ada waktu yang datang dan tumbuh saat kita tidur. Tidur
adalah cinta yang tidak pernah menuntut kita akan kesetiaan dan
tanggungjawab. Tidur adalah usus, paru-paru, jantung, darah yang sedang
melakukan ritual dalam tubuh kita dan menjadikan tubuh kita sebagai kuil
tanpa dewa. Tidur adalah kematian seorang kekasih lalu nyawanya menguap
dan menjadikan embun di pagi hari sebagai tempat persemayamannya. Tidur
adalah puisi yang ditulis oleh nafas yang agung.. Siapa namamu? Tanyaku.
Kremi, jawabnya. Cacing yang tumbuh dalam perut manusia. Aku tidak tahu
kenapa tuanku memberi namaku seperti itu. Tapi aku suka mendengarnya.
Aku suka setiap tuanku memanggil namaku. Nama itu kadang-kadang
membuatku seperti hidup dalam perut manusia, hangat, amis dan berlendir.
Mungkin tuanku punya alasan tersendiri kenapa dia memberi namaku seperti
itu. Aku tidak tahu, kenapa manusia selalu ingin mencari arti. Entahlah,
namaku bisa berarti apa saja. Setiap orang bisa memberinya arti sejauh
mereka menyukaiku atau berniat meracun dan membunuhku. Bukankah perut
manusia telah menelan banyak kematian sejak pertama kali mereka mulai
makan. Perut mereka terasa hangat, mungkin sesungguhnya perut mereka
sama dengan kuburan dari banyak makanan yang mereka makan. Mungkin
tuanku menggunakan nama itu padaku sama seperti membuat batu nisan
berjalan untuk manusia. Cacing yang tumbuh dalam perut manusia. Ah,
tuanku memang memiliki selera humor yang khas tentang manusia. Siapa
tuanmu itu? Tanyaku. Tuanku adalah dia yang melarang untuk mengganggu
orang tidur, jawabnya. Tuanku sering mendatangi orang-orang sekarat yang
sedang menunggu ajal menjemputnya. Dia sering mengantar roh orang mati
menuju tempat yang akan dipilih. Kadang dia menggunakan roh orang mati
itu untuk membuat pertunjukan di malam hari. Tuanku bukan pengusaha
tempat hiburan, yang menelanjangi mayat-mayat dan membuat tontonan

10 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


tarian mayat telanjang. Tuankua senang bermain di kuburan setiap malam,
atau mengajakku bermain-main di pohon kamboja yang rindang. Menurut
tuanku, setiap daun pohon kamboja menyimpan cerita dari orang-orang yang
telah mati. Pohon kamboja seperti buku yang menyimpan kisah-kisah
kematian. Tuanku tidak suka perpustakaan. Menurut tuanku perpustakaan
adalah tempat dimana pembunuhan terhadap pikiran dilakukan sepanjang
sejarah manusia. Tiga ratus tahun yang lalu aku hidup sebagai seorang ratu di
Mesir. Aku adalah anjing titisan ratu Mesir itu. Tapi menurutku, aku adalah
titisan seorang raja dari Cina atau seorang pertapa dari India, dan bukan
titisan seeorang ratu dari Mesir. Aku bukan titisan raja Jawa atau Bali. Kalau
Raja Jawa atau Bali mati, mungkin ya mati. Tidak ada kelanjutannya lagi.
Tidak menitis. Aku tidak tahu kenapa begitu. Aku hanya seekor anjing, toh.
Wajahku lebih mirip dengan mahkota seorang raja daripada buah dada
seorang ratu Mesir. Perjalanan waktu bagiku sama dengan perjalanan kita
dalam memperbaiki visi kita tentang masalalu, bukan tentang masa depan.
Karena kita tidak tahu apa-apa tentang masa depan. Kita hanya tahu tentang
masalalu. Masa depan adalah rahasia tersembunyi di kelopak mata kita. Kalau
kita berpikir tentang masa depan, sebenarnya kita sedang mengevaluasi visi
kita tentang masalalu. Sejarah itu tidak ada. Yang ada adalah visi yang terus
berubah. Kita sebenarnya membuat masa depan dari potongan-potongan
masalalu yang kita rajut kembali menjadi baju dengan model yang lain.
Menurut tuanku, manusia tidak suka dengan pendapat ini karena manusia
ingin membuat sejarah yang lain agar hidupnya seakan-akan punya arti. Agar
dia seakan-akan telah melakukan banyak hal yang bermakna sepanjang
hidupnya. Manusia itu mahluk yang menyedihkan, karena mereka
membiarkan diri mereka menderita dengan beban seperti ini. Aku terus
memandangi bangkai anjing yang kian membusuk itu. Pantat dan kakiku mulai
kesemutan karena telah sekian jam aku duduk di atas klosed dalam kamar
mandiku. Bangkai anjing itu seperti tidur yang mengeluarkan bau busuk.
Tidur yang penuh dengan cerita yang mengeluarkan bau busuk. Sekarang aku
jadi ragu siapakah yang telah menjadi bangkai dalam kamar mandiku sendiri.
Apakah anjing itu yang telah menjadi bangkai dan mengeluarkan bau busuk?
Atau dunia cerita yang telah menjadi bangkai dan mengeluarkan bau busuk?
Berbahagialah mereka yang sedang tidur dengan nyenyak dan membuat
pertemuan sempurna dengan dirinya sendiri. Berbahagialah mereka yang
memiliki telinga untuk mendengar suara yang keluar dari langkah-langkah
waktu. Berbahagialah mereka yang bisa berjam-jam berada dalam kamar
mandi dengan seekor bangkai anjing, dan merasakan usus dalam perutnya
mulai berjalan dan menggantikan otot-otot di punggungnya. Tuanku telah
menghembuskan doa ke dalam tubuhku dengan cara meludahi mulutku setiap
pagi dan aku menelannya, lanjut bangkai anjing itu bercerita. Dari ludahnya
itu aku bisa merasakan kesepian jutaan tahun. Kesepian yang sudah abadi
sejak awal penciptaan. Kesepian dari seluruh percobaan yang terus diuji
untuk hasil yang kualitasnya terus berubah. Ludah dari kesedihan, karena
ketidakmampuannya untuk berakhir, untuk tamat, untuk selesai, untuk mati,
untuk tidak menjadi apa-apa. Ludah dari mereka yang akhirnya harus
menggunakan waktu untuk menari, membuat tarian dari waktu yang mengalir
dan merajutnya. Tarian yang di luar dirinya penuh darah, penderitaan dan
kebohongan. Seluruh lolonganku di malam hari adalah doa yang berusaha
melepaskan kawat berduri yang telah menjerat waktu ke dalam sejarah dan

11 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


semua rancangan tentang masa depan. Tetapi siapakah tuanmu itu? Ibliskah?
Tubuhku rasanya mau meledak. Kamar mandi juga mau meledak. Aku telah
menjelaskan panjang lebar mengenai tuanku, dan kamu belum puas juga.
Masih bertanya juga. Apakah kamu sebenarnya tidak mendengar seluruh yang
telah aku jelaskan tadi mengenai tuanku? Lanjut anjing itu. Aku bisa saja
mengatakan padamu bahwa tuanku itu adalah “ludah manusia” yang setiap
pagi masuk ke dalam mulutku. Pantatku rasanya mulai membusuk, seakan-
akan aku duduk di atas sebuah mayat. Aku tidak bisa lagi membedakan bau
busuk yang keluar dari bangkai anjing itu dengan yang keluar dari pantatku.
Cacing yang menari-nari sebelum memasuki sebuah lubang yang lain. Tetapi
kenapa ada tetesan warna hitam di bulumu yang putih bersih itu? Tanyaku.
Bau busuk yang keluar dari tubuh bangkai anjing itu tiba-tiba terhenti. Rasa
kesemutan yang menguasai pantat dan kakiku, yang sebelumnya aku rasakan
seperti lantai kamar mandi yang tumbuh dan merantai tubuhku di atas klosed
itu, juga tiba-tiba berhenti. Tubuhku terasa ringan. Rasanya aku tidak
memiliki tubuh lagi. Rasanya aku dan kamar mandi kini tidak ada lagi
bedanya. Aku adalah kamar mandi. Kamar mandi adalah aku. Jelas dan pasti.
Tidak ada lagi yang bisa meragukannya. Yang tetap pada tempatnya hanyalah
bangkai anjing dan grafitasi. Kalau grafitasi juga berubah menjadi kamar
mandi, maka bangkai anjing itu akan melayang-layang dalam kamar mandiku.
Bobotnya kehilangan makna dan kehilangan tempatnya untuk tetap berada
sebagai mahluk yang hidup di lantai. Warna hitam itulah yang membawaku
kepada kematianku, jawab bangkai anjing itu. Kemarin aku pergi bersama
tuanku ke sebuah toko sepatu hanya untuk menonton manusia yang membeli
sepatu. Kami menontonnya dengan teliti, menyaksikan bagaimana kaki
mereka mengganti banyak sepatu yang mereka coba untuk mereka pilih dan
mereka beli. Lama sekali kami berdua di toko sepatu itu, sampai aku bisa
mendengar detak jantung pelayan toko sepatu yang melayani setiap pembeli
seperti melayani raja yang akan memaki sepatu. Tuanku bilang manusia hanya
istimewa, karena mereka setia untuk memakai sepatu sepanjang jaman. Lalu
kami pulang. Tiba-tiba di jalan, tuanku melihat ada tetesan warna hitam pada
bulu putihku. Tuanku heran, siapa yang telah meneteskan warna hitam itu
pada bulu putihku. Aku tak tahu. Padahal tuanku baru saja memandikanku
sebelum berangkat ke toko sepatu itu. Di jalan kami akhirnya sibuk dengan
tetesan warna hitam pada bulu putihku. Tuanku bilang ini skandal, sebab
tidak ada satu pun yang luput dari pengamatan tuanku. Tuanku bisa
memasuki rahasia apapun walau disembunyikan sehalus apapun. Kesibukan
tentang tetesan warna hitam pada putih buluku itu membuat tuanku
kehilangan kewaspadaannya, hingga akhirnya sebuah kendaraan menabrakku.
Seketika aku mati. Tuanku sangat marah karena dia tidak bisa menjaga dan
menyelamatkan diriku. Usianya yang telah jutaan tahun waktu itu seakan-
akan telah menghianatinya. Seluruh pengalaman dan kemampuannya seakan-
akan tidak berfungsi lagi. Tetesan warna hitam pada putih buluku rupanya
telah menumpulkan semua kekuatan yang dimiliki tuanku. Jadi iblis pun tidak
tahu asal tetesan warna hitam itu? Tanyaku. Tuanku bukan seorang iblis,
jawab anjing itu. Tuanku hanyalah seorang penulis yang pernah menulis di
atas bangkai tubuh seorang nelayan yang mati di atas perahunya, karena
waktu itu tidak ada kertas untuk menulis. Tuanku tidak mungkin menulis di
atas tubuh ikan, karena tubuh ikan licin. Tuanku tidak akan membiarkan
kalimat-kalimat yang ditulisnya berenang-renang dalam air. Dia lebih suka

12 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


menulisnya di atas mayat seorang nelayan sebelum kemudian nelayan itu
dikubur oleh keluarganya.

4. Proyek Ingatan, Waktu dan Cinta

Aku kira aku ttidak sedang merebus batu untuk makan siangku. Sejak aku
menerima kertas nota pembelian sepatu yang ada tetesan warna hitamnya itu,
banyak hal yang tidak kuduga aku alami. Dan aku mengikutinya seperti
seekor anjing yang mengikuti tuannya. Dan seperti anjing itu pula, di tengah
jalan, yang tidak tahu kemana tuannya akan pergi, tiba-tiba sebuah kendaraan
menabraknya dan mati. Kremi. Begitu pula halnya dengan diriku.
Pertemuanku dengan Kremi membawaku ke banyak hal. Tetapi di tengah
jalan, sebelum tahu apa sebenarnya yang sedang aku alami, tiba-tiba cerita
mati. Bangkai anjing itu tidak bercerita lagi. Aku seperti seorang yang tiba-
tiba mati muda di tengah sebuah jalinan cerita yang dibawa Kremi. Lalu aku
menguburkannya. Tidak mungkin aku memasukkan bangkai anjing itu ke
dalam kulkas. Aku tak tahu siapa sebenarnya yang telah meninggalkanku di
tengah jalan seperti ini, persis sama dengan aksi kulkas yang aku lakukan di
tengah perempatan jalan kemarin pagi. Aku telah menguburkan bangkai
anjing itu. Tapi rasanya bangkai anjing itulah yang telah mengubur diriku
dengan cara kematian dan cerita-ceritanya yang berlangsung hampir dua hari
ini setelah peristiwa aksi kulkas di perempatan jalan. Kremi harus melalui
kematiannya sendiri untuk bisa membocorkan kisah-kisahnya kepadaku. Aku
tak bisa membayangkan bagaimana kalau perkenalanku dengan Kremi
berlangsung lebih awal, sejak dia masih hidup dan bukan setelah mati. Seperti
telah terjadi pertukaran yang mahal antara nyawa Kremi dengan kisah-kisah
yang dialaminya untuk sampai kepadaku. Dan dia membiarkan dirinya mati
hanya agar kisah-kisahnya bisa hidup dan menempuh jalannya sendiri. Aku
harus kembali ke tetesan warna hitam di kertas nota pembelian sepatuku
tempo hari, awal dari semua kejadian yang membuatku kini berdiri di depan
kuburan Kremi. Aku tahu tidak ada yang berubah dengan tetesan warna hitam
itu. Tapi aku terus mengamatinya seperti mengamati waktu yang bergerak
detik demi detik. Berhari-hari mataku tidak pernah lepas dari tetesan hitam
itu. Kegiatan seperti itu terus kulakukan dengan sabar, hati-hati. Pikiranku
semakin menyempit, semakin fokus ke seputar tetesan hitam itu. Bersama itu
pula berbagai ingatan dan kenanganku mulai menguap, berjatuhan seperti
daun gugur. Nama-nama, berbagai peristiwa, tempat dan waktu kejadian,
berbagai referensi mulai menghilang dari ingatanku. Pikiranku seperti pohon
yang ditinggal pergi oleh daun-daunnya dan menjelang tumbang. Dunia di
luarku menguap seperti bongkah-bongkah es yang meleleh di bawah sengatan
matahari musim panas. Seperti hembusan angin kencang yang mengikis
bukit-bukit pasir di padang pasir. Pikiranku kini hampir seperti kertas putih
yang kosong. Pikiranku kian jarang memerintahkan tubuhku untuk melakukan
sesuatu. Lalu aku mulai merasakan ada pengait yang lepas dari dengkulku.
Tulang tempurung dengkulku ternyata lepas. Aku melihat saat-saat kakiku
pergi meninggalkan diriku. Aku juga melihat saat-saat tanganku pergi
meninggalkan tubuhku. Kini aku hampir tak bergerak lagi, diam bersama
tetesan warna hitam itu. Aku kembali merasakan 50 tahun berlalu melewati
tubuhku. Usus di perutku kembali bergerak memenuhi punggungku.
Bagaimana kini aku harus melihat diriku? Kening yang kesepian tanpa pikiran

13 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


yang hidup. Aku sedang bergerak dalam satu arus yang detilnya bisa aku
rasakan sangat rinci, seperti gerimis pagi hari. Seperti suara orang menyapu
dengan sapu lidi. Dalam arus itu aku melihat tubuhku yang utuh sedang
berjalan mundur dalam keadaan telanjang meninggalkanku. Tubuh itu telah
menjadi milik cinta. Aku menangis melihatnya, melihat cara yang
dilakukannya untuk mulai melakukan sesuatu tanpa diriku. Tetesan warna
hitam itu telah membawa pengertian padaku tentang sebuah lembah yang
telah 50 tahun menunggu tubuhku. Lembah waktu. Lembah tempat cinta tidak
dipertanyakan kembali. Lembah tempat tubuhku menentukan dirinya sendiri.
Aku penuh haru melihatnya. Selamat pagi, saudara-saudara. Selamat datang
di lembah waktu. Aku bisa melihat bagaimana tubuhku membuat musim semi
yang penuh warna. Daun-daun yang membuat warna dari semua mereka yang
telah mati. Tubuhku bergerak dengan mengharukan tanpa pikiran yang
menguasainya. Dia seperti menari. Dia seperti kremi, cacing-cacing yang
tumbuh dalam perut manusia. Dia memancarkan bau sinar matahari. Dia telah
keluar dari “proyek tentang ingatan” untuk bertemu dengan kosmologinya
sendiri. Aku ingin mengejarnya. Memeluknya, hanya untuk mendengar
percakapan tentang waktu dan cinta yang bertemu dalam tubuhku yang
sedang berjalan mundur meninggalkan diriku itu. Aku seperti melihat
Narsisus yang bangkit dari kuburnya dengan jubah air dari kolam yang
pernah membunuhnya, hanya karena dia ingin melihat wajahnya sendiri
dalam pantulan permukaan air kolam. Hari semakin sore, seperti lubang kunci
yang sebentar lagi akan ditutup. Sekarang tak ada lagi tubuh yang aku kuasai
atau yang dia menguasaiku. Perpisahan dengan tubuhku seperti perpisahan
dengan semua kesibukan peradaban. Sekarang, panggil aku dengan sebutan
“Kremi”. Itulah namanku. Aku bukanlah titisan dari siapa pun. Walau aku
sering didatangi oleh waktu yang datang dari seratus tahun lalu yang seakan-
akan pernah kukenal dan kualami. Aku adalah hasil kesibukan daur ulang
yang cacat. Karena itu tubuhku lalu pergi menempuh jalannya sendiri,
mencari kehidupan lain sebagai daging yang melihat dan mendengar. Daging
yang menolak untuk berpikir, justru karena ia bisa melihat dan mendengar.
Suatu hari kalau aku berjumpa lagi dengannya, mungkin dia akan bercerita
tentang makan malamnya yang lain. Makan malam yang tidak biasa. Aku tidak
tahu apa yang akan terjadi setelah itu. Mungkin dia baru sadar tentang
matahari pagi, sebuah fajar, yang memenuhi seluruh keharuannya, yang
membuat kemilau yang lain di atas permukaan sungai, yang membuat setiap
daun adalah planet-planet kecil dalam tatanan cahaya, setelah dia berhasil
melepaskan rantai manusia dari lehernya.

5. Perubahan Obat Nyamuk

Setelah peristiwa Kremi, saya sudah tidak bisa lagi melihat diri saya. Saya
hanya bisa merasakan. Jadi saya tidak perlu lagi sibuk keramas agar rambut
saya tidak kotor. Sekarang saya sedang berdiri di atas lingkaran obat nyamuk
yang menyala. Dan saya melihat kembali semua cerita dari bangkai anjing itu
dalam lingkaran obat nyamuk ini, yang baranya terus merambat seperti
membuat jejak-jejak api dan abu. Beberapa saat lagi bara api itu akan sampai
ke saya juga. Saya tidak tahu apakah saya akan meninggalkan obat nyamuk
itu kalau baranya telah sampai ke saya? Atau saya membiarkan diri saya
menjadi bagian dari yang akan terbakar oleh bara yang merambat dalam

14 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


lingkaran obat nyamuk itu? Saya juga tidak tahu apakah saya akan terbakar.
Kalau saya terbakar, siapakah yang akan jadi korban dari bau asap yang
keluar dari diri saya yang terbakar itu? Siapakah yang akan jadi korban?
Tetapi siapa yang telah membawa saya berada dalam lingkaran obat nyamuk
yang sedang menyala ini, dan menjadi kunci dari lingkaran obat nyamuk ini?
Siapa yang telah merancang obat nyamuk dalam bentuk lingkaran? Di luar,
pohon pepaya, dan lampu neon 10 watt di pintu pagar bambu sedang
membuat malam. Di laci meja yang terbuka, aku lihat selembar kertas yang
telah menguning. Selembar kertas nota pembelian sepasang sepatu. Mungkin
pembelian sepatu yang pernah dilakukan mertua saya dan masih tersimpan
hingga sekarang. Nota itu tertanggal: 26 Maret 1954, dikeluarkan oleh Toko
Sepatu Bagus. Tapi tak ada tetesan warna hitam di atas nota itu. Pikiran saya
bekerja dengan cepat karena penemuan ini. Saya buka kertas nota pembelian
sepasang sepatu yang saya miliki 2 hari yang lalu. Nota itu bertuliskan
tanggal dan tahun yang sama: 26 Maret 1954. Padahal 2 hari yang lalu saat
aku membeli sepasang sepatu itu adalah tanggal 25 Januari 2005. Nama
tokonya juga sama: Toko Sepatu Bagus. Jadi 51 tahun yang lalu. Saya telah
berjalan mundur ke 51 tahun yang lalu. Seperti ada kekuatan waktu yang
mendorong saya untuk menemui sesuatu pada 51 tahun yang lalu. Dan saya
berjalan untuk sampai ke sana dengan menggunakan lingkaran obat nyamuk.
Saya masih bersukur tidak bertemu dengan Sunan Kuning atau Pangeran
Sambernyowo dalam toko sepatu itu. Sekarang saya sudah ada di bara
terakhir, lingkaran terkecil, pusat lingkaran, titik habis dari sisa bara pada
obat nyamuk itu. Saya mulai melihat warna dinding rumah saya mulai
berubah, seperti warna kulit kepala manusia. Lalu dari sana, dari dinding-
dinding itu, mulai tumbuh rambut. Rambut yang terus memenuhi seluruh
dinding. Rambut yang terus memanjang. Rambut hitam yang ikal. Dan angin
mulai berhembus membuat rambut itu mulai menari-nari. Tiba-tiba saya
teringat kembali sejarah lisan tentang kota Solo, yang menggunakan kepala
seorang penari perempuan untuk menyumbat sumber air agar tanah Solo
tidak berawa-rawa. Rambut yang menari. Rambut yang telah memenuhi
dinding itu kini mulai menghisap satu persatu seluruh benda yang berada
dalam rumah saya. Kursi, meja, komputer, tv, selamat tinggal. Kulkas, piring,
kompor, sendok garpu, panci, penggorengan, selamat tinggal. Tempat tidur,
kasur, lemari, pakaian, tas, selamat tinggal. Gayung mandi, ember, baskom,
handuk, sepatu, selamat tinggal. Buku-buku, koran, majalah, gergaji, palu,
tang, obeng, payung, selamat tinggal. Sapu, sisir, gelas, bantal, selamat
tinggal. Saya tidak tahu apa artinya waktu dan manusia tanpa benda-benda
itu. Rumah jadi bersih, seperti tak berpenghuni. Sebuah garis saya rasakan
muncul dari bara lingkaran obat nyamuk, pada titik paling akhir saya berdiri.
Garis tajam dari sebuah kaleng berbentuk panah yang digunakan untuk
menyanggah obat nyamuk itu. Angin tiba-tiba berhenti berhembus. Kehidupan
seperti berhenti. Waktu seperti berhenti. Semuanya seperti sedang
menunggu. Menunggu kehidupan yang lain. Saya mulai mengerti dimana
Kremi saya kuburkan kemarin. Saya mulai mengerti Kremi telah kembali lagi.
Kremi telah menitis kembali untuk kesekian kalinya dari lingkaran titisan
yang harus dijalaninya. Saya seperti mendengar suara gamelan yang ditabuh
dan tembang yang dinyanyikan. Suaranya seperti datang dari rawa-rawa.
Gambaran yang kabur tentang gajah putih yang berjalan mengelilingi sebuah
pohon beringin besar. Sebuah truk lalu menabrak gajah itu. Saya

15 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna


merasakannya. Saya merasakan bagaimana rambut yang memenuhi dinding
itu mulai menghisap diri saya. Memeluknya dalam serat-sertanya yang
menyimpan banyak cerita. Saya masih sempat melihat sebuah titik terkecil
dari bara obat nyamuk itu yang masih menyala. Dan di sana, dari kerimbunan
hutan jati. Sebentar lagi fajar akan menyingsing dari balik leher waktu.***

16 | Monolog Nyamuk Dari Kremi karya Afrizal Malna

Anda mungkin juga menyukai