Anda di halaman 1dari 17

Naskah drama yukio mishima

MALAM TERAKHIR
(Sotoba Komachi)
Karya : Yukio Mishima
Diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar

Para Pelaku : Perempuan Tua


Penyair
Laki-Laki Pertama
Laki-Laki Kedua
Laki-Laki Ketiga
Perempuan Pertama
Perempuan Kedua
Perempuan Ketiga
Agen Polisi
Beberapa Penari
Beberapa Pasangan Kekasih
Beberapa Pengemis
Beberapa Pelayan Rumah Makan

PEREMPUAN TUA : Satu ditambah satu, dua, dua ditambah dua lagi, empat (Dia
memegang sebuah puntung rokok di bawah cahaya lampu, danketika dilihatnya rokok itu
masih cukup panjang, dia kemudian pergi menuju PASANGAN KEKASIH di sebelah
kirinya untuk meminta api. Sesudah itu dia duduk lagi dan mengisap rokoknya. Setelah
beberapa isap dia memadamkan lagi sigaretnya, dan melemparkannya ke samping puntung-
puntung rokok lainnya di atas sehelai kertas Koran. Kemudian dia mulai menghitung lagi)
Satu ditambah satu, dua; dua ditambah dua, empat

PENYAIR : (Pergi berdiri di belakang PEREMPUAN TUA itu dan memperhatikan apa
yang sedang dilkukannya)

PEREMPUAN TUA : Kau mau merokok ? Silakan.

PENYAIR : Terima kasih.

PEREMPUAN TUA : Masih ada keperluan lainnya ? Mungkin ada yang ingin kau
sampaikan ?
PENYAIR : Tidak. Tidak begitu penting soalnya.

PEREMPUAN TUA : Aku tahu kau siapa. Kau seorang penyair. Itulah keahlianmu.

PENYAIR : Rupanya kau tahu betul keadaanku. Ya, sekali-sekali aku menulis sajak. Tentu.
Tetapi itu bukan bisnis, bukan perusahaan.

PEREMPUAN TUA : Begitu pendaptmu? Pasti karena kau tidak bisa menjual sajak-
sajakmu, bukan? Kau masih muda, bukan? Tetapi kau tidak akan lama lagi hidup. Tampak
malaikat maut sudah tercoreng di atas keningmu.

PENYAIR : Apa pekerjaanmu di masa yang lalu? Peramal? Dapatkah kau meramal melalui
garis tangan, melalui kerut-kerut pada muka?

PEREMPUAN TUA : Mungkin Aku melihat begitu banyak manusia dalam hidupku,
sehingga muka mereka itu tidak bicara apa-apa lagi kepadaku Duduklah! Aku kira kau
sudah tidak begitu tetap lagi berdiri.

PENYAIR : Ini disebabkan karena aku baru saja minum-minum.

PEREMPUAN TUA : Eh Selagi kau masih hidup kau harus berdiri dengan kedua kakimu
di atas tanah.

PENYAIR : Dengarlah, ada sesuatu yang sangat ingin kuketahui selama ini, sehingga
terpaksa aku harus menanyakannya padamu. Mengapa kau saban malam dating ke mari
pada waktu yang sama dan mengusir semua pasangan itu dari bangku mereka?

PEREMPUAN TUA : Bangku itu bukan milikmu sendiri, bukan? Mau apa kau sebenrnya?
Apakah kau seorang pengembara? Apakah kau harus meminta sedekah kepada orang-orang
yang duduk di sini?

PENYAIR : Tidak. Tetapi bangku itu tidak bisa menyampaikan kejengkelannya. Karena
akulah yang harus menyampaikannya untuk dia.

PEREMPUAN TUA : Aku tak pernah mengusir orang. Mereka dengan sendirinya pergi
menjauh kalau aku duduk di sini. Lihat saja, bangku ini bisa diduduki oleh empat orang.

PENYAIR : Malah hari bangku-bangku itu untuk orang-orang yang sedang berkasih-
kasihan. Kalau aku malam-malam melewati taman ini dan pada setiap bangku aku melihat
pasangan semacam itu duduk di atasnya, dalam hatiku aku selalu merasa bukan main
tenteramnya. Kalau aku melewati mereka maka aku berjalan dengan bersijingkat. Bahkan
kalau aku merasa letih, atau tiba-tiba aku kehilangan ilham, sehingga aku mau duduk untuk
mengumpulkan gagasan-gagasanku, akupun tidak melakukannya. Karena rasa hormatku
kepada Tetapi kau langsung saja duduk. Telah berapa lama sebenarnya kau biasa datang
ke mari?

PEREMPUAN TUA : Ah, sekarang baru aku mengerti maksudmu! Tempat ini agaknya
merupakan padang perburuanmu. Engkau datang ke mari untuk keperluan perusahaanmu.

PENYAIR : Perusahaanku? Apa maksudmu sebenarnya?

PEREMPUAN TUA : Yah, maksudku, kau di sini mengumpulkan kesan-kesan, impresi-


impresi yang kemudian kau olah menjadi sajak-sajak.

PENYAIR : Jangan beromong-kosong! Teman, orang-orang yang berkasih-kasihan, lentera-


lentera apakah kau betul-betul mengira aku menulis tentang soal-soal konyol itu?

PEREMPUAN TUA : Kalau waktunya sudah cukup lama berlalu, maka soa-soal itu tidak
akan konyol lagi. Cobalah sebutkan padaku satu soal yang pada waktunya tidak bersifat
konyol.

PENYAIR : Kau punya gagasan-gagasan yang betul-betul menarik! Kau hampir-hampir


berhasil memaksaku untuk mengajukan suatu pembelaan bagi bangku ini.

PEREMPUAN TUA : Ya Tuhan, kau betul-betul menjemukan! Kau Cuma mau berkata
bahwa aku terlalu hina untuk bangku ini. Atau bukan begitu barangkali?

PENYAIR : Terlalu hina? Kau seorang yang murtad!

PEREMPUAN TUA : Jalan fikiran remaja masa kini betul-betul bagus! Aku terpaksa harus
mengatakannya.

PENYAIR : Dengarkan sekarang Aku tidak lebih dari kelihatannya, seorang kuli tinta,
yang isteri untuk mengurus pun tidak punya. Tetapi ada sesuatu yang kuhormati: yakni
dunia ini, sebagaimana terpantul dalam mata anak-anak muda yang sedang jatuh cinta, dan
yang seratus kali lebih indah dari kenyataan ya, aku menaruh rasa hormat kepadanya.
Lihatlah, mereka sedikit pun tidak tahu bahwa kita sedang memperbincangkan mereka.
Mereka sedang melambung ke langit, sampai di atas bintang-bintang. Bahkan wajah mereka
pun bersinar laksana bintang. Dan bangku di sini ini, bangku ini ibarat sebuah tangga yang
menuji ke langit, menara pengawas paling tinggi di dunia, suatu pos pengenal yang paling
baik. Kalau ada seorang pemuda yang duduk di sini bersama gadinya, maka dia akan dapat
emlihat semua kota di dunia. Tetapi kalau aku berdiri di sini, maka aku tidak melihat apa-
apa, tidak melihat suatupun Atau lebih baik tentu saja aku selalu melihat sesuatu
sejumalh bangku seorang lelaki dengan lentera saku, aku kira dia seorang agen polisi
Dua buah mobil yang saling berpapasan. Tanpa mengurangi sorot lampunya. Dan apa itu?
Sebuah mobil penuh dengan bunga-bunga! Seniman-seniman yang baru kembali dari
konser? Atau suatu upacara penguburan? Hanya itulah yang dapat kulihat.

PEREMPUAN TUA : Omong-kosong! Aneh sekali kau bisa menaruh hormat kepada hal-
hal semacam itu! Maka aku bisa mengerti kalau kau menulis sajak-sajak yang tidak dibeli
orang.
PENYAIR : Bukan, bukan. Justeru oleh karena itu aku tidak pernah duduk di atas bangku-
bangku itu. Selama kau dan aku duduk di atasnya maka bangku-bangku itu tidak lain
kecuali bangku-bangku kayu yang papa. Tetapi apabila mereka duduk di atasnya maka
bangku itu akan menjadi semacam kenangan. Dan bangku itu bisa menjadi lebih empuk dari
sebuah dipan dan hangat oleh percikan-percikan api yang keluar dari pelukan-pelukan
mereka Kalau kau duduk di sini maka semuanya menjadi begitu dingin seperti makam,
bangku-bangku itu seakan-akan batu nisan. Aku tidak tahan.

PEREMPUAN TUA : Kau masih muda, masih plonco sekali, kau tidak melihat benda-
benda itusebagaimana adanya.. Kau beranggapan bahwa bangku-bangku tu menjadi hidup
jika ada seorang pemuda tolol bersama pacarnya duduk di atasnya. Janganlah begitu bodoh!
Mereka saling memeluk di atas makam mereka. Lihat, betapa pucatnya mereka, betapa
pucat-lesinya mereka, dalam cahaya hijau yang melalui daun-daun menyelinap dari jalan.
Mata mereka terpejam. Tidakkah mereka kelihatan sebagai mayat? Mereka mati selagi
bercumbu. Benar, benar bau bunga. Bunga-bunga di taman malam hari baunya sama kuat
dengan bunga-bunga di dalam peti mati. Dan semua pasangan yang sedang jatuh cinta itu
membiarkan dirinya terkubur dalam bau bunga-bunga itu. Satu-satunya yang hidup di sini
ialah kau dan aku.

PENYAIR : Apakah kau kira dirimu lucu? Apakah kau betul-betul beranggapan bahwa kau
hidup dan mereka tidak?

PEREMPUAN TUA : Tentu saja. Sekarang umurku sembilan puluh sembilan tahun, tetapi
lihatlah, betapa sehatnya aku!

PENYAIR : Sembilan puluh sembilan?

PEREMPUAN TUA : Ya, perhatikan aku baik-baik!


PENYAIR : Mengerikan. Segala kerut-kerut itu.

PEREMPUAN PERTAMA : Mengapa engkau? Mengapa kau bersikap begitu sekonyong-


konyong?

LAKI-LAKI PERTAMA : Mari, kita pergi. Nanti kita masuk angin!

PEREMPUAN PERTAMA : Tidak, kau kelihatannya seperti merasa jemu sekali!

LAKI-LAKI PERTAMA : Tidak, sama sekali tidak. Aku justeru teringat akan sesuatu, akan
sesuatu yang menyenangkan.

PEREMPUAN PERTAMA : Begitu? Kalau begitu teringat akan apa?

LAKI-LAKI PERTAMA : Akan ayam-ayamku. Ayam-ayam itu besok pasti akan bertelur
sebutir.

PEREMPUAN PERTAMA : Apa maksudmu berkata begitu?

LAKI-LAKI PERTAMA : Apa maksudmu berkata begitu? Tidak ada. Sama sekali tidak
ada.

PEREMPUAN PERTAMA : Jadi, kau tidak bermaksud apa-apa! Tetapi bagiku itu ada
artinya. Itu berarti bahwa hubungan kita putus.

LAKI-LAKI PERTAMA : Ayuh, cepatlah. Lihat trem terakhir itu sudah datang. Kita mesti
lari.

PEREMPUAN PERTAMA : Kau selalu memakai dasi yang jelek!

PEREMPUAN TUA : Syukurlah! Kedua orang itu setidak-tidaknya menjadi hidup lagi!

PENYAIR : Bintang-bintang di langit mereka telah sirna. Mengapa kau berani mengatakan
bahwa baru sekarang mereka menjadi hidup lagi?

PEREMPUAN TUA : Aku tahu bagaimana kelihatannya muka seseorang yang baru
kembali lagi kepada kehidupan Aku cukup sering melihatnya. Muka semacam itu
memperlihatkan kejemuan yang luar biasa dan pemandangan semacam itu menyenangkan
hatiku Lama berselang, ketika aku masih muda, aku baru merasa hidup kalau aku merasa
pusing. Aku baru merasa hidup kalau aku lupa sama sekali akan diriku. Kemudian aku sadar
kalau aku keliru. Kalau kau masih punya perasaan, bahwa hidup di dunia ini sangat
menyenangkan kalau bunga yang paling kecil masih nampak seperti sebuah katedral dank
au mengira bahwa burung-burung merpati yang terbang melintas bernyanyi dengan suara
manusia kalau setiap orang yang kaujumpai dengan gembira mengucapkan selamat
siang kepadamu dan benda-benda yang sepuluh tahun yang lalu sia-sia saja kaucari tiba-
tiba berdiri menantikanmu di lemari dapur kalau semua gadis nampak seperti permaisuri,
dan mawar-mawar sudah bersemi lagi pada semak-semak yang layu ya, dan semua itu
adalah hal-hal yang paling tidak sepuluh hari sekali pernah kau alami ketika aku masih
muda dahulu, maka tetapi tidak kalau aku sekarang teringat lagi akan hal itu, maka aku
pun tahu bahwa semua itu adalah penipuan terhadap diri sendiri, sehingga kebusukan dalam
segalanya saja pun aku tidak dapat melihatnya, karena aku seolah-olah mati semakin
jelek anggurnya, semakin cepat kau menjadi mabuk. Di tengah-tengah kemabukanku, di
tengah-tengah perasaan dan air mataku aku mati. Sesudah itu sikapku untuk tidak minum-
minum lagi sebagai azazku. Itulah seluruh rahasia hidupku yang panjang. Fikiranku sehat.

PENYAIR : Amboi! Tetapi kalau begitu apa sebenarnya makna hidup?

PEREMPUAN TUA : Apa sebabnya aku hidup? Bukankah kenyataan kehadiranku dengan
sendirinya sudah merupakan suatu makna? Aku bukanlah seekor kuda yang berlari-lari
untuk mendapatkan gula-gula! Kuda-kuda memang untuk disuruh berlari, tetapi manusia?

PENYAIR : Lajulah, lajulah kuda kecilku. Jangan melihat ke kanan atau ke kiri

PEREMPUAN TUA : Ikuti saja baying-bayang. Bekas jalan kereta

PENYAIR : Kalau matahari terbenam, baying-bayang jadi lebih panjang.

PEREMPUAN TUA : Bayang-bayangnya melengkung. Bayang-bayang itu hilang dalam


kelam malam. (Selagi mereka berbicara, PASANGAN-PASANGAN YANG SEDANG
KASIH-KASIHAN di kanan-kiri mereka sama berdiri tegak dari bangku mereka dan pergi)

PENYAIR : Wahai, Ibu, masih ada sesuatu yang ingin kutanyakan Siapa namamu
sebenarnya?

PEREMPUAN TUA : Mereka dulu memanggilku Komachi.

PENYAIR : Siapa yang memanggilmu begitu?

PEREMPUAN TUA : Semua laki-laki yang pernah memuja kecantikanku telah meninggal.
Dan sekarang aku punya peraaan, bahwa setiap orang yang mengatakan aku cantik harus
meninggal.
PENYAIR : Kalau begitu aku mujur. Aku baru berjumpa denganmu setelah kau berumur
sembilan puluh sembilan tahun!

PEREMPUAN TUA : Benar, kau beruntung Tetapi hanya seorang gila seperti kau
mungkin menyangka bahwa setiap perempuan cantik jadi jelek dengan berlalunya tahun.
Tetapi itu suatu kekeliruan besar. Seorang perempuan cantik akan tetap perempuan cantik
selalu. Juga kalau sekarang ini aku nampanya jelek, sebenarnya aku ini hanya perempuan
cantik yang jelek belaka. Aku sudah begitu sering, dan dari sekian banyak fihak, mendengar
betapa mempesona kelihatannya aku, sehingga selama tujuh puluh, delapan puluh tahun
terakhir ini aku tak punya kebutuhan lagi untuk berpikir lain tentang hal itu. Aku masih
selalu memandang diriku sebagai seorang perempuan cantik yang mempesona.

PENYAIR : Mestinya adalah suatu beban yang berat untuk menjadi seorang yang cantik
aku dapat memahaminya. Seorang laki-laki yang pernh mengalami peperangan, selama-
lamanya tetap terkenang akan peperangan. Sudah barang tentu dahulu kau pernah cantik

PEREMPUAN TUA : Apa katamu? Aku masih tetap cantik!

PENYAIR : Ya ya, tentu saja, aku mengerti. Mengapa kau tidak mau bercerita barang
sedikit mengenai masa remajamu kepadaku. Apa yang pernah kau alami delapan puluh
atau barangkali sembilan puluh tahun. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi delapan puluh
tahun yang lalu.

PEREMPUAN TUA : Delapan puluh tahun yang lalu aku baru berumur sembilan belas
tahun. Kapten Fukaksa dari pasukan pengawal Kaisar. Sangat terpsona olehku.

PENYAIR : Bagaimana kalau aku berbuat seolah-olah aku kapten itu siapa namanya tadi?

PEREMPUAN TUA : Jangan berangan-angan! Dia seratus kali lebih tampan dan lebih
gagah daripada kau Benar, dan ketika itu aku berkata kepadanya, bahwa aku akan
memenuhi keinginannya yang paling luhur, kalau dia sudah seratus kali mengunjungiku.
KEmudian tibalh malam yang keseratus itu. Ketika itu di kebun istana Rokumee
diselenggarakan sebuah pesta, dan semua orang yang gemar akan kesenangan duniawi
hadir. Aku agak merasa letih karena udara pana di dalam, dan aku duduk di atas sebuah
bangku, untuk menghirup hawa segar Astaga! Orang-orang dari seluruh kota
kelihatnnya mengadakan rendevous di sini.

PENYAIR : Maksudmu para wanita dan pria yang gagah-gagah itu?


PEREMPUAN TUA : Tentu saja! Bagaimana kalau kita berdansa pada irama wals sekarang
ini agar yang lain menjadi kesal?

PENYAIR : Aku berdansa dengn kau?

PEREMPUAN TUA : Jangan lupa: kau Kapten Fukaksa sekarang. (TIGA PASANG
REMAJA, yang berpakaian menurut mode tahun 1880, muncul sambil berdansa dengan
irama wals.

PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu juga berdansa. Ketika musik berhenti, ORANG-
ORANG LAINNYA berkerumun mengelilingi PEREMPUAN TUA Itu)

PEREMPUAN PERTAMA : Komachi! Kau kelihatan sangat cantik lagi malam ini!

PEREMPUAN KEDUA : Kau membuatku iri. Dari mana kau peroleh pakaianmu yang
indah itu?

PEREMPUAN TUA : Tentu saja dari Paris! Aku telah mengirimkan ukuran-ukuran
tubuhku kepada Maison Piquet dan kemudian menyuruh membuat pakaian itu di sana.

PERMPUAN PEREMPUAN : Benar begitu?


PEREMPUAN KETIGA : Ya, kalau tidak begitu tidak mungkin. Apa yang mereka buat di
Jepang sini selalu begitu kampungan.

LAKI-LAKI PERTAMA : Tidak sangsi lagi. Mengapa harus kau pusingkan? Kau mau
tidak mau harus mendatangkan pakaianmu dari luar negeri.

LAKI-LAKI KEDUA : Tepat. Danitu juga berlaku buat kami. Adakah kalian melihat rok
yang di pakai Perdana Menteri semalam? London. Kota ini masih tetap merupakan kiblat
buat pakaian laki-laki. (Sambil tertawa dan bercakap-cakap, PEREMPUAN-PEREMPUAN
itu membentuk sebuah lingkaran di seputar PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu.
KETIGA LAKI-LAKI itu duduk di atas sebuah bangku sambil bercakap-cakap)

LAKI-LAKI KETIGA : Komachi betul-betul mempesona!

PEREMPUAN KETIGA : Memang, dalam sinar bulan seperti sekarang ini seorang tukang
tenung pun akan kelihatan cantik!

LAKI-LAKI PERTAMA : Ya, tetapi dalam sinar matahari yang terang benderang sekalipun
Komachi akan kelihatan cantik, dan dalam sinar bulan jadinya dia kelihatan betul-betul
seperti bidadari, dan
LAKI-LAKI KEDUA : Ya, dan anda akan kehilangan kata-kata anda.

LAKI-LAKI KETIGA : Ya, dan dia pandai pula menjauhkan para pria dari dirinya! Dan
karenanya mereka banyak pula bergunjing tentang dia

LAKI-LAKI PERTAMA : Dia betul-betul seorang dara maksudku dia masih perawan. Ini
sungguh-sungguh apa yang biasa kaunamakan suatu histoire scandaleuse!

LAKI-LAKI KEDUA : Kapten Fukaksa sangat tergila-gila kepadanya. Adakah kalian


melihat betapa pucat dan kurusnya dia? Seolah-olah dia tidak pernah makan apa-apa.

LAKI-LAKI KETIGA : Sehari-harian dia tidak berbuat lain kecuali menulis sajak-sajak
untuk Komachi, dan tugas-tugasnya sebagai perwira sama sekali dilalaikan. Justeru suatu
hal yang aneh bahwa, para perwira pengawal lainnya masih mau bergaul dengan dia!

LAKI-LAKI PERTAMA : Apakah salah satu dari kita masih mungkin mendapat
kesempatan menurut pendapatmu?

LAKI-LAKI KEDUA : Haha! Yang kucapai tidak mungkin lebih jauh dari suatu espoir,
aku Cuma bisa berharap.

LAKI-LAKI KETIGA : Tidak, mengenai hal itu aku tidak punya pengharapan lebih besar
daripada une sardino.

LAKI-LAKIPERTAMA : Ya, aku akan lebih cepat sampai di dalam kaleng atau jarring,
daripada di tempat tidurnya Dan begitu pula keadaannya dengan aku. Ah! Yang paling
menjengkelkan dari ikat pinggang Eropah dia selalu menjadi terlalu sempit setelah makan.
(Dua orang PELAYAN muncul. Yang seorang menghidangkan sebuah baki dengan
cocktail, yang seorang lagi menghidangkan sebuah baki dengan hors doeuvres. SEMUA
ORANG mengambil hidangan. Hanya PENYAIR itu memandang seperti terpukau kepada
PEREMPUAN TUA. KETIGA ORANG PEREMPUAN itu, sambil memegang sebuah
gelas di tangannya masing-masing, duduk di atas sebuah bangku yang terletak berhadapan
denganbangku PARA LAKI-LAKI itu)

PEREMPUAN TUA : Aku mendengar bunyi gemercik air di suatu tempat, tetapi aku tidak
melihat apa-apa. Aneh rasanya seperti sedang hujan nun di kejauhan.

LAKI-LAKI PERTAMA : Suaranya merdu sekali! Begitu jernih laksana gemercik mata air.

PEREMPUAN PERTAMA : Kalau mendengar dia berbicara kedengarannya seperti sedng


membacakan sajak-sajak.
PEREMPUAN TUA : Mereka sekarang sedang berdansa! Bayang-bayang mereka
berlintasan sepanjang kaca-kaca jendela dan malam menjadi terang dan gelap. Bagaikan api
yang sedang meruak dan padam.

LAKI-LAKI KEDUA : Tidakkah kau sependapat bahwa suaranya mengandung gairah?


Suara yang menghujam dalam ke dalam hatimu?

PEREMPUAN KEDUA : Aku seorang perempuan, tetapi aku menggigil kedinginan kalau
aku mendengar suaranya.

PEREMPUAN TUA : Wahai! Kau dengar lonceng-lonceng itu? Kau dengar roda-roda itu,
derap kuku-kuku kuda itu? kereta siapakah gerangan? Aku masih belum melihat orang
dari kalangan istana. Lonceng itu kedengarannya seperti lonceng kereta Kaisar. Amboi,
alangkah pengapnya di sini, bau itu

LAKI-LAKI KETIGA : Komachi membuat semua perempuan lain di sekitar dirinya


menjadi pucat.

PEREMPUAN KETIGA : Tetapi itu keji sekali. Dia tak tanggung-tanggung mencuri warna
tas tanganku! (Musik mengumandangkan lagu wals baru. SEMUA ORANG menyimpan
kembali gelas masing-masing di atas baki PELAYAN dan mereka mulai berdansa lagi.
PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu masih tetap berdiri dengan sikap yang sama)

PENYAIR : Semua betul-betul ajaib

PEREMPUAN TUA : Apanya yang ajaib?

PENYAIR : Entahlah Aku

PEREMPUAN TUA : Jangan kau katakana! Jangan kau coba mencari kata-kata! Aku tahu
apa yang mau kaukatakan

PENYAIR : Kau.. kau begitu

PEREMPUAN TUA : Begitu cantik! Bukankah itu yang mau kaukatakan? Jangan kau
katakana! Barangsiapa mengatakannya umurnya tidak akan panjang lagi. Aku peringatkan!

PENYAIR : Tetapi

PEREMPUAN TUA : Kalau kau masih saying kepada hidupmu diamlah!


PENYAIR : Tidak. Ini betul-betul terlalu aneh! Kita tidak bisa memberi nama lain kecuali
keajaiban!

PEREMPUAN TUA : Betul begitu? Apakah yang semacam itu sekarang disebut keajaiban?
Padahal itu merupakan suatu yang paling biasa di dunia.

PENYAIR : Tetapi kerut-kerut itu

PEREMPUAN TUA : Apa? Adakah kerut-kerut pada mukaku?

PENYAIR : Tetapi memang itu yang mau kukatakan barusan! Sekarang aku tidak melihat
kerut-kerut lagi pada mukamu.

PEREMPUAN TUA : Tentu saja tidak! Mana mungkin pula seorang laki-laki selama sertus
malam bisa memuja tukang tenung yang keriput? Jangan lagi kita bicara tentang hal itu.
Mari kita berdansa. (Mereka berdansa bersama-sama. PELAYAN-PELAYAN itu pergi.
Satu PASANGAN KE EMPAT muncul. Kemudian KEEMPAT PASANGAN itu duduk di
atas kursi, sambil berbisik-bisik mesra)

PEREMPUAN TUA : Kau letih?

PENYAIR : Tidak.

PEREMPUAN TUA : Kau kelihatan payah sekali.

PENYAIR : Aku selalu kelihatan begitu.

PEREMPUAN TUA : Apakah itu suatu jawaban?

PENYAIR : Sekarang adalah malam keseratus.

PEREMPUAN TUA : Namun

PENYAIR : Apa yang mau kaukatakan

PEREMPUAN TUA : Mengapa mukamu tiba-tiba berubah? Ada apa?

PENYAIR : Tidak ada apa-apa. Aku merasa sedikit pusing.

PEREMPUAN TUA : Bagaimana kalau kita masuk?

PENYAIR : Jangan. Aku lebih senang tinggal di sini. Di dalam sana terlalu rebut untukku.

PEREMPUAN TUA : Musik telah berhenti. Alangkah sunyinya tiba-tiba.


PENYAIR : Ya, yang masih tinggal sekarang haya kesunyian.

PEREMPUAN TUA : Apa yang kau fikirkan?

PENYAIR : Tidak ada. Tetapi mungkin juga ada. Aku punya firasat yang aneh barusan.
Firasatku berkata, seolah-olah kita berdua sekarang harus berpisah, untuk kemudian kita
baru bertemu lagi setelah seratus tahun yang akan datang, mungkin sedikit kurang dari satu
abad.

PEREMPUAN TUA : Kalau begitu kita harus bertemu lagi di mana? Di kuburan
barangkali? Atau di neraka? Aku kira itulah yang paling masuk akal.

PENYAIR : Tunggu! Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dibenakku! Sebentar! Rasanya
tempatnya ama seperti di sini. Aku akan melihatmu kembali di tempat yang sama seperti
ini.

PEREMPUAN TUA : Sebuah taman, lentera-lentera gas, bangku-bangku, pasangan-


pasangan yang sedang jatuh cinta

PENYAIR : Ya, segala akan sama pula. Hanya satu hal saja yang ingin kuketahui kau
dan aku akan bagaimana kelihatannya kelak.

PEREMPUAN TUA : Aku tidak percaya bahwa aku akan jadi bertambah tua lagi.

PENYAIR : Boleh jadi akulah yang tidak akan jadi tua.

PEREMPUAN TUA : Delapan puluh tahun setelah hari ini Niscaya di dunia ini sudah
banyak yang akan berubah bukan?

PENYAIR : Hanya yang dibuat oleh manusia yang akan berubah Sebuah mawar akan
tetap sebuah mawar juga delapan puluh tahun yang akan datang.

PEREMPUAN TUA : Aku ingin sekali tahu, apakah di Tokio nanti masih akan ada kebun-
kebun sunyi seperti ini.

PENYAIR : Rumput dan rumput liar akan menyelimuti semua kebun yang ada

PEREMPUAN TUA : Tetapi burung-burung akan merasa betah di situ.

PENYAIR : Seluruh sinar bulan di dunia akan memancar di atas kebun-kebun itu.
PEREMPUAN TUA : Dan kalau kau naik ke atas sebuah bangku dan kemudian kau
memandang ke sekitar, maka kau akan melihat semua lampu di kota, dan ketika itu akan
terasa olehmu seolah-olah kau sedang memandang semua lampu di dunia.

PENYAIR : Kata-kata apa yang akan kita ucapkan, kalau kita bertemu lagi seratus tahun
yang akan datang?

PEREMPUAN TUA : Menurut hematku, kira-kira seperti: Sayang sekali kita tak pernah
saling berhubungan!

PENYAIR : Apakah kau benar-benar akan menepati janjimu?

PEREMPUAN TUA : Janjiku?

PENYAIR : Ya, janji malam kesertus itu.

PEREMPUAN TUA : Apakah kau meragukannya? Setelah segala apa yang pernah
kukatakan paamu

PENYAIR : Ya, malam ini keinginanku pasti akan terpenuhi. NAmun alangkah anehnya
peraaan ini. Begitu menawarkan hati. Seolah-olah di tanganmu kau tiba-tiba memunyai
sesuatu, yang sudah lama, sudah lama sekali kau inginkan.

PEREMPUAN TUA : Aku kira, untuk seorang laki-laki perasaan semacam itu mengerikan
mestinya.

PENYAIR : Perwujudan mimpi-mimpiku dan barangkali akan datang pula harinya di


mana aku pun akan merasa jemu terhadapmu! Tetapi kalau seorang laki-laki juga bisa
merasa jemu terhadap orang semacam kau, kehidupan sesudah mati itu niscaya bukan main
mengerikannya! Dan betapa tak tertanggungkan hari-hari dan bulan-bulan yang tak berakhir
itu sampai aku mati! Suatu kejemuan yang abadi!

PEREMPUAN TUA : Hentikanlah ! Diamlah!.

PENYAIR : Tidak mungkin.

PEREMPUAN TUA : Ini sudah terlalu gila sekarang. Mengapa kau harus memaksa dirimu
untuk meneruskan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak kauinginkan?

PENYAIR : Siapa yang bisa mengatakan bahwa aku tidak menginginkan? Aku merasa
sangat bahagia! Aku merasa, seolah-olah aku sertamerta akan bisa terbang ke langit,
namun sekaligus dengan itu aku pun merasa bukan kepalang sedihnya.
PEREMPUAN TUA : Engkau terlalu bernafsu.

PENYAIR : Apakah kau betul-betul tidak akan berbuat sesuatu, kalau sudah mulai
menjemukanku?

PEREMPUAN TUA : Aku sama sekali tidak akan mengacuhkannya. Dalam hal itu akan
segera ada laki-laki lain yang akan mendambkanku selama seratus malam. Keadaan
semacam itu tidak akan membuatku jemu.

PENYAIR : Aku tidak akan peduli, kalau sekarang aku harus segera mati. Kesempatan
seperti ini hanya sekali saja dialami manusia selama hidupnya Bagiku peristiwa itu akan
kualami malam ini.

PEREMPUAN TUA : Jangan kau mulai lagi beromong-kosong!

PENYAIR : Malam ini atau tidak sama sekali! Tubuhku menggigil, kalau aku teringat
bahwa aku harus melampaui malam ini seperti dahulu. Dengan perempuan-perempuan lain.
Yang kugauli. Fikiran akan hal itu tidak bisa kutanggungkan!

PEREMPUAN TUA : Tetapi seseorang hidup tidak hanya untuk mati!

PENYAIR : Siapa yang akan mengatakannya? Boleh jadi manusia mati untuk hidup.

PEREMPUAN TUA : Itu Cuma cara mengucapkan semata. Cara mengucapkan yang
teramat konyol!

PENYAIR : Tolonglah aku. Menurutmu, apa yang harus kulakukan?

PEREMPUAN TUA : Pergilah! Itulah satu-satunya yang bisa kaulakukan.

PENYAIR : Tidak, dengarlah! Beberapa jam lagi bahkan mungkin beberapa menit lagi akan
datang saatnya yang tiada akan menjadi ada duanya lagi di dunia ini. Di tengah malam
matahari akan terbit. Sebuah kapal dengan layer terkembang penuh akan mengarungi jalan-
jalan. Sejak masa kanak-kanak aku telah bermimpi akan hal itu. Entah mengapa. Sebuah
kapal layar raksasa menderu di tengah-tengah kebun, pecahan ombaknya gemuruh di antara
daun-daun pepohonan, dan di atas segala gemuruh kapal itu bertengger burung-burung
kecil Dalam mimpi itu aku merasa begitu bahagia sehingga jatungku berhenti berdetak.

PEREMPUAN TUA : Rupanya engkau terlalu banyak minum!

PENYAIR : Kau tidak percaya? Malam ini juga, beberapa menit lagi sesuatu yang mustahil
akan terjadi.
PEREMPUAN TUA : Hal-hal yang mustahil tidak akan terjadi!

PENYAIR : Aneh Mukamu

PEREMPUAN TUA : Beberapa perkataan lagi dan dia harus mati. Aneh sekali? Mukaku?
Lihatlah! Lihat betapa jelek mukaku jadinya dengan segala kerut itu! Datanglah lebih dekat,
bukalah matamu!

PENYAIR : Kerut-kerut? Kerut-kerut apa?

PEREMPUAN TUA : Lihatlah! Pakaian compang-camping! Baunya busuk! Penuh dengan


kutu. Dan lihatlah tanganku, betapa menggigilnya tangan itu! Dan betapa panjang dan
kotornya kukuku! Tidak!

PENYAIR : Bau wangi semerbak dari tubuhmu! Warna kukumu bagai putik-putik seruni!

PEREMPUAN TUA : Dan ini, lihat buah dadaku! Warnanya coklat dan mongering! Buah
dada seorang perempuan tidak boleh nampak seerti itu! Rabalah! Raba! Hampa dan layu!

PENYAIR : Alangkah nikmatnya tubuhmu!

PEREMPUAN TUA : Umurku sembilan puluh sembilan tahun! Bangunlah! Nyalangkan


matamu! Perhatikan aku baik-baik!

PENYAIR : Akhirnya! Akhirnya aku teringat

PEREMPUAN TUA : Kau ingat?

PENYAIR : Ya, begitulah. Engkau dulu seorang perempuan tua berumur sembilan puluh
sembilan tahun! Kepalamu penuh kerut-kerut. Matamu berair dan pakaianmu bau busuk.

PEREMPUAN TUA : Dulu? Tidakkah kau lihat, bahwa aku masih tetap betina tua?

PENYAIR : Aneh! Matamu sejuk jernih bagaikan mata gadis dua puluh tahun dan bau
wangi yang mempesona terpancar dari pakaianmu. Engkau menjadi muda lagi!

PEREMPUAN TUA : Jangan katakana! Bukankah ku telah memperingatkanmu? Tidak


tahukah kau apa yang akan terjadi kalau kau mengatakan aku cantik?

PENYAIR : Kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus mengatakannya,
sekalipun aku harus mati karenanya.
PEREMPUAN TUA : Gila! Demi Tuhan, janganlah kau berkata lagi! Aku mohon! Katakan
saja yang lainnya! Bagaimana terusnya, dengan saat yang baru aja kau katakana tadi.

PENYAIR : Baiklah! Aku akan mengatakannya.

PEREMPUAN TUA : Jangan, jangan, jangan kau lakukan hal itu!

PENYAIR : Saatnya telah tiba! Saat yang sudah kutunggu selama sembilan puluh sembilan
malam, sembilan puluh sembilan tahun yang berkepanjangan.

PEREMPUAN TUA : Matamu menyala-nyala! Jangan kau lakukan! Janganlah kau


mengatakan. Aku mohon!

PENYAIR : Aku harus mengataknnya padamu, Komachi! Engkau cantik! Engkau


perempuan paling cantik di dunia. Dan kecantikanmu tidak akan memudar, sekalipun sudah
seribu tahun.

PEREMPUAN TUA : Jangan katakan! Jangan katakan! Engkau pasti akan menyeal!

PENYAIR : Aku tidak akan menyesal!

PEREMPUAN TUA : Kau gila! Aku melihat tanda kematian telah tercoreng di atas
keningmu.

PENYAIR : Aku tidak mau mati!

PEREMPUAN TUA : Aku telah melakukan segala apa yang aku bisa untuk melindungimu.

PENYAIR : Kedua tangan dan kakiku telah menjadi dingin Aku tahu pasti, seratus tahun
lagi kita akan bertemu kembali di sini, di tempat yang sama.

PEREMPUAN TUA : Lagi-lagi menunggu seratus tahun! (Penyair itu jatuh ke tanah dan
meninggal. TIRAI-TIRAI HITAM DI LATAR-BELAKANG serentak bergeser.
PEREMPUAN TUA itu duduk di atas bangku dan memandang nanap ke depan. Sesudah itu
dia mulai lagi memilih-milih puntung-puntung rokoknya. Selagi dia sibuk dengan itu,
seorang AGEN POLISI muncul. Dia membungkuk di atas mayat penyair itu)

AGEN POLISI : Mabuk. Bedebah pemabuk-pemabuk! Ayo bangun! Di rumah binimu


sedang menunggu. Lekas pulang sehingga dia bisa membaringkanmu di atas sarangnya
atau mungkinkah dia mati? Persetan, dia mati! Hai, Mak tua adakah kau melihatnya
jatuh? Kau melihatnya tadi?
PEREMPUAN TUA : (Menengadah sejenak) Dia terjatuh beberapa waktu yang lalu.

AGEN POLISI : Dia masih hangat.

PEREMPUAN TUA : Itu berarti dia baru saja meninggal.

AGEN POLISI : Ya, aku memang pintar sekali! Aku bertanya kepadamu apakah kau
melihatnya ketika dia jatuh. Jam berapa ketika kau datang ke mari?

PEREMPUAN TUA : Kira-kira setengah jam yang lalu. Dia sudah mabuk dan mulai gatal
tangannya.

AGEN POLISI : Gatal tangannya? Terhadapmu? Jangan melucu!

PEREMPUAN TUA : (Merasa terhina) Apakah itu begitu aneh! Itu Seuatu yang sangat
wajar!

AGEN POLISI : Oh, kuharap saja kau mampu melindungi dirimu!

PEREMPUAN TUA : Ah, aku tidak apa-apa. Dia Cuma agak menggangu. Untuk beberapa
saat dia merengek-rengek padaku, dan sesudah itu dia tiba-tiba jatuh, terjerembab. Aku kira
dia telah jatuh tertidur.

AGEN POLISI : Hai! Kalian di sana! Tidak tahukah kalian bahwa di taman ini kalian tidak
boleh tidur? Di sini bukan tempat penampungan orang-orang tak berumah! Ke sini! Aku
perlu beberapa laki-laki untuk membantuku. (DUA ORANG itu mengangkat PENYAIR
dan menggotongnya pergi dari situ)

PEREMPUAN TUA : (Membungkuk lagi di atas puntung-puntung rokoknya dan dengan


seksama memilih-milih puntung-puntung rokok itu) Satu ditambah satu, dua dua
ditambah dua, empat. Satu ditambah satu, dua dan dua ditambah dua, empat.
Yukio Mishima, Jalan Samurai
Diposkan oleh IBOEKOE pada 09 Apr 2011 | Beri Tanggapan
Oleh: Jojoba

Anda mungkin juga menyukai