Para Pelaku :
Perempuan Tua
Penyair
Laki-Laki Pertama
Laki-Laki Kedua
Laki-Laki Ketiga
Perempuan Pertama
Perempuan Kedua
Perempuan Ketiga
PEREMPUAN TUA : Satu ditambah satu, dua, dua ditambah dua lagi, empat…
(Dia memegang sebuah puntung rokok di bawah cahaya lampu, danketika
dilihatnya rokok itu masih cukup panjang, dia kemudian pergi menuju
PASANGAN KEKASIH di sebelah kirinya untuk meminta api. Sesudah itu dia
duduk lagi dan mengisap rokoknya. Setelah beberapa isap dia memadamkan lagi
sigaretnya, dan melemparkannya ke samping puntung-puntung rokok lainnya di
atas sehelai kertas Koran. Kemudian dia mulai menghitung lagi) Satu ditambah
satu, dua; dua ditambah dua, empat…
PEREMPUAN TUA : Masih ada keperluan lainnya ? Mungkin ada yang ingin kau
sampaikan ?
PEREMPUAN TUA : Aku tahu kau siapa. Kau seorang penyair. Itulah
keahlianmu.
PENYAIR : Rupanya kau tahu betul keadaanku. Ya, sekali-sekali aku menulis
sajak. Tentu. Tetapi itu bukan bisnis, bukan perusahaan.
PEREMPUAN TUA : Begitu pendapatmu? Pasti karena kau tidak bisa menjual
sajak-sajakmu, bukan? Kau masih muda, bukan? Tetapi kau tidak akan lama lagi
hidup. Tampak malaikat maut sudah tercoreng di atas keningmu.
PENYAIR : Apa pekerjaanmu di masa yang lalu? Peramal? Dapatkah kau meramal
melalui garis tangan, melalui kerut-kerut pada muka?
PEREMPUAN TUA : Eh… Selagi kau masih hidup kau harus berdiri dengan
kedua kakimu di atas tanah.
PENYAIR : Dengarlah, ada sesuatu yang sangat ingin kuketahui selama ini,
sehingga terpaksa aku harus menanyakannya padamu. Mengapa kau saban malam
datang ke mari pada waktu yang sama dan mengusir semua pasangan itu dari
bangku mereka?
PEREMPUAN TUA : Bangku itu bukan milikmu sendiri, bukan? Mau apa kau
sebenarnya? Apakah kau seorang pengembara? Apakah kau harus meminta
sedekah kepada orang-orang yang duduk di sini?
PEREMPUAN TUA : Aku tak pernah mengusir orang. Mereka dengan sendirinya
pergi menjauh kalau aku duduk di sini. Lihat saja, bangku ini bisa diduduki oleh
empat orang.
PENYAIR : Malam hari bangku-bangku itu untuk orang-orang yang sedang
berkasih-kasihan. Kalau aku malam-malam melewati taman ini dan pada setiap
bangku aku melihat pasangan semacam itu duduk di atasnya, dalam hatiku aku
selalu merasa bukan main tenteramnya. Kalau aku melewati mereka maka aku
berjalan dengan bersijingkat. Bahkan kalau aku merasa letih, atau tiba-tiba aku
kehilangan ilham, sehingga aku mau duduk untuk mengumpulkan gagasan-
gagasanku, akupun tidak melakukannya. Karena rasa hormatku kepada… Tetapi
kau langsung saja duduk. Telah berapa lama sebenarnya kau biasa datang ke mari?
PEREMPUAN TUA : Ah, sekarang baru aku mengerti maksudmu! Tempat ini
agaknya merupakan padang perburuanmu. Engkau datang ke mari untuk keperluan
perusahaanmu.
PEREMPUAN TUA : Kalau waktunya sudah cukup lama berlalu, maka soa-soal
itu tidak akan konyol lagi. Cobalah sebutkan padaku satu soal yang pada waktunya
tidak bersifat konyol.
PEREMPUAN TUA : Jalan fikiran remaja masa kini betul-betul bagus! Aku
terpaksa harus mengatakannya.
PENYAIR : Dengarkan sekarang… Aku tidak lebih dari kelihatannya, seorang kuli
tinta, yang isteri untuk mengurus pun tidak punya. Tetapi ada sesuatu yang
kuhormati: yakni dunia ini, sebagaimana terpantul dalam mata anak-anak muda
yang sedang jatuh cinta, dan yang seratus kali lebih indah dari kenyataan – ya, aku
menaruh rasa hormat kepadanya. Lihatlah, mereka sedikit pun tidak tahu bahwa
kita sedang memperbincangkan mereka. Mereka sedang melambung ke langit,
sampai di atas bintang-bintang. Bahkan wajah mereka pun bersinar laksana
bintang. Dan bangku di sini ini, bangku ini ibarat sebuah tangga yang menuju ke
langit, menara pengawas paling tinggi di dunia, suatu pos pengenal yang paling
baik. Kalau ada seorang pemuda yang duduk di sini bersama gadisnya, maka dia
akan dapat melihat semua kota di dunia. Tetapi kalau aku berdiri di sini, maka aku
tidak melihat apa-apa, tidak melihat suatupun… Atau lebih baik… tentu saja aku
selalu melihat sesuatu … sejumalah bangku… seorang lelaki dengan lentera saku,
aku kira dia seorang agen polisi… Dua buah mobil yang saling berpapasan. Tanpa
mengurangi sorot lampunya. Dan apa itu? Sebuah mobil penuh dengan bunga-
bunga! Seniman-seniman yang baru kembali dari konser? Atau suatu upacara
penguburan? Hanya itulah yang dapat kulihat.
PEREMPUAN TUA : Kau masih muda, masih plonco sekali, kau tidak melihat
benda-benda itu sebagaimana adanya.. Kau beranggapan bahwa bangku-bangku tu
menjadi hidup jika ada seorang pemuda tolol bersama pacarnya duduk di atasnya.
Janganlah begitu bodoh! Mereka saling memeluk di atas makam mereka. Lihat,
betapa pucatnya mereka, betapa pucat-lesinya mereka, dalam cahaya hijau yang
melalui daun-daun menyelinap dari jalan. Mata mereka terpejam. Tidakkah mereka
kelihatan sebagai mayat? Mereka mati selagi bercumbu. Benar, benar bau bunga.
Bunga-bunga di taman malam hari baunya sama kuat dengan bunga-bunga di
dalam peti mati. Dan semua pasangan yang sedang jatuh cinta itu membiarkan
dirinya terkubur dalam bau bunga-bunga itu. Satu-satunya yang hidup di sini ialah
kau dan aku.
PENYAIR : Apakah kau kira dirimu lucu? Apakah kau betul-betul beranggapan
bahwa kau hidup dan mereka tidak?
LAKI-LAKI PERTAMA : Tidak, sama sekali tidak. Aku justeru teringat akan
sesuatu, akan sesuatu yang menyenangkan.
LAKI-LAKI PERTAMA : Apa maksudmu berkata begitu? Tidak ada. Sama sekali
tidak ada.
PEREMPUAN PERTAMA : Jadi, kau tidak bermaksud apa-apa! Tetapi bagiku itu
ada artinya. Itu berarti bahwa hubungan kita putus.
LAKI-LAKI PERTAMA : Ayo, cepatlah. Lihat trem terakhir itu sudah datang.
Kita mesti lari.
PENYAIR : Bagus, bagus sekali, Tetapi kalau begitu apa sebenarnya makna
hidup?
PEREMPUAN TUA : Apa sebabnya aku hidup? Bukankah kenyataan kehadiranku
dengan sendirinya sudah merupakan suatu makna? Aku bukanlah seekor kuda
yang berlari-lari untuk mendapatkan gula-gula! Kuda-kuda memang untuk disuruh
berlari, tetapi manusia?
PENYAIR : Wahai, Ibu, masih ada sesuatu yang ingin kutanyakan… Siapa
namamu sebenarnya?
PEREMPUAN TUA : Benar, kau beruntung… Tetapi hanya seorang gila seperti
kau mungkin menyangka bahwa setiap perempuan cantik jadi jelek dengan
berlalunya tahun. Tetapi itu suatu kekeliruan besar. Seorang perempuan cantik
akan tetap perempuan cantik selalu. Juga kalau sekarang ini aku nampanya jelek,
sebenarnya aku ini hanya perempuan cantik yang jelek belaka. Dan dari sekian
banyak fihak, mendengar betapa mempesona kelihatannya aku, sehingga selama
tujuh puluh, delapan puluh tahun terakhir ini aku tak punya kebutuhan lagi untuk
berpikir lain tentang hal itu. Aku masih selalu memandang diriku sebagai seorang
perempuan cantik yang mempesona.
PENYAIR : Mestinya adalah suatu beban yang berat untuk menjadi seorang yang
cantik… aku dapat memahaminya. Seorang laki-laki yang pernah mengalami
peperangan, selama-lamanya tetap terkenang akan peperangan. Sudah barang tentu
dahulu kau pernah cantik…
PENYAIR : Ya ya, tentu saja, aku mengerti. Mengapa kau tidak mau bercerita
barang sedikit mengenai masa remajamu kepadaku. Apa yang pernah kau alami
dan apa yang pernah terjadi delapan puluh – atau barangkali sembilan puluh tahun
yang lalu. Ceritakanlah.
PEREMPUAN TUA : Delapan puluh tahun yang lalu aku baru berumur sembilan
belas tahun. Kapten Fukaksa dari pasukan pengawal Kaisar. Sangat terpesona
olehku.
PENYAIR : Bagaimana kalau aku berbuat seolah-olah aku kapten itu – siapa
namanya tadi?
PEREMPUAN TUA : Jangan berangan-angan! Dia seratus kali lebih tampan dan
lebih gagah daripada kau… Benar, dan ketika itu aku berkata kepadanya, bahwa
aku akan memenuhi keinginannya yang paling luhur, kalau dia sudah seratus kali
mengunjungiku. Kemudian tibalah malam yang keseratus itu. Ketika itu di kebun
istana Rokumee diselenggarakan sebuah pesta, dan semua orang yang gemar akan
kesenangan duniawi hadir. Aku agak merasa letih karena udara panas di dalam,
dan aku duduk di atas sebuah bangku, untuk menghirup hawa segar… Astaga…!
Orang-orang dari seluruh kota kelihatannya mengadakan rendevous di sini.
PEREMPUAN TUA : Tentu saja! Bagaimana kalau kita berdansa pada irama wals
sekarang ini agar yang lain menjadi kesal?
PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu juga berdansa. Ketika musik berhenti,
ORANG-ORANG LAINNYA berkerumun mengelilingi PEREMPUAN TUA Itu)
PEREMPUAN KEDUA : Kau membuatku iri. Dari mana kau peroleh pakaianmu
yang indah itu?
PEREMPUAN TUA : Tentu saja dari Paris! Aku telah mengirimkan ukuran-
ukuran tubuhku kepada Maison Piquet dan kemudian menyuruh membuat pakaian
itu di sana.
PEREMPUAN KETIGA : Ya, kalau tidak begitu tidak mungkin. Apa yang mereka
buat di Jepang sini selalu begitu kampungan.
LAKI-LAKI PERTAMA : Tidak sangsi lagi. Mengapa harus kau pusingkan? Kau
mau tidak mau harus mendatangkan pakaianmu dari luar negeri.
LAKI-LAKI KEDUA : Tepat. Dan itu juga berlaku buat kami. Adakah kalian
melihat rok yang di pakai Perdana Menteri semalam? London. Kota ini masih tetap
merupakan kiblat buat pakaian laki-laki. (Sambil tertawa dan bercakap-cakap,
PEREMPUAN-PEREMPUAN itu membentuk sebuah lingkaran di seputar
PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu. KETIGA LAKI-LAKI itu duduk di atas
sebuah bangku sambil bercakap-cakap)
PEREMPUAN KETIGA : Memang, dalam sinar bulan seperti sekarang ini seorang
tukang tenung pun akan kelihatan cantik!
LAKI-LAKI PERTAMA : Ya, tetapi dalam sinar matahari yang terang benderang
sekalipun Komachi akan kelihatan cantik, dan dalam sinar bulan jadinya dia
kelihatan betul-betul seperti bidadari, dan…
LAKI-LAKI KETIGA : Sehari-harian dia tidak berbuat lain kecuali menulis sajak-
sajak untuk Komachi, dan tugas-tugasnya sebagai perwira sama sekali dilalaikan.
Justeru suatu hal yang aneh bahwa, para perwira pengawal lainnya masih mau
bergaul dengan dia!
LAKI-LAKI PERTAMA : Apakah salah satu dari kita masih mungkin mendapat
kesempatan menurut pendapatmu?
LAKI-LAKI KEDUA : Haha! Yang kucapai tidak mungkin lebih jauh dari suatu
‘espoir’, aku Cuma bisa berharap.
LAKI-LAKI KETIGA : Tidak, mengenai hal itu aku tidak punya pengharapan
lebih besar daripada ‘une sardino’.
LAKI-LAKIPERTAMA : Ya, aku akan lebih cepat sampai di dalam kaleng atau
jaring, dari pada di tempat tidurnya… Dan begitu pula keadaannya dengan aku.
Ah! Yang paling menjengkelkan dari ikat pinggang Eropa dia selalu menjadi
terlalu sempit setelah makan. (Dua orang PELAYAN muncul. Yang seorang
menghidangkan sebuah baki dengan cocktail, yang seorang lagi menghidangkan
sebuah baki dengan hors d’oeuvres. SEMUA ORANG mengambil hidangan.
Hanya PENYAIR itu memandang seperti terpukau kepada PEREMPUAN TUA.
KETIGA ORANG PEREMPUAN itu, sambil memegang sebuah gelas di
tangannya masing-masing, duduk di atas sebuah bangku yang terletak berhadapan
dengan bangku PARA LAKI-LAKI itu)
PEREMPUAN TUA : Aku mendengar bunyi gemercik air di suatu tempat, tetapi
aku tidak melihat apa-apa. Aneh rasanya seperti sedang hujan nun di kejauhan.
PEREMPUAN TUA : Wahai! Kau dengar lonceng-lonceng itu? Kau dengar roda-
roda itu, derap kuku-kuku kuda itu? … kereta siapakah gerangan? Aku masih
belum melihat orang dari kalangan istana. Lonceng itu kedengarannya seperti
lonceng kereta Kaisar. Alangkah pengapnya di sini, bau itu…
LAKI-LAKI KETIGA : Komachi membuat semua perempuan lain di sekitar
dirinya menjadi pucat.
PEREMPUAN TUA : Jangan kau katakana! Jangan kau coba mencari kata-kata!
Aku tahu apa yang mau kaukatakan…
PEREMPUAN TUA : Begitu… cantik! Bukankah itu yang mau kau katakan?
Jangan kau katakana! Barangsiapa mengatakannya umurnya tidak akan panjang
lagi. Aku peringatkan!
PENYAIR : Tetapi…
PEREMPUAN TUA : Betul begitu? Apakah yang semacam itu sekarang disebut
keajaiban? Padahal itu merupakan suatu yang paling biasa di dunia.
PENYAIR : Tetapi memang itu yang mau kukatakan barusan! Sekarang aku tidak
melihat kerut-kerut lagi pada mukamu.
PEREMPUAN TUA : Tentu saja tidak! Mana mungkin pula seorang laki-laki
selama sertus malam bisa memuja tukang tenung yang keriput?… Jangan lagi kita
bicara tentang hal itu. Mari kita berdansa. (Mereka berdansa bersama-sama.
PELAYAN-PELAYAN itu pergi. EMPAT PASANGAN muncul. Kemudian
KEEMPAT PASANGAN itu duduk di atas kursi, sambil berbisik-bisik mesra)
PENYAIR : Tidak.
PENYAIR : Jangan. Aku lebih senang tinggal di sini. Di dalam sana terlalu rebut
untukku.
PENYAIR : Tidak ada. Tetapi mungkin juga ada. Aku punya firasat yang aneh
barusan. Firasatku berkata, seolah-olah kita berdua sekarang harus berpisah, untuk
kemudian kita baru bertemu lagi setelah seratus tahun yang akan datang, mungkin
sedikit kurang dari satu abad.
PEREMPUAN TUA : Kalau begitu kita harus bertemu lagi di mana? Di kuburan
barangkali? Atau di neraka? Aku kira itulah yang paling masuk akal.
PENYAIR : Ya, segala akan sama pula. Hanya satu hal saja yang ingin
kuketahui… kau dan aku akan bagaimana kelihatannya kelak.
PEREMPUAN TUA : Aku tidak percaya bahwa aku akan jadi bertambah tua lagi.
PEREMPUAN TUA : Delapan puluh tahun setelah hari ini… Niscaya di dunia ini
sudah banyak yang akan berubah bukan?
PENYAIR : Hanya yang dibuat oleh manusia yang akan berubah… Sebuah mawar
akan tetap sebuah mawar juga delapan puluh tahun yang akan datang.
PEREMPUAN TUA : Aku ingin sekali tahu, apakah di Tokyo nanti masih akan
ada kebun-kebun sunyi seperti ini.
PENYAIR : Rumput dan rumput liar akan menyelimuti semua kebun yang ada…
PEREMPUAN TUA : Tetapi burung-burung akan merasa betah di situ.
PENYAIR : Seluruh sinar bulan di dunia akan memancar di atas kebun-kebun itu.
PEREMPUAN TUA : Dan kalau kau naik ke atas sebuah bangku dan kemudian
kau memandang ke sekitar, maka kau akan melihat semua lampu di kota, dan
ketika itu akan terasa olehmu seolah-olah kau sedang memandang semua lampu di
dunia.
PENYAIR : Kata-kata apa yang akan kita ucapkan, kalau kita bertemu lagi seratus
tahun yang akan datang?
PEREMPUAN TUA : Menurut hematku, kira-kira seperti: Sayang sekali kita tak
pernah saling berhubungan!
PEREMPUAN TUA : Apakah kau meragukannya? Setelah segala apa yang pernah
kukatakan padamu
PENYAIR : Ya, malam ini keinginanku pasti akan terpenuhi. Namun alangkah
anehnya perasaan ini. Begitu menawarkan hati. Seolah-olah di tanganmu kau tiba-
tiba mempunyai sesuatu, yang sudah lama, sudah lama sekali kau inginkan.
PEREMPUAN TUA : Aku kira, untuk seorang laki-laki perasaan semacam itu
mengerikan mestinya.
PEREMPUAN TUA : Ini sudah terlalu gila sekarang. Mengapa kau harus
memaksa dirimu untuk meneruskan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak
kauinginkan?
PENYAIR : Siapa yang bisa mengatakan bahwa aku tidak menginginkan? Aku
merasa sangat bahagia! Aku merasa, seolah-olah aku sertamerta akan bisa terbang
ke langit, – namun sekaligus dengan itu aku pun merasa bukan kepalang sedihnya.
PENYAIR : Apakah kau betul-betul tidak akan berbuat sesuatu, kalau sudah mulai
menjemukanku?
PEREMPUAN TUA : Aku sama sekali tidak akan mengacuhkannya. Dalam hal itu
akan segera ada laki-laki lain yang akan mendambkanku selama seratus malam.
Keadaan semacam itu tidak akan membuatku jemu.
PENYAIR : Aku tidak akan peduli, kalau sekarang aku harus segera mati.
Kesempatan seperti ini hanya sekali saja dialami manusia selama hidupnya…
Bagiku peristiwa itu akan kualami malam ini.
PENYAIR : Malam ini atau tidak sama sekali! Tubuhku menggigil, kalau aku
teringat bahwa aku harus melampaui malam ini seperti dahulu. Dengan
perempuan-perempuan lain. Yang kugauli. Fikiran akan hal itu tidak bisa
kutanggungkan!
PENYAIR : Siapa yang akan mengatakannya? Boleh jadi manusia mati untuk
hidup.
PENYAIR : Tidak, dengarlah! Beberapa jam lagi bahkan mungkin beberapa menit
lagi akan datang saatnya yang tiada akan menjadi ada duanya lagi di dunia ini. Di
tengah malam matahari akan terbit. Sebuah kapal dengan layer terkembang penuh
akan mengarungi jalan-jalan. Sejak masa kanak-kanak aku telah bermimpi akan hal
itu. Entah mengapa. Sebuah kapal layar raksasa menderu di tengah-tengah kebun,
pecahan ombaknya gemuruh di antara daun-daun pepohonan, dan di atas segala
gemuruh kapal itu bertengger burung-burung kecil… Dalam mimpi itu aku merasa
begitu bahagia sehingga jatungku berhenti berdetak.
PENYAIR : Kau tidak percaya? Malam ini juga, beberapa menit lagi sesuatu yang
mustahil akan terjadi.
PEREMPUAN TUA : Beberapa perkataan lagi dan dia harus mati. Aneh sekali?
Mukaku? Lihatlah! Lihat betapa jelek mukaku jadinya dengan segala kerut itu!
Datanglah lebih dekat, bukalah matamu!
PENYAIR : Bau wangi semerbak dari tubuhmu! Warna kukumu bagai putik-putik
seruni!
PEREMPUAN TUA : Dan ini, lihat buah dadaku! Warnanya coklat dan
mongering! Buah dada seorang perempuan tidak boleh nampak seperti itu! Hampa
dan layu!
PEREMPUAN TUA : Dulu? Tidakkah kau lihat, bahwa aku masih tetap
perempuan tua?
PENYAIR : Aneh! … Matamu sejuk jernih bagaikan mata gadis dua puluh tahun
dan bau wangi yang mempesona terpancar dari pakaianmu. Engkau menjadi muda
lagi!
PENYAIR : Kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus
mengatakannya, sekalipun aku harus mati karenanya.
PEREMPUAN TUA : Gila! Demi Tuhan, janganlah kau berkata lagi! Aku mohon!
Katakan saja yang lainnya! Bagaimana terusnya, dengan saat yang baru aja kau
katakana tadi.
PENYAIR : Saatnya telah tiba! Saat yang sudah kutunggu selama sembilan puluh
sembilan malam, sembilan puluh sembilan tahun yang berkepanjangan.
PEREMPUAN TUA : Kau gila! Aku melihat tanda kematian telah tercoreng di
atas keningmu.
PENYAIR : Kedua tangan dan kakiku telah menjadi dingin… Aku tahu pasti,
seratus tahun lagi kita akan bertemu kembali di sini, di tempat yang sama.