Anda di halaman 1dari 3

Namaku Naura.

Dan dalam satu atau dua jam kedepan, aku mungkin sudah tidak menginjakkan kakiku di
bumi lagi. Bagaimanapun caranya. Aku menatap ke sekitar penumpang di dalam kereta. Bisa kuhitung
dengan jari isi gerbong ini. Sepasang kakek dan nenek di depanku, satu pekerja kantoran yang sudah
terlelap bersandar ke jendela, dan seorang laki-laki yang duduk tepat di sebelahku. Aku menghabiskan
satu jam perjalananku dengan menunduk menatap lantai kereta. Tenggelam kedalam pikiranku sendiri.
Memikirkan semua cara yang dapat terlintas dipikiranku untuk mengakhiri malam ini jadi malam
terakhirku. Jari-jari kakiku terasa dingin. Kepalaku terus memikirkan headline apa yang akan muncul di
berita kalau aku sudah tidak lagi bernyawa tepat di malam sebelum press conference film yang diangkat
dari buku keduaku.

Ibu mungkin akan menangis, lantas masuk ke kamarku dan mengacak-acak isi kamar. Ayahku hanya
akan terdiam tanpa sepatah kata. Itu saja. Hanya dua manusia itu yang mengenalku lebih dari siapapun.
Sutradara film mungkin akan mengumpat dalam hati kenapa Naura Bibiane harus mati sebelum press
conference film, pembacaku akan sedih karena mereka tidak lagi bisa baca bukuku, dan orang-orang lain
akan membaca berita kematianku beberapa detik, dan melanjutkan aktifitas mereka masing-masing.
Setelah itu semua selesai.

Kata orang, bertahan hiduplah demi hal-hal kecil. Indomi di jam tiga pagi, lagu coldplay sebelum tidur,
dan buku-buku kesukaanmu yang tidak akan bisa dibaca lagi kalau kamu sudah tiada. Tapi, aku sudah
sampai di titik dimana kamu tidak punya lagi ketertarikan pada semua hal di dunia. Aktor kesukaanku
sejak kecil mengambil peran di film yang diangkat dari bukuku. Dan aku sama sekali tidak merasa
senang. Bukuku laris jutaan kopi dan aku, sama sekali tidak merasa senang, dan merasa hidup.

Aku tidak lagi punya alasan bertahan hidup.

Aku merasa cemas tiap saat. Aku ketakutan. Aku berkali-kali muntah tiap harinya karena cemas dan
panik yang kurasakan. Aku menghapus 150 ribu kata naskah yang sudah kutulis enam bulan terakhir,
yang harusnya kukirim ke penerbit dua hari yang lalu. Aku membatalkan kontrak dengan banyak orang
dalam semalam. Aku membaca banyak pujian atas karyaku di internet dan itu semua membuatku makin
ketakutan.

Aku tidak dibiasakan mendengar pujian sejak kecil. Aku tidak dibiasakan diapresiasi. Dan aku tumbuh
dewasa membenci itu semua. Aku benci pujian. Aku benci apresiasi.

Dan bagian lain dari diriku bilang aku butuh itu semua.

Aku suka pujian, mungkin saja. Tapi didalam diriku seolah ada orang lain yang hidup bersamaku, dan tiap
kali aku dipuji, dia akan membisikkan kebalikannya, dia akan bilang kalau ini ejekan, kalau aku tidak
pernah benar-benar dipuji atas karyaku. Dan aku sudah hidup berdampingan bersamanya selama 24
tahun.

Naura, aku suka sekali dengan tulisan kamu.

Itu artinya, Naura, tulisanmu buruk sekali dan membuatku mau muntah.

Aku benci sekali kenapa malam itu aku berani mengirimkan naskahku ke penerbit. Mereka menerima
naskahku dan mencetaknya jadi buku yang sudah diterjemahkan ke 180 bahasa. Aku benci sekali
melihat deretak bukuku di toko buku dan rasanya aku ingin membakarnya tiap kali aku lihat mereka.
Dan disinilah aku duduk malam ini. Disamping seorang pria yang sedang membaca bukuku. Rasanya aku
ingin mengambil buku itu dari depan wajahnya dan menginjak-injak buku itu sekarang juga. Aku dapat
mendengar helaan nafas pria itu saking heningnya gerbong ini. Rambutnya kecoklatan dan berwarna
senada dengan bola matanya. Aku melirik ke arahnya beberapa kali, dan dapat kusimpulkan kalau pria
disampingku ini sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya. Aku kenal betul wangi parfumnya. Aku
punya parfum yang sama dengan pria itu. Ia beberapa kali menguap, mungkin karena bosan baca
bukuku. Ia duduk menyandar ke jendela kereta, sama sekali tak berminat menatap pemandangan kota
di luar sana. Kulihat ia baru sampai di halaman 286 dari 350 halaman bukuku.

“Lo baca apa?” aku memberanikan diri bertanya.

Dari gelagatnya yang terlihat sama sekali tidak melihatku, ia pasti tidak mengenal aku yang duduk
disampingnya.

Ia melirik, “Kenapa tanya?”


“Sorry.”

Gumamanku barusan sama sekali tidak diindahkannya. Ia lanjut membalik ke halaman selanjutnya dan
lanjut membaca seolah-olah aku tidak ada.

Aku baru saja mencari-cari penyakit dengan berniat menanyakan pendapat orang asing di sebelahku dan
berharap aku akan mendengar Buku ini buruk, dari orang itu sebelum pergi. Dengan itu aku mungkin
akan pergi dengan tenang karena pada akhirnya ada orang yang bilang jujur tentang bukuku.

Jangan salah paham. Aku sebenarnya payah tentang hal itu. Aku tidak punya sosial media apapun di
ponselku. Aku takut sosial media. Aku takut membaca satu kata saja kritikan tentang diriku. Aku tidak
suka dipuji, tapi aku tidak mau ada satu dari jutaan manusia yang tidak suka aku. AKu berkali-kali
membatalkan interviewku dengan banyak televisi. Aku berkali-kali menunda perilisan bukuku. Dan
kurasa, semua orang sudah lelah.

“Sorry,” aku menoleh mendengar pria disebelahku tiba-tiba berbicara.

“Lo nyenggol gue mulu.”

Aku terkejut mendengar komplainnya barusan. Aku tidak menyangka kata-kata itu yang keluar dari
mulutnya. Buru-buru aku bergeser beberapa senti darinya dan menghentikan gerakan tanganku. Aku
punya kebiasakaan mengelupas kuku-kuku jariku tiap kali merasa cemas. Dan mungkin sejak tadi aku
terus menyikut pria ini tanpa sadar.

“Maaf, maaf.”

“Anxious?”

Ia tiba-tiba bertanya. Tapi tak sedikitpun ia mengalihkan pandangannya dari buku di tangan kirinya,
sehingga aku jadi ragu dengan siapa dia berbicara. Tapi, mengingat hanya ada aku di sampingnya, ia
mungkin bicara denganku.

Aku tertawa canggung, “Yeah, maybe.”

“Tidur aja.”
“Kenapa?”

“Soalnya, kuku-kuku lo itu jatuh ke sepatu gue daritadi.”

Aku menoleh ke bawah. Hasil kelupasan kuku-kukuku benar berserakan di bawah kami. Aku menggigit
ujung bibir atasku karena gugup. Kupaksakan tanganku berhenti mengelupas kuku.

“I can’t.”

Aku tidak bisa berhenti. Aku terus merasa ketakutan tiap saatnya dan yang satu itu tidak bisa dihentikan.
Aku mungkin akan menangis disini saat ini juga. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku dan
tidak akan ada satu orangpun yang bisa menghentikannya.

Ia tiba-tiba menutup buku yang sedang dibacanya. Aku menoleh karena terkejut. Diluar dugaan, ia
meletakkan buku itu diatas pangkuanku. Aku mengernyit tidak mengerti. Ia kembali menyandarkan
kepalanya ke jendela, melipat kedua lengannya di depan dada, dan mengambil ancang-ancang ingin
tidur.

“Pegang.”

“Apa?”

“Bukunya.”

Ia melanjutkan, “Pegang sampe gue bangun.”

Belum sempat aku bertanya, ia sudah menutupi wajahnya dengan jaket kulit yang tadi disampirkan di
atas pahanya dan mungkin sudah masuk ke alam mimpi. Kutebak ia tidak akan menjawab pertanyaanku
kalau aku terus bertanya.

Aku memegangi buku itu seperti perintahnya tadi. Kupegangi buku itu erat-erat seperti seseorang bisa
mencurinya kapan saja. Aku tersenyum kecut melihat ukiran bertuliskan Naura Bibiane di bagian bawah
buku. Naura si payah itu. Dia, pria tadi, sama sekali tak mengeluarkan suara apapun dibalik jaketnya. Aku
beberapa kali menoleh menunggunya bangun. Kereta yang kami naiki akan sampai ditujuan, yang
sebenarnya asal kupilih, dalam 45 menit.

Aku, tanpa sadar, berhenti mengelupasi kuku-kukuku karena tanganku sibuk memegang buku ini erat.
Dapat kucium wangi pria itu dari buku yang sejak tadi dipegangnya ini. Aku sedikit penasaran karena
bagian belakang buku terasa tebal karena diselipi sesuatu. Mungkin surat, atau banyak kertas. Yang jelas
ia menyelipkan sesuatu di bagian belakang buku ini. Karena penasaran, aku pelan-pelan membuka
halaman depan.

Anda mungkin juga menyukai