Anda di halaman 1dari 4

Pertemuan di Taman

Mutiara Radya F
XI IPS 2

Aku berjalan diantara pohon-pohon yang berjejer di kiri-kanan jalan yang sedang kutapaki ini,
dedaunan berserak disekitarnya. Banyaknya pohon-pohon ini membuat suasana menjadi sejuk
karena dedaunannya yang menghalangi sinar matahari yang terik. Saat ini aku berada di taman
umum dekat rumahku, aku suka sekali dengan taman ini. Tempat inilah yang selalu aku kunjungi
untuk menghilangkan rasa bosan yang melanda. Walaupun hanya duduk-duduk saja di bangku
taman yang terdapat di sepanjang jalan setapak ini, tetapi rasanya sungguh damai. Apalagi
karena taman ini tidak terlalu banyak pengunjungnya jadi terasa lebih sunyi, dan nyaman.

Hari ini aku pergi ke taman ini untuk mencari inspirasi cerita, aku berniat untuk membuat novel
yang akan aku kirimkan ke penerbit. Aku selalu bercita-cita untuk menjadi seorang penulis yang
terkenal, semoga saja kelak di masa depan nanti akan ada banyak orang yang kenyukai tulisanku.
Selama ini aku sudah cukup bekerja keras untuk belajar untuk menjadi penulis yang benar, aku
mempelajari kaidah yang ada, dan sekarang aku merasa ilmu yang kumiliki sudah cukup untuk
memulai menulis novel.

Sekarang, aku sedang duduk di bangku taman, dan mengeluarkan buku catatanku untuk mulai
menulis kerangka cerita yang kurencanakan. Bahaya jika aku tiba-tiba mendapatkan inspirasi
namun tidak kutulis dengan sesegera mungkin.

Aku sudah melamun cukup lama, namun nampaknya belum ada satupun inspirasi yang terlintas
di pikiranku. Tiba-tiba, bangku taman yang ada disebrangku telah diduduki oleh seseorang. Dia
adalah seorang pria yang sepertinya sebaya denganku. Rambutnya berwarna hitam kecoklatam,
dan sedikit bergelombang. Ia mengenakan kaus berwarna hitam, serta celana selutut berwarna
coklat tua. Pria itu menarik perhatianku, ia terlihat sangat berkarisma.

Pria itu sibuk mengetik pada laptopnya, sedangkan aku terus memperhatikannya diam-diam
sambil berpura-pura sedang menulis di buku catatanku. Tanpa kusadari, aku sedari tadi sudah
tidak lagi pura-pura menulis sesuatu, tapi sekarang aku sedang benar-benar menulis kerangka
cerita yang akan kubuat. Semuanya keluar begitu saja dari benakku setelah aku melihat pria itu.
Ia memberiku inspirasi. Aku sedari tadi mendeskripsikan pria itu di buku catatanku, dan
sekarang aku sedang memikirkan jalan cerita yang menarik untuk alur ceritanya.

Akupun memutuskan novel yang kubuat akan bercerita tentang pria itu dan taman ini. Aku pun
segera mencatat segala yang kupikir perlu untuk mengembalikan ingatanku nanti saat di rumah.
Saat aku hendak melihat pria itu lagi, dia ternyata sedang menatapku juga. Ia segera mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Aku pun begitu.

Berkali-kali kami melakukan hal yang sama, seharian. Ketika langit cerah sudah mulai berubah
kejinggaan, aku memutuskan untuk pulang. Sudah cukup lama aku berada di taman ini,
berhadapan dengan pria itu. Aku segera beranjak dari bangku taman yang kududuki dan
merenggangkan tubuhku, lalu segera berjalan meninggalkan taman. Aku dapat melihat di sudut
mataku bahwa pria itu sedang melihat ke arahku. Jujur, aku merasa sedikit gugup, dan bingug
harus melakukan apa? akhirnya aku pulang saja tanpa menghiraukan pria yang telah memberiku
inspirasi itu.

Keesokan harinya, aku kembali lagi ke taman umum untuk melanjutkan penulisan novelku,
namun aku tidak menyangka ternyata pria itu sudah duduk manis di bangku taman yang kemarin
ketika aku tiba. Aku sejenak terdiam dan menatap tak percaya, lalu segera duduk di bangku
seberangnya. Ini persis seperti kemarin.Semenjak itu, ia memang datang ke taman umum setiap
hari sepertiku. Melakukan hal yang sama setiap hari sepertiku. Setiap harinya, kami melakukan
hal yang sama di tempat yang sama. Aku merasa ini sungguh aneh jika kupikir dalam-dalam, tapi
juga menguntungkan untukku.

Dalam jangka waktu 2 minggu aku hampir menyelesaikan novelku. Sungguh aku tidak
menyangka aku dapat bekerja secepat ini. Ini semua berkat pria itu yang sudah memberiku
inspirasi. Tentu aku harus berterimakasih padanya jika aku telah selesai menulis novelku sampai
akhir.Namun sayangnya aku masih belum menentukan akhir yang tepat untuk movelku ini.
Walaupun sudah memikirkan beberapa alur, namnun aku merasa masih tidak cocok.

Mungkin aku membutuhkan bantuan pria itu. Selama ini aku tidak pernah berkomunikasi
dengannya, dan mungkin besok adalah saat yang tepat karena mungkin setelah liburan kami
berdua akan jarang bertemu di taman itu karena kesibukan masing-masing. Aku memutuskan
akan berkenalan dengannya besok dan menceritakan tentang naskah novelku itu dan meminta
sarannya. Kelihatannya dia adalah orang yang baik, pasti tidak masalah jika aku meminta saran
kepadanta.

Keesokan harinya, aku datang seperti biasa ketika pria itu sudah ada di bangku taman itu sambil
mengetik sesuatu di laptop-nya. Aku pun duduk di bangku seberangnya. Aku tidak akan
langsung mendekatinya, dan melakukan apa yang sudah kurencanakan kemarin. Aku ingin
melihat keadaan dan suasananya dulu, dan memastikan apakah hari ini adalah hari yang tepat
atau bukan. Sambil mengamati keadaan, aku menyiapkan buku catatanku yang akan
kuperlihatkan padanya sebagai bukti bahwa aku sedang dalam proyek pembuatan naskah novel
yang terinspirasi olehnya. Namun, ketika aku menoleh ke arahnya sejenak, aku terkejut bukan
main. pria itu sudah menutup laptop-nya dan sedang memasukannya ke tasnya. Biasanya aku
selalu pergi dari taman ini lebih dahulu, namun hari ini lain. 

Segera setelah pria itu membereskan barangnya, ia pun berdiri, dan terdiam. Ia menatapku, dan
aku pun kebetulan sedang menatapnya. Saat ini kami sedang adu pandang. Cukup lama, kami
menatap mata satu sama lain, tidak ada niatan untuk mengalihkan perhatian. Akhirnya, ia
tersenyum. Pria itu tersenyum padaku dengan senyumnya yang menyejukkan. Setelah ia
memberikan senyum itu, ia bergegas pergi meninggalkan taman ini. Aku masih diam. Tidak
percaya. Aku sungguh bingung dan senang.
Keesokan harinya, pria itu tidak datang. Dia tidak ada di bangku taman itu ketika aku datang.
Tentu saja aku bingung dan cemas, ini adalah pertama kalinya ia tidak datang. Aku berusaha
berpikiran positif sepanjang hari, mungkin ia sedang sibuk, atau ada urusan mendadak, atau
sedang sakit. Namun tetap, apapun yang kupirkan tentangnya, ujung-ujungnya aku akan ingat
kejadian kemarin.

Pria itu tidak pernah datang lagi. Ini adalah hari terakhir liburan dan dia sudah tidak pernah
datang sejak berhari-hari yang lalu. Aku benar-benar bingung dan sedih. Aku tidak sempat
berkenalan dengannya, dan juga tidak sempat memberitahunya bahwa ialah inspirasi dalam
novelku. Kepergian dirinya membuatku dapat meneruskan ceritaku sampai akhir, karena
perpisahan itu memberikanku inspirasi.

Setelah berbulan-bulan aku mengirimkan naskah novelku ke penerbit, akhirnya aku


mendapatkan kabar baik dari redaksi bahwa novelku layak untuk diterbitkan. Aku merasa senang
sekali, rasanya aku ingin berterimakasih pada siapa saja yang telah membantuku menyelesaikan
novel ini. Tentu saja aku langsung teringat pria itu, pria yang selalu di taman, sumber
inspirasiku.

Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya novelku sudah terpajang di toko-toko
buku. Hari demi hari berlalu, dan tidak terasa sudah 4 bulan sejak aku menerbitkan novelku. Puji
tuhan, ternyata banyak orang yang menyukai novelku, dan sekarang novelku sudah terjual
sebanyak 40.000 copy. Aku merasa sangat bersyukur, namun tiada hari di mana aku tidak
memikirkan pria yang menjadi inspirasiku itu, aku masih terus bertanya-tanya bagaimana
kabarnya saat ini. Jujur saja aku merasakan ada sedikit penyesalan karena tidak sempat
berkenalan, dan mengucapkan terima kasih kepada pria itu, sungguh sayang sekali aku
melewatkan kesempatan itu beberapa bulan yang lalu.

Pada siang ini, bunda mengajakku berkunjung ke rumah sahabatnya. Awalnya aku menolak,
karena siang-siang seperti ini adalah waktu yang sangat pas untuk tidur, tetapi bunda tetap
bersikeras untuk memaksaku ikut dengannya. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya aku ikut
pergi dengan bunda menuju rumah sahabatnya. 

Sesampainya kami di sana, kami langsung disambut oleh sahabat bunda yang bernama Tante
Iren, ia terlihat seperti sosok yang sangat hangat dan ramah. Lalu aku diajak Tante Iren untuk
berkenalan dengan anaknya yang bernama Jendra. Akupun menurut, dan menghampiri Jendra
yang berada tidak jauh dari sana.

Betapa terkejutnya aku, ternyata sosok Jendra yang dimaksud adalah pria yang selalu ku temui di
taman umum. Aku terdiam sejenak dengan tatapan yang bingung, begitupun dengan Jendra, ia
pun sama terkejutnya denganku. 

Masih dengan tatapan yang sedikit bingung akhirnya Jendra membuka suaranya, dan berkata,
"Lohh.. kamu kan?? yang biasanya ketemu di taman umum kan?" 

"e-eh iya, jadi nama kamu Jendra? anaknya Tante Iren?" tanyaku sedikit gugup.

"Iya aku Jendra, kebetulan banget kita ketemu lagi di sini. Nama kamu siapa?" 

"Aretha," ucapku. "Aretha Saski."


Wajah Jendra terlihat sedikit kaget setelah mendengarku namaku tadi. Ia segera menunjukan
sebuah novel yang ada di genggamannya. "Aretha saski? kamu yang nulis novel ini?" 

Jendra benar, novel yang ada digenggamannya adalah novel buatanku. Entah mengapa aku tidak
menyadarinya sedari awal, aku kaget sehingga hanya bisa fokus pada wajahnya. 

"Iya, itu novelku. Aku menulis novel itu selama berada di taman bersamamu waktu itu."
Jawabku pada Jendra. 

Akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Jendra, aku bercerita bahwa ia adalah inspirasi
dari novelku itu. Betapa bersyukurnya aku akhirnya berkesempatan untuk mengucapkan rasa
terima kasihku. Respon Jendra sangatlah baik, ia pun tak henti-hentinya memujiku, menurutnya
novelku sangat bagus, dan sering dibicarakan oleh teman-temannya. Rasa penasaranku selama
ini juga akhirnya terbayarkan, ternyata Jendra selama ini berada di taman bersamaku sambil
mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dan pada saat dia tidak datang kembali pada hari itu,
alasannya karena Jendra sempat pergi keluar kota untuk mengunjungi neneknya selama 1
minggu.

Jendra merupakan sosok yang sangat baik, perbincangan kami hari itu pun sangat nyambung,
dan menyenangkan. Pada malam harinya bunda mengajakku untuk pulang, akupun berpamitan
dari Tante Iren, dan Jendra. Namun itu bukanlah akhir dari hubunganku bersama Jendra. Siapa
sangka, sebuah taman umum dapat menjadi awal dari kisahku bersama orang yang aku cintai
saat ini. 

Anda mungkin juga menyukai