Anda di halaman 1dari 4

Lebih Baik Padam Dari Pada Pudar

Aku tak pernah menyangka bahwa semuanya datang dan pergi begitu cepat
bagaikan kilatan petir di langit yang menghitam. Tempat kos yang aku tempati ini lebih
nyaman dari yang terdahulu. Kamar-kamarnya yang menghadap ke sebuah halaman yang
maha luas memberi keleluasan pandangan tersendiri. Pertama kali aku menginjakkan
kaki di sini semua orang menyambutku dengan tangan terbuka kecuali satu orang, yaitu
ipunk.

Menurut Salsa, Ipunk itu anti sosial. Ia sering mengurung diri dalam kamarnya,
menyalakan pemutar musiknya sekeras-kerasnya atau meliuk-liukan suara gitar listriknya
tanpa tenggang rasa. Telah seminggu aku tinggal di sini baru dua kali aku melihat Ipunk,
itu pun hanya berupa kelebatan.

Sore itu aku tengah kepayahan membawa setumpuk barang dan tanpa sengaja
kakiku tersandung batu yang membuat tubuhku terpelanting dan barang-barang yang ada
dalam dekapanku berhamburan. Ipunk menghampiriku, dan menolongku ia hanya
menyingkirkan batu yang telah menghalangi langkahku. Lalu ia kembali ke teras
kamarnya, memangku gitarnya dan mulai memainkannya. Aku terpana atas
kepeduliannya yang aneh. Bila melihat sekilas, sosok Ipunk mengingatkanku akan
seorang dewa. Penampilannya, gesturnya bahkan suaranya ketika ia menyanyi sangat
mirip dengannya.

“Ipunk, itu tidak kidal. Namun ia belajar memainkan gitar secara kidal.” Salsa
menunjuk kamar Ipunk dengan dagunya. Aku terpana mendengarnya. Belajar menjadi
kidal di usia yang sekarang ini? Usaha yang sangat luar biasa dan memerlukan
kesungguhan. “Kapan-kapan, semisal kamu sudah mulai akrab dengannya dan itu
sepertinya tak mungkin. Tengoklah kamarnya, dindingnya dipenuhi oleh poster idolanya.
Sudah seperti wallpaper saja.” Syams ikut nimbrung. Sementara itu aku hanya bisa
manggut-manggut.

Setiap hari, aku disuguhi musik-musik yang menghentak dari balik dinding
kamarku. Terkadang aku mendengar teriakan garang Ipunk di sela-sela lagu yang tengah
diputarnya. Aku yang awalnya tidak begitu suka dengan komposisi musik itu mendadak
menjadi hafal liriknya. Kadang secara tak sengaja, bait-bait lagu itu meluncur begitu saja
dari mulutku. Lagu-lagu itu bagai bayangan yang terus mengikutiku, sejak bangun
sampai akan berangkat tidur. Berputar-putar dalam labirin di otakku. Menetap bagai
kerak.

Sampai suatu hari ketika aku tengah mengikat tali sepatu ketsku, satu bait lagu
keluar dari mulutku. Lagu yang baru saja aku dengar dari balik dinding kamarku ketika
aku tengah merapikan rambutku. “Tak kukira, tetangga sebelahku ternyata memiliki
kegemaran yang sama denganku.” Mendadak aku mengatupkan bibirku rapat-rapat demi
mendengar suara itu. Aku tengadah memandang Ipunk yang juga tengah memandangku.
Senyumnya mengembang. Dan mulai saat itulah, aku dan Ipunk sering bercakap-cakap.
Lebih tepatnya, aku mendengarkan dia bicara.

Suatu hari Ipunk membuka pintu kamarnya lebar-lebar, mempersilahkanku


masuk dengan sopan. Aku terpana, apa yang pernah Syams bilang benar adanya. Dinding
kamarnya dipenuhi dengan poster-poster sang dewa. Ada beberapa gitar yang
menggantung di sana, salah satunya adalah Fender Stratocaster, jenis gitar yang kerap
dimainkan oleh idolanya. Kumpulan CD dan kaset tertata rapi di meja bersama buku-
buku serta majalah yang aku tebak pasti berisi semua hal tentang idolanya itu. Kamarnya
bagaikan museum yang dipenuhi memorabilia. Sepanjang hidupku aku belum pernah
melihat yang seperti ini. Aku ternganga, ini semua luar biasa. Sang dewa memang telah
menyihir banyak anak muda namun aku tak menyangka sampai seperti ini.

Dengan sopan pula Ipunk mengajakku untuk ikut berkumpul dengan


komunitasnya. Dan hal ini tak kalah luar biasanya. Aku kembali ternganga, banyak sekali
orang yang memirip-miripkan dirinya dengan idolanya. Aku seakan berada di tengah-
tengah kloningan sang dewa.

Siang itu awan hitam bergumpal di kepalaku. Hujan mulai turun, satu persatu
tetesnya menyentuh kepalaku. Aku berlari menyelamatkan diri, menyelipkan tubuhku di
antara orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko. Di sana, di antara orang-orang
yang berdiri mematung menunggu hujan reda, terselip pemuda dengan rambut
gondrongnya tengah membaca sebuah surat kabar dengan serius. Dengan susah payah,
aku menggeser tubuhku sedikit demi sedikit sampai akhirnya berada di sampingnya.

“Hei, sedang baca apa?” sapaku basa basi.

Ipunk menatapku sekilas lalu kembali menekuri artikel yang tengah dibacanya.

Aku terhenyak, mengapa Ipunk tidak seperti biasanya. Ia terlihat sangat muram.

Tiba-tiba Ipunk menyerahkan surat kabar itu kepadaku, lalu pergi menembus hujan yang
pekat itu.

Beberapa minggu ini aku tak pernah melihat Ipunk. Ia seakan hilang ditelan bumi.
Rupanya kesedihan telah membuatnya enggan untuk menyapa dunia. Suatu malam aku
pernah melihatnya dari balik gorden jendelaku. Ia datang dengan dua temannya, masuk
kamar sebentar lalu pergi lagi. Walaupun kamar kami bersebelahan, tapi tidak
membuatku menjadi tahu semua hal tentang Ipunk.

Libur semester telah usai, gerbang tempat kos ku telah berganti warna. Dengan
ringan aku langkahkan kakiku menuju kamarku. Namun langkahku terhenti demi melihat
sesuatu yang ganjal di depan pintu kamar Ipunk. Selembar pita kuning bertulis
“Dilarang melintas garis polisi” melambai ditiup angin sore. Aku sangat terkejut, di
kepalaku mulai berkumpul banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban segera. “Dua
hari lalu dia ditemukan tak bernyawa oleh pak Rusli di kamarnya.” Syams berbisik lirih
di telingaku. Aku menahan nafasku. “OD.” Syams kembali berbisik. Aku terhenyak.

Hari ini tanggal 10 berarti dua hari yang lalu adalah tanggal 8. Angka yang sama,
dimana sang dewa grunge ditemukan tak bernyawa di rumahnya sendiri. Entah kebetulan
atau apa, aku tak tahu. Aku menggelengkan kepalaku tak percaya, ada rasa kehilangan
dan kecewa. Baru saja aku mengenalnya, namun kini dia telah pergi untuk selamanya.

Ketika aku melangkah ke dalam kamarku, telapak kakiku menyentuh selembar


kertas yang terkulai lemas di lantai. Tanganku gemetar ketika aku meraih kertas itu.
Selanjutnya lembar kertas itu pun basah oleh tetesan air mataku.
Dia adalah penyelamat hidupku. Tanpa dia, mungkin aku masih menjadi orang
yang apatis terhadap kehidupan. Hanya dia yang selalu memberiku semangat,
mendukungku dan menyayangiku dengan caranya sendiri melalui musiknya.Namun itu
semua telah berakhir. Dia selesai, aku pun demikian.

Lebih baik padam daripada pudar.

Anda mungkin juga menyukai