Anda di halaman 1dari 7

Penulis: M.

IQBAL REZA SHAH PALEVI

Kelas : XI IPS 2

Judul : Negeri Dalam Dinding

Semenjak keluargaku pindah dari rumah nenek, hampir setiap malam aku susah untuk
mengistirahatkan mataku. Aku selalu mendengar suara layaknya pesta dibalik dinding
kamarku. Aku sangat penasaran akan hal itu, tapi aku tak punya keneranian untuk
menyentuhnya. Karna itu aku mengajak sahabatku untuk menginap dirumahku
dengan alasan mengerjakan UKBM yang diberikan Abah Lukman, guru PABP di
sekolahku. kebetulan Ayah dan Ibu keluar desa untuk mengurus bisnisnya. Bagiku,
berada dirumah sendirian sudah seperti uji nyali.

“Dengar tidak?”, bisikku. Terdengar suara orang tertawa, bernyanyi dan dentingan
piano yang mengalun indah.

“Kebiasan kentutnya kumat nih...!”, seru Fauzan dengan mimik muka mencela.

“Baka yaro, kali ini serius akuuu”, balasku dengan wajah meyakinkan.

“Apa yang harus kita lakukan?”, Fauzan merengkuh tanganku.

“Sepertinya memang ada sesuatu di balik dinding ini, Zan. Hampir setiap malam aku
mendengarnya.”, bisikku.

Aku mengusap keringat dingin yang ada di dahi. Ini sungguh mengerikan.

“Aku mau pulang saja kalau tahu begini”, rengek Fauzan padaku.

“Enak saja! Kalau kau pulang, aku tidur dengan siapa malam ini?”, aku melotot ke
arahnya.

“Aku takut! Bagaimana kalau kau tidur di rumahku saja? Biarkan saja rumahmu
kosong satu malam ini”, Fauzan mengajukan saran dan berharap aku akan
mengabulkannya.

Aku menggelengkan kepala. Fauzan yang dari tadi masih memegangi lenganku
semakin manyun.
“Sudahlah, kalau kau takut kita tidur di kamar tamu saja. Yang penting malam ini kau
di sini bersamaku.”, ucapku akhirnya memberikan solusi.

Kami akhirnya keluar dari kamarku dan memutuskan untuk tidur di kamar tamu.
Bukannya aku tidak mau menginap di rumah Fauzan, hanya saja aku tidak bisa tidur
di rumah orang lain. Aku bisa terjaga sepanjang malam dan esoknya aku akan
mengantuk sejadi-jadinya. Jadi, daripada besok aku ketiduran saat jam pelajaran,
lebih baik aku bertahan di rumahku.

Aku memang terbilang masih baru di lingkungan ini. Kami baru sebulan menempati
rumah ini. Rumah ini juga pemberian dari perusahaan karena Ayah ditugaskan untuk
mengurus beberapa aset perusahaan yang berada di sini. Aku tidak menyukai tempat
ini karena jauh dari peradaban manusia. Jauh dari sekolahku, jauh dari tempat
perbelanjaan, jauh dari tempat ngopi dengan teman-temanku. Aku selalu mengeluh
kepada Ibu untuk membiarkanku tinggal bersama Nenek di kota. Tapi Ibu bukanlah
Ibu yang gampang dibujuk. Sekali ia menggelengkan kepalanya, jangan coba-coba
bertanya lagi, atau aku akan merasakan sakitnya uang jajan tak keluar sepeser pun
berhari-hari.

Sejak pindah ke tempat ini, aku selalu mendengar suara-suara aneh. Kadang seperti
suara orang yang sedang mengadakan pesta, kadang seperti orang yang sedang
berdiskusi, kadang suara anak-anak yang sedang belajar bernyayi. Aku sempat
mengira itu adalah suara dari tetangga sebelah, ternyata semakin jelas terdengar
ketika aku merapatkan telingaku ke dinding kamarku. Aku sampai melompat ketika
mendengar suara itu berasal dari balik dinding kamarku. Bagaimana mungkin?

Dinding kamarku menyatu dengan ruang tamu di rumahku. Aku mengira suara itu
berasal dari ruang tamu, ketika kuperiksa ternyata tidak ada apa-apa. Bahkan suara itu
hanya bisa didengar ketika berada di kamar saja. Dan suara itu hanya bisa didengar
saat kita sedang benar-benar berkonsentrasi. Aku selalu mencari kesempatan untuk
menghancurkan dinding itu. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik dinding
itu.
Hari ini adalah hari yang tepat, karena Ayah dan Ibuku tidak berada di rumah. Tapi
sahabatku yang penakut ini semakin membuatku takut dengan teriakan-teriakannya.
Fauzan bisa berteriak kuat sekali saking takutnya. Teriakannya bisa memecahkan
gendang telinga kita. Dan aku tidak akan sudi jika gendang telingaku harus pecah
hanya karena teriakannya itu.

“Zan, aku mau melakukan sesuatu malam ini di kamarku. Sebagai sahabatku satu-
satunya, kau harus membantuku.”, ucapku pada Fauzan yang sedang mengurung
dirinya di dalam selimut.

“Aku tidak mau membantumu jika itu menyangkut suara-suara aneh tadi!”, teriaknya.

“Pliiis, sekali ini saja. Kau hanya perlu menemaniku di dalam kamar. Kau tak perlu
melakukan apapun. Hanya menemaniku saja.”, bujukku dengan nada memelas.

Kepala Fauzan menyembul dari balik selimut, matanya seolah mengancamku, Awas
kau kalau menyuruhku yang tidak-tidak. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali
sambil tersenyum dan mengacungkan dua ibu jariku. Fauzan keluar dari selimutnya
dan mendorongku untuk keluar menuju kamarku. Yes! Akhirnya malam ini aku bisa
memecahkan misteri ini.

“Kau mau melakukan apa Lev?”, tanya Fauzan.

Aku membuka lemari pakaianku dan mengambil dua palu besi besar dari sana.

“Baka yaro, kau mau membunuhku?!”, teriaknya.

Aku tidak bisa menahan tawa melihat wajah pucat sahabatku ini. Aku semakin
menakut-nakutinya dengan berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Ia hampir pingsan
kalau saja aku tidak tertawa terbahak-bahak saat itu. Fauzan memukul kepalaku
dengan tangannya.

“Sialan kau!”
Kuberikan satu palu besi itu padanya. “Bantu aku menghancurkan dinding ini.”

“Kau gila? Bagaimana kalau Ibumu marah? Lagipula tadi kau yang mengatakan
padaku untuk tidak melakukan apapun selain menemanimu.”, Fauzan memalingkan
wajahnya sambil berkacak pinggang.

“Ayolah, kau tega melihatku menghancurkan dinding ini sendirian? Kalau kau ikut
membantu kan semuanya bisa cepat selesai.”, aku membujuknya.

Akhirnya Fauzan mengalah. Ia mau membantuku mengancurkan dinding ini.


Sebelum mulai menghancurkan dinding ini, kami mencoba mendengar kembali
suara-suara aneh itu. Suara itu semakin jelas ketika kami benar-benar berkonsentrasi.
Kami mulai memecahkan dinding kamarku, tidak butuh waktu lama, kami sudah
membuat lubang di dinding itu.

Ternyata antara dinding kamar dengan dinding ruang tamuku ada semacam jarak
sekitar 50 sentimeter. Dan betapa kagetnya kami ketika mendapati ratusan jamur
berwarna-warni seukuran jari manis sedang lalu lalang. Fauzan yang dari tadi sibuk
mengomel sekarang diam seribu bahasa. Aku yang dari tadi harap-harap cemas
dengan apa yang akan kami temui dibalik dinding ini juga tidak bisa mengeluarkan
kalimat sepatah katapun.

Sungguh ini seperti di anime-anime yang biasa kutonton yang penuh dengan
imajinasi. Bagaimana mungkin ada jamur berwarna-warni dan bahkan beberapa dari
jamur itu mengeluarkan cahaya yang menakjubkan. Aku benar-benar kagum melihat
keindahan ini. Kalian pernah melihat film Disney yang berjudul Smurf? Kalian pasti
tahu kan kota mereka seperti apa? Seperti itulah yang kulihat saat ini. Benar-benar
tidak masuk akal. Fauzan bahkan berulang kali menyuruhku mencubit lengannya.

Jamur-jamur indah itu bergerak kesana kemari. Ada yang melakukan paduan suara,
ada yang bermain piano, ada yang berdiskusi di sebuah meja kecil, entah
mendiskusikan apa. Kulihat di leher jamur itu tergantung benda kecil seperti pengeras
suara, entah apa gunanya aku tak tahu. Mungkin seperti alat pengenal atau alat
komunikasi antar jamur itu. Aku mencoba mendengarkan bahasa yang mereka
gunakan. Aku tidak mengerti sama sekali dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka
terdengar seperti orang yang sedang beradu mulut, cepat sekali ketika berbicara.

Fauzan mencoba untuk menyentuh jamur-jamur itu. Tiba-tiba saja ia menjerit


kesakitan.

“Kau kenapa?”, aku bertanya panik.

“Jamur itu menyetrumku. Dia punya sengatan listrik di tubuh cantiknya”, Fauzan
meringis kesakitan.

Sengatan listrik? Aku tak mempercayai perkataan Fauzan. Kucoba untuk menyentuh
jamur berwarna polkadot pink. Aku tidak merasakan apapun. Tapi tidak berapa lama
kemudian, tanganku terasa sangat gatal dan panas. Aku mulai menyadari sesuatu,
mungkin setiap jamur ajaib ini memiliki kekuatan yang berbeda-beda untuk
melindungi diri mereka dari dunia luar.

Aku masih penasaran, aku mencoba menyentuh jamur berwarna pelangi. Hanya ada
satu jamur yang berwarna pelangi dan ia sangat mencolok karena memiliki warna
yang berbeda dari jamur lainnya. Aku beranggapan bahwa ia adalah leadernya.
Ketika aku mulai menyentuhnya, “AAARGGHHH!!”.

Jamur itu menggigit tanganku. Aku kaget sekali. Aku dan Fauzan menjauh beberapa
saat dari lubang itu. Sial! Jamur ini memiliki potensi melukai manusia. Setelah
mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya lagi, aku melihat jamur pelangi itu
berdiri menatap ke arahku dan Fauzan.

“Zan, kau lihat itu? Dia menatap kita. Apakah dia marah karena kita telah mengetahui
tempat tinggalnya?”, bisikku pada Zan sepelan mungkin.

“Aku rasa dia tidak marah. Lihat matanya, sepertinya dia ingin berkomunikasi dengan
kita, Lev.”

Aku mendekati jamur pelangi itu. Jamur itu tersenyum, ia mengulurkan tangannya
yang kecil ke arahku, seperti mengajakku untuk bersalaman. Sebenarnya aku tidak
tahu apakah itu tangannya atau bukan, karena kalau kusebut itu tangan bentuknya
tidak seperti tangan dan tidak mempunyai jari seperti kita. Aku mengarahkan jari
telunjukku untuk menyentuh tangannya. Jamur pelangi itu tiba-tiba berubah warna
menjadi ungu. Aku pun mengerti satu hal, jamur cantik ini tidak akan menyakitiku
jika aku tidak menyentuhnya secara tiba-tiba.

Setelah beberapa detik, jamur-jamur yang lain datang berkerumun melihat ke arah
kami membentuk formasi. Sungguh, ini pemandangan yang sangat indah. Dan
mereka semua mengulurkan tangannya ke arah kami untuk disentuh. Karena setiap
sentuhan akan mengubah warna mereka. Fauzan sangat bersemangat untuk
menyentuh mereka semua. Ia bahkan lupa bahwa beberapa saat lalu ia disetrum oleh
salah satu jamur itu.

“Ini pengalaman pertamaku melihat jamur berwarna-warni dan bergerak seperti


layaknya manusia, Lev.”, ucap Fauzan dengan nada terharu.

“Kita harus merahasiakan ini dari Ibuku maupun dari teman-teman kita. Hanya kita
berdua saja yang tahu, kau setuju?”, tanyaku pada Fauzan.

Fauzan menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“Tapi, bagaimana bisa merahasiakannya dari Ibumu? Sementara kita sudah membuat
lubang besar di dinding kamarmu.”

“Itu gampang, kita tutup saja dinding ini dengan poster besar yang baru kau beli di
festifal anime tadi siang, Zan.”, jawabku seenaknya.

Fauzan menggilai anime, sampai-sampai dia rela menghabiskan uangnya hanya untuk
membili sebuah poster anime yang dia sukai

“Enak saja!”, Fauzan lagi-lagi memukul kepalaku dengan tangan tangan panjangnya.

“Westalah, nanti kubelikan lagi yang baru, yang lebih besar.”, ucapku mengarang
jawaban.
Aku bergegas mengambil posternya dari dalam tas Fauzan tanpa menunggu
persetujuannya. Kupasang perekat di masing-masing ujung poster itu dan dengan
hitungan menit lubang itu sudah tertutup oleh poster Anime kesayangan Fauzan. Aku
menarik napas lega. Ternyata selama ini suara-suara aneh itu berasal dari jamur-
jamur cantik yang tinggal di balik dinding kamarku. Aku baru menyadari ternyata ada
negeri di balik dinding itu. Negeri para jamur cantik dan ramah. Kalau sudah begini,
aku tidak akan mengeluh pada Ibu untuk dipindahkan ke kota bersama Nenek. Aku
bersedia tinggal di sini lebih lama lagi. Aku dan Fauzan tersenyum sambil
memandang poster Anime yang mangkring indan menempel dinding. Selanjutnya,
aku bergegas melanjutkan petualnganku didalam mimpi.

Anda mungkin juga menyukai