Anda di halaman 1dari 9

Makanan Tradisional Indonesia

Cerpen Karangan: Alyaniza Nur Adelawina


Kategori: Cerpen Budaya

Namaku Christynia Mellsa Paradise. Akrab disapa Christy (baca: kristi). Aku mempunyai
kembaran, namanya Christalia Mellsy Paradise. Akrab disapa Christa (baca: Krista). Kami
hanya berjarak 3 menit 30 menit dan 33 detik. Angka yang cantik, bukan? Kami lahir pada
tanggal 03 Maret 2005. Aku lebih tua dari Christa. Otomatis, aku kakaknya. Oya, kami bisa
dibilang kembar tidak identik. Rambutku berwarna pink kehitam-hitaman sebahu dan ikal.
Poni yang pendek dan dibelah dua. Sedangkan rambut Christa, coklat pekat sepunggung lurus
dan poni yang rapi plus lurus. Anak rambutnya yang berada di depan telinganya membuat ia
tambah manis. Kami juga bisa dibilang anak Blasteran, tepatnya Indonesia-Amerika. Dadsy
keturunan Amerika, sedangkan Momsy keturunan Indonesia, tepatnya Jakarta.
Sesampai di sekolah, aku dan Christa memasuki ruangan kelas yang sama, kelas 6-2B. Aku
meletakkan tasku di bangku no 3 dekat tembok. Sedangkan Christa di sampingku. Kulihat,
beberapa anak perempuan sedang berkumpul. Aku dan Christa kompak menghampiri mereka.
Ada Vanessa, Gryssa, Qwenssa. Namanya sama-sama ‘Ssa’ nya. Katanya, ibu mereka lahir di
rumah sakit yang sama, tanggal yang sama, dan kamar yang bersebelahan. Aneh bin ajaib,
kan…? Hampir lupa bilang, mereka adalah sahabat kami juga.
“Hai, Gryssa, how are you?” tanya Christa pada sahabat dekat(banget)nya, Gryssa. “I’am
fine, thank you,” jawab Gryssa seperti biasanya, ceria dan ramah. “Kalian sedang
mengobrolkan apa?” tanyaku. “Gini, lho, Ty… Di dekat jalan Indonesia Jaya, terdapat
restoran mewah. Ya, semula kami berpikir bahwa itu masakan khas Italy, Japan, or France.
Ternyata, isinya makanan khas Indonesia, makanan kampung. Seperti Pempek, gorengan,
Sayur Asem, Gudeg, atau lainnya. Awalnya kami menolak, setelah mencicipinya, ternyata
enak. Bahkan, aku yang pesan Pempek Kapal Selam, sampai pesan hingga 3 piring,” cerita
Vanessa diakhiri cekikikan. “Wah, aku harus kesana!!!” pekik Christa si ‘Maniak Makanan
Kampoengan’. “No, no, and no!!” pekikku tidak kalah nyaring. Aku memang anti terhadap
makanan kampungan. “Kau harus mencobanya, Christy. Tidak mungkin, jika Christa
menyukai makanan tidak enak,” bujuk Qwenssa si pendiam. Setelah beberapa bujukkan
Vanessa, Qwenssa, Gryssa, dan Christa, aku menyerah.
Ting… Ting… Ting…
Bel masuk berbunyi. Kami baris di lapangan untuk melaksanakan Upacara Bendera. Usai
Upacara Bendera, kami segera melakukan proses Belajar-Mengajar.
“Horee!!!” teriakan dari kamar Momsy dan Dadsy, membuatku penasaran. Segera saja, aku
menuju ke kamar Momsy dan Dadsy. “Ada apa?” tanyaku heran. Di kamar terdapat Christa
dan Momsy. “Momsy mengizinkan kita ke Restaurant yang dibilang teman-teman tadi!!” seru
Christa. “Memangnya, Dadsy tidak lembur?” tanyaku lagi. “Dadsy tidak banyak pekerjaan.
kemungkinan, Dadsy pulang pukul 16.00,” jawab Momsy. Aku melirik ke arah jam dinding
kamar. Pukul 14.30. Sekitar 1,5 jam lagi, Dadsy pulang.
Pukul 18.45, kami segera bersiap. Aku dan Christa mengenakan pakaian yang sama. Kaos
berlengan 3/4 berwarna kuning, rompi tanpa lengan hijau motif batik (pemberian dari nenek),
rok berbahan kasar warna hijau, dan celana berwarna kuning. Tak lupa sepatu hitam dan jam
tangan putih. Aku memasang bandana di kepalaku. Sedangkan Christa, dia mengikat
rambutnya seperti ekor kuda. Kami segera turun.
“Anak-anak Dadsy sudah cantik dan rapi. Ayo, masuk mobil!” ucap Dadsy. Kami segera
masuk mobil. Mobil melaju menuju restoran. Sesampainya, kami segera turun. “Makanan
Kampoeng Indonesia Restaurant,” bacaku dan Christa kompak. “Ty, Ta, ayo masuk!” ajak
Momsy. Kami segera masuk. Di dalam, terlihat masih memakai theme kampung, namun
mewah dan nyaman. Kami segera mendapat kursi yang nyaman. Restoran ini sungguh ramai,
namun tetap tenang.
“Permisi, anda mau pesan apa?” tanya seorang pelayan yang datang ke-meja kami. Dari
badge namanya, dia bernama Retni. “Aku pesan sepiring lontong sayur, segelas susu jahe,
dan sepiring kue lupis,” pesan Christa paling awal. “Hmm… Saya pesan 2 piring nasi dengan
ayam penyet, 2 cangkir kopi jahe, dan sepiring bola-bola ubi,” pesan Momsy. Karena aku
tidak pernah makan makanan seperti ini, aku memesan nasi uduk satu, teh hangat satu, dan
kue dadar gulung sepiring. Mbak Retni mengulang pesanan kami, dan pergi.
Tak lama, pesanan kami datang. Ketika yang lain sudah mulai makan, aku pun belum makan
sebutir nasi-pun. “Christy, kenapa tidak dimakan nasinya?” tanya Dadsy heran. “Ak..ku…
Rag..Gu.. Kal..Kalau… Makanan..Nannya… Tidak… En..Enak!” ucapku dengan sedikit
terbata-bata. “Coba dulu!” perintah Momsy lembut. “Iya! Nasi Uduk itu enak, lho…,” bujuk
Christa. Ia menjilati bibirnya karena ada kuah lontong sayur.
Aku mulai menyuapi mulutku dengan satu sendok, walaupun agak ragu-ragu. Benar!!
Rasanya enak, dan nafsu makanku bertambah! Aku segera menghabisinya.
35 menit kemudian, kami selesai makan. Usai dibayar, kami segera pulang. “Enak kan?”
tanya Christa dengan nada menggoda. Aku menganggukkan kepala. “Makanya, dicoba dulu,
Christy. Jangan komentar dulu. Dikasih makanan kampung jawabnya ‘Iihh… Nggak mau!!
Nggak enak, kampungan!!’. “Aku tersipu malu. Mulai sekarang, aku menyukai makanan
tradisional Indonesia. Karena, jika makan Fast Food terus, itu tidak baik.
Anak Bangsa
Cerpen Karangan: Kalimatus Sa'diyah
Kategori: Cerpen Budaya

Rasa kesal di hati membuatku geram. Seperti kata guru seniku bahwa Angklung LAGI LAGI
diklaim negara tetangga. Apa-Apaan mereka itu!. Seperti tidak ada kebudayaan
Hai, namaku Ara. Aku adalah seorang murid kelas 11 di salah satu SMA Negeri di Jakarta.
Suasana hatiku sangat buruk hari ini. Mengapa? Karena negera tetangga mengklaim salah
satu kebudayaan di negeriku ini. Huh… hari ini sangat melelahkan ditambah dengan suasana
hati yang mendung.
Siang ini kenapa panas sekali sih, dan kenapa koridor sekolah ini terasa sesak. Ya ampun…
sudah berapa kali aku terus mengeluh. Sambil mencoba berjalan santai, aku melirik beberapa
kegiatan yang dilakukan siswa lain dan mencoba tersenyum jika ada seseorang yang kukenal.
Setelah keluar dari koridor yang menyesakkan aku menuju sebuah ruangan radio tempat para
anggota berkumpul. Di sekolah ini, aku hanya mengikuti eskul mading dan kenapa aku
berkumpul di ruang radio karena sesekali beberapa anggota mengisi untuk membawakan
HOT NEWS.
Saat kubuka pintu, teman-teman menyambut kedatanganku dengan berbagai keluhan.
“Ara, kamu lama banget si!” sahut Alfa dengan cepat. Dia ini emang gak sabaran orangnya
jadi maklum aja.
“Iya lo lama banget, bete gua!” sambar si kembar dengan kompak. Kembar tidak identik yang
bernama Alma dan Anta.
“Udahlah guys… kita mulai aja rapatnya.” Lerai Riga. Aku suka banget sama sifat Riga, dia
punya sifat wibawa banget. Tipe ideal aku banget.
“Hehehe maaf ya semuanya.” Aku meminta maaf kepada mereka. Sebenarnya, di sini ada
sekitar 10 orang, tetapi mereka tersenyum maklum dengan sikap ngaretku ini. Aku jadi
merasa tidak enak.
O iya hari ini kami gak siaran karena kehabisan HOT NEWS. Dan kami di sini akan
merapatkan tentang berita selanjutnya.
“Karena Ara udah datang kita mulai aja langsung ya, kalian udah pada izin kan sama
orangtua?” kata Riga memulai pembicaraan.
“Udah!” jawab kami serempak.
“Oke sekarang untuk berita selanjutnya tentang apa nich?” kata Riga enteng sambil
mengeluarkan sifat alaynya untuk mencairkan suasana.
“Jangan mulai alay deh Rig jijik gua.” Sahut Rini dengan memasang wajah jijik.
“Hahahahaha.” Kami pun tertawa geli melihat pertengkaran mereka berdua.
“Oke serius!” suara Nanda menginterupsi, seketika kami langsung berhenti tertawa.
“Ehmm… Jadi?” kata Riga.
“Gimana kalau masalah kebudayaan kita aja yang diklaim itu?” Baim menjawab dengan
cepat dan membuat moodku turun seketika.
“Ish, jangan ngomong itu lagi dong sebagai anak bangsa aku kesel nih.” Alfa menjawab
pertanyaan Baim.
“Boleh juga tuh usul Baim, kita bisa memberi tahu kepada teman-teman bahwa saat ini kita
harus lebih peduli kepada kebudayaan kita,” Jawab Naja menyetujui usulan Baim.
“Iya juga sih.” Jawab ku lesu.
“Terus… terus kita juga bisa bikin mading buat memperkenalkan kebudayaan kita yang
jarang orang tau.”
“Kebudayaan yang kaya gimana nih?” sahut Andri
“Kemarin tuh aku sempet browsing, ternyata ada beberapa kaya Ronggeng Ketuk, Topeng
Menor sama apa lagi ya aku lupa.” Sahut Naja sambil mengingat.
“Ih apa harus banget? Padahal kan di sekolah kita lagi ada berita HOT banget tau.” Jawab
Alma.
“Berita apaan kok aku gak tau.”
“Kudet si lo, kemarin tuh ada berita yang heboh banget sebut pake inisial aja ya si J mutusin
si S.” jawab Anta dengan semangat. Kami menggelengkan kepala bersama melihat si kembar
kompak.
“Bukan urusan kita tau, emang kita mau apa ditegur sama sekolah karena nyiarin berita
begituan.” Jawab Sinta tak menyetujui usulan si kembar.
“Kalau aku sekarang setuju sama usulan Baim deh.” Jawab ku mantap.
“Aku saranin jangan budaya Indonesia deh soalnya kuno banget mending Kpop atau gak
Jpop kan lagi hits tuh.” Sahut Alfa memberikan usulan lain.
“Jangan gitu dong Fa masa kamu anggap budaya sendiri kuno.” Sanggah ku menolak
usulannya.
“Gue setuju tuh sama Alfa emang budaya negeri ini kuno mending yang lain dah.” Jawab
Anta.
“Karena itu kita harus membuat budaya kita lebih di kenal.”Jawab ku kesal.
“Budaya kita itu kuno makanya banyak orang malas buat mempelajarinya.” Alma ikut
memberi sanggahan.
“Apa sih, kalian itu lahir di Indonesia masa gak ada rasa Nasionalisme si.” Rini ikut member
pendapat.
“Mungkin kalau gue bisa milih, gue gak bakal mau lahir di Indonesia.” jawab Anta dan
diangguki oleh Alma dan Alfa.
“Itu udah takdir Tuhan buat kalian lahir di Indonesia dan kalian lahir punya tujuan di sini.”
Jawabku dengan kesal.
“Stop!! Kenapa jadi melenceng si kita voting aja kalau kaya gitu,” Riga mengeluarkan suara
juga setelah memperhatikan kami beradu pendapat.
“Siapa aja yang setuju kalau budaya Kpop dan Jpop?” Alma, Anta dan Alfa mengacungkan
tangan nya.
“Siapa yang budaya Indonesia?” Baim, Rini, Sinta, Nanda, Naja, Aku, bahkan Riga
mengacungkan tangan kami bersama.
“Sesuai voting berarti budaya Indonesia yaa.” Riga memutuskan setelah dilakukan voting.
Alma, Anta, dan Alfa menatap kami dengan dengan muka marah. Mereka memang kadang
menyebalkan karena tidak ingin mengalah dan ingin selalu diikuti permintaannya. Tiba-tiba
mereka berdiri dan keluar dari ruang siaran. Kami bertatap muka dan menghela napas karena
sifat kekanakan mereka. Setelah kepergian mereka kami melanjutkan rapat dengan cepat.
2 HARI KEMUDIAN
Pagi ini, udara sangat sejuk meskipun kendaraan sudah mulai memenuhi jalan. Aku berjalan
santai dengan suasana hati yang cukup baik.
“Araaa!” Aku menolehkan kepala saat ada yang memanggil namaku. Ternyata Riga
memanggilku sambil berlari.
“Kamu kenapa? Habis dikejar anjing?” Riga menggeleng di sela-sela mengatur napas.
Aku menunggu sambil dia menstabilkan udara yang masuk melalui hidungnya.
“Masa Alma, Anta, Alfa keluar dari eskul.” Riga memberi tahu maksud dia memanggilku.
“Ha! Biasanya mereka kalau marah gak sampe segitunya deh.” Aku menyuarakan pendapat.
“Gak tau tuh mereka kekanakan banget padahal udah 17 tahun.” Kami pun melanjutkan
menyusuri koridor sambil berbincang.
“Yaudah lah, menurutku sih mereka bakal masuk lagi hehehe.” Aku terkekeh geli yang sudah
tau sifat mereka.
“Semoga aja si yang penting kita fokus aja buat mading terus siaran. Oh iya, lu udah ketemu
materinya? Ingat 3 hari lagi ”
“Udah ko tenang aja nanti tinggal di rubah kalimatnya biar kelihatan keren gitu.”
“Sip lah. Gue duluan ya, bye.”
“Bye”
3 HARI KEMUDIAN
Siaran sukses, mading udah di tempel dan banyak menarik minat siswa. Kemudian seperti
perkiraanku Alfa, Alma, dan Anta masuk eskul lagi. Mereka udah mengaku menyesal si dan
gak bakal ngulangin lagi. Terus mading ini di ikutin lomba dari sekolah karena isinya bagus
banget dan banyak orang yang gak tau.
Cerpen Sosial
Untuk Sahabatku

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung,
begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika
ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang
diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat.
Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama
pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah
hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari
sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa
kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin
sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap
dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat.
Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya.
“May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Ria
pada sahabatku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya,
‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan
tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama.
Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan
tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik.
Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang
yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup
wajahku dengan bantal.
Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku
tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri.
Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat
selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan
yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka menjauhiku. “Faiy, lo kenapa
sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga
papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau
nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita
tentang lelaki yang dia sukai.
Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak
ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala
dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy,
kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yang dulu
paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat
dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi
menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku
menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian.
Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat
Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga
tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu
bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri.
Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup
sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan
selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia
akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-
tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu
nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue
ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…”
Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga
ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi
padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan
malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan
kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal
putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum.
Akhir sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga
persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan
menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang
terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan,
innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.
Cerpen Sosial
Sahabat Yang Tak Terlupakan

Lolos moderasi pada: 24 December 2019


Hari yang cerah saat tersenyum bersamanya. Dia yang selalu ada bersamaku, menemaniku di
saat saat yang paling penting dalam hidupku.
Aku mengambil ponsel di saku bajuku
“Jel ayo pulang udah sore!! Kan besok sekolah”.
“Iya tunggu din!”
Beberapa saat kemudian
“kamu kemana aja sih jel? Aku nunggu di sini udah lama lohh”.
“iya maaf maaf tadi kan aku pergi ke perpustakaan”.
“Ahh kamu kebiasaan dehh kalo ke perpustakaan ga bilang bilang dulu. Yaudah yuk pulang
besok kan sekolah”
“Iya”.
Aku pun pergi menunggu angkutan umum dan kembali pulang ke rumah masing masing.
Keesokan harinya
“Asalamualaikum… dinaaaa…”
“iya, waalaikum salam jelita tunggu sebentar ya pake sepatu dulu.
“Iya”.
Aku pun pergi seperti biasa ke sekolah, belajar seperti biasa. Dan kembali pulang ke rumah
seperti biasanya.
Hari weekend tiba aku pergi bermain bersama jelita ke bioskop.
Saat perjalan Pulang…
“Jelitaaaa?”
“Iya apa din?”
“Kamu gak lupakan minggu depan hari apa?”
“emang minggu depan hari apa??”
“Ihhhhh… Masa kamu gak inget sih, minggu depan itu hari ultah aku!!!”
“oh iyaaa aku lupaaa.. CIE yang mau ultah ummm… Bahagia pasti karna mau dapet kado.
Iyaaaaa kaan…?”
“hehehe.. Kamu tau aja Jangan lupa ya kadonya aku tunggu minggu depan”.
“Iya.. Iya.. Kalo aku gak lupa Hehehee…”
“ahhh kamu mah gitu..”
“iya.. iya.. dehh. Jangan marah dong”.
“hahaha… makasih ya jel kamu tuh emang sahabat aku yang paling baik”.
Beberapa hari kemudian H-3 hari jumat, Tiga hari sebelum ultah dina. Seperti biasa jelita
datang ke rumah untuk pergi sekolah bareng.
“assalamualakum… Dianaaaa!”
“Waalaikum salam..”
“eh jelita. Jel titip Surat ya ke walikelas nya dina, Dina gak akan sekolah sakit”.
“Oh gitu ya tan. Yaudah deh jelita pergi sekolah dulu yaa. Assalamualaikum”
“Waalaikum saalam”.
Keesokan harinya aku masih tak bisa sekolah karena sakit. Sampai akhirnya waktu yang
ditunggu tunggu tiba Nanti kan jam 12 malem hari ultahku, aku gak akan tidur sebelum jam
12 malem”.
Tinggg.. Tingggg… Tinggggg
Suara dentingan jam yang terus melaju sampai Saatnya 5 menit sebelum jam 12
“Aku udah gak sabar nihhh”
Ting ting ting… suara alarm yang berbunyi Dan menunjukan tepat pukul 12 malem.
Tiba tiba…
“Happy birthday… Happy birthday…”
“Happy birthday to you”. Kejutan ulangan tahun Dari mama Dan teman teman semua, aku
sangat senang Dan bahagia.
“Makasih ya mah udah buat ini semua”.
“Mah jelita mana ya mah Kok aku belum liat sih?”
“Mama juga ga tau”.
Tiba tiba Ada suara bel pintu berbunyi
“Eh jelita akhirnya kamu dateng juga. Kenapa telat? Aku udah Nuggu kamu tau Dari tadi”.
“ah massa aku kan cuma telat 5 menit aja Kok. Happy birth day ya semoga kamu selalu
bahagia. Nih kado Dari aku but kamu, maaf aku gak bisa lama-lama disini, aku Ada perlu
dah. aku Pulang dulu yah”.
“Kenapa Pulang? Ya udah deh Kalo kamu mau Pulang tapi besok ke rumah aku yah Jangan
lupa!”
“iya, tapi pasti kamu yang bakal ke rumah aku”.
“Ya udah deh. dah… Hati-hati di Jalan yah”.
Keesokan harinya Saat aku menunggu jelita, aku menerima kabar bahwa jelita mengalami
kecelakaan Saat akan pergi ke rumahku pada malam hari. Penyebabnya adalah karena Dia
buru buru ingin pergi ke rumahku sehingga tidak melihat mobil yang Ada di depannya
sehingga kecelakaan pun terjadi. Sekarang jelita sedang dirawat di rumah sakit. Itu lah yang
dikatakan ibu jelita kepadaku.
“Apa jelita kecelakaan!!!. Tatapiii Dia kan semalem ke rumahku Dan ngasih kado katanya
Dia Ada urusan sehingga tidak bisa merayakan ulang tahunku”.
Setelah itu aku langsung pergi ke rumah sakit dengan yang lain. menunggu jabar Dari dokter.
Waktu berlalu begitu cepat sehingga tidak terasa sudah sore.
Tiba-tiba dokter datang Dan mengatakan
“Maaf bu, kamu tidak bisa menyelamatkan putri ibu karna dia kehilangan banyak darah”.
Setelah mendengar itu kakiku terasa lemas, aku menangis sampai Saatnya aku melihat
keadaannya.
Aku sangat dirundung duka yang amat mendalam karena sahabat yang aku sayangi Dia sudah
pergi meninggalkanku ke
tempat yang lebih baik. Aku mencoba untuk ikhlas.
Keesokan harinya Saat pemakaman selesai aku diberi kado olah ibu jelita.
“Din ini mungkin kado terakhir untuk kamu”.
Aku pun menangis haruu
“Terimakasih bu”.
“Iya sama-sama”.
Aku pun Pulang ke rumah, Dan Saat itu aku sadar bahwa kado yang diberikan oleh ibu jelita
sama seperti yang jelita beri kepadaku. Tapi Saat aku melihat tempatku menyimpan kado
Dari jelita ternyata kadonya hilang. Aku tersadar mungkin itu adalah kata kata terakhir yang
ia ucapkan sebelum meninggalkanku.
SELAMAT JALAN SAHABATKU
KAU AKAN SELALU MENJADI SAHABAT YANG TAK TERLUPAKAN.

Anda mungkin juga menyukai