Anda di halaman 1dari 6

CERPEN

TETES-TETES EMBUN

Dengan agak tergesa aku menyusuri trotoar, aku tengadah. Langit makin gelap, padahal
baru jam 11.00. Sebentar lagi pasti turun hujan, pikirku. Sekali-kali tengadah, menatap langit yang
makin kelam, mencari matahari yang tersembunyi di balik awan. Tiba-tiba mataku terasa perih.
Sesampai di rumah, mataku langsung kuobati dengan obat tetes mata.
Kenapa? tanya ibu.
Kelilipan barangkali, sahutku. Selesai mengobati mata aku tiduran di kamar sambil
menikmati suara emasnya Dean Martins. Tiba-tiba mataku seperti disengat kalajengking. Rasanya
pedas dan pandanganku agak kabur.
Ibu....! teriakku memanggil ibu.
Tak lama kemudian ibu datang menghampiriku.
Ada apa?
Mataku sakit sekali, Bu.
Kan sudah diobati.
Lama-kelamaan mataku benar-benar kabur, yang terlihat hanya lembaran-lembaran hitam
menutup kelopak mataku. Tak tahan lagi, aku menangis di atas pangkuan ibu.
Fatta! seru ibu memanggil kakakku, Mas Fatta mendekat.
Ada apa, Bu? Fetty kenapa?
Cepat telepon ayah! Bilang kalau Fetty sakit Penuh kasih sayang ibu membelaiku sementara
aku terisak dalam pelukannya.
Fetty kenapa? tanya ayah tiba-tiba.
Matanya sakit, sahut ibu perlahan.
Matanya sakit? Tadi kamu melihat matahari? Aku mengangguk.
Astagfirullah. Cepat bawa ke rumah sakit, kata ayah cemas. Ayah dan ibu membantuku ke dalam
mobil, kemudian ayah melarikan aku ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, mataku langsung
diperiksa. Tapi apa yang terjadi? Keterangan dokter bagaikan sejuta pisau tajam yang mengoyak
batinku.
Maaf sekali, kami tidak dapat menolong putri saudara. Kornea matanya telah terbakar ketika ia
menatap matahari pada saat gerhana berlangsung.
Aku tidak ingat apa yang terjadi saat itu.
Ooooh,... dimana aku?
Kamu di rumah, sayang, kata ibu lembut.
Ibu maafkan Fetty, bu. Fetty benar-benar lupa kalau ada gerhana. Fetty tidak sengaja, Bu ...., aku
menangis sejadi-jadinya.

Sudahlah Fetty.
Satu minggu sudah aku hidup dalam kegelapan. Selama satu minggu ini pula aku menyandang
predikat tunanetra. Aku benar-benar tersiksa. Aku tidak dapat menikmati bunga-bunga yang indah
bermekaran, kupu-kupu yang riang beterbangan. Aku tidak dapat lagi bercanda dengan Mega di tepi
senja. Yang lebih tidak menyenangkan lagi, aku tidak dapat melihat wajah ayah, ibu, dan mas Fatta.
Aku tidak dapat lagi mengenali wajah mereka, aku hanya bisa mendengar suara mereka.
Sejak kebutaanku, aku sering merasa terasing meskipun ayah, ibu dan mas Fatta selalu
menghiburku. Tapi apa mau dikata, aku terlanjur putus asa, aku benar-benar frustasi. Mungkin karena
keputusasaanku itulah yang membuat sifatku berubah. Aku uring-uringan, cepat naik darah dan tidak
dapat mengendalikan emosi.
Fetty... terdengar bisikan halus. Aku kenal suara itu, mas Fatta.
Fetty, kau benci mas Fatta? Kenapa kau acuhkan ayah dan ibu yang berusaha
membahagiakanmu?
Tidak! semua orang membenci Fetty karena Fetty buta!
Fetty, kenapa kamu berubah begitu? Mengapa kamu tidak pernah bernyanyi dan bercanda seperti
dulu? Ketahuilah Fetty, ayah dan ibu sangat menderita karena sikapmu. Beliau merindukan
senyummu, canda, dan tawamu. Tersenyumlah untuk ayah dan ibu.
Aku menunduk, hatiku benar-benar hancur. Ah, kenapa musibah ini harus menimpaku. Tuhan,
tidak bolehkah aku melihat ayah dan ibuku? Aku tidak berbuat apa-apa kecuali menangis.
Tidakkah ayah dan ibu membenci anaknya yang buta?
Justru sebaliknya. Ayah dan ibu berusaha menumpahkan perhatian dan kasih sayangnya
padamu, kata mas Fatta seraya mengusap air mataku.
Barangkali aku akan lebih bahagia jika tinggal bersama kawan-kawanku yang cacat lainnya.
Maksudmu kamu mau tinggal di YPAC? Baiklah, nanti kakak bilang ke ayah dan ibu.
Keesokan harinya, ayah, ibu, dan mas Fatta mengantarku ke YPAC. Ketika mereka akan
pulang, aku meraba wajah mereka kemudian menciumku satu per satu.
Ibu menangis?
Tidak, sayang.
Aku tahu, mereka pun menangis seperti halnya aku. Ya! Aku benar-benar terharu.
Kapan Fetty dapat melihat wajah ayah, ibu, dan mas Fatta?
Sebagai jawabnya, ibu hanya memelukku erat-erat dan membelaiku penuh kasih sayang.
Tuhan maha pengasih, Fetty, bisik ibu tersendat.
Akhirnya akupun melepas kepergian mereka walaupun dengan deraian air mata. Kini
tinggallah aku menyepi sendiri dalam dunia yang baru saja kualami.
Di YPAC aku tinggal sekamar dengan Suci, gadis sebaya dengan ku yang juga tunanetra. Suci
anaknya periang, peramah, dan mudah bergaul. Dia selalu menghibur dengan cerita-ceritanya yang
lucu. Namun demikian, aku belum juga dapat mengembalikan seperti dulu. Aku masih juga
pemurung.

Fetty tidak kerasan tinggal disini? tanya Suci pada suatu ketika.
Kerasan?
Tapi Fetty kelihatan kok sedih? aku mendesah
Kalau ada sesuatu, terus teranglah. Insya allah aku akan membantumu.
Aku sendiri tidak tahu
Kau masih ragu padaku? Aku sahabatmu, aku senasib denganmu. Kenapa mesti ragu-ragu?
Katakan sobat!
Aku sering merasa diriku paling malang di dunia. Tak habis-habisnya aku menyesali
kelalaianku. Aku benar-benar tidak ingat kalau saat itu tengah terjadi gerhana matahari total. Ah,
kenapa harus menimpaku? Sedangkan Tuhan saja mengampuni hamba-Nya yang lupa?
Kamu masih beruntung, Fetty.
Beruntung? tanyaku tak mengerti.
Sadarlah Fetty, di dunia ini masih banyak manusia yang lebih menderita. Kamu masih beruntung,
sobat. Kamu masih sempat menikmati keindahan alam. Kamu masih sempat melihat wajah ayah , ibu,
dan saudaramu. Kamu masih bisa mengelilingi dunia.
Sedangkan aku? Sejak lahir aku tidak mengenal ayahku yang telah mengukir ragaku, belum
kenal wajah ibu yang telah melahirkan aku. Aku tidak hanya buta, tetapi juga lumpuh.
Mendengar kata-kata Suci, hatiku benar-benar terbuka. Aku seakan lahir dengan sejuta
kesadaran. Ternyata penderitaanku belum seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan merekamereka yang lainnya.
Terima kasih, Suci. Kau telah membukakan pintu hatiku yang selama ini tertutup.
Di dunia ini tidak ada mahluk yang sempurna. Semu mempunyai kekurangan dan kelebihan.
Demikian juga dengan kita yang buta. Kita tidak harus bergantung kepada mereka yang sehat
jasmaninya. Buktikan pada dunia bahwa kita mampu berdiri sendiri.
Aku menjabat tangan Suci erat-erat.
Sebenarnya kamu tidak buta, Fetty. Yang buta hanya matamu, tetapi hatimu tetap terbuka dan
melihat. Esok mentari masih berseri. Sambutlah hari depanmu dengan senyum manismu.
Aku tersenyum bahagia. Ternyata dalam kegelapanku masih ada sejuta dian-dian yang berpijar.
Dalam kegersanganku masih ada tetes-tetes embun yang menitik bening di hatiku. Tuhan, terima
kasih atas rahmat-Mu. Amin.

UNSUR INTRINSIK
1. Tema : Ketabahan dan Kesyukuran
2. Judul : Tetes-tetes Embun
3. Tokoh : - Tokoh Utama : Fetty, Fatta, Ayah dan Ibu.
- Tokoh Pembantu : Dokter dan Suci
4. Penokohan :
a) Fetty ( Tritagonis) : Suka bernyanyi, bercanda, suka uring-uringan,
cepat naik darah, tidak dapat mengendalikan emosi, pemurung, dan
mudah putus asa.
b) Fatta (Protagonis) : Suka menghibur, penasehat, dan perhatian.
c) Ayah (Protagonis) : Cemas, perhatian, dan penyayang.
d) Ibu (Protagonis) : lembut, perhatian, dan penyayang.
e) Suci (Protagonis) : Periang, peramah, mudah bergaul, suka bersyukur,
dan penghibur.
f) Dokter (Protagonis) : Pasrah dengan keadaan.
5. Latar :

~ Latar Tempat : di trotoar, di rumah, di rumah sakit, dan di YPAC.


~ Latar Waktu : Siang, pagi, dan malam

6. Alur : Maju
7. Tahapan Alur :
a) Pengenalan : ~ Ibu sebagai ibu dari Fetty dan Fatta
Kalimat Penuh kasih sayang Ibu membelaiku....
~ Ayah sebagai ayah dari Fetty dan Fatta.
Kalimat Astagfirullah. Cepat bawa ke rumah sakit
kata ayah.

~ Fetty sebagai adik dari Fatta


Kalimat
~ Fatta sebagai kakak dari Fetty
Kalimat Fatta! Seru ibu memanggil kakakku, mas
Fatta mendekat.
~ Suci sebagai sahat Fetty di YPAC
Kalimat Kau masih ragu padaku? Aku sahabatku, aku
senasib denganmu.
b) Timbul Masalah : Saat Fetty berjalan menyusuri trotoar dan ia tengadah
melihat langit yang makin kelam dan sampai di rumah matanya terasa
pedas dan pandangannya agak kabur.
c) Puncak/Klimaks : Saat Fetty dibawa ke rumah sakit iapun langsung
diperiksa, dan keterangan dokter bagaikan sejuta pisau tajam yang
mengoyak batin. Dimana fetty tidak dapat ditolong karena kornea
matanya telah terbakar ketika ia menatap matahari pada saat gerhana
sedang berlangsung, dan saat itu juga Fetty menyandang predikat
tunanetra.
d) Ketegangan menurun : Sejak itu mas Fatta selalu menghibur dan
menasehati Fetty, ayah dan ibu juga berusaha menumpahkan perhatian
dan kasih sayangnya. Lalu fetty pun memutuskan untuk tinggal di
YPAC karena ia akan merasa lebih bahagia bersama teman-teman yang
cacat lainnya.
e) Penyelesaian : Di YPAC Fetty satu kamar dengan gadis yang juga
tunanetra bernama Suci. Suci anaknya periang, peramah, dan mudah
bergaul. Suci selalu menghibur Fetty dengan cerita-ceritanya yang lucu
namun Fetty masih juga pemurung. Suatu saat, Suci bercerita tentang
dirinya sendiri. Dari ia mulai lahir menyandang predikat tunanetra dan
lumpuh sampai ia beranjak remaja. Dari cerita yang diceritakan suci,
Fetty pun merasa terketuk hatinya, dari saat itulah Fetty mulai
bersyukur dengan apa yang dikaruniai tuhan dan iapun kembali seperti
dulu tersenyum bahagia, karena semua mahluk hidup mempunyai
kekurangan dan kelebihan masing-masing.

8. Gaya bahasa/majas :
~ Majas Personifikasi : Bagaikan sejuta pisau tajam yang mengoyak
batinku"
~ Majas Eufimisme : Tunanetra
9. Amanat : Agar kita bersifat dan bersikap saling menyayangi, mengasihi, dan
menjadi orang yang tidak mudah putus asa dalam menjalani kehidupan apapun yang
tuhan berikan kita wajib mensyukuri.

Anda mungkin juga menyukai