Bab pertama menceritakan kekuperan Dika saat masih kelas 5 SD. Sebagai anak kuper membuatnya sulit
memiliki teman untuk bermain. Jadi, selepas pulang sekolah, waktunya hanya dihabiskan berjam-jam
bermain video game di Sega Genesis kesayangannya.
‘Kau bisa jadi bodoh main game terus’
‘Masa, sih, Pa?’ tanya gue.
‘Ya, nanti kau jadi bodoh, gak bisa berhitung lagi.’
‘Masak?’
‘Ya, kemarin teman Papa main video game, sekarang dia jadi hilang ingatan,
Dika. Dia gila’
Ok, sampai sini gue tahu kalau Bokap sudah mulai ngarang. (Hal. 3)
Setelah menasehati dengan alasan yang berlebihan. Kemudian Papanya mengajak dia bermain layang-
layangan. Saat itulah pertemuan dengan Bahri dan Dodo bermula. Keakraban dan kekompakan sebuah
persahabatan mereka tunjukkan. Sayangnya harus berakhir dengan perpisahan.
‘Iya, segini doang. Kalau kita gak berteman lagi gara-gara ini,
biar kita gak usah bertemu lagi. Selamanya,’. (Hal. 26).
Mendengar ucapan Dika memang terkesan berlebih –bak adegan dalam drama korea. Namum, sebenarnya
memiliki alasan positif di balik perpisahan tersebut.
Setiap tipsnya juga dilengkapi ilustrasi komik –ini yang membedakan buku terbarunya dari buku-buku
sebelumnya. Bahkah di setiap Babnya terdapat ilustrasi dalam bentuk komik. Ok, tips gokil dari Dr. Raditya
Dika, SE, MSC, SPONG BOB, dipercaya ampuh mengatasi problem percintaan atau justeru bikin semakin
runyam. Itu tergantung keberuntungan kalian.
Kucing Story
Keinginan Dika memiliki hewan peliharan yang bisa mengusir kesepiannya. Awalnya sempat bingung
menentukan hewan apa yang akan dipelihara. Dari mulai Anjing, sampai dengan Sugar Glinder. Tapi
ujungnya-ujungnya tetap memilih kucing lagi. Alfa ke mana? –kucing dia yang pernah ikut bercerita di
buku sebelumnya, si Alfa tinggal di keluarga besarnya, situasinya saat itu dia sudah mandiri.
“Katanya kalau kita memilih kucing untuk dibawa pulang,
cara yang paling baik adalah membiarkan kucingnya yang memilih kita.
Ketika di breeder, ataupun di pet shop, kita harus memperhatikan
apakah ada kucing yang mendatangi kita, membuat koneksi sama kita.” (Hal. 94)
Akhirnya pilihannya jatuh pada si Bos, begitu dia memanggilnya. Termasuk ras kucing Scottish Fold,
dengan mata bulat dan telinganya tertutup setengah membuat kesan unyun buatnya. Panggilan Bos sejalan
dengan tingkahnya seperti bos besar.
“Kadang gue sampai bingung mana yang majikan, mana yang peliharaan.
Bagi si Bos, gue adalah pembuka-makanan-kaleng-berjalan.” (Hal. 98)
Bagi pecinta kucing, kalian akan mendapatkan banyak pesan tersirat di dalamnya. Tapi tak hanya
membahas kucing, dia juga sesekelai curhat. Seperti kisah cinta bersama mantan pacarnya yang bernama
Avi. Dulu sewaktu pacaran, Avi pernah dikasik Anjing sama Dika, yang diberi nama Chica.
LB
Bab keenam ini bercerita pengalaman pertama Dika menggunakan Tinder. Aplikasi yang dia ketahui dari
temannya yang bernama Podma, saat keduanya berada di Bangkok. Tinder sendiri sebuah
aplikasi handpone yang dapat mengetahui siapa saja yang berada di sekitarnya –tentu sesama pengguna
Tinder.
Moo: Are you near here? In the mall?
Gue: Yes!
Moo: Starbucks in 5 mins?
Gue: Ok. 🙂
(Padahal dalam hati: OKE! GILA! YA AMPUN GUE BERUNTUNG BANGET! KYAAA KYAAA
KYAAA!). (Hal. 112)
Dika senang sekali dengan ajakan Moo. Gagis yang diketahuinya berumur 21 tahun (dari profil Tindernya).
Dia begitu amtusias dan tidak sabar untuk segera menemuinya di Sturbuck, tempat di mana Moo tentukan.
Melalui obrolan panjang, mereka saling menanyakan kesibukan satu sama lain. Tapi, tak berselang lama
kesenangnya pun kemudian sirna begitu saja. Setelah Dika mengetahui siapa Moo yang sebenarnya.
‘Kenapa kok kamu terkejut?’
‘Enggak, gak apa-apa,’ kata gue. Keringat dua liter ke luar dari sekujur tubuh. (Hal. 114)
Keadaan yang tadinya hangat, sekarang berubah menjadi salah tingkah, canggung dan sampai akhirnya dia
berusaha cari-cari alasan untuk segera pulang. Iyah, kandas pula harapan dia memiliki kekasih orang
Thailand. Siapakah Moo sebenarnya?, fakta apa yang diketahuinya sampai dia bertingkah seperti itu dan
bahkan kapok menggunakan aplikasi Tinder.
Mengenai pertemuan tak disengaja Dika dengan beberapa perempuan yang tak dikenal sebelumnya.
Namun, ternyata Dika menyimpan ketertarikan pada mereka. Hanya saja dia tidak memiliki nyali atau
keberanian untuk sekedar ‘say hai’. Cuma sebatas melihat dari tempat duduknya saja.
“Apa yang terajadi seandainya gue
berani ngomong sama dia?.” (Hal. 116)
Dari sekian perempuan yang membuat dia penasaran. Tiga di antaranya dia kisahkan dalam bab ketujuh
ini. Seperti kisah pertama, ketika dia masih SD. Dia bertemu dengan perempuan –berambut ikal dan
dikuncir– ini, di lantai dua Kentucky Fried Chicken di daerah Jakarta Selatan.
Sempat terbesit dipikiran gue untuk langsung berdiri dan menyalami
dia saja. Tapi tidak, gue tidak berani. Maka, seiring dia ke luar dari
restoran, dia tetap menjadi perempuan tanpa nama. (Hal. 119)
Kedua; di penghujung tahun 2005, dalam sebuah penerbangan dari Jogjakarta ke Jakarta. Iyah, perempuan
tanpa nama selanjutnya adalah salah satu pramugari dalam pesawat yang ditumpanginya tersebut. Berbeda
dari pengalaman sebelumnya, kali ini dia mencoba memberanikan diri untuk menegurnya. Tapi, ada
kejadian di luar dugaan dia kejadian yang ngebuat situasinya menjadi serba salah.
“Dia (pramugari) merengut, memberikan pandangan
jijik ke arah gue. Suasana tegang.” (Hal. 129)
Terakhir, perempuan tanpa nama yang ketiga dia lihat di toko Topshop Senayan City, pada tahun 2011.
Perempuan ini memiliki mata sayu, wajahnya cantik alami, pipinya tirus kemerahan. Tak beda jauh dari
nasib sebelumnya; dia kembali apes.
‘Ukuran S?’ Gue celingukan ke sana-sini. ‘Seharusnya ada, sih, ya.’
‘Bisa cariin, gak?’
‘Uh, gue yang nyariin?’
‘Eh… Iya, kan?’ tanya dia. ‘Tunggu dulu. Loh? Mas ini bukannya..?’ (Hal. 135)
“Kadang, pada tengah malah, gue suka berfikir sebelum tidur.
Apakah di antara perempuan-perempuan tak bernama ini ada
yang seharusnya menjadi jodoh gue, menjadi salah satu perempuan
yang membuat cerita-cerita bersama gue. Menjadi seseorang yang
punya peranan lebih daripada sekedar perempuan tanpa nama.” (Hal. 138)
Menciptakan Miko
Serial Malam Minggu Miko. Mungkin tidak asing lagi di telinga. Acara ini sudah tayang di salah satu tv
swasta. Proses terbentuknya pembuatannya penuh dengan cerita suka dan duka. Mulai dari susahnya nyari
pemainnya, saat pengambilan gambar, pemain telat, atau belum lagi biaya yang dia ke luarkan dari uang
sendiri –sebelum ditayangkan di tv.
‘Mbak, bantuin proyek kecil-kecilan aku, ya. Acting gitu buat main di video.’
‘Soteng gitu yah, Bang?’ tanya Mbak Neni (pembantunya)
‘Iya, shooting,’ kata gue.
‘Mau, Bang, Mau! Ada Dude Herlino gak?’
Masalahnya tak berhenti di situ saja. Ketika mulai diproduksi untuk penayangan perdana di tv. Kemampuan
Dika yang minim pun diuji. Bagaimana pun untuk menjadi sutradara harus bisa memecahkan masalah di
lapangan. Seperti saat hujan tiba-tiba turun, skenario kadang kala harus berubah dan menyesuaikan
keadaannya.
“Di balik masalah yang pasti selalu ada ketika shooting,
gue senang menyelesaikannya. Terus terang gue bangga
dengan apa yang gue lakukan di Miko.” (Hal. 160)