Anda di halaman 1dari 22

Nama : Daud Dewa Berlianza

NIM : 06021381823052

Beremas
Tabekla encik tabekla tuan, tabek kepada laki-laki perempuan, Kami bermain berkawan kawan,
salah dan khilaf mohon dimaafkan, Salah dan khilaf mohon dimaafkan. Tabeklah tabek daun
kangkung, ambek batang sampiran kain, tabekla tabek sanak di kampung, kami datang numpang
bermain.
Babak I
Adegan I

Tersebutlah Negeri Kembayat, negeri yang makmur, aman dan sejahterah.Ialah Sultan
Darman Syah yang memimpinnya. Ia memimpin kerajaan dengan adil dan bijaksana. Semenjak
kepemimpinannya, Negeri Kembayat semakin makmur dan sejahtera. Penduduknya bahagia
hidup dengan damai, dagangan selalu laku dan tiada kecurangan satu pun. Sultan Darman Syah.
Ia juga memiliki seorang istri yang cantik jelita nan lembut hatinya. Suatu ketika, mereka berdua
sedang mengobrol di kerajaan.

Sultan Darman Syah : Berlayar jauh tak lupa sembahyang


Sembahyang di dermaga
hanyalah adinda yang kanda sayang
Tiada adinda, tiada juga kanda
Permaisuri : (tersenyum malu-malu)
Berlayar jauh mencari putera
Putera yang disebut putera mahkota
Hidup adinda ditangan kanda
Tiada artinya adinda hidup tanpa kanda
Sultan Darman Syah : (memegang tangan permaisuri) “adinda, kanda sangat bersyukur memiliki
istri seperti adinda. Kanda bahagia, dinda.”
Permaisuri :“adinda juga begitu kanda. Adinda mempunyai kabar bahagia untuk
kanda.”
Sultan Darman Syah : (penasaran) “apakah gerangan itu adinda?”
Permaisuri :“adinda mengandung kanda” (malu-malu)
Sultan Darman Syah :“begitukah adinda?” (terkejut sekaligus bahagia)
Pagi hari makan buah pisang
Buah pisang dari si dadang
Putra mahkota kerajaan akan dating
Penerus kerajaan di masa mendatang
Permaisuri :“iya kanda, tadi adinda sudah memeriksakan ke ahli kesehatan kerajaan.
Dia berkata demikian, kanda. Adinda sangat bersyukur.”
Sultan Darman Syah :“baiklah kalau begitu Adinda, kanda akan menyebarkan berita bahagia
ini
kepada seluruh negeri Kembayat, bahwa penerus kerajaan kita sebentar
lagi akan hadir.”
Adegan II
Dua puluh tiga tahun kemudian
(Setting di Singgasana kerajaan. Sultan Abidin memikirkan mimpinya semalam. Cahaya
terang menandakan suasana pagi.)
Sultan Abidin : (Monolog) Astaghfirullah, mimpiku semalam memberi gusar, betapa elok putri
nan bestari, seperti putri bidadari, senyumnya indah berseri-seri. Jika sungguh
mimpiku terang, hendak kucari juga sekarang ke segenap negeri di tanah
seberang.

(Sultan Abidin terkejut melihat ibunda dan ayahanda ternyata sedang memperhatikannya, dengan
wajah sedikit malu Abidin menghampiri dan duduk di depan raja dan Permaisuri)

Permaisuri : Buah hati gemala negeri apakah gerangan hendak diperi? Mengapa berubah
wajah bangsawan, seperti orang menanggung rawan.

Sultan Abidin : Ada suatu hal wahai ibunda yang membuat hati ananda gusar

Abidin Syah : Apakah gerangan wahai ananda. Katakanlah semuanya, kalau saja ayahanda
beserta ibunda bisa meringankan

Sultan Abidin : Hamba bermimpi bertemu putri nan bestari. Parasnya elok, senyumannya pun
indah berseri-seri. Hamba yakin, kalau putri dalam mimpi akan menjadi tambatan
hati
Permaisuri : Mungkin itu menjadi pertanda bahwa ananda haruslah segera menikah.
Kakanda, akan lebih baik jika kita segera mencari putri dari anak seorang raja di
berbagai negri.

Sultan Abidin : Mohonkan ampun wahai ibunda, ibunda beserta ayahanda janganlah bersusah
hati, maksud patik di dalam dada, Tuanku kabulkan jangan tiada. Patik hendak ke
negeri orang, tiadalah lama patik kan pulang. Dua belas bulan patik kan datang.
Hamba ingin mencari sendiri tambatan hati akan akan menemani hidup ananda.

Darman Syah : (Merasa Sedih) Aduhai anakku paras junjungan, tuanku berlayar apalah guna, di
negeri ini dirajakan sudah karena tuan mahkota negeri, balairung seri tiada
berseri, soal tambatan hati bolehlah ayahanda yang cari. lagi pula, negeri dituju
apalah nama?

Sultan Abidin : Tuanku jangan merasa gundah, bukannya beta hendak perpindah, Sekedar
mencari jalan faedah, mohonlah izin dipermudah, hari Senin hamba berangkatlah.

Permaisuri : tak apa kanda, biarlah ananda sultan mencari tamabatan hatinya sendiri.
Janganlah terlalu lama berlayar anakku. Ibunda akan selalu mendoakanmu.

Darmansyah : Wazir, siapkan kapal untuk ananda sultan. Serta lengkapilah keperluannya.

Wazir : Baik tuan

Permaisuri : kalau begitu, mari kita sarapan dahulu.

Sultan Abidin : baik bunda

(Setting di sebuah kapal besar dengan latar laut berombak. Angin sore berhembus,
menandandakan petang telah tiba. Namun cuaca kurang baik sehingga awan hitam mulai
menghampiri disertai guntur bersahutan.)
Sultan Abidin : Ayahanda dan Bunda, baru tiga hari ananda tinggalkan, rindu di hati
melemaskan badan. Apalagi terigat nan tuan. Putri bestari dalam impian, di mana
gerangan adinda rupawan?
(Angin mulai kencang, kilat mulai menyambar, dan geledek mulai bergemuruh, dan tiba-tiba
badai datang, kapal diterjang angin ribut. Semua panik dan ketakutan)

Sultan Abidin : Semua haraplah tenang, semua akan baik-baik saja. Badai pastilah akan segera
berlalu.

Jaffar Sidik : (mengecek kapal, kemudian menghampiri Sultan Abidin)


Maaf tuan, kapal kita mengalami masalah. Tak dapatlah kita melanjutkan
perjalanan jauh.
Umar Baghi : (sibuk menurunkan layar) Ampun tuan, kita harus segeralah menepi. Agar
kerusakan yang terjadi tidaklah bertambah parah

Siti Rodiah : (ketakutan) Bagaimana ini anakku. Apakah kita akan selamat dari badai ini?

Sultan Abidin : Badai ini sangatlah besar bunda, pandangan ini pun sudah tidak jelas. Akan lebih
baik jika kita berdoa meminta keselamatan dari yang Kuasa.
(memanjatkan doa keselamatan)

(secara perlahan badai mulai berhenti, cuaca kembali cerah)

Siti Rodiah : Alhamdulillah ya Allah. Engkau mengabulkan doa kami, sehingga kami selamat
dari badai yang sangat besar.

Umar Baghi : mari bunda, duduklah. (menyerahkan segelas air)

Sultan Abidin : iya bunda, Alhamdulillah, Allah memberikan keselamatan bagi kita semua.
Umar, bagaimana kapal kita. Apakah kerusakannya bertambah parah?

Umar : iya tuan. Bagaimana ini, badai telah membuat kerusakan pada kapal kita. Kita
harus segera menepi.

Jaffar Sidik : (meneropong) tuan, lihatlah di seberang sana. Ada mahligai menjulang tinggi.
Mungkin kita dapat meminta bantuan di sana.

Abidin : coba saya lihat. (mengambil teropong) benar kakanda, di sana terdapat maligai.
Menepilah kita ke sana. Semoga mereka bisa membantu.

Jakfar Sidik : baik tuan

Adegan III

(Setting di pesantren pulau peranggi. Di sisi panggung ada mahligai emas tempat
Zubaidah)

Sultan Muhammad Tohair : Ayahanda, semakin hari Pulau Peranggi ramailah sudah, pohon
nan rindang tumbuh dengan indah, apalagi ada menara tempat
adinda Zubaidah, menjulang tinggi bebas memandang laut lepas
bergemuncah

Kadi Pendita : Benar ananda Sultan Iragan Kistan, Ayahanda merasa senang dan
nyaman, beribadah hanya kepada Tuhan Penghibur duka sejak
permaisuri berpulang. Ananda pun pengganti meneruskan tahta
kerajaan. Dua tahun setengah sudah berbilang
Sultan Muhmmad Tahir : Bagaimana gerangan adinda Zubaidah? Adakah adinda berhati
senang?

Kadi Pendita : Ananda Zubaidah remajalah sekarang, wajahnya cantik tiada


berbilang Setiap hari mengaji dan sembahyang bersama ketujuh
inangnya. Semuanya itu anugerah Tuhan. Ayahanda selalu berdoa
agar ananda Zubaidah mendapatkan pendamping hidup seorang
yang sama dengan sifatnya.

Sultan Muhmmad Tahir : Jika ayahanda tidak keberatan, biarlah Zubaidah bersama hamba
Banyak sudah putra mahkota ingin mempersunting adinda jelita.

Kadi Pendita : Ananda jangan bersusah hati, jika Allah memberi, adalah kelak
datang ke mari Raja yang bakti lagi santri, itulah jodoh ananda
putri.

Sultan Muhmmad Tahir : Baik ayahanda bijak bestari, jika demikian ayahanda kehendaki.
Semoga doa ayahanda dipenuhi Robbul Izzati. Izinkan hamba
mohon diri ke negeri Iragan Kistan.

Kadi Pendita : Baiklah ananda Sultan jauhari, baik-baiklah ananda menjaga diri.

(Sultan Muhammad Tohir keluar dari panggung, Kadi tetap di tempat)

Warga 1 : (datang dengan cemas) Mohonkan izin duhai Kadi Pendita, hamba ingin
menyampaikan warta. Ada sebuah kapal berlabuh di dermaga kita. Bunyi
bendilnya berdentang-dentang, entah apa maksudnya datang.

Kadi Pendita : (mendengarkan dengan gembira, merasa doanya dikabulkan)


Inilah datang pemberian Allah, tak ada yang perlu digentarkan Kita nantikan saja,
apa kehendaknya tentu mereka sampaikan Pada pikiran hamba, datang mereka
sudah kehendak Allah Mereka tidak akan memerangi kita.

Warga 2 : assalamualaikum. Tuan hamba membawa dua orang pendatang yang berlabuh di
dermaga kita, mereka hendak bertemu dengan tuanku kadi.

Kadi : oh, iya. mari, duduklah.

Warga 2 : baiklah tuan, hamba mohon diri dulu.

Kadi : terimakasih warga1, warga2

Kadi Pendita : mari mari silahkan duduk. Dari mana Tuan berdua, dan dagangan apa yang Tuan
bawa?
Umar Baghi : Kami berdua datang dari negeri sebrang, kami datang ke mari karena telah
beberapa hari kapal kami mengalami kerusakan. Kami memohon izin kepada tuan
untuk mengizinkan kami menumpang hidup beberapa hari di pedepokan ini.

Kadi Pendita : baiklah jika begitu. Menetaplah di sini untuk sementara waktu. kami akan
mengirimkan orang untuk membantu. Mana yang mau dibawa segerakanlah.

Jakfar Sidik : Terimakasih Tuan Kadi Pendita. Kalau begitu, kami mohon diri.

Kadi Pendita : Silakan Tuan.

Adegan IV

(Panggung menggambarkan kapal. Umar baghi dan Jafar Sidik menghadap Sultan Abidin
Syah yang sedang meneropong sekitaran pulau peranggi)

Umar Baghi : Itulah tuan air dan kayu berian Pendita yang berilmu, beliau juga akan segera
mengirimkan orang untuk memperbaiki kapal. Beliau pun mengizinkan kita untuk
menetap sementara waktu di pedepokan

Sultan Abidin : (sambil meneropong mahligai) baiklah, kalau begitu untuk sementara waktu kita
menetap disini sampai kapal kita selesai diperbaiki. (meneropong lagi) Pulau
Peranggi mengapa demikian, tak tampak seorang pun perempuan. Orang muda
pun tak ada.

Umar Baghi : Benar Baginda, di mana-mana alim ulama, tiada seorang pun membawa istri,
berbuat ibadah sehari-hari. Ketika hamba melewati mahligai, nyata terdengar
suara perempuan mengaji, mungkinkah putri sang khadi.

Sultan Abidin : (tersenyum dan hatinya berdebar)

Jakfar Sidik : ( melihat Abidin tersenyum, jakfar pun menggoda abidin) Tuan, apakah
pencarian putri dalam mimpi akan berakhir di pulau peranggi.

Abidin : (merasa malu) mudah-mudahan saja kakanda. Baiklah, kakanda berdua dan
bunda. Esok hari beta kan naik, beta biarlah menjadi hamba. Sekarang mari kita
beristirahat karena esok kita akan memulai menjadi mata-mata membuka rahasia.

Rodiah : Baiklah anakku (tersenyum bahagia)


Adegan V

Kadam I : (masuk sambil selfie dan bernyanyi-nyanyi ria)


Ketika sedang asik bernyanyi, masuk kadam II yang kesal melihat ulah kadam I
Kadam II : (memanggil dari kejauhan namun tidak digubris, akhirnya ia mendekati kadam I dan
menjewer telinganya) “oy bik ceeekk kopok apo kauni ye sekarang,
kebanyakan minum obat kauni pasti.”
Kadam I :“oy cek saket. Kasar nian kauni. Kuaduke ke kak Seto gek kau, kekerasan ini
namonyo.”
Kadam II :“kak Seto tu gawenyo ngurusi budak kecik, lah kauni tuo bangko umur la masok
kepalak tigo nak minta perlindungan kak Seto. Oy dio banyak gawe laen, idak nak ngeladeni
kau bae.”
Kadam I :“oy jangan salah kau cek. Emang rai akuni cak la tuo, tapi akuni masi 17 tahun tau
dak. Akuni rai tuo mak ini oleh dulu mak aku galak ngenjok aku makan make micin,
tula aku makini. Aidah mak akuni cek, dan sedeh aku laju kau ingeti mak ini daahh”
Kadam II :“nah tula kau tu. Dem la dak usa sedeh-sedeh, lemak kito ngomongi yang buat seneng
bae.”
Kadam I :“nah lemak jugo ati aku nengernyo, peh kito ngomongi lanang belagak bae. Oy gilo
yang itu, baju biru itu. Ales tebel beber tipis matii tipe aku nian itu cek ailaa”
Kadam II :“oy kauni betino dasar nian, bukan ngomongi lanang maksod aku tuh!”
Kadam I : “jadi ngomngi apo cek, ayla salah teros aku di mato kauni. Dak pernah bener”
Kadam II :“kito ngomongi Sultan Abidin itu nah yang bentar lagi nak dateng”
Kadam I :“nah iyo cek, wiihh dak sabar aku nunggunyo. Ganteng dak ye?”
Kadam II :“ya Allah, kalo Sultan dak mungkin rainyo cak kau cek. Berenti aku begawe di sini
aman merep cak kau, dak nian.”
Kadam I :“oy kauni cek tega nian. Saket ati aku, aman cak lagu yang lagi ngetrend tu. Kato
nyono neng awi medot janjimu”
Kadam II :“kauni memang nian, dikit dikit nyanyi dikit dikit joget. Kuraso kauni semestinyo
jadi biduan lah bukan malah jadi kadam. Dem sano resign la kau cek, biar tentram
jugo aku aman kau katek.”
Kadam I :“iyoo apo ceekk, gek kau sedeh aman ku tinggal disini dewekan cek. Kau kan cinto
mati samo aku, tiap malem nyingoki poto aku, ngentepi aku. Iyo kan?”
Kadam II :“iss amit-amit cabang bayii aku punyo kawan cak kauni. Apo salah dan duso aku ya
Allah”
Kadam I : “isdah kauni cek dak kekinian nian sih. Jadila marah-marah be tu, lemak kito selpi.
Kito masoki di twitter abes tu”
Kadam II : “apo dio cek twitter? Baru dengerlah aku
Kadam I : “twitter tu undian cek, lotre. Gek asak kau masoki poto di situ kau pacak menang”
Kadam II : “hah? Iyo apo cek? Ai ngolake kauni.”
Kadam I : “nian. Dak cayo sudah. Dem aku selfie dewek ye”
Kadam I pun berselfie ria, sedangkan kadam II tampak berfikir
Kadam II : “hem doet ye lumayan untuk pedikur, menikur, krimbat, luluran, dll. Melok be apo
ye, melok idak melok idak. Dem melok be lah”

Akhirnya kadam I dan II sibuk berselfie ria.


(setting berada di rumah kadi)

Umar : assalamualaikum tuan

Kadi Pendita : waalaikumsalam. Silakan masuk anandaku semua, duduklah. Ada apakah
gerangan. Siapakah yang kalian bawa?

Jakfar Sidik : maaf tuan, kami membawakan bunda Rodiah. Beliau juga ingin menumpang
hidup di sini. Jikalau tuanku izinkan.

Kadi Pendita :Baiklah, jikalau sudi apalah salah. Dayang, bawa mereka semuanya bertemu Siti
Zubaidah, bantulah jika mereka mengalami kesulitan.

Dayang : hamba tuanku

Dayang : Baik Tuanku, marilah bunda saya antar.

(Sultan Abidin mengikuti dari belakang. Di sebuah taman Zubaidah duduk, dayang pun
menghampiri)
Dayang : Maaf tuanku Siti Zubaidah, patik dititahkan paduka ayahanda, membawa
perempuan dari negeri sebrang, pesan ayahanda supaya menjamu Siti Rodiah,
perbuatlah seperti kerabat sendiri. Hamba mohon diri tuan.

Siti Zubaidah : terimakasih dayang. Maaf bunda, mari silahkan duduk


Siti Rodiah : Wahai Tuan utama jiwa, sukanya bunda Tuan sudi menyapa. Tiada terkira
besarnya hati, bertemu dengan ananda Siti.

Siti Zubaidah : Datanglah bunda tiada berhenti, apa salahnya berlaku tuan, Beranakkan orang
hutan, orang di pulau desa, tiada tahu adat bahasa.

Abidin : (hatinya berdebar tak karuan. Tidak tau apa yang harus diperbuat. Salah tingkah
dengan menatap ke arah Zubaidah)

Zubaidah : (mulai menunjukan kerisihan) apakah gerangan wahai bunda, yang


menyebabkan bunda sampai di pulau ini.

Rodiah : kapal kami mengalami kerusakan. Badai besar telah membuat kami tidak bisa
melanjutkan perjalanan.

Zubaidah : (merasa risih dipandang laki-laki tak dikenalnya) maaf bunda, orang itu dari
mana datangnya, di ujung bandul juga duduknya, pakaiannya tidak patut dengan
sikapnya.

Siti Rodiah : (melihat ke arah Abidin) Budak abdi mengikut beta, tidak mengetahui hilir dan
hulu. Maafkanlah ananda juita, kami hanyalah seorang hamba.

Siti Zubaidah : jangan berbicara demikian bunda. Kita semua sama saja, tidaklah ada pembeda.

Siti Rodiah : (tersenyum) Terima kasih ananda juita, patik serta yang lainnya bermohon diri.

Siti Zubaidah : Esok bunda ke marilah, akan diadakan perayaan panen para petani di lapangan
nanti. Bolehlah bunda mengajak tuan-tuan yang lainnya

Jakfar, umar, abidin : (menggangguk mengisyaratkan menyetujui)

Rodiah : baiklah ananda, insyaAallah esok bunda kan datang

Zubaidah : tersenyum senang

(semuanya bersalaman)

Adegan VI

(di rumah kadi ulama, pesta di gelar dalam rangka para petani sudah panen dengan hasil
melimpah. Semua menari tarian khas pulau peranggi termasuk abidin, umar, dan jakfar.
Tarian tersebut hanya warga asli pulau peranggi yang dapat menarikannya. Namun
karena abidin beserta yang lain bukan warga asli pulau peranggi, mereka pun tidak bisa
menari dan membuat semua warga tertuju kepada mereka)
Kadi Pendita : alhamdulillah, kita mendapatkan rezeki yang melimpah dari yang kuasa.
Janganlah berhenti mengucapkan rasa syukur kita kepada Allah

Zubaidah : iya ayahanda, semua warga pun tak luput dari rasa syukur. Mereka juga merasa
senang.
Ibunda, lihatlah. mereka sangatlah senang menarikan tarian khas warga pulau.

Rodiah : iya anakku. Tarian ini sangat mencerminkan betapa makmurnya para petani
disini

Zubaidah : jikalau begitu, tarian ini pastilah sangat tak asing lagi bagi warga pulau sebrang.
Betulkah bunda?

Rodiah : (mengangguk ketakutan karena merasa abidin dan yang lainnya tidak bisa
menarikan tarian itu)

Kadi : tentu adinda Zubaidah. Warga negri sebrang sangat senang menarikan tarian
khas ini. karena kesehariannya pun mereka sering sekali menari. Oleh karena itu
akan tidak pantas jika warga pulau sebrang tidak dapat menarikan tarian ini.

Zubaidah : (tersenyum bahagia)

Rodiah : (cemas )

(warga menari tarian khas)


(namun di tengah-tengah gembiranya para warga menari, semua pun langsung tertuju kepada
Abidin bersama Umar dan Jakfar)

Warga 3 : (memberi isyarat)

Warga 2 dan 1 : (mengangguk tanda mengerti)

(ketika Abidin beserta yang lain berusaha menutup diri, mereka langsung dihampiri oleh warga)

Warga 1 : maaf tuan, sepertinya tuan sekalian sedang tersesat.

(Abidin dan yg lain merasa kebingungan, dan merasa takut penyamarannya terbongkar)

Jakfar : apakah tuan lupa, bukankah kita sudah pernah bertemu sebelumnya.

Umar : mungkin tuan ingat saya

Warga 2 : berhenti, kalau maju satu langkah akan tau akibatnya.

Abidin : maaf tuan-tuan sekalian. Ada apa gerangan, kami tidaklah mengerti.
Warga 3 : masih ingin berpura-pura. Sekarang katakan yang sebenarnya, siapa kalian, dan
dari mana asal kalian

Warga 2 : sepertinya, kalian harus diberi pelajaran terlebih dahulu baru mau mengaku
(mengeluarkan pedang)
Warga 3 : (mengeluarkan pedang)

Warga 1 : (mengeluarkan panah)

(terjadi pertengkaran antara jakfar melawan warga 3, jakfar pun kalah dan mereka semua
diberlututkan di hadapan para warga)

Warga 3 : Cepatlah mengaku, apa yang sebenarnya kamu beserta teman-temanmu inginkan

Warga 2 : apa kalian diutus oleh raja kalian untuk mengambil wailayah kami. Dimana raja
kalian yang tidak pernah menampakkan diri itu. Apa dia sedang menyusun
rencana agar dapat mengambil alih daerah ini.

Jaffar Sidik : Maaf tuan-tuan sekalian, maksud kami tidaklah demikian. Kami membawa serta
Sultan. Dan niat kami mau meminta bantuan

Warga 3 : diamlah, omongan kalian tidaklah masuk diakal

(semuanya menodongkan senjata kepada Sultan beserta yang lain)

Warga 1 : Tidakkah kalian ingin mengaku, jikalau kalian jujur pastilah tuan pendita akan
memaklumi

Warga 3 : Apa kita bawa saja mereka ke hutan, biar mereka mendapat ganjaran

Warga 2 : Sudahlah kakanda kita bawa saja mereka, janganlah menunggu terlalu lama.
Tidaklah akan ada hasilnya

Umar Baghi : Tapi tuan sekalian, percayalah kepada kami

Warga 1 dan 3 : Ayo...

(kadi, tohir, dan Zubaidah pun datang)

Kadi : ada apa ini?

Warga 1 : maaf tuan, kami menemukan penyusup masuk ke wilayah kita

Kadi : ini kan pedagang dari negri sebrang, kapal mereka sedang rusak. Mereka
bukanlah penyusup
Warga 3 : itu hanyalah tipu daya mereka tuan. Kami sudah menduga ini dari awal mereka
datang ke pulau ini. tidak akan ada pedagang dari negri sebrang menggunakan
kapal yang sangat besar bak kapal kerajaan.

Kadi : apakah benar wahai tuan-tuan sekalian

Umar : ampun tuan, kami datang memang karena kapal kami mengalami kerusakan.
Namun tidak ada niat untuk berbuat jahat apalagi sampai mau mengambil wilayah
ini

Jakfar : percayalah tuan

Warga 3 : sudahlah tuan, jangan termakan dengan omongan orang-orang ini. mana
mungkin warga pulau sebrang tidak dapat menarikan tarian khas. Mereka adalah
pembohong.

Warga 1,2,dll : bawa saja ke hutaan

Kadi : semuanya tenang, bersabarlah, kita tidak boleh main hakim sendiri. Kita
haruslah mendengarkan penjelasan dari mereka dahulu

Abidin : maaf tuan. jika diizinkan, hamba mohon berbicara empat mata dengan tuanku
kadi ulama (menatap Zubaidah namun merasa malu)

Kadi : (merasa bingung namun tetap menuruti) baiklah

Warga 1 : ya sudah, semuanya bubar. Kita sudahi dulu acara ini

(warga pun bubar sambil menggerutu)

Abidin : ampun tuan, hamba ingin menyampaikan pengakuan

Kadi : apakah gerangan? katakanlah semua, agar tidak menimbulkan fitnah

Abidin : sebenarnya hamba adalah Sultan Abidin dari negri kembayat

Kadi : subhanallah, wahai Sultan Abidin. Kenapa tuanku tidak jujur saja dari awal, apa
gerangan yang terjadi, kenapa tuan harus menyamar seperti ini?

Abidin : pertama kali hamba datang, hamba diberitahukan bahwa ada seorang wanita
mengaji di dalam mahligai. Suaranya sangat indah. Hamba menyamar, agar
hamba tau siapakah wanita itu.

Kadi : Siti Zubaidah. Dia adalah putri yang sangat cantik di keluarga ini. wajahnya
mirip sekali dengan almarhum ibundanya. Dan sekarang apakah tuanku sudah
mengetahuinya?
Zainal Abidin : Maafkan hamba ayahanda, putri cantik bak melati, juga akhlaknya yang terpuji
tak bisalah hamba pungkiri. jikalau ayahanda terima. Bahagialah hati hamba.

Kadi Pendita : Jikalau Baginda sudi dan suka, ayahanda menurut apa hajatnya. janganlah
ananda gundah gulana. Hamba ini orang yang hina, lagi miskin tidak berguna.
Hamba pun tinggal di desa, tiadalah bermartabat berbangsa. Jika baginda
berkehendak sungguh, jangan lagi kita bertangguh.

Zainal Abidin : janganlah ayahanda merendah seperti itu. Tidak sedikitpun hamba memikirkan
itu. Baiklah ayahanda, jika demikian putusannya, hamba mohonlah pamit.

Kadi Pendita : baiklah tuan mari saya antar

(Pengasuh Zubaidah masuk menceritan masalah yang baru saja terjadi. Yaitu betapa besar
cinta Abidin hingga rela menjadi hamba dan hampir saja di bawa ke hutan oleh warga)

Kadam II : assalamualakummm, cek bi cek

Kadam I : “oy, ngapo cek. Amen nek nageh utang sekarang, maap nian cek belom ado aku.
Laki aku ni belom ngasi setoran cek”

Kadam II : “iyo apo cek. Tapi caknyo tas tu.. la baruu bae

Kadam I : “ ay cek, cak dak tau bae. Aku ni cuman minjem punyo Zubaidah. Dio tu men di
kato pinter, aku jingoknyo pinter e, tapi cek yo punyo tas bagus dak galak nian di
pakeknyo. Percuma bae bapaknyo beli.”

Kadam II : “ iyo apo cek. Oy sepupu aku nih. Dak katek nian bawaan kayonyo. Gawenyo
men dak sholat, ngaji tu lah. Bukannyo jalan-jalan yo dak nyarik lanang pakek tas
mahal.

Kadam I : “iyo, cek. Mubazer bae rai canteknyo tu amen belom belaki. Eh tapi cek, kau tau
dak berita pagi tadi.”

Kadam II : “ berita apo dio cek”

Kadam I : “ lanang yang nginep di sebelah rumah kadi itu na, yang pernah aku omongi
dengan kamu waktu itu.

Kadam II : “ yang mano cek”

Kadam I : “ yang aku bilang, sayang nian lanang itu misken, amen dio kayo lah lamo aku
grepeki. Gantengnyo dak telawan cek.”

Kadam II : “oh yang itu... iyo-iyo tau aku. Ngapoi dio”


.”
Kadam I : “ dio tu ternyato cek, rajo cek. Rajo kembayat. Sempurna nian idop dio tu. Dan
yang lebih bikin aku saket cek yo, dio tu nek ngelamar Zubaidah cek.

Kadam II : “ nian apo cek. Tapi kok penampilannyo mak itu cek

Kadam I : “ saking cintonyo Rajo Kembayat dengan Zubaidah yo cek, dio rela cek jadi
wong rendahan mak itu.”

Kadam II : “ ooo, jadi dio tu nyamar karna nek jingok Zubaidah tu cek yo”

Kadam I : “iyo cek, nek di ulang nian kau ni baru ngerti”

Kadam II : “lemaklah Zubaidah, dak perlu lagi dio nguji seberapo cintonyo Rajo dengan
dio. Dengan Rajo nyamar cak itu be lah pacak beppiker kito, yo dak cek.”

Kadam I : “yo lah pulok cek. Jadi mak mano kelanjutannyo cek. Disetujui dak samo pak
kadi.”

Kadam II : “ oy, jangan ditanyo lagi. Lah pasti diterimo lah. Cak-cak buyan pulok kau ni.”

Kadam I : “isshh dah, ngatoi pulok kau ni.”

Kadam II : “ya salaamm, lupo cek”

Kadam I : “po dio cek”

Kadam II : “sayor aku ceekkk” balek dulu assalamualaikum

Adegan VII

Siti Zubaidah : (mengatur sembah sambil menangis) Ayahanda, ananda mohon izin, mengikuti
suami ke negeri Kembayat.

Kadi Pendeta : (mengelus kepala putrinya) Ananda cahaya mataku, janganlah mudah putus asa.
Ananda tiada berayah beribu, bersabarlah selalu dan jangan pernah berbuat jahat.

Siti Zubaidah : Ananda hanyalah seorang anak kadi ulama. Ananda takut jikalau nanti ananda
akan dihina. Karena tak sepadan dengan baginda raja

Kadi Pendeta : Serahkan semua masalah kepada Allah. Berdoalah selalu agar terhindar dari bala
dan bahaya. Taatlah kepada suamimu. Selamat jalan anakku, jika sudah sampai ke
sana, patuhi juga perintah ayahanda baginda.

Siti Zubaidah : (menangis tersedu) Ayahanda, marilah pergi bersama ananda.

Kadi Pendeta : Tidak, anakku. Anggaplah ayah telah tiada.


Siti Zubaidah : Ayahanda janganlah berkata demikian. Ananda tidak akan pernah melupakan
ayahanda. Apalagi sampai menganggap ayahanda telah tiada.

Kadi Pendita : Sudahlah anakku. Mari ayah antar sampai ke kapal.

Siti Zubaidah : (semakin tersedu tangisannya) tapi ayaahh.. ikutlah bersama ananda ayah

Kadi Pendita : (menahan tangis) Dayang, iringkanlah perjalanan ananda Zubaidah.

Dayang : Baik Tuan kadi

(Berjalan keluar sambil diiringi dayang

Adegan VIII

Setting di kerajaan Kembayat. Permaisuri dan Sultan Darmansyah sedang duduk


berbincang

Sultan Darman Syah : Istriku dan wazir negeri Kembayat, lama sudah Ananda Sultan
meninggalkan kita.

Permaisuri : Betul sekali kakanda, berita pun tiada. Hati ini rasanya hampa. Makan
pun tiada berasa, tidur juga tiada lelapnya.

Sultan Darman Syah : Kakanda pun begitu adinda. Wazir, berangkatlah mencari Ananda Sultan
ke semua negara. Sertalah pula hulubalang dan menteri.

Wazir : Baik Baginda. Hamba dan para menteri akan bersiap diri.
Dengar Baginda . . . , suara meriam berpalu-palu.

Sultan Darman Syah : (terkejut) Lihatlah Kakanda wazir, siapa yang masuk ke negeri kita.
Jikalau anakku yang datang itu, tiada terperi senangnya hati.

Wazir : Baik Paduka.

Wazir keluar, sementara itu Sultan Darmansyah mondar mandir berharap yang datang adalah
putranya. Tak lama kemudian wazir beserta Jakfar Sidik masuk ke istana lalu menghadap
baginda tua.

Sultan Darmansyah : (sambil menangis dan keduanya berpelukan) Marilah ke mari anakku,
mengapa berlayar terlalu lama? Bukankah ananda berjanji hanya dua belas
purnama? Sekarang sudah empat belas mau kelima belas purnama Ananda
baru pulang. Apa gerangan yang terjadi?
Jakfar Sidik : Janganlah Tuan berhati gundah. Kami semua selamat sentosa. Adinda
Sultan datang membawa istri. Siti Zubaidah namanya, putri seorang kadi
bestari. Rupanya elok tiada berlawan, sabar dan tawakal, lagi dermawan.

Sultan Darmansyah : Baiklah ananda jika demikian, bawalah kemari mereka semuanya. Wazir,
panggilkan musik istana, hiburkan semua rakyat yang datang.

(Abidin berjalan memasuki istana dengan membimbing tangan Zubaidah. Mereka mengaturkan
sembah kepada raja dan permaisuri)

Permaisuri : Lihatlah Kakanda, betapa cantiknya menantu kita. Serasi benar dengan
ananda Sultan seperti bulan dengan matahari.
(memeluk putranya)
Ayuhai gemala negeri, rindunya bunda tiada terperi. Betapa lama Ananda
pergi, betapa gundah dan pilu di hati.

Sultan Abidin : Ibunda jauhari, sebab ananda berlayar lama, di Pulau Peranggi bertemu
ulama. Di sana hamba belajar agama. Ananda peristri putri Zubaidah,
ananda Kadi Ulama.

Permaisuri : inikah istrimu wahai ananda sultan. Anak seorang kadi ulama.
(memandang sinis kepada Zubaidah)

Sultan Darma Syah : Mari kita bersenang, merayakan kedatangan Ananda Sultan. Sediakan
tempat duduk untuk kami berempat. Tempat Zubaidah sediakan juga.

Permaisuri : Kakanda ini bagaimana? Tak ada tempat untuk Zubaidah.

Sultan Abidin : (marah) Baik kalau begitu, tempat Zubaidah jangan diberi. Dia hendak
patik bawa ke rumah sendiri. Bagaimana Ibunda ini, Adinda putri patik
serahkan, di istana ini patut ia didudukkan.

Siti Zubaidah : (menunduk pilu teringat pesan ayahandanya)


Kakanda, biarlah semua ini terjadi, insya Allah hamba sabar
menghadapinya.

Di taman belakang kerajaan, sultan Darman Syah beserta permaisuri sedang bercakap. Tanpa
disadari para kadam mendengarkan

Permaisuri : Wahai kakanda, adinda tidaklah suka melihat ananda Abidin memilih
Zubaidah sebagai istrinya.

Sultan Darman Syah : Memangnya ada apa adinda, sehingga adinda dapat berbicara demikian

Permaisuri : Hamba hanya saja tidak menyetujui jikalau putra hamba menikah dengan
seorang wanita yang terlahir hanya dari seorang kadi ulama.
Sultan Darman Syah : Apa salahnya seorang kadi ulama wahai adinda, akan lebih baik jika
memiliki menantu yang sikap dan akhlaknya mulia

Permaisuri : Tapi kakanda, bukankah akan merendahkan nama kerajaan kita. Akan
lebih baik jika Sultan kita jodohkan dengan putri Yaman. Bukankah Raja
Yaman pernah membicarakan ini sebelumnya.

Sultan Darman Syah : Sudahlah adinda, jangan terlalu ikut campur urusan percintaan Sultan.
Anak kita sudah memilih tambatan hati yang paling dicintainya

Permaisuri : tidak kakanda, adinda tetap tidak menyetujuinya


( Berjalan masuk, kemudian diikuti sultan darmansyah)

(para kadam masuk, membicarakan kesenjangan sosial antara Zubaidah dengan Abidin. Serta
kecocokan antara putri yaman dengan Abidin)

Kadam I : ( berjoget menyanyikan lagu baby shark )

( Ketika sedang asik bernyanyi, masuk kadam II dan ikut pula berjoget baby shark)

Kadam I : (menoleh ke belakang dan menegur kadam II) “oy alangkenyo kau ni cek nek
melok-melok pulo)

Kadam II : (senyum-senyum) lemak cek lagunyo. Payo ulangi lagi aku nek joget pulok

Kadam I : iissh dah, badan bontet mak ini. Dak cocok tau dak. Men lagu mak ini ni,
cocoknyo untuk aku nah, yang cantik dari abad ke abad. (menepuk pantat kadam
II), sudah-sudah, lanjuti lagi lah gawean kamu tuh, makan gaji buto bae.

Kadam II : ay daahhh, sakkkeett. Kasar nian kau ni. Ku aduke ke kak seto kau, kekerasan
ini namonyo

Kadam I : (tertawa mengejek) oy dah, wawasan kau ni sempit nian. Sini ku kasi tau, kak
Seto tu gawenyo ngurusi budak kecik, lah kauni tuo bangko umur la masok
kepalak tigo nak minta perlindungan kak Seto pulo. Oy dio banyak gawe laen,
idak nak ngeladeni kau bae.”

Kadam II : “oy jangan salah kau cek. Emang rai akuni cak la tuo, badan aku ni besak, tapi
akuni masi 17 taun tau dak. Akuni badan besak mak ini oleh dulu mak aku terlalu
sering ngenjok aku vitamin. Vitamin apo bae dikasi kenyo tula aku makini ni.
Aidah mak akuni cek, dah sedeh aku laju kau ingeti mak ini daahh”

Kadam I : “nah tula kau tu. Dem la dak usa sedeh-sedeh. Mending kito begosip bae
Kadam II : “nah lemak jugo ati aku nengernyo, peh kito ngomongi lanang bae. Oy gilo
kemaren aku di dikedepin samo lanang, beeehh cek. Nah cak yang itu na, yang
bekaco mato itu na. Ales tebel beber tipis matii tipe aku nian itu cek ailaa”

Kadam I : “oy kauni betino dasar nian, bukan ngomongi lanang maksod aku tuh!”

Kadam II : “jadi ngomngi apo, yang muat ati aku ni seneng cuman lanang tu la cek

Kadam I : “iissh dah, kanji gatal ini. Maksud aku tu kito ngomongi istri baru Abidin itu
na, yang anak kadi”

Kadam II : “nah iyo ye cek, ngapolah Sultan Abidin ni galak samo wong mesken cak itu,
untung bae rainyo cantek. ”

Kadam I : “oy, percuma bae cantek, amen bukan berasal dari kerajaan. Dak sebanding cek.
Agek bakal malu-maluke namo kerajoan inilah.

Kadam II : “ iyo nian cek yo. Amen dipikir-pikir, dak nian lah aku amen jadi Sultan.
Apolah yang dipekerke Sultan ni. Jaoh nian derajatnyo. Zubaidah pulo, nek
nerimonyo. Dak nyadar nian nek jadi bini Sultan, padahal miskin.

Adegan IX

Di singgasana kerajaan, permaisuri menghampiri Abidin yang sedang bersama Siti


Zubaidah

Permaisuri : Wahai anakku Sultan Abidin, ibunda membawakan putri cantik dari negri
sebrang. Akan lebih baik jika Sultan mengajak putri Sajarah untuk berkeliling
kerajaan.

Sultan Abidin : (Heran dengan perlakuan permaisuri namun tetap menuruti)


Baiklah bunda, Zubaidah pun hamba turut serta.

Permaisuri : Jangan ananda, biarlah Zubaidah beristirahat. Nikmatilah waktu bersama siti
Sajarah.

Siti Sajarah tersenyum sinis. Abidin menatap Zubaidah

Zubaidah : Tidak apa-apa kanda, lagi pula hamba memang sedang lelah. Tak dapatlah
kemana-mana.

Sajarah : Apakah benar Zubaidah, Seharusnya sedari tadi kau janganlah kemana-mana.
Apalagi menemui Sultan Abdidin ( masih dengan tatapan dan nada yang sinis)

Permaisuri : Benar Zubaiddah. Sudahlah, mari ibu antar ke depan.


Abidin : Beristirahatlah adinda, nanti kakanda akan menemui ananda lagi.

Adegan X

(Setting di taman belakang kerajaan)

Sultan Abidin : (menemui Zubaidah dan memandangnya penuh kasih)


Wahai adinda, sudahkah adinda makan? Kenapa kakanda tidak Tuan nantikan?

Siti Zubaidah : (sambil menunduk) Sudah kakanda, karena patik merasa lapar. Tuanku lama
sekali di darat.

Sultan Abidin :(menggenggam tangan istrinya) Adindaku, jangan menggunakan bahasa yang
merendah, bukankah kita setahta. Kakanda merasakan adinda itu orang
bangsawan, jelas kelihatan dari tutur kata dan perbuatan.

Sultan Abidin : Adinda jangan berhati gundah, percayalah hati kakanda tiada mendua.
Hanyalah Tuan utama jiwa. Kasih dan sayang hanya untuk adinda seorang.

Siti Zubaidah : (hanya diam dan sedih)

Sultan Abidin : Adinda, kalaulah kakanda beristri lagi, bukanlah kehendak kakanda, permaisuri
tak dapatlah dibantah perintahnya. Percayalah adinda, meskipun kakanda beristri
seribu, kasih dan sayang hanya buat adinda seorang. Mohonkan ampun kakanda,
Tuan.

Siti Zubaidah : (tetap berdiam diri dan sedih)

Sultan Abidin : Adinda ketahuilah, kakanda meninggalkan Kembayat, menjelajah berbagai


negeri karena mencari adinda seorang, yang dijelmakan Allah dalam mimpi
kakanda. Hati kakanda tiada karuan, saat mendengar Tuan mengaji di mahligai
indah. Hamba rela menjadi budak mengiringkan Bunda menumpang mandi demi
ingin melihat wajah adinda.

Siti Zubaidah : Siapa yang melarang Tuan beristri, patik suka tidak terperi, bolehlah tempat
penaruhan diri. Jangan disangka patik kan marah, tidaklah berani barang sepatah.

Sultan Abidin : (merangkul Siti Zubaidah penuh kasih)


Adegan XI
(Di kamar Siti Sajarah)

Zubaidah : (Sambil membawa baju pengantin) Wahai putri Sajarah, ini baju yang akan putri
kenakan, hendaklah esok putri pakailah.

Sajarah : (berkaca, dan tidak mengubris)

Zubaidah : putri, apakah masih ada yang putri butuhkan. Biar hamba bisa carikan

Sajarah : hei Zubaidah, janganlah engkau berpura-pura. Berlagak baik agar bisa diterima.
Sampai mati pun aku tak akan sudi berbagi dua

Zubaidah : apa yang putri bicarakan. Hamba tidaklah mengerti

Sajarah :janganlah engkau berdusta. Bukankah kecemburuanmu membuat kau


membenciku

Zubaidah : Tidak wahai putri Sajarah, hamba iklas jika putri akan menikah dengan Sultan
Abidin, karena semua adalah jalan Allah

Sajarah : Sudahlah Zubaidah, aku tidak akan percaya dengan kebohongan yang selalu kau
tutupi dengan akhlakmu yang kau anggap terpuji itu. Bukankah kau
menginginkan kedudukan permaisuri.

Zubaidah : (menahan tangis) mengapa putri berkata demikian. Tidaklah sedikit pun niat
untuk menjadi permaisuri.

Sajarah : (tertawa) aku tidak habis fikir dengan sifatmu itu Zubaidah. Sifat burukmu telah
tertutupi oleh wajah cantikmu itu

Zubaidah : (menangis)

Sajarah : Sudahlah, kau tak kan mampu menyaingiku, karna kau hanya sebatas anak
seorang kadi. Permaisuri hanya bisa digantikan oleh keturunan kerajaan, bukan
keturunan kadi ulama

Zubaidah :(menunduk, namun masih tetap bersikap tegar dan tersenyum) tuanku putri
Sajarah, akan lebih baik jikalau putri beristirahat. Karena besok adalah hari besar.
Hamba mohon pamit keluar.
Adegan XII

(kadam sedang berjalan menuju dapur kerajaan, namun terdengar suara orang mengaji,
kadam pun mengintip ke dalam sebuah ruangan)

Kadam1 : assalamualaikum tuanku Siti Zubaidah, alangke merdunyo suaro putri. Bukan
hanyo rai bae yang cantek, suaro be bagus

Zubaidah : Janganlah berkata demikian, hamba hanya mengaji seperti biasanya. Suara
hamba pun tak sebagus orang di luar

Kadam 2 : Galak nian putri ni merendah, janganlah cak itu putri. Galak dak putri ajari kami
beduo yang buto ngaji ni biar pinter cak putri

Kadam 1 : iyo putri, galak lah kami cak putri, payo putri

Zubaidah : mari kadam-kadam duduklah, kita mengaji bersama karna saya pun masih
belajar juga

Kadam 1 dan 2: baik putri

(mereka pun mengaji bersama, namun tanpa sepengetahuan mereka permaisuri telah
mendengarkan percakapan mereka hingga permaisuri pun masuk)

Kadam 2 : eh permaisuri, duduk permaisuri. Nek jingok kami ngaji dak

Kadam 1 : iyo permaisuri, putri Zubaidah ini bagus nian suaronyo ngaji berontong nian
punyo menantu cak putri ni

Zubaidah : bukan seperti itu kadam, janganlah berlebihan. Mengajinya kita sudahi dahulu,
besok barulah kita lanjutkan lagi. Hamba mohon keluar ibunda

Permaisuri : (tidak menghiraukan)

(setelah Zubaidah pergi, kadam pun mulai berbicara dengan permaisuri)

Kadam1 : Wahai permaisuri, bukankah putri Zubaidah sudah terbukti. Bukan hanya cantik
parasnya, namun juga baik akhlaknya.

Kadam 2 : Benerlah yang diomonginyo tu permaisuri, beda nian dengan putri Sajarah.
Walaupun putri Zubaidah hanya seorang anak kadi ulama, namun akhlaknya bak
putri kerajaan.

Permaisuri : (terdiam dan berfikir)


Kadam 1 : sudah lah permaisuri, jangan terlalu dipekerke nian. Agek muncul kerutan di rai
cantik permaisuri tu. Payo permaisuri, kami berdua antarkan.

(sementara itu permaisuri masih memikirkan apa yang ia lihat dengan apa yang ia dengar dari
para kadam hingga akhirnya)

Permaisuri : Wahai kakanda, betapa beruntungnya kita mendapatkan menantu secantik dan
sebaik siti Zubaidah.
Darman Syah: Apa yang membuat adinda berkata demikian, yang pada awalnya adinda hina
ia dengan sangat tidak sopan.
Permaisuri : Maafkan adinda kakanda, akhlak dan perilakunya lah yang membuat hati ini tak
bisa menahan kuasa untuk menerimanya. Alangkah lebih baiknya juga apabila
kita turut merayakan kedatangan Sultan Abidin beserta Siti Zubaidah. Namun
pernikahan Sajarah harus tetap kita laksanakan.
Darman Syah: Baiklah adinda, esok lusa kita adakan acara yang sangat besar untuk
menyambut Ananda Sulta Abidin ke kerajaan kita, serta merayakan hari
pernikahan bagi kedua istrinya.
Permaisuri : (tersenyum bahagia)
(pesta besar digelar, tarian pun di pertunjukkan)

Beremas
Tabekla encik tabekla tuan, tabek kepada laki-laki perempuan, Kami bermain berkawan kawan,
salah dan khilaf mohon di maafkan, Salah dan khilaf mohon dimaafkan. Tabeklah tabek daun
kangkung, ambek batang sampiran kain, tabekla tabek sanak di kampung, kami datang numpang
bermain
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai