Anda di halaman 1dari 6

Dalam Kuyup Gerimis

"AKU tak bisa, Bram. Sungguh. Senin pagi aku harus siap di sana. Atau, aku harus mengulang tahun depan.
Kamu tahu kan, aku .." Suara beningnya terhenti ketika aku memegang bahunya lembut.
“Demi aku Na, demi aku.”
Matanya menatap lurus padaku, seperti sebuah kilauan sinar yang mencoba mencari sesuatu dalam cerukan.
“Aku tawarkan begini. Kamu tetap ikut reuni di rumah Ketut, dan besok paginya kau sudah di sana.”
“Maksudmu?”
“Aku akan menemanimu besok ke Surabaya, jam berapapun kau mau!”
Lagi-lagi kilauan sinar itu menerpa mataku. Aku berusaha tenang, meski sungguh aku gelisah ketika mata itu
menyorotku.
“Janji ya?”
Ia menyodorkan kelingkingnya, dan segera kusambut. Kelingking kami saling bertaut. Ini cara berjanji yang
umum dilakukan, sejak bertahun lalu ketika kami bagian dari kelompok remaja sebuah SMA. Wina teman satu
kelasku ketika di SMA dulu. Meski ada penjurusan, kami selalu satu kelas sampai kelas tiga.
Angin malam mulai menusuk. Musim di Trenggalek selalu begini. Meski siang panas, tapi malam dipenuhi
angin dingin yang membekukan tulang.
“Tiket ke Balikpapan sudah beres?”
“Sudah, penerbangan pertama.”
Angin dingin menampar wajah kami. Pelan tanganku menyentuh rambutnya yang berayun ditiup angin.
“Sampai di Samarinda jangan lupa telpon. Kirimi juga beberapa foto Mahakam.”
“Tentu. Tapi telpon dan alamat di Rungkut, belum dikasih?”
Ia menolehkan wajahnya padaku, lagi kilauan bening itu menerpaku.
“Aku nggak mau ngasih sekarang. Besok malam kau kan ikut. Sebenarnya aku memang ingin kau sempatkan
mampir di Surabaya, sebelum kembali ke Kalimantan.”
Kugenggam tangannya, dan menikmati wajahnya yang lembut. Di reuni pertama dulu, kami tak sedekat ini. O,
lelaki yang tak pandai membaca keindahan. Kenapa harus setelah sekian lama? Wina bersamaku selama tiga
tahun di SMA. Dan selama itu, kami hanya berteman. Aku berpacaran dengan adik kelas. Dan Wina? Ya
ampun, aku bahkan tak tahu Wina punya pacar atau tidak. Ia kutu buku.

**

“WINA jadi datang?” sergap Joko ketika aku baru masuk rumahnya.
“Yoi. Dengan perjanjian.”
Kulepas jaket dan menyambar keripik pisang di meja. Aku memang terbiasa di rumah ini sejak SMA. Ini salah
satu ‘markas’ kami.
“Aku harus menemani ke Surabaya besok. Terpaksa. Kasihan, malam-malam perempuan naik bis sendirian.”
“Lagakmu. Itu kan yang kamu mau?”
Aku hanya menyeringai merasakan tinjunya di lenganku.

**

DUA tahun lalu, kami bertemu di reuni pertama. Sebuah reuni sederhana di rumah Wiwik, seorang teman yang
menikah selepas SMA. Kami memang bersepakat untuk reuni setiap dua tahun, khusus kelas kami. Wina kuliah
kedokteran di Surabaya. Sementara aku, setelah selesai diploma informatika di Malang, merantau ke Samarinda.
Bekerja di perusahaan perkayuan sambil kuliah lagi di ekonomi.
Ketertarikanku pada hal-hal medis serta rasa penasaran Wina pada rimba Kalimantan, mendekatkan kami.
Bahwa pemikiran Wina cerdas, aku sudah tahu dari dulu. Tapi sungguh aku baru menyadari bahwa matanya
indah. Seperti ada telaga teduh, tapi dalam sekejap berubah sinar berpendaran ketika ia berbicara penuh
semangat.
“Hei, dilarang selingkuh ya?” Wiwik, tuan rumah yang ramah menggoda kami. Aku hanya senyum sambil
melirik Wina. Siapa selingkuh? Apakah Wina telah .. Ah, tak penting.

**

KEHIDUPAN selalu mencipta jarak baru, bahkan untuk sekedar berkumpul. Kawan yang datang di rumah
Ketut tak sebanyak ketika reuni pertama. Beberapa tak bisa datang meski sudah mengusahakan.
Acara hampir dimulai, saat aku masuk menggandeng Wina. Beberapa kawan berbisik melihat kami.
Joko ternyata telah datang lebih dulu.
Tuan rumah membuka acara, dilanjutkan beberapa kawan. Aku menjadi salah satu yang harus berkisah.
Rupanya, aku tetap menjadi satu-satunya orang rimba. Mereka tak pernah bosan mendengar bualanku.
“Hutan-hutan di sana tak seseram yang kita bayangkan. Kebanyakan telah menjadi bukit-bukit gundul atau
ladang belukar. Binatang buas tak ada di sana. Kecuali beruang madu, ular sanca, dan orangutan yang ramah.”
“Masa nggak ada harimau?” protes Agus, nampak penasaran.
“Nggak ada. Yang ada paling kucing liar. Mungkin macan dahan ada, tapi jarang. Yang justru takkan terlupakan
adalah sungai Mahakam. Sungai ini membelah kota Samarinda menjadi dua bagian. Di malam hari, air sungai
memantulkan cahaya lampu-lampu kota ..”
Ketika kusebut Mahakam, kulihat sekilas mata Wina berbinar.
Acara semakin meriah ketika seorang teman berkisah tentang proses pernikahannya. Beberapa kawan yang
lajang begitu bersemangat mendengarkan.
Satu-satunya perhatianku saat ini adalah Wina. Kuajak dia ke salah satu sudut ruangan. Dari sini, kami bisa
memandang ke semua meja.
Wajah di sebelahku nampak teduh, meski terlihat lelah. Aku tahu, sebelum kujemput ia pasti telah berkemas
untuk nanti malam.
Apakah aku kekasih Wina? Aku terkejut dengan pikiran itu. Dulu, ketika SMA, teman-teman selalu mengawali
pacaran dengan sebuah kata sakral: ‘jadian’. Lalu setelah itu ada ‘putusan’. Dan biasanya kata itu terus berulang.
Aku melirik ke sebelah. Meski tatapnya ke arah ruangan, tapi kurasakan ia merenung sesuatu yang tak kutahu.
Hubungan ini begitu lekas sekaligus begitu lama. Tanpa perlu sebuah kata awal. Lekas, karena kami akrab
hanya di dua kali reuni, dan kebersamaan di beberapa hari. Lama, karena sebenarnya wajah teduh ini telah
kukenal sejak tujuh tahun lalu.
“Berangkat jam berapa nanti?”
Ia nampak kaget, lalu menoleh ke arahku hingga wajah kami berdekatan.
“Dari rumah jam 2.30. Rencanaku begini. Kamu menunggu di Durenan. Kemungkinan bis sampai di sana jam
3.00. Kuharap kau sudah siap di sana.”
Rencana yang menarik!
“Kenapa tidak berangkat bareng dari rumahmu saja?”
Wajahnya memerah. Aku tahu, itu tak mungkin. Tempat tinggal Wina adalah daerah yang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai. Tak pantas, seorang pria menginap di rumah wanita yang bukan saudaranya.
“Tak enak sama orang rumah. Tapi aku sudah bilang, bahwa seorang teman akan menungguku di Durenan.”
“Seorang teman?”
“Iya. Emang apa?”, cubitanmu di paha cukup keras, tapi hatiku berdendang.
“Terus, aku akan memakai sweater putih, duduk di sebelah kiri. Aku akan ambil bangku nomor dua, di pinggir.
Jika tak dapat, aku ambil di nomor tiga dan seterusnya.”
Rencana yang matang. Wajah teduh ini ternyata pandai juga membuat rencana.
“Yang seperti ini dipelajari juga di kedokteran?”
Lagi-lagi aku dapat cubitan kecil.

**

SAMPAI di rumah jam 12 malam. Aku masih punya dua setengah jam untuk istirahat. Aku memilih tidur di
sofa ruang tamu. Pada ibuku aku berpesan agar membangunkanku tepat pukul 2.30, kukatakan aku akan
menemani seorang teman ke Surabaya. Di rumah tak ada beker, tapi ibu selalu sholat malam.
Meski amat mengantuk, aku tetap tak bisa melupakan harum rambutmu. Juga sebuah pelukan yang segera kita
lepas selekas suara kaki kakakmu yang menyambut. Wajahmu amat teduh, tersenyum sesaat sebelum aku
terlelap.

**

SESEORANG membangunkanku. Ibu. Beliau sudah siap berangkat ke masjid. Astaga, ini sudah subuh!
“Ibu pikir kamu sudah berangkat. Kamarmu kosong. Ibu lupa kamu tidur di sini. Susul saja temanmu, mungkin
bisa ketemu.”
Aku tak begitu mendengar kata ibu. Seperti terbang aku ke kamar mandi. Membasahi muka, dan dengan
kecepatan yang sama berlari ke perhentian bus. Jalan kecil di gang ini gelap, tapi aku hapal detilnya. Aku berlari
seperti panah. Sebuah bis yang baru bergerak kukejar. Seperti binatang aku menerkam pintu belakang yang
terbuka dan menabrak kondektur.
Ibu, aku memang belum pernah menjelaskan siapa teman yang akan bersamaku ke Surabaya. Tuhan, aku harus
menyalahkan siapa?
Bis ini pasti telah berjalan kencang seperti umumnya bis malam hari. Tapi bagiku amat lamban. Aku gelisah. Di
setiap terminal aku meloncat turun, lalu naik lagi. Aku berharap ada seorang gadis memakai sweater putih
menungguku di salah satu terminal. Di bis hanya ada tiga penumpang. Empat denganku. Mereka
memperhatikanku. Mungkin terganggu, tapi siapa peduli?
Pohon-pohon sepanjang jalan seolah menyoraki kebodohanku. Seorang gadis menempuh perjalanan sepanjang
180 km malam hari. Menaiki bis malam yang umumnya berpenumpang pria. Wanita lain aku tak peduli. Tapi
ini Wina, Winaku! Aku ingin menjerit.

**

MEMASUKI terminal Purabaya, gerimis turun. Awan hitam bergulung. Tapi hatiku lebih pekat dari itu. Aku
meloncat dari bis dengan tatapan binatang hutan. Calo dan preman terminal nampak tak tertarik padaku. Apa
yang bisa mereka harap dari pria kumal sepertiku?
Aku berjalan dengan mata yang terus mengawasi setiap sudut. Di mana kau Na? Jantungku berdegup ketika
seseorang berbaju putih nampak di salah satu bangku tunggu. Nafasku memburu. Ya Tuhan, akhirnya ..
Gadis itu menoleh saat aku hampir menyentuhnya. Astaga. Gadis ini berbaju putih, tapi jelas bukan Wina. Ia
terheran memandangiku. Aku meringis pilu menatapnya.
Aku kembali ke perhentian bis dan menyisir ulang lorong terminal dengan pikiran bergumpal, apa yang akan
dilakukan seorang gadis yang kecewa, marah ketika turun dari bis. Mungkin langsung naik angkutan lain. Atau,
akankah ia duduk di suatu tempat, menungguku?
Gerimis semakin rintik. Tubuhku basah. Tapi hatiku telah membasah sejak tadi. Mengutuki diri. Apa susahnya
tidak tidur hingga jam 3 pagi, untuk seseorang yang mungkin akan mengisi hidupku?
Sebuah bangku kosong menawarkanku duduk. Aku pasti berandalan tak berguna bagi Wina. Bukankah dari dulu
Bramantyo hanya seorang pecundang? Gerimis semakin deras membasahi halaman terminal Purabaya. Seperti
air suci menyiram altar pengadilan. Dan seorang pesakitan telah pasrah pada nasib.
Tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Aku tak punya alamatnya di Surabaya. Bisa saja mencari informasi ke
rumah keluarganya, tapi buru-buru kutepis. Ketiduran? Alasan itu hanya cocok untuk seorang pecundang.
Wina akan menganggapku seorang pengecut di sepanjang hidupnya. Itu setimpal untukku. Minggu depan aku
sudah di Samarinda. Seorang pecundang, kembali ke perantauan lagi.
Kuusap mukaku, basah dan kotor. Tak ada airmata di sana. Tapi, Tuhan tahu, hatiku terisak menangis.
ESAI
DALAM KUYUP GERIMIS
(Yusuf Wibisono)

Tema yang diangkat dalam cerpen ini adalah persahabatan. Persahabatan adalah
sebuah ikatan yang tidak bisa dipisahkan selama di dalamnya ada keyakinan untuk selalu
bersama dan saling berbagi satu sama lain, baik kisah sedih maupun gembira. Selain itu, juga
menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas
sosial. Artikel ini memusatkan perhatian pada pemahaman yang khas dalam hubungan antar
pribadi. Dalam pengertian ini, istilah "persahabatan" menggambarkan suatu hubungan yang
melibatkan pengetahuan, penghargaan dan afeksi. Sahabat akan menyambut kehadiran
sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain, seringkali hingga pada altruisme.
selera mereka biasanya serupa dan mungkin saling bertemu, dan mereka menikmati kegiatan-
kegiatan yang mereka sukai. Mereka juga akan terlibat dalam perilaku yang saling menolong,
seperti tukar-menukar nasihat dan saling menolong dalam kesulitan.

Sahabat adalah orang yang memperlihatkan perilaku yang berbalasan dan reflektif.
Namun bagi banyak orang, persahabatan seringkali tidak lebih daripada kepercayaan bahwa
seseorang atau sesuatu tidak akan merugikan atau menyakiti mereka. Seringkali ada
anggapan bahwa sahabat sejati sanggup mengungkapkan perasaan-perasaan yang terdalam,
yang mungkin tidak dapat diungkapkan, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit,
ketika mereka datang untuk menolong. Dibandingkan dengan hubungan pribadi,
persahabatan dianggap lebih dekat daripada sekadar kenalan, meskipun dalam persahabatan
atau hubungan antar kenalan terdapat tingkat keintiman yang berbeda-beda. Bagi banyak
orang, persahabatan dan hubungan antar kenalan terdapat dalam kontinum yang sama.

Jika ada masalah, kita bisa mencurahkaan semua uneg-uneg yang kita pendam dengan
bercerita dengan sahabat kita. Dengan begitu, apa yang kita rasakan dan pendam dalam hati
yang membuat kita sakit, perlahan hilang dan terobati dengan senyum mereka serta
memberikan saran-saaan yang positif untuk memecahkan masalah yang kita hadapi. Sungguh
mempunyai sahabat itu sangat menyenangkan sekali. Nilai yang terdapat dalam persahabatan
seringkali apa yang dihasilkan ketika seorang sahabat memperlihatkan secara konsisten
kecenderungan untuk menginginkan apa yang terbaik bagi satu sama lain, simpati dan
empati, kejujuran, barangkali dalam keadaan-keadaan yang sulit bagi orang lain untuk
mengucapkan kebenaran dan saling pengertian.

Kisah yang berawal dari dua orang remaja yang selalu bersama selama tiga tahun
semasa SMA. Mereka saling mengenal satu sama lain. Bahkan mereka sudah lulus SMA.
Dalam cerpen ini terdapat tokoh aku (Bram), Wina, Wiwik, Agus, Joko, dan Ibu. Tetapi yang
lebih menonjol adalh tokoh aku dan Wina. Setelah lulus SMA, Wina kuliah kedokteran di
Surabaya. Sementara tokoh aku, setelah selesai diploma informatika di Malang, merantau ke
Samarinda. Bekerja di perusahaan perkayuan sambil kuliah lagi di ekonomi. Tokoh aku alias
si Bram mempunyai sifat yang baik, jujur, suka bercerita, ceria. Sedangkan Wina memiliki
sifat yang baik, suka becanda, pintar dengan memunculkan ide-ide kreatif. Semua tokoh yang
dipaparkan dalam cerpen ini mempunyai sifat protagonis. Tidak ada yang antagonis. Yusuf
Wibisono menggulirkan imajinasinya untuk menciptakan tokoh seorang remaja yang
sewajarnya seperti remaja pada umumnya dalam kenyataan. Sehingga, peristiwa demi
peristiwa membentuk kesatuan yang utuh.

Dalan cerpen ini, Yusuf Wibisono juga menampilkan unsur dongeng dibawakan oleh
tokoh aku alias si Bram yang membuat pembaca ingin tertawa. Dalam cerpen ini, awalnya
ceritanya menjalin sebuah persahabatan yang lama-kelamaan salah satu diantara mereka ini
mempunyai rasa suka. Dan akhirnya menjadi sebuah cinta. Sungguh dapat disangka bahwa
cerita ini akan berubah berubah menjadi kisah percintaan. Tapi, itu belum terjadi, masih
angan-angan saja dan tetap menjalani pertemanan mereka seperti biasa.

Alur yang dimainkan dalam cerpen ini adalah alur maju mundur yang bisa dibuktikan
dengan pada awal cerita mereka melakukan percakapan pada saat mereka sudah lulus SMA
bahwa mereka melakukan perjanjian. Kemudian, kembali mengingat masa lalu melakukan
sebuah perjanjian dengan menyodorkan kelingking antara keduanya lalu saling bertaut.
Setelah itu kembali lagi melanjutkan cerita bagian awal tadi.

Suasana dalam cerpen ini sangat bervariasi. Ada suasana b ahagia, sedih, haru, malu,
kesal. Misalnya sebuah bangku kosong menawarkanku duduk. Aku pasti berandalan tak
berguna bagi Wina. Bukankah dari dulu Bramantyo hanya seorang pecundang? Gerimis
semakin deras membasahi halaman terminal Purabaya. Seperti air suci menyiram altar
pengadilan. Dan seorang pesakitan telah pasrah pada nasib.
Tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Aku tak punya alamatnya di Surabaya. Bisa saja
mencari informasi ke rumah keluarganya, tapi buru-buru kutepis. Ketiduran? Alasan itu
hanya cocok untuk seorang pecundang.
Wina akan menganggapku seorang pengecut di sepanjang hidupnya. Itu setimpal untukku.
Minggu depan aku sudah di Samarinda. Seorang pecundang, kembali ke perantauan lagi.
Kuusap mukaku, basah dan kotor. Tak ada airmata di sana. Tapi, Tuhan tahu, hatiku terisak
menangis. Cuplikan cerita tersebut menggambarkan suasana sedih, kesal, tak tahu harus
berbuat apa, basah kuyup mencari permata yang entah tak tahu dimana sekarang. Sungguh itu
sangat memikat hati si pembaca.

Dalam segi bahasa, sudah cukup baik menggunakan bahasa mudah dimengerti.
Sesungguhnya, dalam menulis sebuah cerpen tidak perlu menggunakan bahasa yang terlalu
tinggi seperti bahasa dalam hikayat, sehingga orang untuk memahami suatu cerita
membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dalam menulis sebuah
cerpen yang sewajarnya, yang mudah dimengerti oleh si pembaca.

Keberhasilan cerpen ini terletak pada pengolahan cerita yang awalanya melakukan
hubungan persahabatan menjadi percintaan, meskipun belum ditonjolkan dalam kisahnya,
sosok tokoh yang manusiawi, dan imajinasi yang membuat cerpen ini patut untuk dibaca.
Selain ada kelebihan, pasti ada kekurangan yang perlu diperbaiki, terutama pada akhir cerita.
Kita tidak tahu dimana Wina sekarang berada, kemana dia? Itu yang membuat pembaca
menaji penasaran, sehingga pasa akhir cerita tidak disebutkan kemana si Wina berada.Yah,
sebuah karya memang tidak ada yang sempurna dan kita hanya bisa memberikan yang terbaik
dari hasil karya kita. Sebuah karya pasti ada kelebihan dan kekurangan. Namun, cerpen ini
bisa dikatakan berhasil karena membuat semua orang penasaran akan akhir ceritanya yang
tak tahu bagaimana atau mungkin itu hanya sampai disitu saja akhir ceritanya. Sebagai
seorang pembaca hanya bisa menilai suatu karya agar menjadi lebih baik lagi.

Aku sudah yakin kok kalau sepedaku bakalan digeser kea rah sana..apa salahku coba..Ya Allah aku pasrah.
Mengalah itu memang lebih baik.. amin..

Anda mungkin juga menyukai