Anda di halaman 1dari 154

Peradilan Rakyat

Oleh : Cerpen Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior
yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari
sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang
kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya
dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"


Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang
ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan
penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang.
Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar
kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk
menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu
jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum
lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar.
Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di
lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat
kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang


keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih
terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda
memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya
sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu
kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak
memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih,
kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.


"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-
sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara
tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan
membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan
menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata
air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya
dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."


"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang
penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang
dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya
negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku
tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku
untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa
di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang
paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan
istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua
sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah
teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara
terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai
berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang
mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan
sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh
siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik
terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku,
maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah
kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak
menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan
yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu
menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk
menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik
penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat
supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.


Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh.
Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela
napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.


"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak
bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai
pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku
untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang
seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.


"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati
orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai
profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha
pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam
profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran
yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang
pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta
tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan
keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan
uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk
mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar
mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi.
Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku
menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada
kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang
sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."


"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun
sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan.
Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.


"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan
mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"


"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak
memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada.
Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena
kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik
kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-
bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu,
bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan,
seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran.
Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu
mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang.
Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua
itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah
lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."


"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.


Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh
kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat.
Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu,
pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan
segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar
suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu
sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan
itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di
negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan
membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi
bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan
mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu.
Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang
api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun
marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel
dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru.
Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat.
Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan
pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan
berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang
empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku
berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka
pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah
aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang
profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata
seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang
penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang
melanda negeri kita sekarang ini?" ***
Mengakhiri Masa SMA
Oleh: Kia

Pagi ini langit tampak cerah dengan hembusan angin segar masuk jendela kamar
Selly. Hari ini adalah hari yang indah baginya, dia tidak sabar untuk menghadiri
acara perpisahan kelas tiga di sekolahnya.

busaya pergi dulu ya


tidak sarapan dulu?
sekalian aja di sekolah, bu

Seperti biasa, Selly berjalan kaki ke sekolah karena memang sekolahnya hanya
berjarak seratus meter dari rumahnya. Dalam perjalanan dia mengingat masa-
masa SMA yang tak lama lagi akan ditinggalkannya, terlebih kenangan bersama
Irfan yang adalah temannya.
Sebenarnya Selly telah lama suka sama Irfan, tapi dia terus saja memendam
rasa itu.
Selly berpikir, mungkin ini hari terakhir melihat pujaan hatinya itu.

SelSelly, tungguin dong!

Ria datang dari belakang menghampiri Selly dengan sedikit berlari.


Ria adalah teman sekelas Selly yang hampir tiap hari pergi ke sekolah bareng
Selly.

Sel, kok kamu kelihatan sangat bersemangat hari ini?


Tanya Ria
iya dong, kan ini hari perpisahan kelas tiga, kenangan SMA kita akan diakhiri di
sini.
Selly menjawab dengan riang.
Sel, setelah ini kamu mau kuliah dimana?
ayah saya bilang saya masuk UI aja, tapi saya nolak, saya maunya kuliah di luar
negeri
Jawab Selly sambil merunduk.
Selkamu tahu si Irfan kan?
iya, emang kenapa!?
dia katanya mau masuk UI, ternyata ayahnya dosen di sana
Selly pun kaget
Tak terasa mereka sudah sampai sekolah.
Selgue cari wali kelas kita dulu ya, gue mau kasih sesuatu, jangan lupa
sebentar kita foto bareng teman-teman!
Siip!.

Mumpung acaranya belum dimulai, Selly pergi ke kelasnya dan memikirkan


tentang Irfan yang ternyata mau kuliah di UI. Tidak lama kemudian Ria datang

Selkamu lagi ngapain?


gak kok, cuman lagi mikirin kuliah.
Jawab Selly.
ehSel, ada yang mau ketemu nih..
siapa?
nanti aja lu tau sendiri, dia lagi nunggu kamu di samping kelas tuh
Dengan rasa penasarannya Selly pun pergi ke samping kelas mereka. Dia sangat
terkejut, ternyata itu Irfan.

ehIrfan, kenapa?
ada yang gue mesti ngomongin sama kamu

Sementara itu, Ria dan teman-teman lainnya sedang membicarakan Selly dan
Irfan. Ternyata mereka sudah tahu kalau Selly suka sama Irfan.
Di samping kelas hanya mereka berdua, siswa lain menikmati hari perpisahan
mereka. Angin segar di pagi yang cerah masih terus berhembus mengibarkan
bendera Merah Putih di lapangan sekolah.
Perbincangan masih berlanjut

kamu mau ngomong apa, Fan?


Tanya Selly sambil berdebar-debar.
Sel, kita kan udah lama berteman apa kamu ngak rasain sesuatu?
Sebenarnya saya udah lama suka sama kamu cuman dulu belum ada waktu
yang tepat karena kita lagi sibuk-sibuknya belajar buat UN, saya pikir ini adalah
waktu yang tepat
Selly merasa terkejut bercampur senang.
Jadi gimana, Sel?

Tanya Irfan sambil meraih kedua tangan Selly.


Hati Selly pun makin bercampur aduk.

Irfangue sebenernyasudah lama suka juga sama kamu


Irfan pun kaget mendengarnya karena memang selama ini mereka hanya
sebatas teman saja.
Jadi kamu menerimanya!?
Saya rasa sudah jelas.
Jawab Selly.

Di pengeras suara sudah terdengar pengumuman bahwa acara perpisahannya


segera dimulai.
Sel, sepertinya udah mau dimulai acaranyaayo

Kata Irfan sambil memegang tangan kiri Selly. Mereka pun pergi ke aula sekolah
sambil berpegangan tangan dan teman-teman mereka diam-diam mengikuti
mereka dari belakang.
Dalam acara perpisahannya Selly dan Irfan sempat berbincang tentang kuliah.
Selly pun berubah pikiran, dia dengan senang hati mau masuk UI bareng Irfan.

Setelah acara selesai, foto bareng teman-teman dan semprot-semprotan baju tak
bisa dilewatkan mereka berdua.
Hari ini menjadi hari perpisahan yang mempersatukan mereka.
TAMAT
Arti Persahabatan
Oleh : Ridwan
Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering

berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka.
Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang
arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah...

Hahahahaha! aku tertawa sambil membaca.

Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan
buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya
besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini.
Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation! jelas Judi dengan nada nyaring.

Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari
kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi
kalau masalah bermain PlayStation Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau
apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku
kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game.

Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon
pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar
lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini.

Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu? Tanyaku pada Bang Jon yang baru
masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia
sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-
benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis
pada berbagai hal.

Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan
Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.
Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan ( Eh, itu... ).
Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri... aku mulai ketakutan saat seseorang
asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya,
aku tidak berani pulang kerumah.
Ohh iya itu! Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu
kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan
merencanakan sesuatu.
Oke, Beni kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan
pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua bisikan
Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk.

Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan
kata apapun dari mulut. ...Beni, ayo...satpam Judi membisiku sekali lagi.

Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan
lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar
ceritaku ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap
maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya.
Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.

Ya Tuhan! kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal
dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah.
Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon
polisi akibat kasus pencurian ini.

Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat
kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu
terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi
juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi jawab Bang Jon dengan
tenang dan pedenya.
Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon Rumahmu aman - kita memergoki
mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu.

Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang
kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya
maling ini seperti tidak pernah terjadi.
Hahahahaha... Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh
kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih
sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena
pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat
bercerita pengalamannya itu.

( Hahahahaha... ) Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan


pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang
Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini.

Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih
mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat
terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk
sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ).
Tradisi Telur Merah

Oleh : Aditya

Kau tak hendak menghitung. Namun, tahun-tahun yang melintas itu setiap kali mengucapkan
salamnya kepadamu. Seolah pamit sembari menerakan jejak yang melekat di dinding
ingatanmu.

Nyaris sembilan tahun terlalui. Belum satu dasawarsa, tetapi bukan rentang waktu yang
sebentar untuk sebuah penantian. Berapa lama lagi? Masihkah tersisa ketabahan untuk
menjalani rentang masa yang tak terkira itu?

Kau sapukan lap basah pada bingkai jendela, menyeka debu yang melekat di sudut-sudutnya.
Selalu ada sisa debu meski kau bebersih tiap hari. Akankah tabahmu serupa debu? Selalu ada
tiap hari, tertebar di segala sudut? Kau tak tahu.

Adalah melahirkan, yang menjadi angan pertamamu saat laki-laki itu meminangmu. Kau
lamunkan dirimu sedang menyusui bayimu sembari bersenandung saat suamimu rebah di
dadamu. Bahwa akan kau kisahkan seribu dongeng pada anak-anakmu, pengantar tidur setiap
kali kau akan terlelap dalam dekapan hangat suamimu.

Kau sulam dengan telaten angan itu, yang setiap bulan bertambah dengan harapan kala tamu
periodik biologismu datang. Bulan berganti dan makin memanjang sulamanmu. Rapat
benang-benang itu terjalin membentuk angan-anganmu. Merah kesumba, ungu muda, hijau
pupus adalah warna-warni impianmu.

Tahun berganti dan lapis harapanmu kian menebal. Kau tambahkan warna-warna baru
pencerah angan. Lepas tahun berikutnya kau temukan benang baru berkualitas terbaik. Kau
sulamkan setiap helai benang itu sepenuh rasa. Serabutnya yang berkilau seolah memberimu
cahaya, tak memberi ruang pada semangatmu untuk meredup.

Tahun berganti tak berhenti. Demikian pula tamu periodik bulananmu. Selepas tahun kelima
kau dapati persediaan benang-benangmu telah menipis, tak banyak lagi warna tersisa. Kau
tak hendak berhenti apalagi putus asa, tetapi suamimu telah terperangkap pada harapan yang
pudar, tak hendak diantarnya kau mencari benang-benang baru. Kini kau berjuang dengan
benang-benang tersisa, warna seadanya dengan jarum yang mulai tumpul. Sulaman angan
macam apalagi yang bisa kau buat?
Suamimu masih rebah di dadamu nyaris setiap malam. Dekapannya padamu tetaplah hangat
dan seerat dahulu. Namun, dari seribu dongeng yang hendak kau kisahkan, tak kau yakini
lagi berapa yang masih tersimpan utuh dalam ingatanmu. Entahlah belasan ataukah satu.

Telah selesai kau seka lekat partikel debu pada daun jendela dan bilah pintu ketika sebuah
becak menghentikan lajunya di pelataran rumah. Bibimu datang. Dibawanya sebuah kotak
merah. Terulur kotak itu padamu, dengan sepasang mata yang ingkar dari lurusnya
tatapanmu. Kau mengerti. Gerak mata yang menghindar itu demi menyembunyikan prihatin
tersirat. Bela rasa yang tak terungkapkan sejelasnya.

Duduklah, Ik, 1 salammu menyambut dengan nada riang. Menyamarkan pedih yang
berkilauan dalam genggaman benakmu.

Sehat bayinya? Lancarkah air susu ibunya? Lagi kau berkata, tepatnya berseru agar nada
riang itu tersampaikan sejelas-jelasnya. Nada yang menipu dan sungguh kau tahu bahwa
bibimu tak akan tertipu.

Sehat, sudah bertambah satu kilo beratnya, bibi menjawab pelan.

Kau seduh teh dalam poci. Kau sertakan tiga bongkah kecil gula batu. Kotak merah itu
terdiam di samping ibu poci dan sepasang anak cangkirnya. Kau tahu apa isinya. Kue ku
berbagai bentuk berwarna merah terbuat dari tepung ketan yang legit, membalut kacang hijau
tumbuk di dalamnya. Pastilah ada juga kue mangkuk merah muda dengan daun pisang
sebagai takirnya. Harum daun pisang terkukus itu melekat samar. Apalagi? Barangkali kue
wajik, yang butiran beras ketannya saling melekat berkilau-kilau oleh minyak yang gurih.
Entah merah muda atau hijau warna wajik itu. Tapi yang tak akan tertinggal pastilah ada telur
rebus yang cangkangnya sungguh merah karena sumba. Itulah tradisi telur merah. Telur
penanda kelahiran, merah, perlambang kebahagiaan. Satu butir telur untuk penanda bayi
perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki.

Kaummu menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan
sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan. Itulah
kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan. Begitulah kotak merah Ma
gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga, sebagai bagian dari tradisi telur merah.

Kau suguhkan teh di meja makan di mana bibi duduk. Piring kecil alas cangkir berdenting
lirih saat bersentuhan dengan meja marmer peninggalan Ibu. Bibi mengusap-usap marmer itu,
seolah merayapi gurat-guratnya yang tak lagi utuh. Ada beberapa retak dan parutan serupa
butiran pasir pada beberapa sudutnya.

Kau tahu bibi sedang merindui ibumu.

Apakah Ma gui an kelahiranku dulu juga seperti ini? tanyamu kemudian, sembari
mengunyah sepotong kue ku. Pertanyaan itu lebih sebagai upayamu untuk menetralisir
suasana muram yang seolah mengambang di antara kalian. Kepala bibi bergerak
mengangguk. Matanya yang kecil memanjang berkedip lambat, menyiratkan terawang yang
jauh, seolah menembus perjalanan sejarah silam.

Tidak banyak toko roti atau tukang kue di masa itu. Sebagian harus kami masak sendiri. Aku
membuat kue ku dan wajik. Tetangga sebelah rumah memasak kue mangkok dan kue lapis.
Ibumu memilih merebus sendiri telur-telur itu. Tangannya berwarna merah berhari-hari
karena sumba. Nyaris tak berani dia menyentuhmu sesudah itu. Khawatir bekas sumba pada
telapak tangan itu akan menodai kulitmu.

Lalu bagaimana? kau sungguh ingin tahu. Tidak sering bibi sudi berbagai cerita tentang
masa kecilmu. Selalu ada banyak alasan untuk mengalihkannya pada hal-hal lain.

Ayahmu yang menggendong dan memandikanmu. Kadang-kadang kugantikan. Tapi kau


selalu rewel dalam dekapanku, tak pernah lama anteng di gendonganku. Dasar wan bik 2,
mata bibi melirik padamu, menyiramkan sisa kejengkelan masa lalu, berbaur rasa sayangnya
padamu yang tak terhitung.

Kau tertawa.

Barangkali karena naluri kecilku tahu bahwa aku akan lebih lama berada dalam asuhanmu,
ucapmu lepas.

Ucapan yang kemudian mengejutkanmu dan menjerat kalian berdua dalam pekatnya
kepedihan kenangan masa lalu. Kebahagiaan yang tersisa dari penggalan silam itu samar dan
rapuh belaka. Suara tawamu surut dengan segera. Bibi menyeka ujung mata dan meneguk
lambat seduhan teh terhidang.

Senyap. Berbagai bunyi dan suara tertiup entah ke mana. Kau raup tangan bibi kemudian.

Ik, ada yang mengatakan Ibu pergi pada suatu tempat sebelum mengandung aku. Antarlah
aku ke sana.

Tidak akan! bibi menghardikmu dengan tajam. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya
sejak mula mengasuhmu setelah ibumu berpulang saat lima tahun usiamu.

Tapi aku sungguh ingin, kau memohon. Mengalir air matamu, menggenangi harapanmu
yang tersulam sejauh ini.

Kukatakan padamu, jangan pernah satu kali pun melakukannya! lagi bibi mengulang
peringatannya.

Ramuan mereka berhasil bagi Ibu, pastilah bagiku juga, kau tak berhenti.
Bibi meninggalkanmu. Seakan membiarkan segala sulamanmu terendam untuk kemudian
tenggelam. Akankah kau menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu terkubur sia-
sia?

Pastilah tidak. Keinginanmu yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan
meruntuhkan tembok penghadangmu.

***

Sosok tua tak bernama itu menampik uluran uangmu.

Tidak ada yang dibayar dengan uang di sini, katanya serupa gumam. Pada waktunya nanti,
akan datang kesempatan untuk membalasnya. Mungkin kau bisa memilih, bisa juga tidak.

Kau tak mengerti, tetapi sebelum mendapatkan penjelasan lanjut, kau telah dipersilakan
untuk beranjak pergi. Seseorang mengantarkanmu hingga ke gerbang. Bilah pintu besar itu
terbelah, memberimu celah untuk keluar. Jalan setapak di depanmu dengan pohon-pohon tua
berjajar seolah membentuk barisan di sepanjang jalurnya. Dedaunan yang saling bersentuhan
berdesir-desir suaranya menyertai langkah menjauhmu. Kau bertanya-tanya kemudian,
apakah pohon-pohon itu mengingat dan menyimpan derap langkah ibumu yang menyusuri
jalan ini pada suatu ketika di masa silam? Satu iramakah langkah yang dahulu itu dengan
gerak langkahmu sekarang?

Kau rindui ibumu. Kau ingat senandungnya yang menidurkanmu. Dan kau rindui pula
kesempatan menjadi ibu. Ingin kau bersenandung dan mengisahkan dongeng-dongeng pada
anak-anakmu.

Kepada bibi kau bawa pertanyaan tak terjawab itu.

Bibi tercekat, lalu meraung sesudahnya.

Mengapa kau langgar pesanku? desisnya menuntut. Seharusnya kau patuh.

Ibu melakukannya, mengapa aku tak boleh? balik kau bertanya serupa gugatan.

Justru karena itu kau tak perlu mengulangnya!

Tapi aku ingin anakku. Sembilan tahun sudah kutunggu.

Bibi menangisimu tanpa air mata. Rebah pula dirimu tak berdaya pada pangkuannya. Tak
ingin kau kenakan lagi topeng-topeng ketabahanmu. Tak pula hendak kau jadikan sulaman
anganmu sebagai cadar belaka.

Lebih sepuluh tahun Tacik 3 menunggumu, bibi mulai berkisah. Bergetar suaranya di
antara cemas dan pahit berselang-seling.
Setiap datang bulan, dia menangis berhari-hari. Ragam cara dicoba, banyak ahli didatangi.
Nihil belaka. Lalu datang seorang dari jauh itu, membawa ayah dan ibumu ke sana. Bulan
berikutnya Tacik hamil dan kau lahir.

Suara bibi menghilang. Atau menjauh? Kau memilih untuk menunggu. Kau tahu inilah
bagian masa lalu yang hendak diingkari itu. Yang seolah hendak dibuang, tetapi akar-akarnya
tak tercerabut.

Sesudah kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada
yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang
dahulu disepakati demi kelahiranmu, bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin
berkeringat dalam genggamanmu.

Tacik meminta tenggang, lalu mencari sembarang perempuan untuk mengandung adik
tirimu. Anak itu lahir kemudian.

Kau terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari cerita silam
yang tak terduga.

Apa yang terjadi dengan adikku?

Bibi menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka yang ditabur garam dan
lelehan jeruk nipis.

Seharusnya anak itulah penukar kelahiranmu, tetapi ibumu tak tega dan memilih dirinya
sendiri sebagai pembayarnya. Ayahmu tak sanggup menanggung beban dan menyusul ibumu
kemudian. Nyawa dibayar nyawa, begitulah adanya.

Labirin sejarahmu terkuak sudah. Terpapar jelas dari ujung permulaan hingga kelokan
terakhir. Tak lagi kau temukan persimpangan yang menipu. Saat yang sama kau telah
terperangkap pada salah satu jalur misterius di dalamnya. Akankah kau temukan jalan untuk
kembali?

Jadwal periodik biologis bulanan itu selalu kau tunggu dengan berdebar sepanjang sembilan
tahun. Debaranmu kali ini adalah akumulasi sepanjang masa itu disertai harapan yang retak
serupa cangkang telur merah dalam anganmu.
Laki-laki Pemanggul Goni
Oleh : Fitriana Y

Setiap kali akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang,
Karmain selalu ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka
sedikit kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari apartemennya di lantai
sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya ke arah
matanya.
Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah
malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam
hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.

Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun juga
tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya.
Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada waktu jalan
ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh dari semak-semak, yang
kalau sepi dan angin sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat
menyayat hati.

Beberapa kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni menembakkan
mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat
trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika Karmain
bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki pemanggul
goni, mereka menggeleng.

Apabila hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan orang-
orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi,
ketika Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni
sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya apakah
tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.

Pada suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun lalu
membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena angin dan
menyingkap dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan
menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri
membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke arah
dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas wajah laki-laki
pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain untuk turun ke bawah.

Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut
Karmain berkata: Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan
ikut bersembahyang bersama saya. Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan dan jalan
besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar ajakan lembut
Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut marah, dan matanya makin
tajam, makin menyala, dan makin mengancam.

Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya,
tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan
saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang
dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang subuh.
Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah
sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah
sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali
setelah saya bangun lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan
kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan
apa yang tidak patut aku lakukan.
Dengan tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin bertiup
keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan,
tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap
menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah
sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi
yang benar-benar menyayat hati.

Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan


tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu
yang masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan apartemen-
apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu, berkedip-kedip
seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau hujan lebat.

Seperti biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi
tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke
kamar lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di
sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut benar-benar sedang gelisah.

Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih
di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam.
Maka Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul goni
tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi tubuhnya,
mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah jalan berhenti lagi
sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan. Lalu terdengar lolongan-
lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada saat-saat meregang nyawa.

Dulu, ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani,
semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang pun yang
memelihara anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun tidak pernah berkeliaran di
kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di kampung Barongan,
mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah seseorang yang terkenal
karena anjingnya sangat galak. Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dengan
sangat mendadak ada seekor anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak
ganas, kemudian mengejar mereka.

Sebulan kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap oleh
racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani.

Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan: Wahai, laki-
laki pemanggul goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara.

Karena tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan,
meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, menciptakan
bunyi-bunyi yang menyayat hati.

Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-
berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini,
Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang
ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang
berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu,
termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian melihat
seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi
hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat
temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja
menembaknya, tidak ada yang tahu.

Karmain terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak. Dulu
ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul
goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah
mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga
bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki
pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.

Pada hari Idul Adha, kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. Tuhan
menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi
Ibrahim sendiri.

Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah
Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi.
Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan kemarahan
lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi.

Baiklah, laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.

Dengan sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki
pemanggul goni sudah tidak ada.

Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni sudah ada
di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di
sampingnya.

Setelah selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut:
Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan
akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau kembali ke
tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah lagi berpikir tentang
makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam ibumu. Makam orangtuamu
sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam tergerus oleh banjir setiap kali hujan
datang, dan kamu tidak pernah peduli.

Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya:

Apakah kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di
hutan Gunung Muria?

Ya.

Tahukah kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi?

Tidak.
Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia
akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan
menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan.
Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid,
bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu
berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan
untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih
anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.

Berhenti sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh:

Apakah benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung
Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk mengingatkan
semua orang untuk sembahyang?

Karmain ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau
sudah dewasa, dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia
menciptakan bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan.
Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas tipis dia ikat
pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang kertas minyak,
menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan.
Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari,
berkejar-kejaran, dan saling membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.

Demikianlah, pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan,


tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah dia ke
masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan
pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk. Setelah selesai
sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang itulah, mereka
melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi luar biasa panas.

Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh
meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api.

Karmain, kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, Janganlah kamu pura-pura
tidak tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih menyala.

Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk.

Wahai, laki-laki pemanggul goni, kata Karmain setelah terdiam agak lama. Ibu saya dulu
pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni
yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.

Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain.


Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-
benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang.

Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: Bagaimana kamu bisa tahu, wahai
laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan
dosa yang membuat orang-orang tersesat?
Laki-laki pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada
ganas berkata: Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya
biarkan hidup.

Wahai, laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak kelak
akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir
menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak
tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk
menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni oleh seorang
bayi yang kelak akan membahayakan dunia.

Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata
beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-
laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan
melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas
menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan dan
kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-
lidah api yang makin membesar.

Batu-Asah dari Benua Australia


Oleh : Martin Aleida

Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah
meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih
mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang
mendekat.

Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat
kecemasanku.
Mas Koyo, orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar
kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. Saya Kiswoyo, masih ada
hubungan sedarah dengan Mbak Uci, katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku
merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. Sudah
gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap
dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini, sambungnya.

Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke


kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi
membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku
sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat
bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan
tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan.
Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-
kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan
bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk
ke pekarangan markas militer itu.

Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti
bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini.
Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun
kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak
berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh
papan.

Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding
yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke
bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas.
Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang
bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa
lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana
esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia
bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan
tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada.
Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan
kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami
dalam pemencilan dan kerja paksa.

Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata
merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul
pintu rumah tumpanganku itu.

Nduk, bujukku lembut, maukah kau membantuku? Dia merunduk. Bapak harus punya
penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,
kataku pula. Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak
lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul
sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus.

Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul.
Kenapa lama sekali, Nduk?

Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami
mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang
rumah tetangga, katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke
tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih.
Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu.

Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar
seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan
kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan, minuman,
dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batu-asah warisan
itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang
putus tali teraju. Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia! Begitulah teriakanku
menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan
perkakas mereka.

Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan
tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua
puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan
berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam
bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka
menyodorkan sebilah pisau.

Ini pasti pisau sashimi.

Wow Abang pintar sekari, ya, sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya.

Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.

Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama.

Tak apa-apa.

Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di
belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu.

Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali, pembantu itu pamer kepada tuannya.
Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: Kore wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali.
Syukurlah], katanya berceloteh, kegirangan.

Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]? aku memotong.

Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang,
ya].

Hai, dekimasu, cepat kusahut.

Belajar di mana?
Di Universitas Waseda, di Jepang. Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke
atas.

Ha?! Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. Waseda?! Sang Nyonya
memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. Tunggu, ya. Tergopoh dia masuk ke
rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang
laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku.

Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang
peramah, suka bercanda. Sapanya: Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang.
Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena
diundang pemerintah. Kamu siapa? Kedua tangannya tetap menyangga pinggang.

Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas, tukasku, lagi-
lagi dalam bahasa Jepang.

Pulau Buru?! Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja
kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. Kenal?
tanyanya. Ini siapa?

Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan, jawabku. Yang ini,
lanjutku, yang pakai caping ini, saya. Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan
tampangku.

Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?

Aku terkekeh. Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.

Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah, katanya menggurui dirinya sendiri.
Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang
tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang.
Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang
terbit di Jakarta. Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka
saya dibuang ke Buru, kataku. Dia nyengir.

Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah, katanya. Seraya
menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya.
Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu, ucapnya menggenapkan
harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: Besok mulai
masuk.

Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik
kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya
ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir,
dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang
seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek
Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi.
Disuruhnya aku masuk setiap hari.
Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah
yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan
ibadah haji. Aih. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami
yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa
menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh
peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang
itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun.
Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah.

Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia
sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah.

Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga
puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. Uci, ingat kuplet ketiga lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi Indonesia tanah yang suci. Ya,
Indonesia tanah yang suci. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air
kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan
kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden
pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul
pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung
suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas
hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-
batumu itu. Rajamlah, sayangku.

Kang Mas, istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan
mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku.

Pohon Hayat
Mashdar Zainal

Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh
di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan
tahun lalu.
Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil,
pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik
kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun
tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa
jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam
keabadian.

Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di
cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya
seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu
kisah nenek.

***

Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk
melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti
ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek
yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak
terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah
sampai.

Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di
mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang
terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya.

Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana, gumam nenek.

Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di
mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.

Nek, aku menjawil lengan nenek.

Ya?

Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang
sudah mati?

Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.

Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?

Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.

Nek.

Ya?

Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.


Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi
tanah. Dari tanah kembali ke tanah.

Kepalaku kembali menengadah, Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu
siapa?

Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah
lama bertengger di atas pohon kehidupan.

Apakah mereka akan segera gugur.

Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.

Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur
itu?

Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.

Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan
juga milik ibu.

Nek.

Ya?

Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir
di kota ini, ya, kan?

Ya. Benar, memang kenapa?

Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?

Ya. Tentu saja.

Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?

Nenek mengernyitkan dahi, Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas
sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang
kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan
gugur.

Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek.

***

Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari
berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan penyakit orang tua.
Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang
menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh.
Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu
mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti
nenek juga melakukan hal yang sama.

Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku
benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat
pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun
kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-
waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun
gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang
pun berhak tahu atas rahasia itu.

Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek
hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi
meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari
pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam
menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala.

Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, Nenekmu sudah pergi.

Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun
kota beberapa saat lalu.

***

Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau
dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu
memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada
cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap
cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya.

Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan
daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar
adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah
pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira
itu juga sebuah rahasia.

***

Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun
sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami
perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami
ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis
keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal
yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu.
Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah
kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.

Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian
tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun
yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar
perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana.
Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi
bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama?
Entahlah.

***

Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu.
Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian
habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-
mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi
mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-
pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa.
Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan
pembunuhan merajalela.

Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di


pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan
syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa
melupakan kenangan.

Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami
berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang
doa.

Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau
menempatkan diri, begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. Kian waktu,
daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya,
pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi
dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.

Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa
kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita
dari tangkainya, Ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku
teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.

Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh.
Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun,
sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah
melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan,
bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana
itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu
merupakan azab. Entahlah.

Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa
kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air
mata, semua kularung ke udara.
Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon
itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar
memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.

Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua
sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana, kata-
kata ibu kembali mengiang di telinga.

Requiem Kunang-Kunang
Agus Noor

Barangkali aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Segalanya terasa sebagai
kesenduan di kota ini. Gedung-gedung tua dan kelabu, jalanan yang nyaris lengang seharian,
deretan warung kelontong dan kafe-kafe sunyi dengan cahaya matahari muram yang mirip
kesedihan yang ditumpahkan. Kota ini seperti dosa yang pelan-pelan ingin dihapuskan.

Bila suatu kali kau berkunjung ke kota yang terletak di lekuk teluk yang bagai mata yang
mengantuk ini, kau sesekali hanya akan bertemu dengan satu dua orang tua yang berjalan
malas atau pemabuk yang meringkuk mendengkur di bangku-bangku taman. Bila kau
perhatikan dengan cermat, setiap perempuan yang kau temui di kota ini selalu berjubah dan
kerudung hitam, seolah-olah mereka terus berkabung sepanjang hidupnya, seolah-olah
mereka semua adalah rahib kesedihan. Dan bila kau memperhatikan lebih cermat lagi, lebih
teliti, maka kau akan segera tahu: hampir dari mereka semua, buta!

Ada banyak kisahsetidaknya yang pernah aku dengarkenapa semua penduduk di kota ini
buta. Jagat raya semula hanyalah gugusan cahaya. Cahaya yang kuning keemasan. Lalu ruh
sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya itu. Berbentuk percik cahaya. Kekuningan.
Serupa kunang-kunang. Sepasang ruh yang serupa kunang-kunang itu kemudian turun ke
dunia, begitu kisah leluhur, lalu berdiam di tubuh manusia, yang semula, hanyalah serupa
batang-batang pohon. Tinggi menjulang, diam bagai pertapa. Ruh yang serupa kunang-
kunang itu hinggap di tubuh manusia, sebagai sepasang mata, hingga manusia hidup dan bisa
melihat dunia. Ketika manusia mati, ruh itu kembali terbang, menjelma kunang-kunang. Dan
manusia kembali buta.

Kisah lain datang dari muasal teluk yang terletak di Utara kota ini. Teluk Duka Cita, begitu
orang-orang di kota ini menyebutnya. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, mereka sekandung
anak Raja Pertama, saling jatuh cinta, dan waktu, juga maut dan mampu menghentikannya.
Karena tak tahu lagi bagaimana cara menghentikan cinta terlarang dua saudara sekandung itu,
Permaisuri, sembari terisak meminta syarat yang menurutnya muskil dipenuhi: dalam
semalam mereka harus menyediakan kunang-kunang, yang bila dihamparkan dengan rapi,
sanggup menutup seluruh permukaan teluk. Cinta yang buta memberi mereka akal, juga
kekejaman. Dengan menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri
Kelima, memanggil semua kunang-kunang yang ada, bahkan mereka diam-diam menambahi
kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang telah mereka congkel, dan mereka sihir
menjadi kunang-kunang. Melihat itu, Raja segera menyuruh para prajurit menebah kunang-
kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali terbang. Maka, meski telah ratusan
mata dicongkel untuk menggenapi kunang-kunang agar bisa menutupi seluruh permukaan
teluk, hingga pagi tiba, masih ada sebagian teluk yang tak tertutup kunang-kunang. Pangeran
Ketiga dan Putri Kelima mengeram marah, ketika mengetahui cara licik Raja menggagalkan
cinta mereka. Di hadapan Raja dan Permaisuri, mereka langsung saling menusuk jantung
masing-masing, sambil mengutuk: mereka akan mengambil semua mata seluruh penduduk
dan keturunan yang hidup di kota ini, hingga siapa pun yang tak harus menanggung dosa
menjadi buta. Kemudian mayat keduanya jatuh ke dalam teluk.

Tak ada muda-mudi kota ini yang berani berpacaran di teluk itu. Bila nekat, sepulang dari
sana, mata mereka buta.

Kisah yang ini, barangkali, akan lebih kau percaya. Bermula dari kedatangan pasukan asing,
dan perang saudara yang berlangsung bertahun-tahun setelahnya. Banyak warga yang
kemudian dicap pemberontak. Mereka yang dituduh mata-mata pemberontak, langsung
ditangkap dan dicongkel matanya. Andai saat itu kau ada di kota ini, jangan kaget, bila
seseorang yang kau jumpai pada sore hari, telah menjadi buta pada pagi harinya. Ada gereja
tua, yang dianggap menjadi sarang pemberontak, dan pasukan asing itu mengepungnya.
Seluruh yang ada di dalamnya diseret keluar dan dikumpulkan di pekuburan yang berada di
belakang gereja. Mereka langsung dihabisi dengan serentetan tembakan. Peristiwa itu selalu
diperingati dengan misa paling murung di kota ini.

Seperti diriwayatkan leluhur, ruh mereka yang mati akan kembali menjadi kunang-kunang.
Bila malam hari, kau bisa menyaksikan puluhan kunang-kunang terbang berkitaran dari arah
pekuburan di belakang gereja itu. Atau berjalanlah menyusuri kesunyian lorong-lorong kota
ini malam hari, maka kau akan selalu berpapasan dengan kunang-kunang, yang melintas
sendirian, atau bergerombol, seakan-akan mereka adalah sebuah keluarga yang sedang jalan-
jalan. Jangan kaget, bila tiba-tiba pundakmu seakan ada yang menepuk, dan kau mendapati
seekor kunang-kunang telah hinggap di pundakmu. Tak terlalu banyak penerangan di kota ini.
Satu-satunya pembangkit listrik yang tersisa hanyalah berasal dari kincir air yang letaknya
jauh di luar kota dan sudah payah tenaganya. Para pasukan asing dan penguasa telah lama
melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa mereka dari ingatan mereka. Kota itu
terasa murung dan kelabu di siang hari. Dan tanpa penerangan listrik yang cukup, di malam
hari kota ini seperti dikuasai kegelapan yang ganjil. Kegelapan yang dipenuhi kunang-kunang
yang bagai muncul dari lorong-lorongnya yang paling gelap.

Atau berjalanlah kau menyisir tepian teluk, maka kau akan menyaksikan ribuan kunang-
kunang terbang nyaris menyentuh permukaan airnya yang bagai pulas tertidur. Ribuan
kunang-kunang itu seolah ruh yang bangkit dan ingin membebaskan diri dari cengkeraman
kutukan masa silam yang kelam. Kadang kau bisa mendengar suara mereka bernyanyi
dengan kepedihan yang begitu memilihan. Seperti koor ruh yang purbawi.

Cahaya kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak
berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik kegelapan. Kau akan
melihat kunang-kunang itu bergerombol memenuhi warung dan kafe-kafe, seakan tengah
mengobrol. Kau akan menyaksikan kunang-kunang itu hinggap di tiang listrik yang mati,
hingga tiang listrik itu terlihat seperti pohon yang menyala kekuningan. Ketika segerombolan
kunang-kunang hinggap di serimbun perdu atau tumpukan batu, maka perdu dan batu itu
seketika menyala berpendaran. Diding-dinding yang telihat kusam dan tua di siang hari,
menjadi berkilauan di malam hari. Dan sebuah pohon meranggas, bisa saja seketika langsung
menyala kekuning-kuningan, seakan hiasan lampu jalan atau pohon Natal.

Ada yang hidup di malam hari di kota ini, yang tak hidup di siang hari.

Sebenarnya pernah, suatu saat, kota ini mencoba hidup dan berbenah diri. Banyak pendatang
yang mencari peruntungan. Tapi barangkali kota ini memang kota yang ingin dilupakan, atau
dilenyapkan. Selalu saja ada hal-hal kecil yang sepertinya sengaja diciptakan untuk menjadi
kerusuhan. Pembunuhan dan perkelahian. Rumah ibadah yang dibakar. Penembakan dan
ledakan bom. Kota ini menjadi kota yang selalu dipenuhi permusuhan dan kerusuhan. Iman
menjadi sesuatu yang menakutkan. Desas-desus tantang pasukan bertopeng yang suka
menculik dan mencongkel mata siapa saja yang ditangkapnya, membuat bergidik para warga
yang kemudian memilih meninggalkan kota ini. Hingga kota ini tinggal dihuni orang-orang
yang sebagian besar telah buta, dan kunang-kunang.

Apalah yang layak diceritakan dari kota yang murung dan hanya didiami orang-orang buta
dan kunang-kunang seperti aku ini? Aku, seperti ribuan kunang-kunang lain di kota ini, hidup
dalam kesunyian cahaya. Kami seperti menanggung beban masa silam yang sampai kini tak
pernah bisa kami pahami. Sebagai ruh, kunang-kunang seperti kami, hidup abadi. Tapi apalah
arti keabadian bila kami hidup dalam kesunyian yang tak tertanggungkan seperti ini? Kami
hidup untuk melupakan apa yang telah terjadi pada kami. Aku sendiri selalu ingin melupakan
ingatan buruk itu. Ketika suatu malam, saat aku masih hidup sebagai manusia, berjalan
pulang seusai pesta dansa. Di kelokan jalanan gelap, beberapa orang bertopeng menyergap
dan meringkusnya. Aku tak sempat menjerit dan melawan ketika kurasakan belati tepat
menikam jantungku. Pada detik terakhir aku hanya sempat merasakan kesakitan yang tak bisa
aku lukiskan dengan kata-kata, tepat, saat mereka mereka mencongkel mataku. Pada detik
terakhir itulah, ruhku keluar dari tubuh, dan menjelma kunang-kunang.

Peristiwa itu terjadi sebulan sebelum Natal. Setelah peristiwa itu, terjadi kerusuhan dan
kebakaran, yang menghanguskan nyaris sepertiga kota. Bekas yang disisakannya, berupa
onggokan arang kebakaran, bila dilihat dari ketinggian, seperti luka sayatan pedang, yang
mengiris wajah kota. Kesakitan yang akan lama kekal dalam ingatan.

***

Dan inilah kali pertama aku akan merayakan Natal sebagai kunang-kunang. Mengenang dan
memikirkan apa yang telah terjadi di kota ini, aku diluapi kesedihan, yang membuatku
sepertinya akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Ah, aku merasa, aku hanya
terlalu dikuasai kesedihan. Mereka yang sudah lama menjadi kunang-kunang, mungkin
pernah mengalami perasaan sentimentil seperti ini, tetapi akhirnya menjadi terbiasa. Perasaan
sentimentil itulah, yang barangkali, membuatku ingin menceritakan semua kisah ini,
kepadamu.

Pada malam Natal di kota ini, kau akan menyaksikan kunang-kunang bermunculan dari
penjuru kota, yang bergerak melayang menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi
pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang benderang
berkilauan kuning keemasan. Pada fresko di belakang altar, kacanya yang buram dan sudah
pecah di beberapa bagian, cahaya kunang-kunang itu menampakkan diri bagaikan aura para
santa, membuat salib Kristus yang menjulang seolah diselubungi cahaya kesucian yang
lembut dan meneduhkan. Sementara para jemaat, yang nyaris sebagian besar renta dan buta,
para perempuan yang murung sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa
yang membuat segala suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu,
suara pelan daun yang melayang jatuh menyentuh rerumputan, akan terdengar jelas di
telingamu.

Ubi caritas et amor, Deus ibi est

Simul ergo cum in unum congregamur

Ne nos mente dividamur, caveamus

Cessent iurgia maligna, cessent lites

Et in medio nostri sit Christus Deus.

Nyanyian itu, nyanyian itu, membuat aku tak kuasa menahan sedu. Aku membayangkan kota
yang terang, teluk yang lembut dan menguarkan kesegaran yang tak terjamah musim.
Kotaku, kotaku, yang sesungguhnya elok ini, kenapa engkau ditinggalkan para penduduk
yang mencintamu dengan seluruh nestapa dan duka cita?
Keheningan misa mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan
tersandung hingga terjerembap. Aku melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti
ada yang melemparkan bom molotov. Seperti ada ledakan granat atau entah apa yang tak
pernah aku tahu. Mungkin seseorang telah menyelusup ke dalam gereja dan meledakkan diri.
Dan api makin berkobar. Sebentar lagi, mungkin gereja ini akan terlalap api dan
memusnahkan semua kunang-kunang di dalamnya.

Sebelum api itu juga menghanguskanku, mungkin aku akan menjadi kunang-kunang terakhir
di kota ini yang masih sempat menceritakan semua ini kepadamu.

Gerimis Senja di Praha


Eep Saefulloh Fatah
Senja Agustus memerah di kaki bukit Petrin, Mala Strana. Langit mengencingi Praha tak
habis-habis. Gerimis turun sejak siang dan tak juga membesar. Sungai Vltava baru saja mulai
tenang setelah marah meletup-letup selama setengah pekan lalu. Dua hari lalu, airnya naik
hingga sembilan meter. Jembatan Charles nyaris terendam. Kemarahan Vltava nyaris saja
menenggelamkan Praha.

Kau ada di situ. Begitu saja. Berpayung jingga. Berdiri mematung. Matamu terlihat
menerawang. Bajumu putih, sedikit berenda. Kalau saja matahari sedang berbaik hati pada
Praha, rok tipismu tentu menerawang pula. Kau seperti berjejer dengan patung-patung
monumen itu. Menjadi bagiannya yang paling menarik.

Monumen karya Olbram Zoubek itu sederhana belaka. Terdiri dari tujuh anak tangga dengan
tujuh sosok di atasnya. Ketujuhnya terlihat sedang melangkah naik. Sosok yang berdiri di
anak tangga terbawah adalah seorang lelaki dengan tubuh yang lengkap. Tapi semakin tinggi
anak tangga, semakin tak lengkap bagian tubuhnya. Akhirnya, di anak tangga teratas, berdiri
sosok yang sudah kehilangan begitu banyak anggota tubuhnya sehingga nyaris tak lagi
berbentuk manusia.

Monumen ini adalah salah satu dari sekian banyak monumen yang dibangun di Republik
Ceko setelah komunisme mati. Bagiku, pesan yang disampaikannya tegas-terang-benderang.
Komunisme menawarkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga
untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya adalah parade prosesi kematian kemanusiaan.

Sepekan menyusuri Praha cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru
saja lewat, beroleh tempat penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni
rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk
menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada.

Jakarta adalah lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-
patung pahlawan palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Praha dikepung ingatan,
Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa.

Kau tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang sempit ini, jarak kita,
mau tak mau, dekat belaka.

Kau pasti dari Asia. Filipina? Suara empukmu menyengatku tiba-tiba.

Eh. Ya. Asia. Indonesia.

Mengherankan juga. Ada turis yang suka monumen jelek ini. Batas antara seringai dan
senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau.

Memang jelek secara artistik dan arsitektural. Tapi aku suka pesan yang dibawanya. Ajakan
waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa.

Hmmm.

Kenapa kau bilang ini monumen jelek?


Lihatlah tujuh sosok itu. Semua laki-laki. Padahal, lebih banyak perempuan yang jadi
korban komunisme. Bahkan, perempuan adalah korban berlapis-lapis. Korban partai, negara,
dan laki-laki. Dan si pematung tetap saja seperti laki-laki umumnya. Memandang perempuan
hanya sebagai pelengkap. Statistik. Bukan manusia.

Wow! Kau punya sinisme para feminis!

No. No. No. Tanpa menjadi feminis, perempuan mana pun, bahkan laki-laki, dengan
gampang bisa menangkap kejanggalan itu.

Sekarang giliranku yang mesti heran kalau begitu. Kenapa kau tampak menikmati monumen
yang kau bilang jelek ini? Aku menyergah, mengubah posisi.

Sederhana. Di musim panas seperti ini, Praha diserbu turis. Mereka ada di mana-mana,
kecuali di sedikit tempat yang tak populer dan dilirik sebelah mata seperti monumen ini. Jadi,
jangan keliru. Aku tak sedang menikmati monumen jelek ini. Aku butuh senyap.

Senyap menyergap senja Praha. Gerimis mulai mereda. Langit merah di balik Bukit Petrin
memanggil-manggil malam.

***

Perjumpaan kedua kita adalah pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak
berkawan. Udara musim panas Praha pun sedikit mendingin.

Boleh aku merapat ke tubuhmu?

Permintaanmu tiba-tiba. Dan mustahil kutolak. Kios-kios souvenir terserak di Stare Mesto.
Berderet-deret sepanjang Smetanovo Nabi hingga ke kaki jembatan Charles. Berdempetan.
Kita berjalan saling merengkuh. Mengusir dingin. Seperti sepasang kekasih. Gerimis yang tak
juga reda menyemai rambut panjang kita menjadi masai.

Aku ingin bunuh diri. Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga.

Hah!? Maksudmu?

Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu?

No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi.

Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri.

Bagiku tak masuk akal.

Maksudmu?

Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di
sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. Ceko-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di
tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau
jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin
melangkah ke arah sebaliknya.

Oh Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir kematian komunisme
adalah berita baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para
penikmat sekaligus korban. Celakanya, aku menjadi yang kedua.

OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar.

Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Seperti tadi kau bilang, malam ini kamu
mesti packing kan? Keberatan kutemani dengan cerita panjangku?

No. Sama sekali tak keberatan. Tentu aku menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja
ini?

***

Di luar, para pelancong hiruk-pikuk lalu lalang. Suara-suara beragam bahasa dunia
menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang kita biarkan lebar terbuka. Seperti suara
ribuan lebah yang pandai berganti dendang.

Ceritamu panjang. Lirih. Dan kelabu.

Aku anak kesembilan. Bungsu. Di bawah kekuasaan komunis, hidup menjadi begitu rutin.
Ayah dan Ibuku menjadikan kegiatan membuat anak sebagai selingan menantang. Anak demi
anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret seperti pagar.

Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga
roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. Di bawah komunisme,
orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya
tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi
kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara.

Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian Komunisme dijatuhkan oleh Revolusi Beludru
dan keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Demokrasi memaksa kami untuk
berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk
bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik.

Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai
perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah
memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub
malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan.

Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut
mendekat.

Ibuku yang terlampau tua di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai
pramuniaga di sebuah kios di Kota Tua. Ayahku terkena rasionalisasi, dipecat dari sebuah
lembaga birokrasi yang kelebihan pegawai, tanpa dipensiunkan. Kakak-kakakku sibuk
dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli
satu sama lain.

Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan sampai sebuah tawaran yang begitu manis datang begitu
saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku menjadi pramusaji pada
sebuah restoran besar di Berlin. Kusambut tawaran itu dengan tangan terbuka sambil
bersyukur betapa Tuhan telah begitu baik padaku.

Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar
pangkal hidungmu makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu
berjatuhan tanpa tercegah. Aku merapat begitu saja. Kau menjatuhkan bahumu ke dadaku.
Lalu suaramu menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba.

Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah tempat prostitusi di timur Berlin. Garis nasib yang kelam
mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku
terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai
binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas tempat tidur sambil mendengar
pintu ditutup dan suara sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet.

Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa.
Benar-benar binasa.

Air matamu membasahi bahuku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing.

Untunglah aku akhirnya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu.
Kabur dari Berlin, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang
pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, karena aku tak punya
pilihan lain. Hingga sampailah aku di titik ini. Ketika sungai Vltava mengamuk tempo hari,
keinginanku untuk mengakhiri hidup menderas begitu saja seperti air sungai yang sedang
murka.

Ya aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras,
tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini.

Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri cerita panjangmu. Dalam pelukanku
yang merapat, semua bagian badanmu terasa bergetar. Seperti mesin pengeras jalan yang
dengan lembut menekan-nekan dadaku. Lembut sekali. Melahirkan rasa yang asing dan
nyaris tak kukenali.

Malam makin larut dalam sunyi. Lalu semua terjadi begitu saja. Kau tak lagi kupeluk, tapi
kita saling memeluk. Dan pada dini hari pengujung musim panas itu, kita tergeletak kelelahan
begitu saja seusai perjalanan saling bertaut penuh gelegak yang menguras keringat.

***

Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Praha tersapu terlalu banyak kelabu.
Birunya seperti malu-malu. Enggan memperlihatkan diri.

Kau mematung menopang dua matamu yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Baru saja kita
menunaikan pelukan selamat tinggal. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu.
Terima kasih banyak Lusi. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku
sanggup berbagi dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis di Berlin. Kembalilah, Lusi.
Aku akan menunggu. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta padamu.

Suaramu parau. Aku hanya bisa mengeratkan pelukan dan mengusap-usap lembut
punggungmu. Aku akan segera menghubungimu, Elena. Sesampai di Jakarta.

Berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Jakarta seperti memasuki
lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu seperti makin keras memanggil-
manggil.

Diam-diam, kupastikan untuk segera kembali. Diam-diam, aku terganggu perasaan serupa
Elena. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta.

Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat. Dan telepon genggamku
bergetar.

Mama, kami tak bisa tidur. Tak sabar menunggumu pulang. Aku dan anak-anak akan
menjemputmu di Cengkareng. Suara sengau milik suamiku terdengar dari tengah malam
Jakarta. Keriangannya tak bisa disembunyikan.

Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap. Di belakangku, terhalang berlapis-
lapis dinding, di bawah gerimis senja Praha seorang perempuan Ceko sedang menangisi
kepergianku. Nun di depanku, dipeluk malam Jakarta, seorang lelaki mendekap rindunya
yang meluap untukku.

Mayat Yang Mengambang Di Danau


Seno Gumira Ajidarma

Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin
menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti
berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.

Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila
kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk
menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak,
hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu
mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak
menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu
lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan
lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.

Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur
jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan
bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam
air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh
permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam
dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan,
memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia
mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.

Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak.

Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak
mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi
Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung
seperti kayu, menyelam seperti pemberatdan sekali tangannya bergerak, memang harus
melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan,
betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang
sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar
bahaya mengancam.

Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian
Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara
memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.

Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei,
besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap
digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya,
karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang
diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua
puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah
satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga
hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua
kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.
Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari
ini?

Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun
selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak
habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini
membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan
tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau,
karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu,
sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang
selama ini dianggapnya sebagai panggilan.

Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.

Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa
mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti
air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus
menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?

Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama
dengan sekarang.

Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel.
Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang
hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan
penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau
yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah
lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi
bersenyawa tanpa peduli detak arlojidan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit
maupun bagian bumi daripada arloji.

Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit
memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus
dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas
sama sekali tiada keberatan karenanya.

Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan
makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah
artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat
sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan
akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu
akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi
santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi
rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga
segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai
pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan.

Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah
mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.
Homo homini lupus.

Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk
menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di
negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.

Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja
muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan
sekolah di kota untuk selama-lamanya.

Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi.

Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai
papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal
karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas
restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta.

Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara, katanya, benarkah sudah cukup
kita hanya berdoa?

Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang
penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan
pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara.

Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di
gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan.
Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod
Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda.
Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani
sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik.

Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas
danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-
teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri
danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-
bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan
yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta
yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu
semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya.

Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang
tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.

***

Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang
sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar
belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.
Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa
ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh
atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang
ditombaknya cukup besardan ikan-ikan terbesar suka menyendirimaka seekor atau dua
ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa.

Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada
yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini.

Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar
biasanya menyendiri.

Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara
alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun
dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara
penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam,
hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekahjelas membuatnya
berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak
dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan
untuk merdeka.

Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman
dengan golongan sejenisnya.

Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang
ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya.
Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau
terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur
ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik .
Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan
gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah
sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo
semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang
tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata
merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu
benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang
masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun
tinggal sembilan jenis yang asli.

Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli
apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.

Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang
datang bertanya-tanya tentang Klemenbukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri
danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga
masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di
kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka
yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.
Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor
ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja
menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak
pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga
memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.

Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau
dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan
khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh
tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau.

Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang
segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya
terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di
permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun
tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan
pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal
dengan kain merah.

Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu
seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai
raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di
semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau.

Tart di Bulan Hujan


Bakdi Soemanto

Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak, kata Sum kepada lakinya, Uncok.

Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat? bertanya suaminya.

Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi
gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar,
cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu,
Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari
bungkusnya dan mencoba menyalakan korek.

Ngerokok lagi, tiba-tiba Sum sedikit membentak. Apa enggak bisa uangnya sedikit
disimpan untuk tambahan beli roti.

Beli roti bagaimana? Uncok gantian membentak. Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja
susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para
koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal. Kamu itu mimpi. Lakinya
menegaskan.

Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali
menggebyar. Rumah kita masih bocor, kata Uncok lagi sambil mendongak. Belum bisa
beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, buat kita, harganya triliunan
rupiah. Edan kau itu!

Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jelas:
tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak
yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi
mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar
biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya.

Kurang beberapa hari lagi, Pak, kata Sum memecah kesunyian.

Apanya yang kurang beberapa hari lagi? Uncok membentak. Kiamatnya apa gimana? Kita
memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR nyolong
semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa
kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur
dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu.

Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. Kita bisa naik bus Trans
Yogya Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati-hati bawa tart
sangat istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget. Kalau dia bisa seneng,
alangkah bahagia diriku.

Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik
Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia lalu menutup
wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis.
Matanya terasa basah.
Kemudian hujan pun rintik-rintik. Naaah, mau hujan, kata lakinya. Pindah-pindahin
bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras. Uncok memberi komando. Sum
tenang saja.

Biarkan tiris membasahi rumah, kata Sum. Itu rezeki kita: air, sahut Sum.

Uncok tak tahan. Kamu kok semakin edan, lakinya membentak. Malam merambat larut.
Tidak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak.

***

Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. Dua
tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di
Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia
teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memanggil taksi dan meluncur
ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday dengan
lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai, melihat
roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya.

Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti, gumamnya.

Berapa harganya, Bu? tanya Sum.

Tiga ratus lima puluh ribu, jawabnya.

Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kalau ada
tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga
ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang sopir bus, tak selalu
bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memenuhi jalanan. Sering macet.
Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjang. Artinya bensin boros, padahal bahan
bakar mesti dibeli sendiri.

Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bulan hujan. Ia
bakal senang. Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang. Tuhan, perkenankan
ia senang menerima persembahan roti dari saya, gumamnya lagi. Tuhan, saya butuh sekali
bahagia dengan melihat si bocah bahagia.

Di mana tokonya, Bu, tanya Sum lagi.

O, deket toko onderdil motor itu, jawab Bu Somyang, Kamu mau beli? tanyanya.

Sum mengangguk.

Anakmu ulang tahun? desak Bu Somyang.

Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa, jawab Sum.

Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut? Bu Somyang mendesak.

Bukan, enggak, jawab Sum.


Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan, ya
enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti bocongan atau roti
teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas cendolnya lima belas atau
enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makan-minum yang mewah-mewah, kurang
baik. Bisa tuman, ketagihan.

Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketidaktahuan.
Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkhotbah di gereja.
Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu, hina dan sakit orang yang tak
paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengung kembali di telinganya ketika ia
menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan.

Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi, gumam Sum. Apa pun komentar orang
aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Selama
bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang
membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yang datang
sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah pikiran orang-
orang itu.

Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung.
Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi,
Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadang-kadang tak bisa dipercaya. Uang para
nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertanggung jawab. Oooo,
gitu, kata Sum, Lalu, enaknya gimana, ya? Pak Karta tidak menjawab.

Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan


uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, setahun,
kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh ribu. Horeeeee! Dua
tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa sepuluh ribu. Hatinya bersorak-
sorai.

Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak sabar
lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, tart yang dibayangkan
sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Dan pandangannya berkunang-
kunang.

Ada apa Bu, sakit? tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Punggung
terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali.

Ibu mau beli roti? desak pelayan toko.

Ya, jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk.

Mau beli, pelayan mendesak.

Iyaa, jawab Sum. Pelan sekali.

Yang mana?

Sum menuding tart mahal itu.


Haaah? Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum.

Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan.

Tapi tidak sekarang, Sum menegaskan.

Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu? Sum menggeleng.

Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah.

Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia menggiring Sum
ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar.

Masih ada waktu, gumamnya. Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera.
Pokoknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin sekali
merasakan bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si
bocah, aku lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dianggap keliru oleh sidang
malaikat dan aku harus masuk neraka ya enggak papa. Aku tetap bahagia di neraka. Ya,
mati dengan bahagia sekali karena sudah bisa mempersembahkan roti tart di bulan hujan. Di
minggu hujan. Di malam hujan, gumamnya.

Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dalam


lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghitung
uang receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. Tapi kalau aku berhasil
nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak Jentera
baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang pelit banget dan tukang
mempermainkan orang. Sum menunduk. Tuhan, biarkan saya percaya bisa membeli tart
untuk si bocah.

***

Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungannya,
warga sudah sering kumpul-kumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja banyak
pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Alasan ibu-ibu
kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini. Di
samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas duduk sama rendah berdiri sama
tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yang tempatnya di pinggiran.

Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan cara
kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambahan, bahkan
boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, di tangannya sudah ada
uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga luar biasa perhatiannya. Sekali ia
memanggilnya ke rumah.

Kamu mau pesta apa pada natalan nanti.

Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart, jawab Sum.

Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu? Bu Jentera kaget dan bertanya setengah
mencecar. Tapi Sum tetap tenang.
Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa, jawab Sum.

Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal pelit itu?
Bu Jentera bertanya lagi.

Enggak, bukan dia anak baik-baik, sangat baik cantik sekali, pandangan matanya
menggetarkan, jawab Sum.

Ah, aku tak paham, kata Bu Jentera.

Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum.

Tapi baiklah, kata Bu Jentera lagi, kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian,
sambungnya.

Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati.

Nih, aku ngiur dua ratus ribu, kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuhan,
apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum
menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari sepeda-an
bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istrinya tentang
rencana Sum.

O, bagus, bagus, kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku
belakang.

Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, rame-
rame. Nih, ada tambahan tiga ratus, katanya dengan tenang. Sum hampir tak memercayai
telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum.

Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan rencananya.


Hujan pun turun, menderas.

Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung
Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. Pastor paroki
akan tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus itu menurut ayat Kitab
Suci yang mana, teologinya apa.

Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu,
menemui suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum
tentang Bapak Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus berbela
rasa dengan istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga
uang buat rokok. Uncok, kemudian, mendekap istrinya.

Selepas dari toko, pulang dulu, kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya
terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah tiba-tiba.

Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah, kata suaminya, Pulangnya mampir ke rumah dulu
sebelum ke gereja.
Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak percaya Sum
punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu.

Tidak masuk akal, kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya
mengeluarkan uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya.

Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa dengan
Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Patung kecil-
kecil itu rupanya dipinjam dari asrama para suster.

Mereka memperkenankan aku memakai ini semua, kata suaminya. Sum tak bisa berkata-
kata apa-apa. Kegembiraan meluap.

Taruhlah tart di sini, kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. Nanti
malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya.
Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang umurnya, panjang
umurnya serta mulia. Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah rumah kita kotor, tapi
ada senyum dan tawa meriah.

Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan sangat
deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh rumah
basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahak-bahak sambil berpelukan. Si
Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyuri mencolek tart yang dibalut gula-mentega-
cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kanak-Kanak Yesus menatap mereka dengan senyum.
Menjelang pukul sembilan malam, anak-anak langsung menyerbu rumah Sum dan Uncok
selepas dari misa di gereja.

Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya pun
disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar biasa.

Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, seperti
bersinar Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu karena haru
dan bahagia.

Di Persimpangan Pantura
Tantri Pranash
Tak pernah sekalipun aku tampil dengan rok mini dan paha mengundang apalagi bahu
terbuka dan dada menantang, tapi mengapa nasib tak berpihak juga?

Namaku Limbuk, asal Dukuh Menjangan. Hidupku isinya cuma kesedihan. Keceriaan adalah
hal yang absurd bagiku. Lagipula tak ada yang aneh dengan kesedihan di negeri ini bukan?
Namun aku selalu ingat kata simbok dulu, hidup ini memang sekadar mampir ngombe,
singgah untuk minum.

Tak pernah aku mengerti arti perawan sampai suatu hari simbok bilang aku tak perawan lagi.
Padahal hanya sedikit noda darah pada celana dalam, tapi mengapa nasibku jadi berputar
seratus delapan puluh derajat? Sebelas tahun usiaku waktu itu, ketika dengan kejamnya Lik
Sol mengenalkan arti perih sesungguhnya. Ego yang berbalut nafsu itu biang keladinya.

Untung kamu masih bau kencur Istri Lik Sol ketus memarahiku sambil panjatkan seribu
syukur. Benih suaminya tak bisa membuahiku. Bibirnya mencang-mencong tak mengerti apa
yang menarik dari tubuh kurus keringku.

Perempuan-perempuan muda penumbuk padi jadi aneh memandangiku. Tatapan mereka


seperti menelanjangi dari kepala sampai kaki. Alu besar tetap dihunjamkan ke dalam
lumpang, tapi lirikan dan bisikan mereka tak bisa mengelabuiku. Pemuda-pemuda desa
menggodaku dengan kata-kata kotor. Mata mereka isyaratkan birahi.

Tak tahu aku ada kesepakatan apa antara simbok dengan keluarga Lik Sol, tapi sejak saat itu
tak pernah lagi aku melihat Lik Sol berkeliaran di desa. Kata orang, ia mengadu nasib di kota
dan kadang-kadang pulang tengah malam. Esok hari pagi-pagi buta, ia telah menghilang.
Istrinya tak peduli asal dapurnya bisa tetap berasap.

Aku tak mau lagi pergi bermain, keluar rumah hanya untuk sekolah atau disuruh simbok ke
warung. Limbuk kecil makin terpuruk tak tahu bagaimana bersihkan lumpur yang melekat.
Aku ingat selalu mandi berlama-lama karena merasa tak pernah bisa bersih lagi. Tidur bagai
kepompong, berbalut seprai putih sambil berharap tak bangun lagi esok pagi. Godaan untuk
bunuh diri bukan tak ada, sayang uang jajanku tak pernah cukup untuk beli obat serangga.
Gantung diri jelas tak menarik minat. Pasti sakit sekali mati dengan cara seperti itu.

Ketika tawaran Yu Silam datang, aku seperti kejatuhan bintang. Ia mengajak ke kota untuk
sekadar bantu-bantu di rumahnya. Aku tahu simbok berat hati melepasku. Apa daya bayangan
uang kirimanku kelak begitu menggodanya. Apalagi bapak sudah lama lari dengan
perempuan nakal. Penghasilan simbok sebagai buruh tani tentu jauh untuk dikatakan layak.

Mungkin saja simbok lega dengan kepergianku, tak ada lagi aib yang ditutupi. Aku tahu, ia
sering menangis diam-diam ketika mengelus-elus kepalaku di tengah malam. Tentu ia paham
penderitaanku, bukankah selama sembilan bulan kami pernah berada pada raga yang sama?

Ternyata bayangan kota di benakku selama ini amat jauh dengan kenyataannya. Meski
rumah-rumah di sana lebih bagus daripada di desa, tapi tak ada gedung bertingkat dan Monas
seperti di buku pelajaran.

Ini bukan Jakarta, bodoh! Ini Patokbeusi, negeri seribu impian sergah Yu Silam
memotong tanya ini dan ituku.
Patokbeusi ini kota, Yu Silam?

Ssssttt jangan pernah panggil aku dengan nama itu di sini!! bentaknya. Aku Ningce.

Ia melangkah pongah dengan dagu terangkat. Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya


dengan senyum dikulum. Nama yang aneh, apa nama kota memang aneh-aneh begitu?

Ini daerah pantura, pantai utara Jawa, jelasnya tak sabar.

Kenapa belum terlihat pantainya?

Yu Silam mendengus.

Ternyata yang dimaksud bantu-bantu itu mengurusi Yu Silam. Menyiapkan air mandi, masak,
termasuk menyediakan minuman hangat sepulang kerja. Yu Silam pulang kerja menjelang
pagi. Berangkatnya waktu Isya dijemput ojek langganan. Aku tak berani tanya-tanya lagi
karena matanya melotot waktu kutanya kantornya di mana.

Lama-lama aku mulai menduga-duga Yu Silam kerja apa. Pantas saja ia harus bergincu begitu
rupa dengan bahu terbuka. Aku tak mau ambil pusing selama ia rajin mengirimi uang kepada
simbok sebagai bayaran tenagaku. Untuk diriku, cukuplah uang jajan ala kadarnya. Toh aku
selalu makan kenyang di rumahnya. Kadang-kadang Yu Silam pulang membawa fuyunghai.
Nama yang aneh untuk masakan telor dadar dengan isi macam-macam. Enaknya luar biasa,
simbok pasti belum pernah ketemu makanan seperti ini seumur hidupnya.

Dua tahun berlalu, Yu Silam mengeluh tak sekuat dulu lagi. Ia mulai sering masuk angin. Aku
sudah hafal saat ia mulai sibuk mencari duit benggol untuk kerokan. Kudengar ia berkata
kepada temannya kalau pelanggannya tak sebanyak dulu.

Ganti namamu, tak ada Limbuk yang sekurus tubuhmu. Gurau Yu Silam.

Aku terkekeh. Mungkin waktu aku lahir, bapak berharap aku semontok Limbuk, tokoh
punakawan. Ternyata tak ada yang berubah. Yu Silam terus saja memanggil nama asliku.

Apa kamu ndak mau jadi seperti aku tho, Mbuk?

Coba kamu ingat-ingat siapa yang rumahnya paling mentereng di desa kita selain Pak
Lurah?

Aku cuma termangu dan membisu. Jangan takut, kalau kau rajin suntik tidak akan apa-apa.
Yu Silam tersenyum manis sekali.

Aku masih diam saja. Tak tahu harus bicara apa.

Toh kamu sudah pernah disentuh laki-laki. Tak ada nada cemooh dalam suara Yu Silam,
tapi hatiku serasa disilet-silet. Pedih dan perih.

Demikianlah akhirnya aku terbawa masuk lingkungan warung remang-remang itu. Jadi ini
memang kantornya Yu Silam. Untung saja Mami di situ masih punya nurani, ataukah
memang usiaku yang masih belum cukup? Mungkin saja memang seperti itu jenjang yang
harus ditempuh untuk menjadi dongdot 1). Jadi aku cuma bantu-bantu cuci piring dan bersih-
bersih. Kadang-kadang juga bantu keperluan perempuan-perempuan di situ.

Di siang hari aku bisa bernapas lebih lega, sebab malam hari telingaku tersiksa mendengar
tawa mereka yang berubah seperti ringkik kuda. Makin malam makin ramai pesanan
makanan dan minuman. Musik dangdut berdentum keras. Truk besar banyak diparkir di luar.
Sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat sejenak melepas lelah, dikelilingi gelak dan
bisik undangan syahwat. Beberapa dari mereka kemudian menghilang ke kamar-kamar di
belakang. Tak tahu pasti aku, mereka sekadar melepas lelah ataukah sejenak melupakan
beban hidup?

Kupikir jadi dongdot di sini bukan hanya karena terimpit kemiskinan, tapi sudah jadi gengsi.
Ada yang menganggap sebutan jablay sebagai kebanggaan. Kebanyakan mereka berasal dari
daerah tak jauh dari sini. Kakak beradik bisa bekerja di satu warung bahkan kabarnya ada
yang seizin orangtua. Kelihatannya hanya Yu Silam yang satu-satunya pendatang. Pasti ada
seseorang yang membawanya ke sini dulu.

Jangan melamun saja, nanti piringnya pecah. Mami menepuk bahuku perlahan.

Aku tersenyum malu, ketahuan bekerja tak sepenuh hati.

Kamu mesti sabar dan tekun sampai tiba nanti saatnya senang-senang.

Senyumku terhenti di tenggorokan.

Ia melangkah keluar dapur sambil berbisik di telingaku, Jangan mau digoda tamu, bilang
Mami kalau ada apa-apa

Duh Gusti, perempuan setengah baya ini dari luar tampak perhatian dan penuh kasih.
Sesungguhnya ia hanya mengincar keperawananku yang punya harga tinggi di sini.
Seandainya ia tahu kisah sedihku.

Mami memang perhatian kepada anak-anak asuhnya. Tak bosan-bosan mengingatkan mereka
kapan waktunya suntik. Kadang-kadang juga menegur cara berdandan dan berpakaian. Ada
yang bilang Mami juga dosen alias dongdot senior yang masih menerima tamu sewaktu-
waktu jika dibutuhkan. Aku tak yakin, apa benar masih ada tamu dengan selera seperti itu.
Sebab jadi primadona di sini tak bisa lama-lama, selalu saja ada yang baru datang, dan lebih
segar.

***

Empat bulan aku di sini, Yu Silam jarang kerja lagi karena sakit-sakitan sampai suatu hari
berhenti sama sekali. Aku tak tahu ia sakit apa sebab banyak sekali keluhannya. Ia rutin pergi
berobat entah ke mana. Tempatnya pasti jauh karena pergi pagi dan pulang malam hari, malah
kadang-kadang tak pulang dua hari. Pulangnya selalu dengan obat satu tas keresek.

Suatu hari Mami memberiku baju baru dan mengajari dandan. Besok malam, mulailah
belajar menemani tamu di meja. Ia diam sejenak sambil menggerak-gerakkan kuas kecil di
pipiku. Jangan mau diajak ke kamar dulu ya! suaranya tetap rendah tapi tegas.
Malam berikutnya, seperti kerbau dicocok hidung aku didorong Mami bergabung dengan
kelompok kecil di sudut ruangan. Ada dua orang lelaki di sana yang menyambut dengan
senyum penuh arti. Beberapa perempuan di sana ikut juga tersenyum, ada yang tulus ada juga
yang dengan bibir setengah terangkat. Biasa itu, anak baru diterima sebagai teman juga
sebagai pesaing.

Jarum jam seperti lambat bergerak menunggu malam usai. Satu tamu pergi datang tamu
lainnya. Tubuhku sudah lelah dan betisku pegal-pegal karena sepatu berhak tinggi. Mulutku
juga pegal tersenyum dari tadi, meski aku lebih banyak berdiam diri.

Kamu baru ya? lelaki di samping menyenggolku dengan sikutnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Ngapain kamu di sini? Mending jadi istriku saja. Senyumnya lebar seperti senyum keledai.

Untung Mami keburu menyelamatkanku. Ia pura-pura menarikku ke meja lain. Mungkin


lelaki itu sudah terkenal buaya di sini. Paling buaya di dunia buaya.

Selama seminggu itu aku cuma menemani tamu minum-minum. Minggu depan tak mungkin
tugasku masih sama. Kudengar beberapa tamu berbisik keras di telinga Mami sambil
memandangiku, Berapa? Jantungku berdetak sekeras musik di situ. Mami menggeleng
dengan senyum menggoda, kelihatannya ia punya rencana tersembunyi.

***

Dua orang tamu datang ke rumah. Katanya mereka dari tempat Yu Silam biasa berobat. Tanpa
basa-basi ajarkan bagaimana mencegah penularan penyakitnya.

Lho, memangnya Yu sakit apa?

Pokoknya aku tinggal menunggu mati, sergah Yu Silam kasar, memotong maksud tamu itu
untuk menjelaskan. Percumalah aku bertanya jenis penyakitnya, paling-paling pakai bahasa
asing yang tak kupahami.

Kemudian semua anjuran dua orang tamu tempo hari kujalani sungguh-sungguh. Kalaupun
aku harus tertular, itu pasti kersaning Gusti Allah 2). Yu Silam kelihatan lega aku tak tanya-
tanya soal penyakitnya. Sama leganya waktu ia tahu aku mulai menemani tamu minum di
warung Mami.

Tanpa kesepakatan, pelan-pelan kuambil alih biaya pengeluaran di rumah Yu Silam. Biaya
berobat masih ditanggungnya sendiri dari sisa uang tabungannya. Sisa bayaran dari Mami
masih ada sedikit untuk pegangan dan dikirim ke simbok. Namun, aku harus bicara jujur pada
Yu Silam.

Yu, aku mau jadi buruh cuci saja.

Yu Silam terbelalak. Pisang goreng yang sedang dimakannya seperti menyangkut di


tenggorokan.
Takut-takut aku melanjutkan, Aku ndak bisa Yu, kerja macam itu.

Kamu mau tinggalkan aku kan?? Kamu mau balik ke desa ya?? Yu Silam meradang.

Aku tak berani menatap matanya. Bagaimana menjelaskannya? Sudah kucoba. Sudah
kucoba Yu, tapi aku ndak bisa. Jeritku dalam hati.

Pergilah sejauh yang kau suka. Biarkan aku membusuk di sini!!! teriaknya parau.

Kupeluk ia dengan air mata, Tidak Yu tidak kalaupun Yu harus mati akan kurawat
dirimu baik-baik.

Tak bisa kujelaskan dengan kalimat bahwa ia adalah malaikat penyelamatku. Aku tak bisa
kembali ke desa lagi. Biarlah simbok hidup dengan adik lelakiku. Suatu hari akan
kutinggalkan tempat ini untuk memulai hidup baru bersama Yu Silam. Di tempat yang benar-
benar baru, bukan di desa. Aku tak bisa kembali ke sana. Pandangan perempuan-perempuan
penumbuk padi itu tak pernah pergi dari benakku. Juga pandangan mata penuh birahi
pemuda-pemuda desa.

Mereka tak pernah menganggapku manusia lagi sejak musibah itu. Sesuatu yang terpaksa
kulakukan karena ancaman Lik Sol. Tak sanggup kuhadapi mereka nanti bila kulakukan
perbuatan atas nama kelamin yang berkesadaran. Aku tak mau jadi dongdot.

***

Mami terbelalak waktu kuutarakan keinginan untuk tetap kerja di bagian dapur.

Memangnya kau tak ingin uang banyak? Atau ada anak sini yang menjahatimu? tanyanya
beruntun.

Aku menggeleng cepat-cepat, Saya hanya ingin bantu bersih-bersih saja di sini. Jadi tukang
cuci juga saya mau.

Mami ikut menggeleng-geleng. Tubuhnya yang tak lagi langsing bergoyang-goyang. Tapi
kenapa? Kenapaaa?? kedua tangannya terbuka lebar.

Aku menggeleng juga sambil tersenyum. Mami kelihatan tak puas, mungkin tak rela harga
perawanku melayang terbang.

Sayasaya saya sudah tak perawan lagi, Mi bisikku pelan.

Perempuan setengah baya itu terbelalak, seperti ingin bertanya sesuatu tapi tak jadi.

Saya korban perkosaan, lanjutku lirih. Rasanya malu mengakui itu tapi di hati terasa lega
luar biasa.

Mulut Mami terbuka dan bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Ia mengangguk
lemah. Dengan latar belakang segelap itu, mungkin dipikirnya aku tak cukup sehat mental
untuk melayani tamu-tamu di sini.
Aku melangkah dengan pasti menuju dapur. Aku siap kembali ke tugas lama, bersih-bersih,
cuci piring, dan membuang sampah-sampah. Tapi setidaknya aku bukan sampah dan aku tak
mau jadi sampah.

Panggilan lembut Mami menghentikan langkahku. Bibir Mami bergetar, suaranya mirip
seperti erangan hewan yang terluka, Nasibmu sama seperti diriku dulu, Mbuk

PERMINTAAN SEBUAH DIARY


Cerpen Awaliya Nur Ramadhana

Hari yang melelahkan dengan teriknya matahari dan sapuan udara bercampur debu. Daun-
daun berguguran lalu terbang tersapu angin. Terlihat sesosok gadis kecil duduk termenung di
kursi taman pusat kota. Terdengar teriakan seseorang dari arah belakang gadis itu.
Dilla! Teriakan itu membuat gadis kecil yang ternyata bernama Dilla itu terkejut dan
langsung membalikkan tubuhnya.
Dilla..!! teriak orang itu lagi. Setelah dia melihat orang yang memanggilnya itu, mukanya
tiba-tiba memerah dan sepertinya ada rasa geram darinya.
Dilla, kamu ke mana saja, Nak? Ayah mencarimu dari tadi pagi. Kenapa tiba-tiba kamu
kabur? Tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Dilla sendiri. Dilla tetap diam. Wajahnya
tetap murung dengan sedikit tatapan sinis. Ayahnya mencoba bicara lagi.
Ayolah, Nak. Beritahu Ayah. Kamu mau apa? Sang ayah terus membujuknya untuk bicara.
Perlahan wajah Dilla mulai kelihatan tenang. Dan ia pun mulai bicara.
Ayah nggak akan pernah tau apa yang kuinginkan, karena Ayah nggak pernah perhatiin aku.
Ayah nggak akan pernah mengerti dan sampai kapanpun Ayah tak

akan bisa mewujudkannya! ucap Dilla. Ia mengatakan semua yang ada di benaknya.
Perasaan yang dulu ia pendam. Dan sekarang perasaan itu sudah memuncak dan tak dapat
dikendalikan lagi.
Ayah merengut dan tiba-tiba memarahi Dilla.
Apa sih yang kamu mau? Ayah sudah memberikan semua yang kamu minta. Pakaian,
handphone, laptop, accessories dan barang-barang lainnya yang Ayah rasa kamu tidak
gunakan. Sekarang kamu mau apa? Ayah capek capek ngeladenin kamu!
Mendengar ucapan ayahnya, sakit hati Dilla semakin menjadi-jadi. Perlahan air matanya
keluar. Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.
Kalau Ayah memang tak mau ngurusin aku, mendingan Ayah buang saja aku. Biar Ayah
nggak capek lagi dan bisa senang-senang dengan kehidupan Ayah yang nggak jelas itu!
Semuanya ia ungkapkan saat itu juga dan akhirnya ia lari pergi meninggalkan Ayahnya.
Dilla!! teriak ayahnya yang lari mengejarnya.
Larian panjangnya tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tak layak huni.
Langkah kakinya bagaikan tersedot rumah itu. Ia mencoba mengetuk pintu rumah itu.Namun
tak ada orang yang membukakannya. Ia terus mengetuk pintu itu berkali-kali. Namun tetap
tak ada jawaban.
Akhirnya ia mencoba membuka pintu itu. Pintunya tidak dikunci. Ketika ia melihat ke dalam
rumah itu, betapa terkejutnya ia. Ia melihat seorang wanita tergeletak tak sadarkan diri dari
balik dinding rumah itu.
BundaBunda!! teriaknya dengan air mata yang terus menetes.
Bunda..!Bangun Bunda..! Bangun Dilla mencoba menyadarkan wanita yang ternyata
ibunya. Ibunya Dilla tetap tidak sadarkan diri. Dilla pun mulai putus asa. Ingin rasanya ia
membawa ibunya ke rumah sakit. Namun, ia tidak bisa membawa ibunya sendirian. Dan
walaupun ia lakukan itu, yang pasti ibunya akan marah dengannya. Akhirnya, ia merawat
ibunya di rumah itu, hingga ibunya sembuh.
^_^
Sudah dua hari Dilla menginap di rumah itu. Namun ayahnya tak kunjung menjemputnya.
Ada dua alasan yang mungkin terjadi dengan ayahnya hingga ayahnya tidak bisa
menjemputnya. Yaitu, satu; karena ayahnya tidak tau rumah ini. Dua; karena ayahnya sibuk
dengan pekerjaannya.

Di rumah kecil itu, Dilla lebih merasa ceria. Karena ia merasa tidak kesepian. Di rumah itu, ia
mempunyai teman ngobrol, mencurahkan isi hatinya, berbagi suka dan duka, tertawa bersama
dan hal-hal menarik lainnya. Ketimbang di rumah besar yang sunyi, sepi, senyap, hanya
bertemankan harta yang tidak berguna.
Ibu Dilla sudah sembuh. Dilla pun berpamitan dengan ibunya. Ia takut ayahnya akan marah
besar kalau ia tak kunjung pulang. Ia merasa tersiksa dengan perceraian kedua orang tuanya
yang berakibat buruk terhadap masa depannya.

Sesampainya di rumah, Dilla langsung masuk ke kamarnya, menguncinya, dan seperti biasa,
ia mencurahkan isi hatinya dalam buku harian.

Malam harinya, ayah Dilla pun pulang. Ia langsung menuju kamar Dilla untuk memastikan
anaknya itu sudah pulang atau tidak.
Ketika pintu kamar Dilla dibuka, Dilla pun spontan terkejut, ia langsung menyembunyikan
buku hariannya.
Dilla.. Kamu sudah pulang, Nak. Kamu ke mana aja kemarin? Kenapa nggak bilang sama
Ayah? sang Ayah mencoba menginterrogasi Dilla.
Nginep rumah teman, Yah. Jawab Dilla singkat.
Kenapa kamu nginep rumah teman? Emangnya kamu nggak punya rumah? Tanya ayah
dengan nada pelan.
Ayah! Aku kesepian di rumah ini. Aku tidak merasa bahagia dengan semua harta yang Ayah
berikan. Aku cuma minta perhatian dan kasih sayang kedua orang tuaku. Dan kalian selaluu
ada di sampingku. Tapi Ayah tidak pernah mengerti apa maksudku! bentak Dilla. Emosinya
memuncak drastis.
Terus apa maumu?! Bagaimana Ayah bisa tahu, kalau kamu nggak ngasih tahu Ayah!!
bentak ayah dengan nada tinggi.
Ucapan ayahnya membuat Dilla merasakan sakit yang luar biasa. Sekarang bukan hatinya
saja yang sakit, seluruh tubuhnya juga ikut sakit. Dilla merintih kesakitan dan akhirnya
pingsan.
Melihat sang anak pingsan, sang ayah langsung membawa Dilla ke rumah sakit. Dan
langsung ditangani oleh dokter terhandal.
Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajahnya yang kelihatan pucat. Ayah Dilla pun
menghampirinya.
Penyakitnya kambuh lagi. Ucap dokter itu.
Penyakit?? Tanya Ayah Dilla heran.
Penyakit leukimianya sudah stadium empat! Lanjut dokter.
Seketika itu pun ayah Dilla terkejut.
Penyakit leukemia? Stadium empat? Batinnya.
Maaf, Dok. Setahu saya, anak saya tidak pernah mengidap penyakit leukemia. Apalagi
sampai stadium empat. Saya tidak mengerti maksud Anda! Ucap Ayah Dilla.
Bapak jangan bercanda. Dilla itu pasien lama saya. Sudah 2 tahun ia saya tangani. Kok
Bapak sampai tidak tau masalah ini? Jelas dokter dengan wajah bingung.
Ayah Dilla semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan dokter tersebut.
Sudah 2 tahun? Tapi mengapa Dilla tidak pernah mengatakannya? Batinnya lagi.
Dok, boleh saya masuk ke dalam? Saya mau jenguk anak saya! Pinta ayah Dilla sambil
mengarahkan telunjuknya ke kamar tempat anak semata wayangnya itu dirawat.

Di dalam kamar itu, ia melihat seorang gadis kecil mempertaruhkan nyawanya melawan sakit
yang menderanya. Dimanakah sosok seorang ayah yang dia punya? Mengapa ia tak tau apa
yang terjadi dengan anaknya? Apakah batin seorang ayah dengan anaknya tidak terikat?
Ditengah lamunannya, ia dibuyarkan oleh secercah suara kecil. Ya, suara Dilla.
Ayah.. ucapnya lemah.
Iya, Nak. Ujar ayahnya sambil meneteskan air mata.
Ayah.. Aku mau minta sesuatu dari ayah. Aku mau Ucapan Dilla semakin lemah. Denyut
nadinya semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Dan pada saat itu, detik itu, Dilla
menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengatakan keinginannya itu.
Tangisan langsung meluap dari kedua mata sang ayah. Sampai akhir hayat anaknya, ia tidak
dapat mengabulkan permintaan anaknya itu.
Dan sekarang ia tidak tau harus bagaimana. Ia tidak tau apa yang anaknya inginkan. Dan ia
tidak tau bagaimana mewujudkannya.
^_^
Dua hari setelah kepergian Dilla, sang ayah terus saja berdiam diri di rumah. Ia sekarang
sadar, harta yang paling berharga baginya bukanlah uang tetapi keluarga. Ia pun mencoba
mengenang Dilla dengan masuk ke dalam kamar Dilla. Ia membereskan kamar anaknya itu.
Ketika ia sedang membereskan tempat tidur, tak sengaja ia menemukan sebuah diary di
bawah bantal. Ia pun kemudian membuka diary itu, dan membacanya.

Deardiary
Aku tak tau apa yang sedang ku alami
Semuanya berubah begitu saja.Perceraian Ayah dan Bunda telah membuatku
larut dalam kegelapan
Aku tak bisa melihat masa depanku nanti.
Sekarang aku mencoba menahan penyakit leukemiaku. Aku tidak ingin mereka
mengetahuinya. Aku tidak ingin kedua orang tuaku saling menyalahkan.
Cukup aku yang merasakan sakit ini.

Deardiary
Ya Allah
Kenapa Kau berikan cobaan ini kepadaku?
Kenapa Kau memberikan sakit ke Bundaku?
Kenapa Kau buat Ayah melupakanku?
Kenapa aku tidak pernah bisa menjadi orang yang lebih sabar lagi menahan
cobaan ini.
Ya Allah..
Yang hambaMu inginkan cuma satu. Tolong persatukan keluarga kami lagi.
Tolong satukan Ayah dan Bunda agar Ayah bisa merawat Bunda.
Karena mungkin hamba tidak bisa merawat Bunda lagi.
Karena mungkin Kau akan memanggil hamba.
Jadi hamba mohon, persatukan keluarga hamba.
Ayah yang Dilla minta selama ini adalah itu.
Dilla minta Ayah menjemput ibu di rumah kecil di bawah jembatan tua.
Dan Dilla ingin Ayah menjaga dan merawat Bunda untuk selamanya. Hingga
akhir hayat.
Amiiinn Ya Rabbal Alamin.

Tetesan air mata berjatuhan. Isak tangis meluap. Sekarang.. saat itu juga ayah Dilla pergi
menjemput mantan istrinya itu sesuai kehendak Dilla.

Di rumah kecil itu, ia melihat mantan istrinya duduk termenung. Ia pun mendekatinya dan
perlahan mengatakan tentang kepergian Dilla.
Mendengar berita itu, sang ibu langsung menangis. Ia tak dapat menerima semua itu. Namun,
ia pun tidak bisa mengelak takdir illahi. Sesuai keinginan Dilla, kedua orangtuanya pun
bersatu kembali.

PERMINTAAN SEBUAH DIARY


Cerpen Awaliya Nur Ramadhana
Hari yang melelahkan dengan teriknya matahari dan sapuan udara bercampur debu. Daun-
daun berguguran lalu terbang tersapu angin. Terlihat sesosok gadis kecil duduk termenung di
kursi taman pusat kota. Terdengar teriakan seseorang dari arah belakang gadis itu.
Dilla! Teriakan itu membuat gadis kecil yang ternyata bernama Dilla itu terkejut dan
langsung membalikkan tubuhnya.
Dilla..!! teriak orang itu lagi. Setelah dia melihat orang yang memanggilnya itu, mukanya
tiba-tiba memerah dan sepertinya ada rasa geram darinya.
Dilla, kamu ke mana saja, Nak? Ayah mencarimu dari tadi pagi. Kenapa tiba-tiba kamu
kabur? Tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Dilla sendiri. Dilla tetap diam. Wajahnya
tetap murung dengan sedikit tatapan sinis. Ayahnya mencoba bicara lagi.
Ayolah, Nak. Beritahu Ayah. Kamu mau apa? Sang ayah terus membujuknya untuk bicara.
Perlahan wajah Dilla mulai kelihatan tenang. Dan ia pun mulai bicara.
Ayah nggak akan pernah tau apa yang kuinginkan, karena Ayah nggak pernah perhatiin aku.
Ayah nggak akan pernah mengerti dan sampai kapanpun Ayah tak

akan bisa mewujudkannya! ucap Dilla. Ia mengatakan semua yang ada di benaknya.
Perasaan yang dulu ia pendam. Dan sekarang perasaan itu sudah memuncak dan tak dapat
dikendalikan lagi.
Ayah merengut dan tiba-tiba memarahi Dilla.
Apa sih yang kamu mau? Ayah sudah memberikan semua yang kamu minta. Pakaian,
handphone, laptop, accessories dan barang-barang lainnya yang Ayah rasa kamu tidak
gunakan. Sekarang kamu mau apa? Ayah capek capek ngeladenin kamu!
Mendengar ucapan ayahnya, sakit hati Dilla semakin menjadi-jadi. Perlahan air matanya
keluar. Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.
Kalau Ayah memang tak mau ngurusin aku, mendingan Ayah buang saja aku. Biar Ayah
nggak capek lagi dan bisa senang-senang dengan kehidupan Ayah yang nggak jelas itu!
Semuanya ia ungkapkan saat itu juga dan akhirnya ia lari pergi meninggalkan Ayahnya.
Dilla!! teriak ayahnya yang lari mengejarnya.
Larian panjangnya tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tak layak huni.
Langkah kakinya bagaikan tersedot rumah itu. Ia mencoba mengetuk pintu rumah itu.Namun
tak ada orang yang membukakannya. Ia terus mengetuk pintu itu berkali-kali. Namun tetap
tak ada jawaban.
Akhirnya ia mencoba membuka pintu itu. Pintunya tidak dikunci. Ketika ia melihat ke dalam
rumah itu, betapa terkejutnya ia. Ia melihat seorang wanita tergeletak tak sadarkan diri dari
balik dinding rumah itu.
BundaBunda!! teriaknya dengan air mata yang terus menetes.
Bunda..!Bangun Bunda..! Bangun Dilla mencoba menyadarkan wanita yang ternyata
ibunya. Ibunya Dilla tetap tidak sadarkan diri. Dilla pun mulai putus asa. Ingin rasanya ia
membawa ibunya ke rumah sakit. Namun, ia tidak bisa membawa ibunya sendirian. Dan
walaupun ia lakukan itu, yang pasti ibunya akan marah dengannya. Akhirnya, ia merawat
ibunya di rumah itu, hingga ibunya sembuh.
^_^
Sudah dua hari Dilla menginap di rumah itu. Namun ayahnya tak kunjung menjemputnya.
Ada dua alasan yang mungkin terjadi dengan ayahnya hingga ayahnya tidak bisa
menjemputnya. Yaitu, satu; karena ayahnya tidak tau rumah ini. Dua; karena ayahnya sibuk
dengan pekerjaannya.

Di rumah kecil itu, Dilla lebih merasa ceria. Karena ia merasa tidak kesepian. Di rumah itu, ia
mempunyai teman ngobrol, mencurahkan isi hatinya, berbagi suka dan duka, tertawa bersama
dan hal-hal menarik lainnya. Ketimbang di rumah besar yang sunyi, sepi, senyap, hanya
bertemankan harta yang tidak berguna.

Ibu Dilla sudah sembuh. Dilla pun berpamitan dengan ibunya. Ia takut ayahnya akan marah
besar kalau ia tak kunjung pulang. Ia merasa tersiksa dengan perceraian kedua orang tuanya
yang berakibat buruk terhadap masa depannya.

Sesampainya di rumah, Dilla langsung masuk ke kamarnya, menguncinya, dan seperti biasa,
ia mencurahkan isi hatinya dalam buku harian.

Malam harinya, ayah Dilla pun pulang. Ia langsung menuju kamar Dilla untuk memastikan
anaknya itu sudah pulang atau tidak.
Ketika pintu kamar Dilla dibuka, Dilla pun spontan terkejut, ia langsung menyembunyikan
buku hariannya.
Dilla.. Kamu sudah pulang, Nak. Kamu ke mana aja kemarin? Kenapa nggak bilang sama
Ayah? sang Ayah mencoba menginterrogasi Dilla.
Nginep rumah teman, Yah. Jawab Dilla singkat.
Kenapa kamu nginep rumah teman? Emangnya kamu nggak punya rumah? Tanya ayah
dengan nada pelan.
Ayah! Aku kesepian di rumah ini. Aku tidak merasa bahagia dengan semua harta yang Ayah
berikan. Aku cuma minta perhatian dan kasih sayang kedua orang tuaku. Dan kalian selaluu
ada di sampingku. Tapi Ayah tidak pernah mengerti apa maksudku! bentak Dilla. Emosinya
memuncak drastis.
Terus apa maumu?! Bagaimana Ayah bisa tahu, kalau kamu nggak ngasih tahu Ayah!!
bentak ayah dengan nada tinggi.
Ucapan ayahnya membuat Dilla merasakan sakit yang luar biasa. Sekarang bukan hatinya
saja yang sakit, seluruh tubuhnya juga ikut sakit. Dilla merintih kesakitan dan akhirnya
pingsan.
Melihat sang anak pingsan, sang ayah langsung membawa Dilla ke rumah sakit. Dan
langsung ditangani oleh dokter terhandal.
Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajahnya yang kelihatan pucat. Ayah Dilla pun
menghampirinya.
Penyakitnya kambuh lagi. Ucap dokter itu.
Penyakit?? Tanya Ayah Dilla heran.
Penyakit leukimianya sudah stadium empat! Lanjut dokter.
Seketika itu pun ayah Dilla terkejut.
Penyakit leukemia? Stadium empat? Batinnya.
Maaf, Dok. Setahu saya, anak saya tidak pernah mengidap penyakit leukemia. Apalagi
sampai stadium empat. Saya tidak mengerti maksud Anda! Ucap Ayah Dilla.
Bapak jangan bercanda. Dilla itu pasien lama saya. Sudah 2 tahun ia saya tangani. Kok
Bapak sampai tidak tau masalah ini? Jelas dokter dengan wajah bingung.
Ayah Dilla semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan dokter tersebut.
Sudah 2 tahun? Tapi mengapa Dilla tidak pernah mengatakannya? Batinnya lagi.
Dok, boleh saya masuk ke dalam? Saya mau jenguk anak saya! Pinta ayah Dilla sambil
mengarahkan telunjuknya ke kamar tempat anak semata wayangnya itu dirawat.

Di dalam kamar itu, ia melihat seorang gadis kecil mempertaruhkan nyawanya melawan sakit
yang menderanya. Dimanakah sosok seorang ayah yang dia punya? Mengapa ia tak tau apa
yang terjadi dengan anaknya? Apakah batin seorang ayah dengan anaknya tidak terikat?
Ditengah lamunannya, ia dibuyarkan oleh secercah suara kecil. Ya, suara Dilla.
Ayah.. ucapnya lemah.
Iya, Nak. Ujar ayahnya sambil meneteskan air mata.
Ayah.. Aku mau minta sesuatu dari ayah. Aku mau Ucapan Dilla semakin lemah. Denyut
nadinya semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Dan pada saat itu, detik itu, Dilla
menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengatakan keinginannya itu.
Tangisan langsung meluap dari kedua mata sang ayah. Sampai akhir hayat anaknya, ia tidak
dapat mengabulkan permintaan anaknya itu.
Dan sekarang ia tidak tau harus bagaimana. Ia tidak tau apa yang anaknya inginkan. Dan ia
tidak tau bagaimana mewujudkannya.
^_^
Dua hari setelah kepergian Dilla, sang ayah terus saja berdiam diri di rumah. Ia sekarang
sadar, harta yang paling berharga baginya bukanlah uang tetapi keluarga. Ia pun mencoba
mengenang Dilla dengan masuk ke dalam kamar Dilla. Ia membereskan kamar anaknya itu.
Ketika ia sedang membereskan tempat tidur, tak sengaja ia menemukan sebuah diary di
bawah bantal. Ia pun kemudian membuka diary itu, dan membacanya.

Deardiary
Aku tak tau apa yang sedang ku alami
Semuanya berubah begitu saja.Perceraian Ayah dan Bunda telah membuatku
larut dalam kegelapan
Aku tak bisa melihat masa depanku nanti.
Sekarang aku mencoba menahan penyakit leukemiaku. Aku tidak ingin mereka
mengetahuinya. Aku tidak ingin kedua orang tuaku saling menyalahkan.
Cukup aku yang merasakan sakit ini.

Deardiary
Ya Allah
Kenapa Kau berikan cobaan ini kepadaku?
Kenapa Kau memberikan sakit ke Bundaku?
Kenapa Kau buat Ayah melupakanku?
Kenapa aku tidak pernah bisa menjadi orang yang lebih sabar lagi menahan
cobaan ini.
Ya Allah..
Yang hambaMu inginkan cuma satu. Tolong persatukan keluarga kami lagi.
Tolong satukan Ayah dan Bunda agar Ayah bisa merawat Bunda.
Karena mungkin hamba tidak bisa merawat Bunda lagi.
Karena mungkin Kau akan memanggil hamba.
Jadi hamba mohon, persatukan keluarga hamba.
Ayah yang Dilla minta selama ini adalah itu.
Dilla minta Ayah menjemput ibu di rumah kecil di bawah jembatan tua.
Dan Dilla ingin Ayah menjaga dan merawat Bunda untuk selamanya. Hingga
akhir hayat.
Amiiinn Ya Rabbal Alamin.

Tetesan air mata berjatuhan. Isak tangis meluap. Sekarang.. saat itu juga ayah Dilla pergi
menjemput mantan istrinya itu sesuai kehendak Dilla.

Di rumah kecil itu, ia melihat mantan istrinya duduk termenung. Ia pun mendekatinya dan
perlahan mengatakan tentang kepergian Dilla.
Mendengar berita itu, sang ibu langsung menangis. Ia tak dapat menerima semua itu. Namun,
ia pun tidak bisa mengelak takdir illahi. Sesuai keinginan Dilla, kedua orangtuanya pun
bersatu kembali.

WRONG CHOICE
Cerpen Awaliya Nur Ramadhana
Gerimis hujan membasahi tubuh gadis mungil di Stasiun Tugu. Pakaiannya yang tebal tak
membuatnya kedinginan. Namun, apakah yang sedang ditunggunya di Stasiun itu.

Dari kejauhan terdengar teriakan seseorang, Vella.!!.

Gadis mungil yang bernama Vella itu pun memalingkan mukanya. Setelah ia melihat sosok
yang memanggilnya , ia tiba-tiba terkejut dan langsung lari pergi dari stasiun itu. Apakah
yang sedang dipikirkan Vella sehingga ia panik melihat seorang wanita yang penuh dengan
perhiasan itu menghampirinya.

Vella lari sekencang kilat untuk menghindari wanita itu. Sampai di persimpangan jalan, ia
berhenti sejenak.

Huuhh.. Hampir saja. Kalau tidak pasti aku sudah dicincangnya kayak sate. Batinnya.

Vella merupakan anak tunggal dari seorang konglomerat yang menikah 2 kali. Vella
merupakan anak pertama dari istri pertama yang telah bercerai 5 tahun silam. Ibu Vella
pergi dari rumah karena tidak mau dimadu. Sementara ayahnya Vella tidak punya pilihan
selain menikahi wanita yang kini menjadi istri keduanya itu karena perusahaannya sedang
dilanda kebankrutan. Berkat Pengadilan, akhirnya Vella di asuh oleh ayahnya. Namun tak
disangka, kehidupan Vella yang semula penuh dengan canda tawa bersama ibu kandungnya,
kini berubah menjadi penjara bersama dengan ibu tirinya. Bagaimana tidak, Vella selalu
dilarang ibu tirinya pergi ke luar rumah hanya untuk jalan-jalan bersama temannya.
Jangankan untuk jalan-jalan, sekedar untuk bertemu dengan sahabat di samping rumahnya
saja tidak boleh. Vella merasa sangat kesepian dan tidak betah lagi di rumah itu, sehingga
diam-diam ia kabur dan pergi ke stasiun untuk menemui ibunya. Vella pernah mengatakan
semua perlakuan ibu tirinya itu kepada ayahnya. Ayahnya pun percaya dengan semua itu.
Namun, ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena nasib perusahaan ada ditangan ibu
tirinya itu.

Di persimpangan jalan, Vella merenungkan kehidupannya yang dulu. Bersama dengan


ibunya tercinta. Ingin rasanya Vella cepat-cepat pergi dari kota ini dan bahagia bersama
ibunya. Di tengah lamunannya, ia mendengar teriakan seseorang dari belakang. Orang itu
kemudian menepuk bahunya. Ternyata ia adalah Winda sahabatnya Vella .

Vella..
Eh, Winda
Kok bengong.. Ada masalah lagi ,ya?? Pasti sama nenek sihir itu lagi,kan?!
Ya iyalah. Sama siapa lagi gue punya masalah selain sama dia..
Hahaha.. Emm,, tentang apalagi, nih?
Lho kok ketawa. Bantuin,kek.. Biar gue gak stress.
Iya...iya.. Tapi tentang apa, nih?

Itu, lho. Nenek sihir itu tau kalau gue tadi di stasiun. Padahalkan gue mau pergi nemuin
ibu gue. Eh.. tau-tau dia datang dan langsung ngejar gue. Ia gue langsung lari secepat kilat ke
sini. Eh.. Tunggu. Tapi lo tumben jalan.

Gue sih ogah juga jalan. Tapi papah gue ada urusan tuh sama rekannya. Ngebicarain
tentang tujuan sekolah gue nanti kalau lulus SMP. Katanya sih mau di sekolahin di
Singapur.
Apa?? Lo mau sekolah di Singapur.. Terus..terus.. Lo mau ?
Ya, gue sih terserah aja. Yang penting, gak ngitemin kulit gue yang putih ini.
Win..Win.. yang ada dipikiran lo itu cuma ngurusin kecantikaan aja, ya. Tapi gue mau
minta bantuan lo, nih. Gue mau ketemu sama mamah gue. Ia tinggal di Singapur juga. Kalo
Boleh, gue mau sekolah di Singapur juga. Sekalian buat melarikan diri dari nenek sihir itu.
Alasan sekolah itu, kan oke juga. Biar dia gak curiga.
Wahh.. Bagus juga, tuh. Sekalian buat nemenin gue di Singapur. Wahh.. Simbiosis
mutualisme, nih
Jadi,,, ?
Ya.. Nanti gue urusin sama papa gue.
Makasih banget, ya, Win. Lo memang sahabat terbaik gue.
Santai, aja, Vell.

Hari demi hari telah berlalu, hingga masa kelulusan Vella tiba.
Vella Gue lulus!!! Teriak Winda yang kegirangannya setinggi langit. Vella yang sedang
mencari namanya di majalah dinding kelulusan terkejut dibuatnya.
Ya AmpunWinda!! Jantung gue hampir meledak tau.
Ya,,Sorry. Abisnya gue seneng banget tau. Akhirnya gue jadi murid putih abu-abu.
Hahaha
Biasa aja, kale!
Gimana..? Lo lulus gak??
Iya,nih. Gak ada nama gue
Yang bener?! Jangan-jangan lo gak lulus?!
Jangan sampe. Lo nakutin aja. Mending bantuin gue nyari.
Okey..Okey..Gue bantuin.
Vella Apriliakok gak ada. Rintih Vella.
Yang ada Cuma Velia Aprilia..
Mana.. Mana..?!
Tuh! Ucap Winda sambil menunjukkan ke selembar kertas
Wah.. Pasti orangnya salah tulis,nih!
Iya. Ini nama lo kali !
Kalau bener ini nama gue, berarti gue lulus.. Yeee!
Yahh.. Kegirangan juga kan dia!
Akhirnya gue bisa jauuuuuhhhhjauuuuhhh dari nenek sihir dan pergi ke Singapur.
Horeeee!! Merdeka!!!
Win,, nanti kabarin gue,ya, kalau gue diterima!
SiippBoss!!!
Horeee Merdekaaa! Ucap mereka serentak

Hari libur merupakan hari yang paling disenengi semua orang. Terkecuali Vella. Baginya
hari libur merupakan hari dimana ia ditahan di penjara yang amat menyeramkan di dunia.
Hari-harinya dilalui dengan penuh kebosanan. Sampai di suatu hari ada sms dari Winda
yang berformat PENTING.

Vella bergegas membuka sms itu.


Vell

Gw puxa kbr bik .

Lo dtrima di SMA Singapur..

Setelah membaca sms itu, Vella langsung meloncat-loncat di atas kasurnya yang empuk dan
berteriak-teriak kegirangan. Sehingga membuat ibu tirinya merasa geram.

Vellaaaa Berhenti!!! Teriak ibu tiri Vella. Vella langsung terdiam.


Kamu tau, nggak?! Kasur itu mahal harganya. Terus kamu ingin merusaknya dengan
kelakuanmu yang nggak jelas itu?!!! Ibu tiri mulai mengomel.
Sorry,deh,,!!! Kata Vella acuh tak acuh.
Nggak sopan banget sih kamu. Sudah sekarang kamu saya hukum. Kamar ini akan saya
kunci sampai papamu pulang. Kamu dilarang makan ataupun minum. Jangan coba-coba
melarikan diri. Dua satpam akan menjagamu di muka sana. Ingat kamu?!!! Bentak Ibu
tiri.
Orang Jahat!! Balas Vella dengan muka merah. Ibu tiri pun berlalu dan mengunci kamar
itu.

Vella yang semula senang menjadi marah. Namun kini ia dapat menahan emosinya karena ia
merasa ia akan bebas dari semua ini.

Keesokan harinya di rumah Vella..


Non Vella, disuruh bapak makan bersama, Non. Panggil Bi Nah.

Namun Vella tak menjawab sedikitpun. Bi Nah mencoba memanggilnya beberapa kali,
namun tetap tak ada jawaban. Akhirnya Bi Nah membuka pintu kamarnya Vella. Ternyata
pintu kamarnya tidak dikunci. Bi Nah mencari-cari Vella di dalam kamr itu, namun tetap tak
ada. Bi Nah pun berteriak histeris.

Tuan.. Nyonya !!! papa dan ibu tirinya Vella pun bergegas mendatanginya.
Ada apa,Bi? Tanya papahnya Vella.
Non Vella tidak ada di kamarnya.
Apaa..!!? Bentak ibu tiri.
Kamu sudah cari ??
Sudah, Tuan. Tapi tetep tidak ada.
Ya, Ampun. Ngerepotin aja,sih pake kabur-kabur segala. Desah ibu tiri. Tak selang
beberapa lama Handphone papanya Vella berbunyi. Ternyata ada sms dari Vella. Pah, Vella
prgi k rmh Winda.

Pah, Mf. Vella sdh dftarin diri sekolah dsingapur sm Winda.

N lusa Vella akan brngkt ksingapur.

Papah gk ush khwatir.. Vella bisa jg diri. Vella ingn ktmu mamah.

Miss You, Dad


Setelah mendengar semua itu, sang ayah syok berat dan langsung pingsan. Ia merasa selama
ini telah melakukan hal yang salah terhadap anak semata wayangnya itu. Hanya demi
keselamatan perusahaannya, ia tega mengorbankan kebahagiaan anaknya. Ayah Vella pun
dibawa ke rumah sakit.

Di rumah sakit sang ayah sedang kritis melawan penyakit jantung yang sudah 3 tahun
menggerogotinya, ibu tiri tidak mempedulikannya sedikitpun. Sampai di saat-saat papa
Vella siuman. Ia memohon kepada anak buahnya untuk membuatkan surat cerainya dengan
istrinya. Ia sudah tak peduli lagi dengan perusahaan dan kekayaannya. Yang ia pikirkan
sekarang adalah keadaan anak gadisnya itu. Disaat sang ayah sedang kritisnya, Vella yang
sekarang sudah bebas dari ibu tirinya merasa sangat gembira. Ia tak tau keadaan ayahnya
yang lagi sekarat. Bersama dengan Winda, ia merayakan kemerdekaannya di sebuah asrama
putri di Singapur. Kini ia merasa dapat sesuka hati melakukan apa saja tanpa harus dilarang
oleh ibu tirinya. Ketika sedang asyiknya berpesta, ada panggilan masuk dari handphone
Vella.

Kenapa, Vel?? Tanya Winda.


Papah gue nelpon. Jawabnya. Ketika diangkat teleponnya, ternyata yang mengangkat
bukan ayahnya, tapi orang kepercayaan ayahnya .
Hallo.. terdengar suara tegas di sana.
Iya, Hallo. Jawab Vella.
Vella.. Ini Om Anton.
Iya,Om. Ada apa?
Papamu,Vell. Papamu masuk rumah sakit. Karena serangan jantung. Ucap laki-laki itu
.Apaaaa, Om! !Teriaknya bersama dengan isak tangisnya. Melihat sahabatnya
menangis, Winda mencoba menenangkan Vella.
Vella.. Kenapa, Vell? Tanya Winda.
Hiks..Hiks.. Papahku.. Papahku masuk rumah sakit, kena serangan jantung. Jawab Vella
tersedu-sedu. Mendengar semua itu, Winda terdiam. Ia merasa tidak berani berkata apa-apa
kepada Vella. Ia takut, sahabatnya itu nanti jadi semakin sedih. Ia tau,pasti semua ini ada
hubungannya dengan kepergian Vella ke sini.

Keesokan harinya

Vella merasa bingung.. Ia harus memilih mencari ibunya di Singapur atau pulang ke
Indonesia untuk menemui ayahnya.

Mungkin kali ini, Vella tidak bisa berpikir jernih. Ia lebih memilih ibunya yang belum tentu
ia ketahui alamatnya dibanding ayahnya yang sedang sakit. Karena selama ini, ia berpikir
ayahnya tidak mempedulikannya. Menurutnya ayahnya lebih memilih perusahaan daripada
dirinya. Padahal anggapannya itu adalah salah besar.

Sudah tiga hari Vella mencari alamat tempat ibunya tinggal. Namun hasilnya tetap nol.
Tidak seorang pun yang tahu alamat itu. Ibunya memang sering pindah-pindah tempat.
Memang,sih. Ia sering diberitahu alamat ibunya tinggal melalui Telepon. Namun semenjak
ibu pindah ke Singapur ia tidak pernah memberitahu alamat jelasnya. Yang diberitahu Cuma
ia berada di Singapur. Itu pun rekan dekatnya yang menginformasikan.
Setelah lama kelamaan, ia mulai merasa putus asa. Selama ini ia sudah mengambil
keputusan yang salah. Seharusnya saat itu, ia pulang ke Indonesia untuk merawat ayahnya
yang sedang sakit. Sepanjang jalan, ia menyesali semua yang ia lakukan. Hingga sampai di
sebuah stasiun. Pikirannya di buyarkan oleh sebuah teriakan seseorang yang tidak asing
dengannya. Ia pun membalikkan wajahnya. Yang ia lihat adalah seorang wanita yang
pakaiannya compang-camping dengan rambut acak-acakan seperti orang gila. Ia pun
memberanikan diri mendekati wanita itu. Wanita itu terkejut melihat Vella. Sepertinya
wanita itu mengenali Vella.

Vella pun mencoba mengenali wanita itu. Dan betapa terkejutnya ia. Ternyata wanita gila itu
adalah ibunya sendiri.
Mamah Ucapnya dengan tangis yang mulai timbul. Mendengar panggilan itu, wanita
yang ternyata ibunya Vella itu pun tersenyum-senyum sambil mengeluarkan air mata.
Mamah Ini Vella. Anak mamah Ini Vella, Mah Ini Vella Rintihnya mencoba
mengingatkan ibunya tentang dirinya.
Vella Anakku?? Jawab wanita itu. Seakan-akan percaya dan tidak.
Iya, Mah. Ini anak Mamah..
Anakku ! Vella sayang.. Akhirnya wanita itu ingat tentang dirinya.
Mah,, kenapa mamah jadi begini..??
Sayang.. Mamah kangen kamu!! Mendengar semua itu, Vella berhenti bertanya. Ia tau,
ibunya belum bisa menjelaskan semua itu. Tapi sekarang ia berhasil bertemu ibunya. Dan
yang ia harus ia lakukan sekarang adalah membawa pulang ibunya ke Indonesia untuk
berobat lalu bertemu dengan ayahnya untuk meminta maaf.

Sesampainya di Indonesia..

Vella dan ibunya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya. Sesampainya di rumah
sakit, betapa terkejutnya mereka, ketika melihat ayahnya sedang terbaring lemah di ruang
ICU.

Om, bagaimana keadaan papah ?? Tanya Vella ke seorang laki-laki kepercayaan ayahnya.
Ayahmu koma, sudah empat hari ia tidak sadarkan diri. Jawab laki-laki itu. Mendengar
semua itu, Vella sangat menyesal telah meninggalkan papahnya. Sekarang, ia hanya bisa
berdoa agar ayahnya bisa sembuh dan dapat bersamanya kembali.
Om, kok ibu tiri gak ada?? Tanya Vella.
Ibu tiri sama Papahmu sudah bercerai. Jawab Om itu. Mendengar itu, Vella jadi semakin
menyesal. Selama ini ia tidak bisa mengerti keadaan papahnya yang serba salah. Bahkan ia
telah membuat papahnya sekarat. Vella pun tidak bisa menahan air matanya yang mulai
berjatuhan. Diiringi oleh tangisan Ibunya.
Mah.. mamah gak apa-apa, kan?? Vella memulai pembicaraan dengan ibunya. Ia masih
bingung, kenapa ibunya jadi stress begini.
Mamah menyesal telah meninggalkan kamu dan Papah. Ucap Ibunya Vella. Kayaknya Ibu
Vella mulai terbuka.
Tapi, Mah. Kenapa mamah nggak bilang ke aku kalau mamah pindah ke Singapur.

Saat itu, mamah dipecat dari pekerjaan mamah. Selain itu, ketika mamah pindah ke
Singapur, Mamah di tipu seseorang, ia menjanjikan mamah bekerja di sebuah perusahaan
besar di Singapur dengan syarat uang muka sekitar 20 juta. Karena saat itu Mamah tidak
bisa berpikir jernih, Mamah pun mengikuti syarat itu. Ternyata orang itu menipu mamah.
Perusahaan itu ternyata sudah bankrut, sehingga semua uang mamah habis. Saat itu,
Mamah pun menjadi depresi karena tidak punya uang lagi untuk menemuimu ke Indonesia.
Akhirnya mamah menjadi stress berat, dan Mamah Vella tidak bisa melanjutkan
ceritanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Pada saat itu, keajaiban datang. Mendengar tangisan
mamahnya Vella, ayahnya pun mulai sadar. Vella dan mamahnya pun bergegas masuk ke
ruang ICU tempat ayahnya dirawat.

PapahMaafin Vella!! Ucap Vella sambil memegang tangan ayahnya.


Vella Ucap ayahnya lemah.
Pah,, Mamah kangen Papah, jadi Mamah ke sini menjenguk papah. Ucap Vella
Mamah.. Kata Papahnya tersenyum kecil.
Iya, Pah. Maafin Mamah, ya! Selama ini Mamah sudah membiarkan Papah berjuang
sendirian menjaga Vella. Papah Vella pun terlihat bahagia.

Keluarga itu pun kembali bersatu . Tak beberapa lama, ayah Vella kemudian sembuh. Dan
yang paling membuat mereka gembira adalah kabar baik tentang Perusahaan Papahnya
Vella yang kemudian bisa berdiri lagi berkat bantuan Papahnya Winda yang mengajak
Perusahaan papahnya Vella berkerjasama dengan perusahaannya. Ternyata Winda lah yang
menyuruh semua itu kepada ayahnya.

Akhirnya keluarga Vella kembali bahagia seperti dulu lagi tanpa kehadiran nenek sihir.
Vella pun kini dapat sesuka hati berteman dengan teman-temannya terutama dengan
Winda. Kehidupan Vella menjadi indah kembali.

KASIH SAYANG ITU


Cerpen Bebby Yurike Septiani Widi Seno
Aku mempunyai sahabat, ia bernama Lani. Ia anak yang baik, dan pengertian kepada teman.
Tapi, ayah dan ibunya, kurang memperhatikan Lani. Setiap hari, Lani hampir tidak pernah
bertemu, dengan ibu dan ayahnya. Lani bingung, sesibuk apa ayah dan ibunya, sehingga ia
tidak diperhatikan.

Waktu demi waktu pun berlalu. Para guru disekolah ku, mengadakan rapat orangtua. Entah
apa yang akan dibicarakan guru-guru, kepada orangtua kami.
"Tia, aku takut orangtuaku tidak bisa datang!" ujarnya, dengan muka sedih.
"Tidak Lan, orangtuamu, pasti akan datang."kataku, berusaha meyakinkan Lani.
"Tidak mungkin Ti, mereka sangat sibuk dengan pekerjaannya. Mana mungkin, rapat nanti,
ibu atau ayah ku akan datang."katanya.

Aku hanya bisa diam, karena aku tak tau harus berbuat apalagi. Sebenarnya, aku juga
meragukan hal itu. Apakah mungkin, ayah atau ibu Lani bisa datang?
Pertanyaan itu, slalu datang padaku. Huh.. Sudahlah, tak usah difikirkan lagi.
Bel sekolah pun berbunyi, tanda pulang. Klai ini, aku tidak bisa pulang bareng sama Lani.
Aku diajak orangtua ku pergi kerumah nenek. Dari kejauhan, ku lihat Lani jalan sendirian.
Aku kasihan melihatnya. Mengapa anak baik, cantik seperti dia kurang perhatian orangtua?
Dia sangat butuh kasih sayang dari orangtua. Tapi, Lani tetap sayang kepada ibu dan ayah
nya. Lani pernah berkata, "seorang anak, tidak boleh menyimpan dendam, kepada
orangtuanya. Sejahat apapun orangtua itu, kita tidak boleh membencinya!" Setiap mendengar
perkataan itu, aku hampir menangis. Lani adalah teman terbaik yang pernah aku temui,
didunia ini.
*****

Pagi ini, aku pergi sekolah dengan orangtua ku. Karena, hari ini rapatnya. Aku pergi bersama
ibu ku. Ya, ibu yang datang dalam rapat ini. Selang beberapa menit, aku dan ibu sampai
disekolahku. Ibu pun masuk keruang rapat, aku dan temna-teman menuju kelas, belajar
seperti biasa. Saat masuk kelas, aku melihat Lani dengan muka sedih.
"Hai Lan! Kenapa wajah mu kusut seperti ini?" tanyaku
"Ti, orangtuaku tidak datang. Aku tidak sempat bicara dengannya. Semalam, mereka tidak
pulang kerumah, hingga pagi ini, yang aku temukan hanya pembantuku, bi Tina."katanya,
denagn mata berkaca-kaca.
"Assalamualaikum anak-anak!" tiba-tiba bu Via masuk kekelas ku.
"Wa'alaikumsalam buuuu>"jawab anak-anak serempak.
"Buka buku kalian masing-masing ya!" pinta bu Via.

Pelajaran pun berlangsung. Semua murid-murid, mengikuti pelajaran dengan baik.


1 jam, 2jam pun berlalu. Bel berbunyi tanda istirahat. Para orangtua murid pun keluar satu
persatu dari ruang rapat.
"Ibu, raapt apa tadi?" tanyaku.
"Nanti saja, ibu akan ceritakan dirumah!" kata ibu.

Ibu pun pulang. Aku dan Lani pun kekantin.


"Tia, enak ya, orangtua mu perhatian!"kata Lani, sambil memandangiku.
"Orangtuamu juga baik kok Lan."kataku, sambil tersenyum.

Lani hanya bisa membalas dengan senyuman. Kami pun makan dikantin.
Tak lama, bel pun berbunyi, tanda jam pelajaran berikutnya akan dimulai. Aku dan Lani,
buru-buru masuk kekelas. Pak Sastro pun datang kekelasku, tapi aneh, sekarangkan bukankan
pelajaran Pak Satro.
"Anak-anak, karena guru-guru mengadakan rapat. Kalian diperbolehkan pulang." katanya
"Yeeeeeeeee,"teriak teman-temanku.

Seluruh anak murid pun satu persatu keluar dari kelasnya masing-masing, termasuk aku dan
Lina. Diperjalanan, Lina hanya diam saja. Tidak seperti biasanya.
"Lin, kamu kenapa?" tanyaku
"Aku nggak kenapa-napa kok Ti."ujarnya, dengan suara pelan
"Tapi, kok kamu diam saja daritadi?" tanyaku lagi
Tiba-tiba, Lani terjatuh dan tak sadarkan diri. Para pejalan kaki pun membantu ku, membawa
Lani kerumahnya.
"Lan, bangun Lan!" pintaku

Aku khawatir sekali. Saat sampai dirumahnya, aku langsung menelpon orangtuanya.
"Halo."terdengar suara dari sebrang telpon
"Halo, tante ini Tia. Tan cepat pulang ya, Lani pingsan!"kataku, kepada ibunya
"Pingsan? Baik, tante akan segaera pulang Tia. Tolong jaga Lani sebentar ya!" pinta ibunya,
kepadaku
"Iya." kataku sambil menutup telpon

Tak lama kemudian, ibu dan ayah Lani, sampai dirumah.


"Mana Lani, Tia?" tanya ibunya panik.

Saat melihat Lani terbaring lemah, ibu dan ayahnya menangis.


"Maafkan ibu dan ayah Lani, selama ini, kami tidak memperhatikan mu nak!" kata ibunya,
sambil menangis.
Tiba-tiba, Lani sadar.
"Tidak apa-apa bu, yah, kalian tidak perlu meminta maaf. Karena, aku sudah memaafkan
kalian:"jawabnya.
"Kami berjanji Lani, akan lebih besar memperhatikan mu, dibandingkan pekerjaan
kami."kata ayah Lani.
Lani pun tersenyum
"Terimakasih Tia, kamu sudah membantu Lani selama kami tidak ada untuknya!" kata
ibunya, hingga mengeluarkan air mata.
"Sama-sama tante, om>" kataku, sambil ter senyum.
*****

Semenjak kejadin itu, Lani, ibu, dan ayahnya. Kembali bersatu seperti dulu lagi.

SELESAI :)

JAGALAH DIA UNTUKKU


Cerpen Hanin Fathimah Sholihah (Hanin Adzkiya November)
Hari ini aku sangat senang, aku habis jalan-jalan dengan Deni, orang yang aku sayangi. Hari-
hariku terasa bahagia dengan kehadirannya. Oh ya... aku adalah Nada, aku mempunyai
saudara kembar bernama Nida. Wajah kami tidak begitu mirip, karena kami tidak kembar
identik. Aku dan Nida tak dapat terpisahkan, dari kecil kami selalu bersama-sama, pakaian
kami selalu sama. Orang tuaku tidak pernah pilih kasih pada kami, tidak membeda-bedakan
kami berdua. Aku termasuk orang yang aktif dan ceria, sedangkan kembaranku lebih
pendiam.
***

Akhir-akhir ini aku sering merasakan sakit di kepalaku. Seperti hari ini, saat aku sedang
menjelaskan di depan kelas, kepalaku sangat sakit, tiba-tiba pandanganku buram dan
gubrak.... aku pingsan. Teman-teman dan guruku terkejut dan langsung membawaku ke UKS.

Saat aku sadar, Deni dan Nida sudah ada di sampingku.


syukurlah, kamu sudah sadar kata Deni.
aku dimana? Kenapa aku disini? aku bangkit sambil memegangi kepalaku yang masih
sedikit sakit.
tadi kamu pingsan Nad kata Deni.
iya Nad, tadi kamu pingsan saat menjelaskan di depan kelas Nida menambahkan.
aku ingat tadi aku menjelaskan di depan kelas, tapi aku tidak ingat lagi setelah itu
ya sudah, sekarang kamu istirahat saja kata Deni.
iya, Nad Nisa menambahkan.
***

Karena akhir-akhir ini kepalaku sering sakit, aku memutuskan untuk memeriksakannya ke
rumah sakit. Tapi aku tidak memberitahu Nida apalagi orang tuaku. Aku takut mereka
mengkhawatirkanku.
silakan duduk, nak Nada
terimakasih dok. Bagaimana hasilnya? Saya baik-baik saja bukan?
sebentar dokter mengamati hasil pemeriksaanku.
maaf nak Nada sepertinya saya harus memberitahukan ini langsung pada orang tua anda,
karena ini sangat serius
memangnya kenapa dok? Sampaikan saja pada saya, nanti akan saya sampaikan pada orang
tua saya
baiklah dokter menghela napas. nak Nada anda harus tabah, anda terserang penyakit
kanker otak stadium akhir jelas dokter.

Aku sangat terkejut mendengar penjelasan dokter. Seluruh badanku lemas. Aku belum bisa
berkata-kata.
penyakit ini sangat sukar untuk di sembuhkan, apalagi sudah stadium akhir
bagaimana dengan saya dokter?
saya hanya bisa memberikan obat untuk memperlambat perkembangan kanker itu,
selebihnya kita serahkan pada Tuhan
Aku menitikkan air mata. Kenyataan ini seperti mimpi.
***

Sekarang aku sering menyendiri dan diam. Ceriaku hilang setelah aku tahu kenyataan ini.
Tentu orang yang pertama kali menyadari perubahanku adalah Nida.
kamu kenapa Nad? Kok jadi diam begini.
aku nggak papa kok, cuman gak bersemangat aja
bener?
iya Nid, kamu tenang aja

Hampir semua orang bertanya mengapa aku berubah. Mereka heran tidak ada lagi Nada yang
ceria, sekarang menjadi Nada yang pendiam. Nida, orang tuaku, Deni dan semua teman-
temanku mulai menyadari perubahanku ini. Saat mereka menanyakan hal ini padaku, aku
hanya mencari-cari alasan yang masuk akal. Aku tahu, aku telah membohongi mereka semua.
Maafkan aku. Aku tahu lambat laun mereka mengetahui penyakitku ini. Tapi sekarang aku
belum siap memberitahu mereka, biarlah aku menanggung penyakitku sendiri.
***

Sudah dua bulan aku menyembunyikan penyakitku ini. Aku semakin tersiksa. Aku semakin
sering pusing, mimisan, dan pingsan. Orang-orang di sekitarku semakin mencurigaiku, tapi
aku masih bisa menyimpan dengan rapat hal ini dari mereka. Sampai suatu saat mama ke
kamarku dan ia melihatku sudah tergeletak di lantai dan darah keluar ari hidungku.

Orang tuaku segera membawaku ke rumah sakit terdekat. Aku tek sadarkan diri beberapa
hari. Dan saat aku dibawa ke rumah sakit, orang tuaku bertanya tentang keadaanku pada
dokter.
sebenarnya ada apa dok dengan anak saya? tanya papa.
iya dok, mengapa seringkali Nada pingsan dan mimisan? tambah mama.
maafkan saya bu, saya baru bisa memberitahu bapak dan ibu sekarang aku memang
meminta dokter untuk merahasiakan ini dari siapapun.
Nada mengidap penyakit kanker otak stadium akhir
Mamaku langsung menangis nendengar penjelasan dokter. Ia tidak percaya.

Papa berusaha tabah. bagaimana keadaannya sekarang?


kanker otak itu semakin berkembang dan saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya
bisa berdoa dan menyerahkan semuanya pada Tuhan saat ini
Orang tuaku terdiam.
***

Sudah tiga hari aku tak sadarkan diri. Dan selama itu pula Nida dan orang tuaku selalu
menemaniku. Juga Deni. Walaupun aku tak sadarkan diri tapi seolah-olah aku dapat
mendengar suara orang-orang yang menyayangiku.
mengapa kamu tidak memberitahukan ini padaku, Nad? Kasihan kamu, harus menanggung
penyakit ini seorang diri suara Nida terdengar. Ia menggenggam tanganku.

Setalah mendengar suara Nida, aku membuka mataku. Mereka sangat senang melihatku telah
sadar.
kamu sudah sadar, Nad. Kamu sudah tiga hari tak sadarkan diri kata Nida.

Aku tersenyum dan berkata umurku tidak lama lagi Nid, aku titipkan Deni padamu. Jaga dia
baik-baik dan kamu Deni aku mohon sayangilah Nida seperti kau menyayangiku, jagalah dia
demi aku ku satukan tangan mereka. Deni tersenyum padaku.
tapi Nad? ucap Nida.
sudahlah Nida, aku mohon penuhilah permintaan terakhirku ini. Aku tahu kau menyukainya.
Aku ingin kau bahagia aku memberikan senyum terakhirku.
Dan terdengarlah suara alat di sampingku, menandakan aku telah tiada. Senyumku
mengantarkanku pergi dari dunia ini.
Nadaaa.... teriak Nida.
--T.A.M.A.T--

KADO TERINDAH
Cerpen Mhey Viani
loe gila ya Win? Gimana bisa loe nyomblangin gue sama mantan loe. sergahku.
Firan sendiri yang minta, ya gue kabulin. Jawab Windi.

Sahabatku satu itu memang gila. Setelah kemaren aku dibuat bingung oleh sesosok penelfon
misterius, dan ternyata dia adalah mantan Windi yang ternyata aku kenal. Dan kagetnya, dia
sengaja meminta nomor handphoneku pada Windi. Setelah mengungkapkan identitas
sebenarnya, Firan malah lebih sering lagi menghubungiku.
Key, kapan bisa jalan sama loe.
kapan-kapan deh.jawabku

Sebenarnya aku merasa gak nyaman sama Windi, tapi perhatian Firan membuatku luluh.
Hingga suatu saat.
key, gue sayang sama loe. Loe mau jadi cewek gue? ucapan Firan mengagetkanku.
Firan..loe mantan sahabat gue, gue gak mungkin jadian sama mantan sahabat gue sendiri.
Gue takut dia tersakiti.
udahlah Key, Windi gak papa kok. Dia ikhlasin gue, gue tuh cuma temenan aja sama dia
sekarang.

Tiba-tiba panggilan telepon pun tertahan,dan tiba-tiba ada suara Windi.


udahlah Key,santai aja. Kita udah gak ada apa-apa,lagian gue gak mungkin ngabulin
permintaan dia buat minta comblangin sama loe kalau gue masih sayang sama dia. Ucap
Windi.
tapi Win
udah denger sendiri kan,,Windi aja gak pa-pa. Firan memotong kalimatku dan Windi pun
mematikan teleponnya.
jadi gimana? Tanya Firan lagi.
sebenernya sih gue juga sayang sama loeCuma..
makasih ya Key,gue seneng banget. Jadi lo mau jadi pacar gue. Lagi-lagi Firan memotong
kalimatku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
iya Fir..jawabku kemudian.
***

Gak terasa udah seminggu aku jadian sama Firan. Memang indah,karena perhatian Firan
mampu melunakkan hatiku. Namun lama kelamaan aku semakin merasa bersalah dengan
Windi. Hingga suatu hari Firan terkejut dengan ucapanku.
Fir..kayaknya hubungan kita udah gak bisa dilanjutin lagi deh. Aku terus merasa bersalah
sama Windi,aku tahu perasaan dia gimana ngeliat kita jalan berdua. Walaupun dia gak bilang,
tapi aku tahu Fir.. ucapku.
Key,Windi gak kayak gitu. Dia ikut seneng kok ngeliat kita. Lagian gak ada apa-apa juga
kan, gak ada yang berubah kan dari sikap Windi sejak kita jadian.
iya Fir..tapi aku tahu perasaan dia sebenarnya. Lebih baik kita temenan aja dulu ya. Aku
tetap nekad pengen putus sama dia. Sesaat dia terdiam.
hmmya udah deh kalau memang itu mau kamu. Tapi kita tetep temenan kan,gak pa-pa kan
kalo aku tetep sayang sama kamu. Ucap Firan kemudian.

Aku hanya mengangguk lalu pergi dari hadapan Firan.


Suatu hari Windi mendekatiku, ternyata dia heran melihat aku dan Firan sudah jarang
kelihatan berdua.
Key..mana Firan. Gue gak pernah lagi liat dia sama loe jalan.
mmmgue udah gak sama Firan lagi Win. Gue gak enak sama loe,gimana perasaan loe liat
kita jalan, loe kan mantannya dia. Jawabku jujur.
ya ampun Keygak gitu juga kali. Gue nyantai aja,gue gak ada rasa apa-apa lagi sama dia.
Ngapain sih loe mutusin dia,,gue ikut seneng liat dia sama loe jadian. Gue tahu loe baik buat
dia. Jelas Windi. Aku hanya bisa terdiam dan mengangkat bahu.
ya gimana lagi,, udah putus juga,udah kejadian.lanjutku kemudian.
gue yakin bentar lagi dia bakal minta loe buat balikan lagi sama dia. Gue tahu Firan
gimana.

Sepulang sekolah, tanpa ganti baju lagi aku langsung merebahkan diri di kasur empukku.
Saat baru akan memejamkan mata, dering handphone mengejutkanku dan tertera nama Firan
di sana.
iya Fir..kenapa?tanyaku
kamu lagi ngapain Key? Udah makan belom? Aku ganggu gak? Tanya Firan bertubi-tubi.
gak lagi ngapa-ngapain. Gak kok gak ganggu. Jawabku seadanya.
gimana kabar kamu, baik-baik aja kan? Tanya Firan lagi
baik kok..kamu?
baik juga. Ya udah ya Key,baik-baik ya. Aku cuma pengen denger suara kamu aja kok.
Ucap Firan kemudian dan dia langsung mematikan telepon. Mendengar ucapan terakhirnya,
aku terdiam.
***

Setelah hampir 1 bulan aku putus dengan Firan, muncul seorang yang ingin jadi pengganti
Firan. Namun sama dengan Firan dulu, aku belum kenal lama dengan Gion. Tapi untuk
sekedar melupakan Firan bolehlah pikirku. Akhirnya setelah aku pikir-pikir,aku juga
menerima Gion. Gak kerasa hubunganku dengan Gion bertahan lama hingga hampir 6 bulan,
namun semakin lama aku semakin merasakan bahwa sifat Gion mulai berubah. Dia emosian
dan mulai posesif serta temperamental. Aku mulai mencoba untuk lepas dari dia, namun
ancaman-ancamannya terus membuatku takut. Hingga hampir satu bulan aku bertahan dalam
keadaan penuh tekanan, hingga akhirnya tiba-tiba sosok Firan datang lagi.
hai Key, gimana kabar loe. Kok kelihatannya loe sakit yah? Pucat banget wajah loe ujar
Firan saat bertemu di sebuah kafe. Memang sejak bermasalah dengan gion, aku mulai
berubah. Karena penuh tekanan, aku sering memikirkan masalah itu sehingga kesehatanku
menurun. Aku hanya memendamnya sendiri karena aku takut menceritakannya kepada
orangtuaku.
hmm..gak pa-pa kok. Loe ngapain disini? tanyaku mencoba menghindar dari pertanyaan
Firan.
gak usah bohong Key, gue tahu dari mata loe. Cerita sama gue, gue bakal bantu loe. Ucap
Firan terdengar khawatir.

Akhirnya setelah diyakinkan oleh Firan, aku pun menceritakan semua yang aku alami dengan
Gion hingga tanpa sadar aku meneteskan airmata di hadapan Firan.
hmm..maaf ya Fir, gue jadi cengeng kayak gini.
udahlah Key, keluarin aja semua kekesalan loe. Gue akan dengerin loe kok, tenang aja yah.
Gue pasti ada buat loe. Firan merebahkan kepalaku di bahunya. Saat itulah aku merasa
tenang dan damai ketika berada di samping Firan.
Firmaafin gue yah dulu gue mutusin loe tiba-tiba. Tanpa alasan yang jelas pula. Aku
tiba-tiba membahas masa-masa yang bagiku itu adalah hal bodoh yang telah kulakukan.
ya udahlah Key,,udah terjadi juga. Sekarang juga kalo loe mau, gue pengen ngajak loe
balikan lagi. Ucap Firan yang serta merta mengagetkanku.
Fir..loe serius. Loe kan tau gue masih sama Gion.
iya Key, gue tau. Tapi gue juga tau kalo hati loe tuh gak sama Gion. Kita bisa kok backstreet
dari dia, gue bakal nyimpan rahasia ini Cuma untuk kita berdua. Jawab Firan meyakinkanku.
loe yakin Firan..gue belum bisa lepas dari dia. Loe yakin semuanya akan baik-baik aja?
gue yakin semuanya akan baik-baik aja. Gue akan tanggungjawab kalo ada apa-apa.
iya Firgue mau. Makasih ya Fir, loe janji akan nyimpan rahasia ini baik-baik. Gue juga
akan usahain untuk secepatnya lepas dari Gion. Yakinku.
gue janji buat loe. Ucap Firan sambil mencium keningku.
***

Udah 2 minggu aku backstreet sama Firan dari Gion. Aku kadang merasa bersalah sama
Firan, gimana bisa aku mengiyakan permintaanya untuk jadi yang kedua. Sementara aku
tahu, itu pasti akan menyakitkan. Suatu hari aku mendengar sebuah gosip tentang Firan.
Key, mantan loe si Firan tuh kemaren jalan sama Mita. Mereka jadian yah? Bukannya Mita
pacarnya Dio. Tanya kak Vina, sepupuku.
emangnya kenapa kak? Kamu kenal sama Dio n Mita? jawabku sedikit kaget mendengar
pertanyaan itu. Jelas saja, itu menyangkut Firan.
kenal lah, Dio kan sepupunya Riko. Makanya kakak Tanya sama kamu.

Aku baru ingat kalau Riko, pacarnya kak Vina sepupuan sama Dio dan rumahnya pun
deketan.
oh iya kak. Trus kenapa kak? Kakak mau aku nanya sama Firan. Ih gak banget lah kak, nanti
dia mikir aku pengen balikan sama dia, sibuk ngurusin dia. Jawabku.
iya ya. Ya udah deh,gak usah diurusin ,biar Dio tahu sendiri aja. Jawab kak Vina kemudian.

Padahal sebenarnya aku juga pasti akan bertanya sama Firan, secara Firan pacarku.
Walaupun jadi yang kedua, tapi bagiku Firan tetep nomor satu. Dan mendengar dia jalan
sama cewek lain, sontak aku merasa kaget.
Fir,loe kemaren jalan sama siapa? aku mencoba buat tidak langsung menayakan tentang
Mita.
aku kemaren gak jalan kok Key, aku dirumah aja. Jawab Firan.
beneran?
iya Key, beneran. Yakin Firan.
oh, kayaknya Firan mulai nyoba boong sama gue. Apa maksudnya? Apa dia udah bosen
sama hubungan ini. Tapi kenapa harus dengan cara kayak gini? Kalo udah gak kuat, kenapa
gak bilang aja? Lagian kemaren gue juga gak minta, kan dia sendiri yang minta dijadiin yang
kedua, lagian walaupun yang kedua, dia gak harus bebas jalan sama cewek lain juga dong.
Batinku yang merasa kesal telah dibohongi Firan.
Key..kenapa diem? Tanya Firan.
oh nggak, cuma pengen tahu aja. Oh iya Fir, gue cuma mau bilang. Kalo loe udah gak tahan
dengan hubungan kita ini, kita cukup disini aja. Gue juga gak mau loe terus-terusan berada di
posisi kayak gini. Loe bisa bebas juga kan mau jalan sama cewek lain, mau nyari cewek lain
tanpa ada yang ngalangin. Ucapku seketika.
loh kok? Gue seneng kok di posisi kayak gini, gue nikmatin.
udahlah Fir, jangan boong. Kemaren loe jalan sama Mita kan. Kalo loe udah jenuh sama
hubungan ini, loe bisa bilang sama gue, bukan dengan cara kayak gini. Gue tahu loe yang
kedua buat gue, tapi bukan berarti loe bisa bebas jalan sama cewek lain. Sergahku.
oh..jadi karena itu loe marah sama gue? Iya gue akuin kemaren gue jalan sama Mita, tapi
udahlah gak ada tapi-tapian. Sekarang gue bebasin loe buat jalan sama cewek lain. Udah
cukup loe jadi yang kedua buat gue. Selamat bersenang-senang ya. Maafin gue udah jahat
sama loe. Aku memotong kalimat Firan dan langsung mematikan panggilan. Beberapa kali
Firan mencoba menelpon balik, tapi tidak kuhiraukan.
***

2 hari lagi ultahku yang ke-17 dan aku berniat untuk merayakannya. Namun hingga ultahku
kali ini, sudah sekitar 1 bulan masalahku dengan Gion tak kunjung usai. Firan yang selalu
membuatku tenang, juga telah hilang.

Saat malam pesta ultahku, yang datang pertama kali adalah Gion dan dia langsung terus
berada di sampingku dan ikut menyalami teman-temanku yang datang.
ih..ngapain sih nih Gion disini terus.Ya Allah..aku mohon jauhkanlah Gion dari kehidupanku
untuk selama-lamanya. Gue gak mau kenal dia lagi. Gumamku dalam hati.
kak, risih nih sama Gion. Maunya sampingku melulu.oh iya, kak Riko mana? Aku curhat
sama kak Vina,satu-satunya orang yang tahu masalahku dengan Gion.
kamu pindah aja, jangan ditanggepin,anggap aja dia gak ada kalau dia terus deketin kamu.
Kak Riko bentar lagi dateng kok, dia lagi nunggu mobilnya yang dipake Dio buat jalansama
Mita.
loh masih sama Mita? Kan kemaren kakak bilang Mita jalan sama Firan.
iya sih, ternyata Firan sama Mita itu cuma temen deket. Mereka udah lama temenan dan
memang sering jalan berdua,kemaren juga Mita minta Firan buat nemenin dia ke took buku
soalnya Dio lagi ada kegiatan. Dio juga kenal kok sama Firan. Jelas kak Vina. Aku kaget dan
terdiam mendengarnya, kemaren aku udah curiga sama Firan bahkan langsung mutusin dia.
Dia gak sempat ngejelasin soalnya aku udah motong kalimatnya duluan. Aku pun merasa
menyesal karena selama ini Firanlah yang selalu nenangin aku.

Satu persatu teman-temanku datang, dan pada saat acara tiup lilin akan dmulai. Teman-
temanku yang berada di depan terdengar riuh, sempat terdengar teman perempuanku
menjerit. Kamipun mencoba melihat apa yang terjadi. Hampir semua teman-temanku ikut
berlarian ke depan rumahku. Saat aku berlari, aku melihat sebuah kendaraan terbaring di
depan pagar rumahku dan aku tercengang melihatnya. Itu adalah motor Firan.
Firan..itu motor Firan. Aku yakin itu. Tapi kenapa Firan disini? Dari tadi aku juga gak
ngeliat Firan, dan aku juga gak pernah ngasih tahu dia kalo aku ngerayain pesta. Au
mencoba menerka-nerka.
Key..Firan. kak Vina langsung menghampiriku dan menarik tanganku kearah temen-
temenku yang sedang mengerumuni sesuatu. Saat melihat apa yang ada di tengah-tengah
mereka, seseorang yang terbujur kaku dengan kepala bersimbah darah. Aku terduduk di
hadapannya dan sontak aku menjerit sambil meneteskan airmata.
Firanbangun Firan. Kenapa bisa kayak gini. Bangun Firan.. aku menjerit
memanggil nama Firan. Namun Firan tetap terbaring lemah, beberapa detik kemudian mata
Firan perlahan terbuka, dia tersenyum dan dengan bersusah payah dia mencoba meraih
pipiku. Aku meraih tangannya dan melekatkannya ke pipiku. Setelah itu dia kembali
memejamkan mata dan perlahan tangannya terlepas dari genggamanku.
Firan..aku menangis dan langsung memeluk firan. Tak kuhiraukan gaun
pestaku telah dipenuhi oleh darah. Gion mendekatiku dan menarikku. Tak kuhiraukan
panggilannya, aku malah menepis tangannya dari pundakku. Kemudian kak Vina
mendekatiku.
Key, tadi kakak nemuin ini di dekat tubuh Firan. Kak Vina memberikan sebuah kotak
mungil yang lucu.
dengan meneteskan airmata, perlahan aku membuka kado tersebut. Isinya adalah sebuah
kalung bertuliskan my angel dan sebuah kartu kecil. Aku membaca tulisan di kartu tersebut.
Keyla my angel,happy birthday ya. walaupun kisah kita begitu singkat,tapi semuanya begitu
indah. Makasih ya udah jadi my angel. Aku akan selalu sayang kamu.

Setelah membaca tulisan itu, aku kembali menangis histeris memanggil nama Firan. Ternyata
Firan ingin memberikan kado untukku. Aku menyesal karena beberapa hari yang lalu, aku
marah-marah sama Firan dan bahkan sampai mutusin dia karena kecurigaanku yang ternyata
salah. Ternyata Firan masih ingat dengan ultahku, dan dia memberikan sesuatu untukku,
namun sekarang penyesalanku terlambat. Firan telah pergi dan aku hanya bisa
mengungkapkan penyesalan itu pada pusaranya nanti. Tak lama ambulan datang membawa
jasad Firan. Gion pun kembali mendekatiku dan mencoba menenangkanku.
udahlah Key, Firan udah gak ada, gak usah ditangisin. Ucap Gion.
diem kamu. Ini semua gara-gara kamu. Aku tuh gak pernah ngarepin kamu ada di pestaku
malem ini, udah cukup kamu bikin hidupku tersiksa, penuh tekanan. Bukan hanya sakit hati,
tapi sakit jiwa raga. Kamu tuh manusia gak punya hati, aku nyesel kenal sama kamu. Pergi
kamu dari hidup aku, sebelum aku berbuat nekad. Silahkan kamu bertobat sebelum kamu
nyusul Firan dan kamu bakal tersiksa lebih dari rasa sakit aku yang udah kamu bikin tersiksa.
Gue benci loe, jangan pernah anggap gue ada. Gue gak pernah dan gak akan pernah mau lagi
denger nama loe dan liat wajah loe dhadapan gue. Aku memaki-maki Gion di hadapan
teman-temanku. Malam itu semua kekesalan yang ku pendam selama ini seketika ku
keluarkan.
Keyla Gion mencoba memegang tanganku dan aku langsung menepisnya.
pergi..gue gak butuh loe. Loe cuma bikin hidup gue hancur. Aku menunduk, enggan
menatap wajah Gion. Gion terdiam di hadapanku.
gue bilang pergi, jangan harepin gue lagi buat kenal sama orang gk punya hati kayak loe.
Dosa terbesar gue kenal sama loe. Loe tau itu? makiku sambil terus menunduk. Aku pergi
meninggalkan Gion dan teman-temanku. Gion kembali menarik tanganku.
jangan coba sentuh gue. Aku menepis tangan Gion dan berlalu pergi tanpa menghiraukan
tatapan heran teman-temanku yang penuh tanda tanya karena makian-makian yang
kulontarkan tadi. Aku menarik tangan kak Vina dan memintanya untuk membawaku ke
rumah sakit dimana Firan dibawa. Dari kejauhan tak lama kulihat Gion juga berlalu pergi.
Firanmaafin gue. Maafin sikap gue ke loe, gue udah berpikiran buruk sama loe. Gue
nyesel sempet marah-marah sama loe dan bahkan mutusin loe. Disaat gue ingin
memperbaikinya, loe udah pergi Fir. Walaupun loe pernah jadi yang kedua buat gue, tapi bagi
gue loe tetep yang pertama dan terbaik untuk gue. Gue akan selalu jadi angel buat loe Fir.
Semoga loe tenang yah disana, do ague akan selalu ada buat loe. Simpan cinta gue di tidur
panjang loe ya. I love you. Bisikku kemudian di telinga Firan saat aku telah berada di
hadapan jasad Firan. Dihari ultahku ini, Firan memang telah pergi. Namun cintanya akan
selalu hidup dihati aku, dan kado ituadalah kado terakhir dan terindah dari Firan.

KETIKA CINTA DI PISAHKAN WAKTU


Cerpen Irfan Sona

Pintu yang berat itu terdengar berbunyi di buka oleh orang-orang.Terlihatada dua orang
wanita muda yang masuk melalui pintu yang terbuka tadi,dengan menggunakan pakaian ala
indonesia. Dari jauh terlihat jelas bahwa dua orang itu adalah kakak beradik,karena air muka
mereka tampak jelas sekali tidak ada perbedaan yang tertua di antara mereka bernama Putri
dan adiknya bernama Tari. Ketika asyiknya mereka menikmati indahnya pemandangan dan
ikan-ikan yang ada di akuarium itu, sampai-sampai mereka tidak sadar kalau merekalah
orang yang paling pertama datang ke gedung akuarium itu. Karena sudah terlalu lama mereka
berada di situ,tiba-tiba Putri ingin mengajak adiknya Tari untuk pulang. Namun Tari tidak
memperdulikan itu,matanya terus tertuju pada ikan-ikan yang indah dan berwarna warni yang
ada di pojok gedung akuarium itu.Wah....indahnya ikan-ikan ini terdengar suara dari mulut
Tari memuji ikan itu. Dari alunan suara itu tampak sekali perbedaan kedua bersaudara
itu,Putri adalah orang yang tidak mudah kagum akan sesuatu, akan tetapi dia lebih
memikirkan pekerjaannya sebagai seorang putri desa, lain halnya dengan Tari dia adalah
seorang anak yang mudah kagum akan sesuatu, dan dia tidak memikirkan nasib dirinya
sendiri.

Hari sudah menunjuki pukul 09.00,dan terdengar bunyi orang membuka pintu yang kedua
kalinya. Terlihat dari pojok gedung itu tampak sekelompok keluarga masuk kedalam gedung
akuarium itu.Yang tertua di antara mereka berjalan dengan begitu cepat menuju ikan yang
indah-indah di dalam gedung akuarium itu. Melihat kegirangan saudara-saudaranya itu,tak
kuasa yang paling bungsupun juga memaksa turun dari pangkuan ibunya dan ikut berlari
bersama saudara-saudaranya. Tak lama kemudian masuklah seorang pemuda yang berpakaian
rapi dan mengenakan jas berwarna kehitam hitaman. Sesampainya di dalam gedung, pemuda
itu terus melangkah hingga sampai di tempat Putri dan Tari. Melihat dua gadis itu ia tak tahu
apa yang akan di lakukannya,satu cowok dan dua gadis.

To, panggil anak kecil dari beberapa bersaudara tadi memanggil kakaknya yang tertua di
antara mereka yaitu Toto. Sambil berjalan dan melihat ikan-ikan yang ada di akuarium
tersebut, tanpa di sadari nya kalau ia sudah tersesat ke tempat orang yang tidak di
kenalinya.Tantepanggil anak itu. Mendengar panggilan itu dengan cepat Tari menoleh
kepada anak itu.Iya...... jawab Tari. Anak itupun terdiam dan bingung, karena ternyata
yang dia panggil itu bukanlah orang yang dia kenal, dan ternyata ia sudah tersesat ke tempat
orang yang lain. Tak lama kemudian datanglah ibu dan kakak-kakak nya. Melihat keluarga
yang harmonis itu langsung terpancar senyum manis dari wajah Tari. Adek...mau
cokelat ?? tanya Tari. Mendengar pertanyaan itu,langsung anak tadi berjalan ke tempat laki-
laki yang baru masuk tadi,dan kemudian dia mengambil cokelat itu. Setelah dia mendapatkan
cokelat itu, kemudian dia langsung berlari dengan penuh riang gembira menuju kepada
saudara-saudaranya dengan maksud untuk memamerkan cokelat tersebut.

Waktu sudah menunjuki pukul 11.00 WIB, tak lama memudian keluarlah Putri dan Tari dari
dalam gedung tersebut. Merekapun langsung mengambil sepeda yang mereka simpan di
tempat parkiran sepeda, dan langsung bergegas pulang. Akan tetapi,di tengah perjalanan
mereka bertemu lagi dengan laki-laki tadi yang ada di akuarium tempat mereka berkunjung
tadi.
Siang nona-nona.... sapa laki-laki itu,
Siang juga..... jawab Tari.
O ya....,ngomong-ngomong kalian mau ke mana, kok sepertinya buru-buru.....
I ya ni mas, kami memang lagi buru-buru, soalnya ayah sudah menunggu kami di rumah
rumah dari tadi malahan
O... gitu ?? kalau gak keberatan kita pulang sama-sama sajaPinta laki-laki itu.
Emangnya mas mau kemana...??? tanya Putri.
Saya mau pulang ke rumah, rumah saya terletak di jalan Cendrawasih, komplek Mawar no
02.
O..... kalau gitu kebetulan dong, rumah kami juga terletak di jalan cendrawasih.
Ya sudah kalau kalian tidak keberatan, boleh saya ikut dengan kalian berdua...???
Tapi gimana ya.....,soalnya kami harus kepasar dulu untuk beli oleh-oleh buat bibi di
kampung.
O..... gak masalah,kebetulan saya juga mau cari makanan di pasar.

Karena asyiknya mengobrol,sampai-sampai mereka lupa kalau mereka sudah sampai di


pasar.Padahal merea belum juga belum kenal satu sama lain.
Eh Tar... seprtinya kita sudah sampai di pasar cetus Putri di balik keseriusan mereka.
O......iya ya kita sudah sampai ni
Mas, kami cari pesanan ayah dulu ya
O iya ya.... silakan, biar saaya tunggu di sini aja ya...
O... gak usah repot-repotlah mas, mendingan mas pulang aja dulu
Ngak..., ngak masalah ko biar saya tunggu saja di sini, kebetulan saya juga mau cari
makanan dulu.
Ya udah deh,kalau memang mas maunya gitu, ya terserah mas ajalah

Setelah Putri dan Tari mencari pesanan ayahnya, merekapun langsung pulang.Di tengah
asyiknya perjalanan, tiba-tiba laki-laki yang dari tadi bersama mereka menanyakan nama
mereka.Mbak, saya boleh tanya sesuatu gak sama mbak berdua, soalnya engkan dari tadi
kita mengobrol tapi saya dan mbak kan belum kenal satu sama lain...
Boleh.....apa ?? tanya Putri.
Saya Cuma mau tanya siapa nama mbak berdua ini, kalau nama saya Andika.
Saya salah satu dari mahasiswa di Universitas Indonesia.
Kebetul saya lagi menyelesaikan sekripsi ujian akhir saya
Wah keren banget, ungkap Tari.
Kalau saya ......
O... ya, nama saya Putri dan ini adik saya namanya Tari.
Saya seorang putri desa di desa ini dan adik saya sekarang lagi kulyah di Universitas
Teknologi Bandung. Akan tetapi Tari orangnya paling cepat kagum akan sesuatu.Maklum
sejak di tinggal ibunya, dia memang suka di manja sama ayah.
Eh... jadi malu ni cetus Tari.
Sementara saya sendiri lagi sibuk mengurus organisasi perkumpulan putri-putri desa, dan di
tambah lagi harus mengurus rumah, ayah, dan adik saya ini.
Emangnya ibu kalian kemana.... tanya Andika.
Ibu kami sudah lama meninggal, sekarang kami hanya tinggal bertiga dengan ayah.
O gitu......
maaf saya gak bermaksud buat kalian sedih
Nggak apa-apa ko mungkin ini smua sudah kehendak Allah.
Ya si, tapi saya harap kalian harus sabar dan tetap tabah ya...
terutama kamu Tari,kamu harus bantu kakak kamu, kan kasihan dia, sudahlah sibuk dengan
pekerjaannya di tambah lagi harus mengurus rumah, kan kasihan....
Tak lama kemudian Tari dan Putri pun tiba di persimpangan jalan rumah mereka.Andika
mungkin kita harus berpisah sampai di sini, karena kami tinggal di jalan ini, ngak jauh kok,
paling-paling lima menit dari sini, sudah sampai. Cetus Putri
Akhirnya Putri, Tari dan Andika pun berpisah di tengah jalan.Sepanjang perjalanan pulang,
Andika hanya terbayang-bayang wajah kedua gadis itu, apalagi dengan Tari yang dari tadi
hanya bercanda dan selalu penuh senyuman kepadanya.
Sesampainya di rumah, Putri danTari sudah di tunggu ayahnya, karena mereka ingin pergi ke
rumah bibi mereka.Tak lama kemudian merekapun berangkat ke rumah bibi mereka, untuk
mengantar hadiah yang mereka belikan tadi sekaligus untuk menjenguk keponakan mereka
yang sedang sakit.

Pagi-pagi sekali Andika sudah pergi ke kampusnya. Dengan wajah yang penuh
kegembiraan,diapun terus mengayuh sepedanya.
Ya Allah, seandainya pagi ini kau pertemukan aku dengan Tari, mungkin aku tak bisa
berkata- kata lagi untuk memujimu. Ucap Andika kepada dirinya sendiri.
Kring...kring...

Bunyi suara sepeda di belakang Andika.


Pagi mas... sapa Tari
Hay....pagi juga sahut Andika.
Wah cantik banget, ungkap Andika dalam hati
Mas....ko ngelihatnya seperti itu, apa ada yang salah atau ada yang aneh gitu dengan saya
tanya Tari.
Ngak..., ngak ko ngak ada yang salah apalagi aneh.
lalu apa dong....
gini saya heran aja , dan gak nyangka aja kalau pagi ini bisa bertemu dengan orang uang
secantik dan semanis dirimu
ii....., mas ini gombal deh.
ngak..., emang benar kok, kamu pagi ini terlihat tampak lebih cantik dari pada kemaren,
jangan-jangan kamu mau ketemu pacar kamu ya....
pacar......... saya belum punya pacar mas, kalaupun ada ya.... itu mas kali.
sorry.....,Cuma bercanda.
Sambil tertawa mereka terus mengobrol sampai di depan kampus Andika.
Sekembalinya Tari ke rumah, dia tampak ceria dan mulai senang untuk mengurus bunga-
bunganya lagi dan mau membantu kakaknya. Sampai-sampai kakak dan ayahnya pun heran
melihat tingkah laku Tari akhir-akhir ini. Itu semua terjadi saat Tari mengenal Andika dan
mungkin karena kedekatan mereka.

Andika adalah anak pak Sunarto, salah satu orang yang terpandang di desa makmur. Dia juga
selalu perduli akan kebutuhan orang lain dan keluarganya.

Hari itu tampak Andika lebih awal dari hari biasanya pergi ke kampus. Di tengah perjalanan
ke kampus. Pikirannya hanya tertuju pada Tari. Maklum mereka juga sudah sangat dekat.
Tiba-tiba taripun muncul dari belakang Andika, seraya mengucapkan,selamat pagi
tuan......Andika ppun terkejut bukan kepalang, dia sungguh tak menyangka kalau pagi itudia
bisa bertemu lagi dengan Tari. Soalnya sudah tiga hari dia tidak berjumpa dengan Tari, karena
Tari ikut pergi ke desa untuk menjenguk bibinya di sana,
Wah... kamu cantik sekali Tari
kamu tu ya paling bisa kalau merayu dan bercanda.
enggak...., saya tidsk bercanda, tapi ini kenyataan.
mm....... terima kasih ya atas pujiannya.

Tari memang terlihat sangat cantik, apalagi baju yang dia pakai sangat mndukung wajahnya,
wajar aja kalau dia trlihat sangat cantik.
o ya kamu hari ini ada acara tidak..
kalau tidak ada boleh dong saya main ke rumah kamu, sekalian berkenalan dengan ayah
kamu
kalau acara si gak ada tu
pi saya mau bantu kakak mempersiapkan undangan buat perkumpulan putri desa lusa
soalnya kakak saya terpilih sebagai ketua umum perkumpulan putri desa
O gitu, kalau memang lagi sibuk, lain kali aja deh saya main ke rumah kamu ya.....
bolehkan.......
Iya, pasti boleh kok, nanti mas datang saja ke rumah saya, kebetulan ayah juga lagi libur.

Pagi itu tepat pukul 08.00 Andika bergegas untuk pergi ke rumah Tari. Dia memakai baju
kemeja lengan panjang berwarna putih dan di lapisi dengan jas hitamnya, dan dia klihatan
lebih tampan sekali dari biasanya. Setelah sampai di rumah, Andika duduk di halaman rumah
yang di penuhi kembang dan mawar berwarna putih yang begitu harum baunya.
Subhanallah...., indah sekali kebun bunga ini ucap Andika kekaguman

Tak lama kemudian Tari pun keluar dari rumahnya untuk menemui Andika yang dari tadi
sudah menunggunya di perkarangan rumahnya.
Pagi mas..... sapa Tari
eh..... kamu, pagi juga
maaf ya sudah membuat mas lama menunggu
O... gak kok, saya juga belum terlalu lama datang
ngomong-ngomong mana kakak dan ayah mu
Ko sepi sekali rumah ini
o... itu, kakak lagi sibuk untuk persiapan kongres kongres putri desa besok dan ayah lagi
mandi
mas masuk yok

Sambil menunggu ayah Tari keluar kamar, mereka sibuk mengobrol yentang putri desa yang
akan di adakan besok. Apalagi yang akan bicara untuk memberikan sambutan adalah kakak
Tari sendiri yaitu Putri.
Kakak saya memang selalu sibuk untuk mengurus organisasinya, apalagi mereka sekarang
sudah bekrja sama dengan perempuan-perempuan kota untuk di jadikan anggota organisasi
mereka. Ungkap Tari di tengah keheningan.
mengapa kamu tidak mau bergabung dengan organisasi kakak mu itu...
ya si....,sebenarnya saya mau ikut, tapi saya gak tahu caranya, apalagi sayakan belum
berpengalaman.
kalaulah kamu mau masuk organisasi itu,pastilah kamu akan mendapat pengalaman yang
luar biasa apalagi bisa bertemu dan bisa berkenalan dengan perempuan di bangsa kita ini.
akhir-akhir ini perkumpulan para pemuda Indonesia juga gak kalah hebatnya dari apa yang
kakak mu lakukan.
ya, nanti saya akan coba mendaftarkan diri saya ke sana dan kalau di terima, maka saya
akan berusa untuk membawa nama baik perempuan bangsa ini, agar menjadi perempuan
yang kuat dan bermatabat di mata dunia.
Kalau kamu memang serius,maka saya akan dukung kamu
Akhirnya ayah Tari pun keluar untuk menemui mereka. Setelah sekian lama mereka
mengobrol, Andika pun meminta izin untuk membawa Tari jalan-jalan. Dan ternyata ayah
Taripun mengizinkan. Setelah mendapatkan izin dari sang ayah, Tari pun bersiap-siap untuk
pergi. Tak lama kemudian Tari dan Andika pun pergi untuk berjalan-jalan. Sementara itu
kakak Tari di panggil ayahnya keluar dan di suruh ayahnya untuk menunggu adiknya sampai
pulang.
Dari balik kaca rumah,Putri melihat adiknya yang berjalan teramat mesra laksana sepasang
kekasih. Dari kejauhan dia masih tetap saja memandang gerak gerik adiknya itu hingga
akhirnya tak terlihat lagi. Putri pun tampak termenung di beranda rumah,dia seperti
melamunkan sesuatu.
Toto, kalau saja kamu masih di sampingku hingga saat ini, pasti saya tidak akan merasa
kesepian seperti ini, dan saya juga merasa iri dengan kebahagiaan adik saya dan temannya
Andika. Ucap Putri sambil menangis.
Dia sepertinya teringat dengan bekas tunangannya dulu, dan mungkin saja dia masih
menyimpan rasa rindu di hatinya terhadap tunangannya itu,akan tetapi dia selalu mencoba unt
k mengubur rasa itu dari dari dalam hatinya, hingga dia memutuskan untk mencari pengganti
toto. Karena dia tidak ingin di sakiti lagi untukedua kalinya. Hal itu juga yang mungkin
menyebabkan dia jadi keras dan tidak cepat kagum akan sesuatu,lain halnya dengan Tari dia
memang belum merasakan di khianati cinta.

Di sepanjang perjalanan Andika dan Tari selalu bercanda tawa tanpa mengenal lelah dan
memperdulikan waktu.sampai pada saat di mana tempat yang mereka tuju telah di dekati,lalu
merekapun tmpak bersiap-siap untuk turun ke bawah air terjun yang sangat indah.
Wah, luar biasa sekali Allah menciptakaan alam dan pemandangan yang seindah ini.cetus
Tari yang kagum akan keindahan alam yang di ciptakan oleh sang illahi itu.
Tari kamu harus ingat apa kata ayahmu tadi, kamu jangan sampai terlalu kagum akan
sesuatu.
O.... gak kok
saya hanya terharu saja pada keindahan alam di kaki pegunungan ini.
soalnya tempat ini selalu mengigatkan saya pada sang bunda dan masa kecil saya.
dulu saya selalu di ajak bunda untuk pergi ke tempat-tempat seperti ini, dan sekarang saya
sudah tidak bisa merasakan itu lagi hanya baru kali ini. Ucap Tari sambil meneteskan air
mata.
Tari, maafkan saya
saya tidak bermaksud membuat kamu sedih, saya hanya mau ingatin kamu pada pesan ayah
kamu tadi.
O..... gak apa-apa kok,ini semua memang salahku yang terlalu larut akan semua ini.

Waktu sudah menunjuki pukul 17.30 WIB, dan kini Tari dasn Andika harus bergegas pulang.
Karena mereka tidak ingin mengecewakan dan membohongi ayah Tari.
Andika, sepertinya kita harus lekas pulang, karena hari sudah terlalu sore, nanti kita di cari
ayah
ok, kalau begitu saya ambil tas dulu ya.
O.... ya silakan.

Padahal baru saja Andika ingin mengungkapkan isi hatinya kepada Tari, tetapi mereka harus
segera pulang. Supaya mereka tidak di cari sama ayahnya Tari. Tak lama kemudian Tari dan
Andika pun muncul di pekarangan rumah Tari, di situ hanya tampak kakaknya Tari yang dari
tadi menunggu mereka pulang.
Andika sepertinya itu kakak, ucap Tari.
I ya...... itu memang kakak kamu yang lagi nungguin kamu.
Assalamualaikum........ sapa Tari dan Andika kepada putri.
Waalaikumusallam......
"Eh kalian sudah pulang
bagaimana jalan-jalannya, Asyik gak
O...... itu, pasti dong
jalan-jalannya asyik bangat
Hai Andika.....
Hai juga ......
O ya masuk yok, nanti saya buatin air. Mungkin kamu haus, karena sudah satu harian jalan-
jalan
Tari kamu tunggu di sini bentar ya, kakak mau ambilkan air dulu kedalam.
E...... sudahlah Putri gak usah repot-repot, lagi pula saya mau pulang
Kasian mama di rumah sendirian.
Sekali lagi terima kasih aja atas tawarannya, sekarang saya permisi pulang dulu ya.
O ya silakan
Andika, terima kasih ya atas......... Tiba- tiba ucapan Tari dia hentikan sambil dia
tersenyum dengan manisnya.

Andikapun bergegas pulang ke rumahnya, karena dia tidak mau membiarkan mamanya
sendirian di rumah sore-sore seperti ini. Maklum ayahnya memang lagi tidak ada di rumah.
Sesamapainya di rumah Andika langsung masuk ke dalam sambil mengucapkan salam.
Assalamualaikum.......
ma......mama..... panggil Andika mencari mamanya.
waalaikumsalam.......
Ada apa si Dika kamu kok teriak-teriak.
seperti orang gila saja.
Ah... mama ini, bisanya Cuma becanda aja.
O ya ma,Dika mau mandi dulu ya. Soalnya badan Dika sudah bau bagat ni, habisnya satu
harian main di bawah sinar matahari dan air terjun di bawah kaki gunung Cempaka.
Ya sudah, cepat mandi sana.......
Jangan lupa shalat lalu baru kamu boleh istirahat.
ok deh mam....., tugas akan segera hamba laksanakan.

Kongres putri desapun dimulai, dan tampak Putri lagi bersiap-siap untuk menyampaikan
sambutan kepada para peserta yang hadir. Dan tampak di situ ada seorang putri yang cantik
sekali. Siapa lagi dia kalau bukan Tari adiknya Putri.

Tak lama kemudian Putripun berjalan menuju panggung dan naik ke atas mimbar yang di
sediakan panitia penyelenggara kongres tersebut, untuk memberikan sambutan sekaligus
membuka acara tersebut. Setelah ia di persilakan oleh pembawa acara, suara riuh tepuk
tanganpun menghempas ruangan yang tadinya sunyi. Setelah Putri menyampaikan isi
sambutannya, suara tepuk tangan yang tadinya ribut serentak hilang seketika. Kemudian Putri
berbicara tentang martabat wanita Indonesia yang hancur disebabkan oleh ulah orang-orang
yang tidak bertanggung jawab. Namun, tak lama kemudian gedung yang tadinya sunyi kini
terdengar kembali oleh suara riuh tepk tangan para peserta kongres yang hadir. Ketika Putri
memberi semangat dan gambaran tentang wanita-wanita Indonesia masa kini.

Kongres itupun akhirnya selesai setelah Putri menutup acara tersebut dan turun dari
panggung kehormatannya. Tampak para peserta mulai sibuk keluar dari gedung sambil
bersalaman dengan Putri dan yang lainnya. Hanya Tarilah yang masih duduk di bangkunya
sampai para peserta tadi keluar semua. Putri pun datang mendekati Tari, dan merekapun
bergegas untuk pulang ke rumah. Disepanjang perjalanan Tari selalu ingat akan pesan
kakaknya tadi waktu memberi sambutan.
kita sebagai wanita Indonesia yang lahir di desa harus bisa bangkit dan jangan mau di
perbudak oleh kaum laki-laki. Kata-kata itu selalu teringat oleh Tari
Sesampainya dirumah Putri langsung pergi menuju ruang dapur, dan dia melihat banyak
sekali barang-barang yang kotor. Kemudian, dia langsung membersihkannya. Lain hal nya
dengan Tari, ketika sampai di rumah dia langsung masuk kamar dan langsung istirahat. Tak
lama kemudian, ayah merekapun pulang kerumah dan melihat Putri yang lagi sibuk
membersihkan dapur. Melihat keuletan anak pertamanya itu dalam mengurus rumah tangga,
tiba-tiba dia teringat akan almarhum istrinya dulu.
Bu.... kalau kamu masih hidup, pasti anak kita gak akan seperti ini. Ucap ayah Putri sambil
menangis. Mendengar suara ayahnya di luar, Putripun langsung keluar menemui ayahnya itu.
Eh..... ayah, sudah pulang yah???
Gimana yah keadaan bibi apa sudah baikan atau mungkin masih sakit....

Sambil menyapu air matanya, didi menceritakan keadaan saudaranya itu kepada putri.
Putri bibimu sekarang sudah sembuh, dan sudah bisa bekerja lagi.
Kamu sendiri gimana apa kongresnya berjalan dengan lancar.
iya yah... kongresnya lancar-lancar aja kok tadi.
yah, saya mau tanya sama ayah.
Gimana kalau adik saya keluar aja dari anggota putri desa....
Ya... kalau itu si ayah masih kurang berani mengambil keputusan, soalnya kasihan adikmu
dirumah tidak ada yang mau dia perbuat
iya....ya, ayah benar juga. nanti kalau Tari keluar dia mau kerja apa....

Hari sudah menjelang sore, tampak Putri dan Tari lagi asyikduduk berdua di beranda rumah
sambil bercanda.
Tari ayo kita masuk..... sepertnya hari sudah mau magrib, kan tidak enak di lihat tetangga
kalau kita nongkrong di teras magrib-magrib begini
Ayo...., saya juga sudah capek bercanda terus apalagi sama kakak.
Bosan ah.....
Seperti gak ada nuansa baru.
Udah ah....kamu ini, ayo masuk
Akhirnya Putri dan Taripun masuk kedalam rumah,lalu merekapun shalat berjamaah bersama
ayahnya. Sungguh keluarga yang sejahtera walaupun keluarga mereka sudah kehilangan satu
orang yang sangat berpengaruh besar di keluarga itu dan yang sangat mereka sayangi. Siapa
lagi kalau bukan ibu mereka yang sudah tiada saat mereka masih kecil.

Pagi-pagi sekali, Putri sudah bangun. Dan dia langsung mempersiapkan sarapan untuk ayah
dan adiknya. Tak lama kemudian, ayah dan adiknya pun bangun, dan ayahnya langsung
bergegas mandi karena mau pergi bekerja. Sebelum berangkat ayah Tari sarapan terlebih
dahulu baru di ikuti Tari dan Putri. Merekapun sarapan bersama-sama. Setelah selesai
sarapan,Taripun langsung pergi ke sekolah. Sungguh tiada disangka dan diduga kalau hari ini
dia juga bertemu dengan Andika. Ditengah perjalanan mereka tampak asyk mengobrol
layaknya sepasang kekasih. Padahal mereka hanya sebatas teman biasa.
Tari apa kamu ada waktu hari minggu nanti.....
waktu apa......?
Waktu kosong....
Kalau ada saya mau mengajak kamu pergi ketempat yang belum pernah kita kunjungi di
desa ini.
Ada....
Ok... kalau begitu nanti saya tanya sama ayah boleh apa tidak.
Kalau boleh kita langsung pergi, tapi kalau tidak diizinkan mas jangan kecewa ya.
Pastinya dong.

Sekembalinya Tari kerumah, diapun langsung berjumpa dengan ayahnya dan diapun mencoba
meminta izin kepada ayahnya. Namun ayahnya tidak mengizinkan, karena hari minggu nanti
akan di adakan kongres lanjutan. Sebagai lanjutan dari kongres beberapa hari yang lalu.
Taripun memahami hal itu,dan diapun menuruti apa yang dikatakan ayahnya. Hari minggu
itupun ternyata Andika pergi kerumah orang tuanya di kota baru, karena dia sudah memasuki
waktu liburan dan ingin menghabiskan liburannya disana.

Pagi itu tampak kedua bersaudara itu sudah bersiap-siap untuk menghadiri kongres lanjutan,
dengan pakaian kebaya yang mereka kenakan menambah indahnya suasana di pagi itu.
Kongres itupun dimulai, setelah Putri masuk dan naik ke atas mimbar.
saudara-saudara sepertinya kalian sangat jemu mendengar saya berbicara di depan sini,
membaca nasihat-nasihat yang sangat manis untuk kaum perempuan ini. Tetapi, saudara-
saudara harus ingat selalu akan hal itu. Supaya kita bisa menjaga harkat dan martabat wanita
bangsa ini."
" supaya untuk menjaga wanita itu agar jangan cepat insyaf akan kedudukannya, akan
nasibnya yang nista ini.itu semua harus kita lakukan demi melindungi kaum wanita dari
kejahatan dan aib.dengan jalan jalan demikianlah maka perempuan kita akan berguna dimata
dunia.

Panjang lebar Putri menyampaikan nasihat demi menjaga wanita bangsa ini. Agar menjadi
wanita yang kuat dan besar.
Kongres itupun akhirnya usai dan para peserta memberikan tepuk tangan dan semangat serta
penghargaan kepada Putri, atas kepandaiannya dalam memimpin. Putri dan Taripun langsung
pulang kerumah karena mereka sudah di tunggu ayah mereka. Hari itu mereka di ajak
ayahnya pergi ke rumah bibinya.
Sudah satu minggu Andika di rumah orang tuanya, kini diapun ingin kembali ke kampung
halamannya untuk meneruskan kulyahnya yang sudah masuk semester akhir itu. Namun dia
juga masih ingin tinggal lebih lama lagi dengan orang tuanya di kota baru karena dia sudah
lama sekali tidak bertemu dengan orang tuanya itu.

Tari dan Andikapun kini bisa berjalan bersama lagi, setelah hampir satu bulan mereka tidak
bertemu. Mereka duduk berdua diatas batu besar yang hitam kehijau-hjauan oleh lumut.
Andika mengenakan jas berwarna hitam dan berdasi sutra yang kemerah-merahan.
Dibahunya tersandang tali botol termos yang di gantung pada sisi lengannya,dan tangan
kanannya di pegangnya topi berwarna hitam. Tari yang memakai baju putih dan rok hitam
yang menutupi lututnya. Kakinya hanya dibaluti oleh kaus yang lebih tinggi sedikit dari mata
kakinya. Dipangkuannya dipegangnya sebuah bungkusan kecil. Keduanya takjub melihat
kehadapan, kepada air terjun yang gemuruh bersorak terjun iri atas tebing yang rapat
ditumbuhi rumpun bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak, air yang baru jatuh itu
terkumpul dibawah didalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir diantara batu-batu
yang besar.

Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda. Dua orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Diatas t ebing kelihatan beberapa orang laki-lakiberpakaian padu. Sementara itu,
dari atas tebing dibelakang mereka senang tiasa kelihatan orang datang.
Mengapa kamu dia saja.....

Tari mengangkat mukanya yang kemerah-merahan karena sinar matahari dan memandang
kepada Andika agak keletihan rupanya.
Saya agak lesu..... katanya perlahan hampir tiada kedengaran. Mendengar jawaban Tari itu,
segera berubah muka Andika dan tampaknya dia agak cemas.
kamu sakit Tari..... suaranya terang menyatakan bahwa ia agak khawatir melihat rupa Tari
ketika itu. Tapi Tari menggelengkan kepalanya dengan senyum antara kelihatan dan tiada.
sakit si tidak, tapi saya agak letih
Saya dari dulu memang kurang kuat menahan letih.
Kalau saya sudah berlari cepat-cepat, pemandangan saya dan nafas saya agak sesak.
Ya badanmu budan badan yang kuat, saya salah dari tadi tidak ingat akan hal itu. Kata
Andika agak menyesal.

Andika memandang ke sekelilingnya untuk mencari tempat duduk yang baik. Lalu dilihatnya
dibelakang mereka ada batu yang besar, lalu berkata ia kepada Tari.
Tari. ..., ayo kita kesana ke batu dekat tebing itu, engkau boleh beristirahat disana
sesukamu.
Ah... tidak mengapa, disini saja paling juga sebentar lagi letih saya akan hilang. Jawab Tari
membantah, ia tidak ingin menunjukan kelemahan yang di lebih-lebihkan.

Tetapi andika tidak dapat disangkal lagi,ia merasa tanggungan yang dipikulnya amat besar.
Tidak.....tidak....., engkau harus duduk disana. Ucapan yang setetap itu tidak terlawan oleh
Tari. Iapun berdiri dan bersama-sama Andika, pergi kebatu ditepi tebing itu. Andika
mengeluarkan dua buah bingkisan roti dari sakunya dan diberikannya sebuah kepada Tari.
Marilah makan ini dulu, badanmu akan dikuatkannya kembali.

Sementara itu, mereka bercakap-cakap juga. Bertambah lama bertambah asyik, sebab lambat
laun Tari hilang pula letihnya. Andika menceritakan kebesaran dan keindahan alam
didaerahnya tempat ia lahir. Hutan yang luas, danau yang besar dan indah dan jalan yang
berbelit-belit dan berliku. Bercahaya-cahaya mata Tari mendengar cerita Andika akan
keindahan negerinya. Dan didalam hatinya yang mengagumi anak muda itu tergambarlah
segala hal yang didengarkannya itu.Tari mencoba berdiri dan berjalan-jalan, seolah-olah dia
berada ditenpat kelahiran Andika. Andikapun sedikit tertawa melihat tingkah laku Tari yang
berubah secara spontantanitas itu.
kamu sudah kuat Tari.......saya takut nanti harus mengendong orang pula pulang ke
rumah. Ejek Andika kepada Tari.
Ya... saya tahu akan hal itu, sebab engkau tidak akan kuat mengendong saya jawab Tari
sambil tertawa. Mukanya yang merah karena panas lebih memerah lagi menginsyafkan arti
perkataan yang keluar dari mulutnya dengan tiada di ketahuinya itu, dan dibuangnyalah
mukanya ke tempat lain karena dia agak sedikit malu untuk memandang andika.
Kalau tidak letih ternyata Tari lucu benar. Ujar Andika dengan tenang. Baiklah kita naik
keatas berjalan-jalan disana. Iapun berdiri pula, diambilnyalah setangan alas duduk Tari,
dikiraikannya beberapa kali, lalu dimaskkannya kedalam sakunya. Tari mengambil lebih buah
anggur yanh terletak diatas batu dengan tangannya.
Indah benar tempat berjalan dibawah bambu ini ujar Tari seraya memandangkan matanya
mengikuti jalan yang teduh dihadapan mereka.
Ini pertama kali saya berjalan kemari, di Jakarta tidak ada tempat berjaan hari minggu
seperti ini dan seindah ini.

Perasaan bahagia yang menahan kegembiraan hati mereka. Langkah mereka memberat dan
percakapan yang riang, penuh canda dan tawa melembut seperti belaian yang halus.
Mengapa kamu diam pula.. kata Andika tiba-tiba setelah mereka lama berjalan
dengan tiada terkata-kata. Tari mengangkat mukanya melihat kepada Andika dan matanya
yang besar hitamdan jelita itu berat rupanya. Senyum yanh tertahan membayang pada
wajahnya. Andika segera membuang mukanya melihat mata gadis yang menghimbau itu. Ia
menolak perasaan yang ghaib merasuk qalbunya. Tari melihat kepada bunga kembang
setahun yang tumbuh terpencil di bawah bunga Marygold yang gembira memuncakan
kembangnya yang kuning.
Bagus benar bunga ini, ujar Tari.
kalau kita di Jakarta, tentu sudah saya cabut bunga ini untuk ditanam di rumah.
Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu ditanam
O ya, kalau begitu baiklah kamu yang menyimpannya, saya hendak mencucukannya di
kelopak bajumu.maukah kamu..
Dengan tiada menanti jawaban lagi,seeralah Tari memetik bunga itu. Iapun mendekati Andika
dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu, dan memasukannya kedalam
kelopak baju Andika. Sementara itu,Andika dengan pesat mengamati gadis yang sangat dekat
dengannya itu. Rambutnya yang hitam lebat teranyam, mukannya yang merah bercahaya
tersenyum ditahan. Sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada dada
bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi kedua muda remaja itu.
Dari mulut Tari keluar ucapan agak gemetar, tatapi nyata menyuarakan kepastian seseorang
yang yakin akan kemenangannya.

Tari tiada membantah lagi, tetapi mukanya yang memucat di tundukannya kebawah dengan
tiada berkata sesuatu apapun. Pada mata Tari kelihatan kepadanya berlinang air mata dan
mesra meminta mengemetarlah suaranya untuk pertama kali seumur hidupnya.
Tari.Tari.. tahukah kamu kalau saya cinta padamu. Badan Tari gemetar dan
melemah lalu diapun terjatuh ke tangan Andika dan seraya menengadah dengan pandangan
penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu hampir-hampir tiada kedengaran.
Lama benar kamu menyuruh saya menanti kata-katamu.. tak dapat lagi dia meneruskan
ucapannya, sebab Andika menundukan kepalanya ke arah Tari dan menutupkan bibirnya ke
atas bibir Tari. Dan dalam curahan cinta pertama yang mengemetarkan badan mereka yang
muda remaja itu,menjauh mengaburlah keinsafan mereka akan tempat dan waktu.
Sama-sama mereka berjalan dengan penuh mesranya berpegangan di antara pohon-pohon
bambu yang sayu berdesir-desir ti tiup angin. Ketika tiba di seberang mereka turun ke bawah
ke tepi anak air. Beberapa lamanya mereka melangkah dari batu ke batu. Sekelilingnya indah
nan permai seperti biasanya di tengah alam, dan indah nan permai seperti biasa pula pujuk
dan cumbu asyik maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan perasaan cinta pertama yang
penuh harapan.

Tari telah menceritakan kepada Putri bahwa dia telah berjanji kepada Andika untuk menjadi
istrinya di kemudian hari.

Pada suatu malam, sesudah makan gadis berdua itu berkumpul dikamar tidur mereka. Putri
duduk di meja membaca buku, sedangkan Tari berguling-guling ditepi tempat tidur sambil
membaca sebuah roman. Di luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya hujan turun.
Beberapa lamanya Tari melamun di beranda menantikan kekasihnya yang tiada juga kunjung-
kunjung datang.

Putri sudah lama memperhatikan cara Tari membaca itu, geli hatinya melihat ia yang tiada
beralih-alih dari halam yang dibacanya itu. Beberapa kali telah ia tegur Tariyang melamun
menghadapi buku, tetapi hal itu tiada diperdulikannya. Tak beberapa lama kemudian,
kembalilah Tari kekamarnya, mukanya pucat merengut. Dengan suara yang gemetar oleh
amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Putri kamu jahat benar kak, menipu saya
seperti itu. Banyak yang tak dapat dikatakannya, lalu dibantingkannya badannya ke tempat
tidur, seraya menangis tersedu-sedu.Engkau selalu mengganggu saya, engkau tidak tahu
bagaimana perasaan saya ujar Tari tersendu-sendu.
Tidak. Tidak., saya tidak akan mengganggumu lagi, saya menyesal akan perbuatan saya
tadi. Maafkanlah saya Tari. Di tariknya tangan Tari perlahan-lahan supaya melihat
kepadanya lalu berkatalah dia Tari mengapa engkau sebodoh itu Putri hanya berolok-
olok .
Masa yang seperti itu sudah menangis, kamu bukan anak-anak lagi
Ya kamu ngak tahu perasaan saya , bagaimana ibanya hati saya jawab Tari dengan nada
yang agak tinggi bunyinya, seraya menelan sedunya dan menghapus air matanya.
Masakan saya tidak tahu perasaanmu, sebab saya tahu perasaanmulah saya hendak member
nasihat kepadamu sebentar terhenti Putri seraya melihat kepada adiknya itu, lalu katanya
pula Tari.kamu I ni terlampau menuruti perasaanmu.
Tari tiada dapat menahan hatinya lagi. Ia hendak mempertahankan dirinya, ia tidak boleh
memperkenankan cintanya kepada Andika di cela seperti itu. Dengan suara yang terang
menyatakan tiada senang hatinya mendengar nasihat saudaranya itu, katanya saya cinta
kepadanya dengan seluruh hati saya. Maumu saya berbohong dan pura-pura tidak mencintai
dia gitu.

Putri berbuat seolah-olah dia tidak tahu bahwa saudaranya marah dengan nasihatnya. Dengan
sabar dan tenang sebentar-sebentar menekan perkataannya, seolah-olah hendak menenangkan
fikirannya senyata-nyatanya mungkin, berkatalah ia maksud saya bukan menyuruh kamu
berbohong dan pura-pura tidak cinta dengan dia.
Tidak sama sekali saya menyuruh kamu begitu.
Saya hendak menunjukkan kepadamu bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan seperti
sekarang ini, bearti merendahkan dirimu kepadanya.
terlampau kamu menyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa kamu
tidak dapat hidup lagi , kalau tiada dengan dia.

Ah. Kamu ingin mengatur orang pula, saya cinta padanya. Biarlah saya mati daripada saya
berpisah dari dia.
Apapun akan saya kerjakan untuknya.
Saya tidak takut dijadikan sahaya. Saya tahu dia cinta juga kepada saya.
Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-kali merasa hina menyatakan cinta saya itu
padanya. Jawab Tari dengan tegas mematahkan segala perkataan kakaknya yang
menyakitkan hatinya yang masih luka itu karena di nasihati kakaknya seperti tadi.
Engkau tidak usah memperdulikan urusan saya, saya tidak minta nasihatmu.
Rupa-rupanya hendak menyala pula amarah Putri, jika dia tidak dapat menyabarkan dirinya.
Setelah itu, sunyilah di dalam kamar itu. Putri memaksa dirinya untuk membaca buku, tatapi
gelisah duduknya terang menyatakan bahwa hatinya belum reda. Dan ti tempat tidur diam
terlentang Tari dengan hati yang iba bercampur sebal dan amarah.

Sunyi sepi, hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Tari di rumah sakit. Ada kalanya setiap
hari dia bertemu dengan ayahnya yang sedang ada disana, tetapi ada pula kalanya sampai
seminggu tiada dikunjungi orang. Sekali-kali datang orang yang tiada di sangka-sangkanya,
kenalan yang hendak mengunjungi kerabatnya yang dirawat di rumah sakit itu. Hal itu
membawa kegembiraan hatinya yang tiada disangka-sangka baginya.

Sejak dari semula Tari tahu bahwa diantara orang sakit yang banyak itu dia termasuk orang
yang berat sakitnya. Kadang-kadang berhari-hari panas badannya, ia batuk-batuk
memuntahkan darah. Waktu yang demikian tiadalah dia boleh meninggalkan tempat tidurnya.
Dan apabila senua orang pergi ke luar berjalan-jalan di sekitar rumah sakit itu, melayanglah
pikirannya kepada sekalian orang yang di kasihinya. Kekasihnya,ayahnya,dan
saudaranya.kadang-kadang tringat dia akan bundanya yang telah lama berpulang. Dalam
waktu yang demikian amat terasa kemalangan hidupnya di rumah sakit yang sepi di lereng
gunung itu. Jika ia masih dapat mengangkat badannya, maka seringlah dia melihat dari
jendela kaca ke luar kearah pegunungan yang indah. Sering tiada dapat ia iba hatinya dan
menangislah ia tersendu-sendu.

Tetapi apabila badannya agak sehat dan ia di perbolehkan keluar untuk berjalan-jalan
layaknya seperti orang sakit yang lain,maka dirinya seperti hidup kembali. Puaslah ia
mengecap keindahan daerah disekeliling rumah sakit yang susah di cari tandingannya itu.
Tiada terasa kepadanya waktu habis, apabila ia berjalan di antara kembang-kembang aneka
warna yang amat subur naik ditanah pegunungan itu. Laksana hidup di surgalah dirinya yang
suka akan warna dan kepermaian itu, melancong-lancong di sekitar rumah sakit itu.

Semua rempat yang dekat disitu dikunjunginya, selalu kakinya yang lemah itu, tiada terasa
penat-penat kakinya namun ia masih tetap saja berjalan menikmati indahnya alam
pegunungan disekitar rumah sakit itu. Nikmat terasa olehnya pemandangan dari bangku
tempat duduk di dataran rendah , nikmat terasa kepadanya menengadah ke atas melihat ke
puncak gunung yang bersembunyi di balik awan. Dan kemana sekalipun dia
memandangang ,di segala penjuru nampak kepadanya kegirangan hidup yang mesra di atas
tanah yang mewah membagikan kekayaan kepada dunia.

Sejak dari pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, berama-sama dengan angin kuatyang
begitu dahsyat. Pohon-pohon sekitar rumah sakit itu terbuai tertunduk-tunduk seraya
gemuruh menderu-deru dan berciut-ciut. Di gunung-gunung kabut yang tebal berkejar-
kejaran, sangat cepat tiada habis-habis lakunya. Langit yang putih kelabu berat turun
kebawah samapai menyatu dengan pelarian kabut di lereng gunung.

Pada pagi yang seolah-olah seluruh alam mengamuk itu, terbaring Tari tiada bergerak-gerak
di tempat tidurnya. Matanya memandang jauh kehadapan, tetapi tidak ada sesuatu apapun
yang kelihatan olehnya. Kecil dan jauh terpencil, ditinggalkan segala orang terasa kepadanya,
dirinya pada pagi-pagi yang gemuruh itu. Rasa iba dan pilu melayangkan pikirannya, tiada
tertahan-tahan. Sebentar ia ingat kepada kekasihnya Andika yang sudah lama dan hampir
jarang mengunjunginya.

Teringat kepadanya, bahwa ia akan meminta kepada juru rawat dan dokter, supaya Putri dan
Andika dapat tiap-tiap hari datang mengunjunginya. Ah, rasanya permintaan itu akan di
kabulkan, sebab hari senin seminggu lagi telah habis pula libur orang berdua itu dan lama
pula ia akan berjumpa lagi dengan mereka.
Tari mengubah letak bantalnya sedikit, sebab ia hendak menghadap kepada jendela kaca yang
tertutup, yang lantang memberi pemandangan kesebelah barat. Nampak kepadanya sebentar
kabut terangkat dan terlihatlah puncak gunung yang berwarna hijau kehitam-hitaman.
Bersandar pada langit yang rata putih kelabu-labuan. Di lerengnya masih berkejar-kejar kabut
menutup pemandangan, tetapi agak kebawah banyak kelihatan kehijau-hijauan hutan dan
kebun, mengabur dalam hujan yang turun tiada henti-hentinya.

Pemandangan yang suram kea rah gunung yang dibaluti awan dan kabut, bertambah dalam
perasaan sayu dalam hati Tari. Terasa benar kepadanya kemalangan nasibnya. Telah hampir
dua bulan ia terbaring dalam rumah sakit itu. Usahakan penyakitnya berkurang, dua hari yang
lalu ia dipindahkan ke kamar khusus seorang diri. Tahu ia, bahwa ia di asingkan itu oleh
karena penyakitnya bertambah parah. Telah banyak orang yang diasingkan kemari tiada
hidup lagi keluar. Sering ia bertanya kepada dirinya akan demikian pulakah nasib ku
ini..
Dan pagi-pagi ini pertanyaan itu lebih-lebih datang merasuk kedalam hatinya.
Kalau begini rasa-rasanya saya hanya menunggu waktunya saja lagi.
Betapakah akan rasanya nanti mati, tidak lagi melihat dan mendengar, menunggalkan segala
hal yang dicintai dan disayangi untuk selama-lamanya.

Matahari telah hampir terbenam dibalik gunung tanah baru. Bernyala-nyala rupa mega
diwarnainya, kuning, merah, dan ungu. Di lembah-lembah dan di lereng gunung telah turun
kekaburan senja, tetapi puncak-puncak yang menengadah ke langit merah membara turut
menyayikan laguan warna.
Di seluruh rumah sakit yang putih jernih dikaki pegunungan itu, sunyi senyap seolah-olah
iapun tiada hendak mengusik kepermaian alam pada senjanya itu.

Dalam kamar tempat Tari masih Putri dan Andika duduk tiada bercakap-cakap diatas bangku
masing-masing. Kesunyian alam di luar masuk kedalam kamar kecil yang bersih itu,berat
mengeri menyelap kedalam qalbu orang bertiga itu.

Hari ini adalah hari yang terakhir bagi Putri dan Andika untuk mengunjungi Tari. Pagi-pagi
besok keduanya akan bertolak ke Jakarta, sebab libur mereka telah habis. Sangat berat terasa
kepada mereka akan meninggalkan Tari, apalagi oleh karena penyakitnya yang rupa-rupanya
makin bertambah parah. Dokter sudah berbisik kepada Andika, bahwa penyakit Tari sudah
susah untuk mengobatinya. Dinyatakan kekhawatirannya kalau usahanya hanya sia-sia.

Bagi Tari perpisahan dengan kedua orang yang dicintainya itu lebih berat lagi. Meskipun
penyakitnya tiada menjadi ringan barang sedikitpun, tetapi dalam seminggu ini tiada terkata-
kata bahagia rasa hatinya setiap hari bisa bertemu dengan tunangannya dan kakaknya itu. Dan
sekarang waktunya ia akan di tinggalkan Andika dan Putri itu, betapa amat pilu rasa hatinya
dan berbagai-bagai pikiran menghantui dirinya.
Dari tempat tidurnya Tari memandangkan matanya keluar jendela. Keindahan permainan
benda di langit datang mendorong kalbunya tiada tertahan-tahan lagi. Dan sedang di lamun
kesedihan perpisahan dengan kedua orang yang di cintainya itu. Lebih-lebih terasa kepadanya
perbedaan keadaan dirinya dengan keindahan tamasya alam di sekelilingnya.Tetapi meskipun
demikian sekejab tertarik terhanyut juga hatinya yang pemuja keindahan itu oleh kepermaian
pemandangan ketika itu, sehingga sebelum dapat di insyafkannya telah keluarlah dari
mulutnya antara kedengaran atau tidak Alangkah indahnya tamasya di senja ini, coba kalau
saya masih bisa menikmatinya pasti akan saya rasakan .
Mendengar ucapan Tari itu Andika dan Putri sejurus memalingkan matanya ke luar jendela
dan keindahan alam pada pertukaran siang dan malam itu masuk kedalam kalbu mereka
mendalamkan perasaan sayu dan pilu akan perpisahan yang amat lekas, tiada dapat ditunda
lagi.
Andika mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar seperti riak air yang tiada berarti
dan bermakna. Lima belas menit lagi pukul enam.

Di tundukannyalah kepalanya melihat ujung sepatunya. Sekejap lamanya diangkatnya pula


mukanya dan iapun melihat kepada kekasihnya yang terbaring di tempat tidur. Pada saat itu
bertemu matanya dengan mata Tari yang kebetulan sedang mengamat-amati perangai
tunangannya itu. Senyum yang di paksa membayang pada muka yang berjorokan tulang itu
menyerupai seringai dan berat mengeluh selaku setelah perjuagan batin yang hebat itu.

Andika berdiri pula sambil mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar kata-kata
tinggal dua menit lagi pukul enam. Kedua-duanya berdiri tegak dekat kepala Tari untuk
mengucapkan selamat tinggal. Sama-sama mereka bersungguh-sungguh memberi nasihat
kepada Tari supaya jangan menuruti hatinya, ia jangan sekali-kali berputus asa. Sekali lagi
Putri dan Andika memberi nasihat kepada Tari, sekali lagi mereka mengatakan bahwa ia
mesti sembuh, maka diucapkan merekalah selamat tinggal kepada juru rawat dan Tari.

Dalam senja raya yang sejuk itu berjalanlah orang berdua itu dengan tiada bercakap-cakap
barang sepatah katapun. Diseluruh tanah pegunungan itu malam telah mulai menyiratkan
gelapnya. Mega hanya tinggal kekelabu-labuan dan disana-sini masih tampak kekabur-
kaburan warna ungu lembayun, laksana jejak cahaya matahari yang telah turun dibalik
gunung padu perkasa yang biru hitam rupanya. Di langit bertambah lama bertambah banyak
kelihatan bintang kemilau mengerlip memandang dunia.
Andika dan Putri terus berjalan ke bawah menuju auto yang akan membawa mereka kembali
ke rumah. Berbagai-bagai pikiran dan perasaan mengacaukan jiwa mereka. Waktu terus
berjalan. Keresik gugur, gugur ke bumi dan puncak muda memecah, memecah pula di ujung
dahan. Hhuuhh. Alangkah lekasnya waktu berjalan..
Hari masih pagi-pagi dan di perkuburan dekat kota Baru, tiada beberapa jauh dari rumah
Andika sunyi senyap. Tempat manusia melepas lelahnya setelah perjuangan hidupnya itu,
ketika itu tempat beristirahat yang sunyi dan aman. Tak ada suatu bunyi ataupun suara yang
ganjil yang mengusik ketenangan yang mulia dan kudus itu.

Dari kejauhan terlihat dua orang anak muda datang sambil membawa untaian bunga mawar
yang indah.mereka tidak lain adalah Andika dan Putri. Mereka datang ke kuburan itu hanya
untuk berjiarah ke makam orang yang sama-sama di cintainya itu.
Pada batu nisan pualam putih terlukiskan sebuah nama yang tiada lain adalah Tari.
Tari berpulang 10 Januari 1992.

Ia wafat dalam usia yang ke 22 tahun.


Tidak lama kemudian, perkebunan itupun sepi kembali tanpa ada satu suarapun. Sementara
itu,Putri dan Andika telah beranjak pergi meninggalkan perkuburan itu, walaupun berat hati
kedua orang itu meninggalkan tempat itu. Terus, auto mereka melancar, berbelok-belok
menurun kebawah ke tempat kerja manusia di tengah-tengah perjuangan dengan sedih dan
senangnya.
TAMAT

PELANGI DI AWAL KELABU


Cerpen Luthfi Bagas Pambudi

Ku rasakan detak jantungku berdetak tak menentu. Terkadang seirama dengan detakan jam,
terkadang pula sekencang bunyi gendrang yang di pukul secara membahana. Bahkan dada ini
terasa sakit bila jantungku berdetak seperti itu. Di tambah, deru nafasku yang sesak dan mulai
bernyanyi dengan nyaring. Hal ini biasa terjadi padaku dalam waktu yang tiba tiba, bahkan
tak terduga.

Tubuhku pun mulai terasa lemas ketika aku harus berlari mengitari lapangan sekolah karena
mata pelajaranku kali ini adalah Penjaskes. Tubuhku pun betambah lemas lagi ketika otakku
terasa berdetak nyeri di dalam kepala ini karena sakit ku kambuh secara tak terduga, dan terik
matahari yang mulai menyengat kulit di siang hari.

Seorang kakak kelas berbaju putih abu abu yang ku suka pun tampak mendekat, mencoba
menangkap tubuh yang lemas ini. Nafasnya yang hangat menerpa wajahku. Aroma tubuhnya
yang maskulin menjadi obat penidur untukku, di dalam dekapannya kini.

Beberapa saat berlalu, mimpi gelapku terusik oleh langkah langkah kaki yang gaduh di
sekitarku. Perlahan mulai kubuka kedua mata yang terasa berat ini. Dan hal pertama yang ku
lihat , meski dalam keadaan pusing dan kabur adalah langit langit gedung yang bergerak
cepat di atasku, seirama dengan tubuhku yang dibawa di atas ranjang Rumah Sakit oleh orang
orang yang ku kenali sebagai sahaba sahabatku, dan beberapa orang perawat cantik yang
membawa infus sembari berlari, mencoba menyamai kecepatan langkahnya denganku di atas
ranjang berjalan ini.

Tubuhku pun di bawa ke dalam sebuah ruangan oleh para perawat itu, sementara sahabat
sahabatku di tahan di luar ruangan oleh 2 perawat lainnya yang menunggu di luar ruangan.

Di dalam ruangan, hidung dan mulutku di tutupi oleh sebuah alat bantu pernafasan yang
lumayan membantuku. Infus kembali di pasang di tanganku, dan membuatku jadi panik dan
gelisah sendiri.

Seorang pria setengah baya masuk ke dalam ruangan dengan mengenakan jas putih dan
beberapa perlengkapan dokternya yang di jadikan satu di dalam sebuah tas hitam yang ia
bawa.

Aku langsung memejamkan mata ketika Sang Dokter mengangguk, memberikan instruksi
kepada dua perawat wanita yang kini berada di kanan kiriku.

Selama memejamkan mata, sempat terbayang wajah wajah orang yang ku sayang. Wajah
tante yang menjadi wakilku, wajah sahabat sahabatku, dan tentu saja, wajah orang yang aku
cintai, Kak Dika.

Namun, ketika seseorang memasukkan ujung tajam dari jarum suntik ke kulitku, wajah
wajah itu segenap berubah menjadi keharuan hingga ku sadari beberapa tetes air mataku jatuh
dan membasahi pipiku.

Wajah wajah itu berubah sedih dan penuh keharuan. Bahkan, sempat terlintas kenangan
kenangan pahitku. Terutama, kenangan pahitku tentang kak Dika yang sampai saat ini tak
mengetahui bahwa aku sangat menyayanginya. Tapi, sayang, ku tahu ia telah dimiliki wanita
cantik yang kutahu adalah kekasihnya.

Jarum suntik pun di keluarkan, dan mata serta detak jantung yang menyakitkan dalam setiap
detakanannya ini pun perlahan menjadi pusat pemeriksaan oleh Sang Dokter dan beberapa
perawatnya.

Sebuah alat pendeteksi jantung yang berada di sebelahku pun berbunyi aneh, tak seperti
bunyi pada jantung orang yang normal.

Sempat ku lihat sang Dokter menggelengkan kepala kepada tatapan sedih para perawat, yang
masih berdiri di sisiku itu. Aku pun kembali menutup mata dan mencoba untuk melihat wajah
malaikat yang akan menyabut nyawaku, karena penyakit leukimia yang ku alami ini sudah
benar benar tak bisa di sembuhkan lagi. Padahal, seudah banyak usaha yang ku lakukan
bersama tante dan sahabat sahabatku untuk mencari obat penyembuh dari penyakit ini. Tapi
ternyata, Tuahn lebih memilih untuk menjemputku di waktu yang tepat ini. Dimana, masih
ada orang orang yang ku sayangi, dan yang menyayangiku. Dan, masih ada dunia yang
harus ku jelajahi ini.

Dan, suara pintu yang terbuka dengan keras di ruangan itu pun mengagetkanku hingga
membuat mataku yang semula terpejam, malah terbuka hingga sesaat ku lupakan pikiran
pikiran ku tadi.

Seorang wanita cantik bagai malaikat masuk dan langsung berlari memelukku sangat erat.
Hingga tak mungkin bisa terlepaskan. Wanita itu menangis di dalam dekapan sayangnya
padaku. Ya, ialah tanteku. Orang yang paling ku sayang di dunia ini, karena aku hanya
sebatang kara tanpa dirinya.

Bisa ku rasakan suasana haru yang pecah di ruangan ini. Satu persatu sahabat ku masuk
dengan mata yang basah dan lebam oleh air mata yang mereka keluarkan.

Semua langsung mendekatiku dan memelukku secara bergantian dengan sangat erat,
layaknya aku akan segera pergi meninggalkan mereka. Yang memang benar adanya.

Ku rasakan jantungku mulai melemah, seirama dengan nada yang dikeluarkan oleh alat
pendeteksi jantung yang berada di sampingku. Tapi, seseorang datang terlambat dan
menghampiriku, hingga membuat jantungku berdetak normal karena keberadaannya. Senyum
manisnya melemaskan otot ototku yang sebenarnya akan tak berfungsi lagi.

Semua yang melihat keadaanku langsung mengerti dan meninggalkan ku berdua saja
dengannya, di dalam ruangan yang berbau obat, dan ruangan yang di penuhi dengan nada
nada yang di keluarkan oleh alat pendeteksi jantung, dan tentu saja deru nafasku yang
bergetar olehnya.
Hey. . .! itulah kata pertama yang keluar dari bibir manisnya, yang langsung memecah
kesunyian di antara kami. Wajahnya yang rupawan dengan lesung pipit dan model rambut
yang maskulin itu tampak seperti wajah malaikat bagiku, bagi hatiku. Hmmm. . . kakinya
bergerak salah tingkah, tapi itu tak mengurangi semua keindahan yang ada pada dirinya.
Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ku bicarakan padamu. Tubuh ku yang semula
lemas, kini terasa terlonjak ketika tangan lembut dan kekarnya menggenggam tanganku
dengan penuh kasih. Sebenarnya, aku dan Viola hanya sekedar teman. Dan, tak ada
hubungan apa pun yang melebihi itu. Ia diam sesaat, seraya menatap lekat mataku.
Sebenarnya, memang benar kalau dia pernah menembakku. Itu pun 2 minggu yang lalu.

Air mataku langsung menetes deras, Jntungku berdetak kencang dengan membahana, ketika
ia berkata seperti itu. Tapi, aku tetap menunggu perkataannya yang selanjutnya.
Tapi aku menolaknya dan memberikan hatiku pada seseorang. . . perkataannya terhenti
ketika dari dalam tas, ia mengeluarkan sebuah album foto mini, dan ia tunjukan beberapa foto
yang membuatku terkejut bagai tersengat listrik. Seseorang yang mengumpulkan foto foto
ini untukku. Mulutku tergagap ketika ia berkata seperti itu. Dalam hati aku bertanya tanya,
dari mana ia mendapatkan kumpulan foto fotonya yang selama ini ku dapatkan dan ku
kumpulkan?
Aku mendapatkannya dari sahabat sahabatmu. Katanya pelan, seperti membaca
pikiranku. Mereka memberikanku semuanya. Bahkan bukan ini saja yang ku tahu. Semua
surat dan cokelat yang tak berketerangan pengirimnya pun aku tahu dari siapa. Kamu, Susan.
Tapi, kenapa kamu gak beritahu aku saja yang sebenarnya? Apa kau tak tahu kalau aku. . . .
aku benci dengan jeda yang ia selipkan di antara kata katanya. Aku juga sayang sama
kamu. Aku sebenarnya ingin menembakmu sudah lama. Tapi aku tak pernah menemukan
waktu yang tepat.

Senyumnya membuat bibirku juga melengkung senang dan puas dengan hasil kerja keras ku
yang selama ini tak sia sia. Terlebih, ketika ia memeluk tubuh lemahku ini, beberapa
memori dalam benakku yang mengingatkan ku tentang usaha bersama sahabat sahabatku
untuk mencari perhatian Kak Diki padaku.
Jadi, dengan ini, aku harap kamu bisa berjuang dalam melawan penyakitmu ini. Karena aku
akan ada terus di sampingmu sebagai. . . . Sebagai seorang kekasih.

Air mataku kembali menetes, bahkan lebih deras lagi. Ini semua bagai pelangi di awal
kelabu. Dimana, Cinta Kak Dika datang padaku, tepat ketika ajal mulai menjemputku.

Tapi, secara tiba tiba, di suasana yang haru itu, jantungku pun terasa berdetak menyakitkan
di dalam dada ini, dalam frekuensi detakannya yang pelan. Sempat ku lihat cahaya keperakan
di balik tubuh Kak Dika, serta sekelebat bayangan berwarna hitam pekat di sekitarku

Dan, kata terakhirku yang menuntaskan semuanya pun dapat keluar dari mulut yang semula
bisu ini. Kak. . . Aku sayang kakak. Aku nggak ingin pergi meninggalkan kakak. Aku butuh
kakak di sampingku. . . . Tapi, Susan mohon maaf. . . Karena ia telah menjemputku. Lihatlah
cahaya keperakan itu, kak. Itulah pintu yang akan ku lalui. Selamat tinggal, Kak. Salam untuk
tante dan sahabat sahabatku.
Susan! Kamu harus kuat! Kamu harus bertahan! Aku nggak ingin kamu pergi! Susan!
Tolong, bukalah matamu!! suara Kak Dika yang histeris menjadi obat penidur ku untuk
selamanya.

SEKIAN

TAK BER-AYAH
Cerpen Qaem

Riuh gemuruh suara teriakan dan tawa anak kelas 4 sd berlarian menembus celah-celah
jendela ruangan, riuh itu baru berhenti perlahan tatkala bu guru menghentakkan mistar
panjangnya ke papan tulis yang penuh dengan coretan dan gambar naruto. Pagi itu, ruangan
kelas 4 seperti audisi solo pelawak, tiap anak akan menceritakan pahlawan hidupnya,.. tiap
anak yang bercerita, maka gemuruh akan tercipta, dan mistar kembali menghantam papan
tulis untuk merendam riuh agar tak mengaung lagi.
"selanjutnya.. Husain"
"Hadir bu.."
"Maju!!"

Suara mulai menelisik dari kolom meja-meja.. kali ini objeknya makin menarik, badan tirus
cekung, baju selalu kedodoran, tanpa lupa ujung lengan baju selalu mengkilat dengan sisa
ingus yang mengering..

Husain gentar, tak biasanya, dia yang biasa menjadikan dirinya sebagai bahan tertawa'an, kali
ini berdiam lama memandangi sepatunya, bergerak pelan dan menatap diam-diam temannya
yang sudah tidak sabar melihat aksinya, melihat kembali pada ibu guru dengan tatapan
memohon, untuk sekarang ini tak perlu lah dia naik, ibu guru tak merespon, tatapan teman-
teman menekannya untuk segera beraksi, dia melangkah dengan penuh beban, kulitnya
mengerucut, tapi tak berkeringat.
"Silahkan Husain, perkenalkan pahlawanmu ke teman-teman"
"Paling cibi maruko chan bu.."

Wuakakakakaka..
"upin-ipin..! kan tivi dirumahnya Cuma bisa dapat siaran mnc!!!
Wuakakakakakaka.!!!!!!

Gemuruh kembali menggelepar, disertai hentakan meja yang bersahut-sahutan, bahkan ibu
guru harus menyentak mistarnya lebih dari sekali untuk menenangkan, Husain terpaku, jari-
jari tangannya kaku menarik ujung baju, entah kenapa kantong ketawanya mengempis,
hingga bibirnya malah mengatup keras layaknya jahitan, saat diam dan tenang barulah ia
bersuara dengan nada yang begitu pelan.
"P..ppahlawan ku ii..i.bu
i..ibu ku
ibuku."

seketika hening menerpa.. tangan-tangan yang sedari tadi tak lelah-lelah menghantam meja
tergelatak mati diatasnya, suara terkunci, semua mata termasuk ibu guru sepenuhnya
menatapa tajam dan heran pada husen yang baru berucap ibu, telah meneteskan air mata,
husen segera tertunduk, mencoba menenangkan hatinya yang telah berkecamuk, dan kini di
kelas, cerita itu mengalir pelan namun riaknya deras, membuat kontes lawak bubar, berganti
putaran nostalgia, mempertontokan salah satu sudut kepahlawanan yang memilukan, serasa
husen ingin berkata, "siapa bilang pahlawan itu selalu super?"
***

Satu malam pada beberapa tahun yang lalu, sekelompok pria berpakaian gamis mendatangi
rumah yang terletak di tengah-tengah sawah, kedatangannya mendadak, hingga si tuan rumah
tak bisa menduga, gerangan apa yang menyebabkan mereka datang di waktu enak-enak
bercengkrama dengan keluarga.. tujuan itu tersimpan rapi di wajah-wajah mereka yang
senantiasa tersenyum, di ruangan tamu yang remang itu, mereka mencoba berbasa-basi
terlebih dahulu, melelehkan suasana, tapi tetap rasa penasaran menusuk-nusuk sikap yang
sedari tadi seolah acuh, dan cicak-cicak pun tau, ini awal kehidupan.. mereka kembali
kesarangnya untuk mengurus telur-telur yang hampir menetas
"langsung pada intinya, disini bu.. kami mewakili sodara ahmad, ingin mempersunting lina
keponakan ibu.. sebagai perwujudan jihad seorang muslim menyempurnakan imannya dan
membentuk keluarga muslim yang mawaddah"

Mendengar pengakuan itu, rasa penasaran lenyap berganti khawatir yang menjerat, bukannya
apa, bukannya tak suka, tapi ini betul-betul mendadak.. harusnya tidak langsung seperti ini,
karena dia sendiri menyadari tidak punya hak atas keponakannya dalam hal ini, tapi ia tak
enak dan takut disalah artikan jika mengatakan penolakan sehalus apapun
"mari kita bicarakan lebih lanjut dalam perpustakaan rumah, anak-anak sedang nonton, saya
akan panggilkan suami saya dan lina"
"tolong di ambilkan hijab bu"
"tidak masalah"

Ruangan yang di kelilingi lemari buku itu kini terbagi dua, dibatasi oleh gorden biru yang
memanjang, sisi satu di isi mereka, laki-laki bergamis yang kali ini tak tersenyum sedikit pun,
sedang di sisi satunya dua pasangan paruh baya dan seorang wanita berjilbab panjang sedang
duduk, kepalanya tertunduk, menenangkan hati yang bergejolak
"kau kenal ahmad ini nak.."

Ibu itu memulai percakapan


Lina mengangguk..
"Seberapa kenal kau dengan dia.. keluarganya.. riwayat pendidikan dan kehidupannya"

Lina terdiam.. lama.. seorang pemuda di balik sana mengerutkan dahi, ia sedikit tersinggung,
serasa ibu itu ingin menelanjanginya, semua tak sesuai harapan, kiranya akan berjalan mulus
dan mudah.. tapi tidak demikian, kali ini suasana berubah mencekam
"dalam islam, dua orang pasangan yang ingin menikah harus mengutarakan perihal hidupnya
secara jujur.. agar di kemudian hari tidak ada penyesalan dan rasa tertipu.. "
"Sebagai perempuan.. biar lina yang duluan.."

Pemuda itu memotong..


ibu itu tertohok dan segera ingin menyanggah.. kenapa tidak dia yang duluan, merasa lebih
tinggikah.. harusnya sebelum berani melamar, dia cari tau sendiri wanita yang ingin dijadikan
pasangan, agar bisa sesuai keinginannya dan mantap dalam hatinya.. tapi bapak yang duduk
di sampingnya memegang tangannya.. ia menenangkan istrinya yang gelisah karena
keponakan, yang kali ini dalam pilihan membentuk kehidupan baru, tidak main-main,
suaminya tau rasa gelisah yang lahir dari sikap tanggung jawab istrinya, dan untuk kali ini,
dia ingin mendamaikan istrinya dengan genggaman positif dan senyum, seraya ingin berkata
"tenang semua akan baik-baik saja, kita hadapi bersama"
"Nak lina, silahkan.."

Lina bicara terbata-bata, memilih kata-kata dengan tepat, secara polos dan tentunya jujur,, dia
tidak melebih-lebihkan tidak pula mengurang-ngurangi.. dari bibirnya keluarlah pengakuan,
terlahir sebagai anak kedua dari keluarga sederhana di sudut kampung palopo yang agak
terpencil, diantara sodaranya, pendidikannya yang kali ini paling tinggi, kakak pertamanya
meneruskan empang keluarga, adeknya juga belajar di Makassar, tak ia tutup-tutupi,
keluarganya miskin, empang tak bisa menghidupi kehidupan anak-anak yang di tinggalkan
orang tua, untuk itu dia usaha menjahit kecil-kecilan untuk memenuhi biaya sekolahnya dan
adiknya.. dia mengenal ahmad dengan sangat minim informasi, hanya lewat perkataan
temannya, di tempat kuliahnnya, al-irsyad sana.. itu pun karena temannya adalah adik ahmad,
dan dari situlah lina di beritau bahwa kakaknya akan meminangnya, tapi tak jelas kapan
hanya itu.. tak lebih..

Lina mengeluh pelan, matanya terpejam, dalam hati terbersit lafadzh "Alhamdulillah"
berterima kasih kepada Allah atas karunia kekuatan hingga bisa mengungkapkan semua
dengan apa adanya dan berharap penuh kepada Allah
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun jika buruk.. jauhkan secara baik.."

Kali ini, giliran ahmad yang berbicara, mulanya bicaranya lantang, penuh percaya diri,
namun tidak terkesan sombong. dia biasa di sebut ustad, menjadi salah satu aktifis dalam
lembaga al-irsyad dimana lina belajar sekarang, keluarganya cukup terpandang, beberapa
keluarganya tinggal di Jakarta, di Makassar, orang tuanya meninggalkan sebuah rumah buat
dia dan sodara-sodaranya..

Mendung menggelayut pada hamparan langit, saat bias sabit tak mampu menembus celahnya,
jangkrik-jangkrik kesal bersahut-sahutan, karena khawatir ular mengendap memakan dirinya
yang kini bersembunyi di balik builr padi menunduk dan hampir menguning. Entah kenapa.
Ahmad berhenti sejenak.. meski tak terlihat, setiap selipan buku tau, dia kini terpejam, nafas
panjang dia tahan, sepertinya dia menahan sesuatu yang tak ingin dia utarakan.
"saya duda.. dan sudah punya satu anak perempuan, dua bulan kemarin kami cerai, tapi
belum sah di pengadilan"

Suara itu merambat pelan menulusuri aliran darah ibu paruh baya hingga menciptakan
gelombang kedalam jantunnya, detakannya makin terasa kencang, matanya sedikit
membelalak menunjukkan ekspresi kekagetan, lina..?? dia masih saja tertunduk tapi, untuk
beberapa saat, matanya tak berkontraksi, ia mencerna dengan baik, mengulangi ketetapan
hatinya.
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun jika buruk.. jauhkan secara baik.."

Kali ini ibu itu kian tak sabar, ia tak mau mengambil resiko yang lebih dari ini, lina datang ke
tempatnya untuk belajar, sebagai tante, dia bertanggung jawab penuh atas kehidupan lina,
bertanggung jawab, bukan berarti memiliki hak atasnya, apalagi untuk urusan pernikahan,
pintu baru kehidupan. ini harus di rundingkan dengan keluarga yang lebih berhak menjadi
wali lina
"sodara ahmad yang baik, sebaiknya persuntingan ini kita tunda dulu, karena masih banyak
yang harus di perjelas, saya minta maaf, bukannya kami menolak, tapi biarkan lina
memikirkannya dan memberitahu keluarganya di kampung.. apalagi status nak ahmad ini.

Tiba-tiba genggaman suaminya mengeras, ia menoleh pada suaminya yang kali ini terlihat
serius, dan menggeleng pelan.. suasana berhenti, bahkan angin tak berhembus, rintik hujan
menelusuk di balik jendela yang beruap.. hawa dingin menerobos, tapi dalam perpustakaan
itu, semakin panas saja, aura penekanan dan kegelisahan menyeruak membelah terpaan angin
malam yang di hempaskan anak rinai hujan..
"kalo gitu kami pamit pulang, assalamu a'laikum"

Ahmad berdiri pertama, tanpa menoleh, langsung membuka pintu dan tak ada semenit telah
berdiri mematung di luar pagar rumah.. teman-temannya merasa tak enak, apalagi, suami dari
ibu ini merupakan salah satu pengajar di al-irsyad
"haduh.. kami minta maaf atas sikap ahmad ustad"
"Tidak pa-pa sampaikan minta maaf kami kepada Ahmad, jika jodoh, tidak akan kemana"

Suami itu melepas senyumnya di balik remang ketegangan, tetamunya telah tertelan gelap, ia
mengunci pagar dan menutup pintu.. kemudian berdiri diambang pintu perpustakaan,
menatap istrinya yang masih saja dalam kegelisahannya, dan pada lina, yang masih saja
tertunduk sedari tadi. kemudian bapak itu, berlalu dengan meninggalkan senyum pada
istrinya. masih saja menyiratkan ketegaran "semua akan baik-baik saja"
"kapan kau akan ke kampung nak"
"kalo bisa besok tante.."

Ibu itu ingin berkata panjang lebar, tapi dia sadar, saat ini keponakannya masih terombang-
ambing dalam dilema perasaan, apalagi merasakan sikap ahmad yang kurang bersahabat..
"terserah kau.. kamu bukan anak kecil lagi.. sudah tau yang mana baik dan buruk.. Cuma
sebagai tante layak untuk memberi mu nasehat, dan perlindungan.. tante mana yang mau
melihat keponakannya tidak baik.. maaf jika perlakuan tante tadi kurang menyenangkan
hatimu.."

Kali ini lina mendongkak kan kepalanya, menatap tante yang sudah dianggapnya ibu sendiri..
lalu tersenyum penuh ketenangan..
"tidak tante,, saya harusnya berterima kasih.. tante sudah bersikap tegas, yang itu belum tentu
bisa saya lakukan"

Mendengar itu, ibu paruh baya membalas senyumnya, lalu membelai pelan keponakannya,
dan berlalu menemui anak-anaknya yang tertidur di depan tivi. Lina masih terduduk lemas,
pandangannya tiba-tiba kosong.. raut wajahnya renyuh menatap pembatas horden, seakan
membayangkan sosok ahmad yang terlihat cemas di balik sana.. sekejap air matanya keluar,
entah karena apa..
***

Kelas itu hening seketika.. mata anak-anak kelas 4 tak bergeming menatap temannya Husain
yang bercerita begitu serius dan penuh penghayatan.. kali ini tak ada ketawa, tak ada meja
yang dihantam keras, tak ada mistar panjang yang memukul papan tulis untuk menenangkan,
hanya ada diam dan hening..
"lina itu ibuku.."
***

Dentuman guntur memecah hening yang tercipta oleh gelapnya mendung, hujan telah turun,
lina pun telah memanaskan air, sambil membuat sepanci bubur kacang hijau, buat suaminya
yang akan pulang sore ini, dan juga buat sodara-sodara ahmad yang akhir-akhir ini mulai
berani menyuruh-nyuruh lina dengan bentakan, seakan dia hadir sebagai pembantu di rumah
tersebut, tapi lina tak mempermasalahkannya.
"abi.. hangatkan dulu badanmu, sudah ku siapkan air hangat, sementara kau mandi, ku
ambilkan semangkok bubur kacang hijau yang telah ku campuri jahe.."

Lina tersenyum melihat suaminya yang bergerak malas ke kamar, sepatu suaminya ia
letakkan di samping pintu masuk, payung yang masih tergerai di lipat dan di kibas-kibaskan,
lalu dia menutup pintu dengan pelan, bersama dengan tetes-tetes air hujan yang bergelayut di
ujung payung, lalu turun perlahan meniti lantai-lantai rumah saat lina menuju dapur,
menyiapkan semangkok bubur kacang hijau, lalu menuju kamar, dengan sabar duduk di tepi
ranjang yang tak terlalu besar, tangannya tak lepas dari penutup mangkok, dan matanya tak
bergeming dari pintu kamar mandi, menunggu suaminya selesai menyegarkan diri dengan
hangat air yang dia panaskan tadi.
"pelan-pelan abi.. buburnya masih sangat panas.. bisa-bisa lidahmu terbakar, sini biar ku
suapi"
"tidak perlu"

Lina masih memandang suaminya yang meringis kepanasan, dia bergeser sedikit mendekati
suaminya, dan perlahan mengipas-ngipas bubur dengan penutup mangkoknya, khawatirnya
tak lepas dari ahmad.. jika bisa, dia pun akan meminta untuk membagi rasa panas yang di
rasakan ahmad, meski karena itu, lidahnya pun akan terasa kelu.
"aku ingin berhenti jadi diler motor"

Ahmad memberikan bubur kacang hijau yang belum habis itu pada lina, mendegar itu, lina
tersentak, namun disembunyikan kekagetannya, perlahan dia meletakkan mangkok tersebut
diatas meja belajar keponakannya.
"ada masalah yah?"
"tidak"
"lalu?"
"aku Cuma ingin mencari pekerjaan yang lebih berarti.. jadi diler motor sama seperti jadi
satpam bagiku.."
"tentu beda.. dari pendapatan pun sangat jauh. Lagi pula sekarang sulit mencari pekerjaan
yang memadai buat penghidupan.. kalo abi berhenti, cari pekerjaan susah lagi, mana motor
belum lunas kreditannya"
"yang begituan tidak perlu kau pikirkan.. itu jadi tanggung jawabku.. aku juga berencana
mencari kontrakan yang memadai, meski kau tak pernah bilang, aku tau, sodara-sodaraku
sudah berlaku kurang baik kepadamu"

Lina tersnyum.. sedikit perhatian suaminya, bagi istri seperti lina, bagaikan sebuncah
kebahagian yang tak tergantikan oleh momen apapun
"tidak apa-apa, tak bisakah kau tunda dulu?, ada hal yang lebih penting dari itu yang harus
kita pikirkan.. persiapan buah hati kita.. tentunya butuh biaya yang tak sedikit.."

Ahmad tak menggubris, ia langsung saja merebahkan badannya diatas kasur.. sekejap
matanya terpejam..
"yah.. terserah abilah.. aku ikut suamiku"

Lina pun ikut merebah di sampingnya. memandang punggung suami yang membelakanginya,
rambut suaminya ia belai begitu pelan. satu setengan tahun semenjak keluarganya di
kampung mempercayakan dirinya di atas pundak ahmad, satu setengah tahun saat lina
mendapatkan status cerai sah dari ahmad dengan istri pertamanya, dan memantapkan dirinya
untuk siap menjadi pendamping yang setia, menjadi partner hidup hingga ajal menjemput,
satu setengah tahun saat dia mulai menapaki kehidupan baru bersama ahmad, lelaki yang
berbagi kehidupan dengannya. kini, meski hidup serba tak kecukupan, dia tak bermuram
durja, gaji yang di dapat ahmad tergolong di bawah standar, meski begitu lina tak pernah
mengeluh, toh lina juga ikut membantu suaminya dengan melanjutkan usaha jahitannya, asal
ada ahmad di sampingnya, semua bisa dilewati, asal ada ahmad yang menggandengnya lelah
tak terlalu membebani.. jika mengurus diri sendiri sudah sangat susah, bukan berarti hidup
berdua akan lebih susah.. karena ternyata rasa tanggung jawab dan pedulia memberi kekuatan
tersendiri, tidak tau dari mana, tapi itulah cinta menurut lina. dan buat anak yang akan lahir,
lina bertekad akan menjadi lebih kuat berlipat-lipat, asal dengan ahmad..
***

Husain berhenti sejenak, mengatur dadanya yang bergemuruh dengan tarikan nafas panjang,
lalu memandang ke sekeliling kelas, melihat teman-temannya yang sedari tadi telah
memusatkan seluruh panca indra mereka pada cerita Husain, entah kenapa ,perhatian itu
memberi kekuatan lebih padanya, memberikan dia sebuah keyakinan, bahwa, meski
pahlawannya kali ini berbeda dengan yang lain, pahlawannya tidak bisa berubah, tidak punya
sinar super dari kedua matanya, tidak memakai stelan yang keren.. tapi tetap.. pahlawannya
jauh lebih hebat.. jauh lebih super.. dan lebih nyata dan patut untuk dikenang.
"di ibu kota, aku pun lahir"
***

Lina tergopoh-gopoh ke meja makan, kandungannya sudah mencapai Sembilan bulan,


beratnya minta ampun.. serasa dua kelapa besar diikatkan ke perutmu dan mutlak dibawa
kemana saja, hingga saat kau mencoba untuk memengeluarkan air seni sekalipun.
perhatikan..!! dalam sudut ini, perempuan beribu-ribu kali lipat kuat dan sabarnya dibanding
laki-laki, dalam keadaan ini perempuan beribu-ribu kali lipat mulianya dibanding laki-laki,
mereka dekat dengan surga, mereka dengan dengan berkah.. dan itu disadari lina.. hingga
bukan keluhan yang lahir dari raut wajahnya, tapi kesenangan yang tiada tara, garis-garis
kesabaran yang tergores indah di permukaan dahi dan kantong mata yang semakin
membuatnya manis.. serta segunung harapan pada jantung hatinya yang akan segera lahir,
menemani hari-hari dan mengisi daftar perjuangan berikutnya, tanpa lupa selingan dari
senyuman manja si buah hati saat di sentuh perutnya dengan bibir ibu yang membuatnya geli.
"huh.. sia..sia.. mad..mad datang ke Jakarta.. dah lebih 6 bulan, kerjanya Cuma mondar
mandir gak jelas.. habis itu ngabisin beras.. mending pulang dah ke Makassar.."

Kali ini paman ahmad berbicara lebih pedas dari malam-malam biasanya, makan malam itu
menjadi momok paling menjijikkan buat ahmad dan lina. sadar bahwa dia menumpang,
ahmad hanya bisa terdiam dan menelan makanan yang terasa begitu pahit.
"si jery itu dah mau masuk tk lho.. mana anaknya manja banget, kalo beli apa-apa selalu pilih
yang mahal-mahal, mana kakaknya juga selalu iri kalo adeknya beli barang baru, pasti juga
kepengen..huh.. jadi om harus hemat-hemat uang.. tapi.. yah gimana mau hemat uang..
kamunya datang"
"kamu tau kan.. paman mu ini Cuma pensiunan pertamina.. buat beri makan keluarga aja
susah.. apalagi harus nanggung dua orang lagi yang gak jelas kehidupannya"

Pyar!! termometer kesabaran ahmad pecah..! air raksanya meloncat keluar dan menetesi
hatinya yang kini meleleh di amuk amarah.. sepontan ia berdiri lalu menarik lina.. berusaha
mengimbangi jalan ahmad, lina memegang perutnya dengan tangan kiri, sementara tangan
kanannya dicengkram keras oleh ahmad, sakit, tapi lina tahu suaminya lagi meradang tegang,
mukakanya memerah. Hingga cara ahmad mengeluarkan seluruh pakaian mereka dari lemari
seperti perampok mencari setitik berlian dalam tempo tidak kurang dari 10 detik.. lina hanya
bisa terdiam, bukannya takut, dia hanya iba melihat suaminya, tapi menangis pun bukan hal
yang baik, karena hanya akan menjadi beban buat hati ahmad yang telah terjepit oleh
perkataan pedas pamannya. yah.. untuk kali ini diam betul-betul menjadi emas, meski hatinya
ikut merintih, tapi lina menyembunyikannya dalam sikap diam, sambil membantu ahmad
melipat pakaian dan merapikan segala barang-barang mereka dengan cepat. tak sampai 10
menit, seluruh barang telah siap diangkut. kali ini bertambah beban lina melangkah keluar,
tapi ahmad sudah dikuasai amarah, lina tak ia gubris, langkahnya sangat-sangat cepat, tak
menoleh atau berhenti sejenak untuk melihat lina yang tertatih-tatih mengikuti langkannya
keluar, lina tetap diam dan sabar.
"mau kemana habisin dulu makanannya"

Ahmad tidak bergeming, matanya malah memerah seperti hendak keluar, urat-uratnya
bermunculan, perkataan pamannya tadi bukannya terdengar sebagai ajakan berdamai atau
terbersit "jangan diambil hati.. aku tadi Cuma bercanda" atau "ya. . tersinggung sih boleh,
tapi gak sampai keluar rumah lah.." malah terdengar seperti klimaks cemo'oh, penyempurna
sabetan-sabetan lidah pamannya malam itu.. apalagi ahmad yang dalam kondisi seperti itu,
segalanya terdengar salah, segalanya seperti menghakimi, semuanya terdengar menjijikkan.
bahkan mendengar kalimat terakhir sudah cukup menjadi alasan buat ahmad untuk
mematahkan leher pamannya atau menusuk matanya dengan garpu. bukannya apa, kalimat
itu terdengar setajam silet. mengupas hingga tidak mengizinkan darah menetes. bagi ahmad
terdengarnya seperti "kalo gak malu ya.. dihabisin dulu makananannya"..

huahh.!!!! Ahmad mempercepat langkahnya, sambil berteriak memanggil lina.. yang saat
itu malah semakin melambat, ahmad meradang, ia berbalik kebelakang, ingin memuntahkan
kemarahannya pada lina. tapi belum sempat tamparan ahmad bersarang, lina telah tersungkur
dan menjerit..
"anakku-anakku"
***

"di saat itu aku lahir.. tapi yang mengantarkan adalah pamanku.. sementara ayahku entah lari
kemana.. hingga 10 hari di rumah sakit, barulah ayah datang, dan meminta maaf pada ibu..
ibu tidak bilang apa-apa.. malah menanyakan kabar ayah gimana, tinggalnya dimana, makan
apa dan lain sebagainya.. ayah terlihat seperti malaikat, tak pernah salah dan ibu juga terlihat
seperti malaikat, tak pernah protes, tak punya marah, kerjanya hanya patuh..patuh..patuh..
terkadang cinta membuat orang menjadi malaikat dan diri sendiri juga menjadi malaikat..
"Tidak cukup seminggu di rumah sakit, ayah mengajak ibu pulang ke Makassar, hemm..
sebenarnya bukan mengajak, Cuma sekedar pemberitahuan, karena mau tidak mau, pasti ibu
harus ikut, tapi setidaknya ayah menepati satu janjinya, mencarikan rumah kontarakan
sederhana buat ibu dan aku yang baru lahir. Namun, lagi-lagi tidak sebanding, satu janji yang
di tepati di bayar beribu perhatian yang hilang, ayah sering tidak pulang,, bahkan sampai
berhari-hari. hingga di mataku selalu terisi wajah ibu, ayah jarang sekali, yang ku kenal
hanya panggilan dan candaan khas ala ibu, ayah hanya sesekali mencium ku ketika datang
lalu lenyap lagi entah kemana. mungkin karena itu ibu mulai sakit-sakitan, badannya kurus,
tulangnya hampir sama besar dengan tulangku, kerjanya melamun di balik pintu, Cuma sekali
pancaran kebahagian yang terlihat dimata ibu, yah.. ketika ayah muncul di balik pagar, ibu
akan tersenyum lalu masuk kamar dan menyisir rambutnya serta memakai wewangian.."
"2 tahun berlalu, barulah ayah memberi tahu pekerjaan barunya.."
"aku sekarang main sulap..!!"
***

Rumah ini hanya seluas kamar di rumah standar.. di sampinya berjejal panjang dengan kamar
yang setipe. tidak ada bunga, tidak ada pekarangan, pembuangan sampahnya pun sangat
dekat, hingga bau khas pecahan telur, sisa bungkusan mie dan nasi yang tak habis dimakan
bergabung menjadi aroma tak sedap yang akan menusuk hidung 24 jam. buat orang baru,
sungguh akan menjadi masalah bahkan membuat mual, tapi buat yang telah terbiasa, baunya
seperti udara hambar yang senantiasa di hisap untuk menyambung kehidupan, dianggap tak
ada dan itu kini dinikmati lina dan anaknya.
"kau terlihat sangat kurus.."
Ibu paruh bayah itu duduk, lalu menaruh buah-buahan yang baru dbelinya, sambil
memandangi keponakannya yang semakin memprihatinkan.
Lina hanya membalas dengan senyum sambil meraih tangan kanan tantenya, lalu
menjabatnya dan menciumnya sebagai bentuk takzim ataupun menandakan dia
merindukannya..
"ruangan ini sangat sumpek, harusnya kau beli satu kipas angin, kasihan anakmu.. bisa-bisa
kulitnya penuh dengan bintik-bintik keringat"
" gimana lagi tante, dasar kamarnya sempit, sumpek, fentilasi kurang, jendela Cuma satu..
yah..gak pa-pa dari pada tidur dikolong jembatan hehe.."

Ibu paruh baya itu renyuh menatap keponakan kesayangannya, mencoba memahami dan
mencari sedikit kekecewaan akibat keras kehidupan dari matanya, tapi yang ia dapat hanya
ketegaran dan kesabaran.. apakah semua wanita seperti ini?
"suamimu diamana?"
"kerja"
"Kerja apa?"
"Katanya pesulap"
"sudah berapa lama tidak pulang"
"hampir 6 bulan"

Sepintas lina memandang keluar, menerobos celah waktu yang telah lama berlalu, dan
mendapati dirinya duduk diambang pintu tanpa ahmad disisinya, berharap ahmad tiba-tiba
muncul saat itu, lalu setidaknya ia bisa merebahkan kepala barang sebentar di dadanya,
menyandarkan kelelahan yang mau tidak mau telah memenuhi hatinya. Tapi, waktu seakan
berkata padanya "jangan harap!".. baru kali ini ia merasa sakit.. sakit sekali,, tepat disana, di
segumpal daging yang berwarna merah darah.. kini air matanya merembes keluar dengan
pelan, makin lama makin deras, lelah yang harusnya disandarkan pada ahmad, terpaksa jatuh
di pangkuan tante lina, ia merebah sambil menahan isak"
"aku rindu suamiku tante.. sangat rindu.. aku tidak perlu dia pulang dengan banyak uang, atau
dengan mengendarai mobil, aku hanya ingin dirinya.. perhatiannya.. belaian lembut
tangannya.. itu sudah cukup, bahkan jika aku yang harus kerja.. tak apa, asal dia tak lagi
pergi.."

Kepala lina di belai pelan, ibu itu menyembunyikan air matanya, gemuruh dada ia tahan
sedemikian rupa, tak ingin ikut-ikutan menangis, meski di hatinya, ia juga merasa dikhianati
"tidak perlu terlalu di pikirkan, nanti dirimu malah stress.. kasihan anakmu, dia butuh lebih
banyak perhatian.. kalo ibunya sakit, gimana anaknya bisa dirawat.. kau masih punya
simpanan kan..? uangnya ahmad gimana? "
"simpanan ku masih ada, dari ahmad hanya terang bulan yang telah basi dan ayam panggang
yang dimakan kucing, setiap dia pulang, yang dibawanya hanya bertumpuk-tumpuk
makanan, padahal aku tidak perlu itu, yang ku perlukan hanya uang yang bisa ku tabung
untuk keluargaku.."
"coba kau komunikasikan dengan lebih baik.. insya Allah bisa.. kontrakanmu tinggal berapa
hari nak?
"tinggal dua hari.."
"habis itu mau kemana? Ahmad tidak pernah bilang soal kontrakan"

Lina hanya menggeleng, lalu mengusap air matanya dan mengangkat kepalanya dari
pangkuan, sambil terus terisak pelan
"pokoknya kalo kontrakanmu habis kau pulang ke kampung, disana banyak sodaramu yang
bisa membantu, kau lanjutkan kuliahmu dari jauh, jangan terlalu berharap pada ahmad,
ingat..!, anakmu butuh perhatian lebih banyak., setelah itu cobalah mendaftar jadi guru.."

lina hanya terpaku.. menimbang-nimbang usulan tantenya.. dari hati kecilnya, ia berharap,
ahmad segera pulang..
***

Bel tanda istirahat nyaring terdengar di setiap lorong sekolah.. anak-anak muntah berkeliaran
dari kelas-kelasnya. hanya ruangan kelas 4 yang masih tertutup seakan terisolasi. Husain
berhenti bercerita, ia memandang teman-temannya yang masih memusatkan perhatian mereka
pada tutur husain. Husain lalu menoleh ke pada ibu, ibu pun mengangguk pelan tanda
memperbolehkan ia untuk melanjutkan cerita, sejenak Husain menunduk dan terpejam,
setetes air mata keluar dari matanya
"di kampung, pahlawan ku meregang"
***

Malam itu masih terasa dingin, bahkan menusuk hingga celah-celah bulu halus di badan,
serasa aliran darah hendak berhenti karena membeku, husain masih asik memainkan
tangannya dengan sisa rintik hujan, telapaknya ia tengadahkan di bawah ujung genteng yang
terus mengalirkan sisa air, tetes demi tetes.
Kakinya makin lama makin bergetar, badannya yang sangat kurus seperti kurang gizi, mulai
berontak ingin masuk, akhirnya dia mengalah, berlari kedalam rumah mengambil handuk,
membersihkan tangan dan kaki serta wajahnya yang terpercik tetesan hujan yang pecah
menerjang permukaan tangan. ia lalu mengambil sarung dan membungkus dirinya, sambil
berjalan kearah kamar ibunya, memandang ibu yang telah dua minggu terbaring lemah diatas
kasur. bahkan, seakan tubuh ibu jadi semacam cetakan diatas kasur, rambutnya menguning
karena keringat, pipinya masuk kedalam mencetak dua benjolan dia samping keduan
matanya, husain lalu merebah di samping ibunya yang tersenyum melihat kedatangan
anaknya.

Husan tak berkata-kata, ia hanya menatap pelan mata ibu yang terlihat memerah dengan urat-
urat kecil tak beraturan. ia telah tau sejak lama, semenjak pulang kekampung, bercengkrama
dengan keluarga, menyelesaikan studi, lalu mengajar di sd sebagai guru matematika,
jahitannya pun masih saja dilanjutkan dan seabrek kegiatan lainnya, tetap ibunya masih
seperti dulu, masih menyisakan ruang rindu yang hampir meledak karena suaminya tak
kunjung ada, setiap ada waktu senggang, Husain selalu melihat ibunya duduk di depan pintu
melihat ke ruas jalanan yang besar, tapi pandangannya lebih jauh dari itu, sambil sesekali
melihat ke layar hp, menunggu balasan dari suaminya yang tak kunjung datang.. persis saat
dikontrakan. senyumnya hanya kamuflase, riang dan semangat kerjanya hanya tipuan, yang
ada hanyalah hati yang meraung karena diamuk sunami rindu yang menerjang tak kunjung
surut.. ibu.. pintar betul bersandiwara..
"kenapa liat terus..? ibu makin kurus yah..?"

Lina masih terus tersenyum pada husain, dan Husain hanya mengangguk.. memang dia
terkenal sebagai anak pendiam namun jenaka luar biasa, kata keluarga, mirip ibunya waktu
kecil.
"yah.. kan ikut husainnya.. masa' anaknya kurus ibunya gemuk.. xixixi.."

Husain tersenyum renyah.. ledekan ibunya seperti satu kecupan di pipinya.. ia lalu mendekap
erat tubuh ibu, wajahnya dibenamkan dalam dada..
"nak.. kau rindu abi?"

Husain sedikit tersentak.. jika bukan karena pertanyaan itu, mungkin dia tidak pernah ingat
kalo dia punya ayah..
"mang abi kemana?"
"Kerja buat kita.."
"Ko' tidak pernah pulang.."

Lina hanya terdiam.. Husain pun tak ingin membahas panjang lebar.. kembali ia benamkan
wajahnya.. tapi lina meneruskan pembicaraan..
"kamu sayang abi..?
"ibu sayang abi..?"

Husain balik bertanya.. lina hanya tersenyum semanis yang pernah dilihat Husain..
"ayahmu orang yang baik sekali.. jika tersenyum ketawanya semanis dirimu, di pipi kirinya
ada lesung pipi, jika marah dia hanya diam, tidak pernah bentak sama ibu.. kau tau,, dia cari
kontrakan buat ibu karena sodara-saodaranya sering nyuruh-nyuruh ibumu.. ayah mu tidak
terima.. padahal ibu tidak pernah lapor lho.. hihihi.."
"katanya kontrakan kita dulu sumpek ya.."

Lina hanya tersenyum lebar, mengingat dan memperkirakan Gerangan apa yang membuat
mereka tahan tinggal di kontrakan bau itu.. mengenang itu, seakan makan permen asin,
namun tetap ada manisnya.. dan suasana pun menjadi hening..
"aku sayang umayya (panggilan Husain pada ibunya..)"

Lina tersenyum.. dia membelai kepala Husain, ruas-ruas jarinya ia selipkan di antara
rerimbun rambut anaknya yang lebat..
"jadi anak sholeh yah.. supaya ibu punya amal jariyah.. jadi, biar ibu nanti meninggal, tetap
dapat pahala.. jangan pernah berkelahi, apalagi nyusahin tante dan pamanmu disini.. klo
sudah besar, jangan mau kerja empang, tapi lanjutkan sekolah di kota sampai professor..
hehe.. cari istri yang solehah.. dan jangan sekali-kali ninggalin istrinya lama-lama.."
"aku mau cari istri seperti umayya"
"hahaha.. kamu ini.."

Dahi lina mengeluarkan keringat yang banyak.. cetakan tulang-tulangnya makin jelas di
badannya yang tinggal terbungkus kulit.. tiba-tiba ia mengeluarkan air mata..
"kenapa menangis..?
"tidak..tidak.. umayya Cuma berharap.. abimu bisa lihat kamu yang dah besar, yang dah
ganteng dan pintar "
"Dah..dah.. tidur.. besok kamu sekolah.. ""Aku sayang kamu nak.."

Lina mengecup dahi Husain.. dari ujung bibir lina, terasa suhu yang sangat panas, menembus
dahi Husain hingga kekhawatirannya
"umayya panas sekali"

Lina hanya diam dan terpejam.. Husain tak bisa memejamkan matanya.. lama..sangat lama..
dia hanya memendang ibunya beserta bulir-bulir keringat yang semakin deras membanjiri
wajah dan badan ibunya. tiba-tiba dari hidung ibunya merembes aliran darah tak henti..
Husain panik, ia menggoyang-goyangkan badan ibunya.. ibunya tak bangun, masih saja
terpejam.. Husain berteriak..!! seluruh penghuni rumah terbangun dan kaget, mereka
berhamburan ke kamar lina lalu semakin terkejut melihat kilatan darah merah yang sudah
mencapai permukaan kasur.. dari telinganya juga keluar darah rupanya.. lina digotong menuju
kerumah sakit, Husain dilarang ikut,, ia hanya terpaku di depan pintu, mencerna kejadian
yang sangat mendadak ini, mengingat percakapan terakhir dengan ibunya, tentang ayah, anak
sholeh dan sedikit jenaka yang tersisa, tapi tidak bisa menguatkan jiwanya yang seketika
ambruk melihat darah segar menghitam tak berhenti mengalir..
Sejurus kemudian.. tantenya berlari, menghambur padanya.. memeluknya erat sekali.. Husain
merasakan hentakan badan yang naik turun tak terkontrol dari tubuh tantenya..
"ada apa tante? ibu.. kenapa..?"

Tantenya bergetar, mulutnya terbata-bata, tak seperti air matanya yang merembes keluar
layaknya hujan saat mendung menutupi bulan..
"sssssbar yah nn..nak.. uumm..aayyaa..mu mm..menging..ggal.."

Husain terdiam,, tak berkedip.. sejenak badannya mati rasa.. bahkan ia tak menangis..
dengan sepontan ia berkata:
"aku ingin telpon abi"

Sejurus kemudian.. tantenya telah memberikan hp lina pada Husain.. husain mencari no hp
yang ia ingat berinisal "imamy".. akhirnya.. dia menunggu jawaban dari ujung sana
"halo.. assalamu a'laikum.. "
"abi.. umayya meninggal.. ummayya meninggal.."

Tiba-tiba Tangisan Husain pecah dengan sangat keras.. menghantam dinding kayu rumah itu..
orang-orang yang ada disekitarnya tak berani berbuat apa-apa.. Husain telah tersungkur,
terduduk di tempatnya berdiri..
"huhu.. abi.. pulang.. umayya meninggal.. umayya meninggal.. siapa yang temani Husain
lagi.. huhu.. sapa yang ajari husen ngaji.. pulang abi.. siapa yang belikan buku buat Husain
lagi.. abi pulangg.. umayya.. meninggal.. huhuhuhuuuu.."
"maaf anda salah sambung.. " tiittttiitttiitt
"abi..pulang..pulang.. huhuhuhu.. puuulllllaaaannggggg.."

Tiittt.tiittt

Husain meronta keras.. tantenya mememeluknya dan menenangkan.. seluruh rumah kini
terdiam tak sanggup lagi menangis, menyaksikan sebuah adegan hidup yang begitu
memilukan,, dan Husain tak berhenti menangis.. bukan karena penolakan ayahnya.. tapi
kepergian ibunya.. ia terus menangis.. hingga tertidur dalam jiwanya yang remuk redam..
***

Isakan pelan tertahan membahana dengan tenang di ruangan kelas 4, seluruh siswa merunduk
menyembunyikan air mata mereka, menyesal baru menyadari, bahwa ibulah yang harusnya
dianggap pahlawan.. meski tak super,, dialah super sebenarnya.. husain pun begitu, ia masih
saja menangis, menahan suara yang harusnya meledak-ledak, tapi ia tak kuasa membendung
air matanya yang berhamburan.. melihat itu.. ibu guru yang sedari tadi juga ikut menangis..
menerjang husain lalu memeluknya.. mengelus punggung Husain.. menenangkan.. Husain
pun membalas pelukan lebih erat.. membenamkan suaranya dalam pelukan ibu guru,
menyebunyikan air matanya yang tak berhenti mengalir, dalam hati ia merintih
"jangan lepaskan bu.. aku ingin dipeluk terus.. ingin di peluk
Jangan lepaskan"

ISTANA-MU HANYA UNTUKNYA


Cerpen Dea Ayuningtyas

Tetes demi tetes masih tersisa dari hujan sore itu. Hiruk pikuk para pekerja kantoran dan
beberapa anak berseragam putih abu-abu terdengar sayup-sayup dari kejauhan dibawah
sebuah halte bus yang menyelamatkan mereka dari tetes-tetes menyejukkan dan cipratan
lumpur di sekitar tempat itu. Aku berlari menuju sebuah halte bus untuk menyelamatkan diri
dari tetesan itu seperti orang-orang kebanyakan, dan berdiri sejajar dengan mereka. Tepat
pukul 16.00 bus Kopaja berhenti di hadapanku, bus yang penuh sesak itu tetap memaksaku
untuk tetap ku masuki. Saat ku coba memegang salah satu tiang dari bus untuk membantuku
naik, aku terjatuh karena secara tiba-tiba bus itu menyalakan mesinnya dan melaju. arrghh
sial. Saat ku paksa diriku untuk bangkit, hampir saja aku terhuyung jatuh karena kakiku
terlalu sakit untuk menyangga tubuhku.

Ada genggaman lembut yang datang untukku, aku terkejut. Kulihatnya pria tampan
berperawakan tinggi berkacamata itu. Pria itu menatapku, dan genggaman itu semakin erat
kurasakan. Wangi tubuhnya, sorot matanya, membuatku mati kaku dengan perlakuan
lembutnya. kamu nggak kenapa-napa kan?. Dia memulai percakapan itu dengan nada
khawatir yang sangat kentara. hmmm nggak kenapa-napa kok, cuman lecet sedikit. biar
aku bantu, hati-hati ya, mending kamu duduk dulu aja. Kemudian dia memapahku bangun
dan membantuku untuk duduk di salah satu bangku halte. tunggu disini ya, jangan pergi
sebelum aku kembali. Pria itu berlalu menjauhiku. Kurasa kakiku sudah tidak terasa sakit.
Setengah jam berlalu, aku tetap menanti sosok itu muncul dari kejauhan, aku mulai bosan.
Bus pun tak kunjung datang. Hujan lebat kembali membasahi tanah ini, suara gemercik hujan
menemani kesendirianku.

Tak begitu jauh dari tempatku duduk, ku lihat sebuah tas hitam bodypack tak bertuan. Aku
mencoba untuk meraihnya, dan tas itupun jatuh memuntahkan apa yang ada didalamnya, aku
bingung dan heran, namun tak tahu harus bertanya kepada siapa, karena hanya diriku dan
percikan air hujan ini yang menemani. Sesaat kemudian, ku putuskan untuk mengambil satu
persatu isi dari tas tersebut. Ku lihat ada beberapa buku-buku kosong serta foto-foto yang
berserakan, sosok itu, aku mengenalnya, bahkan sangat kupahami.

Ada foto diriku terpampang jelas di foto-foto itu, sangat jelas. Dilihat dari latar yang ada, foto
ini diambil saat aku sedang menanti bus, disini, di tempat ini. Hanya sosok diriku dalam foto-
foto itu. siapa pemilik tas ini? Apakah aku mengenalnya? Kemudian, aku segera mencari
identitas dari pemilik tas ini. Kenapa semua isinya hanya ada fotoku? Dan beberapa buku
kosong tak bernama? Tanpa pikir panjang aku membawa tas itu dan berlari mengejar sebuah
taksi yang melaju melewati halte. Aku harus tau siapa pemilik tas ini. Hanya pikiran itu yang
memenuhi otakku saat ini. Aku tak bisa berlama-lama menanti sosok pria tadi dengan
kebingunganku dengan tas yang ku bawa ini.

Aku menatap jendela kamarku yang terbuka, semilir angin malam masuk melalui cela itu,
dingin yang begitu terasa memaksaku untuk segera menutup jendela kamarku. Pikiranku
langsung tertuju pada kejadian sore tadi, sontak aku langsung meraih tas yang kutemukan
tidak jauh dari halte. Aku membuka lembar demi lembar kertas di salah satu buku, berharap
menemukan titik terang. Apa maksud dari semua ini? Sejauh ini aku masih berusaha untuk
mengetahuinya. Aku terkesima, lembar terakhir dalam buku ini adalah sebuah puisi yang
ditujukan untuk diriku. Aku membacanya dengan hati yang tak bisa ku ungkapkan.

Ganesya
Aku adalah pecundang
Melihatmu hanya mampu ku menjauh
Kau bukan yang ku tahu
Namun kau adalah yang ku tuju
Hati ini sakit melihatmu
Karena tak berani ku mencintaimu
Ganesya Putri Pratami,
Aku, sungguh mencintaimu
M.S

Ganesya, itu namaku! Siapa orang ini? Tuhan. Aku semakin tak mengerti..
Hari demi hari, aku selalu menanti kedatangan sosok itu, dia yang menolongku di tempat ini,
sebuah halte kusam dekat sekolahku. Panas yang menghiasi beberapa hari ini tak
mengurungkan niatku untuk menanti sosok berkacamata tiu. Setiap kali aku beranjak untuk
pulang, sesak rasanya hati ini. Belum juga kutemukan titik terang dari sebuah rahasia tak
kentara. Hingga hari ke-16 aku tetap menanti. Seperti biasa, aku duduk termenung menanti
bus Kopaja di halte mungil sore itu. hujan kembali menemaniku dengan suara cerianya yang
memecak kesunyian hatiku. Aku galau, melamun seperti patung kematian.

Beberapa kali aku mencoba menempati tetesan air hujan kedalam genggamanku. Hanya
sekedar menghibur diri. Di saat itu pula, mata ini kupaksakan untuk melihat sosok di antara
banyaknya kendaraan yang lalu lalang di seberang jalan. Ya! Aku mengenalnya. Namun ia
terlihat begitu berbeda dengan baju putih dan celana abu-abu yang ia kenakan. Sorot mata
yang tajam namun lembut itu tertuju padaku. Kurasakan bibir ini tersenyum lebar dengan
sendirinya, hati ini semakin tak menentu. Inilah akhir dari penantian dari semua rasa
penasaranku. Kulambaikan tanganku kepadanya, dia ia membalas dengan senyum khasnya.
hay kamu! Kemarilah, aku belum tahu siapa kamu?. Aku berteriak memanggilnya dari
seberang jalan. Ku liat dia mengganggukan kepalanya tanda mengerti.

Saat ia melangkah, sebuah mobil Everest melaju tanpa henti menghantam dirinya, tubuh itu
jatuh tak terkira dibawah tetesan hujan dan teriakkan beberapa orang yang melihatnya. Wajah
ini pucat pasi tak berkutik, entah shock atau terkejut. ku hampiri tubuh itu dengan langkah
seakan terseok-seok. Beberapa orang terlihat mengerubungi tubuh itu. aku melihatnya, sosok
yang ku cari selama ini, kini aku melihatnya lebih jelas dengan tubuh yang terbujur kaku
dengan tetesan air hujan yang menyambut kepergiannya. Satu langkah itu telah
mengantarnya ke sisi Tuhan. Aku memeluk erat tubuh itu, ku kecup keningnya tanpa sadar
dengan apa yang sedang aku lakukan. Sebuah panggilan hati. Kupaksakan diriku untuk tidak
menangis, agar dia tenang dialam yang berbeda. Aku harap dia tersenyum melihatku disana.

Tuhan, mengapa disaat aku mulai mencintainya kau pertenukan aku dengan cara yang seperti
ini?. Aku menangis dalam hati. Aku mencintai seseorang yang namanya pun aku tak tahu. Oh
Tuhan! Aku teringat sesuatu, mataku mencari identitas dari orang ini, dia yang aku cintai.
Pada badge namanya tertulis jelas Mahardika Syahreza yang tak tertutup oleh lumuran
darah yang menutupi sebagian baju putihnya. Aku tersenyum lemah, kini aku telah mengerti
sebuah nama itu, setelah ia meninggalkanku.

Beberapa hari setelah kepergian Dika, aku masih merasa sepi. Aku menangis. Ku coba
mengusir kesedihan ini dengan menulis. Iya, mungkin diaryku bisa sedikit membantu. Buku
Diary yang biasa ku taruh dibawah bantal tak kutemukan adanya. Aku terus mencari di
beberapa tumpukkan buku pelajaran sekolah milikku. Satu buku terjatuh menimpa kakiku
dan segera ku ambil. Di pertengahan buku itu aku menemukan sebuah puisi yang langsung
kubaca,

Sedih bukan ciri dirimu,


Termenung tak pernah kutemukan darimu
Ketika aku telah pergi,
Bukan tangis yang ingin ku lihat
Tetapi senyum hangatmu
Yang selalu melengkapiku
Maaf,
Aku memang harus pergi
Ganesya,
Kau selalu memberiku keabadian
Jika kau merelakanku pergi,
Namun ingatlah,
Cinta ini tetap ada
Meski di alam yang berbeda.
M.S

M.S? Apa mungkin penulis ini adalah kau yang kusayang? Mahardika Syahreza!. Apa kau
yang selama ini selalu melihatku dari kejauhan? Apakah kau yang mengirimkan puisi-puisi
untukku? Benarkah kau pemilik tas ini? Tuhan, jika benar dia. Titipkan kasih sayang ini
kedalam surga cinta-Mu yang abadi. Jaga dia, lindungi dia sampai saat nanti kan kususul dia
ke dalam istana-Mu Tuhan.

KADO TERINDAH TERAKHIR UNTUK KAKA


Cerpen Tiara Arya Saputri

" auuu " rinti angel kesakitan


" maaf " ucap seorang pria putih dan ganteng
" ya gpp " jawab angel bisa
" gpp gimana kaki kamu luka " ucap laki2 itu lagi
" gpp ko "
" oya knalin gw rangga " ucap laki2 itu
" gw angel " ucap ku yg menyebarkan senyum manis
" lo skolah di sma pertiwi ?" tanya rangga banall bnjgfuuhg
" loh ko tau ?? " tanya ku penasaran
" ya tau lah gw kan peramal " ucap rangga pamer
" gaya loe "
" hehehe becanda " ucap rangga sami memamerkan pipi bakso nya

sejak saat itu aq dan rangga berteman baik

@ sekolah
" hay smua " sapa kidran dgn bahagia
" lo knp ?? tanya ku
" iya oe knp ki " tanya ifah yg tak kalah penasaran
" gw mau tunangan " ucap kidran bahagia
" what ??? " ucap ku dan ifah terkejut
" kalian ga seneng ya " tanya kidran
" kita seneng cuma ko mendadak agian lo kan masih sma " jls ifah
" bner banget tu kata ifah " tambah ku
" ange , ifah gw cuma baru tunangan bom nikah " jls kidran
" emng sama siapa ? " tanya ku
" nama nya rangga " ucap kidran yg membuat ku terkejut
" rangga ?? apa dya rangga moela soekarta ? " batin ku
" angel o knp ? " tanya kidra yg menyadarkan ku dr lamunan ku
" gpp ko " ucap ku berbohong

@ kantin
aq meihat ifah dgn bisma karisma si play boy cap kapak
aq pun berjaan ke arah sana
" woii " ucap ku
" ehh angel " ucap ifah
" ehh monyet lo ngapain sama sahabat gw " tanya ku ke bisma
" idih angel lo jahat amat " ucap bisma
" ehh nyet jahat mana gw sama loe ? " tanya ku lagi
" loe " jawab bisma
" maksud loe " tanya ku
bisma pun berdiri kan berbisik ke aq
" gw tau ko klo lo suka saama rangga dan rangga itu calon nya kidran kan " ucap nya
" loe tau dr mana ? " tanya ku
" angel gw ini adik rangga " ucap nya lagi
" omg " ucap ku shock

karna sedih aq pun berjaan ke arah danau yg ada di dekat sekolah


" knp sih nga lo harus jadi calon tunangan sahabat gw ?? " triak ku kesal
" knp harus marah ko itu takdir ya mau gimana " ucap seseorang yg tak asing bagi ku dan dya
adaah morgan kk kelas ku
" ka morgan " ucap ku
" klo km mau marah percuma karna takdir itu udah di atur sama yg di atas mungkin saat ini
oorang yg kamu sayang udah upa sama km " jls morgan
air mata ku terus mengair bagai banjir bandang
berlahan aq bersandar ke morgan
" aq pinjem kak " ucap ku
" ia " ucap morgan

sejak saat itu pertemanan ku dgn kak morgan semakin dekat

percepat
@ cafee
" agel gw mau minta maaf " ucap bisma tiba2
" maksud loe ?? " tanya ku
" gw sadar klo gw udah salah buat lo sama rangga pisah " ucap bisma lagi
" pisah ?? gw sama rangga ga ada hubungan apapun jadi apa yg menyebabkan kita pisah "
tanya ku
" ya karna gw pernah benci sama loe waktu pertama kali lo bikin malu gw saat gw nembak o
lo malah nolak gw dan pass gw pacaran sama ifah gw cuma pura2 ngel "
" apa ?? bis lo tega ya gw nga marah klo lo benci sama gw tp gw nga suka klo lo pacaran
sama ifah cuma mau balas dendam sama gw " ucap ku
" tp angel itu smua dlu dan sekarang gw beneran suka sama ifah " jls bisma
" ok . tp gw mau o tebus kesalahan loe dgn serius sama sahabat gw " pinta ku
" makasi angel " ucap bismamemeluk ku
" angel " ucap ifah yg tiba2 ada di sana
" ifah " ucap ku bisma serentak
" kalian jahat ya " ucap nya yg langsung pergi
" tp fah " ucap ku yg mengejar nya

ifah pun telah teranjur sakit hati

@ seminggu kemudian
hari ini adalahg hari pertunanganan rangga dan kidran

tik tok # suara ketukan pintu rumah ku


aq pun membuka pintu tersebut
" rangga " ucap ku terkejut
" ia ini aq angel " ucap rangga
" km ngapain , km kan mau tunanagan sama kidran "
" tp aq nga cinta sama kidran " ucap rangga
" km nga cinta sama kidran ?? km jahat nga knp km buat sahabat aq kecewa di saat
pertunangann kalian " ucap ku memarahi nya
" tp angel aq suka sama km " ucap rangga
" klo km sayank sama aq km harus bisa buat sahabat aq bahagia . dan aq minta maaf aq udah
punya pacar " jls ku yg menahan air mata
" tp ... "
" maaf nga "

aq pun langsung menutup pintu rumah ku

@ tempat acara
orang yg tlah mencari ke beradaan rangga tp akhir nya rangga puang juga dan karna
mendengar permintaan angel tadi rangga pun mencoba untuk melupakan angel dan hidup
bersama kidran selama nya
dan bisma ia pun telah bisa menjelas kan smua nya kepada ifah .

dan salah paham ku bersama ifah pun berakhir

pertukaran cincin
rangga memasangkan cincing di jari kidran dan begitu pun sebalik nya kidran memasangakn
cincin di jari rangga

prokkk # suara tepuk tangan

" aq bahagia bia kalian bahagia " ucap ku yg menyaksikan acara tersebut ..

2 buan kemudian

" sayank " ucap ku dr koridor sekolah


" ia " jawab pacar ku itu
" km dr mana ?? " tanya ku
" dr hati km " ucap nya

oya knalin ini pacar aq nama nya HANDI MORGAN WINATA .

ga kerasa walau pengorbanan itu pahit tp berakir indah

dan kini aq memilih sahabat ku bukan cinta ....

karna cinta ku adalah orang yg sedang di dekat ku saat ini ...


bukan rangga atau pun bisma ...

The end

Hantu Nancy
Ugoran Prasad

Kebon Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias dan
menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy akan
menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai tengkukmu.
Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus napas mencapai
tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.

Pasti sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji. Lima orang
memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon biasanya duduk. Dari kursi
itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri. Sehari-hari cermin di hadapannya biasa
memantulkan berangsur wajah para pelanggan menuju kecantikan, malam itu berangsur
wajahnya menuju kematian. Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya
serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan
satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut
di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy
kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy
mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya
terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri.
Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan, gemetaran. Melihat bangkai Nancy, penyesalan
Zulfikar tak tertanggungkan. Seribu kali kematiannya tak mungkin impas mengganti sekali
kematian Nancy.

Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi di Kebon
Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan. Lupa selalu bisa
diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik hantu Nancy terembus.

Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini, terutama karena
semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa ditanyai. Satu hal yang bisa
dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul Nancy. Untuk mengikis sebagian
penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama
hantu Nancy.

***

Hampir seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar menghilang.
Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun memerintahkan agar Senin
mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau membutuhkan sesuatu. Senin berjalan ke
rumah Zulfikar bersiap menemukan keadaan terburuk dan bertindak.

Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis, kejahatannya
paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon Nancy, ia diajak serta.
Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah Leman sejak awal bersiaga, siap
menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya kecut.

Ditemukan di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi cacing tanah.
Ketika Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut dengan kalimat yang
tampaknya disusun tanpa akal sehat.

Ini tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.

Kalimat berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat.


Senin, lu punya duit? Gua mau cukur, satu tangannya memainkan ujung rambut
panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba, merogoh
kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.

Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di mana Zulfikar
bercukur, mengingat Nancy sudah mati.

Wajah girang Zulfikar tiba-tiba lenyap.

Nancy mati, Nin? Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir meledak. Senin
memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah patah, dan Zulfikar pastilah
salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa Zulfikar tak berbahaya, seperti
potongan cacing di depan mereka.

Setelah menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin laporan untuk
bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar kemudian.

Kasihan pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.

Membalik badan, Senin bertanya kenapa.

Aku mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.

Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia tertawa
sampai tersedak.

Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama komplotannya,


Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati tersumpal rambut, ia melotot.

***

Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib, Leman Badik
duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah Kebon Sawah. Sudah tiga
anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam terakhir. Sudirja di telepon tadi siang
gagal menyembunyikan gelisah suaranya.

Leman Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang, selain
Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja tampak kosong, lemah.
Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama, Sudirja memerintahkan padanya untuk
menghabisi Nancy. Saat itu suara majikannya pelan namun penuh percaya diri.
Menyingkirkan perasaan cinta yang mendalam pada Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit
pun gundah.

Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir, menyaksikan
berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-gara Nancy, untuk
pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri. Nancy seperti tahu sudut-sudut
Sudirja yang paling lemah, mengolahnya, meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan.

Saya gak percaya ini kerjaan setan, cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.
Persis ketika Leman mengucap setan, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman mencium
kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam pikirannya, waktunya
tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.

Sejurus kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni


pembunuhan beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak beririsan. Leman
percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-musuh di pemilihan lurah tahun
lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan: pertama, karena ini dipastikan oleh dukun
langganannya dan, kedua, dukun itu tak pernah mengecewakannya. Sementara itu, pikiran
Sudirja dipenuhi Nancy berkepala gundul dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut
yang datang setiap Rabu malam. Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi.

Pertengkaran terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak permintaan Nancy.
Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap mereka, biar orang kampung tahu
siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja mengancam akan menghabisi Nancy, menegaskan
bahwa cara semacam itu bukan pula yang pertama untuknya. Nancy balas menantang,
mengancam akan bangkit dari kubur dan membalas dendam jika ia benar-benar dibunuh.

Mencintai Nancy justru karena apa adanya, tak kurang tak lebih, Sudirja tak mungkin
mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan kehilangan Nancy
selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu ia sekadar melakukan yang
biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu malam menjelang dan Sudirja menyesal
sekadar menganggap angin ancaman Nancy. Semua sudah terlambat, ia yakin kematiannya
sudah dekat.

Dari tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi bergeming. Malam
nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya. Silakan. Anak buahnya tolol, kalah
sebelum perang, itulah alasan kematian mereka. Hantu Nancy hanyalah akal-akalan manusia.

Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia ditemukan
mati melotot melihat ngeri.

***

Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga kampung mulai
terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu berani mengambil
kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-bisik bahwa Lurah Kebon
Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun sempat susah masuk akal, kini sulit
dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti
seluruh komplotan Leman. Semuanya pastilah berhubungan.

Orang-orang berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan dugaan masing-
masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah kecemburuan istri Sudirja
dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini mendorong Sudirja bertindak
sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya, kekejian semacam ini bukan yang pertama bagi
Sudirja. Mengenai betul tidaknya bisik-bisik bahwa pelaku balas dendam Nancy adalah
arwah penasaran, tetua kampung menganjurkan warga mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran
ini tak terlalu menenteramkan, terutama karena sudah setiap malam dalam enam minggu
terakhir ini warga bertahlil dan dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan kekhusyukan.
Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa dibutuhkan
satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai bisa diamalkan.

***

Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa. Keadaan
remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan cermin di mana Nancy
melihat dirinya sendiri terakhir kali.

Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon itu, ia bisa
menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.

Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy berdiri di
belakangnya.

Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut tersumpal
rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai panjang dan lebat, sangat
terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat. Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh
sayang. Pakaiannya tipis menerawang. Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali
lagi. Kematian telah memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup.
Sepasang dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian
halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman payudaranya
berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh dengan anggun. Sungguh
Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis dan cambang bisa membuat seseorang
demikian cantik.

Zulfikar berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang diangankan
Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno. Zulfikar terus
berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu lain cerita. Terus ia
menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih dari sebelumnya.

Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya, kenapa ia
mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang paling dicintainya.
Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti. Nancy tak akan bisa menakar
cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun
boleh bisa. Nancy demikian cantik. Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih
banyak orang kaya yang bisa.

Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi
seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang, Zulfikar mulai memotong
rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum
Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya
mulai tercukur habis.

Ia melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah bayangan
Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan rambut-rambut itu ke
dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup hidungnya. Nancy tersenyum,
semakin cantik.

***
Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy, tak satu pun
salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke pusat kota untuk bercukur
dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka mengingat delapan kematian beruntun di
Kebon Sawah.

Warga masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan, mengatakan
bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang, sebagaimana ditunjukkan jejak sidik
jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit memaksa warga mendapatkan tenang, bukan
semata-mata karena pembunuhan Nancy tak pernah terungkap terang. Mayat Zulfikar, setelah
lenyap saat disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak pernah ditemukan.

Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di bekas salon
Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai berubah sejak Siska
berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya. Tetua kampung, sekalipun sempat
khawatir dengan kedatangan Siska, urung cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda
dengan Nancy yang cantik, Siska berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis
dan janggut. Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah
seseorang yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya,
mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.

Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan kemiripan
keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-rupanya bukan suatu
cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong dibutuhkan agar semuanya
berjalan sesuai rencana.

Begitupun, ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa menghirup
bau rambut terbakar.

Phantasmagoria
Satiagitaya

Phantasmagoria adalah berbaurnya rentetan gambar, citra, figur-figur yang menipu


penglihatan, sampai kita susah membedakan mana nyata mana tidak nyata. Tanata berdiri di
pinggir jalan di depan rentetan toko-toko, kafe, butik, melihat bayangannya sendiri terpantul
membaur dengan manekin, benda-benda, dan huruf-huruf besar yang melekat di kaca etalase.
Ia terpesona.
Sekedar mengingatkan: Walter Benjamin juga pernah tertegun melihat citraan bayang-bayang
yang berbaur dengan kenyataan seperti itu di Paris. Seperti sebuah mimpi-phantasmagoria
meminjam istilah filsuf Jerman mazhab Frankfurt itu.

Bagaimana seorang terjebak dalam phantasmagoria?

***

Senja di Kuta. Tiba-tiba timbul ide di benak Tanata untuk terjun ke arena di mana kenyataan
tak bersekat dengan mimpi tempatnya berdiri. Ia pun menembus kaca, menembus bayang-
bayang, dan ketika mendapati wanita yang serasa pernah dikenalnya: Marianne.

Marianne, bagaimana kamu berada di sini? tanyanya takjub.

Yang disapa tersenyum.

Aku tahu kamu akan datang, cepat atau lambat, kata Marianne. Kamu penghayal sejati.

Marianne masih seperti dulu. Dia mengenakan blouse putih lengan pendek, memperlihatkan
putih kulit lengannya. Celana jins membalut pinggangnya yang padat, terangkat oleh selop
bermodel sederhana-selempang kulit hitam dengan hiasan manik-manik-bertumit tinggi.
Kuku-kuku jarinya ber-cutex merah. Wanita ini melayani percakapan sambil membereskan
meja bar, menaruh gelas-gelas yang diangkatnya dari tempat pencucian di bibir pantry dalam
posisi terbalik.

Hows life tanyanya.

Tanata terdiam tak tahu harus menjawab apa.

Kembali Marianne tersenyum. Ia menuju alat pemutar lagu. Kuku-kuku jarinya yang juga
ber-cutex merah menyala memencet tombol alat pemutar yang kelihatan sangat kuno
modelnya. Adanya ini katanya demi melihat Tanata memerhatikan alat pemutar lagu
tadi. Aku tahu kamu menyukai ini lanjutnya. Mengalun lagu lembut berjudul seperti
namanya.

Dari dulu terus terang aku memujanya

Problemnya pasti irama ya, iya kan? ucap Marianne seperti hendak menebak, mengapa
Tanata tak menjawab pertanyaannya. Kamu menyebut, semua adalah soal irama. Irama
kamu sebenarnya di sini.
Bersamamu, tukas Tanata.
Kamu masih suka merayu.
Aku sungguh-sungguh.
Aku tahu. Kamu jujur mengungkapkan apa yang kamu rasakan, meski aku juga tahu, seusai
ini pada keadaan yang lain lagi kamu berkata hal serupa pada perempuan lain.

Kali ini Tanata tersenyum. Marianne selalu benar. Meski, mungkin tidak kali ini.

***
Marianne, nama ini, kosa kata ini, berada dalam jajaran kosa kata-kosa kata lainnya dalam
lintasan hidup Tanata, misalnya Vila Ulangun, Lila Buana, Kayuapi, Bumi Shanti, dan lain-
lain. Pertama kali Tanata melihatnya di Vila Ulangun-sebuah proyek kawasan hiburan yang
pada masa itu belum jadi.

Siapa dia? tanya Tanata ketika melihat wanita itu melintas masuk Vila Ulangun. Bahkan
masih diingatnya apa yang ditentengnya. Yakni, perangkat pantry untuk persiapan
pembukaan bar.

Adik Pak Franky, kata seorang di situ.


Adik Pak Franky? Tanata mengulangi. Siapa namanya?
Marianne. Cantik ya yang diajak bicara berkomentar tanpa diminta. Pernah jadi Miss
Minahasa.
Ooh

Diingatnya percakapan-percakapan mereka di masa awal perkenalan. Tanata


memperkenalkan diri sebagai orang baru di situ, sebagai pemain band yang baru saja lolos
audisi, yang dilakukan sendiri oleh Pak Franky.

Dari mana asalnya? tanya Marianne.


Magelang, kata Tanata. Dia selalu menyebut kota ini. Di mana itu?
Di Jawa Tengah. Bayangkanlah Minahasa. Kota itu sama indahnya dengan Minahasa.
Berbukit-bukit dan dingin.
Marianne tersenyum.
Saya juga belum lama di sini, kata Marianne. Baru dua bulan.
Sudah ke mana saja? tanya Tanata.
Tidak pernah ke mana-mana jawabnya. Tahunya hanya Bumi Shanti dan sini,
tambahnya tertawa. Bumi Shanti adalah nama banjar di mana Franky tinggal.

Marianne cukup sering membantu beres-beres di Vila Ulangun. Ketika sedikit-sedikit operasi
Vila Ulangun dimulai, termasuk dibukanya bar, kadang ia tinggal di situ sampai malam, ikut
sibuk.

Tanata tahu belaka bagaiman menyenangkan adik sang bos. Di panggung dia bercuap-cuap
kepada siapa lagu yang hendak dinyanyikan ditujukan. Lalu mengalunlah lagu ini:

Where are the roses that I brought you, my love


Where are the poems that I wrote

Lalu, sejak malam itu, Marianne pulang ke Bumi Shanti tidak lagi dengan mobil jemputan
keluarga. Tanata mengantarnya pulang, memboncengkannya dengan Yamaha trail yang
dipakainya sehari-hari. Kadang tidak langsung menuju rumah. Mereka nongkrong dulu di
lapangan tengah kota bernama Lila Buana, yang pada tengah malam hari sampai dini hari
diramaikan penjual makanan. Di situlah mereka yang biasa hidup di malam hari mencari
makan pada lewat tengah malam, termasuk beberapa seniman, yang namanya cukup terkenal.

Di Lila Buana-orang-orang menyingkatnya Lebanon-Tanata menulis beberapa puisi itu. Itu


masa hidupnya yang dirasakan paling produktif. Sebagian puisinya dimuat oleh surat kabar
lokal dengan di bawahnya tertulis: untuk M.
***

Sebuah masa, masa hujan sajak dan puisi. Seperti pisau bermata seribu, sajaknya mengena
pada siapa saja: kalau toh tidak pada seribu wanita, setidaknya pada satu, dua, atau tiga
orang. Nama dari satu, dua, atau tiga orang itu masih diingatnya. Inisialnya, sebut saja dua di
antaranya, Y dan S. Tentu saja selain M-Marianne

Bersama Marianne ia membelah pulau, menuju arah utara, kehujanan, sama-sama menggigil
kedinginan berteduh di dangau di daerah Batubulan. Tak ada suar apa pun senja itu. Sawah
berundak-undak rapi itu sunyi dalam guyuran hujan senja hari.

Mereka sering melewatkan waktu di kawasan selatan, yang ramai dengan kafe dan klub-klub
musik, antara lain Kayuapi. Di sana-sini masih banyak pepohonan kelapa, di mana di
bawahnya sapi-sapi berkeliaran. Sapi-sapi itu membuang kotoran, yang ketika mengering
menghasilkan jamur, dan jamur dari tahi sapi itulah pada masa itu dikenal menghasilkan
camilan yang membuat mereka fly: mushroom omelette.

Berdua mereka fly, melayang dalam sajak dan jamur tahi sapi

***

Sebenarnya banyak yang bisa diceritakan Tanata, terlebih ketika bersama keluarga, mereka
memilih liburan di pulau ini. Hanya saja siapa yang hendak mendengar ceritanya kini? Siapa
yang masih bersedia mendengar cerita mengenai sajak-sajaknya, mengenai lagunya,
mengenai sepeda motor Yamaha trail yang dijualnya untuk ongkos pindah ke Jakarta,
mengenai William Butler Yeats, mengenai Umbu Lambu Paranggi, mengenai teman
sekamarnya yang menguangkan wesel kiriman dari surat kabar yang memuat tulisannya
tanpa sepengetahuannya, setelah itu mentraktirnya, dengan uang yang sebenarnya uangnya
sendiri? Tanata tersenyum mengenang masa itu.

Kini, semua orang di sekelilingnya, anak istrinya sibuk dengan gadget masing-masing dari
handphone, Blackberry sampai laptop yang pada liburan seperti ini pun tetap menyertai
mereka semua. Begitu masuk hotel, mereka langsung membuka laptop. Pada kegiatan di luar,
entah di mobil atau di manapun, semua sibuk dengan perangkat teknologi informasi di tangan
masing-masing. Pada masa sebelumnya, hanya satu tangan sibuk memencet-mencet. Kini,
dengan peralatan makin canggih, kedua tangan mereka terpacak di situ, kepala menunduk,
tak pernah melihat kiri-kanan. Sawah-sawah yang masih tersisa, pintu pura yang mereka
lewati, Taman Ayun, langit jingga, anak-anak main layang dengan bentuk menakjubkan,
semua tak ada artinya bagi mereka.

Mata mereka hanya mengarah ke layar handphone. Ketika diajak berbicara paling berujar
hehh, atau apa?, justru ketika penjelasan telah berlalu. Saat berjalan berendeng-rendeng
kadang Tanata harus menoleh kesana-kemari, mencari anggota keluarganya entah itu istri
atau anak, yang tercecer karena mereka berjalan sambil menunduk, sibuk memperhatikan
layar handphone, bukan keadaan sekeliling di mana mereka berada.

Perhatikanlah sekeliling, supaya tidak kehilangan ruang dan waktu, ucap Tanata.
Apa? kata yang diajak bicara, sebelum sibuk lagi dengan handphone-nya.
Dunia kenyataan, telah menjadi dunia niskala. Lagi-lagi Tanata tersenyum. Kenyataan-
realitas darah dan daging-telah lenyap bagi mereka.

***

Tiba-tiba saja, di depan toko-toko, butik, kafe, dan restoran yang sudah ramai dibanding
puluhan tahun lalu ketika dia menghasilkan sajak-sajaknya di sini, Tanata mendapati dirinya
sendirian. Benar-benar sendirian. Ia hanya dengan bayangannya sendiri yang menyatu dengan
manekin, benda-benda dan huruf-huruf di kaca etalase.

Bagaimana kalau aku terjun ke situ, pikirnya. Maka masuklah Tanata menembus bayang-
bayang, masuk ke dunia phantasmagoria. Seperti mimpi-ah, benar-benar seperti mimpikah,
atau sebaliknya malah ini kenyataan-dia bertemu lagi dengan Marianne. Marianne yang
masih seperti dulu: cantiknya, wanginya, dan dayanya mendengar setiap potong ucapannya.

Dengarkan, sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu tadi, kata Tanata pada wanita yang
sangat menyenangkan ini.
Pertanyaan yang mana? tanya Marianne.
Bukankah kamu tadi mengatakan, aku jujur mengungkapkan apa yang aku rasakan, meski
menurut kamu, seusai ini pada keadaan yang lain aku akan berkata hal serupa pada
perempuan yang lain
Itulah dirimu yang kukenal, kata Marianne.
Itulah aku yang kamu kenal dulu, tukas Tanata. Kini aku hendak mengatakannya, bahwa
aku mengatakan ini padamu.
Kamu bermimpi
Aku tidak bermimpi.
Ini dunia phantasmagoria ucap wanita cerdas itu. Kamu tidak bisa pulang ke duniamu
Aku memang tidak ingin pulang.

***

Di manakah realitas virtual, simulakra, phantasmagoria, atau apa pun namanya tergantung
referensi apa yang kita gunakan, berakhir, dan sesuatu yang nyata, real, berdarah daging,
memulai dirinya kembali? Tak jelas. Walter Benjamin sendiri tak pernah menyelesaikan
proyek arkade-nya, passangenwerke-nya.

Manusia=mesin. Realitas=ilusi. Marianne=ilusi. Marianne=benar-benar ada. Masa lalu=masa


kini.

Bagaimana membedakan itu semua? Pada musim liburan itu, sebuah keluarga, seorang ibu
dan anak-anaknya, panik ketika menyadari telah kehilangan kepala keluarga.

Keluarga itu real=keluarga itu tidak real. Istri itu real=istri itu tidak real. Marianne real=istri
tidak real. Nah, semembingungkan itu implikasi phantasmagoria di mana Tanata terseret di
dalamnya.

Keluarga itu sibuk dengan handphone dan peralatan teknologi informasinya, mengabarkan
hilangya Tanata. Seluruh anggota jemaat dunia maya menyambut ramai. Berita berseliweran,
baik lewat SMS, Facebook, maupun percakapan handphone. Ada yang menanggapi serius,
ada juga satu-dua yang main-main.
Dia nyeleweng begitu seorang berkomentar.
Suamiku tidak nyeleweng. Dia hilang, kilah sang istri.
Hilang=nyeleweng. Nyeleweng=hilang, yang berkomentar tidak mau kalah.

Mereka terus sibuk satu sama lain. Semua menatap layar handphone atau komputernya
masing-masing. Tak ada yang meoleh ke kiri ataupun ke kanan.

Giliran dunia phantasmagoria memanipulasi mereka. Tak ada yang menyadari, Tanata
sebenarnya di situ-situ saja. Ia bersama Marianne, menertawakan semua orang.

Laila
Putu Wijaya

Menangis tidak selamanya tanda kelemahan. Tapi istri saya tidak bisa menafsirkan lain,
ketika melihat kucur air mata Laila.
Ada apa lagi Laila, tanya istri saya. Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?

Tangis Laila bukannya berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode
rahasia supaya interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji
naik.

Laila itu bukan jenis pembantu murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri,
memangnya kamu! bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata.

Dia punya konflik, kata istri saya kemudian. Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila
banting tulang, tapi dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran
anaknya kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi yang
disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!

Terlalu!

Sekarang si Romeo nyuruh Laila berhenti lagi!

Berhenti?

Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?

Kali Laila dapat kerjaan baru.

Mana ada orang mau menerima pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya
nangis!

Jadi Laila akan berhenti?

Tidak! Biar Laila bawa Arjuna kemari, jadi kerjanya tenang.

Boleh sama si Romeo?

Memang itu yang dia mau!

Saya menarik nafas. Sejak itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami.
Kalau dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung jawab
saya.

Mula-mula berat. Tapi kemudian terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya
bahkan merasa tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde.

Sudah 11 tahun saya dan istri merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter.
Akhirnya kami ambil kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan
mesin reproduksi manusia.

Kehadiran Arjuna membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap
tiap hari jadi beda. Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati.
Tapi pulang dari mudik, saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak.
Ternyata di situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama
sekali tidak takut oleh kehadiran saya.

Itu anak-anak pembantu-pembantu sebelah.

O ya?

Ya, orangtuanya juga sibuk kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi
gelandangan atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati, kata istri
saya.

Mula-mula saya keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang,
saya akan kehilangan privasi.

Ketika saya sedang bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya
menoleh mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka
mulai kurang-ajar.

Kamu frustrasi! komentar istri saya sambil tertawa,

Persis!

Karena kamu kurang peka!

Saya berpikir. Istri saya terus ketawa.

Kamu tidak peka. Anak-anak itu tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.

Menunggu apa?

Biasanya kalau pulang mudik orang bawa oleh-oleh.

Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk mereka!

Mereka semua anak-anak. Kamu harus berikan sesuatu kepada semuanya.

Istri saya mengulurkan sebuah kantung plastik yang penuh coklat.

Bagikan ini pada mereka!

Saya takjub, tapi tak bisa menolak.

Sejak peristiwa itu, rumah saya seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena
keperluan yang mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan
mereka menganjurkan agar dirinya dititipkan.

Untung saya cepat membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri
saya menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati.
Tetapi kemudian Laila kembali menangis.

Si Romeo bertingkah lagi! umpat istri saya setelah mengusut Laila, bayangkan, masak dia
minta dibelikan motor!

Motor? Emang mau ngojek.

Boro-boro ngojek, naik motor juga nabrak melulu!

Terus untuk apa?

Menurut Laila itu mau disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah
tahun di bayar di muka.

Kamu tolak kan?!

Gimana ditolak? Laila diancam akan digebukin kalau tidak berhasil.

Saya jadi penasaran. Lalu saya mencecer Laila.

Laila, cinta itu tidak buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya.
Suami pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja menginjak,
tapi itu sudah explotation de lhome par lhome tahu?!

Ya Pak.

Kamu mengerti?

Mengerti, Pak.

Suami yang baik boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!

Laila tunduk dan mulai menangis.

Kamu kok cinta mati sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!

Saya hanya mau berbakti kepada suami, Pak!

Itu bukan berbakti, tapi sudah bunuh diri!

Orangtua saya selalu berpesan, suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah
kata suami, nanti tidak bisa masuk surga!

Tapi kelakuan si Romeo kamu itu sudah melanggar HAM!

Laila menunduk dan meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya.
Terpaksa saya mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah
salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya. Langsung saya
bayar, daripada kehilangan Laila.
Ah?! Ngapain mesti peduli semua permintaan Laila, kata istri saya marah-marah, Kalau
kamu manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu
jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!

Tapi kemudian istri saya sendiri yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila.

Ini motornya, Laila. Cicil berapa saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!

Laila mencium tangan istri saya dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila
kelihatan sangat bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila.

Tapi itu hanya berlangsung sebulan.

Si Romeo itu memang kurang ajar! teriak istri saya kemudian, Motor sudah digadaikan
lagi, katanya nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!

Saya bengong. Dengan mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam
akan dibunuh kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola.

Istri saya mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji,
Romeo dilarang menyentuhnya.

Kamu saja yang boleh naik motor itu Laila! Yang lain-lain, haram!

Sejak itu Laila masuk kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang
tepat waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki,
menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila tetap setia
di posnya.

PRT seperti Laila memang perlu punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan.
Motor itu bukan untuk dia, tetapi untuk kepentingan kami juga, kata istri saya kepada ibu-
ibu tetangga.

Tak terduga argumen itu patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari
pertama saya diam saja. Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong
Arjuna sambil menenteng tas besar.

Motor kamu mana, Laila?

Dipakai saudara misan saya, si Neli, Pak.

Kenapa?

Kerjanya lebih jauh, Pak.

Kenapa dia tidak naik angkot saja?

Nggak boleh sama suami saya, Pak.


Saya bingung. Kemudian saya baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama
Laila satu rumah.

Itu motor kamu Laila, tidak boleh dipakai orang lain!

Tapi suami saya bilang begitu, Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja
aturannya keras. Kalau datang telat bisa dipecat.

Kamu juga harus tepat waktu sampai di sini, Laila!

Betul, Pak.

Ambil motor itu kembali!!!!!!

Besoknya Laila masuk kerja tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah.

Maksudku kamu tidak hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu
datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!

Laila bingung. Dia tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi
bukan menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya.

Laila tidak berani minta motor itu karena takut digampar si Romeo.

Saya bingung.

Kenapa bangsat itu malah ngurus misannya, bukan istrinya?

Sebab misan Laila itu perempuan !

Gila! Istrinya juga perempuan!

Tapi perempuan itu lebih muda! Dan Romeo sudah mau menikahi si Neli!

Saya megap-megap.

Ya Tuhan! Kenapa Laila nerima saja dikadalin begitu?

Istri saya hanya mengangguk.

Sekarang memang banyak orang gila!

Langsung saya interogasi Laila di dapur.

Kenapa kamu terus mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau
menikahi misanmu, mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim!
Kenapa?

Laila tak menjawab.


Kamu takut? Kalau perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu,
maaf, bajingan. Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!

Laila diam saja.

Itu namanya kamu sudah kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama
menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?!

Ya, Pak.

Kalau sadar kenapa tidak bertindak?

Saya ingin berbakti pada suami, Pak!

Itu bukan berbakti, tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu
itu, tahu!?

Ya, Pak!

Ya apa?

Kata orangtua saya, sebagai istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh
membantah kata suami. Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.

Kalau orangtua kamu masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini
cantik Laila!

Mendengar dua kali menyebut kata cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya
minggir. Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tapi kemudian saya lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya.

Kita tidak bisa kehilangan Laila, kata istri saya kemudian.

Lho, memangnya dia minta berhenti?

Dia tidak bisa merebut motor itu dari si Neli.

Tapi itu kan haknya!

Kita tidak bisa memaksakan jalan pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.

Harus! Kita berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!

Kalau terlalu didesak, bisa-bisa dia minta berhenti.

O ya, Laila bilang begitu?

Dia tidak bilang begitu, tapi pasti akan begitu.

Kenapa dia begitu ketakutan?


Sebab Neli sudah dikawini Romeo!

Saya terpesona. Lama saya mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila
bisa dikuasai Romeo tak beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti.

Sementara terus-terang, kami sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan
berantakan.

Kita tidak mungkin kehilangan Laila, kata istri saya.

Tapi dia tidak boleh dibiarkan masuk kerja terlambat terus.

Karena itu dia harus punya motor!

Saya tak menjawab. Istri saya yang harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal.
Laila dibelikan motor baru. Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar
keputusan itu. Arjuna juga tertawa.

Motor kedua Laila langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat.
Laila dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan kami tepat.

Tapi tak sampai satu bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang
lama. Waktu kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan
ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk.

Tidak pakai pendahuluan lagi, Laila langsung digebrak.

Laila, Ibu sudah bosan bicara! Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak
usah kembali! Pulang! Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung
belang itu! Kalau motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang!
Kembalikan motor kamu!

Laila gemetar. Saya pun tersirap. Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani
membantah lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera pergi.
Saya lihat mukanya pucat pasi.

Saya kira perempuan itu tidak akan pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya,
terdengar suara motor yang halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat
Laila dengan motor barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya
dengan sopan.

Laila kembali, tapi mungkin untuk pamit pergi, bisik saya.

Istri saya menjawab acuh tak acuh.

Sudah waktunya dia menghargai dirinya sendiri!

Hari berikutnya, seminggu, sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat
waktu. Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan
tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah membuatnya
menjadi orang lain.

Tapi kalau diperhatikan ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu
Nike Ardila. Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.

Ketika gajinya dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi
meneteskan air mata. Saya jadi penasaran.

Laila, kenapa kamu kelihatan tidak terlalu gembira?

Saya gembira gaji saya dinaikkan Ibu, terima kasih, Pak.

Kamu naik motor mulus yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat.
Saya dengar saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah
tidak berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?

Betuk, Pak.

Tapi kenapa kamu kelihatan susah?

Laila menunduk.

Kenapa kamu sedih?

Ya, Pak, karena sekarang saya tidak akan bisa masuk surga.

Pengantar Tidur Panjang


Eka Kurniawan

Aku muncul di rumah menjelang subuh. Tak berapa lama kemudian adik perempuanku juga
muncul. Ia membuka pintu sambil menangis, Bapak sudah meninggal?
Belum, kataku.

Kata dokter sudah.

Setelah melihat Bapak masih hidup, meski hanya berbaring tanpa bisa bergerak, tangisnya
reda. Adikku bilang, setelah menerima telepon dari Ibu untuk pulang, ia mampir dulu ke
pusat kesehatan di kampusnya untuk memeriksa matanya yang gatal. Apa yang dikatakan Ibu
kepadanya persis seperti yang kudengar: kalau sempat, kamu pulang, kata perawat yang
mengurusnya, ginjal Bapak sudah tidak berfungsi.

Adik perempuanku sambil lalu bertanya kepada dokter yang memeriksa matanya, Oh ya,
Dok, ngomong-ngomong kalau orang sudah enggak berfungsi ginjalnya, apa yang akan
terjadi?

Tanpa menoleh, sambil menulis resep, si dokter menjawab, Mati.

Astagfirullah, pekik adikku, air matanya tak tertahankan tumpah, membuat si dokter
terkejut. Sepanjang perjalanan pulang ia menangis, berpikir Bapak sudah mati.

Aku yakin jika Bapak masih mendengar obrolan kami, ia akan tertawa. Ia suka tertawa.
Barangkali ia mendengarnya, tapi ia tak bisa menggerakkan mulutnya, bahkan untuk tertawa.
Tapi aku yakin ia tertawa di dalam hatinya. Tertawa hingga tertidur.

***

Kami berkumpul di sekitar Bapak. Ibu dan adik perempuanku yang paling tua sedang
membaca Yassin. Aku tak ikut membaca. Aku bisa membaca, tapi tak bakalan secepat
mereka, karena itu aku memilih mendengarkan saja. Adik-adikku yang lain sama buruknya
dalam membaca Al Quran denganku.

Bapak sendiri yang mengajari kami mengaji. Aku khatam Al Quran tiga kali, jika aku tak
salah ingat. Bapak mendirikan surau kecil di belakang rumah dan kemudian mengajari pula
anak-anak tetangga mengaji. Ia juga memberikan khotbah Jumat di masjid. Aku selalu
melihatnya setiap Jumat pagi menulis khotbahnya. Ketika modin masjid itu meninggal, ia
menggantikannya.

Karena masjid itu milik Muhammadiyah, banyak orang berpikir Bapak orang
Muhammadiyah. Ia tak keberatan dengan anggapan itu, toh ia selalu Puasa maupun Lebaran
mengikuti kalender orang-orang Muhammadiyah. Termasuk shalat tarawih sebelas rakaat,
meskipun jika terpaksa, ia mau mengikuti tarawih bersama orang-orang NU (misalnya
bersama kakekku, yang selalu ngotot shalat tarawih dua puluh tiga rakaat).

Sambil duduk menghadap Bapak, aku bertanya-tanya apakah Bapak pernah berharap salah
satu anaknya akan menggantikannya menjadi pengkhotbah Jumat?

Jangankan kasih khotbah, kamu ngaji saja enggak benar, kata ibuku.

Benar juga. Jika Bapak menginginkan itu, mestinya ia mengirimku ke pesantren. Nyatanya, ia
membiarkanku pergi untuk kuliah filsafat dengan risiko besar menemukan anaknya tak lagi
pernah shalat dan puasa. Ketika aku pulang semester tiga mengenakan kaus bergambar Lenin,
justru ibuku yang berseru.

Lihat, anakmu jadi kuminis. (Ia tidak bilang komunis tapi kuminis).

Bapak, seperti biasa, hanya tertawa.

Bapak juga membiarkan adik lelakiku kuliah di jurusan peternakan, dan setelah berbagai
penelitian dengan ayam ras, adikku mengamini Charles Darwin, percaya nenek moyang
manusia dan monyet (juga ayam) memang sama. Tidak ada Adam dan Hawa. Bapak tak
peduli dan memberinya modal untuk membuat peternakan ayam.

Waktu Pemilu 1999, Ibu yang memilih Partai Bulan Bintang (begitu juga Bapak setelah
bertahun-tahun lalu memilih Masyumi, lalu Partai Persatuan Pembangunan) kembali
mengadu. Kali ini gara-gara di seantero desa hanya satu orang yang mencoblos Partai Rakyat
Demokratik (PRD) dan semua orang tahu itu kelakuan adikku si peternak ayam, karena hanya
ia yang memasang bendera partai itu di depan rumah.

Satu lagi anakmu jadi kuminis.

Kembali Bapak hanya tertawa. Aku tahu ia lebih risau jika anaknya mencuri ikan di kolam
tetangga daripada melihat anak yang memakai kaus Lenin atau mencoblos PRD.

Meskipun begitu, salah satu adik perempuanku, yang kini membaca Yassin bersama Ibu,
akhirnya kuliah ke Institut Agama Islam Negeri di Yogyakarta. Tapi tak ada tanda-tanda
Bapak merencanakannya menjadi guru mengaji. Paling tidak, ia pernah berkata kepadaku
saat itu.

Biar ia pergi dari rumah dan ketemu jodoh.

Adikku yang ketiga, yang menangis setelah bertemu dokter, kuliah di sastra Indonesia.
Adikku yang keempat, kuliah manajemen. Hanya adik kami yang paling bungsu, laki-laki,
yang masih sekolah. Ia duduk bersila bersama kami, gelisah. Ia ingin pergi dari sana. Aku
tahu ia ingin pergi ke kamarnya dan bermain PlayStation. Akhirnya aku, memiliki sedikit hak
menyuruh sebagai anak paling tua, memperbolehkannya pergi.

Ia lagi jatuh cinta, dua hari lalu ketemu cewek di bus, kata adik perempuanku setelah usai
membaca Yassin.

Cewek?

Heeh. Katanya cewek itu mengedipkan mata ke arahnya.

Terus?

Adikku jadi tertawa kecil. Terus ia bilang, jantungnya serasa berhenti seketika. Sepanjang
jalan ia enggak berani melihat cewek itu. Ia pengin mendekatinya, mengajaknya berkenalan,
tapi enggak berani. Ha-ha-ha.

Terus?
Nah, ini yang paling lucu. Akhirnya ia sampai ke tempat tujuan. Takut tak punya
kesempatan untuk melihatnya lagi, ia memberanikan diri memandang cewek itu. Si cewek
konon masih melihat ke arahnya. Maka sambil turun dari bus, ia membalas mengedipkan
mata untuk cewek itu. Gara-gara itu ia tersungkur ke selokan pinggir jalan.

Ha-ha-ha

Jika ada yang disesali Bapak kalau mati saat itu, mungkin karena ia belum sempat melihat
adik bungsuku tumbuh besar dan pergi dari rumah seperti yang lainnya. Tapi barangkali ia
mendengar cerita adikku, dan jika ia mendengarnya, aku yakin ia akan tersenyum. Senyum
kecil di sudut hatinya, pengantar tidur panjangnya.

Anaknya yang paling kecil sudah besar. Sudah bisa mengedipkan sebelah mata untuk seorang
gadis di dalam bus.

***

Waktu aku masih di awal umur belasan tahun, aku tak punya malam Minggu sebagaimana
teman-temanku. Tak ada pacar, tak ada genjreng gitar memainkan Party Doll (tak masalah,
aku baru menyukai The Rolling Stones dan Mick Jagger bertahun-tahun setelah itu), dan tak
ada acara menonton televisi. Bapak mengajakku ke pengajian.

Bukan hal yang buruk, sebenarnya. Pengajian itu dilakukan di rumah pemilik penjagalan
sapi. Di akhir acara selalu ada penutup istimewa (dan ini yang paling kutunggu): makan
malam dengan berbagai hidangan daging sapi. Aku tak ingat dari mana ustaz yang memimpin
pengajian. Yang aku ingat, ia hafal Al Quran dan artinya di luar kepala. Jika seseorang
bertanya mengenai suatu masalah, dengan cepat ia bisa menunjukkan surat dan ayat berapa
sebagai jawabannya. Untuk itulah, setiap orang harus membawa Al Quran dengan
terjemahan, untuk mencocokkan dan membuktikannya.

Kalimatnya yang paling terkenal adalah Semua jawaban ada di Buku ini.

Hingga suatu ketika ia bercerita tentang saudara-saudara kita di Afganistan. Aku lupa
berapa lama isu ini dibawakan. Pasti berminggu-minggu.

Lalu suatu malam, aku bilang kepada Bapak, Aku mau pergi ke Afganistan.

Bapak tak menjawab apa pun. Malahan ia tak mengajakku ke pengajian minggu depannya
dan minggu depannya lagi. Aku tak ingat apakah ia sendiri masih mengikuti pengajian itu
atau tidak, yang jelas kemudian seluruh rumah terjangkit cacar air, kecuali aku. Bapak
menyuruhku mengungsi sementara waktu ke rumah salah satu pamanku. Di sana paman
meminjamiku radio.

Begitulah malam Minggu-malam Minggu selanjutnya lebih banyak kuhabiskan di dekat


radio. Lagi pula aku baru saja berkenalan dengan seorang gadis adik kelasku. Aku selalu
mengiriminya pesan lewat radio, bersama dengan lagu. Ia tak pernah membalasnya, tapi aku
tetap mengejarnya. Usaha pengejaranku yang memakan waktu berbulan-bulan membuatku
lupa akan gagasan pergi ke Afganistan.
Kini, sambil memandang Bapak yang berbaring di tempat tidur, aku memikirkan waktu-
waktu itu. Aku tak tahu apakah aku harus bersyukur atau tidak. Jika Bapak mengizinkanku
pergi ke Afganistan, mungkin sekarang aku tak akan ada di sisinya. Mungkin sekarang aku
berada di dalam daftar buron karena peledakan gereja atau hotel. Barangkali lebih dari itu.
Karena menurutku, aku lebih pintar daripada kebanyakan orang, barangkali nasibku jauh
lebih buruk: di penjara Guantanamo. Siapa tahu?

Kupandangi Bapak. Jika ia sehat sebagaimana dulu, dengan mudah ia pasti bisa membaca
pikiranku. Dan ia pasti akan tertawa sampai air matanya meleleh. Enggak mungkin, begitu
ia akan bilang. Kamu memang pintar, tapi tak akan seberani itu. Kamu penakut, dan itulah
mengapa kamu tak pergi ke Afganistan. Kamu selalu takut dengan polisi dan tentara,
meskipun kamu tampaknya tak pernah takut dengan neraka.

***

Akhirnya Bapak meninggal, di malam kedua keberadaanku di rumah. Menjelang subuh.


Umurnya 63 tahun, menjelang 64. Ia pasti senang sekali, sebab itu umur yang sama dengan
Rasulullah. Ibuku juga senang, terutama karena ia mendengar kata terakhir yang diucapkan
Bapak sebelum meninggal adalah Allah.

Kata Ibu, sudah beberapa hari Bapak tak mengeluarkan suara apa pun, selain tidak bergerak.
Tapi setengah jam sebelum meninggal, ia mulai mengerang lagi. Napasnya pendek-pendek.
Ibu yang pernah menunggui kakek dan nenekku meninggal tahu waktunya hanya beberapa
menit lagi.

Tercium dari aromanya, begitu Ibu bilang. Aku sendiri mencium aroma itu, seperti bau bayi
yang baru dilahirkan. Ibu meletakkan piring berisi serbuk kopi di samping Bapak, aku
menyemprotkan pengharum ruangan.

Bertiga dengan seorang paman, kami membisikkan nama Allah ke telinga Bapak. Akhirnya
Bapak berhasil mengucapkannya, Allah Allah Allah. Setelah itu Bapak
meninggal. Ibu menitikkan air mata. Paman menutup mata Bapak. Adik-adikku sudah di
sekeliling kami. Aku menelepon istriku yang kutinggal di Jakarta.

Percayalah, aku selalu berpikir bahwa nasib Bapak akan selalu sama dengan nasib Republik
Indonesia. Ia lahir sebulan setelah Proklamasi. Menurut astrologi China, Bapak dan Republik
Indonesia memiliki shio yang sama. Ayam dengan unsur Kayu. Nasib mereka tak akan jauh
berbeda.

Misalnya, pada tanggal 28 November 1975 aku dilahirkan. Pada saat yang sama Fretilin
memerdekakan Timor Timur dan Republik Indonesia mencaploknya. Mereka berdua (Bapak
dan Republik Indonesia) sama-sama memiliki anggota keluarga baru. Sejak itu usaha Bapak
(bermacam-macam) menuai keberhasilan. Di tengah puncak kemakmuran, Bapak bangkrut di
tahun 1998. Ha, bukankah begitu juga Republik Indonesia? Bapak memperoleh serangan
stroke dan sejak itu kesehatannya tak pernah sebaik sebelumnya. Tahun 1999 ia mulai
membekali dirinya dengan tongkat. (Ya, tahun itu Indonesia dipimpin Gus Dur, Presiden yang
juga berjalan dengan tongkat).

Dengan kematian Bapak apakah Republik Indonesia juga akan tamat? Sungguh aku
mengkhawatirkannya. Tapi daripada sibuk memikirkan urusan semacam itu, lebih baik aku
menyibukkan diri dengan urusan pemakaman Bapak. Ia akan dikuburkan persis di samping
kuburan ibu mertuanya, nenekku.

Dari tanah kembali ke tanah. Ada empat penggali kubur yang perlu dibayar.

Ada tamu-tamu yang perlu disambut. Ada kerabat yang perlu diberi tahu. Begitulah.

***

Empat hari kemudian, aku kembali ke Jakarta dengan bus malam. Tujuh jam perjalanan dan
aku akan tiba di Kampung Rambutan. Aku duduk, suara AC berdengung di atasku.
Kurebahkan sandaran kursi. Selama lebih dari satu jam, aku hanya melamun.

Lalu kondektur datang mendekat. Aku merogoh dompet di saku celanaku. Si kondektur
berhenti di sampingku, memandang ke arahku. Aku mendongak ke arahnya. Ia sedikit
terkejut dan setelah beberapa saat, menyapa, Apa kabar?

Sungguh, aku tak merasa mengenalnya.

Sebelum aku sempat membuka mulut, ia sudah berkata lagi, Ikut berduka atas kepergian
Bapak.

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku hendak mengeluarkan uang dari
dompet, tapi ia segera menghalanginya. Tidak usah, katanya. Lalu ia bercerita, beberapa
tahun lalu ia sempat sakit gigi, tak sembuh oleh obat. Dokter tak berani mencabut giginya
sebelum sakitnya hilang. Hingga seseorang menyarankannya menemui seorang kiai. Ia pergi
menemui kiai tersebut. Sang kiai memberinya minum. Air putih biasa dari dapur. Sakitnya
mendadak hilang dan dokter kemudian mencabut giginya.

Kiai itu bapakmu, kata kondektur.

Sejujurnya, aku belum pernah mendengar cerita ini.

Kondektur pergi setelah menepuk bahuku, menghampiri penumpang lain. Aku hanya
menoleh, memerhatikan punggungnya. Apa boleh buat, kumasukkan kembali dompet ke saku
celana.

Bahkan, pikirku, setelah meninggal Bapak masih memberiku ongkos bus. Aku tersenyum
sambil kembali bersandar. Kukeluarkan iPod dan kupilih lagu: Seasons in the Sun dari
Terry Jacks. Kupasang earphone dan kupejamkan mata.

Goodbye, Papa, its hard to die

Dan segera aku terlelap.

Sakri Terangkat ke Langit

S Prasetyo Utomo
Desau angin berpusar kencang. Merobohkan pohon-pohon. Berdebam. Merontokkan daun-
daun kersen di sekitar pabrik gula yang telah lama mati. Gedung tua berlumut, dengan
cerobong asap berkarat itu berderak-derak. Sakri memandangi angin yang terus berpusar,
mengangkat genting-genting gedung tua pabrik gula dengan rel membentang tanpa lori
melintas di atasnya. Tak pernah dilihatnya sebelum ini angin mematahkan ranting-ranting,
menerbangkan genting-genting pabrik gula, yang cerobongnya tak lagi membubungkan asap.

Lelaki tua itu menantang desau angin dari langit dan gemeretak dahan patah di Bumi. Rintik
hujan tajam meruncing, nyeri menghunjam wajahnya. Makin takjub ia ketika melihat
cerobong asap gedung pabrik gula yang senyap itu bergetar dan membubung ke langit.
Berpusar. Tinggi. Tak terlihat lagi. Orang-orang menjerit. Meminta Sakri meninggalkan
pabrik gula yang seluruh temboknya berlumut dan ditumbuhi rerumputan mengering.

Dengan menyungging senyum, Sakri menyambut pusaran angin. Kedua tangannya


dibentangkan. Tubuhnya yang keriput kurus, dengan rambut memutih beruban, terangkat.
Dipusar angin. Menjelang senja itu, dalam desis gerimis, pusaran angin telah mengangkat
Sakri dari tempatnya berdiri di bawah pohon kersen. Lenyap.

Arumanak angkat Sakrimemekik kencang. Ia sedang mencari ayah angkatnya,


memintanya pulang. Membawakan payung. Jeritannya terdengar memanjang, memekik
kencang. Payung di tangan Arum terangkat. Gadis itu membiarkan payungnya dipusar badai.
Ia hanya ingin menyelamatkan ayah angkatnya. Ia ingin lelaki tua itu kembali ke rumah.
Memang akan selalu terjadi pertengkaran dahsyat antara Sakri dan istrinya. Pertengkaran
dengan teriakan-teriakan, kegaduhan, makian kasar, tanpa rasa malu. Arum merasa takut bila
ayah dan ibu angkatnya itu bertengkar. Tapi ia lebih takut melihat ayah angkatnya dipusar
angin, membubung ke langit, lenyap dalam cakrawala bumi senja.

Aku akan moksa, kata Sakri, tiap kali ia dimurkai istrinya, terutama bila perempuan tua itu
dibakar api cemburu, dan mereka berkubang pertengkaran tanpa ujung. Akan kutinggalkan
kalian, dengan tanpa menyisakan raga.

Cobalah moksa! Aku ingin sekali melihatmu lenyap tanpa jasad! ledek istri Sakri.

Kau selalu tak memercayaiku. Juga ketika kukatakan, aku akan menjadi orang terhormat di
wilayah ini, kau mencibirku. Tiba saatnya nanti aku akan kembali bekerja seperti dulu.

Siapa bilang? Kau selalu mengigau!

Ayo, kubawa kau pada guruku, Eyang Sabdo Palon, di lereng Gunung Lawu! Biar kau
dengar seluruh wasiatnya, aku akan hidup mulia di masa tua.

Tengah malam itu Sakri meninggalkan rumah, berjalan-jalan seorang diri dalam sunyi. Langit
terang, menampakkan gebyar bintang-bintang, sesekali menggaris lengkung puncak malam.
Ia terus menyusuri sunyi rel menuju pabrik gula yang aus tanpa deru mesin. Melangkah
pelan-pelan di sepanjang rel yang ditumbuhi rerumputan liar.
Memandangi ladang bekas kebun tebu. Memandangi dengan harapan sebagaimana dulu:
ketika pabrik gula itu masih menyuarakan deru mesin musim giling. Pada puncak malam ia
memandangi pohon-pohon kersen yang kini tumbuh liar, lebat, dengan daun-daun
kekuningan luruh waktu demi waktu. Di sini dulu dia, tengah malam, menemukan bayi
perempuan, yang kelak dinamainya Arum.

Saat itu Sakri mendengar suara tangis bayi di antara langkah kaki menyusuri rel yang
membentang di hadapannya. Ia tergerap dalam senyap malam merapuh. Disibaknya semak
belukar yang kian lebat menutup rel. Lembut kepak sayap kelelawar dan cericit burung-
burung sriti, membawa kembali ingatan Sakri pada anak angkatnya itu, yang kini sudah
menjadi gadis.

Langkah Sakri menyusuri jalan setapak menembus ladang jagung, menyeruak padang lalang,
dan menuruni tebing. Ia mencapai tepi sungai yang bening. Sejenak ia ragu. Teringat akan
wajah teduh Eyang Sabdo Palon. Jangan ragu-ragu. Berendamlah pada tengah malam di
sungai itu. Cari ketentuan hatimu, selalu didengarnya bisik eyang bermata cemerlang di
Lereng Gunung Lawu.

Arum suka menyusuri sunyi rel pabrik gula yang telah mati itu sendirian. Menyelusuri suara
bayi. Terdengar jauh. Sangat jauh, dalam ceruk malam. Dalam semak belukar dan sunyi rel
yang dulu selalu bergemuruh saat lori pengangkut tebu melintas. Ia berharap bisa bertemu
dengan seorang ibu yang dulu meletakkan bayi itu di depan pabrik gula, dalam bungkus kain,
dan burung-burung sriti berkelepak di sekitarnya. Hingga Sakri memungutnya, memberi
nama Arum. Di dekat bayi yang tergeletak, tumbuh melati yang gersang berdebu, tengah
mekar bunga-bunganya.

Kebiasaannya berjalan-jalan, menyusuri rel dan pabrik gula itu, tak bisa ditinggalkan Arum.
Ia selalu tergoda untuk melangkah di antara rel yang tak lagi dilintasi lori pengangkut tebu.
Kali ini ia tergoda untuk menyusuri rel. Ia tergeragap, saat menemukan seorang perempuan
tua, kurus, tertatih-tatih mencari pohon kersenyang tentu saja paling rindangseperti
melacak sesuatu di tempat itu.

Perempuan tua itu terus berbincang-bincang sendirian.

Arum mendengar desis perempuan tua itu. Ia ingin mendekatinya. Barangkali perempuan tua
itu mencari-cari bayi yang dulu pernah dibuangnya di bawah pohon kersen. Barangkali
perempuan degil itulah ibu kandungnya. Arum bergetar. Ia ingin segera berlari, merengkuh
perempuan tua itu, siapa pun dia. Ingin ia menemukan perempuan yang memberinya citra
seorang ibu. Dengan langkah digayuti rasa bimbang, Arum mendekati perempuan itu.

Apa Ibu mencari seorang bayi?

Bayi? O, tidak. Aku mencari tempat yang nyaman untuk tidur.


Dan perempuan tua itu membenahi tempat di sisi pabrik gula yang mati. Menghamparkan
kain sarung tua, tidur, dan tak menggubris Arum. Begitu saja perempuan tua itu terlelap. Tak
merisaukan apa pun, kecuali pulas tidur. Dengkurnya sangat kencang. Sesekali perempuan
tua itu mengigau. Meracau. Memaki. Terdiam lagi. Mendengkur.

Tengah malam, ketika Arum memasuki pelataran rumah, ia berpapasan dengan ayah
angkatnya. Sakri tampak lelah berjalan-jalan. Suara sandal tersaruk-saruk tanah.

Lelaki tua itu memandang ceruk kegelapan dengan tatapan memancarkan tanda tanya. Tapi
bibir yang mengepulkan asap rokok itu memaksakan diri untuk tersenyum.

Dari mana saja Ayah semalam ini? Arum menandai rambut ayahnya basah. Biasanya lelaki
tua itu berendam di air sungai hingga menjelang dini hari.

Aku mencari wangsit. Kelak kalau aku memang benar mulia di pabrik ini, seperti dikatakan
Eyang Sabdo Palon, kita akan hidup makmur, hingga anak cucu.

Ingin Arum memekik. Iba pada ayah angkatnyayang kini menampakkan ketuaan wajah,
yang dulu legam terpanggang matahari di kebun tebu. Hamparan tanah yang dulu ditumbuhi
batang-batang tebu kini mulai dipetak-petak. Ditanami sayur-mayur. Dijadikan ladang
jagung. Tak ada lagi batang-batang tebu yang ditebang, diangkut dengan lori menyusuri rel ke
pabrik gula yang mengepulkan asap dari cerobong besi.

Dada Arum kian sesak, dan belum beranjak dari pelataran rumah. Dia baru saja berjalan-jalan
mengitari pabrik gula, dekat rel yang ditumbuhi semak lalang. Dia merasa tenteram mencium
aroma buah-buah kersen meranum. Dalam kisah ibu angkatnya, di bawah pohon kersen yang
menggugurkan buah-buah ranum itupada waktu bayiia dikerumuni semut. Sinder Sakri
membawanya pulang. Menamainya Arum, lantaran ranum buah-buahan kersen yang
berserakan di sekelilingnya dan bunga melati liar menyebar bau harum.

Semasa kanak-kanak, ketika tebu-tebu ditebang musim panen, Arum bersama teman-teman
sepermainan suka mencuri tebu dari lori yang melintasi rel. Batang-batang tebu yang semula
gembung, padat, berair dan manis, lama-kelamaan, Arum merasakannya kian kurus,
menguning, kering tanpa air. Batang-batang tebu itu kian mengering tiap kali dipanen.

Arum paling lincah bergerak, berlari di belakang lori pengangkut tebu, melolos satu batang,
dan memakannya di belakang pabrik gula. Sebatang tebu itu dikupas, dipotong-potong,
disayat, dikunyah-kunyah dan diisapnya bersama beberapa kawan kecil.

Ladang tebu kian susut. Makin jarang lori kereta mengangkut tebu, menyusuri rel, memasuki
pabrik. Musim giling tebu cuma sesekali, hingga gemuruh mesin itu tak terdengar lagi.
Cerobong asap pabrik tak mengepulkan asap ke langit. Lahan tebu makin lenyappetani
memilih mengolah lahan itu sebagai ladang sayur, ladang jagung dan sawah. Tapi Sinder
Sakri senantiasa berdandan gagah setiap pagi, meninggalkan rumah, mendatangi lahan-lahan
bekas perkebunan tebu, mendatangi pabrik yang senyap, dan nongkrong di warung kopi. Dia
menghabiskan waktu untuk minum kopi, merokok, dan berbincang-bincang dengan bekas
mandor dan bekas petani penggarap lahan tebuyang kini memilih menggarap sawah dan
ladang.

Tiap pagi istri Sinder Sakri memandangi kepergian suaminya dengan mata terbakar api
cemburu. Mata yang menebar jaring kecurigaan. Tajam. Menyengat Menyembunyikan
kemesuman di baliknya. Arum senantiasa melihat, ibu angkatnya itu suka main mata dengan
anak-anak muda, mandor, atau lelaki-lelaki gagah yang berpapasan dengannya. Mata itu genit
dan mesum, yang disembunyikan di balik senyum. Tapi setiap saat, perempuan itu suka
mencaci maki suaminya, dengan kecemburuan yang menajam. Membakar rumah dengan api
pertengkaran. Mencabik-cabik perasaan Sakri.

Ragu-ragu, dalam gelap tengah malam, Sakri dan Arum enggan melangkah memasuki
pelataran rumah. Sakri lebih dulu mengetuk pintu. Arum bersembunyi di balik punggungnya.
Saat pintu rumah benar-benar dibuka, mata perempuan tua yang dibakar cemburu itu
memberangus disertai cercaan, Huh! Pasti kau cari perempuan muda! Rambutmu basah,
habis mandi keramas, tentu baru berbuat mesum dengan perempuan muda! Memalukan!

Sakri terdiam. Mengepulkan asap rokok. Menerobos masuk.

Siapa perempuan yang kaukencani malam ini?

Tersenyum, tak menukas, Sakri melangkah ke meja, mencecap sisa kopinya yang dingin,
merokok, dan pandangannya menerawang jauh: kosong, tidak lagi bersentuhan dengan
benda-benda di depannya. Tubuhnya seperti tak lagi berpijak ke Bumi. Terlontar ke langit.

Usai badai yang berpusar menerjang pabrik gula, mengangkat atap, cerobong asap, tampak
langit dan daratan tanpa semilir angin. Dedaunan basah, menetaskan sisa hujan badai, dalam
diam. Terhampar onggokan genting dan atap pabrik. Terserak. Tumpang tindih. Orang-orang
keluar rumah. Sebagian menangis. Sebagian yang lain meraung-raung.

Arum tidak menangis. Tidak meratap-ratap. Ia berjalan ke arah kepergian ayah angkatnya.
Melacak tempat lelaki tua itu terpukau di sisi pabrik gula berlumut. Tapi pabrik gula kusam
ituselain cerobong asap dan atap yang lenyapmasih tampak utuh. Berhenti di depan
reruntuhan atap, Arum mendekat ke bawah pohon-pohon kersen. Dahan-dahannya patah.
Getas terlempar badai. Beberapa pohon tinggal batang. Yang lain tumbang.

Melangkah gadis itu ke arah ladang di belakang pabrik gula. Telah roboh ladang jagung
petani, terserak-serak batangnya. Dan Arum tak menemukan Sinder Sakri di sini. Aku tahu
di mana Ayah berada, desis Arum, melangkah ke arah lereng pegunungan. Di sini sebagian
atap rumah penduduk teronggok. Pohon-pohon masih berdiri kokoh. Hanya dahan-dahan dan
dedaunan yang terserak.
Di bawah sebuah pohon beringin tua, rimbun di sisi sendang, Arum terhenti. Ia tengadah.
Menatap sesosok tubuh yang tersangkut di rimbun dedaunan pohon beringin tua. Ia segera
memekik. Yang dilihatnya bukan lelaki lain. Lelaki tua itu ayah angkatnya.

Orang-orang berlari mendekati Arum. Memandangi tubuh Sinder Sakri yang tersangkut pada
dahan pohon beringin tua. Beberapa lelaki mencoba memanjat. Berharap mereka dapat
menurunkan tubuh Sinder Sakri yang kerempeng itu. Tubuh yang merapuh. Basah. Tak
sadarkan diri.

Orang-orang menurunkan Sinder Sakri. Arum berharap, ayah angkatnya masih memiliki
detak nadi.

Terbaring dengan mata terpejam, napas tertahan, Sinder Sakri ditunggui Arum, yang tak mau
meninggalkannya, hingga kesadaran dan kekuatan tubuh lelaki tua itu pulih. Arum
memberinya makan, meladeni minum, dan menanggapi pembicaraannya yang meracau. Ia
tak mau meninggalkan lelaki tua itu. Istri Sinder Sakri memandangi suaminya dari kejauhan.
Tak mau bicara. Cuma matanya yang masih mengejek. Mata yang cemburu. Mata yang tak
pernah mengenali napas dan nadi suaminya. Mata yang tak putus menebar jaring kecurigaan.

Datang pemilik pabrik gula, menengok Sinder Sakri. Memasuki kamar. Berbisik di telinga
Sinder Sakri yang memejamkan mata. Sinder Sakri membuka kelopak matanya. Menatap
dengan cahaya berselubung rahasia. Tersenyum, usai mendengar bisikan pemilik pabrik gula.
Tergagap-gagap. Tubuhnya masih lemah dan ruang kamar berputar-putar dalam kepalanya. Ia
merasa dalam pusaran angin, yang membawanya membubung langit, dalam ketaksadaran. Ia
sesekali mengigau. Kadang ia merasa terisap pada sebuah lorong waktu yang
memusarkannya pada kekosongan berkabut. Desau angin berdesing. Ia mencari cahaya.
Kadang cahaya itu menyilaukannya. Kadang gelap pengap serasa dalam sumur beracun.

Yang membuat Sakri tenteram, ia masih mendengar suara Arum. Dengan mata terpejam, ia
mencari ketenangan. Memang sesekali ia mendengar istrinya yang menggerutu.
Mencemoohnya. Mengutukinya, Itulah ganjaran lelaki yang suka selingkuh!

Tak sepatah kata pun Sinder Sakri menukas omelan istrinya. Yang ia dengar, pemilik pabrik
gula sekali lagi membisik, Mari, kita bekerja lagi. Kita bangun kembali pabrik gula. Kau
bisa mengelola perkebunan tebu seperti dulu.

Oh, ini sungguh menakjubkan! seru Sinder Sakri. Akan kuajak para petani kembali
menanam tebu.

Kembali pemilik pabrik berbisik ke telinga Sinder Sakri. Bisikan yang menahan rekah
senyum lelaki tua itu, Kutitipkan Arum padamu. Ibunya, perempuan simpananku, tak mau
membesarkannya. Perempuan itu meletakkan bayinya di bawah pohon kersen depan pabrik
gula, dan ia memilih pergi ke kota, menyelamatkan diri. Aku harus berterima kasih padamu.
Jangan sampai terbongkar rahasia ini. Biarlah dia tak tahu siapa orangtuanya. Kupikir aku
masih akan terus berdekatan dengannya. Ini sungguh sangat berharga. Aku masih memiliki
harapan.

Sepasang mata istri Sakri bagai tungku, menghanguskan kecurigaan yang tak pernah
terpahami. Mata yang risau, memandang suaminya dengan menghujat. Mata yang kecewa
pada Arum, gadis dari bawah pohon kersen pabrik gula yang lembab, kusam, berlumut,
dengan cericit lembut burung-burung sriti mengitari rintik gerimis.

Sepulang pemilik pabrik gula, Arum merasa seperti dilambungkan ke langit, dengan pusaran
rahasia keluarga ini, yang tak pernah dimengerti.

Pandana Merdeka, Februari 2008

Terbang
Ayu Utami

Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan
suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal.
Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya.

Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya.

Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku.

Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa
meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami
dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus
terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang
lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung
tidak menurutseperti kemarin ia mengurus tiket kamiia akan tahu rasa. Aku
membatalkan tiketku dan memesan sendiri.

Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat.
Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu
statistik.
Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer,
suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air
terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas.
Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun!

Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak,
nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. Karena itulah,
daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu saja. Paling tidak, dengan begitu
anak kita tidak jadi yatim piatu.

Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan.

Titik.

Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya
seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di
negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira
begitu aku merasa derau mesin baling-baling ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps.
Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang
pelabuhan. Suamiku tampak di sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai
hingga pesawat lenyap di udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling.

Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum.
Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada rente. Kalau untung, hanya
ada tiba dengan selamat.

Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam, termasuk transit
dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan diriku yang cemas, yang
bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan anak-anakku kehilangan ibu
yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku, yang menitikkan air mata atas jerih
payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit.
Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya.

Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk menghadapi
kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak memiliki suami ataupun
anak-anak. Aku yang lajang petualang.

Dan lihatlah. Seorang lelaki tergesa-tergesa melewati pramugari yang cemberut karena ia
membuat penerbangan telat jadwal. Ia meletakkan bagasi ke dalam kabin di atas kepalaku. Ia
mengangguk kepadaku sebelum duduk di kursi sebelahku. Terhidu bau tubuhnya. Bau hangat
manusia. Aku membalas ringan dia, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai
ber- gerak. Jati melambai di bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal!

Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa
di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan
kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya
mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada
ransel yang diletakkan di bawah kursi depan, tersangkut botol minum aluminium SIGG.
Dengan stiker kurangi plastik. Ia mengenakan sepatu gunung Eiger.
Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa melihat lipatan
perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan di balik kemeja korduroi
hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan. Dari kulit jemarinya, kira-kira ia
empat puluhan.

Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. Lebih baik
baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak memberi kita
pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia
sering-sering cuma menghabiskan urat kepala.

Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas
dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis, Carl Swisher & Roger
Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat lelaki di sebelahku bergerak.
Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia
orang lapangan, bergerak di sekitar soal lingkungan.

Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman. Sialan. Kuno
amat. Setelah burung bronkitis ini terbang mendatar, aku menarik napas lega yang pertama,
dan mulai membaca lagi. Kutangkap lagi dengan sudut mataku, ia bereaksi terhadap
bacaanku. Ah! Kupergoki saja dia. Sambil bisa kuperhatikan sekalian, seperti apa mukanya.

Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak
sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang
setia kepada keluarga, bisa saja sa- ngat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan
citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol
bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.

Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek!

Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk.

Sudah pernah baca? tanyaku.

Boleh lihat?

Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan lelaki punya
beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia banyak bertanya tentang
duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang diri sendiri. Jika kita tidak
bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri dan menjawab sendiri.) Dari cara
bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya?

Macam-macam sudah saya coba, katanya. Saya pernah kerja di pertambangan. Saya
pernah kerja di kapal.

Di kapal?

Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer.

Jadi juru masak?


Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal.

Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak pekerjaan itu. Ia
memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan ketimbang peneliti.

Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun kelapa sawit kecil-
kecilan pernah juga.

Kini aku mencari-cari tanda jika ia berbohong. Atau sedikitnya bercanda. Tapi wajahnya tulus
seperti hewan.

Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam kampung tidak
begitu, kan? tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes.

Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. Sesungguhnya, buat saya itu juga misterius.

Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian pengalaman
yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengaku-ngaku peternak
ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang dikerjakannya di
kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus?

Tebakanku tidak terlalu meleset.

Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu. Saya tidaklah
saya motret binatang dibunuh.

Oh, berhati haluskan dia. Jadi motret apa?

Saya, ia berdehem, saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek. Orang katai. Saya
potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?

Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?

Untuk satu majalah luar negeri.

Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di Indonesia.
Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak dalam halaman-
halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa sengaja bersentuhan ketika
menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar. Dan pada lembar-lembar
berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak sengaja.

Ia bercerita tentang dua spesies manusia pada sebuah zaman. Yang lebih purba dan yang lebih
baru. Pada sebuah titik, yang lebih purba punah. Dialah manusia neanderthal, dengan ciri-ciri
bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. Tapi, sebelum mereka punah, dua
spesies itu ada bercampur pula. Maka, keturunan manusia yang lebih purba masih kadang-
kadang ditemukan di kehidupan sekarang. Ciri-cirinya, bertulang kepala lebih ceper dan
tulang alis lebih menonjol. Seperti saya, barangkali. Ia nyengir lucu.

Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus seperti hewan?
Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung.

Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?

Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang
tak terkalahkan.

Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang
elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.

Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku tak terlalu
muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki?

Kenapa, kataku agak grogi, mencari tema baru. kenapa kamera digital semakin tahun
semakin biru pucat gambarnya? Tapi ini bukan tema baru. Ini tema yang sama. Tentang
kecemasan menjadi tua.

Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk memotret sejumlah
kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama sekali. Biasanya, sekitar seratus
ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan. Tapi tidak ada yang mau baca.

Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?

Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.

Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas
orgasme.

Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak.

Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis, kataku lagi.

Ia tertawa lagi. Tapi, sesungguhnya aku tidak melucu. Aku sendiri tak tahu apa motifku.
Apakah aku ingin tahu adakah teori itu benar. Ataukah, aku sesungguhnya sudah merasa
intim dengan lelaki berbau manusia ini. Aku tak tahu apa yang kukatakan.

Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar. Setelah itu aku
merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih muda dari dia. Tapi
tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku yang bertanggung jawab
telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam.

Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum?

Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda kenakan sabuk
pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti dalam bis malam yang
mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat
dinginku merembes sedikit di dahi.

Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti seorang suami.
Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama.
Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku bersandar di
bahunya.

Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi bagasi.

Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa dan diriku dari
kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi.
Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong
jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang dibawa Jati.

Hatoban

Budi P. Hatees

Tak usahlah kusebut nama gadis yang aku cintai itu. Ia sudah pergi dan semua ini hanya
kenangan. Cukup aku jelaskan serba sedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar
tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya; disebabkan karena ia hatoban.

Seribu tahun lalu leluhur margaku, panusunan bulung, menaklukkan leluhur marganya dalam
sebuah drama pertempuran yang kolosal. Leluhur margaku berhasil menggiring leluhur
marganya ke tepi Aek Lappesong yang deras dan berbatu-batu di mana sebuah jurang
menganga dan mengaum garang. Hanya ada dua pilihan bagi leluhur marganya, meloncat ke
mulut jurang dengan risiko berkeping-keping dicabik batu cadas, atau takluk kepada leluhur
margaku dengan risiko hidup sebagai hatoban.

Pilihan kedua yang dipilih leluhur marganya, entah apa alasannya. Aku meyesalkan pilihan
leluhur marganya itu. Kalau saja ia memilih pilihan pertama, tak akan kualami kisah ini. Tapi
tidak, ia pilih pilihan kedua. Sejak itulah cerita ini bermula dan hingga hari ini keturunan
leluhur marganya tetap menjadi hatoban. Dengan sendirinya dirinya pun menjadi hatoban.

Kau tak bisa mengubah itu, kata Inang ketika aku cerita betapa ia, gadis yang aku cintai itu,
telah merebut hatiku dengan cara yang sangat lembut. Bagaimana mungkin keluarga
panusunan bulung menikahi hatoban.

Alamak! Vonis Inang betul-betul meruntuhkan hatiku. Kenapa Inang membuat semuanya
menjadi begitu berat. Padahal Inang tinggal merestui hubungan kami. Habis perkara. Tetapi
aku tak berani mendebat Inang. Bisa kualat aku. Aku diam saja ketika Inang mewanti-wanti
agar aku jangan pernah lagi memikirkannya. Kau mau semua hatobangon di kampong ini
memusuhi kita, ancam Inang.

Amang seperti biasa tak banyak cakap. Ia menatapku dengan cara yang sangat aneh.

Tak kutanggapi kemarahan Inang, tak kumasukkan ke hati tatapan Amang. Aku diam saja
meskipun dalam hati aku merencanakan akan menemui gadis yang aku cintai itu secara
sembunyi-sembunyi. Maka aku temuilah ia secara sembunyi-sembunyi. Kami berkasih-
kasihan secara sembunyi-sembunyi, sehingga hubungan kami menjadi sangat akrab dan kami
berencana akan menikah. Lalu rencana itu pun tebersit; kami akan marlojong.

Tetapi ketika tiba hari yang kami rencanakan untuk marlojong, tiba-tiba Amanguda, adik
kedua Amang, mencegat kami saat melewati jalan setapak menuju kota kecamatan. Tidak
banyak cakap ia dan langsung menghantam hidungku dengan tinjunya. Sakitnya minta
ampun. Kepalaku pusing bukan main, tetapi aku diam saja. Dasar kau tak tahu adat. Kau
mau merusak paradaton. Kau itu anak raja. Amangudaku diam. Kau ditunggu Mangaraja
Marulam di rumah. Habislah kau kali ini!!! Amangudaku menyebut nama Amang, lalu
berbalik kepada perempuan yang aku cintai. Ia terlipat ketakutan. Ia menyembunyikan
wajahnya pada lututnya. Aku kasihan sekali padanya. Amangudaku menyemprotnya dengan
makian-makian yang memerihkan hatiku. Dasar hatoban. Tak tahu diri kau. Anjing kau.
Babi kau.

Amanguda! Aku melawan. Dia sama seperti aku, kami sama-sama manusia.

Sesungguhnya hubungan kami sudah berlangsung sangat lama, sejak kami kecil. Kami lahir
pada hari yang sama, tetapi jamnya yang berbeda. Aku lebih tua tiga jam. Perbedaan yang
lain, aku lahir dibantu seorang bidan. Ia lahir dibantu Ompu Erna, seorang datu beranak. Aku
lahir di puskesmas, sedang ia lahir pada salah satu kamar di belakang rumahku.

Di kamar itu Inang dan Amangnya tinggal sebagai pembantu kami. Entah sejak kapan mereka
tinggal bersama kami. Kedua orangtuanya sangat baik kepadaku. Mereka memperlakukan
aku seperti kepada anaknya sendiri, apalagi aku sangat akrab dengan putri mereka.
Keakrabanku tak pernah dipersoalkan siapa pun, termasuk Inang maupun Amang. Barangkali
karena mereka mengira kami masih anak-anak dan semua keakraban kami hanya sebatas
hubungan anak-anak.

Tetapi mereka keliru. Itulah hubungan yang menumbuhkan perasaan membahagiakan. Setiap
kali bersama perempuan yang aku cintai itu, aku merasa sangat hidup. Aku menjadi seorang
laki-laki dewasa yang dirongrong oleh perasaan ingin selalu melindunginya. Rupanya ia tahu
aku sangat menyayanginya dan begitu melindunginya. Ia bangga sekali mendapat perlakuan
seperti itu dariku. Aku menyadarinya karena ia selalu berusaha memberi peran besar
kepadaku agar aku tetap berusaha melindunginya.

Begitulah kami selalu bersama sejak kecil. Ketika beranjak dewasa, aku mulai memiliki
perasaan yang luar biasa ketika berdekatan dengannya. Ada debar dalam jantung aku setiap
kali kami bersitatap. Matanya yang bulat dan bercahaya itu betul-betul meruntuhkan jiwaku.
Ketika itulah aku susah payah menata kata untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Aku
juga kepayahan menyusun keberanian untuk mengungkapkan kata-kata cintaku.

Setelah bertahun-tahun, setelah kami sama-sama bersekolah di SMA, barulah kata-kata itu
tersusun rapi bersama dengan menguatnya keberanianku. Maka, sepulang dari sekolah, saat
kami berjalan berdua di bukit padang lalang menuju perkampungansatu-satunya SMA
hanya ada di kota kecamatanaku minta ia berhenti karena ada hal penting yang ingin aku
sampaikan. Saat itu kami berada di puncak bukit, dan dari tempat itu kami bisa melihat
matahari menggeser tubuhnya ke barat secara perlahan-lahan. Aku bilang padanya bahwa aku
jatuh cinta dan tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa dirinya. Aku berdebar-debar
menunggu jawabannya. Aku sangat takut ia menolak. Tetapi ia tak menolak, hanya
mengangguk pelan. Aku lihat kulit pipinya yang putih bersih itu memerah seperti bunga
kincung. Sore itu aku melihatnya seperti bidadari yang baru keluar dari dongengngan. Lalu
aku peluk tubuhnya, aku cium keningnya dengan keriangan yang luar biasa.

Sejak itu kami berkasih-kasihan. Semakin hari, semakin dalam aku masuk ke hatinya.
Semakin dalam pula ia menyusup ke hatiku, mengendap sari-sari jiwanya di darahku. Karena
keriangan yang luar biasa, aku pun mengungkapkannya kepada Inang. Dengan kening
berkerut, Inang berkata, Dia hatoban dan sampai kapan pun tetap hatoban. Kau tidak bisa
dekat dengannya.

Seharusnya tak kusampaikan kepada Inang tentang perasaanku kepada gadis yang aku cintai
itu. Tetapi aku terlalu bahagia dan sangat ingin agar orang lain ikut menikmati
kebahagiaanku. Tetapi keputusan aku itu ternyata jadi petaka. Sejak Inang tahu, ia
melarangku berdekatan dengan gadis yang aku cintai itu. Malah, suatu hari Inang menghardik
orangtua gadis yang aku cintai itu dengan sangat kasar. Aku tak tahu bagaimana dan kapan
kejadiannya. Mungkin saat kami sedang berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi di
pinggir Aek Lappesong, atau saat kami sedang di sekolah. Yang jelas, orangtua gadis yang
aku cintai itu meminta dengan sangat kepadaku agar menjauhi putri mereka. Aku bilang tidak
bisa. Aku mencintainya, sangat mencintainya, kataku.

Orangtua gadis yang aku cintai itu menangis. Mereka memohon. Aku bersikeras. Saat itulah
muncul gagasan itu. Kalau begitu, kami akan marlojong, kataku.

Mereka kaget. Jangan!

Aku tak peduli. Malam itu pun aku mengajak gadis yang kucintai itu marlojong. Ia
mengangguk. Kami pun membuat rencana. Dan ketika rencana itu final, kami pun bergerak.
Sayang, Amangudaku mengetahuinya. Lalu.

Semua harapanku kandas. Dengan cara yang sangat kasar Amang mengusir aku dari
kampong. Kau tak bisa menjaga adat, katanya.

Inang sudah mengingatkanmu, timpal Inang.


Aku diam saja. Ada kemarahan meledak, tetapi aku tahankan. Juga ketika aku melangkah
meninggalkan kampong mengikuti perintah Amang. Ia seorang yang keras, kaku, dan tidak
boleh dibantah. Maklum, ia seorang raja, raja dalam trah marga kami, panusunan bulung. Apa
pun yang ia katakan adalah titah. Panusunan bulung itu turunan langsung dari mulajadi
nabolon. Aku, anak tunggalnya yang juga pewaris panusunan bulung, hanya bisa menunduk
meninggalkan kampong.

Aku diwajibkan ke Jakarta, ke rumah Inangboruku, adik perempuan Amang. Ketika aku tiba
di rumah Inangboruku yang luas dan megah di Jakarta Selatan, ia langsung mewanti-wanti
dengan sekian banyak peraturan dalam rumah yang tak boleh aku langgar. Aku sudah
membayangkan akan menjalani hidup yang kerontang, setidaknya mirip kehidupan yang
dijalani Inangboruku.

Inangboruku menikah dengan orang dari Mandailing, tetapi aku belum pernah bertemu
langsung dengannya. Orang Mandailing itu, Amangboruku, konon kabarnya tidak terlalu
peduli dengan situasi Inangboruku dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah.
Ia seorang polisi laut, bekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, dan banyak menghabiskan
waktunya di sejumlah hotel dan bar bersama para pengusaha pengiriman barang. Mereka
sengaja menjamu Amangboruku dan membuatnya merasa dihargai agar Amangboruku tidak
perlu memeriksa jenis-jenis barang yang mau keluar maupun yang masuk ke Pelabuhan
Tanjung Priok.

Amangboruku memang tidak memeriksanya, tetapi dengan syarat para pengusaha itu
menyisakan saham di perusahaan mereka masing-masing 20% untuk dimilikinya. Itu
sebabnya Amangboruku sangat kaya, sangat kaya. Tetapi aku yakin, suatu saat ia akan jadi
sasaran petugas yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi. Suatu saat pasti. Karena
hidup Amangbaruku dengan mobil yang selalu baru dan Inangboruku selalu
mempertontonkannya kepada setiap orang dalam acara arisan yang penuh percikan ludah
basi, sangat terkesan seolah-olah mereka punya saham juga di PT Perusahaan Uang Republik
Indonesia (Peruri).

Aku tak terlalu memusingkan itu. Aku cuma pusing oleh bayangan gadis yang aku cintai itu.
Ia tidak pernah redup. Seperti bola lampu yang terbuat dari cahaya keabadian, ia berpijar-
pijar dalam diriku. Ia menyala-nyala dalam hatiku. Tetapi entah di mana ia saat ini.

Sejak Amangudaku menangkap tangan kami saat mau marlojong, ia mendapat perlakuan
yang tidak baik dari setiap orang di kampong. Perlakuan yang lebih kurang seperti diberikan
Amangudaku saat menangkap tangan kami. Dan, karena kasihan pada dirinya, orangtuanya
mengajaknya pindah ke tempat lain tanpa memberitahuku ke mana.

Itulah salah satu alasan aku menerima perintah Amang agar pergi ke Jakarta.

Namun, aku selalu memikirkan gadis yang aku cintai itu selama bertahun-tahun. Ia tak
tergantikan oleh apa pun, oleh siapa pun. Semakin tahun ia semakin berpijar-pijar. Nyalanya
lebih terang dari matahari, lebih indah dari rembulan. Sampai bertahun-tahun kemudian aku
kembali ke kampong saat tidak muda lagi. Tapi aku tetap saja seorang pemuda dengan
jantung yang berdebar-debar seperti dulu sembari membayangkan aku akan bertemu
dengannya.

Meskipun aku tak yakin ia akan ada di sana mengingat bagaimana ia sangat disakiti orang
kampong sehingga memutuskan pergi. Entahlah, dadaku berdebar-debar sepanjang perjalanan
pulang. Aku menata kata-kata yang pas untuk disampaikan kepadanya. Situasi ini sama persis
seperti bertahun-tahun lalu ketika aku akan mengatakan cinta kepadanya.

Dan tiba-tiba semua seperti baru dimulai, seperti tidak pernah ada yang berubah.

Tak usahlah kusebut nama gadis yang aku cintai itu. Cukup aku jelaskan serba sedikit: ia
sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya.
Juga saat aku temui ia kembali, beberapa tahun kemudian. Ia berdiri di tempat kami sering
berkasih-kasihan, di pinggir Aek Lappesong yang tak dialiri air lagi. Di sana tak ada batu-
batu cadas karena orang-orang menambangnya. Tetapi yang sangat menarik bagiku adalah
sosoknya. Ia tidak berubah sama sekali, juga kecantikannya. Waktu tak membuatnya lebih
tua. Kau? kataku.

Ia tersenyum. Ya, aku. Aku menunggumu di sini bertahun-tahun. Aku yakin suatu saat kau
akan menepati janjimu.

Catatan:

Hatoban: Budak. Sebagian masyarakat adat Batak Angkola Sipirok menyebut mereka
jappurut. Ini status sosial yang diterima seseorang sebagai bagian dari garis darah ayah, dan
tidak ada situasi apa pun yang bisa mengubahnya. Status ini didapat sekelompok marga
karena warisan, di mana leluhur mereka kalah dalam perang marga yang menjadi tradisi di
lingkungan masyarakat adat Batak Angkola Sipirok untuk memperluas daerah kekuasaan.

Hatobangon: para tetua adat.

Panusunan bulung: pembuka perkampungan masyarakat Batak Angkola Sipirok.

Anda mungkin juga menyukai