Anda di halaman 1dari 166

Engkau

SEKALI aku berteriak, pecah kepalaku seperti pecahan semangka.


Maka aku hanya bisa diam pasrah, tapi...
Engkau?
Bukankah kita dulu bersahabat. Kita berjanji setia dalam suka
maupun duka, tapi kau berkhianat. Ya, kau mengkhianatiku. Kau
nodai janji suci itu. Padahal kita sudah berikrar bersama. Kita jalani
bersama. Dan telah bertahun-tahun lamanya kita tempuh
kehidupan ini bersama. Menerjang masalah bersama, tertawa
bersama, bersenang-senang bersama. Di manapun engkau berdiri,
disana juga aku setia menemani.
Tapi sekarang kau telah mengkhianatiku.
Apa kau sudah lupa saat kita masih duduk di bangku SMP.
Sepulang sekolah kita sepakat memetik buah mangga milik Pak
Haji Yus yang amat pelit itu.
“Kita tidak mencuri. Kita hanya mengajari Pak Haji Yus agar
jadi orang, tidak boleh pelit.” Katamu dulu.
Akhirnya kita sepakat, aku yang memanjat pohonnya, memilih
mangga yang sudah matang, melemparnya ke bawah, dan kamu
yang mengumpulkan.
“Kamu lagi, kamu lagi.” Pak Haji Yus berteriak. Suaranya
memang menakutkan. “Turun.”
Dengan cepat aku merosot turun. Tak peduli dada sakit.
Hampir saja, sesosok sandal jepit yang kemarin melayang lagi.
Namun syukurlah kali ini meleset; tidak kena. Tanah terlihat dekat,
aku melompat. Kaki sedikit sakit. Aku paksakan berdiri, ternyata
aku masih bisa berlari. Aku berlari melesat.
“Awas kau bandit kecil.” Teriak Pak Haji Yus berlari mengejar
sambil melempar sandal yang sebelah lagi.
Dasar Pak Haji pelit. Aku kan Cuma minta satu. Pak Haji Yus
tidak mampu lagi mengejar, baru lima langkah berlari sudah ngos-
ngosan. Bahkan saat masih selangkah tadi, aku sudah jauh tak
dipandang mata.
Sampai di tepi sungai kau tertawa menyambutku. Akupun
balas tertawa, menertawakan bapak haji pelit yang tidak kuat
mengejar kita.
Kudekati engkau sembari menyodorkan buah mangga yang
berhasil aku bawa lari. Kita makan bersama mangga itu diatas batu
besar. Memandang beriak air dan merasakan tiupan angin berlalu
lalang. Kita bercerita banyak hal. Lebih-lebih tentang tentang Pak
Haji Yus yang sangat, sangat, sangat pelit itu. Sesekali tertawa
lepas sambil menghabiskan mangga hasil curianku. Rasanya manis-
manis asem, dipikir-pikir mirip dengan si Laila, putrinya Pak Haji
Yus.
“Mangganya satu saja pelitnya minta ampun, apalagi putrinya!”
Ucapmu tersenyum memustahilkan harapanku pada si Laila.
Itu perbincangan terakhir kita sebelum akhirnya aku
memutuskan pulang karena hari beranjak petang.

2
***
Aku masih tiduran di kamar saat adzan berkumandang.
“Zas, kamu ndak mau ngaji?” Ibu mengetuk pintu kamar.
“Zas masih capek, bu!”
“Ya sudah, tapi jangan lupa sholat, ya!”
“Iya.” Teriakku malas.
Itu ibuku. Apa mauku selalu dituruti. Enak juga punya keluarga
seperti ini. Capek yang mau sekolah, capek yang mau ngaji, tinggal
bilang saja. Tidak perlu repot-repot cari alasan.
Tiba-tiba ada yang mengetuk jendela.
Aku beranjak membukanya, ternyata engkau.
“Kamu tidak mau mengaji sekarang?” Tumben kau bertanya
seperti itu. Tiba-tiba sok alim saja. Padahal tadi ngajak nyolong
mangga.
“Tidak, lagi males.” Jawabku enteng.
“Wah, sayang sekali. Padahal sekarang Laila ikut ngaji ke surau
lho!”
“Benarkah!” Seruku tertahan.
“Itu dia.” Engkau menunjuk tiga perempuan berkerudung putih
mendekap mukenah dan sejadah.
Akupun terbelalak setengah tak percaya. Dan benar,
perempuan yang tengah itu Laila, si ‘manis-manis asem’. Manisnya
itu karena dia cantik dan sholehah. Asemnya karena dia selalu cuek
padaku. Tapi tunggu saja. Tunggu Zas, si bandit kecil ini nyolong
hatinya.
Aku bergegas mengambil peralatan ngaji. Memakai sarung asal
pakai, kopyah yang penting bertengger di kepala. Sedangkan baju
tetap pakai kaos. Toh, tidak ada larangan.
“Bu, aku berangkat ngaji dulu.” Aku berlari. Hanya menoleh
sebentar pada ibu yang tengah memasang mukenah heran melihat
anaknya berubah pikiran. Kalau bapak, paling belum pulang dari
sawah.

3
Aku dan engkau berjalan beriringan. Beberapa meter di
belakang Laila dan kedua temannya. Beberapa kali aku bersiul,
bukannya menoleh, Laila malah mempercepat langkah.
Sesampainya di surau, aku sengaja berdiri mengumandangkan
iqomah.
“Dasar caper.” Lirih engkau di telingaku. Dan memang aku lagi
cari perhatian.
Ustaz Mahmud datang untuk mengimami.
Usai sholat, berdzikir sebentar lalu setoran bacaan al-Quran
pada Ustaz Mahmud. Ketika tiba giliranku, aku sengaja
membaguskan suara, dan memang suaraku merdu. Tidak percaya!
Tanyakan saja pada Laila. Dia saja dengar suaraku jadi klepek-
klepek.
Selesai menyetor bacaan, engkau berbisik di telinga. Kau
jelaskan rencanamu. Rencanamu memang selalu brilian. Jadi begini,
nanti saat Laila pulang...
Ups! Ini rahasia tidak boleh ada yang tau. Lihat sendiri saja
nanti!
Rembulan menyipit, mengintip langkah Laila dan kedua
temannya. Senter kecil di tangannya menerangi jalan. Malam
belum benar-benar larut, namun suasana desa sudah cukup sepi.
Jangkrik bernyanyi meramaikan malam. Di pertigaan itu Laila dan
kedua temannya berpisah. Kini Laila berjalan sendiri ke utara.
Saatnya menjalankan rencana. Sebenarnya rencana ini sudah
tergolong basi, di film-film sudah sering ditayangkan, tapi tidak
salah kan aku beradegan sendiri.
Dari balik semak aku dan kau mengintip.
Sesuai rencana, ketiga temanku menghadang jalan. Sudah bisa
ditebak rencananya? Ya, begitulah. Akhirnya aku tampil sebagai
pahlawan. Awalnya memang berjalan mulus. Namun ditengah-
tengah kami berpura-pura berkelahi, aku tidak sengaja memukul
wajah Devam hingga lebam. Hal itu memancing amarah mereka,
yang awalnya berpura-pura berubah menjadi sungguhan. Bermula

4
adegan berujung perkelahian. Dan malam itu kami sudah benar-
benar berkelahi, tiga lawan satu.
Aku melirik ke semak belukar tempat engkau mengintip,
berharap engkau akan menolong. Namun kau tetap tidak juga
keluar. Tetap mengintip dengan tatapan cermat, seakan-akan
perkelahian itu hanya akting. Padahal nyawaku kini kian terancam.
Satu dua pukulan mereka berhasil kutepis. Dan sepuluh lebih, entah
berapa lagi pukulan mereka yang membekas di tubuh.
Tiba-tiba sebuah batu mendarat di pelipisku. Keningku
mengalir darah segar. Otot melemah, pandangan memburam.
Terjatuh lemas kehilangan tenaga. Saat sekarat seperti itu, barulah
mereka menghentikan amukan. Pergi meninggalkanku sendiri.
Tidak.
Tidak, aku tidak sendiri.
Laila! Kemana dia? Hanya terlihat bayangan berwajah putih.
Wajahnya samar, seperti diberi efek blur. Laila!
“Rasakan getahnya!” Bentak Laila. Mirip sekali dengan Pak Haji
Yus. “Kamu pikir aku tidak tau. Kamu kan yang nyuruh mereka dan
sok jadi pahlawan. Sekarang rasakan sendiri imbasnya.” Laila
melangkah pergi.
Mungkin aku sudah benar-benar sendiri.
Hanya ada engkau. Ya, engkau. Kau kemana?
Aku mendongak memandang kearah semak. Kau keluar
dengan wajah senyum. Kau kira ini lucu?
“Zas, begitu saja kau tidak bisa.” Kau tertawa lebar. “Ayo
bangun jagoan. Ini bukan akhir, masih ada yang harus kau kerjakan.
Mereka itu pengecut. Beraninya main keroyokan. Lain kali kau
tantang satu persatu, baru terbukti siapa yang benar-benar jantan.”
Oh, kau benar. Aku harus tantang mereka, SATU LAWAN
SATU. Aku bangkit dengan tenaga yang memulih oleh dendam.
Hatiku tersulut api kebencian. Di manapun mereka, mereka harus
membayarnya. Mengepal, mengumpulkan kekuatan. Tidak malam

5
ini mungkin esok. Tidak esok mungkin lusa. Sudah cukup aku
dipermalukan di depan Laila.
***
Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk membalas
dendam. Namun setelah semuanya terbayar, hatiku terpuaskan.
Dan rencana engkau benar-benar brilian. Aku masih tetap setia
mengikuti keinginanmu. Karena semuanya memang
menyenangkan. Engkau selalu bisa menghiburku.
Tiba-tiba beberapa polisi mendobrak pintu. Semua orang
kalang kabut. Alunan musik berhenti. Semua orang lari terbirit-birit,
termasuk aku. Ditengah jalan, tepat dibawah pohon mangga aku
berhenti.
“Kenapa aku lari? Aku kan tidak salah.” Batinku memberontak.
Aku menoleh ke atas. Ini buah mangga yang pernah aku curi
dulu. Apa aku akan ditahan hanya karena mencuri mangga? Apalagi
kejadian itu sudah lama sekali. Ah, tidak mungkin.
Aku menoleh ke arah jendela, terlihat samar dari temaram
lampu, Laila sedang mengintip. Dia melempar pandangan
kebencian, amarah, dan kobaran api setan, aku membalas dengan
senyum lembut iblis. Licik, mematikan.
Aku sudah buktikan janjiku. Aku telah berhasil nyulik Laila
putrinya Pak Haji Yus pada suatu malam. Ini semua karena idemu.
Idemu memang brilian. Dengan meneteskan alkohol ke
minumannya, diapun mabuk kepayang.
“Apa aku akan ditahan polisi hanya karena itu?”
Tidak mungkin. Kita bercumbu sama-sama suka. Terdengar
lagi beberapa langkah polisi-polisi keparat itu.
Aku berlari menembus petang. Arah rumah adalah tujuanku. Di
pinggir jalan dekat semak belukar, terdapat beberapa pecahan
botol minuman keras. Semalam, di sinilah aku memenangkan
dendam itu. Devam mati terkapar setelah kekurangan darah.
“Apa aku akan dipancung oleh polisi karena telah membunuh?”

6
Ah, tidak mungkin juga. Aku kan hanya ingin membayar
hutang. Lagi pula saat aku dikeroyok dulu, tidak ada polisi yang
menghentikannya. Jika aku dipenjara karenanya, itu tidak adil.
Aku kembali berlari. Rumahku semakin dekat.
Celaka!
Rumahku dipenuhi mobil-mobil polisi. Tetangga-tetangga
berkumpul. Beberapa wartawan meliput. Garis kuning polisi
menjaring laba-laba disekeliling rumahku. Hatiku gusar. Kalut.
Kacau. Ada apa ini?
Dari dalam rumah beberapa polisi membawa dua tas kuning
berisikan mayat.
“Bapak!”
“Ibu!”
Tadi sebelum aku berangkat ke klub malam.
“Bapak tidak punya uang, Zas.” Bapak memelas.
Sedangkan aku mengacak-acak lemari bapak.
“Ah, kan baru kemarin bapak panen. Dibuat apa sih uangnya?”
“Digunakan buat bayar hutang bapak, Zas.”
“Hutang, hutang, hutang mulu. Kalau bapak ngutang terus,
kapan kita kaya?” Aku membentak, sembari terus mengacak-acak
lemari, aku yakin uang itu disembunyikan oleh bapak. Ibu,
mendekat mencoba menghentikanku. Namun sekarang aku lebih
besar. Begitu aku dorong sedikit sudah jatuh membentur meja.
Nah, ini uangnya. Aku tersenyum, akhirnya aku menemukan
apa yang kucari.
“Kamu mau kemana, Zas?” Ayah bertanya dengan suara tuanya
yang serak. Orang tua bangka itu selalu sibuk di sawah, tidak punya
waktu untuk memperhatikanku. Bahkan tidak jarang meninggalkan
sholat. Ia selalu setia bersama temannya itu. Ya, temannya itu
memang berwatak bekerja, bekerja, dan bekerja. Dunia, dunia,
dunia.
Aku melirik ibu yang masih duduk bersandar pada meja. Air
bening di pelupuk mata beliau meleleh. Beliau tidak apa-apa

7
bahkan kepalanya yang membentur mejapun tidak berdarah.
Hanya memar.
Aku pergi bersamamu ke klub malam. Engkau benar, bapak
menyembunyikan uangnya. Engkau memang memiliki insting yang
fantastis.
“Lalu, dua mayat itu siapa?” Batinku menanya. Polisi
mengamankan sebilah pisau. Pisau itu milik bapak.
Aku memberanikan diri mendekat. Karena aku tidak bersalah,
kenapa harus takut.
Dipintu,’ teman’ bapak senyum-senyum. Pasti dia pelakunya.
Dia mengkhianati bapak. Dia yang membunuh bapak. Tatapannya
tajam ke arahku. Tetap tersenyum tanpa ada rasa takut ataupun
menyesal.
Sedangkan amarahku semakin terbakar oleh gigi kuningnya.
Dasar. Tak tahan lagi aku menahan panas membuncah di dada,
segera aku berlari hendak membunuhnya. Membalas dendam
bapak ibuku.
Namun, polisi segera menyergapku. Dua polisi sekaligus.
Tenagaku kalah kuat. Aku tertunduk di mobil polisi, dengan posisi
tangan di belakang. Bibir pistol menempel di kepala. Bibir pistol itu
seakan menancapkan memori kedalam ingatanku. Masa-masa
kelamku tiba-tiba tertayang jelas, seperti tabir malam yang
tersingkap. Hingga aku melihatnya, dari sudut pandang yang
berbeda.
Sekali saja aku berteriak, maka akan pecah kepalaku seperti
pecahan semangka. Maka aku hanya bisa diam pasrah. Tapi...
Engkau?
Tersenyum dalam kaca mobil polisi. Wajahmu mirip sekali
dengan teman bapak. Aku terus memerhatikan. Teman bapakku
hampir tidak ada bedanya dengan bapak. Dan bapak
mewariskannya padaku.
Ya, engkau sangat mirip denganku. Siapa engkau? Senyummu
melebar.

8
Darahku memuncak kekepala. Amarahku terbakar. Semakin
aku menatap kaca itu, semakin menyala-nyala kebencianku. Tak
terbendung, membuncah, tangan mengepal. “Kau harus mati!”
Sebelum sempat tanganku menghantam kaca mobil polisi itu,
tiba-tiba...
Doooorrrrrrr....
5 Jumadil Akhir 1439
13 Februari 2018

9
Apa sih Cinta itu?
SAAT itu aku sedang menyelesaikan cerpen, tiba-tiba dia datang
padaku, membawa beberapa buku. Menimpuknya di sampingku.
“Apa sih cinta itu?” tanyanya lantang. “Kamu menulis tentang
cinta, cerita cinta. Lantas apa kamu tahu deskripsi dari cinta?”
Aku memandangnya, nampaknya dia sangat serius. Dengan
wajah mengernyit, dan sikap yang sok menanyakan hal penting.
“Cinta itu perasaan hati.” Jawabku tenang. Masih memandang
lekat wajahnya. Lalu beralih pada buku-buku yang dibawanya tadi.
Beberapa novel dan buku ilmiah yang membahas tentang psikologi
remaja. Nampaknya dia telah mengkhatamkan semua buku itu,
namun belum menemukan apa yang ditanyakannya padaku.
“Kamu sudah membaca semua buku ini?” tanyaku memastikan.
Tanganku menepuk buku yang tersusun acak.
Dia mengangguk mantap: “Ya, sudah ku lahap semua, tapi
tidak ada penjelasan tentang cinta yang memuaskanku.” Matanya
10
sama sekali tidak bercanda, dia tidak main-main dengan
pertanyaan itu, benar-benar ingin tahu. Tak seperti kebanyakan
remaja yang menganggap cinta itu hanya permainan soal hati.
Aku mengambil buku yang tak asing, bercover coklat. Antologi
cerpen, ‘Bungaku Tumbuh di Kereta’. “Buku ini bagaimana
menurutmu?” Aku angkat, menunjukkannya.
“Ya, di dalamnya berisi cerpen-cerpen yang banyak membahas
cinta. Sebuah cinta pertemuan dua insan. Shofia, Fatimah, Wasilah,
Binjar juga Emha’s penulis buku itu semuanya membahas cinta.
Hanya cerpenmu dan cerpen Ali W. yang tak membahas cinta.”
“Nah, maka dari itu, jangan tanya padaku. Tanya pada mereka
yang yang telah mengimajinasikan cinta, sesuai persepsi mereka.”
Aku meletakkan kembali buku itu di atas tumpukan. Bunyi
berdebum kecil terdengar halus.
Sebaliknya, giliran dia mengambil buku itu menunjukkannya
padaku, membukanya, memperlihatkan daftar isi: “Bagi Fatim,
cinta itu adalah perasaan yang bisa tumbuh oleh beberapa kejadian.
Fakta yang menarik memang, benci itu ternyata bisa berubah
menjadi cinta. Shofia lebih berbelit dengan cerita cintanya.
Mempertahankan perasaan yang ada di hati, eh, ternyata dia bukan
cinta sejatinya. Kedua cerpennya menyimpulkan, cinta itu akan
hadir sesuai urutan takdir.
“Emha’s, lebih berat di cerpen pertama. namun halus
penyampaian pesannya. Seorang wanita yang ‘Tuna cinta’,
menyedihkan. Dia tak dapat memeluk manisnya cinta, karena
keegoisannya dulu. Di cerpen kedua lebih ringan bacaannya,
Mengungkapkan cinta dengan hal sepele. Dapat disimpulkan,
terkadang cinta itu hadir pada waktu yang tak diduga, bahkan ia
hadir dengan hal yang lucu. Dan point pentingnya, cinta itu sesuai
karakter seseorang, jika ia baik, maka dominan melihat cinta dari
baiknya. Namun jika buruk, maka ia tak peduli pada perangai
baiknya, yang penting ‘cantik’ itu cukup.

11
“Sedangkan cerpen dari Wasilah, hampir sama dengan kisah
cinta kebanyakan. Sebuah cinta yang dipertemukan oleh takdir.”
“Nah, itu kau sudah mendeskripsikan banyak cinta!” aku
memberi titik pada ucapanku, dengan berpaling pada laptop, siap
melanjutkan ceritaku.
“Anam! Aku belum selesai.” Kali ini dia memelas. “Ayolah,
Nam. Aku tahu kamu juga banyak menulis tentang cinta. Entah itu
artikel atau cerpen.”
“Ya kamu baca saja tulisanku itu. Mungkin kamu temukan
jawabannya.” Jawabku tanpa menoleh. Lalu kembali fokus. Namun
tak bisa, karena dia terus mengganggu.
“Sudah!” katanya memberi penekanan, tanpa ragu. Dia sudah
membaca semua tulisanku?
Kali ini aku menoleh, setidaknya menghargainya yang telah
membaca tulisanku. Siapa tahu aku dapat memuaskannya dengan
jawaban langsung.
“Terus hasilnya?” Aku pastikan dia benar-benar telah melahap
semuanya.
Dia menggeleng penuh arti, mengangkat kedua alisnya
memandang kecewa, seperti seseorang yang tak menemukan apa
yang dicarinya.
“Kan sudah aku jawab, cinta itu perasaan hati.” Aku kembali
berbicara.
“Tidak bisa, Nam. Perasaan hati itu tidak bisa jadi takrif dari
cinta. Kamu kan sudah belajar Sullamul Munawrok, ilmu mantik.
Tentu kamu sudah paham tentang bab takrif. Perasaan hati itu
terlalu umum, benci juga perasaan hati, marah, sedih, cemburu, itu
semua juga perasaan hati. Kamu tahu kan, takrif itu harus
mengecualikan semua itu. Jadi marah, sedih dan lainnya itu harus
juga tidak masuk dalam takrif cinta.”
“Ya, tinggal tambahkan saja, cinta itu perasaan bahagia dalam
hati. Kan berarti yang lain akan dikecualikan dari takrif itu.”

12
“Tidak bisa juga, karena senang, juga perasaan bahagia dalam
hati.”
Aku berpikir, meletakkan tangan di dagu. Rupanya dia benar-
benar serius. Tidak main-main dengan yang dicarinya: “Cinta itu
luas. Sebenarnya jika kamu mau meneliti lagi cerpen saya di buku
itu, juga membahas cinta. Cinta orang tua pada anaknya. Mungkin
begini ibrahnya, perasaan bahagia akan datang, saat cinta
menemaninya. Sebaliknya, perasaan sedih akan menyiksa, saat
yang dicinta meninggalkannya.
“Ibaratkan saja cinta orang tuamu, cukup dengan senyummu
saja, itu akan sangat berharga bagi orang tuamu, karena mereka
mencintaimu. Di cerpen satunya, aku mengibaratkan sebuah desa.
Jika cinta sudah di cabut di hati mereka, sungguh kejadian
menakutkan dan menyedihkan akan datang dengan segera. Ya,
tanpa cinta kita semua akan terpecah-belah.” Aku menghirup nafas,
meluruskan punggung.
“Iya jika cinta itu di ibaratkan pada orang tua dan cinta dalam
lingkungan. Terkadang berbeda jika diibaratkan pada muda-mudi
sekarang. Semisal cinta dari sudut pandang istri, jika sang suami
menikah lagi. Pasti si istri pertama akan sakit hati jika suaminya
dekat dengannya disaat juga sedang menggandeng istri kedua. Kan
karena itulah istri pertama dan kedua tidak ditempatkan di satu
rumah. Sudah jelas kan, yang kamu uraikan tadi tidak sama dengan
cinta yang ini. Jika kamu membuat takrif dari ibaratmu itu, apakah
kamu akan mengecualikan cinta yang kusebutkan?
“Tentu tidak kan! Kan sudah jelas, dalam mantik, takrif itu
harus mencakup seluruhnya yang di-takrifi. Iya, kamu bisa
membuat takrif cinta orang tua atau takrif cinta pemuda. Yang saya
tanyakan takrif-nya cinta secara umum. Yang dengan takrif itu,
semua cinta akan masuk di dalamnya. Jadi dengan satu takrif,
mampu mencakup, cinta dua sejoli, cinta orang tua, cinta baginda
nabi, cinta ilahi robbi. Hingga cinta matahari pada bumi, cinta
hujan, cinta tumbuhan, cinta hewan.”

13
Aku sedikit mengernyitkan dahi mendengar penuturannya. Dia
menyebutkan semua cinta tanpa terkecuali. Dan akupun menjadi
bingung sendiri. Lalu kebetulan, Fahmi masuk kantor ikut
bergabung.
“Coba kau tanyakan hal itu pada Fahmi. Dia lebih cerdas dariku.
Mungkin dia lebih tahu.”
Aku kembali fokus pada laptop, namun tetap pikiranku tak
dapat menyatu dengan cerita yang kutulis. Diam-diam aku masih
menguping pembicaraan mereka.
“Begini.” Ucap Fahmi sambil memperagakan dengan
tangannya. “Cinta itu, seperti matahari menerangi bumi. Ia akan
terus menerangi, meski tanpa balasan terimakasih. Meski
tenggelam, ia akan terus terbit dan terbit lagi tanpa perlu diminta.
Cinta itu seperti hujan, bisa hadir kapan saja dan untuk siapa saja.
Karena pada kenyataannya, banyak orang yang tak menginginkan
hadirnya cinta, namun cinta itu tetap hadir membasahi hatinya. Ya,
cinta itu seperti hujan.
“Di bait Alfiah ada nadzom begini, ‘wa qod yakunani
munakkaroini – kama yakunani mu’arrofaini’. Bait ini menerangkan
tentang ‘athof. Coba kau umpamakan ‘athof itu sebagai cinta. Ya,
cinta itu hadir pada siapa saja, tanpa memilih waktu dan tempat.
Bisa juga hadir pada orang yang tak di kenal, sebagaimana hadirnya
cinta pada orang terdekat.” Fahmi tersenyum, setelah
penjelasannya yang panjang lebar.
Namun dia tetap tidak berekspresi, entah bingung atau apa.
Menangkupkan tangan ke wajah, sebentar, lalu melepasnya
bersama hembusan nafas halus. Dan dengan tenang bersuara:
“Kamu menjelaskan panjang lebar, namun belum menjawab
pertanyaanku, cinta itu apa?”
Fahmi berhenti tersenyum.
Ah, ternyata dia benar-benar ingin mencari tentang makna
cinta. Baru kali ini aku bertemu seseorang yang sangat bernafsu

14
untuk mengetahui tentang satu hal. Cinta. Itu membuatku tertarik
untuk berbalik badan, sekedar ingin memberi masukan.
“Coba kamu tanyakan hal ini pada Pak Misto. Kurasa dialah
orang yang telah mengenyam pahit masinya cinta.” Aku bilang
seperti itu sebenarnya ingin mencandainya. Tapi, dia malah
menanggapinya dengan sungguh-sungguh.
“Nah, iya. Kamu benar.” Katanya langsung beranjak pergi,
hendak ke rumah yang sudah aku sebutkan tadi. Kebetulan
rumahnya hanya di timur pesantren. Dekat.
Aku dan Fahmi saling tatap. Bingung. Sama-sama bertanya
pada hati. Dia beneran akan bertanya?
Setelah mengetuk pintu, Pak Misto keluar dengan wajah
sangarnya. Pak Misto memang dikenal kasar, meskipun berbicara
lembut, tetap anak kecil akan lari terbirit-birit mendengarnya. Dia
sudah lima kali menikah, namun kelima-limanya diceraikannya.
Tidak ada yang tahu penyebab pastinya.
“Saya ingin bertanya satu hal pada sampean, Pak”
“Iya, tanya apa?”
“Cinta itu apa, pak?”
Tiba-tiba… Plak, Pak Misto menamparnya. Tentu ia bingung,
sembari meraba pipinya yang memerah.
“Itu cinta!” Kata Pak Misto membentak. “Mau cinta lagi?”
“Tidak Pak!” jawabnya, langsung lari seribu langkah.
“Hahaha.” Aku dan Fahmi tertawa terbahak-bahak mendengar
ceritanya. “Hahaha.”
“Haha, mungkin karena itu istri Pak Misto semuanya minta
cerai.” Jawabku, masih tak bisa menahan tawa.
“Sebenarnya aku masih tidak mengerti, kenapa cinta menurut
Pak Misto itu adalah tamparan.” Dia masih menghitung serius hal
itu.
“Jika kamu masih mau tanya cinta, coba tanyakan pada Pak
Ghani. Mungkin dia bisa jawab. Dia kan punya dua istri, cantik-
cantik lagi.” Fahmi kali ini memberi usul.

15
“Di mana rumahnya?”
Aku dan Fahmi kembali saling pandang, ingin ditertawakan
gimana, didiami gimana. Bingung. Dia benar-benar nekad untuk
mengetahui takrif dari cinta. Akhirnya, Fahmi menuliskan alamat
lengkapnya. Dan sungguh, katanya dia akan mendatangi rumahnya
hari ini juga, ia akan pergi bersama santri Khoriji (murid yang cuma
sekolah, tidak mondok). Dengan wajah tenang ia pergi ke perijinan,
pamit hendak periksa. Ya, bahkan dia berani berbohong hanya
untuk mengetahui cinta itu.
Setelah berputar-putar, bertanya sana-sini, akhirnya ia sampai
pada alamat yang dituju. Di depan rumah megah berlantai dua, dia
meneriakkan salam. Satu, dua sampai tiga kali ia berteriak, baru ada
orang yang keluar dari rumah. Seorang laki-laki paruh baya,
memakai sarung dan takwa putih. Namun tidak memakai kopyah,
sehingga terlihat rambutnya yang sudah memutih separuh.
Wajahnya terlihat bersahabat.
“Saya mencari rumah Pak Ghani? Apa benar ini rumahnya?”
Katanya memastikan.
Laki-laki tadi membukakan pintu gerbang, tersenyum: “Dua
tahun lalu rumah ini memang milik Pak Ghani.”
“Lah sekarang?” Dia spontan bertanya, bersiap kecewa.
“Sekarang rumah ini milik HAJI Ghani.” Kata laki-laki tadi
tersenyum. Nampaknya suka bercanda orang ini. “Ada keperluan
apa ingin menemuiku? Ah, ayo, mari, kita bicara di dalam.” Haji
Ghani mempersilahkan kedua tamunya, duduk di ruang tamu. Dua
orang itu tampak terkagum-kagum melihat benda-benda mahal di
sekitarnya. Santri khoriji hendak menyentuh guci besar, namun
dengan cepat dia menepuk tangan santri khoriji tersebut, “Jangan
sentuh. Itu barang mahal.”
Setelah beberapa saat, seorang pelayan membawakan dua jus
jeruk. Terlihat segar.
“Silahkan diminum dulu.”

16
“Iya, terimakasih, Haji Ghani.” Katanya, nada bicaranya seperti
orang yang sangat berkepentingan. “Kami kesini ingin bertanya
sesuatu hal yang penting pada pak haji.”
“Oou, ya ya, silahkan, jangan sungkan-sungkan.”
“Cinta itu apa, pak haji?”
“Hahaha…..” Haji Ghani tertawa terpingkal-pingkal. Dua orang
tamunya saling pandang tidak mengerti. Ah, ini bertanya serius
malah ditertawain.
“Haha, hahaha, Cinta ya. Hahaha.”
Dia melihat jam tangannya, cukup lama juga Haji Ghani
tertawa, hampir lima menit. Dia sampai mengira, Haji Ghani tidak
akan berhenti dari tertawanya. Ia mencolek paha temannya,
memberi isyarat agar pergi saja. Sepertinya Haji Ghani tidak akan
menjawab. Mungkin dia tidak akan membocorkan rahasia tentang
cinta.
“Hahaha, uhk, ukh, cinta, haha, kalian Tanya tentang cinta.
Hahaha, ukh, ukh.” Kata Haji Ghani sambil terbatuk. Terus tertawa
sampai sulit bernafas.
“Iya.” Jawabnya mantap, berharap Haji Ghani akan
memberikan jawabannya.
Haji Ghani berhenti tertawa, mendengar jawaban yang begitu
mantap. Lalu memandang tamu yang sangat meyakinkan bertanya
cinta itu. Mereka saling tatap.
“Cinta itu Omong kosong. Hahaha.” Jawab Haji Ghani lalu
kembali tertawa. Meraba sakunya, mengeluarkan segepok uang.
“Cinta itu omong kosong. Cukup dengan ini orang akan
menghormatimu. Hahaha. Juga dengan uang kamu bisa memilih,
menginginkan istri berapa. Hahaha.”
Dia bersungut-sungut kecewa. Menarik tangan temanya segera
keluar dari rumah itu. Meninggalkan Haji Ghani yang masih geli
dengan cinta atau mungkin uang.
Dengan langkah cepat menuju sepeda, dan tancap gas. Di
tengah jalan tiba-tiba ia mendapat ide, pandangannya jatuh pada

17
dua muda-mudi yang sedang berduaan. Mungkin saja mereka tahu
maksud dari cinta, bukankah mereka yang sangat bahagia dengan
cintanya. Langsung saja mengajak berhenti sebentar pada
temannya yang sedang mengemudi. Rem depan ditarik spontan,
karena kaget. Keduanya meluncur kedepan, beruntung tidak jatuh
dari sepeda. Hanya dag-dig-dug mungkin di hatinya. Karena hampir
saja.
Dia turun dari sepeda, sambil memperbaiki lengan baju.
“Assalamualaikum!” teriaknya, mengangkat tangan kanan,
seperti kenal akrab saja.
“Waalaiku salam.” Dua sejoli itu menoleh bersamaan. Sedikit
bingung.
Dan tanpa pamit, tanpa basa-basi, dia langsung duduk di
sebelah orang yang sedang bermesraan itu.
“Boleh aku tanya satu hal pada kalian?”
“Iya, Tanya apa ya, Mas?” Jawab yang laki-laki, walaupun
sebenarnya masih bingung dengan kelakuan orang di sebelahnya
itu. Dan sejenak sempat bertatapan dengan pasangannya. Yang
perempuan hanya mengangkat bahu, juga tidak mengerti.
“Cinta itu apa menurut kalian?”
Si laki-laki mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan orang
aneh itu. Namun lebih memilih langsung menjawabnya saja tanpa
bertanya balik. Juga agar suasana cair.
“Cinta itu adalah perasaan nyaman dalam hati, ketika kita
bersama dengan orang yang di cintai.”
“Loh tidak bisa.” Jawabnya serius. “Nafsu kan juga seperti itu.
Lalu apa bedanya nafsu dengan cinta. Jadi perasaan nyaman itu
tidak bisa dijadikan takrif dari cinta.”
Sepasang kekasih itu saling berpandangan, heran dengan
kedatangan orang aneh berkopyah putih ini.
“Mungkin ini yang membuat kalian salah mengartikan cinta.
Kelian bermaksiat berduaan di sini dengan pasangan yang belum
halal. Nah, itu nafsu bukan cinta. Iya memang perasaan nyaman itu

18
ada, karena hakikat nafsu memang cenderung pada hal yang
menarik.” Dia berceramah pada dua orang yang dari tadi berduaan
itu.
“Apa kalian pernah mendengar, ada hadis yang menyatakan,
bahwa ketika dua orang laki-laki dan perempuan berduaan maka
yang ketiganya adalah setan.”
“Iya, anda setannya.” Si perempuan naik pitam, berdiri hendak
melemparkan tas pada orang aneh itu. “Kami ini sudah menikah, itu
anak kami sedang bermain disana.” Ia menunjuk anak kecil yang
sedang bermain sendirian, -tersenyum saat si ibu menunjuknya.
Bruak… tas itu benar-benar melayang mengenai kening. Terasa
berat, entah apa isinya.
“Hahah.” Aku dan Fahmi tak bisa menahan tawa mendengar
pengakuan konyolnya sesampainya di pesantren. Kisahnya telah
mengocok perutku.
“Coba kamu tanyakan masalahmu pada kiai.” Ucapku setelah
cukup lama menikmati tawa.
Dia dan Fahmi menatapku. Aku tidak main-main, karena
melihat keinginannya yang juga tidak main-main. Kupikir dia akan
ciut. Dan berhenti menanyakan tentang cinta.
“Oh iya, kenapa tidak terpikir dari tadi.” Jawabnya yang
membuatku terperangah. Apa sekarang dia sungguh-sungguh
mengatakan itu. Karena di hatiku timbul keraguan, mana mungkin
dia berani. Sebelum aku menanyakan kesungguhannya, dia sudah
beranjak pergi.
Dengan baju putih rapi, dia menghadap kiai.
“Cinta, tidak terlukis dengan manisnya untaian kata mesra. Tak
terukur walau dengan deraian tetes air mata.” Kiai menjawab
dengan wibawanya. Diam sejenak lalu melanjutkan: “Cinta itu
cermin keimanan kita. Ada banyak hadis yang melukiskan tentang
cinta. Salah satunya ialah: ‘kelak di akhirat, orang akan bersama
dengan orang yang dicintainya’.”

19
Dia kembali dengan membawa jawaban itu. Aku dan Fahmi
kembali saling pandang, kiai saja menanggapinya dengan serius.
“Tapi...” Katanya kecewa. “Aku masih kurang puas dengan
jawaban kiai.” Dia memandangku seakan minta pendapatku lagi.
“Jawaban kiai itu katanya cinta adalah cermin keimanan kita.
Sedangkan rasa malu juga cermin keimanan, akhlak juga cermin
keimanan. Jadi itu bukan takrif dari cinta. Itu hanya pandangan kiai
tentang cinta.”
Bagaimana lagi, aku saja hampir berputus asa untuk
memuaskannya dengan takrif cinta. Dia ingin takrif cinta yang
hakiki.
“Ada lagi.” jawabku menerawang. Serius. “Ada yang masih
belum kamu tanyai.”
“Siapa?” Dia masih seantusias yang pertama. Tetap semangat.
Dan masih berharap yang terakhir ini bisa menjawab dan
memuaskannya.
“Tuhan, sang pencipta cinta.” Kupikir setelah kuusulkan seperti
itu, dia akan berhenti menanyakan cinta. Karena usulan itu
mustahil. Namun ternyata aku salah, dia justru berkata:
“Di mana dan kapan aku bisa bertanya pada tuhan?”
Ah, aku benar-benar menyesal menjawab seperti itu. Karena
telah terlanjur berkata maka harus aku jawab.
“Katanya, Allah akan turun kelangit bumi saat sepertiga
malam. Dan paling dekatnya hamba dengan tuhannya ialah ketika
sujud.”
“Baiklah, nanti malam aku akan bangun sholat malam, lalu
menanyakan hal itu pada Allah, pencipta cinta. Karena jika memang
Dia penciptanya, pasti juga tahu hakikat dari cinta itu sendiri.”
Aku dan Fahmi hanya menggeleng kepala. Kok ada orang yang
nekad seperti itu.
***
Keesokan harinya, dia menemuiku dengan wajah berbinar.
Sepertinya dia sudah menemukan jawaban dari yang ditanyakan.

20
“Bagaimana, apa kau sudah tahu jawabannya?” Tanyaku
mendahului. Dan memang aku juga penasaran.
Dia mengangguk mantap, sambil tersenyum sumringah.
“Ya, aku sudah tahu takrif hakiki dari cinta.”
Aku hanya sedikit kaget. Bagaimana mungkin!
Lalu dia mendekatkan mulutnya ketelingaku, dia membisikkan
takrif cinta dengan begitu indah.
Aku tersenyum, setuju dengan jawaban itu. Sampai aku
menyelesaikan tulisan ini, dia memintaku merehasiakan takrif cinta
tersebut, juga ia tak mau namanya dikenal. Aku hanya sampaikan
terimakasih padanya telah memberi jawaban memuaskan padaku,
tentang ‘cinta itu apa’.
Rajab 1440

21
Percakapan Tentang
Cinta
“KAU yakin itu cinta, Zas?”
“Entahlah, aku juga tidak mengerti, Di.”
Dari tadi mereka duduk santai di tangga masjid, dua kitab
tergeletak di sana. Membicarakan gadis yang namanya selalu
muncul di majalah.
“Bagaimana mungkin, bukankah kau tak pernah mengenal
perempuan itu?”
“Memang Di, tapi aku bisa merasakan getaran itu cukup
dengan membaca karyanya.” Laki-laki yang dipanggi Zas itu
menghela napas. Sebenarnya ia juga bingung pada perasaannya
sendiri.
“Apa kamu pernah bertemu dengannya, setidaknya
berpapasan, lah?”
22
Zas menggeleng.
“Apa kamu pernah melihat fotonya?”
“Belum.” Jawab Zas yakin.
“Bahkan kau tak pernah melihat seujung rambutpun. Kau aneh
Zas, bagaimana kau bisa mencintainya.”
“Tapi Di, perasaanku tak mungkin berbohong, aku kagum
padanya. Ya, hanya lewat cerpen-cerpennya, seakan aku bisa
mengenal dirinya secara utuh.” Zas menyandarkan punggung,
menatap langit. “Kurasakan itu cinta, Di.” Ucapnya mantap.
“Kau lamar saja, Zas.!”
“Ya, mana mungkin lah, usiaku baru dua puluh tahun. apalagi
statusku masih santri, aku masih ingin tugas lalu kuliah dulu, Di.”
“Jika menunggu terlalu lama, nanti dia keburu dilamar orang.
Kamu tahu sendiri kan, santriwati itu kalau sudah kelas Ulya, sudah
kebelet kawin.”
Zas tersenyum, gigi atasnya sampai terlihat.
“Menurutku Di, dia bukan tipe perempuan seperti itu, Di. Dia itu
berbeda.” Kata Zas mantap, dengan ekpresi wajah yang
meyakinkan.
“Ya setidaknya beri semacam tanda, bahwa kamu akan datang
melamarnya.”
Zas menunduk, mungkin pernyataan temannya itu benar juga.
“Tanda seperti apa, Di?” Zas menatap temannya, berharap
akan mendapat solusi.
“Yah, kamu hubungi dia, telpon, nginbox, ngechat. Atau apalah
gitu.”
“Tidak mungkin, Di. Aku tidak berani. Apalagi aku dan dia
masih sama-sama di pesantren.”
“Nanti, setelah pulangan.”
“Tapi kayaknya, dia itu tidak punya akun Facebook, Di.”
“Ya lewat, no WA-nya. Atau langsung telpon saja.”
“Dari mana aku dapat nomernya?”

23
“Coba minta pada teman-teman, mungkin ada yang punya.
Atau kau datangi langsung rumahnya, bilang baik-baik rencanamu
pada orang tuanya.”
“Tapi aku takut membuat mereka menunggu lama, Di. Jika aku
kalkulasi, dua tahun tugas sambil kuliah, nanti sampai semester
delapan, lulus S1, masih empat tahun lagi. itu terlalu lama,
sedangkan dia sudah Ulya, sebentar lagi lulus.” Zas menjelaskannya
dengan bermain jarinya saat menyebutkan angka. Semangat sekali.
“Ya, kamu lamar saja, jangan ambil pusing.”
“Terlalu lama, Di! Apalagi nanti mendekati lebaran, pasti
disuruh silaturahmi berduaan. Jika tidak mau akan dituduh tidak
akrab. Aku inginnya tuh…” Zas menerawang. “Cinta kita itu suci,
tidak diciprati setetes maksiatpun.”
“Kau gila, Zas.”
“Biarpun orang mengataiku bagaimana, namun aku bangga di
sebut tergila-gila kepadanya.” Tangannya menengadah, seperti
seorang penyair internasional. Teman disampingnya hanya
menggeleng-geleng.
“Semisal suatu saat, dia keburu dilamar orang, bagaimana!”
Zas kaget, ia menatap temannya. Lalu menunduk lesu.
“Itu yang kutakutkan, Di. Tapi…” Zas mengangkat kepala,
teringat sesuatu.
“Tapi apa?” Tidak sabaran bertanya.
“Tapi, Di, dia sepertinya suka tipe laki-laki sepertiku.”
“Lah, bagaimana kamu tahu?”
“Dari salah satu cerpennya itu, seakan-akan menceritakan
diriku. Ya mungkin dia tahu padaku, juga lewat karyaku yang
pernah juga dimuat di majalah. Bahkan mungkin dia juga suka
padaku.” Zas besar pengharapan, matanya berkaca-kaca. bukan
menangis, tapi lebih karena terharu bahagia oleh ucapannya
sendiri.
“Wah, kalau sudah begitu, berarti dia memiliki prinsip yang
sama denganmu, langsung lamar saja. Kamu jangan buat dia

24
berharap padamu, namun kamu tak kunjung datang melamarnya.
Kalau sudah sama prinsip, maka kamu akan memiliki alasan yang
kuat, ketika disuruh boncengan saat lebaran.”
“Tapi kalau yang tidak setuju itu ternyata bapak mertuaku?
Bagaimana kalau beliau tetap bersikeras aku dan dia harus tampak
akrab berduaan.”
“Biar nanti, dia yang menjelaskan pada ayahnya, Zas.”
“Kalau semisal dia tidak bisa menjelaskan bagaimana? Aku kan
tidak tahu, seperti apa ayahnya, seperti apa prinsip ayahnya, aku
juga tidak tahu, ayahnya itu, tipe ortu yang berpegang pada adat,
atau tipe ortu yang paham agama dan syari’at.”
“Sulit memang, Zas. Kalau kamu tidak kenal.”
“Nah, itu.” Zas menjawab simpel, mendongakkan kepalanya,
kembali berangan-angan tentang gadis yang di idamkannya.
“Apa menurutmu dia itu cantik?”
Pertanyaan itu membuat Zas menoleh, seperti temannya itu
bisa membaca pikirannya.
“Pasti cantik.”
“Nah, ini lagi, kau aneh. Kamu belum sekalipun bertemu
dengannya, belum pernah melihat fotonya. Tapi kau sudah mantap
sekali bilang cantik.”
Zas menyandarkan punggung.
“Dari semua tulisannya yang pernah ku baca, dia itu memiliki
hati yang cantik. Pribadi yang sopan, akhlak yang mulia, pendiam.
Bagiku itu sudah cukup. Pernah suatu ketika, dia datang dalam
mimpiku, Di. Dia memakai cadar, matanya lentik, mengagumkan
lah pokoknya. Dan ketika itu, ia bertanya. ‘Apa kamu ingin melihat
wajahku?’ Ah, seperti orang mau tunangan itu. Sang calon boleh
melihat wajah dan telapak tangan. Baru ia membuka sedikit, tiba-
tiba kamu membangunkanku. Sampai saat ini aku terbayang
matanya yang indah. Seperti ada seribu bintang dalam binarnya.”
“Maaf kalau begitu. Aku kan tidak tahu kamu sedang mimpi
dia.”

25
Zas mengangguk. Ia sudah memaafkan. Meski saat itu ia
sempat kesal juga, karena mengganggu mimpi indahnya.
“Di… entah mengapa, tiba-tiba aku ingin menemuinya. Aku
sangat merindukannya. Ingin menatapnya langsung.”
“Heleeh…” Sambil melepas songkok, meletakkannya di
samping kitab. “Kamu ini semakin aneh saja. Sudah, jangan ragu
lagi, datangi rumahnya, mintalah baik-baik pada orang tuanya.”
“Kalau semisal, dia sudah dilamar orang bagaimana?”
“Ya, berarti, dia bukan rejekimu.”
“Ah, Di… jangan begitu lah. Beri aku semangat. Soalnya dalam
salah satu ceritanya itu dia menggunakan tokoh ‘aku’, meski
dengan nama samaran, dari tulisannya, aku bisa mencium
karakternya. Dalam cerita dia dilamar orang lain, namun
pertunangan itu di batalkan, karena mereka beda prinsip. Tiba-tiba
datanglah tokoh laki-laki, yang karakternya persis sama denganku.”
“Apa akhirnya dia jadi menikah dengan tokoh itu?”
“Iya.” Jawab Zas dengan mata berbinar. Ia benar-benar
berharap, tokoh yang di cerita itu memang dirinya.
“Dari yang kamu pahami, dari tokoh ‘aku’ tadi, tokoh
utamanya, kira-kira karakternya itu seperti apa?”
“Dia itu, Sholihah, rajin ibadah, memiliki prinsip yang bagus,
perangainya baik, dan yang pasti dia itu cantik.”
“Jika kamu ingin kisah itu menjadi nyata, kamu datangi saja
rumahnya.”
“Tapi, Di, dalam cerita itu laki-laki yang datang itu sudah tugas,
sedang aku belum.”
“Hmmz, kenapa tiba-tiba kamu yakin, tokoh itu adalah
penggambaran dari dirimu.”
“Ya, karena aku ‘merasa’ saja. Seperti ada strum yang
memberitahu, kita seakan tersambung. Dan dari tulisannya aku bisa
merasakan, semua itu dituju padaku.”
“Kamu sungguh telah mencintainya, Zas?”
“Iya.” Jawab Zas yakin tanpa keraguan lagi.

26
“Boleh aku tanya satu hal, Zas.”
Zas mengangguk, memandang temannya.
“Apa dia mencintaimu juga?”
“Ya, jika melihat dari potongan cerpen itu, sepertinya dia
memang cinta padaku, Di.” Zas mengambil kitab, membukanya. Ia
mengeluarkan lembaran-lembaran fotokopi.
“Ini apa Zas?” Temannya heran, melihat Zas menumpahkan
lembaran-lembaran itu. Berserakan.
“Ini, karya-karyanya dia, Di. Aku mengumpulkan semuanya.”
“Loh ini, kok berbentuk fotokopi-an semua?”
“Ya aku fotokopi Di, dari majalah yang aku beli. Aku
menyimpan tulisan darinya saja.”
Zas memperlihatkan beberapa cerita, yang tadi ingin ia
tunjukkan. Sepertinya dia hafal.
“Lah, ini Di. Di sini diceritakan, tokoh laki-laki yang mencintai
seorang perempuan, mereka sama-sama diam dengan perasaan
cintanya, dan akhirnya di pertemukan dalam mahligai rumah
tangga. Ending bahagia. apa kamu tahu, Di? Nama laki-laki tersebut
hampir mirip dengan namaku. Namanya ‘Zar’, hanya mengubah R
menjadi S, kan. Jadi tidak salah lagi Di, dia sengaja menggunakan
nama samarku, karena kalau menggunakan nama asliku dia malu.”
“Malu pada siapa?”
“Ya, malu pada teman-temannya lah, takut jadi perbincangan.
Atau mungkin juga malu padaku.” Zas kembali mencari lembaran
lain. “Nah, ini juga, Di. Cerita di sini cukup unik, yakni tentang dua
orang insan, laki-laki dan perempuan –aku dan dia- bersahabat dari
kecil. Lalu mereka harus berpisah lama, untuk mengejar cita-cita.
Yang laki-laki kuliah di universitas Kairo, sedangkan si perempuan
melanjutkan pendidikannya ke pesantren. Dia hafal Quran, Di.” Zas
bercerita sambil takjub.
“Lalu persamaan cerita denganmu apa?”
“Persamaannya itu Di, nama ayahnya dari laki-laki tersebut,
sama persis dengan nama ayahku.”

27
Teman disamping Zas hanya menggeleng-geleng, mendengar
penjelasan Zas.
“Nah ini yang paling menyentuh hatiku, Di.”
“Memang bagaimana ceritanya?”
“Di suatu pagi yang cerah, seorang gadis melangkah menuju
muholla, hendak memuroja’ah hafalan al-Qurannya. Namun tiba-tiba
ayahnya memanggil melalui adiknya yang masih berumur Sembilan
tahun. Ia urung ke musholla, kembali kerumah bergegas menemui
ayahnya. Ia masuk rumah melalui pintu belakang. Karena tahu, di
depan sedang ada tamu. Ia berpapasan dengan ayahnya di dapur.
Ayahnya meminta dibuatkan teh, untuk tamunya di luar.
“Dia datang melamarmu, Ani.”
Ani terperanjat kaget. Ia menoleh pada ayahnya.
“Ayah harap, kali ini kamu tidak mengecewakan lagi.”
“Tapi, yah. Ani kan sudah bilang pada ayah, bahwa Ani sudah
punya pilihan sendiri. Dia sudah janji pada Ani kalau akan datang
melamar Ani.”
“Usiamu sudah dua puluh tujuh, Ani. Dan ayah sudah kepengen
menimang cucu. Ayah sudah tua Ani, sering sakit-sakitan. Mungkin
usia ayah tidak…”
“Ayah!” Ani memotong, tak mampu untuk mendengar
kelanjutannya.
“Kamu coba lihat dulu, mungkin kamu cocok.”
“Baiklah, yah. Ani akan mencoba.”
Ada sedikit binar cahaya di mata sang ayah.
Gadis berkerudung coklat yang biasa dipanggil Ani itu
menyiapkan teh. Ayahnya terlebih dulu ke ruang tamu, baru beberapa
saat kemudian Ani menyusul. Ia membawa nampan, diatasnya dua
gelas teh mengepulkan asap. Sampai di pintu Ani terperanjat kaget,
melihat laki-laki yang sedang berbincang dengan ayahnya.”
Zas mengakhiri ceritanya.

28
“Mana yang paling membuatmu tersentuh Zas?” temannya
yang mendengarkan cerita dari tadi heran. Apanya sih yang hebat
dari cerita itu.
“Di, kamu tahu tidak? dalam cerita itu, dia menggunakan
namanya sendiri.”
“Iya terus.”
“Dan aku merasa laki-laki yang bertamu itu adalah aku, Di. Tapi
tidak diteruskan olehnya.”
“Tanda apa yang membuatmu yakin?”
“Entahlah Di. Hanya perasaan saja.” Zas menggaruk kepalanya
yang tidak gatal.
Yang paling membuatnya tak habis pikir, kok ada cinta seperti
yang dialami Zas tamannya itu.
Zas, terus memilih naskah lain.
“Kalau yang ini, zas. Apa kamu tahu ceritanya?” menunjuk satu
naskah yang di stapes, yang pernah ia baca. Zas membaca judulnya.
Pasti ia juga tau cerita yang ini, tapi ini bukan cerita yang ingin ia
tunjukkan, hanya karena temanya menunjuk, jadi ia jelaskan alur
ceritanya secara ringkas.
“Ini cerita tentang Zahra. Kisahnya bermula ketika ia
menyelesaikan S3-nya. Dalam usia yang mendekati tiga puluh itu, ia
tidak kunjung menemukan jodoh. Bukan tidak ada yang melamar,
justru yang datang melamarnya banyak, dari kalangan atas, remaja,
seorang professor, dosen, dan laki-laki terpandang lainnya, tak lain
dan tak bukan karena memang parasnya yang terbilang baby face,
awet muda. Hanya saja dia menolak, atau tidak direstui oleh orang
tuanya.” Zas bercerita panjang lebar, teman di sampingnya takzim
mendengarkan, meski sebenarnya ia sudah tahu, sudah pernah
baca dulu.
“Hingga suatu hari, sahabat lamanya ketika masih esde datang
melamar. Zahra. sudah mau, ayah pun merestui. Namun
masalahnya justru datang dari ibunya, ibunya ngotot tidak merestui
kalau anak pertamanya menikah dengan anak ke tiga. Karena

29
menurut kepercayaannya, kalau tatap dilanjutkan maka salah satu
dari orang tua kedua mempelai, akan meninggal. Zahrapun saat itu
sudah nekat kawin lari, tapi silaki-laki tidak mau, kalau tanpa restu
orang tua.
“Nanti kurang berkah, tuturnya lembut lalu pamit pulang dari
rumah Zahra. Zahra yang sudah terlanjur menaruh hati padanya
semakin sesak, apa lagi setelah mendengar ucapan terakhir dari
laki-laki itu, membuatnya tahu, sahabat lamanya itu telah menjadi
pemuda yang sholeh dan tampan. Hal itu yang membuatnya
terpuruk dan jatuh sakit. Ceritapun berakhir.” Zas menghembuskan
napas pelan. Ikut perihatin.
“Apa laki-laki sholeh dalam cerita itu adalah kamu, Zas?”
“Bukan.” Zas menjawab lugas. “Jelas laki-laki itu tidak sama
denganku. Sebab jika aku yang mengalami hal seperti itu, aku
lanjutkan saja menikah dengannya, kan yang menjadi wali si ayah,
bukan ibu. Apalagi aku yakin perangai atau karakter utama dalam
cerita itu bukan watak asli dari penulis. Ya, menurutku mana
mungkin memiliki sikap buruk, yakni menantang ibunya. Jadi dalam
cerita itu, watak tokoh utamanya meminjam karakter orang lain,
jadi cerita itu murni hanya untuk menyampaikan pesan.”
Temannya di samping mendengarkan penjelasan Zas hanya
mengangguk-anggukan kepala. Berpura-pura memahami. Meski
hatinya merasa temanya itu semakin aneh saja dengan ceritanya.
Ah, yang penting ia merespon saja tiap Zas bercerita. Maka itu akan
membuatnya bahagia.
“Zas, menurutmu, dia kan sudah menciptakan banyak cerita,
jadi tidak diragukan lagi cintanya. Dan kamupun merasa yakin
bahwa dalam cerita itu adalah kamu. Sedangkan kamu, apa yang
kamu buat untuknya?
Naskah terakhir itu di banting ke lantai masjid, layaknya
seorang pemain kartu, yang melepaskan kartu terakhirnya, bersiap
untuk menang.

30
“Ini Di, Naskahku sudah selesai. Aku sudah mengekspresikan
cintaku, dengan nama samaran ‘Zas’. Eits, jangan bertanya, hanya
Allah dan penulisnya yang tahu.”
Rintik hujan menyapa, Aku tersenyum bangga. Sepi, hanya aku
sendiri, di depan laptopku. Tidak ada Zas, tidak ada Di, mereka
sedang bersantai, bercerita cinta dalam naskahku. Naskah yang
baru kuselesaikan: Percakapan tentang cinta.
24 Jumadil Ula 1440
30 Januari 2019

31
Tinta Hitam Remaja
LANGIT menampakkan pesona malam. Cahaya purnama tertutupi
awan halus yang masih saja berbaris. Angin sedikit tenang, tidak
seperti biasanya yang bergemuruh meniupkan hawa dingin. Jadi
sebagian saja yang terlihat menggunakan jaket. Kebanyakan
berbaju putih dengan songkok hitam. Yang perempuan
mengenakan gamis panjang disertai kerudung yang menutup rapat
berwarna putih. Namun tak sedikit juga masyarakat yang
menggunakan takwa berwarna dan bermotif bebas.
Masjid sudah terisi penuh begitu juga halaman masjid tampak
sesak oleh ratusan manusia. Lima bagian khotmil Quran mulai
dibagikan. Yang tidak kebagian ikut membaca surat Kahfi-Munjiat
bersama. Dan nanti ditutup dengan pembacaan surat ad-Dhuha
kebelakang secara serentak. Kahfi-Munjiat dipimpin oleh Ustaz
Irsyad, sedangkan yang kebagian khomil-Qur’an sudah khusuk
dengan juz yang mereka dapatkan.
32
Seorang remaja duduk di shof kedua, mengenakan songkok
putih bermotif batik. Bola matanya tertuju pada al-Quran kecil biru
di tangan, bibirnya mengikuti dengan pelan membaca surat al-
Kahfi. Jika dilihat dengan seksama ia tampak khusuk, tapi tidak.
Angannya sudah berkelana membawanya melompati dimensi
ruang dan waktu.
Matahari mendekati puncak langit. Jam pelajaran hampir
berakhir. Fahri duduk di kursi pojok kanan, paling depan. Tepatnya di
depan meja guru. Ia mencoba konsentrasi atas apa yang disampaikan
guru. Namun teman di belakangnya bergurau, hingga membuat
konsentrasinya buyar. Adalah Fajri, teman duduknya menasehati
mereka. Dan Fahri sendiri hanya menoleh.
“Fajri, Evan, Leo?” Pak guru yang sedari tadi menjelaskan,
menoleh dengan tatapan tajam. “Kalian bertiga kedepan.”
“Tapi pak…”
“Masih berani mengelak?” Bentak guru itu memotong suara Fajri.
Sedangkan Fahri hanya diam saja melihat teman sebangkunya juga
ikut diintrogasi. Padahal tadi hanya menasehati. Setelah ditampar
beberapa kali mereka berdiri di luar kelas sampai bel pulang.
Dalam perjalanan Pulang Fajri sibuk berceloteh tentang pak
Wisnu. Pokoknya dari suaranya saja sudah jelas kebenciannya benar-
benar membuncah.
“…Lihat saja, aku tidak akan masuk ketika jam pelajarannya.”
Ujar Fajri jelas seaakan menggaung di telinga Fahri. Dan dia
membuktikan perkataannya, dia selalu bolos ketika jam pelajarannya
pak Wisnu. Apabila diingatkan sikapnya selalu acuh tak acuh.
Padahal Fajri yang dulu selalu aktif sekolah dan giat belajar. Namun
kejadian itu menjungkir balikkan karakternya.
“… Afalaa tatadzakkaruuun…” Bibirnya terus mengikuti ayat-
ayat yang dibaca Ustaz Irsyad. Entah kenapa sepertinya dia hafal.
Ah, dia tersadar, ayat itu adalah bagian dari surat as-Sajadah.
Sedang Qur’an di tangannya tampak masih juz enam belas,

33
tepatnya masih surat al-Kahfi. Dengan segera ia membuka
lembaran-lembaran itu membuka surat yang sedang dibaca.
Ia menoleh, dikanannya ada Fajri mengangguk-anggukkan
kepala setengah sadar. Terpejam seakan tidak kuat menahan beban
kelopak mata. Di tangannya al-Qur’an hampir terlepas, namun
seketika dia sadar. Tak lama, kesadarannya hilang lagi hingga
kepalanya hampir tersungkur, membuatnya sadar lagi. Dan lagi-lagi
matanya terpejam, kesadarannya mulai pergi. Kejadian itu terus
terulang. Fahri yang melihatnya hanya tersenyum sembari
mengeleng kepala.
Matanya kembali fokus pada al-Qur’an. Angan sudah
menyiapkan kunci untuk memasuki dimensi lain. Pintu mulai
terbuka, air mata mengiringi kepergiannya. Hatinya bergetar,
sedang bibirnya masih bersuara lirih mengikuti membaca ayat-ayat
Munjiat yang memang ia hafal.
“Wiih… rajin banget.” Fajri datang langsung melihat cover buku
yang sedang dibaca Fahri. “Ah, kirain kamu sedang belajar.”
“Ndak lah. Sekarang kan hanya ujian bahasa indnesia, tanpa
belajarpun bisa dapet seratus.” Jawab Fahri enteng. “Sepertinya kamu
harus baca buku ini deh.” Fahri memperlihatkan buku di tangannya.
“Apa judulnya?”
“Psikologi remaja.” Ujar Fahri sembari menunjukkan cover depan.
“Ntar, di perjalanan, baca yang nyaring, ya!”
Keduanya berjalan sejajar. Fahri membuka bukunya tepat pada
halaman yang ingin ia tunjukkan pada Fajri, sementara Fajri
mendengarkan sembari menghabiskan makanan ringan.
Fahri mulai membaca.
“Kenakalan remaja yang disebabkan oleh guru. Pertama, karena
merasa tidak diperhatikan. Dua, tidak dipercayain oleh guru. Tiga,
guru bersikap tidak adil. Empa…”
“Cukup, cukup.” Fajri memotong; “Telingaku panas
mendengarnya. Baca sendiri saja.” Tukas Fajri seraya memainkan
daun telinga. Fahri terdiam dan terus membaca dengan hati. Dia

34
tampak kecewa dengan temannya yang satu itu. Padahal niatnya
ingin mengembalikan semangat belajar temannya seperti sedia kala.
Tak lama setelah mereka sampai di sekolah, bel berbunyi. Seperti
biasa, ketika ujian tempat duduk diurutkan sesuai urutan absen. Fahri
mencari namanya dalam daftar yang ditempel di setiap jendela kelas,
dan kebetulan Fajri satu kelas dengannya namun tempatnya
berjauhan.
Setelah semua siswa duduk di tempat masing-masing, dua guru
pengawas memasuki kelas. Kartu peserta diletakkan di atas bangku.
Fahri sengaja tidak memasukkan buku tadi kedalam tas, ia ingin
menggunakannya sebagai alas, apalagi dia nanti bisa meneruskan
membaca setelah selesai ngerjakan soal.
Lembar LJK dan soal-an mulai dibagikan. Keheningan tercipta.
Fahri sempat menoleh, beberapa temannya juga sebagian kelas
delapan dan sembilan sangat lihai membuka lembaran-lembaran
contekan. Namun tak membuatnya gentar untuk dalam
komitmennya. Mengerjakan dengan jujur.
“Ssps…” Teman di belakangnya memanggil.
“Apa?” Jawab Fahri lirih.
“Nomer tiga!”
Fahri menoleh sedikit, agar tidak dicurigai oleh guru yang
menjaga. Ia mengucapkan sesuatu setidaknya teman di belakangnya
mendengar;
“Ingat! Kejujuran lebih sulit dari mengerjakan soal.” Lalu ia
kembali konsentrasi pada lembar soal. Tidak mempedulikan apa yang
akan difikirkan oleh temannya itu. Satu-persatu soal terisi. Tiba-tiba
ada hal mengejutkan dari bangku pojok belakang.
“Serahkan bukunya.” Suara pengawas itu memecah keheningan
yang sejak tadi menyelimuti. Semua pasang mata tertuju pada
bangku itu. Begitu juga dengan Fahri yang duduk di bangku paling
depan, penasaran dengan apa yang terjadi.
Wajah siswa di pojok belakang itu terlipat pucat, sembari
menyerahkan buku yang disembunyikannya. Tak ayal beberapa siswa

35
yang juga menyembunyikan kerpean mulai grogi. Tampak tingkahnya
mulai panik. Satu ketahuan yang lain ikut terungkap tujuh buku sudah
di tangan guru. Tidak semua , mungkin masih ada sebagian siswa
yang sangat jeli menyembunyikannya.
“Syukurin, makanya ngerjakan itu yang jujur. Kalau takut dapet
nilai merah , ya belajar .” Batin Fahri seraya kembali fokus pada soal.
“Serahkan bukunya” Bentak pengawas yang kini berada tepat di
depan bangku Fahri sembari mengambilnya dengan paksa.
Fahri kaget. “Tapi pak. Ini bukan buku pelajaran , coba baca pak.
Kalo tidak percaya.”
Namun guru itu berlalu tak menghiraukan Fahri. Siapapun akan
kesal jika di cuekin. Meski yang cuek itu, sebutlah gurunya sendiri.
Di saat Fahri merasa tidak lagi dihargai , tidak dipercayai
kejujurannya, dan dianggap sama dengan siswa lain yang jelas salah.
Hatinya memberontak, bibirnya bergerak sendiri mengucap sesuatu.
“………”
Langkah pengawas itu terhenti lalu menoleh. “Bicara apa kamu
barusan?” Dengan sorot mata tajam. “Keluar kalo tidak terima.”
Wajah Fahri pucat, ia masih berusaha memohon agar soal dan
lembar jawabannya tidak diambil. Tapi percuma permintaannya tidak
lagi digubris. Akhirnya dia bangkit .
“Baiklah, kembalikan buku saya.” Kata Fahri tanpa ragu, lalu ia
melangkah keluar. Semua pasang mata tertuju pada langkahnya
membentuk tanda tanya di benak mereka. Kenapa ia seberani itu?
Bukankah selama ini ia dikenal pemaaf dan pendiam!
Sebenarnya ia masih bingung kemana langkahnya tertuju .
“Kenapa kau lakukan itu?” Suara kesunyian membuat
langkahnya terhenti.
“Bukan urusanmu.” Jawab Fahri dalam diam.
“Jelas ini urusanku juga. Saat kau di caci maki oleh temanmu aku
mencoba bersabar dan diam. Saat kau dipukul aku yang menyuruhmu
memberi maaf, walaupun aku harus sakit menerima ejekan pengecut.
Saat kau terjatuh aku yang menguatkanmu, saat kau terlena aku

36
yang mengingatkanmu. Saat kau bersikap angkuh aku yang berbisik
di telingamu untuk merendah. Saat kau berbuat dosa aku yang selalu
memaksamu segera bertaubat. Aku bisa melihatmu, aku adalah
dirimu. Tapi engkau tak bisa melihatku, karena engkau bukan diriku.
Enkau takkan pernah bisa membohongiku, dan aku tidak pernah bisa
berbohong padamu.”
Tubuh Fahri bergetar tersandar pada tembok, matanya mulai
basah, bibirnya masih kelu, wajahnya semakin pucat.
“Guru itu tak adil padaku, padahal aku mengerjakannya dengan
jujur, tapi masih disamakan dengan yang lain. Dia tidak
mempercayaiku, padahal aku mengatakan yang sebenarnya, guru itu
tidak menghargaiku, dia tidak mendengarkanku buku itu tentang apa,
bahkan ia tidak mau untuk sekedar membaca tulisan pada buku itu.
Jika dibiarkan aku takut dimata guru itu namaku tercatat sebagai
pencontek, begitu juga dimata teman–temanku semua, aku lebih baik
mengungkapkan kebenaran dengan kejujuran, dari pada aku diam
melihat kebenaran terbunuh, dan kejujuranku selama ini terinjak–
injak karena aku disebut pencontek, hingga aku tak lagi dipercaya.”
Tukas Fahri masih dalam diamnya, air matanya mulai bercucuran.
Hatinya berperang melawan logika.
“Walau bagai manapun dia tetap gurumu.” Entah itu dari suara
hati sebelah mana. “kau harus tetap ta’dzim padanya.”
“Aku memang masih ta’dzim, aku masih menghormatinya.”
Jawab Fahri yang kembali mengusap air mata. “Bukankah ulama
yang dikenal dengan badiuzzaman dari turki juga pernah begitu. Ia
menyatakan akan pindah madrasah dengan seketika, saat mendapat
perlakuan tidak adil dari gurunya.
“Baiklah, baiklah.” Suara hening itu mulai mengikuti alur
pemikirannya. “Kau boleh menganggap guru itu salah, tapi kau yang
harus meminta maaf terlebih dahulu. Sekarang, basuhlah dulu
wajahmu dengan air wudlu, kemudian shalatlah!” suara itu seakan
menghipnotis Fahri, bagaikan satu panggilan dari tuhan yang kuasa
membolak-balikkan hati. Kakinya mulai melangkah tanpa dipaksa

37
menuju tempat wudlu di sebelah musholla. Lalu sholat sunnah dua
rokaat, air matanya tumpah begitu saja dalam setiap rukuk dan sujud
di hadapan sang pemaaf.
Tapi begitulah Fahri dari dulu, tak larut dalam melogikan sesuatu.
Tetesan cahaya mulai membasahi hatinya yang sempat
membeku. Hembusan nafas mulai teratur, walau pertempuran di
hatinya belum sepenuhnya reda. Ia melangkah menuju kelas yang
tadi. Didalam kelas itu hanya tinggal beberapa siswa yang belum
selesai mengerjakan, tanpa menoleh pada mereka, ia mendekati meja
guru.
“Pak. Maaf,” ujarnya gugup; “Maaf, tadi saya khilaf.” Ia mencium
tangan guru itu.
“Iya, tidak papa sudah.” Jawab guru itu dengan senyum
mengembang.
“Sebenarnya ini bukan buku pelajaran.” Fahri mencoba
menjelaskan.
“Iya, saya kan hanya meminta agar bukunya diletakkan di
depan.” Ujar guru itu tenang.
“Iya.” Fahri mengangguk. “Sekali lagi maaf, pak!” Sebelum ia
meninggalkan kelas ia kembali mencium tangan gurunya itu. Barulah
hartinya terlepas dari pertempuran.
Walau begitu, ia masih sangat ingin agar semua guru tidak
melakukan hal seperti itu. Atau murid tiba-tiba melakukan hal seperti
dirinya, namun tak mau minta maaf terlebih dulu. Tapi bagaimana
caranya? Apa buat artikel tentang hal itu! Tidak mungkin. Sudah
banyak buku yang membahas masalah tersebut. Tapi, seperti tidak
ada yang membacanya.
“Astaghfirullah!” Fahri kaget. Teman di sampingnya tertidur
dengan kepala terjatuh dipangkuan.
Fajripun segera sadar, dan segera membetulkan duduk. Rasa
kantuknya tiba-tiba hilang tertimbun rasa malu. Setelah mengucek
mata ia segera membuka juz 30. Kebetulan yang dibaca sudah

38
sampai surat al-Buruj. Begitu juga Fahri yang sedari tadi hanya
melamun.
Fahri sudah memaksakan diri untuk khusuk dalam bacaan ayat-
ayat suci, namun tidak bisa. Fikirannya selalu hilang dalam angan-
angan hampa. Kejadian di sekolah pagi tadi telah menjebak
fikirannya untuk terus berkelana mencari tujuan. Apa yang harus ia
lakukan agar kejadian tadi tidak terulang lagi? Lebih-lebih pada
siswa yang lain!
“al-Ladzi yuwaswisu fii shudurinnas. Minal jinnati wannas.”
Terlantun indah dan menggema hingga pelosok desa. Ustaz
Irsyadpun mulai berdoa. Yang lain mengamini. Fahri tak bisa
membendung air matanya, ia tenggelam dalam doanya sendiri,
memohon petunjuk dan pertolongan atas masalahnya.
Jam sebelas malam. Orang-orang mulai meninggalkan masjid,
sebagian terlihat sedang membersihkan masjid dan halaman,
sebagian lagi masih ada yang sholat, dan tak sedikit juga orang-
orang yang langsung tertidur di tempatnya, mungkin mereka
kelelahan.
Fajri pamit pulang terlebih dahulu. Sedangkan Fahri masih
duduk di pelataran masjid. Ia mengeluarkan buku tulis dan pena. Di
sudut kanan atas dia tulis tanggal, bulan dan tahun. 2 Januari 2017.
Malam jumat.
Perlahan pikirannya menggerakkan pulpen. Tinta mulai
mengalir, huruf-hurufpun terukir, tiga kata mulai terbentuk.
Tergambar jelas dalam angannya isi tiga kata itu. Untuk
memastikan tidak salah tulis, ia mengulangi membaca dengan lirih;
“Tinta Hitam Remaja.”

Untuk teman-teman yang sering mengalami pergolakan batin


pada seseorang yang seharusnya kita taati tanpa tanda tanya. Untuk
teman-teman yang masih ragu menyempurnakan kejuaran,
percayalah! kelak kalian akan lebih bangga pada nilai merah, hasil
diri sendiri, daripada nilai seratus, dari contekan sana-sini.

39
Untuk temam-teman calon guru tugas. Berlaku adillah
sebagaimana diri kita diperlakukan adil, janganlah pilah-pilih, agar
petuah kita selalu disegani.
“Singa yang ditakuti, ialah siapa yang tidak keluar dari
habitatnya.”
Jika anda menilai saya pandai, hingga saya berani bilang,
‘ngerjakan soal itu harus jujur.’ Maka saya akan tunjukkan sebuah
bukti, raport kelas dua Ulya saya semuanya merah. Karena waktu itu,
saya mengalami pergolakan batin yang cukup dahsyat. Cukup
mebebani pikiran saya, bahkan sampai terlintas ingin berhenti saja.
Berhenti dari hidup di dunia ini. hingga ketika saya belajar, tidak bisa
fokus. Selalu pecah pada yang saya alami. Karena itulah nilai saya
merah.
Tapi kalian tau apa yang saya banggakan hari ini?
Ya, semenjak duduk dibangku Ulya, saya selalu mengerjakan
soal dengan jujur. Jadi, Besar-kecilnya nilai saya, semuanya asli.

3 Jumadil Ula 1438


2 Januari 2017

40
Percik-Percik Api di
Kamar 13
Serial Santri #1

KUACAK-ACAK lagi bajuku yang memang sudah berantakan.


Mencari sesuatu yang sepertinya kuselipkan dibawah lipatan baju.
Namun uangku sudah benar-benar hilang. Kira-kira tiga puluh
ribuan yang kuletakkan disana semalam. Kupejamkan mata
menahan air yang hendak tumpah, kuraba saku kanan bajuku,
meraih uang lima belas ribu menatapnya penuh harap.
“Ini harus cukup untuk satu minggu.” Ucapku lirih.
Tiba-tiba Zaki muncul didepan pintu. Tergesa-gesa
kumasukkan lagi uang itu kedalam saku, segera kupalingkan wajah

41
menatap lemari yang berantakan, kuusap genangan air mata yang
tak sempat menetes.
“Kau sudah makan?” Tanya Zaki
“Aku masih kenyang.” Pura-pura memukul perutku perlahan
sembari melempar senyum padanya. Dia hanya menggerakkan
mulutnya seakan mengatakan “owh,” sambil menganggukkan
kepala. Lalu berjalan menuju lemari paling barat, mengambil
sesuatu lalu keluar lagi. Aku hanya melihatnya dari balik jendela.
“Tiga ribu. Jangan lupa pake sambel.” Ucap Zaki pada Sukri,
tangannya menyodorkan uang lima ribuan. Sukri mengangguk dan
pergi ke-dhalem, dia seorang khodam, biasa melayani santri yang
ingin membeli nasi. Dan Zaki kembali masuk lalu duduk disamping
pintu. Aku hanya meliriknya sebentar, tanganku masih sibuk
merapikan baju.
“Kamu akan ikut tes gelombang berapa?” suara Rifqi yang
sepertinya berdiri diambang pintu. Aku tidak menoleh, tanganku
masih merapikan baju, yang beberapa lipatan lagi akan selesai.
“Terserah kamu saja.” Jawabku seraya membalikkan badan dan
menutup lemari.
“Bagaimana kalau gelombang pertama?” Tanya Rifqi. Dia lalu
duduk di hadapan Zaki. Aku pun duduk ditempatku berdiri.
Tepatnya bersandar pada lemari.
“Kapan gelombang pertama dimulai?” Tanyaku mencari
kepastian.
“Malam sabtu ini.”
“Nggak terlalu cepat?” Zaki ikut bicara. “Dia kan baru dua hari
mondok, kan tidak ada persiapan jika besok malam harus langsung
ikut tes.”
“Dia bukan kamu. Seharipun cukup untuk persiapan.” Sahut
Rifqi memujiku sambil tersenyum.
“Kalau gelombang kedua kapan?” Aku kembali bertanya.
“Sabtu depan.”

42
“Ya sudah gelombang kedua saja.” Pintaku pada Rifqi. Dia
hanya mengangguk setuju.
“Zaki? ini nasinya.” Sukri diluar kamar membawa tiga bungkus
nasi. Zakipun keluar untuk mengambil nasi tersebut.
“Ini. Tolong berikan pada Fadil dan Khoiri.”
Zaki meletakkan dua bungkus di atas lemari Fadil. Dan satu di
tangannya dia buka untuk dimakannya sendiri.
“Hayya takkulu biy.”
“Tafaddhol.” Jawab Rifqi. Aku hanya mengangguk walaupun
tidak mengerti.
Aku melangkah keluar namun bingung mau kemana, di sini aku
seperti terpenjara. Jika dikatakan kerasan, aku sering ingat pada
rumah. Jika ditanyakan mau pulang, aku betah di sini banyak
teman.
“Fid, mau kemana?” Rifqi memanggil, langkahku terhenti di
mulut pintu.
“Keliling pesantren.” Jawabku sambil menoleh pada Rifqi. Lalu
sejenak melihat Zaki yang tengah lahap menyantap makanannya.
Kuraba perut yang sedari tadi melantunkan syair penuh harap.
Kupejamkan mata mencoba untuk menahan, dan kembali
melanjutkan langkah.
* * *
Usai salat Dhuha, aku meraih kitab di sampingku dan berjalan
keluar masjid. Sampai di tangga masjid aku mencari sandal yang
biasanya kutaruh di sini. Namun sekarang sudah raib entah kemana.
Aku mengelilingi sisi masjid, mungkin ada yang memindahkan.
Tetap tidak ada, aku tidak tau harus mencari kemana lagi.
Aku kembali ke asrama dengan wajah murung. ‘Sabar’. Ya, itu
pelajaran pertama yang kudapatkan di pesanten ini, pesan Kyai
sewaktu pengajian kitab dua hari yang lalu.
Di depan pintu kamar yang tertutup langkahku terhenti, aku
terdiam mendengarkan perkataan Khoiri.
“… Tadi sebelum pengajian kutaruh di sini.”

43
“Coba cari lagi mungkin terselip.” Jawab Zaki.
“Tidak ada. Sudah kuacak-acak semua bajuku.”
“Mungkin ada maling di kamar ini.” Ucap Yogi yang juga di
dalam kamar. Aku tidak tahu di dalam sana ada siapa saja, aku
masih terus mendengarkan pembicaraan mereka.
“Padahal tahun lalu kamar ini aman-aman saja.” Seperti suara
Fadil.
“Coba kau tanya anak baru itu.” Aku terperanjat mendengar
tuduhan Yogi yang begitu jelas. Karena hanya aku yang baru di
kamar ini.
“Jangan menuduh sembarangan.” Zaki membelaku.
“Kamu jangan membelanya.” Fadil membentak dengan suara
kasar.
“Kamu kan juga baru kenal.” Yogi ikut angkat suara.
“Sebenarnya aku sudah curiga padanya.” Khoiri ikut-ikutan
menuduhku.
“Dia kan lulusan SMP, mungkin saja dia sudah terbawa oleh
kenakalan remaja.”
Beberapa saat terasa sepi. Segera aku membuka pintu, tanpa
menoleh pada mereka, pura-pura tidak mendengar pembicaraan
mereka barusan. Kubuka lemari, meletakkan kitab dan mengambil
uang yang kuletakkan dalam buku. Kemudian keluar tanpa
mengucap sepatah katapun. Aku ke koperasi untuk membeli
sandal. Harganya sepuluh ribu, sebelum kembali ke asrama aku
berpikir sejenak dengan sisa uang empat ribu di tanganku.
“Sudah dua hari aku selalu beli nasi kecil yang harganya dua
ribu. Sekarang uang empat ribu ini harus cukup untuk lima hari
kedepan. Mau tidak mau aku harus berpuasa.” Gumamku dalam
hati.
Aku terus berjalan sambil merenung. Kakiku menendang-
nendang batu kecil yang kujumpai, aku sudah berpikir untuk pulang
saja, tidak betah jika lama-lama di sini.
“Hey…!” Seseorang yang tak kukenal menunjuk kearahku.

44
“Kamu yang melempar batu ini?” aku hanya menggeleng
melihat tubuhnya yang sedikit lebih besar dariku. Tatapannya
tajam.
“Maaf. Maaf.” Ucapku memohon. Namun tatapannya semakin
melotot, tangan kirinya menggenggam batu itu, tangan satunya
mengepal siap melayangkan tinjunya. Pukulan pertamanya sigap
kuhindari, begitu pula yang kedua. Wajahnya semakin merah,
mungkin merasa dipermainkan. Lalu bertubi-tubi tanpa terkendali
dia memukulku, namun aku berhasil menepis dan menghindari
semua serangannya. Sejauh ini aku belum melawan, di SMP dulu
aku dikenal sering berkelahi, jadi mudah saja aku melawan walau
tubuhnya lebih besar.
Tiba-tiba ada pengurus melerai, kami berdua dibawa kekantor
madrasah. Nyaliku benar-benar ciut hari ini, aku merasa malu
ditatap oleh puluhan santri dalam perjanan ke kantor. Aku hanya
bisa menunduk dengan suasana seperti ini.
“Kenapa kalian berkelahi?” Bentak seorang pengurus dengan
peci hitam. Aku tak berani mendongakkan kepala.
“Ini dia yang salah pak.” Seorang santri yang berkelahi
denganku tadi, sembari tangannya menunjuk kearahku. Tak ayal
aku terkejut mendengar jawabannya.
“Benar kamu yang memulainya?” pengurus itu menatapku.
“Kamu kelas berapa?”
“Belum ikut tes-an.” Jewabku gerogi. Keringatku mengalir.
“Kamu mau jadi jagoan? Masih baru sudah berani berkelahi.
Benar kamu yang memulai duluan?”
“Iya…” jawabku terhenti. “Plak” tamparan mendarat di pipiku,
padahal aku ingin menjelaskan bahwa aku tidak sengaja. Kutahan
air mata yang akan menetes, bukan karena tamparan itu, tapi aku
merasa ini tidak adil.
“Sudah, kamu kembali ke kamarmu.” Ucap pengurus itu pada
seseorang yang mulai bernapas lega di sampingku. Lalu laki-laki

45
yang menamparku barusan melihat ke arahku, tatapannya sedikit
ramah, namun tetap menampakkan amarahnya.
“Berhubung kamu masih baru, saya tidak akan melapor orang
tuamu. Tapi kamu harus berdiri di depan kantor sambil memegang
tulisan ini. Kamu boleh kembali kekamarmu jika adzan Dhuhur
sudah berkumandang.”
“saya melanggar aturan pesantren. Saya telah berkelahi. Saya
berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Begitu isi lembaran yang
kupegang di depan dadaku. Sekitar satu jam sudah aku berdiri,
kulihat Khoiri tergesa-gesa menuju kantor. Aku mengira dia akan
melaporkan uangnya yang hilang. Selang beberapa saat pengurus
tadi keluar dan memanggil seorang santri.
“Tolong panggilkan ketua kamar D13 dan semua anak
buahnya.” Ujar pegurus berpeci hitam itu pada santri yang segera
berlari kecil ke utara melaksanakan titahnya. Hanya beberapa menit
kulihat teman-temanku mendatangi kantor, mereka memandangku
sejenak.
Zaki memanggilku dari pintu kantor. Aku memutar dan
mendatanginya, sebenarnya masih bingung apa yang terjadi. Di
kantor aku sempat melihat dari paling barat Khoiri, Rifqi, Fadil,
Sukri, Yogi, Zaki dan aku duduk paling timur dekat pintu.
“Jangan-jangan kamu lagi yang bikin ulah?” Aku hanya
menggeleng mendengar pertanyaan yang jelas-jelas menuduh
seperti itu.
“Begini. Teman kalian ada yang melapor kehilangan uang.”
Ujar pengurus satunya yang memiliki kumis dan jenggot tipis,
penampilannya semakin berwibawa dengan baju takwa putih.
“Mungkin merasa ada yang mengambilnya. Sebaiknya
mengaku sekarang, saya tidak akan memberi hukuman, justru saya
yang akan mengganti uang tersebut. Tapi jika tidak ada yang
mengaku dan suatu saat tertangkap basah mencuri lagi, kami
sebagai pengurus akan memberi hukuman yang berat, dan mungkin
akan dikeluarkan dari pesantren dengan cara tidak terhormat.”

46
Kulirik teman-temanku tertunduk, keringat dinginnya mengalir,
semua tampak ketakutan. Ruangan berselimut hening, tak ada
yang berani angkat bicara.
“Mana mungkin ada maling yang berani ngaku.” Gumamku
dalam hati.
“Khoiri. Berhubung tidak ada yang mau ngaku, biar nanti saya
baca surat Qiamat saja. Sekarang, kalian boleh kembali ke asrama
kalian.” Ujar pengurus yang berkumis tipis.
“Anak baru?” Aku menoleh, pengurus dengan peci hitam
memanggil.
“Kamu tetap di sini dulu.” Akupun duduk. Mengikuti
perintahnya.
“Untuk hari ini kami ampuni. Tapi ingat, namamu sudah ada
dalam catatan kami. Jangan sampai kamu melanggar lagi.” Aku
hanya mengangguk. Dan segera beranjak meninggalkan kantor.
Namun aku belum puas. Aku merasa dibebaskan dari hukuman
yang jelas-jelas tak mendasar bahkan fitnah. Ah, sudahlah ini semua
hanya salah faham. ‘Sabar’ aku teringat lagi kata itu,
menentramkan hati yang mulai kacau.
* * *
Seperti suara petir menggelegar. Aku membuka mata. Pintu
digedor-gedor, bambu tipis di tangannya memukul apa saja di
hadapannya. Memang demikian para ketua kamar membangunkan
para santri. Biasanya jam tiga malam aku sudah di masjid untuk
shalat, sebelum ketua kamar membangunkan para santri. Tapi
sekarang aku terlambat bangun, aku mencoba bangkit, namun
tubuhku terasa berat, kepalaku seakan ditusuk oleh puluhan pisau
dan perutku seperti ditimbun batu besar.
“Dik. Dik. Bangun bangun. Azan subuh sesaat lagi.” Seorang
ketua kamar memukul tubuhku yang masih tertutup selimut. Lalu
tanganku ditarik dengan kasar hingga aku terduduk. Perutku
semakin perih, kutekan dengan tangan mencoba menahan
sakitnya.

47
“Kamu kenapa?” ketua kamar itu bertanya dengan ramah.
Panik juga mungkin. Aku tidak menjawab masih menahan sakit,
kemudian aku ditidurkan dan selimutku dibetulkan kembali. Dia
segera keluar. Mungkin dia memahami kalau aku sedang sakit.
“Sebagai orang Islam hendaknya selalu berasabar. Apalagi
seorang santri. Harus sabar dalam melaksanakan perintahnya. Dan
bersabar menjauhi larangannya.” Dawuh-nya Kyai itu seakan
memberi kekuatan, aku kembali mencoba bangkit. Ketika aku
sudah berdiri adzan berkumandang dari corong masjid. “Aku harus
cepat,” gumamku dalam hati. Air mataku menggenang walau tidak
sampai menetes. Aku terus mencoba melangkah walau sedikit
tertatih menahan sakit di perut. Aku berwudlu dan langsung ke
masjid. Sesampainya di masjid iqomah membangkitkan semua
santri untuk segera melaksanakan shalat berjamah. Kali ini aku
berada di barisan belakang. Sambil terus menahan sakit di perut
juga pening di kepala, aku paksakan untuk bertakbir.
* * *
Sayup-sayup di telinga kudengar mereka membicarakanku.
Aku masih pura-pura tidur.
“Aku masih curiga pada Mufid.”
“Iya. Mungkin dia sakit sekarang karena pengaruh bacaan surat
Qiamat.”
“Dia kan pernah ditindak oleh pak Ismail gara-gara berkelahi,
jadi semuanya semakin jelas kalau dia bukan orang baik-baik.”
“Tadi dia pura-pura pingsan waktu salat subuh. Paling Cuma
alasan tuh, biar dikasihani.”
Aku sangat mengenal suara mereka. Mataku sedikit sedikit
membuka untuk mengintip, namun aku masih pura-pura tidur. Air
mata terasa mau tumpah namun aku tahan, entah karena sakitku
atau karena ucapan mereka. Tiba-tiba ujung tombak seakan
menusuk perutku. Aku bangun sambil merintih menahan perih.
Mereka hanya memandang dengan tatapan meremehkan. Hanya
Rifqi yang perhatian, dia tergesa-gesa masuk dan menghampiriku.

48
“Kamu kenapa?” Tanya Rifqi ramah.
Aku hanya menggeleng kaku, memang tidak tahu sedang sakit
apa, karena sebelumnya aku tidak pernah merasakan sesakit ini.
“Paling dia cuma pura- pura Rif, nggak usah terlalu perhatian.”
Celoteh Fadil yang semakin menghujam ulu hatiku.
“Begitu akibatnya kalau makan barang haram.” Sambung
Khoiri bernada sinis.
Zaki datang membawa sebungkus nasi dan satu tablet obat.
“Tadi kamu pingsan ketika shalat subuh. Aku minta tolong
anak-anak untuk membawamu kesini.” Ujar Zaki ramah.
“Ini, makan dulu, terus diminum obatnya, ya.” Zaki
membukakan bungkus nasi dan meletakkkannya di depanku. Aku
menggeleng. Aku yakin Zaki tidak menggunakan uangku untuk
membeli nasi itu. uangku hanya tinggal seribu, tidak cukup untuk
membeli sebungkus nasi. Aku tidak ingin merepotkan siapapun.
Karena kyai bernah berpesan, seorang santri sebaiknya tidak
meminjam uang.
“Makan dulu Fid, kamu belum makan dari kemarin.” Zaki
memaksa. Aku hanya menunduk, justru tiga hari sudah aku belum
makan, kucukupkan perutku dengan air. Sakit di perut semakin
melilit. Tubuhku bergetar. Terasa lunglai, kesemutan.
“Baiklah, tapi kamu ikut makan.” Ucapku lirih membujuk Zaki,
Setidaknya aku hanya makan untuk memenuhi asupan gizi, dengan
Zaki ikut makan aku tidak begitu terbebani dengan perasaan
‘meminta nasi’ pada orang lain. Akhirnya dia setuju! Sementara itu,
Pak Ismail datang menanyakan keaadaanku, beliau berbincang-
bincang dengan Rifqi juga yang lain.
Sukri belari sambil berteriak. “Fid... Mufid…” Sampai di depan
pintu dia tergagap. Aku bisa merasakan bagaimana dia menahan
malu pada Pak Ismail yang sedari tadi di kamar ini. Namun juga
tidak bisa menahan senyum melihat tingkahnya, begitu juga teman
yang lain. Tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu, suaranya tertahan.
Aku penasaran apa yang ingin dia sampaikan. “Orang tuamu.”

49
Akhirnya suara Sukri keluar juga membawa senyum di bibirku
mengembang.
Orang tuaku tidak lama. Beliau hanya menyerahkan uang dan
enam bungkusan nasi dalam plastik merah besar. Jadi aku tidak
sempat menceritakan keadaanku di sini. Tapi tidak apa. Cukup
bertemu dengan mereka semua masalahku seakan sudah luntur.
Di kamar, bungkusan nasi itu dibuka memanjang. Kulihat satu-
satu wajah tamanku yang mengitari nasi, hanya lima orang.
“Khoiri mana?” tanyaku pada mereka
“Dia masih mengambil jemuran.” Jawab Zaki, tangannya sudah
mencomot ikan.
“Kita tunggu semuanya datang.” Aku kembali mengangkat
tanganku yang sudah menyentuh nasi. “Sukri tolong panggilkan
Fadil. Tadi kulihat dia di serambi masjid.”
“Iya, akhi.” Khoiri terlihat girang memasuki kamar, tangannya
membawa hem biru yang masih menyatu dengan hanger-nya.
“Lihat ini, ternyata uangku ada disaku, aku lupa menaruhnya,
jadi aku cuci bersama bajunya.”
“Ayo cepat bergabung kami sudah siap berperang nih.” Zaki
melancarkan candanya. Tak lama, Fadil dan Sukri datang, tanpa
diminta mereka segera mengisi celah yang masih tersedia.
Ini yang kurasakan sekarang hidup di pesantren, sebuah
kebersamaan, kekompakan, dan kasih sayang. Tiba-tiba “ssss.”
Kuhirup angin lewat mulut menahan pedas.
“Kena kau.” Ujar Zaki. Jadi ini yang dinamakan ranjau.
Potongan cabe kecil yang diselipkan dalam tahu atau dalam
kepalan nasi.
“Sssss.”
“Sssss.” Fadil juga kepedesan diikuti Zaki.
“Sudah dibalas. Langsung dua orang kena.” Ujarku tersenyum
begitu juga teman-teman yang lain. Fadil beranjak terlebih dahulu,
tidak kuat menahan pedas. Ia berhambur mencari air.
“Satu sudah K.O.” ujar Khoiri dengan suara kemenangan.

50
Akhirnya. Dalam waktu dua menit kertas lilin itu sudah rata,
tersisa butir yang berserakan.
Aku jadi teringat ujar Khoiri barusan. Jika uang Khoiri ada
disakunya, berarti hanya uangku yang memang hilang ditelan bumi.
Ikhlaskan saja sudah, dari pada nanti berburuk sangka. Biarlah tetap
menjadi rahasia Tuhan.
Muharam 1438

51
Rindu Itu...
Serial Santri #2
JAM empat dini hari. Seluruh ketua kamar sudah mulai beraksi
memainkan bambu tipis di tangannya, memukul benda apapun di
hadapan mereka. Untuk membangunkan santri yang tidurnya
kebangettan. Dari pintu, jendela, bahkan pilar-pilar kayu yang
berdiri di depan kamar. Menghasilkan suara yang lumayan berisik.
Bayangkan empat puluhan orang beraksi di seluruh komplek
pesantren itu.
Beberapa santri ada yang sudah memutar tasbih mereka, larut
dalam dzikir pada Allah. Ada yang masih berwudlu. Ada juga yang
masih berdiri di depan toilet sembari mengangguk-anggukkan
kepalanya, menahan kantuk. Dan sudah biasa saat-saat seperti ini
banyak santri yang berjalan sambil memejamkan mata, mungkin
mereka masih ingin nambah tidur lagi, tapi kewajiban

52
mengharuskan mereka segera bangun. Ada juga segelintir santri
yang masih nekad tidur di tempat persembunyiannya.
Pintu-pintu masjid sudah terbuka lebar, beberapa malaikat
mungkin sudah berdiri di depan pintu, dengan lembaran dan pena
mereka, mencatat setiap orang yang datang lebih awal. Seseorang
dengan pakaian serba putih, tengah duduk bersandar pada pilar
masjid. Wajahnya terlihat pucat, sepertinya sudah semalaman ia
tidak bergeser dari tempat duduknya, walaupun matanya merah
mengajak untuk tidur, tapi hatinya masih segar menyemangati
bibirnya untuk terus mengucap sebuah nama dengan lirih.
*****
Di bawah pohon manga yang rindang. Seseorang menepuk
pundaknya, mengagetkan dari lamunan.
“Sedang apa kamu di sini? melamun lagi.” Ujar santri berkaos
hitam.
“Tidak ada, hanya ingin sendiri.” Jawab santri dengan hem biru,
yang dari tadi terdiam melamun.
“Kalau masih ingin sendiri, aku pergi saja.” Santri berkaos hitam
segera bangkit.
“Tidak perlu. Duduk saja, aku sekarang ingin ditemani.” Dia
segera menarik tangan temannya untuk duduk kembali. Beberapa
saat tercipta keheningan. Semilir angin berdesir menyapu
dedaunan yang seakan melambai. Kebetulan sekolah libur,
biasanya para santri akan mengisi waktunya dengan membenahi
asrama mereka, atau dengan tidur sepanjang hari. beberapa santri
terlihat kesana-kemari bingung akan kemana di tempat yang
sangat terbatas ini.
“Rifqi?” Suara santri ber-hem biru memecah keheningan.
Membuat teman di sampingnya menoleh sembari mengangkat alis,
sebagai ganti dari jawaban ‘apa?’
“Apa kamu pernah merasakan cinta?” kini ia juga menghadap
kearah Rifqi hingga keduanya saling menatap.

53
“Mufid.” Rifqi membetulkan duduknya, ia bersandar lalu
menatap langit. “Cinta itu rahmat dari tuhan, cinta hadir begitu
saja, cinta menyelinap dalam hati, membuat kita tersenyum atau…”
“Aku tidak bertanya tentang cinta.” Mufid memotong
penjelasan Rifqi. “Yang aku tanyakan apa kamu pernah merasakan
cinta?” Ia masih memandang teman di sampingnya berharap
mendapatkan jawaban ‘iya’.
Rifqi hanya menggerakkan bola matanya membalas tatapan
Mufid, lalu ia menganggukkan kepala dengan kaku.
“Apa kamu pernah merasakan rindu?” Mufid terus meluncurkan
pertanyaan.
“Dulu iya. Tapi sekarang tidak lagi.” Rifqi kembali menatap
lurus ke depan seakan ingin berbecerita.
Mufid juga begitu. Ia membetulkan duduknya dan
menyandarkan punggungnya menunggu teman yang memakai
kaos hitam di sampingnya bercerita sesuatu. Sementara itu,
mentari mulai naik mendekati puncak langit. Pohon mangga
melindungi mereka dari terik dan panas yang sangat menyengat.
“Sebelum aku mondok, aku pernah memiliki hubungan dengan
seorang perempuan, sebutlah kami pacaran. Walaupun aku sangat
dilarang oleh ayahku, tapi itulah aku saat SMA, larangan ayah aku
abaikan. hingga suatu saat aku ketahuan. Ayah memberiku dua
pilihan, menikah atau mondok. waktu itu usiaku baru menginjak 17
tahun, tidak siap jika harus menikah, terpaksa aku memilih untuk
mondok. sekolahku harus putus di kelas sebelas.”
Mufid mendengarkan dengan antusias, sesekali ia menoleh
pada teman di sampingnya. Mata Rifqi mulai berkaca-kaca
mengenang masa lalunya.
“Tahun pertama, aku tidak kerasan di pesanten ini karena
sangat merindukan perempuan itu. Bayangannya selalu hadir dalam
mimpi, terkadang membuatku tidak bisa tidur. Akhirnya aku
putuskan untuk mengirim surat lewat adikku. Yang kebetulan dia
satu kelas dengan perempuan itu, kelas sepuluh. Setiap minggu

54
adikku datang membawa surat balasan darinya, aku tidak mau
membuang waktu, kutulis balasannya waktu itu juga. Hingga suatu
saat adikku datang tidak membawa surat, dia membawa kertas
undangan. Perempuan itu akan menikah dengan adikku sendiri.”
Dulu jika menceritakan hal ini, Rifqi selalu menangis. sekarang tidak
lagi dia sudah kebal.
“Usia adikku hanya selisih satu tahun denganku, sembilan bulan
lebih tua dari perempuan itu. Aku dengar dari ibu, adikku ketahuan
pacaran dan dia memilih menikah ketika diberi pilihan oleh ayah.
Mungkin sering bertemu dengan perantara suratku tumbuh benih-
benih cinta di antara keduanya. Sedangkan cintaku yang tertanam
dari biji kecil lambat laun tumbuh besar tinggi menjulang, dan telah
menghasilkan buah kenangan yang berwarna-warni, walau akhirnya
harus tumbang.” Air mata Rifqi menggenang, meski tidak menetes,
walau begitu ia tetap memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
Ah, mungkin kenangan itu masih terasa pahit.
“Ketika acara pernikahan mereka aku tidak bisa hadir, karena
perijinan ditutup. Dan bertepatan dengan acara Maulid di pesantren
ini, hingga waktu itu aku menangis ketika melihat teman-temanku
berbincang dengan orang tua mereka. Sedangkan aku sendiri,
satupun keluargaku tidak ada yang datang.” Seakan ada penyesalan
dari wajahnya. Namun kejadian itu sudah tiga tahun yang lalu.
“Aku merasakan rindu yang lebih berat dari yang pernah kamu
alami.”
Lalu Mufid terdiam, matanya menatap awan hitam yang mulai
menyelimuti langit, seakan alam juga ingin menangis setelah
mendengar jeritan hatinya. Yang kini tengah terikat kerinduan lebih
erat, lebih tajam, dan jauh lebih dalam dari kerinduan yang pernah
dialami Rifqi. Pohon-pohon melambai seperti ingin bertanya, siapa
orang yang telah berhasil membuat hati Mufid terikat rindu seberat
itu?
Tiba-tiba Mufid jatuh tak sadarkan diri. Rifqi dan beberapa
santri yang tak jauh dari tempat itu terlihat panik. Sementara rintik-

55
rintik hujan mulai berjatuhan membasahi dedaunan yang seakan
meneteskan air mata penuh tanda tanya, siapa yang dirindukan
oleh Mufid?
*****
Sholawat terdengar menggema dari ratusan santri di masjid,
kegiatan bersholawat memang rutin dilaksanakan setiap malam
selasa. Suaranya terdengar menyeluruh di kawasan pesantren. Dari
salah satu kamar seseorang baru terbangun dari pingsannya. Ia
duduk. Cukup lama ia memulihkan kesadarannya sampai kegiatan
bersholawat selesai.
“Sebenarnya kamu rindu pada siapa?” Ujar Rifqi saat
memasuki kamar, diikuti Zaki, Fadil dan Khoiri. Mereka duduk di
sekitar Mufid.
“Coba kamu katakan, mungkin kami bisa membantu.”
Sambung Zaki membujuk Mufid agar mau berkata sejujurnya.
“Akhi. Cintamu sudah terlalu dalam. Jangan sampai dirimu
seperti Qais dalam cerita laila majnun.” Khoiri menasehati namun
Mufid tetap tidak bergeming.
“Cintamu mungkin sudah melebihi cinta Qais si-majnun.” Fadil
ikut bicara. “Buktinya kamu sampe pingsan tadi, sedangkan si-
majnun di puncak kerinduannya tidak membuatnya pingsan. Tapi
jangan sampai kau menjadi gila seperti dalam kisah itu.” Candanya.
“Fid. Coba berterus terang pada kami, mungkin kami bisa
mempertemukanmu dengannya.” Rifqi memberi solusi. Tapi
sepertinya itu beresiko.
“Tidak.” Mufid mulai menggerakkan bibirnya setelah dari tadi
diam saja. “Jika kalian memanggilnya untukku pasti kalian akan
bertemu dengannya terlebih dahulu. Aku takut cinta kalian pada
kekasih kalian akan luntur. Hanya dengan tutur katanya jiwa kalian
akan terikat.”
Semua yang ada dikamar itupun kaget mendengar ucapan
Mufid. Hati mereka diliputi rasa penasaran, seperti apa sih orang
itu? beberapa saat tercipta keheningan.

56
“Lebih indah mana dia dengan neng Aiys.” Selontar pertanyaan
membelah.
Mufid yang mendengarnya segera mendongakkan kepala dia
memandang Fadil lekat-lekat.
“Neng Aisy?” Mufid mengulangi ucapan Fadil untuk
memastikan dia tidak salah dengar.
“Iya.” Jawab Fadil lugas, “Atau jangan-jangan kamu mencintai
Neng Aisy?”
“Apa kamu mencintai Neng Aisy?” Tanya Rifqi bernada
introgasi.
“Jangan bilang kamu benar-benar jatuh hati padanya?”
Introgasi itu terus datang bertubi-tubi.
Mufid semakin tertunduk, hatinya sudah menyiapkan kata
untuk menjawab pertanyaan mereka. Saat semuanya diam, ia
angkat bicara.
“Ia lebih indah dari siapapun. Wajahnya selalu bercahaya, tutur
katanya lembut, siapapun yang memandang pasti akan terpikat,
kejujurannya tidak diragukan lagi, akhlaknya bisa dibilang yang
nomor satu.” Mufid menghela nafas. “Bukan. Dia bukan neng
Aisy...” Mufid kembali menghirup nafas mambuat jantung mereka
berdegub kencang semakin penasaran.
Dalam angan mereka menggambarkan sosok perempuan yang
paling dikagumi oleh semua santri, ialah putrinya kyai, Neng Aisy.
Mereka masih menunggu apa yang akan dikatakan Mufid
selanjutnya. Jika Mufid bilang: Ia, lebih baik dari neng Aisy.
“Ayahnya bernama Abdullah, ibunya Sayidah Aminah,
namanya Muhammad, ialah Insan al-Kamil pujaan seluruh makhluk.
Yang masih mengaku umatnya pasti akan malu jika tidak membalas
cintanya pada kita.” Jawaban Mufid yang tegas membuat mereka
terbungkam yang jelas mereka kebingungan mendengarnya.
Mufid bangkit meninggalkan mereka yang masih menunduk
tertegun. Dia meraih baju putih dan songkok putih. Pergi berwudlu
lalu pergi ke masjid untuk meng-kodho sholat yang ia tinggalkan

57
tadi karena pingsan. Ia sudah bertekad untuk tidak tidur malam ini.
Setelah selesai, ia mengambil posisi di depan pilar, hatinya terus
menyebut nama Muhammad, bibirnya tak letih terus melantunkan
sholawat.
Allahumma sholli ala nuril anwar, wa sirril asror, wa tiryatil
aghyar, wa miftahi babil yasar, saiyidina muhammadinil mukhtar, wa
alihil athhar, wa ashabihil akhyar, Adadani’amillahi wa ifdholih.
***
Cinta agungmu tak pernah kami balas, nasehat sucimu seringkali
kami abaikan, tuntunan syariatmu kami selalu lalai.
Ya Muhammad, hingga napas yang ku hirup tak terhitung lagi,
kami belum bisa mencintaimu sepenuh hati. Ya Habibi, ya Habibi, ya
Habibi. Sering kami memohon, memangilmu kekasih, tapi tak pernah
jiwa ini tergugah.
Ya Nabi, kau mencintai kami dengan seluruh jiwa ragamu, kau
yang mengingat kami saat kami menyakitimu, tak ingatkah ketika
dulu orang-orang Thaif melemparimu dengan batu. Darah sucimu
megalir membasahi wajah, namun dengan tulus kau berkata:
“Biarkan, mungkin dari keturunan mereka akan lahir orang yang
beriman.”
Cintamu adalah cinta yang tak mungkin kami tandingi. Oh, ya
Nabi, betapa masih jelas di telinga kami, keluh suaramu ketika
menghadapi Izrail: “Ummati, ummati, ummati.”
Dan lihatlah kami yang hingga kini tak mampu
menyenangkanmu. Kami selalu sibuk dengan urusan sendiri, kami
sibuk merangkai cinta sendiri, kami habiskan air mata untuk cinta
gombal kami.
Ya, Robbi, kau yang membolak-balikkan hati, Kau yang mengatur
gelombang batin ini, Kau yang merangkai dan membongkar cinta.
Jadikanlah kami orang yang mencintaMu, merindukanMu,
mengharap berjumpa denganMu. Dan sampaikanlah pada nabiMu,
kepada kekasihMu, kepada Muhammad, petikan dari cahayamu.

58
Hingga detik ini, hingga berjuta napas terhembus, hinngga
berkali-kali air mata menetes. Dan tak sedetikpun kami meluapkan
cinta dengan sepenuh hati, tak pernah satu tarikan napas ini, yang
berhembus bersama shalawat tulus dari nurani. Tak pernah air mata
ini menetes karena menghawapkan perjumpaan denganmu.
Ah, ya Allah, jikapun air mata ini menetes saat ikut berdendang
sholawat, itu karena kami ingin di puji. Sok menghayati. Oh, Ya Allah,
Ya Robbi. Ya Muhammad, ya Habibi.
Jadikanlah kami pecintaMu, pecinta nabiMu!
Amin.
2017

59
Matahari yang Hilang
Serial Santri #3
CAHAYA merah memancar di ufuk timur, perlahan naik
menampakkan tubuh. Dunia mulai berwarna dari mulanya yang
serba hitam, awan-awan berbaris menghias langit. Burung-burung
merpati mulai mengepakkan sayap memenuhi cakrawala.
Mataharipun seakan begitu, bangkit dengan cahaya, lalu terbang
tanpa sebelah sayappun. Itulah pertanda pagi telah bangun dari
tidur.
Matahari akan terus melebarkan senyum hingga berdiri di
puncak langit, dan akan kembali meredup saat kembali
keperaduannya. Hari-hari memang penuh dengan keajaiban.
Namun sedikit sekali orang yang menyadari, karena setiap hari
selalu terulang. Matahari terbit dan terbang dari ufuk timur, lalu
turun dan tenggelam di ufuk barat. Itu adalah keajaiban.

60
Biasanya selalu seperti itu. Tapi tidak hari ini, entahlah ini
malam atau siang, keduanya sama. Matahari pergi begitu saja,
tanpa memberi alasan atau sekedar meninggalkan wasiat. Jika
melihat jam mungkin sudah tiga hari berlalu tetap dalam keadaan
gelap gulita.
Listrik-listrik padam. Semua barang elektronik hanya menjadi
pajangan yang menyatu dengan warna hitam. Sebagian orang ada
yang menggunakan penerangan lilin, namun tidak lama, karena
angin begitu ganas. Tanpa ampun membunuh api-api kecil itu.
Walaupun pintu-pintu dikunci, jandela-jendela dan gorden ditutup
rapat, tetap saja, angin bagai monster-monster halus yang
menyelinap melewati celah-celah kecil.
Dan selama itu pula, mungkin tidak ada orang yang mandi,
berwudlupun tidak akan. Karena dari pagi itu pula, air berubah
menjadi liar. Jika jari-jari saja dicelupkan maka akan dengan
seketika membeku, dan menjalar keseluruh tubuh hingga mati
kedinginan.
Entahlah sejak kapan hal aneh ini bermula. Yang jelas semua ini
tidak terlahir secara tiba-tiba, satu-persatu kejadian aneh membuat
mata siapapun terbelalak. Dan mungkin tidak ada yang menduga
jika semuanya berawal tepat pada hari jumat, sekitar tiga minggu
yang lalu.
Waktu itu. Pagi merekah, matahari menampakkan pesona
indah. Semua santri tampak berseri menyambut kedatangan hari
ini. Sebagian santri terlihat sibuk merapikan baju mereka, sebagian
ada yang bersih-bersih pondok dan madrasah, dan yang lain hanya
sekedar jalan-jalan di sekitar pesantren menghirup udara segar.
Sedangkan aku sendiri duduk di bawah pohon mangga, ditemani
Rifqi yang sedang memakai kaos hitam, juga Zaki di samping
kiriku.Pakaian dan kitabku sudah terbungkus dalam kardus.
Pulangan. Ya, hari yang paling ditunggu oleh semua kalangan
santri. Atau pesantren menyebutnya libur Ramadhan. Dawuhnya
kyai santri boleh pulang seusai sholat jumat. Walaupun tinggal

61
beberapa jam lagi, bagiku terasa lama. Entahlah karena apa, atau
mungkin aku sudah sangat merindukan rumah. Bayangkan!
Sepuluh bulan lebih aku tidak pulang, aku terpejara di sini, tak bisa
kemana-mana.
Jam satu siang. Santri mendapatan lembaran shohifah, dimulai
dari daerah A, B, C dan kebetulan aku daerah D. Jadi agak lama
nunggunya. Dalam lembaran itu ada kolom khusus, yang harus diisi
oleh orang tua santri. Biasanya tentang perilaku santri selama di
rumah, sholat sunnah, khatam Qur’an dan pelajaran yang
dimutholaah.
“InsyaAllah, aku akan tetap menjalankan keistiqomahanku
seperti di sini. Sholat Tahajjud, Witir dan Dhuha.” Gumamku dalam
hati setelah menerima lembaran Shohifah.
Ayah sudah menunggu di gerbang.
“Fid…” Seorang memanggil, aku menoleh mencari asal suara.
“Jangan lupa tanggal sepuluh.” Ujar Khoiri yang berdiri di samping
mobil.
“Oke.” Jawabku sembari mengacungkan jempol di udara.
Khoiri memasuki mobil. Dari depan kaca mobil yang bening, aku
bisa memastikan, bahwa Khoiri sekarang dijemput oleh paman dan
adik sepupunya. Kalau tidak salah namanya Kholifah. Aku terus
memerhatikan mobil itu hingga hilang dari pandangan. (perlahan
gumamku yang tadi terlupa, tentang istiqomah itu).
Di gerbang ada ayah yang sudah menunggu lama. Langkah
kakiku melewati garis gerbang, bagai seorang tahanan yang bebas
dari penjara.
“Kenapa lama banget? Yang lain sudah pulang semua!” Tanya
adikku yang duduk di atas sepeda.
Ayah menghampiri. Setelah aku mencium tangan, beliau
membantu membawakan kardus berisi kitab.
“Ya, begini sudah kalau nomor kamar paling akhir.” Jawabku
pada adik seraya menarik tali tas punggungku yang berisi pakaian.
Ayah meletakkan kardus itu di belakang kemudi.

62
Hatiku semakin berbunga-bunga ketika sepeda itu berjalan.
Sepuluh bulan sudah aku tidak pernah merasakan duduk di atas
kendaraan. Dan kini aku merasakannya kembali. (Santri tauladan,
tidak pernah izin pulang).
“Mufid.” Suara yang tak asing memanggil. Ku lihat Fadil dan
abangnya mengendarai Ninja, menyejajari sepeda yang aku naiki.
“Tanggal enam Ramadhan, bukber di rumahku.”
“Siiipp…” Jawabku melempar senyum.
“Kabari teman-teman yang lain.”
“Iya, pasti. Itu hal yang mudah.”
“Aku tunggu di rumah.” Memainkan jari jempol dan kelingking
di dekat telinga. Maksudnya, calling.
Aku hanya menjawab dengan mengangguk, dan melayangkan
jari jempol.
“Duluan, ya!” Fadil dengan Ninja yang dikemudikan abangnya
melesat jauh. Aku terus menatapnya hingga terhalangi oleh mobil.
Setibanya di rumah aku bersilaturrahmi pada tetangga
samping kanan-kiri. Depan-belakang juga tak terlewati. Ada yang
hanya menyambutku dengan senyum, namun ada juga sampai
berteriak.
“Kapan pulang?”
“Ayo makan dulu.” Dan bla-bla-bla. Aku hanya menjawabnya
dengan senyum. Malas menanggapi.
“Terima kasih.” Hanya itu. Lalu pulang.
Tak bisa ditolak, tanganku langsung mencomot hape di atas
meja belajar. Setelah membeli paketan, tak perlu menunggu lama.
Aku sudah berselancar di dunia maya. Mulai dari Twitter, Facebook,
Email, semua aku datangi satu persatu. Yang itu bosan, mbah
Google sudah terpampang pada layar kotak di tanganku. Iseng-
iseng cari game terbaru. Hal itu terus ku lakukan hingga adzan
‘Ashar berkumandang.
Kuletakkan hape sambil di-Cas. Bergegas mandi, lalu sholat
sunnah empat rakaat, dan sholat Asharnya aku mengajak adikku

63
untuk berjamaah. Setelah itu aku tutup ibadahku dengan membaca
al-Quran dan dzikir. Semua ku lakukan dengan khusyu’. Setidaknya
masih begitu.
Kemudian waktu berlari sangat cepat. Entah karena apa,
mungkin karena kesenangan setiap hari, tanpa ada kewajiban. Atau
memang itu yang dirasakan semua santri ketika pulangan, atau
mungkin hanya aku sendiri. Ah, entahlah. Yang jelas waktu terus
melangkah ke depan.
Tanggal satu Ramadhan, aku masih melaksanakan
kebiasaanku. Tahajjud, Witir, Dhuha tidak ada yang terlewati.
Enam Ramadhan. Bukber di rumah Fadil. Aku sudah izin pada
orang tua untuk menginap di sana. Malam itu pertama kalinya aku
meninggalkan Tarawih. Ku habiskan malam hanya dengan
bercanda dan tertawa bersama teman-teman. Lempar sms kesana.
Telfon ini-itu. Update status pun tak terlewatkan. Hal kecil ku
cantumkan. Obral Like di mana-mana, dan tak lupa meninggalkan
jejak komentar. Mendekati waktu isyak, kita semua baru
menyantap sahur. Hingga terlupa atau memang disengaja ku
tinggalkan Tahajjud.
Tak hanya itu, bahkan sehabis santap sahur aku langsung
terlelap di shofa. Bangunnya pagi paling jam lapan. Baru aku
pulang. Sampai di rumah tubuhku kelelahan, mata tak tertahankan
lagi. Ingin melanjutkan tidur yang sebentar tadi, melemparkan
tubuh ke atas kasur. Sebelum menit berganti, aku sudah melayang
lagi. Entah kemana mimpiku. Waktu Dhuhapun terlewati.
Jam tiga sore aku di bangunkan ayah. Astaghfirulah, aku belum
sholat Dhuhur, belum mengkadha’ Shubuh juga. Terburu-buru aku
mengambil wudhu’, tanpa sholat sunnah, takut kehabisan waktu.
Dan benar, di rakaat ketiga adzan ‘Ashar berkumandang. Jadi
selesainya aku berdiri lagi untuk sholat Ashar (plus Shubuh). Hari itu
aku sholat fardu dalam satu waktu. (keren bukan!).
Hingga tanggal sepuluh Ramadhan, aku hanya mengerjakan
perkara fardhunya saja, yang sunnah-sunnah sudah biasa ku

64
tinggalkan. Bukan hanya biasa, tapi sudah ‘luar biasa’ kutinggalkan.
Tanpa menyisakan sekuntum dzikir.
Sembari mengucek mata aku mengintip keluar jendela.
Matahari seakan menampakkan wajah marah, cahayanya
menyembur kuning kemerah-merahan, menjulang membelah
langit. Seakan tidak sudi lagi memberikan cahayanya pada
manusia. Dia keluar hanya karena terpaksa. Terpaksa karena itu
titah tuhannya yang maha pemaaf.
Aku teringat! Hari ini aku ada janji dengan Khoiri. Tiba-tiba
hape-ku berdenyit. Segera aku geser gambar berwarna hijau di
layar.
“Hey, kamu di mana?” Suara dari ujung telepon.
“Masih di rumah.” Jawabku ringan.
“Baiklah. Aku kesana sekarang!”
“Oke. Aku tunggu!”
“Kholifah, katanya mau ikut.” Hatiku berdegup ketika
mendengar nama itu. Namun masih pura-pura bertanya.
“Kholifah siapa?”
“Adik sepupuku!”
“Yes.” Teriakku spontan.
“Apanya yang yes? Gimana, boleh tidak?”
“Emmm…boleh-boleh aja lah.” Hampir aku tutup. Namun
Khoiri berbicara lagi. “Eh, iya. Tapi dia bonceng sama kamu ya!
Soalnya aku bersama Nadia!”
“Terserah kamu saja dah” Walau jawabanku terlihat lemas. Tapi
dalam hatiku berteriak kegirangan. Memang masih tidak ada yang
tahu kalau aku sama Kholifah jadian, termasuk Khoiri sendiri. Baru
enam hari ini. Dan aku pacarannya hanya lewat hape. Pacaran
islami, istilahnya. (Tentu kalian tahu, bagaimana hukumnya
pacaran. Ya aku juga tahu itu, tapi rasanya asyik, sulit digambarkan,
sulit ditinggalkan kalau terbuka kesempatan).
“Ah. Hidupku semakin rusak saja.” Ucapku lirih dalam hati. Aku
merasakan itu, namun hatiku masih enggan untuk kembali pada

65
cahaya yang lurus. Semoga saja kiamat masih lama, dan masih
memberiku waktu untuk bertaubat.
Terkadang aku mencaci diriku sendiri orang yang bodoh. Tapi
tetap saja aku melakukan kebodohan itu. “Dasar bodoh.”
Khoiri bersama Kholifah tiba di rumah sekitar jam tujuh. Sesuai
kesepakatannya tadi, aku membonceng Kholifah. Dan sebentar lagi
masih mampir di rumahnya Nadia, lalu langsung ke tempat tujuan,
kawah ijen, pasti seru. Janjinya dulu hanya kita berdua. Tapi jika ada
yang mau ikut, kenapa harus ditolak? (Hukumnya boncengan
dengan cewek. Itu haram! Ya aku tahu, tapi aku juga tahu Allah itu
maha penerima taubat. Iya kan, bro!)
Di pertigaan Wonosari, mobil dari arah kanan melaju dengan
cepat. Mobil itu tidak berhenti ketika lampunya menyala merah,
aku sempat untuk mengerem, sedangkan Khoiri tetap santai, tidak
melihat laju mobil itu. Bruaaak… Mobil itu tepat menabrak bagian
depan sepeda Khoiri.
Khoiri terpelanting jauh bersama sepedanya, begitupun Nadia
yang mengalami benturan di kepala. Kholifah menjerit memanggil-
manggil nama kakaknya, dia berlari mendekat. Khoiri tetap
tergeletak tidak ada gerakan. Beruntung ada pos polisi yang tak
jauh dari tempat itu, beberapa polisi langsung turun tangan.
Sedangkan aku hanya tertegun, tetap tergagap di atas sepeda.
Aku bingung harus bagaimana. Jika menelfon orang tua pasti aku
yang kena marah. Ia sih, aku pamit pada orang tua, tapi orang tuaku
sangat melarang, aku berhubungan dengan wanita. Tapi
bagaimana pun pasti orang tuaku akan tahu. Aku hanya bisa diam
dalam kebingungan, hanya bisa pasrah dalam pilihan takdir.
Keadaanku benar-benar serba salah sekarang.
Dan entah mengapa tiba-tiba terlintas dalam benakku. Kenapa
bukan aku yang kecelakaan, agar orang tuaku tidak sempat marah.
Tubuhku bergetar hebat, keringat mulai mengalir.
Matahari yang meredup. Awan-awan hangus terbakar. Tanah
membuka mulut. Siap memangsa siapapun yang menginjaknya.

66
Angin menggulung-gulung bagai gelombang air laut. Orang-orang
lari kocar-kacir. Sekarang benar-benar aneh.
Aku tersentak kaget, bangkit dari tidurku. Mimpi buruk itu lagi.
Tapi kenapa mimpi kecelakaan itu selalu berakhir dengan kejadian
aneh seperti itu? Kemarin aku bermimpi matahari yang tak terbit
lagi! Aku menoleh kanan kiri, koran-koran masih berserakan, yang
halaman utamanya tentang kecelakaan Khoiri. Hari raya semakin
dekat, semenjak kecelakaan itu, aku tidak keluar kamar ini. Bukan
ayah memarahiku lalu mengurungku. Tidak. Aku yang sengaja
mengurung hidupku. Aku bersalah pada diriku sendiri, bersalah
pada Khoiri, bersalah pada orang tuaku, bersalah pada semua
orang. Jika melihat bayanganku di cermin, aku tak lebih dari orang
yang berputus asa, penampilanku tak ubahnya orang gila.
Seseorang mengetuk pintu. “Mufid, ada temanmu,” itu suara
ayah dari luar kamar, aku mencoba menebak, siapa yang mau
menemuiku? Aku tidak ada janji dengan siapapun! Sekarang, besok
ataupun lusa. Untuk memastikan perlahan langkahku mendekati
pintu, setelah memutar kunci, aku membuka sedikit untuk
mengintip siapa orang itu.
“Rifki? Zaki?” Suaraku serak. Tak terasa air mata jatuh
membasahi wajah. Kembali teringat perjuanganku di pesantren.
Aku membalik badan, kembali duduk di sisi ranjang. Zaki menutup
pintu, lalu keduanya duduk di kanan kiriku. Rifki meraih koran yang
berserakan, entah apa yang dia baca, tak lama dia sudah
menaruhnya kembali, lalu menatapku tajam. Aku tak berani
membalas tatapannya saat air mataku terus meleleh.
Perlahan dengan suara serak aku mulai menceritakan mimpi
itu. Hingga tuntas.
“Bukan Mufid seperti ini yang aku kenal di pesantren.” Ujar
Rifki seakan menusuk hati, “Yang aku kenal dulu dia tak pernah
putus asa, tidak kenal kata menyerah.”
Aku menangis sesenggukan, “Tidak.” Tukasku pendek. Bahkan
aku tidak mengerti, kenapa aku mengatakan kalimat itu.

67
“Kamu sudah terlalu jauh dari cahaya, kau tak memiliki
matahari lagi, kau tinggalkan Tahajjudmu, kau tak pernah
menyentuh air wudhuk, bahkan kau tidak keluar, ketika adzan
Jumat berkumandang, bukan mimpimu yang aneh, tapi kamu
sendiri. Kau terlalu melebih-lebihkan masalah, kau terlalu
membesar-besarkan kesalahan kecilmu. Kau terlalu berlarut-larut
dalam satu penyesalan.” Rifki menarik nafas.
“Menurutku ini bukan salahmu, ini murni kecelakaan, koran saja
menginformasikan begitu.” Sahut Zaki yang sedari tadi diam.
“Iya.” Jawab Rifki “Seharusnya kamu bisa seperti koran ini,
setiap hari selalu berganti dengan berita baru, dan berita kemarin
sudah usang tak berharga lagi, lebih pantas dibuat bungkus nasi.
Begitupun masa lalu jangan selalu berputar-putar di dalamnya,
cukup petik hikmahnya, dan untuk hari ini, buatlah sejarah baru,
berita terbaru dari perjalanan hidupmu.” Rifki menyudahi
perkataannya.
Hatiku bergerak, tapi bukan kesalahan pada Khoiri yang
membuatku berlarut-larut di sini. Ah, biar bagaimanapun mereka
tetap tidak akan mengerti. kembali aku usap air mata lalu bangkit
berdiri. Aku mendekati pintu. Membukanya. ‘Sulit’ menemukan
teman yang seperti mereka, bahkan di zaman yang ‘serba mudah’
ini. Tapi maaf, aku tak pantas untuk mereka.
“Silahkan keluar!” Suaraku masih serak.
Mereka menatap heran. Tanpa banyak basa-basi mereka
mengikuti perintahku.
Matahariku sudah benar-benar hilang. Orang-orang tak kan
mengerti itu.
Pernah kau rasakan saat paling terpuruk dalam hidupmu. Saat
kau merasa, seluruh makhluk seakan menyalahkanmu. Saat itulah kau
mungkin bergumam, “Tidak ada yang mengerti masalahku.” Dan kau
merasa ujianmulah yang paling berat. Hingga sedikit orang yang
menyadari, setiap orang memiliki titik berat tersendiri.
Bersambung…
29 Jumadil Awal 1438
68
26 Februari 2017

69
Di Ambang Pintu Surga
#1
AKU suka puisi. Puisi itu dapat mengobarkan semangat ketika di
ambang keputus asaan, memberi kesabaran dalam menapaki berbagi
duri kehidupan, terkadang membuatku tersenyum walau hati dalam
kedukaan. Menurutku puisi itu lebih mendekati kebenaran dibading
sejarah, puisi itu lebih indah ketika dibaca atau didengar. Lebih dalam
menyimpan makna, lebih halus setiap katanya.
Tapi aku juga suka sejarah, sejarah memperkenalkan generasiku
pada orang-orang hebat di masanya. Muhammad Rosulullah sang
nabi utusan. Beliaulah –idolaku– seorang yang mampu menyibak
tabir jahiliah dan memberikan cahaya terang menderang di bawah
bendera Islam. Juga Abu Bakar ketika menggerakkan pesukan
memberantas kaum murtad. Dan ketika Umar dengan keberaniannya
membuka pintu-pintu kekuasaan Romawi dan Persia. Hingga tahun-
tahun kemudian umat Islam mampu mengukir sejarah yang gemilang.
70
Sekarang, sejarah sudah mencatat prestasiprestasi mereka. Aku
mewakili dunia untuk berterima kasih peda mereka.
Hebatnya, sejarah juga mengajarkan masa depan, apa yang aku
lakukan hari ini akan menjadi bekalku di masa depan. Namun yang
paling membuatku penasaran, bagaimana nanti aku akan dikenang?
Bagaimana nanti aku akan dikenang oleh kelima sahabatku?
Bagaimana nanti aku akan dikenang oleh orang tuaku? Entahlah, kita
tidak akan pernah tau sampai saatnya tiba.
Dia menutup diary biru muda itu, di luarnya tertulis Shofia
Khoirunnisa dengan huruf indah berwarna emas. Ia
menerlentangkan tubuh sembari mendekap buku itu, bola matanya
menerawang langit-langit kamar.
“Shofia!” seseorang memanggil di mulut pintu
menyadarkanmnya dari lamunan. Dia segera bangkit duduk
sembari membetulkan kerudung, pandangannya tertuju pada
sahabatnya yang memeluk kitab Fathul Mu’in dengan pandangan
penuh tanya.
“Sudah jam dua, sebentar lagi bel berbunyi.” Ujar Tika.
Seakan mengerti, Shofia segera meletakkan buku diary-nya
dan mengambil kitab Fathul Mu’in bersampul biru. Dia melempar
senyum. Ketika Shofia menapakkan kakinya keluar pintu, sahabat-
sahabatnya juga keluar dari kamar sebelah, D4. Ulfa, Nuri, Wilda
dan Nia, mereka semua juga membawa kitab yang sama. Setelah
saling melempar senyum mereka berjalan menuju kelas. Sambil
bercanda ringan tertawa kecil berbagi keceriaan. Dan tidak ada
pembicaraan yang berarti.
Ketika sampai di teras kelas, Shofia memaku langkahnya. Tika
yang menyadari juga menghentikan langkah, lalu menoleh pada
Shofia yang tersandar pada tembok.
“Kamu kenapa?” tanya Tika penuh selidik. Sedangkan yang lain
terus melangkah menuju kelas, tidak menyadari ketertinggalan
mereka.

71
Shofia hanya menggeleng, dia tampak ketakutan. Separuh
wajahnya kebawah dia sembunyikan dengan kitab. “Nggak papa
kok.” Suaranya lirih dari balik kitab.
Mendengar jawaban itu Tika segera mengejar temannya yang
lain, dan menyejajari langkah mereka. Walaupun hatinya sedikit
khawatir dan bertanya-tanya tentang sahabatnya yang satu itu. Dia
yakin jawaban sahabatnya tadi bukan yang sebenarnya.
Sedangkan Shofia berlari ke arah yang berlawanan. Dia
menjauh, bukan ada sesuatu yang tertinggal di kamar. Tidak. Dia
terus berlari menuju kamar mandi, nafasnya tersengal-sengal.
Tiba-tiba darah merembes dari hidungnya. Hingga bibirnya
merah oleh darah. Dia mengusapnya dengan air. Namun darah itu
tetap mengalir, beberapa tetesan mewarnai lantai berbaur dengan
air yang ia usapkan.
“Allah,” lirihnya spontan dari bibirnya yang merah pekat;
“Astaghfirullah, la haula wa la quwwata illa billah.” Seakan tanpa
sengaja ia mengucapkannya, mungkin karena sudah biasa.
Darah itu berhenti, dia membersihkan wajahnya dengan tisu.
Setelah dirasa bersih, Shofia kembali ke kelas dengan menata
kembali kerudungnya. Dia mempercepat langkah, tangannya tetap
mendekap erat kitab bersampul biru bergambar masjid itu. Dalam
setiap hembusan napas ada lafadz Allah yang dilirihkan hati
kecilnya. Angin bertiup halus mengibarkan pelan kerudung
putihnya. Tiupan itu seakan berdendang mengagungkan nama
Allah. Daun-daunpun ikut berdzikir ketika terbelai angin, bahkan
debu-debu kecilpun ikut terbang menyaksikan tanda-tanda
kebesaran Allah, tuhan jagat raya. Perlahan namun pasti matahari
turun kebelahan langit barat.
Malam begitu pucat dengan bulan separuh purnama. Jarum
jam sedang menunjuk angka tiga dini hari. Hanya terdengar suara
detik jam, dan suara angin halus menyibak keheningan. Tak hanya
di luar, di dalam kamarpun rasa dingin terasa menusuk. Seseorang

72
terbangun untuk membetulkan selimut yang tidak lagi menutup
tubuhnya. Tiba-tiba dia tersadar;
“Shofia.” Lirihnya saat dia sadar Shofia tidak lagi di
sampingnya. Dia segera bangkit sembari merapikan kerudung yang
acak-acakan. Dia keluar kamar walaupun tidak tau kemana ia akan
melangkah mencari sahabatnya itu. Yang jelas dia tidak mau
membuang waktu dengan berpikir yang tidak-tidak.
“Semoga dia baik-baik saja, dan tidak sampai keluar
pesantren.” Gumam Tika ketika teringat kejadian tadi siang. Ya,
Shofia sedang menyembunyikan sesuatu.
Guratan wajah Tika berubah seketika melihat sandal biru di
tangga masjid. Mungkin Shofia sedang sholat malam. Dan entah
apa yang menggerakkan kaki Tika saat itu, seakan kekuatan gaib
yang mengarahkan langkahnya untuk berwudlu, mengambil
mukenah, lalu sholat bermakmum pada shofia.
Namun, sesuatu mengganggu pikiran Tika; “Shofia, berdirinya
lama sekali.” Sedangkan kaki Tika sudah terasa gatal, karena tidak
biasa seperti itu. Sudah terlintas di benaknya untuk mufaroqoh saja,
dan rukuk mendahului sahabatnya itu. Tapi hati kecilnya masih
berkata; “Jika Shofia bisa, kenapa dirinya tidak!”
Angin bertiup halus. Shofia masih berdiri khusuk dalam
sholatnya. Begitupun Tika tetap bermakmum, walaupun berkali-kali
dia menggaruk kakinya dengan kaki yang lain. Dan sesekali
menggerutu dalam desisnya yang takkan didengar oleh siapapun
selain Allah dan iblis itu sendiri, yang telah berhasil menabur bubuk
gatal dan membuyarkan kekhusuk-annya.
Jam sudah mengarahkan jarum panjang menunjuk angka
enam. Shofia baru membungkukkan tubuhnya untuk rukuk.
Rukuknya lama sekali hingga membuat pinggang Tika yang
bermakmum terasa nyeri. Begitun pula ketika sujud, bahkan lebih
lama dari rukuk. Tikapun merasakan sakit di keningnya kerena tidak
biasa.

73
Shofia berdiri untuk rakaat kedua. Memang tidak se-lama
rakaat pertama, namun sudah cukup untuk membuat kaki
kesemutan, bagi orang yang sholatnya biasa dengan al-Kafirun dan
al-Ikhlas saja. Biarpun begitu, Tika tetap setia bermakmum pada
Shofia. Ya, walau kakinya sudah terasa pegal.
Katika selesai salam, Tika langsung menyelonjorkan kakinya.
Sejenak dia melihat jam yang melekat pada dinding bagian depan
masjid.
“Huh…” Desah Tika menghembuskan napas. Jam empat
kurang lima menit.
“Shofia!”
“Mm…” Jawab Shofia sembari menoleh dengan senyum.
“Baca surat apa kamu barusan? Lama sekali. Kakiku sampe
pegal, terasa mau jatuh aku menunggumu untuk rukuk. Huh,
apalagi ketika rukuk. Hampir saja aku tersungkur kalau kamu
menambah durasinya. Huh… lama sekali, dak kuat aku kalau
disuruh shalat lagi.” Celoteh Tika sambil menggerutu.
Shofia hanya tersenyum tipis mendengar keluh temannya.
“Surat an-Nisa’ dan al-Kahfi.” Jawabnya, yang tentu saja
membuat Tika tercengang kaget.
“Memangnya kamu hafal?”
“Shofia mengangkat alisnya serta mengangguk kaku.
“Wah. Kamu memang hebat, Shof.” Tika memandang mata
Shofia lalu bertanya: “Apa kamu hafal al-Quran?”
Shofia menggeleng lugu sembari berkata: “Belum. Tapi itu
sudah masuk dalam daftar cita-citaku?”
“Dua jempol untukmu. Nge-like banget. Hmm…” Tika
melirikkan bola matanya, seakan berfikir sesuatu. “Tunggu dulu!
Bukankah cita-citamu dulu ingin mengubah dan memperbaiki
Indonesia?”
“Iya.” Jawab Shofia mantap.
“Tapi, Shof. Perempuan itu kan! Tidak boleh jadi pemimpin.”

74
“Siapa yang bilang mengubah negeri itu harus menjadi
pemimpin?” Shofia menghirup napas dalam lalu melanjutkan. “Kita,
perempuan, tidak perlu bekerja di depan untuk memperbaiki
negeri, tidak perlu bergulat dalam dunia politik, tidak perlu
menduduki jabatan-jabatan tinggi. Kita cukup bekerja di belakang
layar, kita cukup beraksi di balik tirai. Menemani suami,
melayaninya, memotivasinya, menguatkannya, menjadi surga
baginya, menjadi tempat kembali setelah suami kita membakar
keringat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh ummul
mukminin,Sayyidatuna Khodijah. Selalu setia menemani Rosulullah
dalam setiap duka dan duka.”
“Iya, kalau kamu mendapatkan suami yang paham agama dan
peduli Negara. Seumpamanya kamu nanti mendapat suami
seperti…” Tika sengaja menahan ucapannya, agar Shofia penasaran
dan menebak-nebak dalam hati.
Tentu saja Shofia tersenyum tersipu, dia sudah mengerti siapa
yang dimaksud, namun dia masih menunggu Tika mengatakannya.
“…mas Abdullah.”
“Mas Abdullah, siapa?” Shofia pura-pura tidak tahu.
“Abdullah Khoirul Anam.”
“Apa-apaan sih kamu ini.” Shofia menunduk menyembunyikan
senyum.
“Kalau dia kan…” Tika diam sejenak untuk menyusun kata yang
tepat. “… ilmu agamanya sih, tidak diragukan lagi. Tapi dia
orangnya anti politik. Seandainya dia jadi suami kamu, apa dia mau
ya, terjun kedunia kenegaraan?”
“Kamu bicara apa?” Ujar Shofia berusaha keluar dari
pembicaraan itu. “Apa kamu lupa janji al-Quran?” orang yang baik
akan dipertemukan dengan orang yang baik pula. Dan jika aku
sekarang berusaha menjadi orang yang berguna bagi agama dan
bangsa. Ya, Insyaallah. Allah akan menyiapkan orang yang sama
denganku.”

75
“Hmz… iya, iya.” Tika memandang Shofia dengan senyuman
aneh: “Mungkin saja Allah akan mengubah mas Abdullah seperti
yang kamu mau.”
“Amin.” Jawab Ulfa yang tiba-tiba muncul dari belakang Shofia,
lalu ikut bergabung bersama mereka.
“Shofia menunduk tersipu malu. Namun Tika dan Ulfa masih
bisa melihat senyuman merekah di bibirnya yang tampak pucat.
Mereka tidak curiga, karena sudah biasa melihat bibir Shofia yang
putih pasi begitu. Kalaupun ditanya kenapa, pasti jawabannya, baik-
baik saja.
Tiba-tiba…
“Shofia, kamu kenapa?” Tanya Tika khawatir.
“Hidungmu berdarah!” Sambung Ulfa yang juga takut terjadi
sesuatu pada Shofia.
“Hh…” Shofia tampak bingung. Sepertinya dia masih ingin
menyembunyikan penyakitnya itu. Dia segera mengambil tisu di
bawah sejadahnya. Dia mengusapnya hingga tisu itu berubah
menjadi merah tubuhnya menolak, namun darah itu tetap mengalir.
Dia mencoba bangkit, namun keinginannya. Sebenarnya tadi Shofia
sudah mengerahkan seluruh kemampuannya berjalan ke kamar
mandi untuk berwudlu. Sehingga dia tetap menjalankan
rutinitasnya, sholat malam. Tadi dia melangkah tertatih sembari
berpegangan pada tembok atau apapun yang bisa dijadikan
tumpuan. Dan sekarang dia sudah tidak bisa untuk sekedar berdiri.
Tika dan Ulfa memegang lengan Shofia untuk membantunya
berdiri. Hampir semua santri sudah naik ke masjid. Nia yang baru
menapakkan kakinya di tangga masjid, kaget serta diselimuti rasa
khawatir melihat sahabatnya, Shofia, dalam keadaan seperti itu.
Diapun berlari mendekat untuk ikut serta membantu Shofia. Tika,
Ulfa dan Nia ingin mengantarnya ke kamar, tapi Shofia menolak.
Dia memohon kepada mereka agar diantar ke kamar mandi.
Mereka tidak bisa memaksa Shofia. Jadi mereka menuruti saja apa
kemauannya.

76
Di kamar mandi Shofia tak hanya membersihkan darah itu, ia
juga memperbarui wudlunya. Lantas saja hal itu membuat Tika,
Ulfa juga Nia kagum padanya, mereka menaruh hormat pada
sahabatnya yang satu itu.
Setelah selesai, Shofia dibantu teman-temannya kembali ke
masjid. Di tangga masjid ada Nuri dan Wilda yang membantu
mengangkatnya menaiki masjid.
“Sudahlah Shofia, kamu istirahat saja.” Ujar Nuri mencoba
membujuk.
“Apa perlu aku ke pengurus agar memberitahu orang tuamu
sekarang.” Wilda menawarkan.
“Besok saja.” Jawab Shofia lirih menampakkan senyuman.
Seperti biasa, Shofia dan sahabatnya selalu menempati shof
pertama. Dan tentu kejadian tersebut menjadi tumpu pandangan
dari semua pasang mata yang ada di masjid itu. Sebagian dari
mereka ada yang saling memandang dan bertanya-tanya. Dan ada
yang bertanya langsung pada salah seorang dari kelima
sahabatnya. Namun tak ada yang berani bertanya langsung pada
Shofia karena enggan.
“Lepaskan, aku sudah bisa berdiri.” Ujar Shofia lembut.
“Tapi, Shof, kamu akan terjatuh.” Kata Tika yang kelopak
matanya mulai basah oleh selaput bening.
“Tidak, Insyaallah.” Jawab Shofia dengan senyuman yang
indah. Tidak pernah terlihat dari rona wajah Shofia ia tersenyum
terpaksa. Semua senyuman tampak bercahaya dari relung hatinya.
Dan kali ini senyumnya lebih bercahaya dari yang biasa.
Perlahan mereka melepaskan tangannya. Sedangkan Shofia
memulai takbir sholat fajar. Sekali lagi mereka dibuat tercengang,
Shofia mampu berdiri dan Sholat seperti biasa. Namun Tika dan
Shofia masih berdiri disamping Shofia,takut dia akan terjatuh. Baru
ketika Shofia rukuk Tika dan Ulfa meninggalkannya untuk shola0t
sendiri.

77
Ketika Shofia selesai salam, Tika, Ulfa dan Nia duduk di
sampingnya. Nuri dan Wilda duduk di belakang Shofia, mereka
ingin bertanya, sebenarnya Shofia sakit apa? Sembari menunggu
iqomah.
“Maafkan aku, aku sudah banyak salah pada kalian.” Ucap
Shofia sebelum mereka sempat bertanya.
Mereka hanya menggeleng, sebenarnya ingin berkata: “Tidak
Shofia, tidak. Kamu adalah sahabat yang paling baik di antara
kami.” Namun kata itu tercekat di tenggorokan mereka.
“Maafkan aku sahabat. Aku telah merepotkan kalian, aku
hanya bisa membebani kalian.” Lanjut Shofia dengan nada serak.
“Tidak, kami tidak pernah merasa terbebani.” Namun kata itu
tidak terlontar dari mulut mereka. Lidah mereka terasa kelu, bibir
mereka membeku. Sedangkan air mata mereka mulai berjatuhan.
Hanya Shofia yang tetap tersenyum, ia tak ingin membuat sahabat-
sahabatnya bersedih.
“Kenapa kamu tidak pulang saja, Shof? Kamu bisa periksa ke
dokter.” Ucap Wilda memberi saran.
“Iya Shof. Aku yang akan ke pengurus untuk menelfon orang
tuamu.” Sahut Nia menawarkan diri.
“Iya, aku akan ke pengurus sekarang.” Kata Nuri yang segera
berdiri, namun Shofia menahan tangannya.
“Tidak perlu. Iya. Bosok, insyaallah aku akan pulang.” Ucap
Shofia lirih.
Jawaban itu membuat wajah sahabat-sahabatnya berubah.
Mereka takut salah bicara.
“Bukan, Shof. Bukan begitu, kami tidak bermaksud
mengusirmu, adamu di sini tidak merepotkan kami, hanya saja kami
menghawatirkan kondisimu.” Jawab Tika mewakili yang lain.
“Iya, iya, aku mengerti. Insyaallah besok aku akan pulang.”
Shofia kembali tersenyum. Mereka ikut tersenyum walau
bercucuran air mata.

78
Iqomah terdengar, semua santri berdiri untuk sholat Shubuh
berjemaah. Tika menyarankan agar Shofia Sholat duduk saja. Tapi
Shofia menolak.
“Jika aku masih bisa berdiri kenapa aku harus duduk untuk
menghadap Allah.”
Merekapun menuruti keinginannya, lalu segera membantunya
berdiri. Neng Zainab datang dengan mukenah putih tanpa motif.
Semua santri menunduk takzim. Biasanya kalau neng Zainab yang
jadi imam, rakaat pertama membaca surah as-Sajadah, rokaat
kedua membaca surah al-Insan. Dan hari jumat itupun begitu, tidak
berbeda dengan sebelumnya.
Air mata Tika tiba-tiba meleleh, diikuti suara sedu-sedan dari
bibirnya. Dia mendengar desah Shofia. “Allah, Allah, Allah.” Seakan
ia tidak mampu lagi untuk tegak dari rukuk. Namun Shofia tetap
memaksa walau sangat lambat, membuatnya tertinggal dari imam.
Ketika sujud neng Zainab lama sekali, hingga Shofia menututi untuk
sujud dan tumakninah bersama imam.
Beberapa detik kemudian, neng Zainab duduk. Namun Shofia
tetap dalam sujud. Lalu imam kembali sujud dan berdiri untuk
rakaat kedua. Sedangkan Shofia tetap dalam sujudnya yang
pertama.
Tika menumpahkan air matanya. Dia membungkam, mencoba
menahan isak tangis yang hendak meledak. Begitu pula dangan
Ulfa dan Nia di samping kiri. Juga Nuri dan Wilda yang ada di shof
kedua, tepat di belakang Shofia. Beberapa santri yang melihat
Shofia tetap bersujud matanya berkaca-kaca, walau mereka tidak
kenal langsung, tapi mereka mengenal kepribadiannya.
Namun akhirnya Tika tak kuasa lagi menahan isak tangis. Ia
duduk dan mengangkat kepala sahabatnya. Dia memeluk erat
sahabatnya, kemudian tangisnya pecah.
Sedangkan neng Zainab tidak melanjutkan membaca surat al-
Insan. Beliau langsung rukuk serta mempercepat sholat. Mungkin
beliau mendengar isak tangis Tika.

79
“Shofia?” Lirih Tika ditelinganya. “Shof, bangun.” Tidak ada
jawaban dari bibir Shofia yang putih pucat itu. Bibirnya mengatup
seakan masih ingin tersenyum. Metanya terpejam, namun tetap
indah dengan warna hitam dari celak yang biasa ia pakai. Tika
menatap dalam wajah sahabatnya. Walaupun pucat, namun masih
terlihat anggun dan bercahaya dari wajah lugunya.
****
Begitulah istriku mengakhiri cerita tentang sahabatnya. Ya,
istriku, Atiqoh Naila Maghfiroh, atau di pesantren sahabat-
sahabatnya biasa memanggil Tika. Air matanya menetes di
tanganku yang memeluknya dari belakang. Dari tadi dia bercerita di
pangkuanku.
“Mas Abdullah!” Dia memanggil sembari menoleh memandang
wajahku.
“Apa?” Jawabku lembut menatap matanya yang basah.
“Aku punya sesuatu untukmu.”
“Apa itu?”
“Dia tidak menjawab, dia bangkit dan mengambil sesuatu di
lemari. Dia mendekap sebuah buku, dan melangkah kearahku.
Sembari menyeka air matanya, menyerahkan sebuah buku biru
muda, bertuliskan ‘Shofia Khoirunnisa.’
“Bisakah kamu mewujudkan cita-citanya?” Ujar istriku.
Aku agak ragu untuk mengambilnya. Namun ketika teringat
cerita tentang Shofia, dengan berat hati aku menyanggupi.
Aku jadi teringat pesan kyai dulu. Apa benar Shofia adalah
orang yang didawuhkan kyai itu.
“Alhamdulillah, saya melihat ada dua santri banat (putri) yang
sudah sampai di pintu surga.” Dawuh kyai waktu itu, kalau tidak
salah ketika Shofia baru masuk pesantren. Dan dawuhnya kyai itu
seakan terbukti enam tahun kemudian. Ketika Shofia kelas tiga
ulya. Dia meninggal dalam keadaan bersujud bertepatan shubuh
hari jumat.

80
Subhanallah, aku baru mendengar cerita yang sebenarnya
sekarang, dari istriku, Atiqoh, sahabat terdekatnya.
Namun aku masih penasaran, siapa satu lagi yang dimaksudkan
oleh kyai…?
Bersambung...
5 - 15 Rajab1438
6 – 12 April 2017

81
Surga di Gerbang
Pesantren
Diambang Pintu Surga #2
HARI duka. Hampir semua penghuni pesantren di pagi itu
bercucuran air mata. Pesantren telah kehilangan salah satu santri
terbaiknya. Seorang santri yang di kabarkan oleh kiai telah sampai
di pintu surga, sejak pertama kali menginjakkan kakinya di
pesantren ini enam tahun yang lalu.
Dan semuanya menjadi jelas saat hari kepergiannya. Tanda-
tanda itu tampak begitu terang, kalau memang dialah yang
dimaksud kiai itu. Ia meninggal pada Subuh, hari Jumat. Lebih
tepatnya, ia meninggal ketika bersujud. Subhanallah. Semuanya
pasti mengharapkan kematian yang seperti itu, husnul khotimah.
Orang yang menyalati tak terhitung, bahkan masjid tak cukup
menampung jamaah yang ingin shalat. Terpaksa shalat jenazah
82
dilakukan dua kali, bergantian. Di kali kedua lagi-lagi masjid penuh,
hingga harus ada yang berdiri di tangga masjid.
Ia dimakamkan sehabis shalat Jumat, di selatannya pesarean.
“Sudahlah Tika, kamu tidak perlu larut dalam kesedihan.” Neng
Zainab memeluk bahu Tika, mencoba menenangkannya.
Dari tadi pagi tika tak henti-hentinya menangis. Seakan ia tak
percaya, sahabat karibnya telah tiada. Ia telah mencoba untuk
menahan isaknya, tapi… memori indah tentang sahabatnya itu,
tiba-tiba hadir. Ia memejamkan mata begitu erat, mencoba
menahan selaput bening yang hendak tumpah. Namun, sungguh
perih ia menerima kenyataan, bagai sebilah pisau menusuk ulu hati.
Hingga, tak kuasa lagi ia menahan. Kembali menangis
sesenggukan.
“Disana Shofia telah nyaman berada di sisi-Nya.” Tutur Neng
Zainab lembut.
“Tapi…” Suara Tika terhenti, ia tak mampu melanjutkan. Ia tak
dapat membayang, kenangan indah itu benar-benar sirna. Lenyap.
Tak bisa lagi ia mengulang. Ia tak bisa mendengar cerita indah
Shofia yang selalu memberikannya energi, tuk selalu berbuat baik.
Tak bisa lagi meminta nasehat pada Shofia, yang baginya sangat
memotivasi. Ia tak dapat lagi melihat senyum indah bersahaja itu.
Satu hal yang ingin ia pertanyakan, namun tak kuasa diucapkannya.
Kenapa orang sebaik Shofia harus meninggal di usia muda.
“Tika!” Neng Zainab mengarahkan wajah Tika yang menunduk,
ke arah dirinya. Keduanga saling menatap dengan mata sembab.
“Kamu harus bisa menguasi diri, Tika. Bersabarlah. Karena aku
yakin, Shofia disana tak ingin melihatmu menangis. kamu harus
bisa memandang kejadian ini dari sudut pandang yang berbeda. Iya,
bagi kita, kita ditinggal pergi. Kita bersedih dengan itu. Tapi, bagi
Shofia, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan baginya.
Hari pertemuan dengan tuhannya.”
Tika tertunduk lemas. Dan perlahan, ia mulai paham. Ya, dia
harus bisa menggambarkannya dari sudut pandang Shofia.

83
Seharusnya ia juga berbahagia, menyaksikan temannya, menemui
Dzat yang dirindukan sahabatnya itu. Allah. Benar, Shofia pernah
menceritakan hal itu. Shofia bilang bahwa sudah sangat merindu
dan ingin sekali untuk menjumpai Sang Pencipta. Saat
mendengarnya dulu langsung dari mulut Shofia, Tika sempat
merinding.
Tika masih mencoba tenang. Benar-benar ia paksakan untuk
menata hati. Berat sekali, perih, ngilu, dan benar-benar sulit untuk
bisa berdamai dengan kenyataan itu. Dan, Tika pingsan lagi.
Neng Zainab panik melihat tubuh Tika yang tiba-tiba ambruk.
Mencoba menahan, agar Tika tidak tersungkur ke lantai. Lalu
merebahkan kembali tubuh lemas itu ke sofa. Neng Zainab
memanggil dokter yang tadi, memerintahkanya agar Tika diperiksa
lagi. Ia tak tahu lagi bagaimana menjelaskannya pada Tika. Dan
mungkin hanya waktu yang mampu memulihkan batin Tika.
Shofia, kami di sini masih membutuhkanmu. Neng Zainab
membatin. Selintas teringat kembali wajah Shofia yang tersenyum
lugu. Tak dapat disangkal, ia juga sangat kehilangan. Meski tampak
bisa menguasai diri, di hatinya terdapat segores luka yang sakit
tiada tara. Tetesan sebening embun tiba-tiba meluncur begitu saja
dari kelopak indahnya.
Neng Zainab. Usianya masih muda. dan masih duduk di kelas
tiga Ulya, sekelas dengan Tika juga Shofia. Sebenarnya ialah yang
paling muda, mungkin usianya sepantaran dengan santri kelas satu
Ulya. Namun walau begitu, ia sudah biasa menjadi imam shalat.
Maklum, di putri dari pengasuh pesantren ini. Dengan kecerdasan
dan akhlahnya, ia terlihat lebih dewasa dari teman-temannya.
Neng Zainab melangkah keluar. Namun ketika sampai di pintu,
ia melihat beberapa tamu yang tengah menuggu. Ia menyalami lalu
mempersilahkan masuk dan duduk sebentar, sementara ia pamit
hendak memanggil uminya. Mungkin di antara tamu itu santri baru.
Terlihat dari wajah yang sepantaran dirinya.

84
Tapi ada yang aneh dengan gadis itu, penampilannya tidak
mencerminkan kesantrian. Ia memakai celana dan baju letat.
Memakai kerudung yang hanya diselendangkan di kepala.
Rambutnya terurai kedepan menyentuh alis.
Beberapa saat kemudian, Nyai Fatimah keluar. Tiga tamu
perempuan itu bergegas berdiri, nyabis pada beliau. Hanya gadis
tadi yang tergagap mengikuti. Jelas sekali ia tak terbiasa dengan hal
ini.
Di dapur, Neng Zainab dibantu Ulfa membuat teh, dan
menyiapkan makan. Sejurus kemudian Ulfa keluar membawa teh,
menyuguhkannya pada para tamu. Ia jengkel sekali melihat gadis
tadi, sepertinya ia tidak pernah diajari sopan santun. Matanya
celingukan melihat foto-foto ulama yang dipajang di beberapa
bagian dinding. Padahal di hadapannya ada Nyai Fatimah.
Ulfa kembali kedapur, bergegas hendak bertanya pada Neng
Zainab.
“Neng, apa gadis itu mau nyantri di sini?”
“Aku juga tidak tahu.” Neng Zainab menggeleng, tangannya
mengaduk nasi yang sudah siap.
“Neng, masak ke pesantren pakaiannya begituan! Sepertinya
dia tidak punya sopan santun, Neng? Dia..”
“Husss… jangan ngomong begitu tidak baik berprasangka
buruk.” Neng Zainab memotong kalimat Ulfa.
“Tapi nampaknya memang begitu, Neng.” Ulfa Masih saja
menjawab. Memang Ulfa, Tika dan beberapa teman lainnya terlihat
akrab dengan Neng Zainab. Dan kemauan Neng Zainab juga begitu,
tidak mau di agungkan. Ingin berteman seperti yang lainnya. Itu
semua kerena kerendahan hatinya. Tapi tetap, teman-temannya
takzim. Karena itu adab seorang santri terhadap putri kiai.
Dari pintu dapur, Neng Zainab melihat Tika sudah siuman,
tangannya mencoba menahan pusing di kepala. Neng Zainab
menghampiri, tak menjawab perkataan Ulfa Barusan.

85
“Tika! Sebaiknya kamu makan dulu, karena sepertinya kamu
belum makan dari pagi.” Neng Zainab duduk di sebelah Tika.
Tika masih memegang kepalanya, memulihkan kesadaran. Ia
tak menjawab.
Neng Zainab kembali berdiri dan menuju dapur, tak perlu
menunggu jawaban dari Tika. Semenit kemudian ia kembali dengan
membawa sepiring nasi dan lauk pauknya. (Sungguh. Neng Zainab
itu benar-benar orang yang rendah hati. Ia tidak gengsi untuk
melakukan hal itu).
“Apa masih perlu aku suapi?”
Tika menggeleng. “Tidak perlu, Saya bisa makan sendiri,
Neng.” Tentu Tika yang malu jika harus di suapi oleh putri kiai.
Makan di dhalem saja seharusnya ia malu, namun demi mengisi
kekosongan perutnya, dan demi Neng Zainab yang telah
mengambilkannya, tak enak jika ditolak. Takut melukai perasaan
Neng, yang sangat ditakziminya itu.
Neng Zainab menyerahkan sepiring nasi, lalu kembali ke dapur,
merapikan dan menyiapkan makan untuk tamu.
Setelah dirasa semuanya siap, Neng Zainab ke ruang tamu
untuk bilang sama uminya, baru uminyalah yang mempersilahkan
semua tamu untuk makan.
“Zainab!” Kata Nyai Fatimah pada putrinya sembari memberi
isyarat, agar putrinya duduk di sebelahnya sebentar. Mungkin ada
hal penting yang mau dibicarakan.
“Baju-baju milik Shofia masih ada kan?” Tanya Nyai Fatimah.
Neng Zainab mengangguk.
“Umi minta tolong, bisa kamu ambilkan satu setel pakaian
Shofia, lengkap dengan kerudungnya!”
“Memangnya untuk apa umi?
“Itu gadis yang barusan katanya mau mondok di sini. Dia tidak
punya pakaian yang benar-benar muslimah. Baju-baju miliknya
semuanya ketat, kamu tahu sendiri kan tadi baju yang ia kenakan.”

86
Sebenarnya Neng Zainab hendak bertanya panjang, namun
urung. Ia bergegas ke kamar Shofia, tanpa banyak basa-basi.
Di perjalanan ia masih berpikir tentang gadis tadi, mau mondok
kok tidak punya baju muslimah. Kenapa baru mau mondok sekarang?
Kan pulangan sudah tinggal tiga bulan lagi. Apa dia pindahan? Dan
kenapa pula uminya memintanya untuk mengambil bajunya Shofia
untuk gadis itu. Memang dia itu siapa? Dari penampilannya saja…
“Astaghfirullah.” Ucapanya lirih, tersadar dari prasangka
buruknya. Neng Zainab mempercepat langkah menuju kamar D4.
Disana ia minta bantuan Nuri untuk memilihkannya. Setelah baju,
rok panjang dan kerudung lengkap, ia pamit langsung kembali ke
dhalem. Ia perhatikan pakaian di tangannya, semuanya berwarna
biru laut berpadu dengan biru langit. Ia kembali teringat Shofia, ia
kan memang suka warna biru. Tiba-tiba ia teringat kata-kata dari
Shofia dulu.
“Biru itu keberanian, Neng. Semakin biru lautan, itu pertanda
semakin dalam. Maksudnya semakin dalam ilmu pengetahuannya.
Biru juga bisa diibaratkan langit, yang tinggi tanpa penyanggah.
Neng! Apa neng tahu bedanya hitam dan putih?”
Neng Zainab berpikir sejenak. “Mmm... Apa ya? warna
mungkin!”
“Hitam dan putih kan memang warna, Neng! Maksud saya
maksud lain dari hal itu!”
“Lalu apa menurutmu?” Neng Zainab balik tanya.
“Saat dikaitkan pada santri, putih itu tanda bersih dan suci.
Sedangkan hitam itu pertanda kotor dan dosa. Sebagaimana doa
dalam wudhu saat membasuh wajah. Allahummah bayyid wajhi bi
nurika, wa la tusawwid wajhi bi dzulumatika. Kurang lebih seperti itu
ringkas doanya.”
“Lalu, kalau biru dan putih, apa Neng tahu bedanya?”
Neng Zainab berpikir memeras otak, tapi tidak kunjung ketemu
jawabannya.

87
Dan sayang sekali ia tidak sempat tahu apa jawaban dari
Shofia. Saat itu bel berdenting, jadi mereka harus segera masuk
kelas. Neng Zainab sebenarnya mau tanya pada malam harinya,
tapi lupa. Begitu juga keesokan harinya, lupa lagi. Hingga sekarang,
sampai ia tidak bisa bertanya lagi, karena Shofia telah pergi untuk
selamanya. Ia masih penasaran apa jawaban dari pertanyaan itu.
Setelah menyerahkan baju itu pada uminya, Neng Zainab
menuju ruang tengah, untuk memastikan keadaan Tika.
Keadaan Tika tampak sangat memprihatinkan, wajahnya
pucat, bibirnya kering. Nasi yang diberikan Neng Zainab tadi belum
habis, hanya dimakan beberapa sendok saja. Ia kehilangan selera
makan, meski sebenarnya perutnya keroncongan. Mungkin ia
sangat tertekan kehilangan sahabat yang telah enam tahun
bersamanya. Ia menatap sesuatu, namun jika diamati lebi lanjut,
sepertinya tatapannya kosong.
“Semoga Tika, baik-baik saja.” Batin Neng Zainab ketika
sampai di pintu ruangan.
“Tika!” Neng Zainab duduk di sebelahya. Yang dipanggil tak
bergeming. Satu kali, dua kali. “Atiqoh” untuk yang ketiga kali Neng
Zainab memanggilnya dengan namanya yang lebih lengkap.
Tika menoleh. Hanya sepintas, lalu kembali menunduk. Air
matanya tumpah lagi.
“Sudahlah, Tik! Tidak perlu dipikirkan terus, sebaiknya kamu
sekarang berwudhu’ lalu shalat. Kamu belum shalat Dhuhur, kan!”
Hari ini, sulit sekali menemukan santri yang seperti Shofia.
Walaupun tubuhnya menggigil, ia tetap bangun untuk sholat
malam, walaupun hujan, biasanya Shofia akan tetap bangun,
berlarian menuju kolam, berwudhu cepat-cepat, lalu ke masjid.
Padahal santri yang lain, kalau hujan-hujan begini, hanya bangun
untuk membetulkan selimut. Di saat sakitnyapun Shofia masih
tetap menjalankan keistiqomahannya.
Itulah yang menggerakkan Tika untuk segera shalat.
Semangatnya berkobar. Ia ingin seperti Shofia.

88
***
Sehabis shalat, ia menuju kamar. Betapa kagetnya melihat
Shofia tengah mengecek lemari.
“Shofia!” Spontan dari mulutnya.
Gadis yang dipanggil Shofia tadi menoleh.
Tika sempat tersentak kaget, perempuan itu bukan Shofia.
Matanya lentik, bibirnya merah delima.
“Kamu siapa?” Tanya Tika. Yang ditanya bediri, malah menatap
heran tidak mengerti.
“Dia Shofia, santri baru di sini.” Neng Zainab yang menjawab,
“Umi yang meminta agar dia, ditempatkan di sini, menggantikan
Shofia.”
“Shofia!” Tika bertanya tidak percaya.
“Ya, dia namanya juga Shofia, Shofiatul Farihah.”
Shofia menjulurkan tangan, ingin berkenalan dengan Tika.
Namun sepertinya Tika masih bingung, hanya menjabat tangan
Shofia tanpa menyebutkan nama. Dingin.
“Nama mbak siapa?” Tanya shofia karena orang di depannya
tidak kunjung memperkenalkan diri.
“Nama?” Lah, Tika malah bingung. Mungkin dibenaknya ‘mbak’
itu orang lain atau memang dia kurang fokus.
“Iya. Nama mbak siapa?” Shofia bertanya lagi.
“Tika.” Neng Zainab yang menjawab.
“Atiqoh Naila Maghfiroh.” Tika menambahkan.
*****
Hari berganti, satu minggu terlewati. Kebanyakan santri
berpikir, mungkin Shofia santri baru itu, bisa menggantikan Shofia
yang dulu. Dari segi kecerdasan dan kerajinan. Namun semua
keliru. Jadi salahlah jika ada orang berkata, karakter seseorang
tergatung namanya, karena nama itu adalah doa. Dan nama
mereka sama namun kelakuan mereka sangat berbeda.
Shofia kali ini tidak banyak bergaul dengan yang lain. Ia lebih
banyak melamun sendiri di taman utaranya kelas. Sering telat

89
Shubuh karena kesiangan. Sungguh Shofia kali ini sulit sekali
dibangunin. Padahal, biasanya sehabis Isya, dia langsung tidur,
tidak ikut kegiatan.
Awalnya semua santri memaklumi, mungkin karena satri baru.
Tapi setelah seminggu terlewati, sikapnya tetap seperti itu. Dia
tidak punya teman. Tidak ada santri yang mau berteman
dengannya. Hanya Neng Zainab yang setia mendampinginya,
mengajarinya banyak hal. Mulai dari tata cara berwudhu, shalat dan
membaca al-Quran.
Ya, Shofia benar-benar tidak tahu apa-apa. Katanya di rumah,
dia pernah mengaji, namun hanya sampai Iqro’ 4. Dan itupun dulu,
beberapa tahun yang lalu. Dan sekarang lupa lagi, jadi harus mulai
dari awal.
Sebenarnya Neng Zainab kesal juga saat harus mengajari dan
menemaninya. Tapi ini perintah uminya, ia tak bisa menolak.
Namun lambat laun Neng Zainab mulai menikmati pengajarannya.
Dan tak pernah terduga sebelumnya, sebab pertemanan itu, banyak
santri yang berkurang ketakzimannya pada Neng Zainab. Lebih-
lebih saat tersebar kabar, bahwa Shofia itu (maaf) tidak perawan
lagi.
Neng Zainab pernah bilang pada uminya tentang hal itu,
sembari berharap, Shofia akan dikeluarkan dari pesantren. Lebih
mengejutkan lagi, ternyata uminya sudah lahu lebih dulu, dan
memaksa Zainab untuk terus mengajari dan mau menjadi
temannya. Setelah seminggu tiga hari, barulah Neng Zainab bisa
menikmati pertemanannya dengan Shofia. Entah karena apa.
Tapi sejak saat itulah Neng Zainab juga dijauhi teman-
temannya. Neng Zainab bahkan pernah meninggalkan kelas (bolos
sekolah) karena Shofia. Dan semakin jarang mengimami shalat.
Bahkan Neng Zainab sering terlihat shalat berdua dengan Shofia,
setelah yang lain selesai berjamaah.
Semua santri tak habis pikir, kok bisa seorang Neng,
terpengaruh oleh anak baru itu. Mereka berkesimpulan, ‘jika

90
kebaikan dan keburukan dipertemukan, maka sedikit sekali
kemungkinan yang buruk akan terpengaruh baik. Sedangkan yang
lumrah itu sebaliknya.’
Neng Zainabpun semakin rendah derajatnya di mata para
santri. Dan bisa-bisanya ada ustazah yang mengibaratkan Neng
Zainab, saat menjelaskan pelajaran. Dengan santai ustazah itu
berkata: “Akhlak itu bukan dari keturunan dan nasab, seorang Neng
pun bisa terjerumus kalau berteman dengan orang yang salah.
Makanya hati-hati dalam pergaulan.”
Ya, tapi begitulah, akhir-akhir ini Neng Zainab mulai menikmati
kedekatannya dengan santri baru itu, sampai suatu saat kejadian
besar itu benar-benar terungkap.
Desas-desus bahwa Shofia, santri yang datang dengan baju
ketat itu tidak perawan lagi, memang benar adanya. Bahkan bukan
hanya sekali ia melakukan hal nista itu, berulang kali sampai tak
terhitung dengan jari. Tika yang tak suka sejak pertama bertemu,
karena santri baru itu mengambil semua pakaian milik Shofia
sahabatnya yang dulu, sekarang ia berdesis merasa akan menang.
Ia menemukan alasan kuat untuk memulangkan santri baru itu. Ya,
dari pagi Shofia tidak bangun untuk mengikuti kegiatan. Terkulai
lemah di kamar.
Di kulitnya timbul bintik-bintik merah mengerikan. Tubuhnya
panas namun orangnya menggigil. Setelah di desak oleh Tika
dirinya sakit apa, akhirnya ia mengakui.
“Aku terkena HIV.” Jawabnya dengan mata berlinang.
“Astaghfirullah.” Tika tiba-tiba bangkit menjauh. Semua tahu
penyakit itu adalah aib bagi siapapun penderitanya. Iapun bergegas
keluar, berlari mencari Neng Zainab. Hendak memberitahu kabar
yang baru didengarnya. Jika itu dibiarkan, takut menular pada yang
lain. Tahu sendiri bagaimana konsekwensi dari penderita penyakit
itu, mati mengenaskan dan di jauhi semua orang.
Dan pada hari itu juga Shofia dipulangkan. Neng Zainab ikut
mengantar. Itu yang terbaik, agar tidak menular pada yang lain.

91
Hanya tiga hari sejak hari itu, datang kabar bahwa Shofia telah
meninggal. Opini yang beredar di kalangan santripun bermacam-
macam.
“Begitulah akibatnya bagi seorang pezina.”
“Untuk itu, jauhi zina, jauhi zina, jauhi zina.” Ustazah yang dulu
ikut berkomentar.
“Penyakit HIV itu apa, mbak?” Disalah satu kamar ada yang
polos bertanya. Ia benar-benar tidak tahu penyakit itu.
“HIV itu, adalah penyakit yang menular karena seks bebas.”
Jawab yang lebih senior.
Begitulah yang berkicau dari mulut kemulut santri. Tidak ada
satupun santri yang merasa kehilangan, berbeda sekali dengan
Shofia yang dulu, yang sepeninggalnya, banyak orang melayat,
bahkan banyak yang tidak diketahui identitasnya. Yang kehilangan
saat itu hanya Neng Zainab. Ya, hanya dia sendiri yang menangis
sesenggukan.
***
“Jadi sebenarnya siapa santri kedua yang baunya telah tericum
di surga?” Tanyaku pada istriku Atiqoh.
Setelah bercerita panjang lebar, dia belum menyimpulkan siapa
sebenarnya santri yang telah sampai di pintu surga. Atiqoh diam, air
matanya meleleh.
“Apa dia adalah Neng Zainab, putri dari kiai sendiri?”
Atiqoh merebahkan kepalanya di pangkuanku, airmatanya
semakin deras meleleh.
Aku melihat arloji. Sudah setengah dua.
“Sebenarnya, santri kedua yang baunya telah tercium di surga
itu adalah Shofia. Shofiatul Farihah.”
Aku kaget mendengar jawabannya, bagaimana bisa.
“Baiklah, aku akan ceritakan satu hal, yang belum kuceritakan
pada Mas Abdullah. Cerita selanjutnya ini sebenarnya adalah cerita
Neng Zainab. Beliau bercerita sambil menangis. Saat itu, di taman

92
itu, di pesatren, kami ber-lima mendengar cerita dari Neng Zainab
dengan keharuan luar biasa.”
“Berlima? Siapa?” Aku menyela, bertanya untuk memastikan.
“Aku, Ulfa, Nuri, Wilda dan Nia.”
“Sahabat dekat dari…”
“Iya, mas, kami sahabat Shofia Khoirunnisa.”
Ia terlentang menghadapkan wajahnya ke arahku. Kelopak
matanya basah.
“Hari itu, kami belajar satu hal yang sangat berarti. Hal yang tak
pernah kami sadari. Dan mungkin hal inilah yang menjadi
penghalang, menjadi tabir, bagi seorang santri ketika ingin sampai
pada ridha ilahi. Dan hari itu kami memahami pertanyaan Shofia
pada Neng Zainab. Hari itu kami mendapat jawaban ‘apa bedanya
biru dan putih?”
Bersambung…
Malam Jumat, 9 Jumadil Ula 1440
24 Januari 2019

93
Pergi
[Bagian 1]
MALAM ini, malam spesial baginya. Malam penentuan kejuaraan
lomba hadis. Menghafal satu kitab hadis di sertai perawinya. Ada
tiga level dalam perlombaan ini. Pertama, melanjutkan hadis yang
terpotong. Kedua, menyesuaikan perawi dengan hadis yang sudah
di acak. Ketiga, melafazkan hadis yang hanya di sebut perawinya
oleh juri. Ya, sulit memang. Namun baginya, mempelajari satu kitab
Mukhtaarul Ahaadiits tidak sulit. Terasa menyenangkan, karena
selalu ada orang yang setia mengajarinya, walaupun hanya
menggunakan telephone genggam.
Pembawa acara mulai membacakan nama sang juara dari
urutan ketiga. Sorak sorai membumbung di langit-langit aula. Di
luar hujan menderas, angin bertiup kencang. Namun di sini terasa
hangat oleh ratusan penonton yang menunggu tiga nama
berprestasi itu. 127 peserta masih gelisah, mengharap namanya
94
akan di panggil. Juara ketiga sudah menaiki panggung aula yang
tingginya hanya lima tangga kecil. Menyisakan dua tempat, untuk
dua orang.
Juara duapun dipanggil, semua orang menoleh ke belakang. Si
juara baru datang, tubuhnya sedikit basah terkena tampias hujan.
Namun siapa menduga ? gadis berkerudung cokelat yang duduk di
kursi paling depan itu adalah orang yang di tunggu-tunggu.
“DIA ADALAH…” Si pembawa acara sengaja menahan suara
lantangnya. “AI…NI…A…U…LIA……..”
Gadis berkerudung cokelat itu mendongak tak percaya.
Segera tepuk tangan penonton membahana menyesaki
ruangan. Aini berdiri, namun ia tak segera melangkah ke panggung.
Tepuk tangan itu serasa hambar. Malah ia menoleh ke penonton,
mencari seseorang yang paling berjasa dalam kemenangannya kali
ini, namun tidak ada. Ia melangkah perlahan berharap orang spesial
itu duduk di pojok atau di kursi paling belakang, atau di manapun
yang penting dalam acara ini. Namun tetap tidak ketemu, sehelai
rambutnyapun tak pernah Nampak dari di mulainya acara. Aini di
persilahkan memberikan sambutan.
Aini tetap bengong, menyapu satu persatu wajah penonton.
Namun orang yang dicarinya tetap tidak ada. Di kursi dekat pintu
sana hanya ada Zaki, sahabat terdekat orang yang berjasa itu. Zaki
baru datang, kaosnya basah terkena hujan. Si pembawa acara
menyikut Aini karena dari tadi belum juga berbicara, penonton
terdiam menunggu kalimat yang akan terlontar dari mulutnya.
Aini tersadar, iapun membuka suara dengan salam.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatu. Saya benar-
benar tidak mengira akan memenangkan lomba ini. Terima kasih
kepada panitia yang sudah memeriahkan lomba tahunan ini.
Terimakasih juga kepada semua peserta yang sudah memberikan
kesempatan emas ini. Assalamu’alaikum.”
Hanya itu !

95
Penonton yang hadir terbelalak tak percaya. Sedikit kecewa,
padahal semuanya ingin mendengar bagaimana Aini bisa meraih
prestasi ini, bagaimana ia berlatih, dan apa motivasinya. Saat
semua terbungkam Aini sudah berlari turun panggung, berlari ke
kursi paling belakang.
Sebenarnya tadi dia melihat Zaki mengenakan jaket dan segera
keluar meninggalkan ruang aula. Karena itu Aini segera mengakhiri
pidatonya. Ada pertanyaan besar di kepalanya yang ingin ia
tanyakan pada Zaki. Kenapa hanya datang sendiri, Alan kemana ?
ya, Alan orang yang dicarinya sejak tadi.
Namun sia-sia saja sampai di pintu. Zaki sudah memacu motor
buntutnya menembus derasnya hujan. Ada letupan kecewa dalam
hati, kenapa di saat acara sepenting ini, Alan tidak datang.
Bukankah Alan sudah memacu semangatnya menghafal hadis.
Bukankah ia sudah berjanji akan datang.
Awas saja, ia nanti akan marah besar pada Alan. Maksudnya
pura-pura marah. Karena ia memang tidak bisa marah beneran
pada Alan. Entah kenapa, itu hanyalah sekedar trik agar Alan
mengemis maaf padanya. Aini tersenyum licik, membayangkan
kata-kata gombal Alan yang selalu dilontarkan untuk sekadar kata
“MAAF”. Ah, Alan selalu mampu membuat Aini senyum tersipu
dengan kata-kata manisnya.
Aini mencoba menghubungi kontak Alan. Namun Hp Alan tidak
aktif. Ia lalu meninggalkan chat untuk Alan. Di manapun dan
kapanpun Alan mengaktifkan Hp-nya pasti chat itu akan nyelonong
masuk dan menyambar Alan, hingga membuatnya merasa
bersalah. Namun kali ini feeling-nya salah. Mungkin Alan tidak akan
mengaktifkan Hp-nya lagi. Entah selamanya atau sementara saja,
semuanya masih dalam tanda tanya takdir.
Aini memasukkan Hp-nya ke dalam saku, dan kembali ke dalam
aula sembari merapikan kerudung.
***

96
Pagi menguap. Dari acara semalam, orang-orang masih
mengantuk. Malas beranjak dari tempat tidur. Tangan Aini meraih
Hp yang tergeletak di atas kasurnya. Sekejap ia terduduk, kaget.
Sembari terus melotot pada layar Hp-nya. Chat darinya masih
belum dibaca oleh Alan, tandanya masih centang satu. Itu artinya
dari semalam Hp Alan belum aktif.
Atau mungkin Alan kehabisan kuota. Aini tersenyum tipis. Alan
kan memang selalu begitu, kuota internetnya selalu cepat habis.
Entahlah dibuat apa oleh Alan. Aini melempar Hp-nya kesembarang
kasur, lalu mengambil handuk.
Hari akan mengejutkan sekali. Saat Aini sadar Alan tidak masuk
sekolah. “Alan kemana?” Lirih hati Aini ketika bel istirahat. Kursi
paling depan yang paling dekat dengan meja guru sejak tadi
kosong. Hanya ada Zaki sendirian. Marah dan dendam yang ia
rencanakan tadi malam, luluh seketika.
Kata-kata yang ia susun untuk membuat Alan mengemis maaf
hilang tiba-tiba. Semuanya disulap menjadi rasa. Rasa cemas,
khawatir. Waktu sangat pandai menyembunyikan Alan. SMS tak
pernah dibalas, Whatsapp-nya tak pernah aktif. Apalagi Facebook-
nya. Yang tertulis 7 Desember, itulah chat messanger terakhir Alan.
‘Dan saat itu pula Alan berhenti online di Facebook, kurang lebih
satu bulan yang lalu’. Hari-hari berikutnyapun begitu, Alan tak
kunjung muncul. Di hari ketiga Aini memberanikan diri mendekati
Zaki, bertanya tentang Alan.
Namun tidak ada titik terang jejak Alan. Zaki terlihat gugup
menjawab pertanyaan Aini. Ia hanya bilang, “tidak tau,” lalu
melangkah pergi. Seolah Alan tak pernah ada di dunia, tak pernah
menjadi teman baik Zaki. Tak menghiraukan Aini yang sudah
sempurna tertunduk menumpahkan selaput bening. Sesal, cemas,
khawatir semua teraduk satu, atau juga ada rindu yang bertabur di
sana. Melebur dalam perasaan cinta yang ia pendam sejauh
kebersamaannya dengan sosok motivator itu.

97
Kenapa tak ada secuil kabarpun tentang keberadaan Alan. Ia
bagaikan lenyap ditelan bumi.
Jika saja ayah Alan bukan tokoh masyarakat, jika saja keluarga
Alan bukan kelurga terpandang. Sungguh, Aini sudah nekat
mendatangi rumah Alan. Namun siapa ia yang berani bertamu ke
rumah orang yang di hormati satu desa, hanya untuk menanyakan
keberadaan putranya, Alan. Apa itu tidak hanya mendatangkan
fitnah, dan menjadi gunjingan orang satu desa.
Mungkin ibunya benar, dirinya bukan siapa-siapa, tidak
sebanding dengan Alan yang memiliki nasab mulia. Teman-
temannya juga benar, Alan itu mewarisi keluhuran dari orang
tuanya, semua temannya segan padanya. Pendiam dan jarang
bergaul dengan yang lain. Kenyataan ini sulit diterima. Menurut
Aini, Alan adalah orang spesial dalam hidupnya. Orang yang
menjadi motivasinya. Dan tiba-tiba ia menghilang.
Bukankah Alan yang bilang sendiri. Dan Alan sudah berjanji
padanya, tidak mungkin Alan yang begitu terhormat mengingkari
janjinya. “Aku tidak pernah memperhitungkan nasab.” SMS Alan
waktu awal-awal mereka merajut hubungan. Kurang lebih lima
tahun yang lalu. “Iya, tapi hatiku terasa mengganjal. Mana mungkin
seorang Aini yang miskin ini bersanding dengan putra gurunya
sendiri.” Balas Aini.
“Itu tidak adil. Apakah menjadi diriku ini harus selalu sendiri, dan
tidak boleh berteman dengan orang lain. Sungguh aku tidak suka jika
di beda-bedakan antara yang kaya dengan yang miskin. Atau yang
bernasab mulia dengan yang bernasab biasa. Sekarang apa kamu
mau menjadi orang spesial dalam hidupku ? tidak hanya sebatas
teman!”
Kalimat terakhir itu membuat Aini menelan ludah. Lebih
tepatnya; kalimat itu adalah caranya merayu Aini untuk menjadi
cinta monyetnya. Mana mungkin Aini bisa menerimanya.
“Aku masih ingin membahagiakan orang tuaku.” Begitu Aini
membalas pesan dari Alan. Sehati-hati mungkin menyusun kalimat

98
agar tidak menyakiti perasaan, walau alasan itu bisa di katakan licik
dan dusta. Sebenarnya ia menolak karena masih memiliki kekasih
lain. (menurut bahasa sekarang, ia dalam ikatan pacaran dengan
orang lain).
“Maukah kamu menjadi sahabatku?” Alan bertanya lagi seakan
telah melupakan sms sebelumnya.
“Why not.?”
“Seriously.?”
“Sure.” Jawab Aini singkat.
SMS malam itu berakhir persahabatan. “Sahabat Abadi”, itu
janjinya. Ya, seharusnya sahabat seperti itu tidak pernah ada kata
putus. Tidak ada kata sakit hati. Saat sahabat bahagia, kita bahagia.
Saat sahabat menangis, kitapun menangis. Itulah kalimat yang
tertulis dalam kamus hidup Alan. Itulah yang membuat Alan
bertahan ketika satu saat Alan tahu, kalau Aini menolak karena
memiliki hubungan dengan orang lain. Bukan karena orang tuanya.
Walau sudah tau Aini membohonginya, namun Alan tetap seratus
persen percaya dan itu pula yang membuat Alan bertahan saat Aini
mengakui sendiri bahwa orang yang ada dalam hatinya adalah
teman Alan sendiri. Yang menjadi pacar Aini saat itu adalah Zaki.
Walaupun terasaa seperti seribu pedang menghujam, tetapi
kalimat itulah yang membuat Alan bertahan, “Sahabat Abadi”.
Apapun yang membuat Aini tersenyum, ia lakukan. Walaupun
dengan cara melukai diri sendiri.
Enam puluh detik satu menit. Enam puluh menit satu jam.
Waktu akan tetap seperti itu, takkan ada yang mampu
mengubahnya (selain Allah Sang pencipta), namun waktu mampu
mengubah segalanya. Dalam satu detik waktu, menyimpan berjuta-
juta takdir manusia. Berjuta-juta tangis dan tawa, berjuta-juta suka
dan duka. Terajut dalam perjalanan panjang semesta.
Seperti terubahnya senja menjadi malam. Keindahan itu lenyap
seketika. Di tambah awan hitam yang menggumpal menutupi bulan
dan bintang. Suasana menjadi pekat.

99
“Tidak ada apa-apa lagi di antara kita. Jangan hubungi aku lagi.”
Itu Sms dari Zaki untuk Aini setelah dua hari tidak ada kabar.
“Kenapa?” Aini membalas sms Zaki, ia terlonjak kaget dari
tempat tidurnya.
“Jawab dulu, kenapa? Apa alasannya.?” Aini kembali sms pada
Zaki setelah sekian detik yang terasa lama tidak ada balasan.
“Jangan main pergi gitu aja. Jawab pertanyaanku, apa ada yang
salah dariku?” Aini tetap memaksa untuk mengetahui alasannya.
Namun sia-sia, tidak ada jawaban. Sms-nya seperti surat yang diikat
batu lalu di lemparkan ke tengah lautan. Mustahil menunggu orang
yang akan membaca surat itu.
Dan hilang sudah, langit terbelah lalu runtuh ke pundaknya.
Cinta yang ia pertahankan, (bahkan sampai menolak laki-laki lain)
justru meninggalkannya sendiri tanpa sepotong alasan.
Kebahagiaan yang di rajut bersama, harus robek oleh jarum yang
mereka pakai sendiri. Bahkan tak ada logika yang mampu
menjelaskan.
Atau mungkin waktu berkehendak lain. Lihatlah! ketika bunga-
bunga di taman mekar bersemi, tumbuh berwarna-warni. Tidak
perlu ada orang yang mengairinya. Tidak perlu pupuk, tidak perlu
obat atau semacamnya. Tidak perlu perawatan seperti padi.
“Kamu tidak boleh terjatuh terlalu lama. Hidupmu masih
panjang, terlalu dini untuk menyesali, karena masih tersisa tahun-
tahun tuk memperbaiki.” Sms dari Alan saat tau sahabatnya, Aini
dalam goncangan masalah.
“Hidup tidak selalu berada di atas. Hidup tidak hanya tentang
senyum bahagia. Hidup tak cukup melukiskan kesenangan semata.
Pada saatnya kita akan berada di titik terbawah, merasakan perih
saat jatuh terluka, membasahi wajah dengan tetes air mata. Namun
ini bukan titik terakhir, setelahnya masih terdapat huruf-huruf,
kalimat-kalimat, dan bait-bait yang lebih indah. Bangkitlah! karena
menyerah bukan pilihan.”

100
Alan berkali-kali mengirim sms motivasi intuk menguatkan Aini
yang sedang terkulai lemah. Bangkitlah, dan jalani hidup seperti
biasanya. Lupakan masa lalu. Usia masih muda, jangan di habiskan
dengan menguras air mata. Itulah Alan yang masih tetap ada,
hingga kembali membangkitkan Aini dari lembah putus asa.
Namun Alan tak pernah lagi mengulang kata cintanya. Tak
pernah sekali-kali ia berkata “Maukah kamu, jika aku menjadi
pengganti Zaki?” Tidak pernah. Alan tidak pernah melontarkan
kalimat itu. Bukan ia tak mau memanfaatkan kesempatan yang ada.
Namun jujur, itu Cuma karena kata “Sahabat Abadi” yang benar-
benar telah ia telan dalam-dalam dan tak mau memuntahkannya
kembali.
Tapi sehebat apapun Alan menyimpan cintanya, cinta itu tetap
mekar. Tak pernah di pupuk ataupun di taburi obat. Cinta itu
tumbuh bersemi, bahkan lebih berwarna-warni.
Mungkin itu juga yang di rasakan Aini, saat hari-harinya hanya
di isi oleh Alan. Malam-malam di selimuti kata mutiara dari Alan.
Saat pagi di sambut oleh Alan. Dan malam tidak bisa tidur
menunggu salam “Mimpi Indah” dari Alan. Seolah-olah hidupnya
tentang seseorang, semuanya adalah Alan.
Ketika bunga-bunga itu tumbuh indah mempesona, apakah
ada yang menyadari, di batangnya terdapat duri. Mengintip tajam
siap melukai.
***
Aku termenung lama mencoba memahami apa yang terjadi di
antara mereka. Zaki yang tiba-tiba pergi tanpa alasan, menyisakan
secuil tanda tanya di kepala. Aini kan sudah cantik, cerdas lagi.
Menurutku dia sholihah, kerudungnya panjang. Dia putri seorang
petani yang penghasilannya mencukupi kebutuhan sehari-hari,
tidak lebih tidak pula kurang. Tapi mustahil seorang Zaki
meninggalkan Aini hanya masalah nasab dan harta.
Tiba-tiba aku melihat ada pengumuman yang tertempel di
dinding. Terlihat jelas, “Piala emas dan uang senilai 3 juta rupiah.”

101
Tertulis dengan huruf besar. Setelah mendekatinya ternyata lomba
hadis se-Kabupaten, yang di adakan oleh pengurus cabang NU.
Tanggalnya masih bulan depan. Ah, Alan harus tau tentang ini. Dia
kan jagonya hadis.
7 Jumadil Ula 1439
25 Januari 2018

102
Pergi
[Bagian 2]
“KAMU harus ikut lomba hadis itu, yank.” Alan nge-chat lewat WA
pada Aini. Panggilan sayank, bukan karena Aini sudah menjadi
pacarnya, tidak. Aini tetaplah ‘Sahabat Abadi’. Namun panggilan itu
sudah familiar dan sering terlontar lewat chat atau sms. Entah sejak
kapan, awalnya hanya iseng hingga akhirnya merasa nyaman
dengan panggilan itu.
“Tapi aku tidak bisa, yank!”
“Aku akan membantumu. Aku janji. Dan aku yakin kamu pasti
bisa. Apa kamu pernah mendengar Syeikh Hasan yang hafal satu juta
hadis beserta perawinya. Sedangkan lomba itu hanya seputar
Mukhtaarul Ahadiits. Hanya seribu lima ratus lebih hadis. Aku yakin
kamu bisa menghafalnya. Seperti saat kamu menghafal surat al-Kahfi
dalam jangka waktu dua hari.”

103
“Tapi itu berbeda, Alan. Yang ku hafalkan itu al-Quran, bukan
hadis.”
“Sama saja. Kamu hanya butuh menghayatinya lebih dalam.
Ibarat hujan yang terus mengguyur lama, mampu mengubah tanah
gersang menjadi tanah yang lembut dan berlumpur. Dan aku tahu
kecerdasan dan kelembutan hatimu mudah untuk digali dan
diperdalam, hingga engkau bisa menampung lebih banyak air.”
Alan terus memaksa dengan deretan kalimat motivasinya.
Ainipun tak bisa menolak lagi.
“Baiklah. Namun sebelum itu, bolehkah aku meminta satu hal
padamu?”
“Selagi aku mampu, aku akan memenuhinya.”
“Maukah kamu menjagaku, dan selalu menemaniku, karena aku
sangat mencintaimu.” Namun kalimat terakhir itu buru-buru di
hapus oleh Aini. Tidak jadi dikirim pada Alan. Masih malu
mengungkapkannya.
“Kalau itu pasti. Aku akan selalu di sampingmu untuk
menjagamu.”
Alan asal menjawab, tidak berfikir panjang. Sebenarnya
bagaimana akan menjaga Aini, jika hubungannya selama ini hanya
sebatas lewat hape. Saat berpapasanpun hanya bisa mencuri
pandang. Jika meminjam buku keduanya malu-malu, tidak terlontar
sepatah suarapun. Cukup komunikasi dan kata terima kasihnya
lewat sms saja. Meski dalam satu ruangan, tidak aneh lagi keduanya
tetap berbicara lewat chat-an. Saat tersenyum keduanya saling
melirik. Lalu kembali menyembunyikan senyumnya dari teman
yang lain dengan kembali menatap layar hape. Tidak pernah
bertatap muka,tidak pernah berduaan di tempat sepi. Tidak pernah
bersentuhan, walau sekedar ujung jari.
“Kamu ikut ya, yank?”
“Baiklah, yank! demi kamu.”
Mendapat balasan sms seperti itu, Alan tersenyum simpul.
Semangat sedikit-sedikit pulih, namun tak mengembalikan

104
keadaan batin yang keruh. Masih tersimpan pertanyaan tentang
hidup. Entah sejak kapan ia suka menjadi orang sakit. Itu selalu
menyadarkannya bahwa sebagai manusia ia lemah. Bahkan sekali
waktu bertanya-tanya tentang mati. Kapan? Kapan? masihkah lama
hari itu? sungguh dunia tak lagi bersahabat baginya.
Apakah seperti ini utusan Malaikat Maut ?
***
“Alan.” Suara Zaki memecah lamunan.
Alan menoleh, lalu kembali melepas pandangan ke hilir sungai.
Tersenyum menyembunyikan kegelisahan hati dalam-dalam, Zaki
ikut berdiri di sisi jembatan, suara beriak air terdengar alami, batu-
batu besar yang menyembul membuat liku-liku air tak teratur.
Sawah menghampar luas mengapit sungai.
“Kau kenapa Lan terlihat murung terus? kamu sakit?” Zaki
memerhatikan wajah Alan yang pucat. Namun bibirnya biasa saja,
merah delima. Tidak kering. “Atau lagi ada masalah dengan Aini?”
Hampir saja Alan terlonjak kaget, namun pura-pura mengusap
rambutnya yang di tiup angin, mencoba biasa-biasa saja, ia
menggeleng sembari tersenyum, tidak ada masalah apa-apa,
mereka masih baik-baik saja. Sekian detik kemudian Alan
membenahi posisi, menatap Zaki lamat-lamat.
“Zaki!” Katanya pelan, menyusun kata. “Boleh aku tau
alasanmu meninggalkan Aini?” Zaki balik menatap, agak lama. Lalu
berpaling lagi ke hilir sungai.
“Alan, aku baru tahu kalau kamu menyukai Aini.”
Alan bingung. Itu bukan jawaban. Namun ia tetap terdiam
menunggu Zaki melanjutkan cerita.
“Biasanya aku tahu hati seseorang. Aku bisa tahu orang yang
mereka cintai, aku bisa menebak lewat mata dan wajah mereka.
Aku tahu dulu, Aini sangat mencintaiku. Sebab itulah aku
mendekatinya. Saat itu aku merasa, sms-an itu mencerdaskan,
karena kita bisa bertukar pandangan tentang ilmu, bermuhasabah
bersama dan berdialog tentang banyak masalah. Dengan menjadi

105
pacarnya aku merasa menjaganya. Jika tidak, bisa saja dia pacaran
dengan orang lain, dan berbuat hal yang melampaui batas.
Berduaan di tempat sepi, boncengan, dan lainnya itu kan sudah
biasa di zaman kita ini. Kalau dengan kita sendiri, kita yang
menjaganya kan tidak mungkin, Lan. Kita kan sudah teramat
paham tentang batasan-batasan agama kita.”
Kemudian Zaki memandang Alan dengan takzim. Ia tau siapa
Alan, seorang putra dari gurunya, putra dari tokoh masyarakat di
desanya.
“Kamu hebat, Lan. Menyembunyikan cinta di hatimu. Andaikan
aku tahu dari dulu engkau menaruh hati padanya, niscaya aku
takkan pernah mendekatinya.” Kata Zaki menunduk.
Sekarang Alan paham, Zaki meninggalkan Aini semata-mata
karenanya. Dengan kata lain Zaki melepas Aini untuk di serahkan
pada Alan. Sejauh ini Zaki telah berhasil, walaupun pada akhirnya
Aini menaruh rasa benci yang teramat dalam pada Zaki. Dan
Ainipun mulai merajut cinta yang lain, cinta yang mengubah
dunianya, cinta yang merubah pemahamannya tentang cinta itu
sendiri, cinta yang harus rela melepas cintanya bahagia dengan
orang lain. Itulah cinta ‘Sahabat Abadi’ yang sering diucapkan Alan.
Cinta itu mengikat lebih dalam bahkan jauh lebih kuat dari
sebelumnya.
Entah itu akan berapa lama.
Seperti cinta yang lain. Saat cinta pergi, pastilah, perih dan
kesepian menghinggapi. Semakin dalam cinta yang di rasakan,
semakin perih luka yang akan di tinggalkan.
Alan melempar pandangan ke hilir sungai. Air mengalir begitu
deras, gemerisik suaranya mengalun indah.
“Hidup itu seperti air, Lan.” Ujar Zaki yang membaca guratan di
wajah Alan. “Kita cukup mengikuti arus, bukan menantangnya. Dan
mungkin kita akan temukan kunci dari masalah di hilirnya. Sesuai
alur waktu. Sesuai kehendak takdir.” Zaki mengangguk-angguk
mantap.

106
Alan mencoba mencerna. Namun ia memikirkan yang berbeda.
Air akan selalu berakhir, dan lautan menjadi tempat terakhirnya,
tempatnya bersemayam bersama jutaan aliran sungai dari berbagai
penjuru dunia. Entah kenapa selalu akhir yang ada di benak.
Mungkin kata orang-orang benar, Izroil sudah sangat dekat.
Hape Alan bergetar. Selayang chat dari Aini mendarat. Cukup
simpel sih. Cukup satu kalimat balasan tapi Alan saja yang terlalu
panjang menjawabnya.
“Kamu di mana?”
“Aku sedang di jembatan bersama Zaki. Eh, aku sudah tahu
kenapa Zaki meninggalkanmu.”
Sebenarnya Aini sudah tidak tertarik lagi. Namun demi Alan
yang menjelaskan, akhirnya ia meng-iyakannya.
Alanpun menulis panjang sinopsis kisah yang ia pahami dari
kisah Zaki. Ah, dasar Alan. Ia selalu membocorkan rahasia pada Aini
yang seharusnya hanya dia dan Zakilah yang boleh tau. Begitu juga
sebaliknya, ia selalu membocorkan rahasia pada Zaki yang
seharusnya hanya dia dan Ainilah yang boleh tau. Alasannya tidak
berbelit. Satu, Karena Aini ‘Sahabat Abadi’. Dua, karena Zaki teman
dekat dan berbagi. Tidak mempedulikan apakah di antara Aini dan
Zaki ada rahasia yang belum ia ketahui.
“Aku sholat dulu ya.” Kata Aini setelah Alan menjelaskan
panjang lebar.
Sekarang Alan sendiri lagi. Sedang Zaki sudah dari tadi pamit
pulang duluan. Ketika itu ia teringat lagi. Sebuah rahasia yang
selalu disimpan sendiri. Hanya ia dan tuhanlah yang tau. Mungkin
semua orang akan tahu suatu saat dirinya benar-benar pergi.
***
Sejauh manapun kaki melangkah, masa lalu selalu hadir
menghantui. Masa lalu selalu menepati janjinya. Datang sulit
dilupakan saat masa depan ingin dirajut berbeda, itulah masa lalu.
Mana mungkin ia bisa meninggalkan Aini begitu saja, setelah lima
tahun kebersamaannya.

107
Mulai saat-saat dirinya mengemis pada Aini (yang penting sms-
nya dibales), sampai saat ini, di mana keadaan terbalik. Ainilah yang
selalu meminta agar Alan tetap bersama.
Lalu bagaimana mungkin masa-masa itu dapat terlupa ?
Sebab itulah Alan selalu bertingkah aneh akhir-akhir ini.
berharap yang tidak-tidak.
Kalian percaya! sebulan yang lalu, Alan memblokir fb-nya tanpa
alasan. Terus pernah juga ia mempreteli hape-nya; kartu, batrei, dan
cesing-nya diletakkan terpisah, dan membiarkannya selama tiga
hari. Tentu saja hal itu membuat Aini cemas bin khawatir. Takut
kejadian Zaki terulang kembali. Kalau begitu semua laki-laki sama
saja, bajingan. tak pernah memahami perasaan seorang wanita.
Namun tidak mungkin seorang Alan mengkhianati janjinya.
Dan Alhamdulillah, setelah tiga hari Alan kembali menghubungi
Aini yang hampir putus asa. Ia hadir dengan sejuta kata-kata
maafnya. Duhai, Aini yang lembut hati, mana mungkin ia menolak
maaf setelah dibuai oleh cinta. Dan hal itu hanya membuat
keduanya semakin lengket. Semakin bersemi saja cinta mereka.
Berarti akan semakin dalam sayatan luka. Jika suatu saat salah
satu harus pergi. Ya, saat kepergian itu tidak bisa ditunda lagi.
Dan malam itu, yang seharusnya menjadi malam spesial bagi
Aini, berubah menjadi malam yang tak pernah terlupakan di
sepanjang hidupnya. Disatu sisi adalah malam penentuan kejuaraan
lomba hadis. Dan di sisi lain adalah malam seorang hamba yang
kembali kedalam lindungan Tuhannya.
Sebenarnya malam kejuaraan hadis itu kami datang bertiga.
Zaki dan Alan boncengan, sedangkan aku naik sepeda sendiri.
Hujan belum terlalu deras.
Aku?
Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya saksi hidup yang akan
menuliskan kisah cinta mereka. Kisah perjalanan hati yang sangat
mengagumkan.
“Anam! jangan kencang-kencang !” Zaki meneriakiku.

108
Akupun mengurangi laju sepeda. Sebenarnya ini sudah
terlambat, dan bisa saja hujan semakin deras jika lajunya pelan.
Tapi melihat wajah Alan yang semakin pucat, aku menurut, dan
memilih membuntuti, karena takut terjadi apa-apa.
Sampai di gedung kejuaraan, kami memakirkan motor asal
markir saja. Lalu berlindung dari hujan yang semakin menderas.
Berlari menuju teras aula. Ketika aku dan Zaki hampir memasuki
pintu, Alan tertinggal jauh, terpaku di bawah rintik hujan. Aku dan
Zakipun urung memasuki aula.
“Ada apa, Lan?” Zaki heran. Zaki segera menarik tangan Alan
ke bawah atap aula. “Kau jangan menyakiti dirimu.”
“Kalian masuklah duluan, aku tidak ikut.” Alan membuat
keadaan semakin dingin. Titik-titik hujan menjangkau kami diterpa
hembusan angin.
“Kenapa kau tiba-tiba begini? apa kau punya masalah dengan
Aini, coba ceritakan pada kami!”
Alan menggeleng. “Akulah sumber masalahnya.” Matanya
berlinang.
Aku dan Zaki saling pandang, heran mendengar jawaban Alan.
“Jalanku selama ini salah.” Inilah kata yang selama ini disimpan
oleh Alan. Kata yang selalu membuatnya ragu dan sekarang terucap
mantap.
“Kau kenapa, Lan? bukankah hubunganmu adalah hubungan
yang suci. Sebuah persahabatan abadi. Kau tidak pernah ketemuan.
Dan hubunganmu tidak seperti remaja-remaja sekarang yang sudah
di luar batas agama. Justru hubunganmu bisa bermanfaat bagimu.
Engkau bisa belajar banyak darinya, bahkan engkau saling
mengingatkan untuk sholat Tahajjud dan lainnya. Dan sudah tiga
kali Ramadhan kamu berlomba mengkhatamkan al-Quran.
Hubunganmu sangat membantumu menjadi lebih baik.”
Alan tertunduk diam, wajah semakin memucat, mata
menggenang, tubuhnya menggigil. Hujan semakin lebat, ditambah
kilatan cahaya menambah suasana memuncak. Menegangkan.

109
“Aku……” Alan semakin tertunduk. “Aku medustakan agamaku.
Tiada kebenaran dalam hubungan ini. Mana mungkin agamaku
membenarkan telponan dengan wanita sampai larut malam, sms,
chat-an sampai pagi menjelang. Kita memang tidak berduaan
secara fisik. Tapi kita telah berduaan, bercanda, dan bersenda
gurau di tempat yang jauh lebih sepi. Di tempat yang tak mungkin
ada orang tau. Namun Allah maha tahu itu.”
“Sungguh aku telah tertipu setan. Setan menipuku dengan
kesenangan saat-saat bersamanya, dan kesenangan itulah tujuan
setan. Hingga aku tenggelam dalam tawa-tiwi tipu dunia. Terlelap
di kasur mimpi bermahkota cinta. Padahal itulah nafsu yang
berwujud seorang “Raja”. Aku tertipu, aku lalai, aku terlupa, aku
lupa maut menunggu di ujung usia, aku lupa akhirat itu kekal
adanya, aku lupa neraka itu teramat pedih siksaanya. Kesenangan
itu penyebabnya.”
“Kesenangan-kesenangan itu yang tak pernah kita sadari. Kita
senang hati untuk Tahajjud, senang untuk membaca al-Quran dan
senang berbuat baik. Semuanya karena SESEORANG, BUKAN
KARENA ALLAH. Amal kita mengundang murka, bukan pahala.”
Semua terdiam. Hanya deras hujan yang merambat di telinga.
Seakan-akan menggambarkan tangis dunia.
“Kalian masuklah duluan!” itu kata terakhir dari Alan. Aku dan
Zakipun meninggalkannya di luar.
Mengejutkan. Ternyata aku dipanggil dan dinobatkan sebagai
juara kedua. Walaupun baju sedikit basah, aku bergegas ke
panggung. Dan juara pertama adalah Aini Aulia. Ini anak didikan
Alan. Alan yang telah memberikan semangat.
Namun wajah Aini tak sebahagia sebagaimana sang juara.
Wajahnya pias, muram atau juga cemas. Setelah memberi
sambutan sedikit, ia segera berlari menuju pintu. Aku tahu ia
mencari Alan.
Sangat terlambat.

110
Ketika tadi aku memasuki pintu, aku menoleh, Alan sudah
berlari menembus derasnya hujan. Mungkin ini yang dimaksud dari
status fb terakhirnya, sebulan yang lalu: “Aku pergi bukan tuk
ditunggu, apalagi untuk dirindu.”
Ku rasa Alan bukan hanya pergi satu-dua bulan. Bisa saja tiga
sampai empat tahun, lebih lama, atau selamanya dan tak pernah
kembali. Itu pilihannya, bukan ia mengingkari janji.
Setan memang sangat hebat menipu manusia. Sehingga
manusia itu sendiri tidak merasa berdusta, bahkan mengira itu
mendapat pahala. Aini kembali duduk di tempatnya, tertunduk
meratapi keadaan. Ia belum tahu apa yang terjadi pada Alan. Tak
pernah sekali Alan menjelaskan. Apa perlu aku yang menjelaskan
pada Aini bahwa Alan tak pernah melupakan janjinya. Tadi datang
kesini hanya untuk menunaikan janji, walau tidak ikut masuk
gedung. Kalian ingat janji Alan yang lain? Ya, janji untuk selalu
menjaga. Alan menjaganya dari tipu daya setan.
Cinta yang dituruti, itulah nafsu. Cinta yang dijaga, itulah cinta
yang sebenarnya.
Sekarang aku paham maksud dari kata-kata yang menjadi
wallpaper di hape Alan akhir-akhir ini. Empat kalimat yang harus
dijelaskan dalam dua kisah ini.
PERGI, ADALAH CARAKU MENJAGAMU.

14 Jumadil Ula 1439


1 Februari 2018

111
Pulang
[Bagian 3]
TEPAT ketika acara sakral itu akan dimulai, ketika semua orang
mengitari membentuk persegi, ketika Aini duduk di barisan depan
bersama Zahra, Fatimah, Nisa, dan ibu-ibu lainnya di ruang tengah,
pintunya terbuka lebar. Tepat ketika Aku ikut tegang duduk di
antara ayahku dan ayah Aini, ada ayah Zahra, juga bapak-bapak
undangan lainnya, ketika Zaki sendiri gemetar menjabat tangan
kiai, ketika akad dimulai dan kiai mengucapkan:
“Ya Zaki. ‘Aqadtuka…”
Tepat ketika itu Alan datang, berdiri di mulut pintu. Semua
pasang mata menoleh, terlebih Aini yang tiba-tiba langsung berdiri.
Mulutnya bergumam lirih: “Alan.”
Aini menunduk dan kembali duduk setelah sadar dirinya
menjadi perhatian. Lihatlah! Setelah sekian lama Alan pergi, ia
masih kaget dan tak bisa mengontrol diri. Seberapa besarkah
112
cintanya. Masih adakah sebintik pengharapan itu. Atau,
pengharapan itu masih sama besarnya dengan yang dulu.
Setelah Alan pergi waktu itu, Aini selalu saja tampak murung.
Dia hanya akan terlihat tersenyum ketika teman-temannya datang
menghibur. Itupun senyum yang sangat terpaksa. Biasanya ia akan
duduk menghadap jendela, menghadap hujan yang tak kunjung
reda. Ia mengeluarkan hape, mengecek kembali, mungkin saja ada
balasan. Walaupun sudah dua bulan berlalu tanpa sepotong alasan
dan masih saja terus mengirimkan pesan. Berbeda dengan rindu
yang berkecamuk dalam hatinya. Menggonggong habis-habisan,
seolah kepergian Alan sudah dua tahun yang silam.
Sekarang ia mengerti, kenapa Laila bisa terbunuh oleh rasa
rindunya pada Qais. Cinta yang tumbuh itu, yang kian hari kian
membesar terus saja membuncah. Tak kuasa ditolaknya, tak bisa
dihentikan. Lantas rindu itu juga tumbuh dengan liar. Merangas,
menghabiskan sisa-sisa semangatnya untuk hidup. Apa mungkin ia
akan pergi juga? Pergi untuk mencari Alan.
Tentu tidak mungkin. Ia kan perempuan, namun dirinya bukan
Laila yang mampu bertahan dengan duri rindu di hati. Ia hanyalah
Aini, gadis lemah yang tak memiliki iman setebal baja. Matanya
mulai basah, dan perlahan berguguran setelah kuat-kuat ia
memejamkan mata. Mencoba menguatkan diri, ia harus bisa
setegar Laila. Saat cintanya dengan Qais tak direstui. Ia harus
mampu menyimpannya seperti Laila menyimpan cintanya.
Tapi, ah… kisah cintanya berbeda dengan kisah cinta Laila.
Laila dan Qais saling mencintai, hanya orang tuanya yang tak
merestui. Sedangkan ia, ia tidak tahu apakah di sana Alan masih
juga mencintainya. Apakah di sana Alan juga merindukannya
seperti rindu yang ia alami. Apakah di sana keadaan Alan sama
dengan Qais al-Majnun? Ia bahkan tidak tahu Alan sekarang di
mana.
Atau memang iya, Zaki dan Alan sama saja. Aini hanya
dianggap sebongkah barang yang bisa diserahkan pada orang lain.

113
Dan Alan, pengkhianat, pendusta, bajingan, dan (air mata Aini
kembali menetes) semua laki-laki sama. Mempermainkan wanita
seenaknya.
Namun bukan, Alan bukan pengkhianat. Mungkin ini juga salah
Aini, Aini yang dulu tidak sengaja melukai perasaannya. Bilang pada
Alan bahwa; “Alan tak setampan dulu.” Lalu Alan pergi karena kata-
kata itu. Terus saja di hati Aini berperang, antara iya dan tidak.
“Makanya kamu kurangi main bola.” Chat Aini pada Alan
beberapa saat setelah Aini mengirim kata-kata menyakitkan itu.
Karena ketika main bola Alan tak takut berlama-lama di bawah
terik.
Alan memang sempat terpaku sejenak, tersinggung oleh kata
Aini tadi. Namun segera membalas chat Aini setelah Aini mengirim
chat kedua. “Iya, aku akan berhenti main bola.” Jawaban dari Alan
sebenarnya sudah tampak lesu.
“Kalau langsung berhenti, mungkin tidak bisa! Dikurangi saja
sedikit demi sedikit.”
“Pokoknya akan aku usahakan demi kamu.” Kalimat Alan,
sebelum akhirnya pamit tidur.
Dan kata ‘Alan tak setampan Dulu’ itu tak disadari oleh Aini
kalau membuat Alan tersinggung, ia baru sadar bahwa kata-
katanya menyakitkan setelah setahun berlalu, saat Alan tidak
sengaja mengungkitnya kembali. Dan benar-benar setahun Alan
menyimpannya sendiri, merenungkan (dan sungguh berhenti main
bola). Dan mungkinkah setelah ‘demi Aini’ itu, Alan mengkhianati.
Jelas tidak mungkin. Dan ini memang salahnya, salah Aini sendiri,
hingga Alan pergi.
Aini kembali membaca chat-chat lamanya dengan Alan,
kembali mendengarkan suara-suara Alan dari WA-nya. Walaupun
sudah puluhan kali didengarkan, tetap saja tak pernah merasa
bosan. Sesekali tersenyum mengingat kenangan itu, dan sesekali
menangis, menyeka air mata, mengingat Alan tak ada lagi untuk
menemaninya.

114
Ia menoleh pada jam yang menggantung di dinding, jam tujuh
malam. Teringat sesuatu! Malam ini kakek Alan pulang dari
Mekkah. Segera ia menyambar kerudung yang tergantung di pintu
lemari. Memakai dan mengikat sekenanya. Tak ingin menyia-
nyiakan kesempatan itu. Mungkin saja di sana bisa bertemu dengan
Alan, semoga saja! Walau hanya selintas, setidaknya rasa khawatir
dan rindunya sedikit terobati, dengan mengetahui Alan baik-baik
saja.
Ketika menginjak teras rumah, hujan kembali menderas,
padahal tadi sudah tinggal rintik-rintiknya. Terpaksa ia balik kanan,
kembali masuk rumah. Duduk menunggu di ruang tamu adalah
pilihan terbaik sementara ini, sembari memeluk kaki.
Menghangatkan tubuh. Kembali membuka smartphone, tersenyum
tipis membaca kembali kata-kata Alan yang masih ia simpan.
‘Bidadari jelek.’ Itu chat dari Alan. Entah itu memuji atau
memaki. Yang jelas itu membuat Aini senyum-senyum sendiri
ketika menerima pesan itu.
“Buat apa sih masih ngeladenin hantu-hantu cantik di Facebook
itu!” Aini sedikit cemburu ketika Alan bilang, baru saja ia inbox-an
dengan si ‘dia’. Alannya saja yang jujurnya kelewat, seandainya saja
mereka sepasang kekasih, berarti Alan telah selingkuh. Sayangnya
mereka cuma ‘Sahabat Abadi’. Jadi Aini tak punya alasan untuk
menegur Alan. Karena jujur, walaupun hanya ‘Sahabat Abadi’, Aini
tetap merasakan tidak enak di hati.
“Kamu cemburu?”
“Tidak.”
“Nah, tu kan. Aku sendiri bisa merasakan ada anggukan di balik
kata ‘tidak’ mu.”
“Tidak, Alan.”
“Jujur saja Aini. Cemburu itu biasa, pertanda cinta. Aku akan
tetap di sini. Iya, memang hantu-hantu itu cantik, tapi aku lebih suka
‘bidadari’.”

115
Aini mungkin merasa yang dimaksud bidadari oleh Alan adalah
dirinya sendiri. Karena dulu sekali, Alan pernah memujinya dengan
sebutan itu.
“Kata siapa bidadari? Aku ini jelek.” Aini sedikit pesimis.
“Iya bidadari jelek. Tapi sejelek-jeleknya bidadari masih jauh lebih
cantik dari hantu-hantu cantik di Fb itu.”
Aini senyum-senyum sendiri setelah membaca chat dari Alan
setahun yang silam itu. Ya, Aini masih menyimpannya. Aini terus
saja membaca. Sesekali mendengarkan suara Alan. Mengenang
masa-masa bersama. Ia juga pernah berduet lewat WA,
menyanyikan sebuah lagu. (tersenyum namun diiringi air mata).
Suara Alan terdengar parau, jelek sekali. Tapi lucu sekaligus indah.
Entahlah.
Tiba-tiba Aini terpaku, pandangannya tertuju pada sepiring kue
di atas meja. Itu mengingatkan pada Alan saat bertamu di
rumahnya. Yang pertama sekaligus terakhir kalinya. Ketika itu juga
ada aku, Zaki, Zahra dan Nisa. Cuma acara ringan, menyiapkan
halal-bihalal tahunan siswa dan siswi madrasah.
Aini menghidangkan sepiring kue dan teh Rio.
“Apa ini?” Aku antusias bertanya.
“Itu kue, aku tidak tau namanya, Coba saja!” Zaki yang
menjawab.
Padahal aku bertanya itu agar Alan yang menjawab. Soalnya
dari tadi terus saja diam. Aini saja yang biasanya pendiam, sekarang
jadi banyak bicara. Aku tahu itu untuk memancing Alan bicara. Tapi
tetap saja yang dipancing tidak bergeming. Alan mati suara. Jika
ditanya hanya mengangguk atau menggeleng. Bisu tiba-tiba, entah
kenapa.
“Kamu Coba deh, Lan! Pasti enak.” Aku menyodorkan kue itu
pada Alan, padahal aku sendiri tidak tau rasanya gimana,
melihatnya baru kali ini.
“Orang lain yang disuruh mencoba! Kamu sendiri tahu
bagaimana rasanya!” Aini nyeletuk begitu saja.

116
“Kue ini kan spesial untuk Alan, jadi harus Alan dulu yang
mencoba.” Aku menjawab ngeyel, mencari-cari alasan, padahal
memang tidak mau mencoba kue itu. Namun alasanku itu, ternyata
membuat Aini menunduk tersenyum, sedang Alan mendongak
penuh pertanyaan. Mengangkat sebelah alisnya, heran.
Zaki mencomot satu lalu mencobanya. “Enak! Coba saja
dicicipi!” ucap Zaki setelah menelan secuil kue di mulut.
Akhirnya Alan mengambil kue di tanganku. Bentuknya seperti
pisang goreng, tapi bukan (katanya). Dan Uuuuh… Alan seperti
memaksa untuk menelan. Pasti rasanya tidak enak. Karena itu aku
tidak mau mencicipi juga.
Alan menyodorkan kuenya padaku, namun aku cepat-cepat
menggeleng. Alan memaksa, aku tetap menggeleng. Akhirnya Alan
menggigitnya lagi, secuil demi secuil, menelannya. Dan tampak
sangat ia paksakan. Jika diletakkan kembali, kan mubadzir, tidak
enak pada tuan rumah juga.
“Enak kan, Gus!” ujar Zaki ketika kue di tangannya habis.
(selera mungkin beda).
Ups! Kesalahan besar. Alan tidak suka dipanggil Gus, Lora atau
panggilan semacamnya yang bersifat penghormatan. Jangankan
Zaki, Aini saja bilang begitu Alan pasti marah. Kalian tahu sendiri
kan sikap Alan saat baru-baru sms-an dengan Aini, Alan memberi
tanda seru besar: ‘aku tak ingin dibedakan!’
Dan benar saja setelah Zaki mengucapkan itu; “Saya pamit
pulang dulu.” Itu kalimat pertama dan terakhir Alan selama di
rumah Aini.
Hingga rapat persiapan halal-bihalal tetap dilanjutkan, meski
tanpa Alan.
Dan sampai saat ini, saat malihat kue itu, Aini selalu terbayang
akan wajah Alan. Aini tahu bahwa Alan tidak suka, bisa dilihat dari
ekpresinya. Tapi Alan tetap memaksakannya untuk ditelan. Itu yang
membuat Aini tersenyum.

117
Di luar hujan mulai mereda. Aini bergegas, memperbaiki
kerudung, menuju rumah Alan. Di sana orang-orang sudah ramai,
menunggu kakek Alan pulang haji. Jika dihitung, mungkin melewati
angka ratusan orang ketika itu. Lain lagi mobil-mobil yang ikut
menjemput ke bandara, juga ratusan sepeda motor yang
mengiringi, seperti pawai besar.
Aini masih saja memperhatikan mobil-mobil yang lewat. Pasti
Alan ada di salah satu mobil itu. Tapi sayang, sulit sekali mendeteksi
Alan. Kebanyakan mobil menggunakan kaca hitam.
Semua langsung kearah timur, kecuali dua mobil yang
membawa kakek dan nenek Alan. Merapat di halaman rumah.
Kakek Alan keluar dari mobil abu-abu. Begitu pintu terbuka,
masyarakat mengerubung, berebut menyalami. Di belakangnya
mobil hitam, nenek Alan yang ikut mobil itu. Sama juga, ketika
pintu terbuka, muslimat-muslimat berebut menyalami, termasuk
Aini. Jika dilihat dari angkasa, seperti dua butir gula yang
dikerubungi semut. Rintik-rintik hujan tak mempengaruhi antusias
orang-orang untuk ikut meramaikan kepulangan tokoh masyarakat
mereka itu dari tanah suci.
Sesekali Aini melongo, mencari seseorang. Siapa lagi kalau
bukan Alan yang sudah dua bulan menghilang. Namun tak sehelai
rambutnya pun ditemukan. Tidak ada sama sekali. Alan benar-
benar lenyap. Tidak ada satupun yang mengisyaratkan tentang
Alan malam itu. Mereka seolah tidak mendengar seseorang yang
bernama Alan. Atau mungkin ada kekuatan ghaib yang sengaja
menghapus semua ingatan orang-orang. Kecuali Aini, sosok Alan
masih terpatri jelas dalam memorinya.
Dan memang Aini tidak pernah bertanya pada siapapun
tentang Alan. Takut disangka ada apa-apa di antara mereka.
Namun setidaknyalah, ada satu dua orang yang menyinggung
tentang Alan, cucu dari tokoh yang mereka salami. Apa tidak ada
yang merasa aneh saat Alan menghilang begitu saja? Apa tidak ada
yang bertanya-tanya Alan perginya kemana?

118
Bukan lagi soal alasan yang membuat Alan pergi, ini lebih
tentang kemana perginya Alan. Kejadian itu seperti ada yang
janggal. Bahkan saat Alan putus sekolahpun tidak ada yang
bertanya. Guru-guru tidak pernah ada yang mengungkit-ungkit
tentang Alan. Alan seperti sebutir debu, yang ada dan tidak adanya
tidak pernah dipeduli orang. Hanya Ainilah yang merasa sangat
kehilangan.
Ini sungguh sangat aneh.
Esok harinya, Aini datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Mampir
ke rumah Nisa, ketua kelas. Ia sengaja datang ke rumah Nisa hanya
untuk mengecek absensi. Tidak lain dan tidak bukan hanya untuk
mencari nama Alan. Masih adakah atau sudah terhapus bersamaan
dengan hilangnya Alan yang terbilang ajaib.
“Assalamu’alaikum, Nisa!” celetuk Aini, tangannya mengetuk
pintu. Seperti orang yang sangat berkepentingan saja. Yang
dipanggil sedang membaca al-Quran, semenjak shubuh tadi belum
beranjak dari sejadah.
“Wa’alaikum salam.” Jawab Nisa bergegas menuju pintu.
“Mbak Aini! Ada apa?” bertanya heran. Tidak biasanya Mbak Aini
datang sepagi ini.
“Apa absensi dipegang kamu, Nis?” kata Aini langsung to the
point, sembari mengikuti Nisa yang mempersilahkan masuk.
Mereka duduk di sofa panjang. (Nisa masih mengenakan mukenah)
“Kemarin sudah saya setorkan ke wali kelas, Mbak. Memang
Mbak ada perlu apa dengan absen itu?”
Aini menggeleng lalu menunduk. Entah apa pasalnya, tiba-tiba
air mata Aini menggenang di kelopak mata indahnya.
“Apa ini ada hubungannya dengan Alan, Mbak?”
Aini menatap Nisa sejenak. Tidak menjawab. Lalu bersandar
kebahu Nisa. Air matanya kini tak bisa dibendung.
“Kenapa harus aku yang menanggung semua ini, Nis. Kenapa
aku harus merasakan rindu yang teramat berat itu, Nis?” Akhirnya
Aini mau bercerita, sambil tersedu-sedu. Suaranya serak. “Cinta

119
yang aku tahan selama ini, kenapa tiba-tiba membuncah tanpa
kendali. Kenapa, Nis? Dan kenapa pula Alan harus pergi ketika cinta
ini ku suguhkan untuknya. Aku bingung, Nis. Apa aku pernah
bersalah pada Alan? Atau memang Alan yang sengaja membuat
masalah ini?”
“Mbak!” Nisa mencoba meyusun kata yang tepat. “Setiap
masalah itu bukan untuk dicari siapa yang memulainya. Masalah itu
bagian dari takdir. Yang seharusnya ditelusuri adalah apa hikmah
yang terselip di dalamnya.
“Apa semalam Mbak sholat Tahajjud? Apa barusan Mbak sudah
membaca al-Quran? Dalam sebulan terakhir ini Mbak sudah khatam
Quran berapa kali?” Nisa terus saja bertanya. Yang ditanya terus
saja menggeleng. Tidak. Tidak. Tidak pernah lagi khatam Quran. Itu
mungkin maksud gelengannya.
“Apa Mbak yakin, dulu Mbak Aini sholat Tahajjud ikhlas karena
Allah?”
“Maksudmu?”
“Ya ikhlas, karena Allah. Bukan karena waktu itu masih ada
Alan.”
Aini mengangguk. Yakin sekali bahwa dulu itu sudah ikhlas.
Buktinya, saat Alan tidak sms untuk mengingatkannya pun, tetap
sholat. Saat terjadi pertengkaran kecilpun diantara mereka, Aini
tetap istiqomah sholat. Aini memang sholat karena Allah, walau
lewat perantara Alan. Itu sebuah alasan menghindari ‘tidak karena
Allah.’
“Lalu kenapa sekarang mbak berhenti?” Nisa mendesak.
“Mbak sedang gelisah, Nis. Kerinduan itu begitu berat di
pundak Mbak. Mbak tidak bisa khusuk. Bayangan Alan masih saja
terus menguntit Mbak.”
“Ala bi Dzikrillah Tathmainnul Qulub.” Nisa membaca sepotong
ayat. “Ingatlah, Mbak. Hanyalah dengan mengingat Allah, hati
orang mukmin menjadi tenang. Jika Mbak meninggalkan Tahajjud
hanya karena gelisah, berarti Mbak telah tertipu setan. Setanlah

120
yang membuat-buat alasan itu. Seharusnya dengan mengingat
Allah kegelisahan mbak hilang.”
“Apa Mbak Aini tidak sadar? Saat di hadapan Alan, mbak selalu
berubah menjadi orang lain. Terkadang Mbak menyendiri dari
teman-teman yang lain, nge-chat pada Alan, bilang takut ngerumpi.
Namun di waktu lain juga sedang tak jauh dari Alan, mbak menjadi
pembicara yang handal. Bercerita dari topik ini ke topik itu. Tidak
pernah kehabisan kata. Dan suaranya agak dinyaringkan. Seakan-
akan mbak ingin Alan yang duduk tidak jauh, juga ikut mendengar.
Atau sengaja cari-cari perhatian. Dan yang kedua inilah yang sering
saya saksikan setahun terakhir ini.”
“Mbak! Jadilah diri sendiri. Baik di saat ada Alan atau tidak. itu
akan membuktikan bahwa mbak benar-benar ikhlas. Buktikan itu
sekarang, dan juga jika Mbak Aini mencoba menjadi orang lain,
yang mungkin maksudnya untuk menarik perhatian Alan, tetap saja
itu tidak benar. Dan pada saatnya Alan akan kecewa melihat Mbak
berbeda dari yang diharapkan. Kalau aku boleh menebak nih, Alan
itu lebih suka Mbak Aini yang dulu. Mbak Aini yang pendiam.”
***
Cukup lama mereka tenggelam dalam sunyi, sebelum akhirnya
memutuskan berangkat ke sekolah, karena matahari beranjak
tinggi.
Di sekolah, aku meninggalkan secarik kertas kecil di bangku
Aini. Sebuah isyarat tentang perginya Alan. Awalnya berjalan
lancar. Aini tidak tahu kalau aku yang sengaja meletakkannya.
Namun tiba-tiba Nisa menunjuk ke arahku yang tengah mengintip
di luar pintu.
Aku tidak tahu, yang salah isi surat itu, atau salah Nisa karena
membocorkan bahwa aku pengirimnya.
Dia pergi bukan untuk ditunggu, apalagi untuk dirindu.
Hanya itu yang aku tulis. Apa suratku itu salah? Aini menatap
kearahku, lalu tersenyum tipis. Entah aku tak mengerti apa

121
maksudnya. Aku hanya takut, dikira ingin menggantikan posisi
Alan.
[Maaf] dalam menulis bagian ini, sedikit terbawa emosi.
16 Sya’ban 1439

122
Pulang
[bagian 4]
(SEMAKIN rasa ditahan semakin rasa itu tumbuh. Dan satu-satunya
cara meringkus agar tidak tumbuh liar, adalah dengan memutus
komunikasi, lalu bertapa dengan sejuta rindu di hati. Itu pilihan
terbaik bagi orang yang ingin mencapai cinta sejati).
“Ku kecelakaan.” Selayang chat dari Aini.
Ya, mana mungkin Alan percaya, chat itu begitu lugas dan
tepat. Logikanya, jika benar-benar kecelakaan pasti tidak akan
sempat untuk mengetik dan mengirim, atau memang kecelakaan
namun hanya kecelakaan kecil.
Barusan, Aini bilang kalau hujan di kota baru reda, dan Aini
baru bisa pulang, bonceng pada bapaknya. Alan hanya membalas:
“hati-hati!”
Mereka masih terus saja chat-an, hingga chat tak terduga itu
muncul di hape Alan. Ya, mana mungkin Alan percaya begitu saja.

123
Namun Alan tetap membalas dengan chat yang menggambarkan
kecemasan.
“Di mana?”
Lama tidak ada balasan dari Aini. Alan kini benar-benar cemas.
Kembali dan berkali-kali mengirim chat yang maksudnya sama.
“Kecelakaan di mana?”
“Bagaimana kondisimu?”
“Apa kamu baik-baik saja?”
Satu dua menit, hingga lima belas menit. Barulah tiga puluh
menit kemudian ada balasan. Aini menyebutkan tempat kejadian,
menjelaskan secara perinci. Tadi ada becak di pinggir jalan.
Pemiliknya menaikkan tumpukan jerami, -mungkin terlalu berat-
hingga ekor becak tersebut terangkat, lalu menghempas tubuh Aini
yang sedang bonceng pada bapaknya. Terjatuh, tertinggal dari
sepeda. Hape di genggamannya terlempar ke dalam genangan sisa
air hujan. Jelas itu bukan kecelakaan kecil. Bahkan tangan Aini
sampai terkilir.
Membuatnya tak bisa tidur semalaman. Dan Alanlah yang
menemani. Tentu saja hanya lewat pesan suara WhatsApp, -Aini
capek katanya mengetik dengan satu tangan-. Alan menyuguhkan
sepucuk lagu sampai Aini tertidur.
Yang terbayang dari kejadian itu sampai saat ini, -saat dua
bulan Alan pergi-, hanya chat dari Aini; “Ku kecelakaan.”
Kata Aini dulu, dia sendiri tidak sadar. Saat itu langsung berdiri
mengambil hape yang tercelup di genangan. Masih aktif, langsung
saja ia mengirim chat yang tidak disadari tersebut, chat spontan,
chat di luar nalar. Ajaib.
“Wah, itu berarti dia dihatikan banget saat chat denganmu.”
Begitu komentarku tentang cerita Alan tersebut.
“Ah, Ada-ada saja kau, Nam.” Alan tersenyum. “Mana ada
bahasa ‘dihatikan’ itu? Dan apa pula maksudnya?”

124
“Yaa…” aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Ya,
maksudnya, chat denganmu itu, sudah benar diletakkan di hati
paling dalam.”
Alan hanya tersenyum tipis.
Aku dan Alan sedang berada dalam mobil. Perjalanan pulang.
Baru saja menjemput kakek dan nenek Alan yang pulang dari
Mekkah. Sebelum pembubaran jama’ah haji tadi, mobil Inova yang
aku tumpangi ini terlebih dulu menjemput Alan, di pesantren.
Ups! Aku lupa ini rahasia. Tapi baiklah, sudah terlanjur
dikatakan, namun jangan bilang siapa-siapa! akan aku jelaskan story
pendek kenapa Alan bisa di pesantren.
Keesokan hari, setelah penobatan kejuaraan hadis, Alan ikut
ayahnya ke pengajian akbar, di pesantren tempat ayahnya dulu
mondok dan mengabdi. Membawa tas kecil berisi sarung, kaos dan
baju putih, masing-masing satu. Tak lupa buku, pulpen dan al-
Quran. Ia tidak bilang pada siapa-siapa, hanya pamit
mengkhatamkan al-Quran pada ibunya, sebelum berangkat.
Selama di perjalanan Alan hanya mematung, berpikir, benarkah
yang ia lakukan. Pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan.
Ayahnya duduk di samping. Di depan ada kakek, sedang yang
mengemudi adalah pamannya. Saat itupun belum ada yang tahu,
kalau Alan membawa pakaian ganti. Barulah saat turun dari mobil,
ia minta izin untuk menetap. Itupun hanya pada kakeknya. Itulah
sekelumit cerita kepergian Alan.
Saat ini aku dan Alan ada di mobil Inova hitam, bersama
dengan nenek Alan. Sedangkan sang kakek ada di depan, di mobil
berwarna abu-abu itu. Di belakang kami ada puluhan mobil yang
ikut serta menjemput kepulangan Haji Ali (kakek Alan).
“Alan!” aku menunjuk keluar kaca mobil.
Di luar sana Aini menatap lamat-lamat ketika mobil yang kita
tumpangi memasuki halaman rumah.
Spontan Alan menunduk ketika melihatnya.

125
“Kau tenang saja, Lan. Kaca mobil ini akan tampak hitam dari
luar. Apalagi malam seperti ini.”
Ketika mobil berhenti, nenek Alan keluar lewat pintu kiri, dan
langsung tak bisa dibendung, orang-orang berebut bersalaman.
Begitu pula Aini.
Kesempatan bagi Alan, keluar dari pintu mobil yang kanan,
menyelinap di keramaian dan masuk ke dalam rumah, langsung
menuju kamar. Aman. Aini tidak melihat.
“Kau pikir sedang main petak umpet, lihat di luar sana! Aini
mencarimu.” Aku berkata sedikit tegas pada Alan saat aku menutup
pintu kamar.
“Biarkan!” Alan acuh tak acuh dan duduk di sisi ranjang. Sikap
Alan memang begitu dari dulu. Bersikap ingin biasa-biasa saja
walau hatinya sedang gelisah atau marah. Dan aku mengira, jikapun
Aini dimiliki orang lain, alan akan tetap ingin bersikap biasa-biasa
saja, meski hatinya terluka parah. Seperti ‘biasa-biasa saja’nya saat
Aini pacaran dengan Zaki.
“Aku masih tak percaya tentang chat saat kecelakaan itu.” Aku
mengulang haluan pembicaraan,
“Ah, sudahlah. Kejadian itu sudah setahun silam.”
“Tapi aku masih penasaran, Lan!” Aku tidak menyerah untuk
membuat alan bercerita. “Aku masih tidak percaya, Lan. Tentang
chat spontan itu. Apa benar saat terhempas jatuh, Aini langsung
berdiri, mengambil hape di genangan air, mengetik sesuatu dan
mengirimkannya padamu. Apa saat itu ia tidak merasa sakit.
Padahal jatuh dari sepeda yang melaju, bukan hanya dari tangga.”
“Justru aku tidak percaya Aini kecelakaan. Bisa saja ia cuma
pura-pura. Atau ngechat dulu sebelum kecelakaan.” Jawaban Alan
ngelantur, tidak masuk akal. Membalikkan fakta dan kenyataan
untuk menafikan Aini.
“Jelas-jelas saat aku menjenguk Aini, ia benar-benar terluka.
Tangannya yang satu diperban. Tanyakan saja pada Zaki, Zahra,
Nisa yang ikut menjenguk waktu itu. Hanya kamu yang tidak mau

126
diajak menjenguk. Banyak tetangga sekitar juga. Kau juga bilang,
Lan. Malamnya kau menyuguhkan lagu sampai Aini tertidur. Apa
kau tahu, sampai saat ini, Aini masih merasakan nyeri di tangannya,
ketika cuaca terlalu dingin. Dan bagaimana mungkin ketika
pertama jatuh ia langsung ngechat. Jika kamu bilang Aini ngechat
sebelum kecelakaan, itu lebih mustahil. Tidak mungkin Aini
mengetahui masa depan. Tidak mungkin juga hasil menebak-
nebak.”
“Iya-iya aku percaya.” Alan memotong.
“Terus kamu percaya Aini ngechat begitu saja.” Aku bertanya
lagi.
“Aku yang mengalami dan menerima chatnya langsung, masih
kurang percaya.” Alan tidur membelakangiku.
“Oh, apakah gerangan yang menggerakkan Aini.” Suaraku
bernada puisi. “Apakah itu cinta…”
“Sudah-sudah aku capek mau tidur.” Alan memotong.
“Tapi aku masih khawatir pada Aini, Lan, apa kamu sudah
benar-benar tidak mencintainya lagi?”
Berapa detik kemudian Alan diam tak menjawab.
“Kalau kamu khawatir, buat surat pemberitahuan, bilang kalau
Alan sudah pergi.” Alan menutup telinganya dengan bantal.
“Tapi…” Kali ini aku menyerah. Tak meneruskan menggoda.
***
Keesokan harinya aku bersungguh-sungguh membuat surat
perintah Alan tersebut. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Aku tidak pernah menulis surat.
Setelah sejam berkutat dengan pulpen dan kertas kosong,
akhirnya aku mulai menulis di bawah pohon mangga, halaman
sekolah, ditemani angin pagi yang merayu rambut. Hari ini aku
datang pagi-pagi sekali hanya untuk menulis surat itu, entah
mengapa aku merasa itu sangat penting.
Namun setelah satu kalimat rampung, tiba-tiba pikiranku
tumpul. Selang beberapa saat, Aini dan Nisa muncul di gerbang

127
sekolah. Buru-buru aku masuk ke dalam kelas, membacanya sekali
lagi: “Dia pergi bukan tuk ditunggu, apalagi untuk dirindu.” Ya, itu
memang kalimat dari Alan, mau gimana lagi, aku tidak pandai
membuat kata-kata.
Aku tinggalkan kertas itu di bangku Aini dan segera keluar.
Ketika Aini dan Nisa masuk kelas, aku mengintip di pintu.
Penasaran bagaimana reaksi mereka.
Celakanya, Nisa mengenal itu tulisan siapa dan langsung
menunjuk ke arahku yang sedang mengintip di pintu. Aku melotot
hendak marah pada Nisa, namun aku tidak bisa marah.
Sedangkan Nisa malah menunduk pipinya memerah sembari
memainkan ujung kerudung. Seperti takut terlebih dulu, padahal
aku belum bilang apa-apa. Itu yang membuatku penasaran, ada apa
dengan Nisa?
Seakan-akan hari ini adalah pertama bertemu, padahal dari
paud kita sudah berteman. Atau hanya pengelihatanku yang salah.
Sampai pelajaran dimulai dan guru menjelaskan, aku masih saja
memikirkan hal tersebut. “Nisa.” Ada apa dengannya hari ini.
Aku beranikan diri untuk menoleh. Dan, dheed. Pandangan kita
bertemu, hanya sesaat dan langsung aku menghadap ke depan lagi.
Berdebar-debar hatiku. Seakan-akan itu adalah pandangan kedua
yang melahirkan cinta, setelah pandangan pertama tadi yang
membuat penasaran.
Walaupun aku mengalaminya sendiri, aku tetap tidak mengerti
bagaimana lahirnya cinta itu. Yang semakin di tahan, cinta itu
semakin tumbuh, bahkan sampai saat aku menulis cerita ini, aku
selalu membayangnya. Menceritakan secuil tentangnya, tanpa
sengaja, aku lupa, dan baru sadar cerita ini tentang ‘Alan’ bukan
‘Anam’. Segera aku beralih dan hanya berkomentar: “Alan benar.
Cinta itu aneh.”
***
Saat acara sakral itu. Aini, Nisa, Rini dan Fatimah turut hadir,
mendampingi Zahra. Aku juga semua teman-temanku telah hadir

128
kecuali satu, Alan. Padahal keluarga Alan, semua sudah hadir dari
tadi. Jika Alan tidak juga datang, bisa gagal rencana yang kita
sepakati. Rencana ketika di pesantren.
Ketika aku mengantar undangan pernikahan Zaki dengan
Zahra ke pesantren, (Alan memang masih di pesantren, tapi sudah
menjadi pengurus). Ia berjanji akan pulang dan datang ke acara ini,
tidak hanya itu, Alan juga bilang, akan melamar Aini. Jika
diperbolehkan, akan akad waktu itu juga bersamaan dengan Zaki.
Waw. Makanya aku memilihkan gaun putih khusus untuk dipakai
Aini hari ini. Hampir sama dengan yang dipakai Zahra. Namun lebih
sederhana, tanpa terlalu banyak riasan, itu permintaan Alan juga.
Aku belum bilang siapa-siapa, termasuk Aini sendiri.
Namun sampai detik inipun Alan belum juga datang. Sebelum
acara dimulai Aini datang padaku, ditemani Nisa. Ia menunjukkan
sebuah chat dari nomer tak dikenal.
“Pulang….” Aku tidak meneruskan membaca, aku sudah tahu
itu chat dari Alan, namun aku tidak bilang pada siapa-siapa, karena
aku sendiri tidak tau apa maksud kata-kata tersebut. Hanya
memaknainya dengan kita bisa memulai acara ini.
Ketika mereka berlalu, aku mencoba menelpon nomer yang
menge-chat Aini tadi. Hingga tiga kali tidak ada jawaban, aku
memutuskan keluar, baik ada maupun tanpa Alan, acara harus
tetap dimulai. Aku berbisik pada Zaki. Disaat yang sama, kiai
berdawuh memecah keheningan yang tercipta sejak tadi.
“Bisa kita mulai?”
Zaki mengangguk gerogi, pelan-pelan menjabat tangan kiai.
Acara ini benar-benar sakral. Satu detik jantung mulai memompa
lebih cepat. Dua detik, keringat dingin mengalir, tiga detik…..
“Ya, Zaki. ‘Aqadtuka…”
Tiba-tiba Alan muncul di mulut pintu.
Juga tiba-tiba Aini berdiri –tanpa sadar–.

129
Aini duduk lagi, mengambil hp, mengetik sesuatu, “Jadi, ini
kamu.” Chat terkirim, apa itu juga dilakukan Aini di luar kesadaran?
Entahlah…
Suasana yang mulai tegang berangsur lebih menegangkan,
memerhatikan sosok tegap Alan yang tiba-tiba gugup meraba hape
di sakunya yang berdering. Ketika dering terhenti, mula-mula
mendekat dan mencium tangan kiai. Lalu beranjak mendekati
ibunya. Aku tidak tahu apa yang dikatakannya! Setelah ibunya
mengangguk, mencium tangan ibunya. Lalu mendekati sang kakek,
hal serupa ia lakukan. Pada ayahnya juga.
Ketika semua keluarganya selesai disalami, ia duduk di
hadapan ayah Aini, yang bertepatan tak jauh dari aku duduk. Ini
waktunya. Semua yang hadir tetap menatap bingung sosok Alan
dengan wajah yang berubah pucat, mungkin karena gugup atau
malu.
Lihatlah, sosok yang selalu ingin terlihat ‘biasa-biasa saja’ itu,
sekarang tidak bisa biasa lagi.
“Saya… se… seperti yang Anam sampaikan pa… pada bapak!”
Suara Alan terdengar sangat gugup. Bahasanya kaku.
Sedangkan bapak Aini tampak heran memandang Alan, lalu
beralih memandangku. Karena Alan menyebut namaku
Aku mencolek pinggang Alan dari belakang, dan berkata lirih:
“Aku belum bilang soal rencana itu pada siapapun.” Dalam hal ini,
aku yang salah. Rencananya aku yang harus bilang terlebih dulu
pada bapak Aini. “Namun, tidak perlu pada Aini.” Begitu kata Alan
dulu. Ingin membuat kejutan.
Alan seperti tersentak kaget dalam sekala kecil, ketika
mendengar penuturanku.
“Ya… se.. seperti yang belum Anam sampaikan…”
Aduh , kenapa Alan muter-muter bicaranya.
Aku mengusap wajah, jadi ikut merasakan panas-dingin tak
menentu.

130
“Saya… saya ingin… melamar. maksud saya… saya
bermaksud… e… e… anu...”
Alan tiba-tiba belagu. Aduh bisa lama nih, acaranya. Akhirnya
aku persilahkan kiai untuk mencicipi buah-buahan yang
dihidangkan terlebih dulu. Sambil menunggu maksud dari Alan
yang berputar-putar ditempat. Sedangkan Aini di sana menutup
wajah. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Entah apa yang
dirasakannya saat itu. Ikut malu –mungkin–.
Keringat Alan mulai mengalir, wajah merah pucat. Dan terus
mengulang-ulang kata “Saya.”
“Alan!” Kiai memanggil, berwibawa. “Kemari, duduk di sini!”
Beliau menepuk lantai.
Alan beranjak bingung, bergegas duduk di sebelah kiai. Tetap
dengan tidak biasanya. Karena yang ia sampaikan belum jelas
maksudnya.
“Makan ini!” kiai menyodorkan jeruk yang telah dikupas
kulitnya separuh. “Manis!” tanya kiai pada Alan, setelah
mengunyahnya satu biji, yang ditanyai hanya mengangguk ragu,
sambil memejamkan mata. (Aku tadi sudah mencicipi jeruk itu dan
rasanya kecut sekali). Kiai kembali mengambil satu buah,
mengupasnya separuh, dan menyodorkan pada Zaki.
“Habiskan dulu. Nanti lanjutkan akadnya.” Kiai berdawuh, hal
yang tak bisa ditolak Zaki.
Terpaksa Zaki memakannya. Berat sekali rasanya untuk
ditelan. Demi perintah kiai, demi semua hadirin, demi tidak
menanggung malu, demi Zahra yang tersenyum lucu di ujung sana,
demi cinta yang butuh pengorbanan, (Itu kata Alan dulu, saat
menghabiskan kue dirumah Aini). Zaki memaksakan untuk menelan
jeruk yang teramat kecut itu.
Terlihat Aini juga menutup senyumnya. Pandanganku beralih
pada seseorang yang ditatap Aini. Ya, Alan di sampingku. Mungkin
juga merasakan apa yang Zaki rasakan. Menahan rasa kecut dan
memaksa menelan.

131
Sementara itu kiai berbincang-bincang dengan bapak Aini.
Menyampaikan yang tak sempat aku sampaikan, mengutarakan
yang tak bisa Alan utarakan. Terakhir kiai berdawuh: “Sekalian Alan
juga diakad sekarang.”
Diikuti anggukan setuju dari semua yang hadir. (Dan memang
itu rencananya. Dari siapa kiai mengetahui rencana itu? Masih
menjadi teka-teki).
Saat jeruk Zaki masih tersisa tiga biji, ia menoleh pada Alan.
Ah, milik Alan sudah habis. Mungkin pengorbanan Alan lebih besar,
hanya itu perkiraanku. Zaki cepat-cepat menghabiskan miliknya.
Benar-benar dipaksakan menelannya.
Akad berlangsung sebagaimana mestinya. Dengan
ketegangannya, kesakralannya, dan keharuannya. Pertama Zaki
dulu yang diakad oleh kiai, kemudian Alan. Seusai doa, Alan
langsung pamit pada mertuanya, ingin mengajak Aini sholat.
Permintaan itu tidak ditolak.
Mereka; Alan dan Aini (pengantin baru) sholat di kamar.
Singkat cerita, usai sholat hape Alan berbunyi.
“Kenapa tidak bilang dulu kalau mau nikah?” itu chat dari Aini,
yang duduk di belakang Alan. Padahal dekat, masih saja Aini bicara
lewat chat. Dan chat itu bukan kalimat penolakan atau ketidak
setujuan. Justru itu ungkapan rindu yang tak tertahan. Rindu yang
menghalilintar. Namun tiba-tiba dipertemukan dalam ikatan tanpa
jarak. Halal. Hingga meluaplah bahagia tiada tara tanpa bisa
diungkap.
“Ya, seperti dulu, aku tidak bilang mau pergi.” Alan langsung
menjawab, berpaling menghadap istrinya. Tak ingin melanjutkan
chat-an. Sekarang Aini bukan orang lain lagi.
“Kamu pergi dan datang begitu saja, tanpa minta
persetujuanku. Kamu anggap aku boneka.” Aini menjawab ketus.
Sebenarnya ini hanya mengulang pertengkaran di chat beberapa
tahun silam. Bedanya, sekarang secara face to face, tatap muka
langsung.

132
“Kamu tahu kan, alasanku pergi?”
“Untuk menyendiri!” jawaban Aini bernada dingin.
“Kurang lebih begitu.” Jawab Alan santai.
“Lalu kenapa sekarang pulang?” Intonasi Aini tegas.
“Karena aku membutuhkanmu!”
“Butuh, untuk apa?” Tanya Aini mulai penasaran.
Alan meraba saku, mengambil sesuatu, “Aku butuh kamu untuk
menghabiskan ini.”
Ya Allah, Alan! Itu kan jeruk yang diberikan kiai tadi. Sudah
tinggal separuh lagi. Aini memandang heran sekaligus tersenyum
gemas (ada-ada saja kau, Lan), meski Aini belum sepenuhnya
mengerti.
“Aku tidak bisa menghabiskan sendiri, aku butuh kamu. Mau
aku suapin?” Alan merobeknya sebiji. Yang disuapi tidak menolak.
Membuka mulut, tanpa menjawab, pertanda mau.
Aini memejamkan mata ketika mengunyahnya. “Hm, kecut!”
“Lagi?” Alan bertiga menyodorkan sebiji lagi. tak
mempedulikan Aini yang bilang kecut.
Aini bahkan tak peduli katanya sendiri, malah mengangguk
lagi. Tersenyum.
Jadi itu pemahaman Alan sekarang tentang cinta. Berbagi.
Karena kecut, asem, pahit, manis, asin, dan pedas sekalipun akan
indah jika dijalani bersama. Saling mengerti dan memahami.
Tentunya dalam ikatan halal.
Semua orangpun tahu, dunia ini bukan hanya berisi
kesenangan. Dan di saat terpuruk itu kita butuh teman untuk saling
menguatkan. Jadi Alan bisa pulang sekarang, ke rumah yang halal
baginya. Rumah tempatnya kembali dari perjalanan panjang
‘kesendirian’. Untuk menjalani perjalanan yang lebih panjang
‘berdua’ menuju kehidupan Abadi di surga, semoga!
Alan terus menyuapi Aini, hingga tersisa satu biji.
“Tinggal satu, kita bagi dua?”

133
“Hah!” Aini menganggkat sebelah alisnya. “Itu tidak mungkin
Alan, airnya akan berceceran. Makan kamu saja kalau kamu mau!”
“Tidak. Kita akan tetap makan berdua.” Dengan serius. Alan
mendekat. Sembari meletakkan jeruk itu di bibirnya.
Aini masih menatap bingung melihat kelakuan Alan. Tanpa
bicara lagi Alan segera meraih dan menggenggam tangan Aini, agar
Aini tidak mengambil jeruk di bibir Alan dengan tangan. Alan
memberi isyarat, agar Aini mengambilnya juga denga bibir. Tatapan
keduanya bertemu. Menegangkan. Dan hanya merekalah yang
mengerti makna tatapan itu sekarang.
Masihkah jeruk itu kecut?
Hape Aini terlepas dari genggaman ‘tanpa sadar’, di sana chat
Alan yang tadi terbuka. Penasaran! Silahkan dibaca sendiri!
PULANG, CARA TERBAIKKU BERBAGI DENGANMU.
Malam Selasa. 27 Romadhon 1439
Tangga masjid bagian selatan

134
Menantang Gelombang
AKU kira, aku sudah menjadi orang yang ikhlas setelah suka
memberi pada teman tanpa pikir panjang. Aku kira sudah ikhlas,
setelah terbiasa memberikan keringanan pada orang yang
berhutang padaku, dengan bilang anggap saja hutangnya lunas,
dan benar-benar melupakannya semenjak pertama kali ku serahkan
uang itu.
Ternyata aku salah. Ikhlas itu bukan tentang memberi, justru
tentang menerima.
Entah, aku tidak tahu ini salah siapa, dan aku tak tahu ingin
membenci siapa. Semua orang seakan memang tak pernah
memihak. Aku terpojok tanpa bisa memilih, seperti perahu kertas
yang dilepas di sungai berbatu. Terombang-ambing tanpa daya
upaya.
Dimulai ketika aku dipanggil ke kantor keamanan. Dalam
pikiranku berkecamuk banyak pertanyaan. Rasa-rasanya aku tidak
135
pernah melanggar. Tidak pernah keluar tanpa izin resmi. Bahkan
kalau direka-reka lagi, tahun ini aku tidak pernah pulang. Selalu
menetap dan kerasan di sini. Tidak pernah terbenak pergi tanpa
pamit. Lalu apa gerangan yang membuatku dipanggil ke kantor
keamanan.
Apa karena geledahan semalam?
Tidak mungkin. Aku tidak membawa barang-barang yang
dilarang. Tiba-tiba aku teringat surat dari adikku, Nisa. Sebelum
melanjutkan langkah, aku mendadak balik kanan, berlari ke asrama.
Ku acak beberapa buku, mengeceknya lembar demi lembar. Surat
itu masih ada. Tapi, ah, mana mungkin pengurus menghukumku
karena surat dari saudari kandungku sendiri.
Pertanyaan kembali berserakan di kepala. Aku kembali
menyusun gelembung-gelembung waktu. Mungkin aku pernah
tidak ikut kegiatan!
Sampai di kantor keamanan, aku mengucap salam. Dua
pengurus sama-sama berkopyah putih terlihat sangar. Bedanya,
yang satu berbadan gempal tinggi, yang satu setara manusia pada
umumnya.
“Duduk!” pengurus berbadan gemuk menunjuk kursi di
depannya lembut. Wajahnya tenang, namun itu bukan tenang
dalam arti biasanya.hampir samalah, artinya dengan buaya,
mengendap-endap siap menerkam.
Aku hanya tunduk patuh mengikuti titah; bersiap menerima
interogasi dari dua pengurus yang terkenal angker ini. Tempat
dudukku terpisah meja kayu setinggi perut.
“Jelaskan tentang ini.” Pengurus mengenakan batik coklat
menyodorkan Smartphone hitam. Kini tepat sudah berada di
depanku.
“Saya tidak tahu Ustaz!”
“Kenapa bisa ada di lemari kamu?” pengurus berbadan gempal
memukul meja dengan keras. Matanya melotot tajam. Menyergap
sudah buaya itu.

136
“Saya tidak tahu.”
Plassh. Sebekas tamparan berhasil tercetak di pipiku.
“Lalu milik siapa?” tanya lembut dari pengurus berbatik coklat.
Lembut-lembut nyengir menakutkan.
Aku terperangah bingung. Jelas aku tidak tahu. Sungguh hanya
kali ini aku melihat Smartphone itu.
“Saya bisa membantu memperingan hukumanmu, jika kamu
bisa bekerja sama. Jangan takut, katakan saja siapa yang yang
membawa hape itu.”
Aku tidak tahu harus menjawab siapa dan benar-benar tidak
tahu, kenapa hape itu ditemukan di lemariku.
“Jika kamu diancam, kami bisa melindungi. Sekarang kamu
jujur siapa pemilik hape ini.” Ujar pengurus tadi dengan nada
lembutnya yang perlahan meninggi.
Aku menggeleng.
Plash. Lagi-lagi terasa panas di pipi kiri. Ku raba perlahan.
Sedikit meringis kesakitan, namun ku sembunyikan.
Aku bingung. Pasrah. Keringat mengalir
“Mengaku saja, biar masalahnya tidak semakin rumit.”
Pengurus berbadan gempal menyulut sebatang rokok. Asap putih
segera mengepul dari mulut dan hidungnya. Dengan gaya khasnya,
merentangkan tangan pada sandaran kursi.
“Siapa ketua kamarmu?”
Aku menyebutkan sebuah nama, kemudian disuruh
memanggilnya. ber gegas menemui ketua kamar di teras asrama,
sedang ngopi bersama beberapa ketua kamar lain.
“Apa kamu pernah mengenali hape ini.” kata pengurus yang
mengenakan batik pada ketua kamarku. Sekembalinya aku
bersama ketua kamar ke kantor keamanan. Menunjukkan
Smartphone hitam, di pojok layar terdapat garis retakan sehelai
rambut.

137
Ketua kamarku sedikit terperanjat sebelum akhirnya
menggeleng; ‘tidak pernah’. Wajahnya memerah, ketakutan. Entah
karena apa. Atau mungkin…
“Ketika geledahan, kami menemukan hape ini di bawah lipatan
baju dilemari anak buah kamu. Kamu bagaimana jadi ketua kamar,
kok sampai tidak mengetahui barang-barang yang dibawa oleh
anak-anak santri sekamarmu.”
“Tapi dia, pak!” Tunjuk ketua kamar kearahku. “Dia jarang ada
di kamar. Jarang terlihat dengan teman-temannya yang lain.”
Kedua pengurus itu melotot tajam ke arahku. Wajahnya merah
padam.
“Biasanya sehabis jam belajar dia keluar, tidak ada di kamar.
Saya tidak tahu pastinya. Namun yang jelas, dia selalu kembali jam
dua atau tiga malam.”
“Apa benar?” pengurus gemuk berkemeja abu-abu itu bertanya
kasar.
“Iya.” Jawabku tertunduk takut. Namun sungguh aku tidak
berbuat yang macam-macam.
“Pergi kemana kamu tiap malam.”
Rasa takut menjalar di seluruh saraf. Aku bergidik lemas, lupa
untuk menjawab apa. Suaraku tercekat di tenggorokan antara
takut, dan ah… aku tidak bisa menjawab yang sebenarnya. Sebab
kata ikhlas itu masih melayang-layang dalam anganku. Aku takut
jika aku katakan, ibadahku selama ini akan sia-sia karena riya’.
Tapi…
“Kemana kamu tiap malam?” Bentaknya lagi, sambil memukul
meja. Tatapannya mengancam. Dan plash… tangan kekar itu untuk
ketiga kalinya menyapu kulit pipiku. Satu dua kali hingga entah
sudah beberapa kali tamparan bertubi-tubi melepuhkan kulitku.
Ringan sekali tangannya untuk melesat terbang menyapu kulitku.
Kuusap bibir yang terasa nyeri. Darah segar mewarnai ujung
jari.

138
“Sungguh Ustaz, bukan saya yang membawa hape itu!” Ucapku
lirih yang terlontar begitu saja. Tanganku masih sekali dua
mengusap bibir yang terus mengeluarkan darah. Selaput bening
menggenangi pelupuk mata. Aku tertunduk, mencengkram ujung
baju. Aku tidak boleh menangis.
“Banyak bicara!” Bentak pengurus itu lagi. tangannya lagi-lagi
tak terkontrol.
Pipiku terasa panas terbakar. Akhirnya aku hanya bisa duduk
pasrah, menahan perih. Sembari berusaha terus membendung air
mata agar tidak tumpah. Aku hanya bisa diam tanpa membantah
lagi. seperti perahu kertas yang dilepas di arus sungai yang deras.
Terombang-ambing tanpa tujuan.
Begitu juga ketika disuruh menandatangani surat keputusan
pelanggaran.
***
Malam hari itu juga, ba’da Isyak, pelanggaran atas namaku
diumumkan. Tersangka wajib mengkhatamkan al-Quran di
pesarean dua kali selama dua minggu. Membaca munjiyat berdiri di
depan kantor, dan tidak boleh pulang dengan alasan apapun sampai
akhir tahun. Hukuman itu bagiku tidak masalah. Yang terbenak di
kepalaku waktu itu adalah tentang ujian keikhlasan. Aku mencoba
berprasangka baik. Tindakan-tindakan itu untuk menebus dosa ke
pesantren ini, yang ku sadari maupun tidak. dan diumumkannya
pelanggaran tak berdasar ini, untuk menguji kekebalan hati.
Bersikap acuh tak acuh pada penilaian orang lain. Ini tingkat ikhlas
yang paling berat, berpacu pada penilaian Allah semata. Kurang
lebih begitu yang ku pahami.
Ku kira akan semudah bayanganku ketika membacanya di buku
dan di kitab. Namun di saat selesai jam belajar…
Aku meletakkan kitab di lemari. Meraih surat dari Nisa dan
membacanya lagi. kemarin, paman kesini dan menitipkan surat ini
ke Adam. Aku tidak sempat menemuinya karena sedang masuk
sekolah. Isi suratnya tidak panjang, di sana adikku, Nisa, bilang

139
kalau Bapak belum bisa ngirim uang, karena Ibu sedang sakit. Soal
kiriman aku tidak keberatan. Aku hanya khawatir Ibu sakit parah.
Ku lipat dan ku selipkan surat itu di tempat semula. Mengambil
tasbih lalu melangkah keluar.
“Mau kemana?” tanya ketua kamar menghentikan langkahku.
“Duduk dulu, aku ada perlu.” Tambahnya sebelum aku sempat
menjawab.
Teman-teman sekamarku di kumpulkan oleh ketua kamar.
Aku duduk mengikuti kehendaknya, bersiap menjadi bulan-
bulanan teman-teman sekamar. Di kamar ini sudah biasa seperti itu
dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau ada masalah atau pesan-pesan
yang ingin disampaikan, seluruh anak kamar dikumpulkan.
“Kamu sudah membuat malu kamar ini. Kalau mau pindah,
bilang saja! Kami akan memindahkan lemarimu.” Ucap ketua kamar
dengan intonasi tinggi. Amarahnya memeledak. Kata-katanya tak
terkendali. Dia tak kan peduli meski petuahnya menerkam ulu hati.
“Dasar tidak tahu aturan. Kamu sudah membuat malu orang
tuamu. Apa kamu tidak kasihan pada mereka? Mereka itu orang
tuamu. Bekerja siang malam di rumah, rela berpanas-panasan,
mengorbankan keringat, hanya untuk makanmu sehari-hari di sini.
Kamu kok malah mencekik orang tuamu, kirimanmu kamu buat
melanggar. Sama saja kamu itu mendorong orang tuamu ke
Neraka. Apa sih maumu. Kalau mau pindah ke kamar lain, bilang,
kamar mana yang kamu inginkan. Biar kami pindah baju-bajumu
sekarang juga.”
Aku hanya menggeleng saat ditanya seperti itu. Sedangkan
ketua kamar dan teman-teman yang lain terus saja mengoceh,
entah itu nasehat peringatan, atau ancaman. Yang jelas membuat
telingaku panas. Perih, nyeri dihati. Dipikir-pikir, nasehat mereka
ada benarnya, namun terdengar keruh, banyak terkontaminasi
salahnya.
Baik dari tuduhan-tuduhan tanpa bukti itu sampai ancaman-
ancaman mengusirku. Seakan semua nasehat itu hanya dilandaskan

140
untuk menjaga nama baik kamar ini, bukan saling mengingatkan
karena Allah.
Malam itu aku menyadari satu hal. Aku masih belum bisa
berdiri ditingkatan Mukhlishin (Orang-orang ikhlas). Karena hatiku
masih bergejolak saat dimaki dan dikucilkan. Padahal seorang yang
sudah duduk manis di kursi Mukhlishin, tidak pernah lagi
menghiraukan penilaian orang.
Perkumpulan kecil itu berakhir jam dua belas malam. Aku
segera keluar menuju kolam. Berwudhu lalu ke masjid. Sholat dua
rakaat, kemudian duduk khusyuk membaca istighfar dan dzikir. Tak
terasa air mataku menetes. Teringat Ibu di rumah yang terbaring
sakit. Namun saat itu juga kantuk menyerang. Lelah, seharian tidak
istirahat.
***
Terkejut. Setelah berlari aku keluar dari masjid. Ku pakai sandal
dan berlari menuju gerbang. Aku ingin pulang.
“Mau kemana?” saat berpapasan, ketua kamarku bertanya
heran.
Aku tetap berjalan mantap tanpa mengurangi kecepatan. Pintu
gerbang ditutup namun tidak terkunci. Ku buka sedikit. Setelah
beberapa langkah di luar gerbang ada yang menahan tanganku.
“Kamu mau kemana?” ketua kamar ku masih mengejar.
“Aku mau pulang, Kak.” Aku meronta mencoba melepaskan
cengkraman ketua kamarku. Cengkraman itu sangat kuat, aku tidak
kuasa melepaskannya.
“Tapi kamu masih dalam hukuman, tidak boleh pulang dengan
alasan apapun.”
“Kak, aku mohon, lepaskan! Aku mau pulang. Ibuku sakit.” Aku
memelas.
“Tidak bisa.” Memang ketua kamarku tidak membentak
ataupun marah lagi, namun tetap tidak membolehkanku pergi.
“Kak, aku mohon. Ibu sedang sakit, Kak.” Air mataku. Meleleh.
saat tertidur duduk tadi aku mendengar Ibu memanggil. Suara

141
lemahnya masih terngiang di telinga. Hampir aku tak bisa
membedakan itu mimpi atau nyata.
Aku masih mencoba melepas genggamannya, walau tenagaku
semakin melemah.
“Besok aku antar ke kantor perijinan. Mungkin bisa dapat
keringanan. Kalau sekarang sudah malam. Sekarang, kamu tidur,
ya!” tangannya di pundakku. Mendorongku lembut kembali ke
asrama.
Ku lirik jam. Tepat menunjuk angka dua, dini hari. Tiba-tiba aku
menyalahkan smartphone itu. Siapa sebenarnya orang yang
menfitnahku. Entah kenapa dugaanku semakin kuat. Smartphone
itu milik ketua kamarku.
Tadi dia bersikap kasar dan marah habis-habisan, itu hanya
untuk menjaga nama baiknya di depan pengurus dan teman-teman
sekamar. Dan sekarang bersikap lembut untuk menutup-nutupi
kesalahannya.
Ah! Segera aku tepis prasangka buruk itu.
***
Mataku perih, memerah. Entah karena terus menangis, atau
karena tidak bisa tidur semalam suntuk.
Setelah hadiran shubuh, aku langsung berlari ke kantor.
“Tidak bisa. Kamu kan masih menjalani hukuman.” Jawab
pengurus berjenggot tipis.
“Tapi ibu saya sakit, Ustaz.” Aku kembali memelas. “Saya janji,
saya tidak akan pulang lama. Saya hanya ingin menjenguk ibu.” Air
mataku tak cukup untuk meluluhkan hati pengurus itu.
“Nanti setelah pengajian kitab kamu kesini lagi.” Balik kanan,
masuk kantor. Pengurus itu tak menghiraukan permohonanku. Air
mataku semakin tak bisa ku tahan. Tapi apa boleh buat, aku hanya
bisa mengikuti perintahnya dengan hati berat.
Saat pengajian aku tertunduk lemas. Menutup wajah dengan
sorban, menyembunyikan tangisku yang terisak. Pulpen tergeletak,
aku tidak ikut memaknai kitab.

142
Usai pengajian aku berlari lagi menuju kantor. Kali ini ditemani
ketua kamarku. Namun tetap tidak ada kelonggaran. Semua
pengurus saling melempar; disuruh izin ke pengurus ini, dari sini ke
pengurus itu. Semua tidak berani memberiku izin, hingga pengurus
terakhir menjawab dengan wajah polosnya;
“Kamu sekarang kan masih sekolah. Nanti saja sepulang
sekolah, saya yang akan mengantarmu pulang, tapi hanya
sebentar.”
Aku tidak puas dengan jawaban itu. “Sekarang saja, Ustaz, aku
mohon.” Panggilan ibu dari semalam semakin terngiang jelas. Aku
ingin pulang sekarang. Ketika pengurus itu masuk kantor, aku
berlari pergi, pulang saja, tidak perlu izin-izin lagi. tapi apalah daya,
ketua kamarku mengejar dan menangkapku. Aku kalah kuat. Aku
hanya bisa meronta, dan meronta hingga kehabisan tenaga.
Tak apa jika teman-temanku sekarang memanggilku cengeng,
aku tidak peduli lagi. Yang aku ingin hanya pulang menemui ibu.
Namun tidak ada yang mendengarkanku, tak ada lagi orang yang
percaya.
“Hey, hey, hey. Tenang, sabar. Nanti kamu akan diantar juga.
Sebaiknya kamu sekolah dulu sekarang, jangan terlalu gegabah.
Jangan buru-buru, cobalah belajar sabar.”
Ucapan ketua kamar itu benar juga. Aku harus lebih bersabar.
Sabar itu tidak ada batasnya, bukankah itu prinsipku dulu. Apakah
harus melupakan prinsip itu ketika dalam perjalanan keikhlasan?
Tentu tidak. karena sabar dan ikhlas harus berjalan berdampingan.
“Kalau kamu tidak bisa tenang, nanti masalahnya akan semakin
runyam. Bukan hanya kamu tidak diantar pulang, bisa saja
hukumanmu akan diperberat.”
Hatiku luluh. Dengan terpaksa lagi aku mengikuti perintah.
***
Sepulang sekolah kembali lagi. Kini aku kecewa. Pengurus yang
tadi menjanjikan mengantarku pulang sedang keluar. Kata
pengurus lain sedang mengantar santri yang sakit berobat ke

143
puskesmas. Aku kembali pasrah, apa dayaku selain duduk
menunggu di teras kantor.
Aku kembali menyalahkan tindakan itu. Jika seandainya aku
tidak sedang dalam hukuman pastilah aku sudah pulang. Jika
seandainya smartphone itu tidak ada di lemariku, pastilah bukan
seperti ini kejadiannya. Dan aku kembali mencurigai ketua kamar.
Kemana sekarang dia, tidak ada, tidak menemaniku lagi. Ah…
mungkin memang benar-benar dia yang membawanya, lalu
menimpuk salahnya sendiri kepundakku.
Atau sengaja menfitnahku karena iri. Ya, mungkin karena aku
jarang ikut perkumpulannya, jarang bergaul dengan yang lain, dan
sering tidak mau ketika diajak ngopi dan ngobrol.
Mobil Expass merah muncul di gerbang. Itu mobil pamanku.
Aku mendekat. Sesungging senyum sempat terlukis di wajahku.
Namun tidak lama. Senyum itu seketika pudar. Aku mencium
tangan pamanku.
“Hape paman tertinggal di lemarimu, paman lupa
mengambilnya usai nyabis ke Kiai. Kebetulan waktu itu kamu masih
sekolah. Eh, iya. Apa surat itu sudah sampai padamu?”
Aku menunduk tidak menjawab. Entah aku tak tahu ini salah
siapa, dan tak tahu ingin membenci siapa.
Pintu mobil terbuka, Nisa keluar dari mobil. Ujung kerudungnya
basah, matanya sembab. Kami lama tidak bertemu. Rindu itu
membuncah dalam hati, bahkan meluap-luap. Begitu melihatnya,
langsung terbayarkan. Begitu pula Nisa. Iapun lari memelukku. Aku
menyambut dengan hangat. Ia tersedu-sedu di pundakku.
“Kak! Ibu telah pergi.”
Aku mendadak lupa bagaimana caranya ikhlas. Lupa cara untuk
menerima takdir.
Teras asrama, Beddian
7 Rajab 1439
25 Maret 2018

144
Kenangan Bersama Aila
Masihkah Aku Santri? #1
SEPERTI kertas putih tenggelam dalam kolam berlumpur, kotor
sekali sudah. Tak ada harapan lagi seperti semula. Sore itu benar-
benar sore yang kelam. Bukan hanya tentang tenggelamnya
matahari di laut barat, lebih, lebih hitam dari malam, gulita. Seakan
tak ada secercah cahayapun yang bersisa. Hilang semuanya.
Padam.
Aku tak tak tahu lagi apa itu keimanan, aku tak tahu lagi apa itu
akhlak, aku tak tahu lagi apa itu batasan. Atau mungkin aku tak
peduli, melabrak semuanya. Runtuh benteng yang selama setahun
aku bangun. Dengan jerih payah, dengan bangun malam, dengan
sholat-sholat sunnah yang dulu sudah bisa menjadi kebiasaan. Tapi
hanya dengan setenggelaman matahari, tengelam pula titik cahaya
di hati.

145
“Ibu saya berangkat dulu.” Aku bersalaman, mencium
tangannya, pamit hendak pergi reuni teman esde. Dengan uang
lima puluh ribu dari Ibu aku tancap gas.
Terbayang sudah dosa itu. Menari-nari di pelupuk mata. Ya,
syariat yang aku bangga-banggakan akan segera hancur menjadi
bubur, berdebu dan lengket. Derik nasehat di hati masih saja
berteriak, seperti jangkrik malam yang mengganggu kesunyian. Tak
aku hiraukan, biarlah ia nanti bungkam dengan sendirinya. Sedang
aku terus melajukan motor agar segera terhindar dari derik-derik
iman itu.
Sampai di esde jam tiga lewat separuh. Aku datang pertama,
sambil memarkir motor di tempat biasa, duduk menunggu teman
lainnya. Kuraba saku mengeluarkan smartphone putih, mencoba
menghubungi yang lain, karena hari sudah mendekati malam.
Tempat acaranya bukan di sini, sekolah ini hanya tempat
persinggahan pertama, sebelum berangkat bareng menuju lokasi di
alun-alun kota.
Tak banyak mungkin yang datang, beralasan sibuk atau tak
sempat. Jadi yang ada hanya memaklumi, yang penting kita
ngumpul seadanya. Aku sebenarnya bisa untuk bilang sibuk juga,
tapi lama sudah aku tak ikut reuni ini. (Sebagai sebuah elakan
bahwa aku memang ingin ikut karena satu kesempatan, yang sulit
di dapat lagi. Ternyata imanku belum sekuat baja).
Aku mengedar pandang keseluruh sudut bangunan esde.
Sudah jauh berbeda dari delapan tahun silam, saat aku masih aktif
sekolah di sini. Beberapa tembok terlihat indah dengan lukisan
alam, diimbuhi beberapa kalimat motivasi semangat belajar.
Setelah beberapa menit Ilham dan Rehan datang, rupanya
mereka telah berubah. Ilham semakin tinggi kurus, sedang rehan
juga tinggi namun gempal. Ah, sudah sama-sama lulusan SMA,
enam tahun tak bersua. Beberapa teman mungkin sudah bekerja,
atau kuliah di universitas ternama. Dan mungkin akulah yang paling
terbelakang, anak pesantren.

146
Eits, tapi jangan salah, coba lihat penampilanku dengan baju
dan celana trendi ini. Tentu aku tak mau kalah dengan mereka soal
gaya. Bersama dengan mereka aku sebenarnya sudah merasa
aroma kesantrianku luntur. Seakan aku bebas seperti anak
sekolahan lainnya.
Aku menyalami keduanya, menyapa basa-basi, bertanya
banyak hal. Terutama dalam hal pendidikan, kemana mereka
melanjutkan sekolah setelah lulus esde. Karena memang sejak SMP
aku sudah terpisah sendiri dari yang lain, apalagi SMA, aku
melanjutkannya di pesantren. Dan titik sampai di situ. Di
pesantrenku tak ada kuliah. Aku hanya mencukupkan sekolah
madrasah saja. Jadi yang aku tempa selama ini adalah pendidikan
agama, mendalam hingga aku merasa memang pelajaran agamalah
yang paling penting.
Karena kebanyakan orang yang kurang pendidikan agamanya
merasa, pendidikan agama itu tidak penting. Seperti orang bodoh
tidak tahu menahu tentang ilmu, lalu merasa, ilmu itu tidak penting.
Atau orang tidak tahu tentang kenikmatan surga, lalu merasa surga
itu tak lebih baik dari dunianya.
“Siapa saja sebentar lagi yang ikut?” Tanyaku mengisi waktu
penantian, karena sejujurnya aku sudah tahu dari grup WA, yang
bisa ikut atau yang udzur. Atau mungkin kalimat itu hanya lebih
memastikan siapa yang jadi atau yang gak jadi.
“Sri dengan Zamilah, Anna paling sebentar lagi datang dengan
Riki. Kalau Aila kan dengan kamu, tapi saya samperin rumahnya
barusan ia sedang pergi.” Ilham yang menjawab, persis sedetail
yang aku tahu.
Hanya semenit berselang, Sri dan Zamilah datang. Mereka
mengenakan baju terusan, memanjang hingga kaki. Jilbab panjang
menjuntai, tampak anggun. Ah, rupanya teman-teman esdeku
sudah menjadi gadis cantik, nan sholehah. Hilanglah mungkin
sudah dari wajah mereka belepotan debu. Seperti dulu, bermain
kasti di halaman, kejar-kejaran, petak umpet, kembali masuk kelas

147
dengan wajah awut-awutan, basah oleh keringat. Bau juga paling,
tapi siapa peduli, masih anak kecil, mana peduli dengan tampilan.
Dan coba lihatlah sekarang. Mereka sudah pandai ber’mek-ap’.
Aku tersenyum pada mereka, lama tak bertemu membuat
canggung.
“Apa sudah ada yang menikah, dari teman sekelas kita dulu?”
tanyaku spontan. Eh, kenapa pertanyaan itu yang keluar.
“Lho kamu tak tahu! Bahkan sudah ada yang menimang anak.”
Zamilah yang menjawab, memandangku cengengesan. Ah, kamu
kurang apdet. Mungkin begitu jika dimaknai secara harfiyah.
“Ini dak ada yang mau nyusul?” aku memandang mereka
bergantian, Sri, Zamilah ke Sri lagi. Menunggu jawaban.
“Tunangan aja belum. Baru saja lulus SMA, aku rencananya
mau kuliah dulu, kerja. Mengejar masa depan.” Zamilah
menatapku.
Aku menunduk, pura-pura nge-cek hape. Jadi kikuk kalau
dilihat seorang gadis begitu. “Aila kemana?” aku beralih ke
percakapan lain, “Ini sudah lewat dari yang di tentukan, nanti bisa
kemaleman.”
“Coba telpon?” Rehan memberi usul.
Aku memandangnya, kebetulan sekali, aku punya banyak
gratisan nelpon dan sms, namun bingung mau ngubungi siapa. Dari
tadi hubungannya lewat WA terus. Aku menggeser layar kotak di
tanganku, mencari nomor Aila. Belum kutemukan, tiba-tiba Anna
datang, diantar oleh bapaknya.
“Kami sudah lama menunggu, ini datang, main terlambat-
terlambatan.” Ilham menggerutu –bercanda–, protes. Aku tak
menghiraukan, masih sibuk mencari nomor, menoleh sebentar
barusan. Menyapa basa-basi.
Persis saat aku menemukan nomor yang di cari, Riki datang
dengan sepeda motor tua. Tidak terlalu tua amat sih, paling tahun
duaribuan. (Cuma menebak, sih. Urusan sepeda motor kayak
ginian, jangan Tanya padaku. Sumpah aku tak tahu). Kalau orang

148
yang mengendarainya, tentu aku kenal banget. Teman satu bangku
dulu.
“Hey!” aku menyalaminya. Tiba-tiba lupa kelanjutannya, ingin
bertanya apa. Aku kembali fokus pada hape. Siap menelpon.
Telpon pertama, lama sekali tak diangkat, hingga operator
cerewet bilang nomor tujuan sedang sibuk. Aku masih sabar,
menelpon ulang. Untuk yang kedua kalinya sama, operator yang
mengangkat telpon. Aku mendengus kesal, ini anak, kok susah
dihubungi sih. (aku cemas-cemas dia batal ikut).
Aku telpon lagi yang ketiga kalinya. Akhirnya, telpon
tersambung.
“Sudah malam, lokasi di mana?” aku bertanya tegas, dan
langsung to the point. Tak usah pake salam atau ba-bi-bu lagi.
“Ini masih di rumah saudara, silaturahmi dengan keluarga.” Dia
menjawab polos, tak merasa bersalah. Padahal kami sudah dari tadi
nunggu, apalagi aku yang datang pertama.
“Beh, kamu niat ikut reuni tidak?” bukan aku yang menjawab.
Itu suara Ilham. Telpon aku loudspek.
“Iyah, iyah, sebentar lagi, ini masih mau makan.” Aila
menjawab kesal.
“Aduhh, nanti reuni ini acaranya makan-makan, masih makan
dulu pula.” Rehan ikutan.
“Ayo cepat, Ai. Ini yang lain sudah berlumut semua nungguin
satu orang.” Anna juga sebal, (padahal dia juga baru datang).
“Santai-santai, kalau keburu, jalan saja dulu dah!” Aila kesal,
aku membayangakan dia disana wajahnya bersungut-sungut.
“Ya udah, kami jalan dulu.” Aku yang menjawab. Tak kalah
lantangnya.
“Bheh… kamu tunggu di situ, nanti aku sama siapa?”
Waduh celaka, datang pertama, masih nunggu dia pula. Aku
mendengus dalam hati, awas nanti dia kalau benar-benar datang,
aku ceramahi habis-habisan. (Aku senyum cengengesan
membayangkannya, bukankah aku cemas dia tidak ikut. Sekarang

149
malah ingin memarahinya. Sejak kapan aku bisa marah pada
wanita).
“Tunggulah, sakejjhek perak! (Sebentar saja)” Aila menutup
telpon.
Aku kembali nelpon, tak diangkat. Berkali-kali, tapi tetap
operator cerewet itu yang jawab. Maka, jadilah aku ditinggal
sendiri.
“Kamu sabarlah menunggu, kami tunggu di alun-alun.” Kata
ilham padaku, sembari menghidupkan sepedanya.
“Kita jalannya pelan kok, nanti kamu ngejar.” Rehan yang
bonceng pada Ilham ikut menyahut.
Riki bersama Anna menyusul, aku menatap punggung mereka,
hingga hilang di tikungan.
“Sabar, ya, menunggu Aila.” Zamilah menggoda.
“Yah, iyah.” Aku (pura-pura) ber-puh, pelan. Aku juga
menghidupkan, mesin motor. Mengikuti mereka melintasi halaman
sekolah esde. Aku parkir di pintu gerbang. Zamilah dan Sri memakai
helm, jalan dulu. Aku terus memperhatikan mereka sampai hilang di
tinkungan sana.
Saat sendiri itulah, derik di hati kembali hadir. Lihatlah, aku
sekarang sedang menunggu untuk bermaksiat dengan seorang
perempuan, boncengan. Owh, jika benar-benar terjadi, maka aku
telah benar-benar menaggalkan kesantrianku.
Aku kembali menelpon, cepat-cepat Aila mematikannya.
Mungkin kesal, aku terus menghubunginya. Aku melihat jam di
layar hape, sekitar sepuluh menit sudah aku menunggu. (menunggu
untuk satu hal yang sangat besar). Entah kenapa aku masih sabar
saja menunggunya, padahal kalau aku pulang saja, aku bisa tiduran,
main game. Terlepas dari ‘boncengan’ itu. Tapi aku masih saja setia
menanti, bebal sangat kakiku untuk melangkah pergi,
membatalkan ikut reuni.
Tiba-tiba dia muncul dengan sepeda dan helm lucu merah
muda. Terbilang langka, orang punya helm seperti itu. Itu dengan

150
moncong kaca di depan wajahnya. Dia bersama… ah entahlah aku
tak kenal, seorang perempuan. Ketika melihatku dia langsung
menepi, senyum-senyum penuh arti. ‘Maaf sudah membuatmu
menunggu lama’, mungkin itu maksud dari senyumnya itu.
Aku memasang wajah masam, hendak marah dan bilang kalau
yang lain sudah jauh. Tapi seketika kalimatku hilang, berguguran
saat melihatnya semakin dekat. Aku memang tak bakat kalau
marah-marah. Sudah, luluh dendamku yang tadi.
Dia menyerahkan sepeda pada perempuan yang diboncengnya
tadi itu, sedang dia sendiri naik ke sepedaku. Ia mengenakan celana
jin ketat, bonceng menghadap ke depan.
“Yang lain sudah dari tadi jalan?” Aila menyapa lebih dulu.
“Ah, sudah dari tadi, sampe bosan aku menunggumu.” Aku
mencoba kesal, tapi hanya itu yang keluar dari mulutku. Padahal
sudah aku susun tadi, berparagraf-paragraf. Tapi sekarang hilang
tinggal satu kalimat itu. Aku tidak tahu apa penyebabnya.
“Kamu tahu naik motor? Kalau tidak aku yang mengemudi.”
Dia bertanya. Ya, aku paham maksudnya, aku sudah mahir
mengemudi, tidak. Nah, gadis di belakangku sekarang ini
menantang, belum tahu rupanya kalau aku sedang ngebut.
“Mau menyalib merekapun aku bisa.” Aku tertantang. Aku
menjawab beneran, memang adanya begitu. Jangan remehkan
meski aku santri, tak kalah jika berlomba dengan anak jalanan. (tapi
entahlah, masihkah sekarang aku santri?)
Aku menoleh kanan-kiri, kosong, perlahan menarik gas. Santai
dulu, di utara masih ada tikungan. Barulah setelah melewati
kelokan itu, aku benar-benar tancap gas. Aku tak banyak bicara lagi,
sebenarnya sedang menyusun kalimat yang pas untuk menjadi
percakapan.
“Hey, pelan-pelan, Cuy!” Aila di belakangku berseru. “Santai
yang penting nyampe.”
“Katanya, tadi ngebut, mengejar yang lain?” aku berseru,
mengalahkan suara angin.

151
“Sedang-sedang saja. Tak akan terlambat.” Aila takut terlalu
ngebut.
Aku menurut, memelankan laju motor. Sembari menutup kaca
depan helm, takutnya nanti ada yang kenal. Apalagi kalau sampai
berpapasan guru pesantren, bisa panjang urusannya. Dengan
begini, aku tertutup sempurna, ditambah baju yang memang bukan
ala santri lagi. Hem gaul dan celana hitam.
Beberapa menit kemudian, kami tiba di alun-alun kota. Di sini
aku tak begitu hafal jalan satu arah, jadi mengikuti kendaraan lain
saja. Aku mengulur gas, memelankan laju motor, sembari
melongok ke utara, mencari teman-teman yang lain. Motorku
melewati selatannya Monumen Gerbong Maut. Tapi tak kutemukan
teman-teman yang berangkat sejak tadi.
“Mana yang lain?”
Aku menggeleng, tak tahu. Dan memang tak ada informasi
pasti tadi, lokasinya di mana. Aku sebenarnya hendak mengelilingi
alun-alun, tapi ragu. Di baratnya alun-alun itu boleh ke utara atau
tidak, soalnya aku tak melihat kendaraan yang mengarah ke utara
di baratnya alun-alun. Aila juga tak tahu pasti. Jadilah aku belok ke
selatan setelah lampu menyala hijau.
“Mau kemana?” Aila tanya, bingung dengan keputusan
spontanku.
Rencana kedua, kerena terpaksa ke selatan, aku memilih
memutar. Nanti tembusnya di timurnya alun-alun lagi. Belok di sini
terlalu padat kendaraan. Sampai di perempatan toko Amanah,
rambu-rambu menyala merah. Hanya beberapa detik, lampu
menyala turun ke hijau. Aku langsung tarik gas, belok ke kiri. Ke
arah timur.
“Celaka! Ini jalan satu arah ke barat, Ai.”
“Cepat putar balik.” Aila memukul pundakku, mencubit
pinggang.
Aku patah-patah membelokkan kemudi. Beruntung sedang
sepi, jadi mudah saja. Kendaraan masih agak jauh dari timur sana,

152
semuanya menuju ke barat. Kami tertawa, menertawakan diri
sendiri. Atau menertawakanku, yang tiba-tiba kikuk. Lihatlah,
motorku kembali ke perempatan tadi, kembali menunggu lampu
merah.
Aila tak henti-hentinya menyalahkan, sembari memukul
pundak, memukul punggung. Keras sekali. Sakit, tahu. Kalau saja
situasinya aku tidak sedang mengemudi, sudah aku balas sejak tadi.
Ini bakalan jadi cerita menarik ke teman-teman sebentar lagi, lagi-
lagi aku yang akan jadi bulan-bulanan. Malu-maluin. Tapi aku
tertawa juga, lucu sepertinya membayangkan wajah memerahku
saat ini.
Di perempatan pojok alun-alun yang tadi, aku memutuskan ke
timur saja. Melewati gerbong maut lagi. Lagi-lagi Aila bikin rusuh di
atas motor. Dia mendorongku, ragu-ragu, kalau jalan yang aku pilih
ini jalan dua arah. Aku sudah yakin pasti benar, buktinya gerbong
maut itu di tengah jalan. Dan ada dua jalan menghimpitnya. Arah
berlawanan.
Kali ini roda motorku menggelinding di sebelah utara gerbong,
dan disanalah mereka, teman-teman yang lain. Kenapa tadi tak
kelihatan, padahal tadi lewat sini! Hem, nasib, menentukan aku
punya pengalaman salah arah. Memalukan.
Matahari belum sepenuhnya tumbang di kaki langit barat,
cahanya masih menawan indah melapisi rerumputan di tengah
alun-alun. Kami segera menentukan tempat yang paling pas untuk
reuni. Di sana sebenarnya juga ada Feri, Adil dan Zul. Tapi Feri dan
Adil memutuskan pulang dulu, mereka sudah lama di alun-alun.
Dan sepertinya ada keperluan lain juga.
Jadi kami hanya merayakannya bersembilan: Aku, Aila,
Zamilah, Sri, Riki, Anna, Ilham, Rehan ditambah Zul. Hem, padahal
dulu sewaktu esde, satu kelas berisi tiga puluh tiga. Sekarang yang
ikut tak sampai separuhnya.

153
Awalnya kami memutuskan acaranya di timur alun-alun, tapi
sayang, masih terlalu sore. Warung di sini bukanya malam,
sekarang pemiliknya masih sibuk merapikan warung.
Pilihan kedua Pujasera. Di kota barat. Namun sebelum itu,
masih mampir di masjid at-Takwa shalat Ashar. (ini jalannya
maksiat, masih sempat-sempatnya shalat. Tapi itu lebih baik
kawan). Kini aku tidak bersama Aila, dia barusan meminta kontak
sepedaku, lalu pergi bersama Anna. Dan aku bonceng pada Riki.
Di hatiku berkecamuk saat itu, sungguh munafik. Lihatlah, diri
ini berbuat dosa, dan masih berani bersujud di hadapan-Mu. Ya
Allah, hamba akui, memang tak mampu menghindar dari
bermaksiat kepadamu tanpa ma’unah dan taufiq hidayah-Mu. Tapi
jangan biarkan hamba meninggalkan kewajiban shalat ini, meski
sesaat lagi hamba kembali bermaksiat. Astaghfirullah, untuk itu kali
ini hamba mohon, ampuni dosa ini.
Aku bergegas menyambar hape di tempat sujud, mereka sudah
menunggu di luar. Aku tak habis pikir, teman sebangkuku tak ikut
shalat, dia duduk santai di baratnya alun-alun, minum es kelapa.
Aku tak tahu siapa yang lebih baik diantara kami, disaat aku sendiri
merasa begitu munafik, aku ini santri.
Perjalanan ke Pujasera hanya sekitar tujuh menit, ke barat di
pojok utara alun-alun. Iya! Lewat di selatannya pos polisi itu.
Di Pujasera, pandanganku segera merayap memerhatikan.
Beberapa kendaraan terrparkir rapi, tidak terlalu ramai, mungkin di
sini juga ramai ketika malam. Di dalam ada beberapa pilihan tempat
duduk, ada yang dari kayu memanjag, ada juga yang dari kursi besi,
satu-satu.
Kami menggabungkan dua bangku, menggeser kursi, aku
memilih duduk yang bersebelahan dengan Aila, sungguh tidak ada
maksud apa-apa. Jangan terkejut! Kamipun memesan nasi goreng
yang sama, jujur bukan ikut-ikutan, tapi memang aku tidak pernah
ke sini sebelumnya, tidak tahu pilih menu yang mana. Jadinya
ikutan saja.

154
Sambil menunggu pesanan, kami sibuk foto-foto dulu.
Memanggil pelayan, minta tolong untuk mengambil gambar kami
semuanya. Aits, narsis banget. Yang lain pose denngan senyum
sumringah, hanya aku yang tak banyak respon. Tapi tetap menatap
kamera. (diamku itu termasuk gayaku).
setelah dirasa puas foto bersama aku pinjam hape Zul, foto
berdua dengan Aila. Hmz, kalau pake hape sendiri, kameranya jelek.
Malu, kan. (Ya, Allah, jika foto berdua dengan wanita itu salah,
maka berapakah dosa yang ku dapat hari ini?).
Sekali-kali aku mengetik di layar hape, nge-chat pada
seseorang. Seseorang yang tak mungkin ada di sini. Dia bukan
alumni esde juga. Aku hanya menginformasikan setiap apa yang
kulakukan. Kecuali satu, aku tidak pernah bilang kalau aku duduk
begitu dekat dengan Aila, dan sempat foto juga dengannya.
Lampu dihidupkan, hari beranjak petang.
Bersambung...
28 Rajab 1440
3 April 2019

155
Status Untuk Alia
Masihkah Aku Santri? #2
PELAYAN yang membuat nasi goreng lama sekali, perutku
memanggil-manggil dari tadi. Pesanan soto, mie ayam, rawon
untuk teman yang lain sudah datang, tinggal pesanan Aila dan
pesananku yang lama. Tuh, yang lain malah menggoda.
Sepertinya aku mulai memahami sistem pesanan di sini. Di sisi
bangunan besar ini ada bermacam-macam warung, dengan menu
makan dan minuman berbeda. Masing-masing ada pengelolanya,
beda orang. Meski dilihat dari luar, tampak satu ‘restaurant’.
Tempat duduk pelanggan bebas pilih, duduk di mana saja boleh,
tinggal pesan ke salah satu warung, lalu menunggu. Kalian tahu?
Penungguanku kali ini tidak begitu membosankan, Aila di sisiku
juga menunggu. (ya, walaupun tadi Aila makan dulu sebelum
berangkat kesini). Dan hanya akulah yang benar-benar kelaparan.

156
Beberapa menit berlalu, ternyata minuman dulu yang
diantarkan. Semua sudah kebagian, kecuali aku yang memang tidak
memesan minum. Pelayan kembali ke warungnya, mengambil nasi
goreng pesanan kami. Akhirnya. Aku menghirup aromanya,
wanginya menggoda.
“Woi...” Zul berteriak, aku urung menyuap nasi. Aduh, sempat-
sempatnya ia mengambil gambar, mengganggu konsentrasi
makanku. Dia menunjukkkan hasil jepretannya
Mereka makan sambil ngobrol. Sungguh hanya mereka, aku
tidak. Aku sibuk mengisi perut.
Zul tertawa riang, berhasil menjepret pose Aila yang sedang
menyuap nasi.
“Hapus-hapus.” Aila bersungut-sungut tak suka, tapi sambil
tertawa juga. Dia mengancam akan melempar sendok kalau tidak
segera dihapus.
Tapi Zul mana peduli, dia makin tertawa dengan riangnya.
Yah, begitulah setidaknya pertemuan kami sore itu.
Menyenangkan. Dan hanya butuh beberapa menit, nasi gorengku
tandas. Sedangkan milik Aila masih tersisa, dia kekenyangan. Kalau
kalian tanya, aku masih kurang. Tapi masak mau menghabiskan sisa
Aila, malu-maluin.
Dari tadi sebenarnya aku curi-curi foto juga, diam-diam. Hanya
saja aku tak bilang-bilang. (Hasil kamera hapeku jelek, malu kalau di
obral pada yang lain).
Percakapan kami masih belum selesai. Berbagai tema dibahas,
sampai pada akhirnya aku tahu, Aila itu mantan pacar Riki. Selamat!
Itu saja.
Tidak, tidak ada yang bergemuruh dalam hatiku, tidak ada
getaran sedikitpun, sungguh tidak ada. Biasa saja. Satu lagi, Aila itu
ternyata punya banyak mantan pacar. Ini yang membuatku sedikit
kaget. Dari hal itu aku dapat menyimpulkan satu hal; Aila bukan
tipeku lagi.

157
Tiba-tiba bayangan waktu esde dulu kembali menari-nari
dalam angan, aku tidak mungkin lupa kejadian itu. Bagaimana aku
lupa, jika Aila, yang duduk di sebelahku sekarang ini pernah
membekas di hati. Bukan cinta, lebih tepatnya hanya cinta monyet
masa kecil. Bahkan aku sampai berebut dengan Riki, teman
sebangkuku dulu.
“Kamu suka pada siapa?” Tanya Riki padaku.
Aku menggeleng, tak mau memberi tahu, maklum, waktu kecil
aku tergolong pemalu. “Kalau kamu suka pada siapa, Rik?” aku balik
tanya. Menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki, dengan
seragam merah putih, masih bersih.
“Jawab dulu, baru nanti aku jawab.” Riki bersedekap. Ya,
gayanya seperti orang sok dewasa itulah.
Aku masih menggeleng, tetap tak mau bilang.
“Begini, kita sama-sama tulis nama orang yang kita suka, nanti
tukeran. Deal!”
Aku berpikir sejenak, dia berhasil membujukku. Kami sama-
sama merobek kertas, menulis nama. Aku bisa saja curang, pura-
pura menulis. Tapi entah kenapa saat itu aku menuliskan nama
‘Aila’, meski ragu-ragu. (Ya, sebab dulu dia itu polos dan cerdas).
Setelah selesai, kami menukar lipatan kertas itu, saling tatap
sejenak, lalu sama tak sabar membukanya, ingin tahu.
“Eh, kebalik, ini tulisanku.” Riki melipat kertas itu lagi,
menukarnya lagi dengan ku.
Tapi tetap saja, tulisan yang sama ketika aku buka kertasnya.
Dan yang ini bahkan memang milikku, akhirnya aku mengenal font
huruf a-nya berbeda. Dan tulisan di atas dua kertas itu, memang
sama; ‘Aila’.
Riki mengepalkan tangan padaku. “Jangan macam-macam!”
dia menggenggam kerah bajuku.
Aku tak menanggapi, bahkan aku tak menoleh ke arah
mukanya.

158
“Saat kecil ambil kau lah, tapi nanti ketika besar aku yang
berhak jadi kekasihnya.” Riki sok mengambil keputusan, memilih
jalan tengah.
Kami tertawa bersama. Dan aku tak peduli apapun yang
dikatakannya tadi. Dan Riki telah pernah pacaran dengan Aila.
Kesimpulannya, hanya aku yang belum pernah pacaran.
Aku santri, aku tidak pernah pacaran, dan tidak akan pacaran.
Aku meneguhkan hati. Sementara mereka melanjutkan obrolan,
aku lebih memilih main hape nge-chat seseorang.
Ketika pembayaran, Aila menitipkan uangnya padaku. Aku
yang datang ke meja kasir. Sedangkan teman-teman, membayar di
warung sebelahnya. Sesuai tempat mereka memesan tadi.
“Apa saja?” kasir bertanya.
“Nasi goreng dua, jus satu.” Aku menunjuk ke meja.
Minumannya milik Aila. Aku sendiri mengambil air putih ukuran
sedang, di dekat pembayaran. Kasir dengan cepat menjumlah.
Aku menyerahkan uang milik Aila juga milikku.
“Tidak ada kembaliannya, mas.” Kasir itu mengembalikan uang
lima puluhan.
Aku mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribuan.
Menyerahkannya. Menerima kembalian dan segera kembali ke
meja. Membawa air putih yang aku beli tadi.
“Minuman sehat.” Goda teman-temanku. Aku tak
menghirukan. Berpikir tentang apa yang mereka ucapkan. Mereka
tahu minum air putih itu lebih sehat tapi masih pesan jus lainnya.
“Ini uangmu.” Aku memberikan uang Aila. Utuh.
Dia heran menatapku tidak mengerti. Kok masih utuh? Mungkin
begitu maksud wajah tanyanya.
“Tidak ada kembaliannya.”
“Terus bayarnya, gimana?”
“Sudah aku bayarin.”
Dia berseru senang. Memegang pundakku. “Kamu memang
baik, kalau gitu aku lof yu kamu.”

159
Tak peduli. Aku tahu dia hanya bergurau, main-main. Wong dia
punya pacar. Beruntung dia mengucapkannya sekarang, coba kalau
hal ini terjadi delapan tahun silam entah akan seperti apa
perasaanku. Yah, sekarang, biasa saja. Tidak ada yang spesial dari
‘lof yu’ itu.
Hape ku bergetar, ada selayang chat dari seseorang.
Hampir jam enam, kami semua bergegas. Sampai di parkiran
sepeda, Riki kehilangan kontak. Ah, biasanya aku yang sering
terlupa, beruntung kali ini kontak sepedaku masih dipegang Aila.
Riki bingung, bertanya pada Ilham.
“Tertinggal di meja paling.” Ilham menunjuk tempat yang tadi.
Riki benar-benar percaya, kembali kesana, bahkan bertanya
pada pelayan.
Rehan mengeluarkan sesuatu dari saku celana, lihat itu kontak
motor Riki. Mereka tertawa, aku juga. Kompak banget ngerjain
teman sendiri. Riki kembali dengan wajah bingung-bingung cemas.
Tapi syukurlah, senyumnya segera terlukis saat melihat kontaknya
yang di main-mainkan oleh Rehan, di putar-putar dengan jari
telunjuk. Dia baru sadar kalau dikerjain.
Kami kembali tertawa. Pertemuan reuni yang hangat.
Aku masih bersama Riki, kembali ke masjid at-Takwa. Shalat
maghrib di sana. Aku, Rehan, Ilham, Zul, Zamilah, Anna dan Sri
shalat dulu. Riki langsung ke alun-alun tadi, tidak shalat. Sedangkan
Aila, aku memaklumi, dia perempuan. Mungkin sedang halangan.
Selesai shalat kami menyusul ke alun-alun. Acara reuni kami
belum berakhir. Aku berpikir sejenak, tak ada sambutan-sambutan
seperti acara reuni lainnya. Tak ada undangan untuk guru-guru, tak
ada daftar kegiatan, tak ada itu semua. Tak perlu mungkin. Jadi
reuni ini murni mengalir sebagaimana mestinya. Kegiatannya
terpikir waktu itu juga.
Kami bersua di selatan alun-alun, foto-foto sejenak, lalu ada
yang usul, bagaimana kalau kita naik odong-odong. Ah, hey itu
bukan odong-odong, tempat duduknya empat, di bawahnya ada

160
pedal empat juga. Entah apa namanya. Sepeda apa ya? Lupa aku
namanya! (Kalian mengerti, kan!)
Jumlah kami sembilan, jelas ada satu yang tak kebagian, jika
menyewa dua sepeda dengan tempat duduk seperti mobil itu, (aku
sebut sepeda karena tenaganya dengan mengayuh pedal).
Satu sepeda berangkat duluan, sudah menghilang di tikungan
timur sana.
Awalnya aku lebih memilih duduk di trotoar, tidak ikut,
menunggu mereka selesai mengelilingi alun-alun. Tapi Aila
memaksa, teman-teman yang lain juga.
“Ayo cepat kalau mau ikut!” Aila berseru. Dia duduk di belakang
bersama Anna. Di bangku depan ada Ilham dan Zul.
“Ayo, bergabung saja, tak mengapa di isi lima orang.” Zul ikut
berteriak. Dia yang pegang setir.
Mereka sudah menggayuh pedal.
“Kapan lagi bisa kumpul!” Ilham memberi alasan logis. Kapan
lagi? Setelah ini aku akan balik ke pesantren. Akhirnya aku berlari
mengejar mereka, memutuskan ikut saja.
Aila mempersilahkan aku duduk di tengah antara dia dan Anna.
(ya, Allah. Hal ini tidak ada dalam rencana tadi. Dan aku
menghitung hal ini lebih dari sekedar boncengan). Ya, karena hanya
kursi belakang yang memanjang. Kursi di depan terbagi dua. Hape-
ku bergetar, mungkin dari seseorang itu, namun aku abaikan dulu.
Meminjam hape Zul, foto-foto lagi. Narsi banget (plus dosa banget).
Di sudut utara alun-alun sebelah timur, sepeda yang di kendarai
Riki, Zamilah, Sri dan Rehan ngadat. Mungkin rantainya
bermasalah. Kami yang terus melaju dengan seimbang bersorak,
menyalib mereka dengan wajah penuh kemenangan. Namun sial,
masih di sisi utara alun-alun sepeda yang kami kendarai juga
mendadak bermasalah. Apesnya, aku yang diperintah turun,
memeriksa. Dan terpaksa aku juga yang memperbaikinya.
Tampaklah tanganku belepotan hitam, terkena oli.

161
Sial sekali nasibku malam itu. Sudah bermaksiat, duduk di
antara dua perempuan tanpa jarak. Dan memang benar-benar
tanpa jarak, tempat duduknya sempit. Masih terkena oli juga. Ini
yang namanya sudah terjatuh ke lumpur dosa, tertimpa sial pula.
Bisa kuperbaiki rantainya, namun hanya sebentar, copot lagi.
Hedeh... kali ini susah diperbaiki. Jadi terpaksa satu pedal tidak
berfungsi. Jika satu pedal di depan macet, maka pasti yang
belakangnya butuh tenaga ekstra. Karena pedal depan dan
belakang saling terhubung dengan rantai.
Anna mengeluh, lelah. Yang copot rantai pedal ilham, di
depannya. Akhirnya sampai depan at-Takwa, baratnya alun-alun,
ganti posisi. Giliranku sekarang menggenjot pedal. Keringatku
mengalir, angin sepoi-sepoi tak bertiup banyak. Dan hanya separuh
jalan, aku sudah ngos-ngosan.
Eh, tiba-tiba aku melihat guruku sedang ada acara di masjid.
Cepat-cepat aku menunduk, bersembunyi, takut ketahuan. Mau di
taruh di mana wajah santriku kalau sampai beliau melihatku. (andai
tampang santriku masih ada).
Aku menghembuskan napas lega ketika sepeda berbelok ke
timur. Hampir sampai. Kendaraan terlihat ramai berlalu lalang.
“Kalian dengar itu!” aku pura-pura terkejut.
Tentu yang lain ikut terkejut, semua melihat ke arahku. Aku
masih diam, menatap wajah mereka satu-satu, mencoba menakuti.
“Dengar apa?” Aila tak sabaran bertanya.
“Perutku ber-crut lagi. Lapar” Aku memegangi perut. Lantas
tertawa, berhasil membuat mereka tegang meski sejenak. Yang lain
ikut tertawa setelah sadar dikerjai olehku.
Ah, sampai juga ketempat semula, utaranya gerbong maut.
Aku turun lebih dulu, melompat sembarang. Urusan bayar sudah
ada yang tanggung.
“Makasih, semuanya sudah hadir.” Aila berseru mengalahkan
bising kendaraan yang lalu lalang lewat. Mungin Aila setelah ini

162
masih punya acara lagi. Dia menyalami kami satu persatu. Barulah
kami saling bersalaman. Semuanya.
“Sampai jumpa tahun depan.” Ilham, tersenyum.
“Sampai ketemu lagi.” Kali ini Rehan.
“Reuni tahun depan, datang lagi, ya!” Anna menyalamiku.
Mengingat tahun sebelumnya aku tidak ikut. Aku mengangguk
ragu.
Hanya Zamilah dan Sri yang menjaga jarak. Ya, mereka anak
pondok-an juga. Mereka hanya menyapaku sebelum berpisah.
Sebelum pulang, aku masih menyapa Aila: “Aku boleh pulang
dulu?”
“Iya, iya.” Aila mengangguk tersenyum. Sungguh senyum itu
tak lagi seperti gadis polos. Entah kenapa dia sangat berubah. Sikap
dan semua karakternya yang dulu telah hilang. Bicaranya ceplas-
ceplos tanpa titik koma.
“Aku nanti pulang dengan Fikri. Terimakasih. Sampai jumpa
tahun depan.” Dia berseru padaku yang sudah duduk di atas
sepeda.
Sebenarnya aku sudah dengar tadi dia akan pulang dengan
pacarnya itu. Tapi aku masih bertanya memastikan. Sekedar basa-
basi terakhir, sebelum berpisah. Entah tahun depan masihkah aku
ikut reuni ini lagi atau tidak.
Aku tak membalas senyumnya, hanya mengangguk dingin.
Lantas menyalakan motor. Ingin segera sampai di rumah. Motorku
melaju lima puluh kilo meter perjam. Selain karena ramai
kendaraan juga takut ada polisi. Ya, begitulah dunia remaja,
takutnya pada polisi. Ketika jalanan sepi, langsung ngebut. Tak
takut kecelekaan. Mati? Ah tidak ada yang berpikiran ke sana.
Memasuki jalanan sepi, aku mengeluarkan hape. Membaca chat
sebelumnya, lalu menginformasikan aku sudah pulang. Meletakkan
kembali dalam saku, lalu kembali ngebut. Angin mulai menyusup ke
celah pergelangan baju. Tak kupedulikan dingin, keringat sudah
mengering sejak tadi.

163
Baru terasa, aku menyungkul dosa menggunung. Sungguh,
kehidupan di luar pesantren sudah melebihi bayanganku. Seakan
antara laki-laki dan perempuan tak ada batasan lagi. Aku
menyaksikannya sendiri, dan mengalaminya sendiri. Ini zamanku,
ya Allah, aku hidup di dalamnya. Maka tolonglah aku dalam
menghadapi kebebasan ini.
“YA ALLAH!” aku berteriak, tak kan ada yang mendengar.
Kanan kiriku hanya sawah membentang.
Apa yang telah ku lakukan. Aku melanggar aturan itu. Allah!
Aku boncengan dengan perempuan yang bukan muhrim. Aku
duduk di antara perempuan sekaligus. Tanpa jarak. Jangan tanya
sentuhan kulit. Itu pasti, tak dapat ku hindari. Dan benarlah, aku
masih belum mampu membuktikan komitmenku sendiri.
Padahal dulu aku bertekad, jika tunanganpun aku tidak akan
boncengan. Tapi. Tapi kali ini, dia bukan tunanganku, bukan
kekasih, bukan pacar, dia hanya teman. Ah, tidak, dia bukan
temanku. Dia bukan temanku. Mataku basah. Berkali-kali aku
mengusapnya agar tak mengaburkan pandanganku pada jalanan.
Sudahkah terlepas mahkota santriku?
Hanya lima belas menit dari alun-alun kota, motorku sudah
mendarat di halaman rumah. Aku ngebut. Berkali-kali mengucap
alhamdulillah. Lihatlah! Setelah aku membangkang pada larangan-
Mu, Engkau masih selamatkan nyawaku hingga sampai di sini,
masihkah Engkau membuka pintu taubat-Mu.
Sudah! Lupakan semuanya dulu. Aku bergegas mandi.
Membersihkan bekas oli di tangan, mencuci pakaian. Lalu niat
mandi sunnah taubat. Selesai berganti pakaian, aku langsung
shalat.
Shalat sunnah taubat, dilanjutkan shalat Isya’. Dan menangis
mengadu. Bahwa aku memang tak mampu untuk menggenggam
hidupku sendiri. Aku benar-benar berserah dari lubuk hati paling
dalam, meletakkan jiwa, raga, dan seluruh hidupku di tangan-Mu.
Air mataku tumpah menjadi saksi sesalku.

164
La takilni ila nafsiy wa la ila ahadin min khalqika thorfata ‘ain.
(jangan serahkan aku pada diriku sendiri, bukan pada apapun dari
ciptaanmu, meski hanya sekejap mata).
Setelah bermaksiat dari tadi sore, aku hanya shalat dan
bertaubat tak lebih dari satu jam. Ya, Allah sudahkah engkau
menerima taubatku?
Aku tidak tahu itu.
Aku mengambil hape, ada seseorang lagi yang harus ku beri
tahu, meminta maaf padanya. Sudah pasti, dia akan kecewa. Mau
bagaimana lagi, aku tak bisa menyembunyikan ini sendiri.
“Beruntung, kamu masih sadar dengan apa yang kamu lakukan,
bahwa itu salah. Banyak pemuda-pemudi di luar sana tak sadar,
kesalahan mereka sendiri. Ingat! Kamu sudah dewasa, orang tuamu
tidak akan banyak melarang-melarang kamu. Kamu sudah bisa
berpikir sendiri, mana yang baik, mana yang buruk.” Begitulah chat
balasan dari seseorang itu. Kalimat itu yang ku inginkan.
Setelah itu aku juga bilang pada dek Alia. (ALIA bukan AILA, L
dan I-nya terbalik). Dia juga berhak tahu, karena dia pernah
menyatakan cinta padaku. Aku ingin tahu, seberapa besar cintanya
itu. Mungkinkah ia akan marah, cemburu atau...
“Tidak apa-apa, cak. Itu kan niatnya membantu,” Aku
membaca potongan chat dari Alia itu, mengulanginya lalu
melanjutkan, “membantu teman cacak agar juga bisa ikut reuni. Itu
baik kok.”
Aku ber-puh pelan. Pamit, bilang hendak tidur. Namun sebelum
itu aku membuka akun efbi, menulis status:
Maafkan aku dek Alia. Kita memiliki perbedaan. Bagiku
boncengan itu tetaplah haram, tak ada udzur membantu. Meski aku
sendiri telah melanggarnya, dan sampai kapanpun, haram tetaplah
haram. Menurutku yang menjadi udzur dalam syar’i itu jika berkaitan
dengan nyawa. Bahkan hal itu tetaplah haram, jika masih ada
mahromnya yang bisa membantu. Maafkan aku dek Alia, kita
berbeda.

165
#Putus_harapan
***
Malam telah larut, aku melirik jam, menunjuk angka dua lewat
sepuluh menit. Lihatlah! Aku telah menyelesaikan cerpenku lagi.
Maaf jika ada kesamaan nama dan lokasi, aku buat murni hanya
untuk pelajaran berarti dalam pulangan yang sebentar lagi. Terlebih
aku sendiri. Pulangan terakhir dari pesantren sebelum tugas.
Tak lupa kusuguhkan cerita ini untuk seseorang; sahabat
kecilku. Yang senantiasa mengingatkanku ketika aku sedang khilaf.
28 Rajab 1440
3 April 2019

166

Anda mungkin juga menyukai