***
Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah
dengan dia, kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghampirinya.
“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.
Tamara berhenti dan memegang pundakku.
“Masih pagi - pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya
sembari menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat”.
“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo buruan entar pintu gerbang ditutup”.
Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas
dengan aku. Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah
dua hari yang lalu. Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman
kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru
pindah dari Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang
akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.
Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas
sembari bercerita tentang tugas sekolah.
“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku.
“Aku paling suka pelajaran matematika”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan
memusingkan”.
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa
cerpen, mau baca?”, kataku
sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.
***
“Tttttttteeettt….”, Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran
berikutnya. Tapi, guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama
teman-teman yang lain hanya bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.
Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku
yang lain berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai.
Di perjalanan pulang Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!”
pintanya sambil meneteskan air matanya. Kaki Tamara tersandung batu, dan
kelihatannya kaki Tamara terkilir.
“Sudah jangan nangis dong, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri dong!”, pintanya
“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
“Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .
“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“Sakit - sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“Hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.
***
Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat
dia keluar rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong
melihatnya.
“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum. Sampai
di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara
bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
“Teman - teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila.
“Kita mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.
“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara.
“Baiklah kita akan ke Pantai Bira!”, kataku.
Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang Pantai Bira
kepada Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami
yang semakin mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi.
Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi,
mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling sekolah mencari hal-hal
yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi.
Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas.Kami
berlari sambil tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah
bagiku. Sesampai di kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian,
guru yang mengajar pun datang.
Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan
Tamara kaget.
“Zhaky kamu gak apa - apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku gak apa - apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju
guruku.
“Pak, Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya pak aku bisa kok”, katanya.
“Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari
memelukku.
Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan
berkata “ Kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam dan
mengingat saat aku sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan
menjadi senyuman terakhir darinya.