Di dalam kepala, ia menggiring otakku pada ingatan enam tahun silam. Tanpa
bisa mengelak, ingatanku menerawang pada peristiwa itu. Kandas sudah
rencanaku mengemasi buku dan majalah yang akan kubawa pindah ke ibukota.
***
Hari itu tak akan pernah lenyap dari ingatanku, Kamis, 26 September 2004. Aku
ingat persis bagaimana garis-garis wajah Bapak Suriyanto mengeras. Senyum
yang biasanya ramah telah lenyap. Jari telunjuk tangan kananku terus
mengetuk-ngetuk paha. Aku tak bisa menyembunyikan kecemasanku. Kursi kayu
yang kududuki terasa sangat tidak nyaman. Walaupun ruangan dosen ini ber-AC,
aku merasakan setetes keringat dingin yang mengalir turun dari tengkukku.
Kamu pintar, Andi. Nilai tugas dan kuismu selalu bagus. Tapi bukan berarti kamu
bisa seenaknya tidak masuk kelas. Kamu tidak masuk tujuh pertemuan dan
sekarang kamu minta saya mengizinkan kamu ikut ujian akhir semester.
Mengapa kamu sering tidak masuk kelas?
Dulu saya juga aktivis ketika mahasiswa. Tapi saya tidak pernah sampai melobi
dosen untuk diizinkan ikut ujian, ujarnya. Aku hanya bisa diam mendengar kata-
kata dosen Matematika Ekonomi itu. Tentu saja dulu Bapak tidak pernah melobi
dosen. Dulu mana ada peraturan sialan yang mengharuskan kehadiran minimal
tujuh puluh persen!
Sesaat tercipta keheningan yang tidak nyaman. Aku tak tahu harus berkata apa
untuk memecah keheningan itu. Bapak Suriyanto menghela nafas panjang.
Kamu bawa majalahnya? Coba saya lihat, apa benar kamu sibuk mengerjakan
majalah kampus. Aku meraih tas ranselku yang kutaruh di lantai. Kukeluarkan
sebuah majalah yang masih mulus dari tas ransel usang, tas yang sudah kupakai
sejak masih di sekolah menengah atas.
Aku mengulurkan majalah berkulit muka warna merah itu kepada Bapak
Suriyanto. Ia menerimanya dengan agak kasar. Dahinya sedikit mengernyit
ketika melihat kulit mukanya. Ia mulai membaca, sesekali membalik halaman.
Kacamatanya sedikit melorot di batang hidung. Sekali lagi tercipta keheningan.
Aku dan Wisnu, fotografer majalah kampus, meliput pembangunan Ambar Plaza,
sebuah mal yang katanya akan jadi mal terbesar di Yogyakarta. Memang
pembangunan tersebut sedang ramai jadi buah bibir masyarakat Yogyakarta.
Terutama ketika tersiar kabar bahwa pembangunan itu akan menggerus
sebagian tembok Gedhong Kanan. Gedhong Kanan ialah paviliun sebelah kanan
dari situs bangunan bersejarah kraton Pesanggrahan Ambar.
Rupanya kabar itu benar. Sehari setelah beredar kabar tentang penggerusan
tembok Gedhong Kanan, pukul enam pagi aku dan Wisnu langsung menuju lokasi
pembangunan Ambar Plaza. Seng-seng putih tebal setinggi dua meter tersusun
rapi untuk menutupi pemandangan di dalam proyek pembangunan mal. Kami
masuk lewat gerbang kecil yang tidak dijaga satpam.
Begitu masuk ke dalam lokasi proyek, kami terkejut! Ternyata sebagian tembok
Gedhong Kanan telah benar-benar digerus. Alat berat yang digunakan untuk
merobohkan tembok masih diparkir di dekat reruntuhannya.
Aku setengah tak percaya. Kuasa kapital telah menghancurkan nilai sejarah.
Dewa Kapital lebih berkuasa daripada Kerajaan Yogyakarta. Dengan iming-iming
pendapatan asli daerah yang besar, mereka yang memerintah Yogyakarta telah
bertekuk lutut pada Dewa Kapital. Mereka melalaikan apa yang telah dimiliki,
yang seharusnya dijaga bersama.
Oh, Dewa Kapital. Tahukah kau, Dewa Kapital? Gedhong Kanan itu bangunan
dengan nilai sejarah yang tak terhingga. Tempat ini menjadi peristirahatan
terakhir Raja Ketujuh dan pernah menjadi tempat tetirah bagi para utusan dari
Kasunanan!
Suara shutter kamera SLR milik Wisnu menyadarkanku dari lamunan tentang
Dewa Kapital. Wisnu terus memotret. Aku mengedarkan pandangan, belum ada
siapa-siapa di lokasi proyek. Aku dan Wisnu berjalan mendekati reruntuhan
tembok Gedhong Kanan. Wisnu berjalan lebih cepat di depanku. Ia ingin
mengambil gambar reruntuhan itu dari dekat.
Hei! Jangan memotret! Tiba-tiba sebuah suara kasar dan berat menghardik
kami. Seorang satpam berlari ke arah kami. Kulitnya hitam, tubuhnya tinggi
besar. Wisnu tetap memotret, mengacuhkan teriakan itu.
Jangan memotret! teriaknya sekali lagi. Wisnu tetap mengabaikan perintah itu.
Jika Wisnu sudah berkeyakinan bahwa suatu peristiwa layak diberitakan, ia tak
mau dihentikan. Keyakinan bahwa kebenaran harus disiarkan menjadi harga mati
bagi Wisnu.
Satpam itu semakin mendekat. Wisnu berbalik dan memotret satpam itu. Setiap
ia melarang Wisnu memotret, Wisnu malah memotretnya berkali-kali. Satpam itu
naik pitam. Ia berusaha merampas kamera Wisnu. Wisnu mengamankan
kameranya dengan tangkas.
Saya wartawan, Pak, kata Wisnu sambil menunjukkan kartu pers yang
dikalungkan di leher.
Di tengah pergumulan, sebuah suara mengejutkan kami, Ada apa ini? Kenapa
ribut-ribut? Kami berhenti berebut, menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki
separuh baya berkulit putih mendekati kami. Wajahnya tampak marah. Ia
mengenakan celana kain warna hitam dan kemeja biru muda. Dasi coklat
melengkapi penampilannya yang rapi. Kelihatannya ia orang yang punya kuasa
di proyek.
Di proyek ini tidak ada peringatan dilarang memotret, Pak, Wisnu menyela.
Lelaki berkulit putih itu melihat ke sekeliling. Kami yang sibuk berebut kamera
tidak memperhatikan kalau beberapa wartawan lain juga sudah mulai
berdatangan. Sebagian dari mereka menenteng kamera. Kedatangan wartawanwartawan lain membuat si lelaki berkulit putih tampak gusar. Lelaki itu pasti
tidak mau keributan kami diketahui wartawan lain, kataku dalam hati. Benar
saja. Ia minta maaf atas kelakuan si satpam. Ia juga meminta kami segera
meninggalkan lokasi proyek.
Kami langsung meninggalkan lokasi proyek. Aku berjalan tertatih. Nyeri masih
merambati kakiku. Wisnu jalan di sampingku sambil memasukkan kamera ke
dalam tas. Aku melirik arlojiku. Sekarang jam 07.30. Tidak mungkin aku
mengikuti kelas Bapak Suriyanto. Aku sudah terlambat tiga puluh menit. Sekali
lagi aku terpaksa membolos. Aku tak ingat ini kali keberapa aku membolos
kelasnya. Sialan! Lima orang staf redaksi yang mangkir membuatku terpaksa
mengerjakan jatah liputan mereka. Semoga aku masih bisa ikut ujian.
***
Sekira enam bulan lalu ketika aku pulang kampung, kuperhatikan benar
bagaimana dinding anyaman bambu rumahku mulai lapuk. Beberapa kayu
penyangga rumah keropos di sana-sini.
Pada suatu malam, di teras rumah aku dan bapak duduk-duduk di kursi bambu.
Kami mengobrol sambil menyantap sepiring pisang rebus buatan ibu. Tak
ketinggalan, dua gelas kopi ikut menemani kami. Sayup-sayup terdengar suara
jangkrik dari sawah-sawah dekat rumah. Angin malam berhembus sesekali,
mengantarkan hawa dingin.
Bapak membuka obrolan dengan bercerita tentang harga pupuk yang terus naik.
Regane larang lan angel digolet, kata bapak dengan logat Banyumasnya yang
kental. Bapak terus berkisah tentang pupuk yang mahal dan sulit dicari itu. Ia
membandingkannya dengan dua puluh tahun yang lalu. Sekarang kehidupan
petani semakin sulit. Pada musim tanam, sebagian petani terpaksa berhutang
untuk membeli bibit dan pupuk karena harganya tak lagi murah. Hutang itu baru
bisa dibayar ketika panen. Namun jika panen gagal, petani dipastikan merugi.
Bapak sendiri sudah hutang dua juta rupiah pada pak lurah. Ia juga bercerita
tentang teman-temannya yang akhirnya menjual sawah mereka untuk melunasi
hutang.
Aku menyalakan rokok. Giliran aku yang bercerita pada bapak tentang beasiswa
prestasi yang kudapatkan. Bapak tak perlu mengkhawatirkan biaya kuliahku
semester ini. Bapak tersenyum penuh arti. Matanya menyiratkan kebanggaan. Ia
menepuk bahuku sambil mendoakanku supaya jadi anak yang berhasil. Ya
muga-muga dadi bocah sing mulya, katanya.
Aku menatap kursi yang tadi diduduki bapak. Senyum penuh arti bapak terpatri
di kepalaku. Bapakku, laki-laki kampung yang punya kemauan keras untuk
menyekolahkan anak semata wayangnya sampai perguruan tinggi. Bapak ingin
aku punya kesempatan yang lebih baik daripada membantunya di sawah,
daripada menjadi petani.
Malam itu aku berjanji. Walaupun aku sibuk jadi pemimpin redaksi, aku akan
berusaha mempertahankan beasiswa yang kudapat. Aku tak ingin
memberatkanmu, Pak....
***
Saya tahu kamu dapat beasiswa. Kalau tidak ikut ujian mata kuliah saya, kamu
khawatir IPmu jatuh dan beasiswamu dicabut? Aku mengangguk. Aku akan
menyulitkan bapak jika beasiswaku sampai dicabut, kataku dalam hati.
Bapak Suriyanto melanjutkan, Padahal kamu butuh beasiswa. Lalu kenapa kamu
aktif di pers kampus? Kesibukannya malah membuatmu tidak bisa ikut kelas
saya.
Aku diam sejenak, bingung harus berkata apa. Akhirnya aku memberikan
penjelasan. Karena di kantor pers kampus saya bisa pakai komputer, Pak. Saya
baru bisa mengoperasikan komputer sejak ikut pers kampus. Saya juga jadi
memiliki sahabat-sahabat, mereka selalu membantu saya jika saya mengalami
kesulitan. Mereka sering meminjami saya buku, bahkan uang. Satu lagi, Pak.
Saya pernah mewawancarai seorang guru besar fakultas ekonomi dan sempat
bertukar pikiran dengan beliau setelah wawancara selesai. Saya cuma orang
dusun, Pak. Kalau bukan karena ikut pers kampus, saya tak mungkin memiliki
peluang-peluang itu, kataku.
Aku sudah bersiap membuka pintu ruang dosen ketika Bapak Suriyanto bertanya
lagi padaku, Saya mau tanya satu hal lagi sama kamu. Menurutmu, apa
tindakanmu melobi saya ini adalah hal yang benar?
Salah, Pak. Saya telah melanggar peraturan. Peraturan tetap saja peraturan,
walaupun saya membenci aturan itu. Jujur, jika keuangan keluarga saya sedang
baik, saya lebih pilih mengulang mata kuliah Bapak tahun depan, ujarku lirih.
Kamu tahu, Andi? Saya yakin orang-orang yang kamu beritakan di majalahmu
itu awalnya seperti kamu.
Mereka tidak kuasa melawan apa yang mereka anggap salah. Saya yakin, jauh
di lubuk hati mereka, mereka pun menganggap merobohkan tembok Gedhong
Kanan bukanlah tindakan yang benar. Tapi mereka tak berdaya melawan apa
yang mereka anggap salah. Sama seperti kamu, Andi. Kamu mengamini kalau
tindakanmu salah. Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu tetap
melakukan tindakan yang kamu anggap salah jangan sampai kelak kamu juga
jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi....
***
Kenangan itu sudah keluar dari kepalaku. Tetapi ia tidak pergi. Sekarang ia duduk
di sudut kamar kosku yang berantakan. Aku membenamkan wajahku ke kedua
telapak tangan. Badanku gemetar. Enam tahun sudah berlalu, tapi kenangan itu
masih mampu membuat perasaanku tercabik. Bagiku kenangan itu adalah dua
kekalahan dalam waktu yang bersamaan. Warisan sejarah yang ditumbangkan
Dewa Kapital dan ketidakberdayaanku dalam melawan sikap salah itu.
Aku meraih bungkus rokok yang tergeletak di lantai. Merokok biasanya bisa
membuatku lebih tenang. Kuhisap rokokku dalam-dalam, berharap efek
nikotinnya mampu menyingkirkan kata-kata Bapak Suriyanto yang sekarang
terus bergaung di telingaku. . Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu
tetap melakukan tindakan yang kamu anggap salah jangan sampai kelak kamu
juga jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi....
Aku melirik ke sudut kamar. Sialan! Si kenangan masih duduk di sana. Ada yang
bilang kenangan itu seperti tato, tidak pernah benar-benar hilang.
Ada juga yang bilang kenangan itu seperti perantau, mereka selalu kembali
pulang. []
Aku membuka daun jendela kayu jati berukir bunga-bunga bulat yang menjulur
ke sana ke mari itu dan melihat langit sudah terang tapi matahari belum tampak.
Apakah aku bangun terlambat?
Aku melihat seseorang berdiri di jalan setapak di dalam taman, di antara batangbatang melati. Aku melangkah ke pintu dan kemudian berjalan mengitari bunga
azalea dalam pot keramik besar dan serumpun mawar putih menuju ke arahnya.
Guten morgen,sapaku. Berjalan tanpa alas kaki di atas batu-batu bulat pada
pagi hari adalah rutinitas penghuni rumah itu. Aku mengetahuinya dari sisa-sisa
ingatanku.
Sapaanku tidak dijawab. Orang itu hanya menoleh sebentar lalu tanpa
mengubah gerakannya yang meliuk dengan lembut mengikuti pola-pola tertentu
dia berkata, Tidurmu nyenyak?
Iya. Terima kasih. Semalam aku tidak dapat tidur sekejap pun. Rumah
tradisional itu tidak memiliki palang pintu. Dia bisa masuk dan menusuk dadaku
dengan pisau kapan saja. Aku tidak takut mati. Aku hanya tidak ingin tidak
terjaga ketika dia sedang membalaskan dendamnya. Aku berharap dia
melakukannya. Setidaknya dengan begitu aku punya alasan untuk meminta
maaf. Saat ini mustahil meminta maaf padanya tanpa melukai harga dirinya.
Andrew dan aku berlatih tai-chi setiap pagi. Aku suka gerakannya yang seperti
menari. Dalam taraf tertentu ini adalah jurus bela diri yang berbahaya.
Prinsipnya adalah memukul balik musuh dengan memanfaatkan tenaga musuh
itu sendiri. Aku belum pernah menggunakannya untuk memukul orang tapi
mungkin Andrew pernah.
Saya sudah tua. Umur saya tiga puluh tiga saat ini.
Dia tertawa tapi tidak ada nada senang di dalam tawanya. Itu umur di mana
orang-orang bertindak bodoh, katanya. Puterinya meninggal saat berusia tiga
puluh tiga. Bukan untuk disebut tua.
Aku melihat sosoknya yang tinggi dan besar. Matanya yang berwarna seperti laut
pada musim badai dan rambut kecokelatan dengan beberapa jumput warna
keperakan. Dia tidak memperlihatkan definisi kata tua. Saya bodoh sejak lahir.
Dan mungkin akan tetap begitu sampai mati, kataku.
Tidak dari diri saya sendiri, jawabku. Tidak juga dari pria ini dan kekasihku,
kurasa.
Oya? Yang seperti itu susah untuk dilihat. Orang mungkin iri padamu. Aku tahu
dia mengatakannya untuk melampiaskan kemarahan. Orang cenderung tidak
menyukai orang yang melakukan sesuatu tanpa mendapat risiko apa pun.
Masih pagi, ujarnya. Kembalilah ke kamar. Kami baru sarapan sekitar jam
delapan.
Sebelah alisnya menaik. Menurutku kau akan tetap pergi walau aku
melarangmu ke sana.
Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu. Kekasihku berkata begitu tahun
lalu dan juga tahun-tahun sebelumnya.
Saat itu aku tertarik pada banyak hal tetapi matahari terbit tidaklah termasuk di
dalamnya.
Aku tidak percaya akan masa depan. Meskipun aku tahu bahwa dalam hidup ini
orang selalu akan ngunduh wohing pakarti, ketidakpercayaan itu membuatku
hidup sesuka hatiku. Aku sama sekali tidak tahu kalau pada suatu hari dia akan
menjadi salah satu buah perbuatan yang harus aku petik.
Bagiku cinta baru bisa dipikirkan setelah semua hal yang lain diurus dengan
baik. Itu baru fair. Kebanyakan orang memperlakukan cinta seperti semacam
hiburan saja. Sesuatu yang diam-diam mereka nikmati ketika mereka kelelahan
atau melarikan diri dari hal-hal lain yang lebih serius dan realistis.
Kekasihku wanita yang terlalu romantis, dia gembira karena hal-hal kecil dan
sangat mudah terluka. Dia mencintaiku dengan sepenuh perasaan. Sesuatu yang
selalu membangkitkan rasa kasihanku
Saya tahu, jawabku, menatap laki-laki itu. Tapi matahari tidak sama setiap
harinya.
Aku mengangguk padanya dan hendak melangkah pergi. Beberapa langkah aku
mendengar suaranya. Apa kau tahu dia mengidap hemochromatosis?
Aku tidak suka padamu. Dia berbicara dengan nada datar seperti biasanya.
Ketika dia meminta persetujuanku atas pernikahan kalian kami bertengkar
hebat. Kukatakan dalam hubungan semacam itu orang sepertimulah yang akan
lebih cepat bosan dibandingkan orang seperti dia. Tapi rupanya dia sangat
percaya kepadamu. Dia mewarisi kebodohan ibunya.
Saat pertama kali bertemu ayahku, ibuku jatuh cinta padanya dan menyerahkan
seluruh hatinya. Ayahku terlalu manja untuk bisa mengambil tanggungjawab
semacam itu jadi dia pergi. Perlu waktu dua puluh tahun baginya untuk
menyadari bahwa aku adalah anak yang lahir karena kecerobohannya.
Saya.... Aku ingin sekali meminta maaf tapi tidak mampu mengucapkannya.
Lalu ketika kau memutuskan hubungan dengannya aku berpikir aku harus
meluangkan waktu untuk membujukmu. Dia tertawa kecil. Sangat satir. Kau
harus lihat bagaimana dia begitu antusias menyiapkan pernikahannya. Kau tahu
dia menganggap dirinya harus menjalani hidup seperti biarawati karena
pandangan orang-orang yang kolot tentang anak haram. Dia tidak pernah peduli
pada pria manapun seumur hidupnya. Ide tentang pernikahan dan keluarga tidak
pernah singgah di kepalanya. Sampai dia bertemu denganmu dan kau berhasil
menyusupkan ide itu ke dalam angan-angannya. Dia mengikuti pelayanku
sepanjang hari dan mengganggunya dengan pertanyaan bagaimana melakukan
ini dan itu. Dia belajar memasak dan menangis ketika ikan yang dia goreng
gosong. Katanya kau suka makan ikan. Dia membeli bermeter-meter kain brokat
untuk dijahit menjadi kebaya. Dia memang sangat lugu dan bodoh. Dia
menatapiku. Kenapa kau tiba-tiba membatalkan pernikahan?
Lalu kenapa kau memulainya, demi Tuhan? Suaranya meninggi. Seorang pria
terhormat tidak seharusnya memulai sesuatu yang tidak dapat dia lakukan
sampai akhir. Tidakkah kau mendapatkan pelajaran itu ketika kecil?
Oh, itu jelas sekali. Ketajaman suaranya membuatku merasa agak nyaman.
Aku harus mendapatkan hukuman darinya entah bagaimana. Itu akan
membuatku merasa lebih baik. Aku seharusnya membunuhmu. Semua orang
akan maklum kalau kulakukan itu. Tapi bahkan puteriku sendiri saja tidak
membuat keributan sedikit pun. Walaupun sebenarnya dia punya hak untuk itu.
Katanya itu supaya hidupmu tidak terusik. Kau punya keluarga dan anak-anak.
Kau punya pekerjaan yang mengharuskanmu menjaga martabat. Dia lebih
memilih menghinakan dirinya sendiri dengan berkumpul bersama iblis di
neraka.
Berjalan kaki aku mengikuti jalan yang sudah kuketahui. Jalanan desa yang
mengikuti arah tepian sungai. Langit sudah terang dan aku melihat beberapa
orang berjalan di pematang sawah. Mungkin ini waktu dimulainya jam kerja bagi
petani.
Aku berjalan dengan langkah yang makin kupercepat. Di langit sebelah timur, di
balik pegunungan sudah terlihat semburat merah keemasan meskipun ujung
celanaku basah kuyup oleh embun. Setelah mendaki dua bukit kecil,
menyeberangi sungai, melewati beberapa rumah, berjalan di daerah
persawahan, aku sampai di tempat itu. Masih sama seperti yang ada dalam
ingatanku.
Aku melihat cahaya pertama matahari menyinari ujung-ujung ranting jati yang
kering.
Tempat paling indah di desaku adalah pemakaman. Berada di satu bagian dari
tanah milik keluargaku. Di atas sebuah bukit kecil yang kanan-kirinya diapit oleh
dua sungai berlereng terjal. Di lereng-lereng itu tumbuh bunga-bunga anggrek
liar. Bunga yang akan mati jika kau mencoba memindahkannya dari tempatnya
tumbuh. Pemakaman itu dikelilingi hutan jati. Dahulu tidak ada satu pun pohon
di situ kecuali pohon pulai tua yang bunganya melimpah ruah pada musim
penghujan. Kemudian kakekku menanaminya dengan pohon jati satu demi satu
sejak dia masih kecil sambil membayangkan batang-batangnya yang tumbuh
lurus akan menjadi tiang-tiang dari rumah-rumah yang akan dibangun anak
cucunya kelak. Kalau kau sempat berada di sana pada saat matahari terbit atau
tenggelam kau akan berpikir hidup itu lumayan menyenangkan.
Aku melepas sandal yang aku pakai di pintu masuk pemakaman yang hanya
berupa dua pohon kamboja berjarak dua atau tiga meter yang rantingrantingnya saling bertautan membentuk semacam lengkungan. Banyak sekali
bunga kamboja yang gugur berserakan di tanah. Aku memungut salah satunya.
Sewaktu kecil aku suka mencari bunga kamboja dengan jumlah mahkota genap
karena katanya siapa yang menemukannya akan beruntung. Aku tidak tahu
kalau bunga kamboja itu makhota bunganya selalu ganjil. Aku memang tidak
pernah beruntung.
Aku berjalan berkeliling sebentar lalu duduk di dekat sebuah nisan dari marmer
hitam. Aku datang untuk melihat matahari terbit bersamamu. Aku berkata
sambil melihat ukiran huruf emas di bagian kepala nisan itu. Di sana terukir
nama wanita itu.
Aku ingat setiap patah kata yang ditulisnya dalam surat terakhirnya padaku:
Dear I.
Everything that happened was to save you. Your family and your name. And
thats okay, because I love you so much. But somehow Im always the one who
get hurt. How can I deal with it?
Today, I did things I abhor to protect the one thing I value most, my pride. If
anyone can understand it, its you. Your compassion is a gift, I. Carry it with you,
as I will carry my regret. Always and forever.
Y.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku mengakui aku merasa kesepian.
Barangkali inilah yang dirasakan kekasihku ketika dia berjalan masuk ke danau
dan menenggelamkan dirinya. []
Catatan: