Oleh:
Nama: Nasya Kenzia Syaira Alifa
Kelas; XII MIPA 5
Saya mengetahui tentang Pak Dimas saat pertama kali saya berkelana ke daerah
Pelinang. Selama beberapa hari, saya sibuk membersihkan lahan pertanian kakek
saya, membersihkan bebatuan dan rumput liar yang pindah setelah orang tua itu
pergi. Saya mengolah tanah seluas hampir satu hektar, menanam barisan ubi,
membersihkan semua sarang laba-laba dari kabin tua, dan memotong kayu bakar
yang cukup untuk bertahan selama musim dingin meskipun saat itu masih awal
musim semi. Tanpa ada pekerjaan rumah yang tersisa, saya menyadari bahwa saya
tidak punya pilihan lain selain akhirnya bertemu dengan tetangga saya.
Sebenarnya saya bukan tipe orang yang tidak suka bersosialisasi. Namun, selama
beberapa tahun terakhir, kehidupan sosial saya hampir seluruhnya dipenuhi
dengan interaksi antar para karyawan perusahaan saya dulu, perusahaan
Aquasolar. Ketika kakek saya meninggal, saya harus pindah dari hingar bingar
Kota Jakarta ke desa Ngarai Rah yang antah berantah.Saya kagum dengan warga-
warga desa yang ramah dan humor mereka yang unik. Saya merasa tidak bisa
bergabung dengan mereka. Mereka akan mencium kemunafikan yang menguar
dari setiap diri saya, seperti bagaimana seekor anjing dapat mengetahui ketika
seseorang tidak menyukainya.
Beberapa bulan saya tinggal di sini, saya mengetahui betapa salahnya saya.
Tidak ada yang bisa bermuka dua lebih dari warga Desa Ngarai Rah.
Saya berangkat dari peternakan setelah pukul delapan pagi. Saya berencana untuk
mampir ke toko kelontong untuk membeli bahan makanan dan benih untuk
ditanam, kemudian, jika saya masih punya uang, minum kopi di sudut kedai yang
sepi.
Namun, saat saya melewati alun-alun, saya langsung berlari ke kerumunan orang
yang pasti terdiri dari semua orang di kota. Pikiran pertama saya adalah bahwa
saya telah melewatkan pengumuman tentang festival musim semi. Tetapi tidak
ada musik, dan tidak ada seorang pun yang tampak senang berada di sana.
"Hei," kata sebuah suara di dekat telinga saya. "Namamu Leo, kan?"
Wanita yang berdiri tepat di samping saya hampir tidak asing lagi. Dia memiliki
rambut merah panjang yang dikepang longgar, dan memandangi saya dan
pemandangan melalui mata cokelatnya yang lebar. Seandainya saja saya bisa
mengingat-ingat dari mana saya mengenalnya, mungkin saya bisa mengatakan
sesuatu. Di antara teriknya matahari, kerumunan orang asing, dan orang tua yang
tidak sadarkan diri, lidah saya terikat sekencang-kencangnya.
"Aku Sophia," katanya. "Aku pemilik warung kopi yang di tepi sungai itu!"
"Oh, ya!" Saya berseru dengan puas karena berhasil mengingat. Kedai kopi itu
memang dekat rumahku, tapi karena sepi pengunjung dan atmosfernya yang
kurang mengenakan, membuatku jarang pergi ke sana. "Apa yang terjadi dengan
pak kades?"
Dia menarik tanganku menuju salah satu kursi di alun-alun, menjauh dari
kerumunan. "Mengerikan sekali. Harry akan melihat apa yang bisa dia katakan
pada kita, tapi..."
Aku sudah dengar tentang Harry sedikit-sedikit, pasti dia adalah si dokter muda
itu. "Pak Dimas sangat baik ketika saya pertama kali tiba," kata saya. "Apakah dia
akan baik-baik saja?"
Sorot mata Leah yang tajam, dan beberapa helaan napas dari orang lain yang
mendengarnya, seolah memberi tahu saya bahwa saya baru saja mengatakan
sesuatu yang sangat bodoh.
Harry berdiri dan berbicara kepada seluruh hadirin, dengan wajah pucat dan
gemetar. "Waktu kematiannya antara pukul 12.00 dan 12.30 tadi malam. Saya
menemukan memar di kepala yang konsisten dengan trauma benda tumpul, dan
luka di perutnya akibat suatu benda tajam--"
Di seberang kerumunan, seseorang yang tak bisa kulihat mengeluarkan isak tangis
bernada tinggi.
"Berhenti berbicara omong kosong, dasar kau!" teriak seorang pria beruban yang
duduk di kursi roda di sisi lain alun-alun. "Apakah Anda mengatakan bahwa
kepala desa telah dibunuh?"
Harry menelan ludah. Wanita yang memakai scrub tadi meletakkan tangannya di
bahu Harry, yang sepertinya memberinya keberanian untuk berkata, "Ya, saya
menduga ada tangan yang berdarah dibalik semua ini."
"Maafkan saya," kata saya kepada Sophia. "Saya tidak tahu dia sudah tiada."
"Tidak apa-apa." Dia tidak mengalihkan pandangannya dari mayat kepala desa.
"Kau tidak mungkin tahu. Tak satu pun dari kita yang bisa. Hal semacam ini tidak
terjadi di sini. Di desa kecil kita yang tenteram ini."
“Kalau kasus ini meluap kemana mana, ini pasti akan mencoreng nama baik desa
kita. Usaha-usaha lokal seperti warungku bakalan tambah sepi.”
Harry berhasil menenangkan semua orang. "Saya hanya mengatakan ini karena,
sebagai teman-temannya, kalian berhak tahu. Sekarang kami telah
mengkonfirmasi adanya pembunuhan, aku terikat secara hukum untuk
memberikan semua laporan selanjutnya kepada penyelidik yang bertanggung
jawab. Aku sudah menghubungi kantor polisi di daerah Pelinang, dan mereka
akan mengirimkan seorang detektif ke sini."
"Apakah detektif yang dimaksud itu si Arya?" Pria tua di kursi roda itu tertawa
riang. "Saya pernah melihat mereka bekerja. Bah! Mereka bahkan tidak bisa
menemukan kelinci di kandang tanpa peta."
"Pak Jaya, sudahlah," kata seorang wanita di belakang kursinya.
Perempuan berbaju scrub itu angkat bicara. "Lalu, apa solusinya, Pak Jaya?"
tanyanya. "Menanganinya sendiri? Kami bukan tenaga profesional, dan kami
tidak memiliki peralatan yang memadai. Belum lagi kita semua sedang trauma
karena kehilangan orang yang kita cintai."
"Terima kasih, Meri," kata Harry. "Saya sarankan kalian semua pulang dan
berduka dengan cara apa pun yang kalian anggap terbaik. Saat detektif datang, dia
akan bisa membantu kita menemukan penyelesaian."
Harry dan Meri mengangkat tubuh walikota ke atas tandu yang sudah menunggu
dan membawanya ke klinik terdekat. Saya menoleh ke arah Sophia dengan seribu
pertanyaan, tetapi dia sudah berbicara dengan dua penduduk desa lainnya.
Saya berharap saya tahu nama-nama mereka. Seharusnya saya bertemu mereka
lebih awal. Sekarang, komunitas yang baru saja menjadi bagian dari saya dipaksa
masuk ke dalam trauma yang hampir tidak saya pahami.
Jalan setapak dari kota kembali ke peternakan saya melewati halte bus.
Bus hanya beroperasi dua kali sehari, jadi hampir selalu sepi. Namun, ketika saya
berjalan dengan linglung sambil menggenggam paket benih baru saya di dalam
kantong kertas, seseorang duduk di pagar pembatas jalan: seorang gadis yang
berusia beberapa tahun lebih muda dari saya, dengan rambut yang dicat ungu
terang, mengenakan tunik berikat berwarna gelap yang membuatnya terlihat
seperti dari dunia kartun.
Dia melompat ketika mendengar saya datang, dan bersandar dengan santai di
tiang pagar, seolah-olah dia telah memandang ke arah jalan menuju kota. "Hei,"
katanya. "Kamu petani baru itu ya?"
Dia memutar matanya. "Detektif itu. Aku belum pernah bertemu sekali pun
dengannya. Jangan bilang orang tuaku, tapi aku berkemah di sini untuk mengikuti
perkembangan kasusnya."
Saya bahkan tidak tahu siapa orang tuanya. "Tenang saja, rahasiamu aman.."
"Terima kasih."
"Ada pembunuhan setiap hari di luar sana," aku mengoreksi. "Lebih tepatnya
setiap empat hari sekali, dan kebanyakan tidak misterius. Hanya mudah ditebak
dan menyedihkan."
Saya hendak mengatakan kepadanya bahwa saya datang ke sini untuk menjauh
dari hingar bingar perkotaan. Bahwa saya telah mengambil kesempatan yang
ditawarkan Kakek untuk menambahkan ritme yang dapat diprediksi dan rutin
pada hari-hari saya yang tidak tertambat. Singkatnya, saya memilih hidup
nyaman, bebas dari semua masalah. Namun, kilau di mata Abigail mengatakan
bahwa ada beberapa hal tentang hidup yang tidak perlu dia pelajari dulu.
Sebaliknya, saya langsung melontarkan ide lain yang telah menggelitik pikiran
saya.
"Aku mengamati orang-orang di desa. Beberapa orang tampak takut, atau terkejut,
atau marah, tapi tidak ada yang terlihat begitu sedih, meskipun mereka sudah tahu
sejak pagi bahwa dia sudah meninggal."
Senyum jahat mengembang di wajah Abigail. "Kamu sedang mencari motif."
"Bukan itu!" Saya berseru. "Saya hanya ingin tahu. Saya hampir tidak tahu apa-
apa tentang kota ini. Saya baru saja datang, dan sekarang semuanya berubah
sebelum saya sempat menginjakkan kaki dengan tenang."
Sebagian rasa frustrasi saya pasti muncul, karena suasana hati Abigail berubah
menjadi serius. Dia meniup sehelai rambut ungu dari matanya. "Tidak, kurasa
tidak. Orang-orang tidak terlalu menyukai Pak Dimas. Salah satunya ayahku.
Ayahku membencinya."
"Ayahmu?"
"Pierre." Dia mengangguk ke arah kantong belanjaan saya. "Orang yang kau
temui saat membeli itu. Orang yang tidak akan kau beritahu bahwa kau
menemukanku sedang menunggu di sini."
Butuh pengaturan ulang mental untuk menyamakan penjaga toko yang serius dan
tidak banyak bicara dengan gadis di hadapanku, yang seperti kubilang, terlihat
seperti keluar dari film animasi anak-anak.
Saya teringat kembali pada kebaikan yang ditunjukkan Pak Dimas pada malam
pertama saya di desa ini, dia memberikan saya biji ubi ungu untuk ditanam.
Apakah semua itu palsu? Apakah dia hanya senang karena pertanian saya bisa
menghasilkan keuntungan yang bisa dia nikmati? Kalau dipikir-pikir, apakah itu
alasan Kakek pindah rumah?
"Dengar, aku tahu bagaimana ini terjadi," kata Abigail. "Kita seharusnya
berkabung, berkumpul bersama untuk menyembuhkan diri sebagai sebuah
komunitas, bla bla bla. Tapi aku jamin, kebanyakan orang tidak tahu apa yang
harus mereka rasakan dan lakukan saat ini.”
Dia melompat kembali ke pagar, menghadap saya, dan meletakkan sikunya di atas
lutut. "Kau benar, Leo. Kau tidak akan menemukan banyak orang yang sedih
dengan kepergian kepala desa. Kecuali Dewa."
Namun, saya akhirnya memaksakan diri untuk mengucapkan selamat tinggal pada
Abigail alih-alih menanyakan lebih banyak hal. Ketika saya berjalan pulang ke
rumah, sebagian dari diri saya pasti tahu bahwa peran saya dalam hal ini masih
jauh dari selesai.
Meski kumuh, rumah pertanian tua itu terasa nyaman selama beberapa
malam terakhir. Tapi, tidak dengan malam ini. Udara dingin di awal musim semi
membuat retakan-retakan di dinding yang bahkan tidak disadari oleh Robin, si
tukang kayu. Jari-jari saya gemetar. Setelah menjatuhkan korek api ketiga, saya
menyerah untuk menyalakan api. Sesuatu tentang dinding yang rapat itu terasa
mengurung, bukannya menentramkan - apa yang saya pikir adalah tempat
berlindung saya berubah menjadi jebakan. Saya hampir bisa mendengar bisikan
hantu Kakek: Kamu datang ke sini bukan hanya untuk menanam parsnip. Kamu
datang untuk menjadi bagian dari sesuatu.
Belum sempat saya menyalakan api unggun, terdengar suara notifikasi dari ponsel
genggam saya. Satu pesan masuk dari ketua rukun tetangga kami saat ini, Angges.
Jam di dinding menunjukkan jam tujuh kurang, dengan cepat, saya mengenakan
mantel, dan pergi untuk mengunjungi balai desa. Dengan semua perasaan yang
membingungkan ini, saya semua masalah ini cepat selesai.
Saat itu musim semi terasa dingin, dengan angin dingin yang menyapu
lautan dan keheningan yang menandingi dinginnya malam yang tak bersahabat.
Aku memasuki ruangan di balasi desa. Interiornya bertema kuno dan seperti tidak
terurus. Beberapa meja dan kursi terlihat lapuk dan sudah patah.
Begitu saya masuk, saya bisa melihat bahwa tempat itu sudah didatangi oleh
beberapa orang yang kukenal seperti Sophia dan Pierre, selain itu, terdapat
seorang yang tidak kukenali. Seorang pria dengan tatapan ketus dengan plester
bekas luka di tangannya.
Saya berjalan melintasi ruangan menuju meja kecil yang telah diduduki 3 orang
tersebut
Ketika saya sudah beberapa meter jauhnya, pintu luar terbuka, dan - saya tidak
bercanda - semua percakapan terhenti. Jika ada piringan hitam yang sedang
memutar musik, maka piringan hitam itu akan terhenti seketika.
Sulit untuk mengatakan dengan tepat bagaimana caranya, tetapi penduduk desa
seperti bisa merasakan kehadiran orang asing. Saya tidak masuk hitungan; saya
memiliki keluarga dari daerah ini, dan saya tinggal di ujung jalan. Tidak ada
keheningan bagi saya ketika saya memasuki balai desa. Tapi pria berambut abu-
abu yang angkuh dengan setelan jasnya yang rapi ini tidak dikenal oleh siapa pun.
Sang agen polisi mengamati ruang balai desa dengan sekali pandang, dan ternyata
tidak menemukan banyak hal yang membuatnya terkesan. Tiga pasang mata
memperhatikan tiap gerak-gerik langkahnya.
“Apa!? Kurang ajar! Memangnya aku ada hubungan apa dengan kades itu.” seru
Pierre seraya menampar meja dengan keras.
“Tersangka pertama: Leo Angkara Murka. Seorang petani yang baru saja pindah
dari Jakarta. Alasan dicurigai adalah jarang bersosialisasi dengan warga dan hanya
menunjukkan kedekatan dengan mendiang Dimas. Diketahui dari istrinya, bahwa
mendiang Dimas bertemu dengan saudara Leo untuk membahas mengenai
pertanian pada saat sekitar pukul 18.00”
Suara derit bangku terdengar dari sebelah ku, “Izinkan saya duluan, Pak.” Suara
nyaring Sophia terdengar di telingaku.
“Memang benar bahwa Pak Dewa dan Dimas mengunjungi warung saya di pukul
8 malam, namun kami tidak berinteraksi lebih. Mereka hanya memainkan
ponselnya masing-masing. Lalu, pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.”
Detektif Arya mengetuk-ngetuk jarinya ke meja, “Dari info yang saya dapatkan
dari Pak Melky, beliau sempat mendengar adanya bincang-bincang yang cukup
keras dari warung anda, tapi tidak terdengar suara siapa. Apakah itu suara Pak
Dewa dan Dimas?”
Sophia menelan ludahnya, “Sa–saat itu saya fokus dengan pelanggan, pak. Jam
segitu memang masih banyak yang memesan kopi, suasana yang ramai pasti
menenggelamkan suara Pak Dewa dan Dimas.”
Alibi yang aneh, karena warung Sophia sudah semakin sepi semenjak hadirnya
Kedai Tempoe di sudut kota.
"Pada malam itu, saya memang pergi ke warung Sophia bersama Dimas. Kami
hanya duduk di sana, minum kopi, dan mengobrol. Kami memang sedang
membicarakan masalah terkait pajak usaha lokal, tetapi tidak ada pertengkaran
atau konflik apa pun. Saya punya saksi, salah satunya adalah Sophia sendiri, yang
bisa mengonfirmasi bahwa kami tidak terlibat dalam argumen apa pun."
Sophia mengangguk setuju, "Benar, tidak ada pertengkaran yang terjadi di warung
pada saat itu.Saya yakin mereka hanya duduk berbincang santai."
Pak pierre yang seedari tadi diam, mulai membuka mulutnya, “Saya dan Dimas
memang sering berseteru masalah pajak. Namun, kami tidak lebih dari itu. Saya
dan dia merupakan teman baik.”
Suara derit kursi terdengar saat saya bangkit, “Saya merasa ada kejanggalan,
Pak.”
Detektif Arya menatap saya dengan pandangan berkerut, “Sophia, bukankah kau
berkata bahwa akhir-akhir ini kedaimu sedang sepi? Seharusnya kau bias
mendengar percakapan Dewa dan Pak dimas buka?”
“Well, saar it warungku sedang ramai-ramainya. Aku pun tak tahu mengapa.
Sumpah! Bukan aku yang membunuhnya.”
Namun, saya tak mengindahkan ucapanya, “Lalu, pada malam itu, Abigal pernah
berkata kepadaku bahwa dia melihat Pak Pierre dan Dewa mengobrol sambil
membawa cangkul. Bukankah itu merupakan bukti yang cukup?”
Kena kau.
Detektif Arya menolehkan kepalanya dengan terkejut, “Apa yang anda katakan
Saudara Dewa?”
Sophia mulai menangis terisak-isak dan berkata, “YA! YA! Memang dia dan Pak
Pierre pembunuhnya, dia danPak Dimas terlibat dalam pertenkaran di warungku.
Namun, aku tak bias bersaksi apa-apa karena dia mengancam untuk membunuhku
juga.
Suasana menjadi tegang dan mencekaman. Mantel yang saya kenakan tak cukup
menandingi angin malam yang menusuk. Diantara gelapnya malam, para warga,
Detektif Arya, dan Sophia; Aku membeku. Semua orang membeku.
Pierre mengadahkan kepalanya dan berkata, “Tch..Andai….andai saja pak tua itu
tidak berbuat begitu. Aku tidak akan sampai hati untuk membunuhnya.”
“Aku dan Dewa mempunyai toko kelontong. Pajak yang ditarifkan Dimas sangat
mencekik keadaan kami. Apalagi dengan keadaan ekonomi seperti sekarang.”
“Baiklah, kami akan membawa saudara Pierre dan Dewa ke kantor polisi. Saudara
Leo anda juga akan dibawa sebagai saksi.”
Saya melangkakan kaki untuk keluar dari Balai Desa. Saya lihat jam yang
tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.30. Sudah satu jam lebih saya di
sini. Saat pulang, saya hanya ingin minum coklat panas, lalu tidur.
Belum sempat saya menginjakkan langkah kaki, sebuah tangan terulur menahan
langkahku.
Saya membalikkan badan saya untuk menatap wanita itu lebih jelas. Saya taruh
tangan saya di bahunya.,“Yang kau lakukan bukanlah sesuatu yang terpuji, tapi
saya mengerti mengapa kau melakukan hal itu. Kau takut.,” Aku menelan ludah
dan melanjutkan, “Tapi, saat kau bersaksi akan kejahatan Pak Dewa dan Pak
Pierre, aku tahu, ada keberanian dalam dirimu.”
Semua kejahatan butuh kebenaran. Jadi mungkin kebenaran tidak harus sendiri.
Mungkin kebenaran hanya kesepian seperti kita. Semakin kita menjangkaunya,
semakin kita membangun komunitas kita, semakin banyak kebenaran yang
terungkap.
Sekarang musim semi di Desa Ngarai Rah. Dan inilah saatnya hidup saya dimulai.