“Lucu-lucu begitu, induk kelinci juga bisa memakan anaknya sendiri, lho,”
ujar Kakek mengejutkanku.
Kuperhatikan satu persatu dari kesepuluh anak kelinci new zealand white
yang baru saja lahir dari rahim induknya. Lalu kupandangi induk kelinci berbulu
putih bersih di sudut kandang. Bulunya terlihat lembut. Dengan mata merah
bersih, induk kelinci begini terlalu imut untuk menjadi kanibal.
“Tapi menjadi kanibal terlalu kejam untuk binatang seperti kelinci.” Aku
memasukkan tanganku kedalam kandang, berupaya mengelus punggung berbulu
induk kelinci.
****
Tujuh tahun yang lalu kakekku meninggal dunia. Kakekku, pria tua yang
dikenal oleh hampir semua orang di kota ini. Kakekku yang kaya raya. Kabar
kematian kakek disiarkan ke seluruh negeri. Kematian Kabul Makuta, pendiri
Makuta Foundation, meninggalkan duka mendalam dan kehilangan besar bagi
Kota Cotta.
Maka, mulai saat ini aku mencurigai ayahku sebagai dalang dibalik
kematian kakekku atau mungkin juga dalang dibalik kematian temanku. Aku
mencurigai ayahku sebagai pembunuh.
****
“Muak katamu? Kalau tidak kuat coba saja. Kalau berani cepat lompat
dari sini!”
Revaline gila. Mana mungkin aku melompat dari atas gedung aula ini.
“Sara, kamu tahu apa yang menarik dari permainan melempar bola?
Mencari sasaran!”
Revaline keterlaluan.
“Ayah bertemu temanmu di jalan pulang. Kalian satu kelas, kan? Jadi ayah
ajak Revaline makan malam di rumah.”
Kenapa aku diam saja diujung tangga? Kenapa aku tidak menyuruhnya
pulang?
“Kamar ini, rumah ini, keluarga ini, bagaimana rasanya jadi anak orang
kaya?”
“Kamu beruntung banget. Aku iri. Rumahku kecil. Jangan bilang siapa-
siapa, ya.”
Lalu tiba-tiba aku berada di ruang makan lagi. Dengan ayahku yang
memakai pakaian serba hitam dan sesuatu yang tiba-tiba ia lemparkan ke
perapian.
Ayah, maksudku…
Lalu aku berpindah lagi. Dimensi terus berpindah. Aku semakin muak.
***
Beberapa tahun terakhir aku dihantui dengan mimpi buruk. Mimpi itu.
Mimpi yang berulang kali merasuki alam bawah sadarku. Mimpi itu bukan
sekadar mimpi. Itu adalah ingatanku dari kejadian di masa lalu, delapan tahun
lalu. Delapan tahun lalu, tepatnya tahun 2016, di mana kabar menghilangnya
Revaline tersiar di lingkunganku.
Aku mengutuk hidupku yang dipenuhi kejadian aneh yang berkaitan dengan
kematian. Yang pertama adalah kematian Revaline di lingkungan rumahku, lalu
kematian kakek yang janggal. Mungkin karena hal itu aku terus memimpikan
kejadian-kejadian di masa lalu. Mimpi-mimpi itu tak hanya membuatku terbangun
di tengah malam. Dadaku dipenuhi perasaaan gelisah karena ingatan-ingatan itu
muncul kembali. Aku selalu merasa ketakutan, menyangkal dugaan-dugaan sok
tahuku yang mungkin saja terjadi. Menutup dugaan tersebut dengan fakta yang
menurutku masih ganjal. Aku terus merasa was-was dan tidak merasa aman
berada di dekat orang-orang terdekatku, terutama Ayah. Apa yang akan terjadi
padaku jika aku mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di subuh hari
kepada polisi yang menyelidiki kematian kakek? Apa yang akan terjadi padaku
jika aku menunjukkan di mana pisau yang mungkin saja merupakan senjata
pembunuhan yang digunakan pelaku untuk membunuh Revaline di hari itu?
“Siapa?” tanyaku.
Daniella menunjuk lelaki yang berdiri kaku di sudut panggung, Prof. Surya.
Dosen linguistik umum itu hanya berdiri di sudut panggung sambil menatap para
mahasiswa. Setelan jasnya yang abu-abu terlihat rapi. Potongan rambutnya short
pomp, menggambarkan kepribadian Prof. Surya yang rapi. Dahi Prof. Surya
cukup lebar. Tampak mengkilap terkena pantulan lampu panggung. Yang menjadi
ciri khas dari penampilan Prof. Surya adalah tahi lalat di ujung mata kirinya yang
tampak mengganjal bingkai kacamatanya.
Aku tahu Daniella sangat tak menyukai kelas Prof. Surya. Menurutnya Prof.
Surya seringkali bersikap sok tahu dan suka basa-basi. Satu hal lainnya yang
paling menyebalkan dari Prof. Surya menurut Daniella adalah sikap narsistik Prof.
Surya yang tampaknya sudah mendarah daging. Seringkali Prof. Surya
membicarakan pencapaiannya selama menjadi dosen, prestasinya, prestasi anak-
anaknya, riwayat hidupnya, penghargaan yang pernah ia dapat, keluarganya,
hingga rasanya kami satu kelas lebih hafal dan paham mengenai kehidupan
pribadi Prof. Surya dibanding materi Linguistik Umum.
****
Aku duduk di kamar kost Daniella yang sempit dan lembab. Rumah kost
Daniella hanya berupa deretan kamar kecil berjumlah delapan kamar yang saling
berhadapan dengan empat kamar di masing-masing sisi. Lorong koridornya
sempit. Rumah kost ini hanya terdiri atas satu lantai dan tampak tak terurus.
Suasananya sangat sepi dan mencekam. Kurasa hanya Daniella yang tinggal di
kost ini.
Kamar Daniella berada di paling ujung koridor. Disebelah kamar mandi dan
dapur umum. Kamar no. 4. Kamar Daniella hanyalah kamar berukuran 2 x 2
meter yang di dalamnya hanya terdapat kasur lantai, lemari kecil, dan meja
lesehan. Beruntung kamar mandi berada di luar, baunya tidak sampai masuk ke
dalam kamar. Namun tetap saja, kamar Daniella lembab karena kurangnya sinar
matahari yang masuk.
“Tinggal aku yang menghuni kost ini. Penghuni lainnya sudah pindah.”
Waahhh…tangguh sekali Daniella hidup sendirian di kost kecil nan gelap
ini. Diam-diam aku merasa prihatin dengannya. Apa Daniella bertahan hidup di
kost ini karena kondisi keuangannya tak memungkinkan untuk dia pindah?
“Maaf ya, kostnya kecil. Apa mau belajar di café?” Daniella menawarkan
solusi. Aku cepat-cepat menolak.
Aku menarik meja lesehan dan mulai membuka laptop, mengerjakan tugas
kelompok.
***
Pada convex mirror yang berdiri di ujung jalan sebelum belokan, kulihat
laki-laki berhoodie abu-abu itu masih berjalan santai mengikutiku yang mencoba
berjalan cepat dengan perasaan ketakutan setengah mati. Tingginya kira-kira 180
cm. Apakah kakiku mampu menendang wajahnya jika aku melakukan round kick
secara tiba-tiba? Atau kupukul saja wajahnya?
Lelaki itu berjalan mendekat. Dalam hitungan ketiga balik badan lalu
lakukan round kick.
Satu…
“Kukira Sara Makuta akan pergi kemana saja dengan pengawal pribadi.”
Dua…
Tiga.
Ciit…Wuush…
Aku menendang angin. Setelah aku berbalik badan dan melakukan round
kick, rupanya lelaki itu mampu menghindar.
“…payah.”
Aku yang was-was tak langsung mempercayainya. Tanda pengenal itu bisa
dicari di mana saja. Lagipula apa urusanku dengan polisi? Dasar penipu.
Aku berbalik badan hendak berlari. Namun lelaki itu menarik tanganku.
***