Anda di halaman 1dari 12

At Dawn, I Saw My Father Hiding A Secret In The Dining Room

“Lucu-lucu begitu, induk kelinci juga bisa memakan anaknya sendiri, lho,”
ujar Kakek mengejutkanku.

“Kenapa? Kejam sekali,” tanyaku tak percaya.

“Kelinci itu, kalau ketersediaan pakannya kurang, kandangnya kurang


memadai, perlahan ia akan menunjukkan gejala stress atau depresi, lalu
memakan anaknya. Anak kelinci yang berpotensi menyebarkan penyakit juga bisa
dimakannya demi menjaga populasi anak kelinci yang lain.”

Kuperhatikan satu persatu dari kesepuluh anak kelinci new zealand white
yang baru saja lahir dari rahim induknya. Lalu kupandangi induk kelinci berbulu
putih bersih di sudut kandang. Bulunya terlihat lembut. Dengan mata merah
bersih, induk kelinci begini terlalu imut untuk menjadi kanibal.

“Insting bertahan hidup yang buruk.” Kakek tertawa mendengar


pernyataanku.

“Begitulah binatang, terkadang ia memiliki naluri ekstreme untuk


mempertahankan dirinya sendiri ataupun anak-anaknya. ”

“Tapi menjadi kanibal terlalu kejam untuk binatang seperti kelinci.” Aku
memasukkan tanganku kedalam kandang, berupaya mengelus punggung berbulu
induk kelinci.

“Bukan kejam. Itulah kasih sayang. Kasih sayang yang menguntungkan


untuk jangka panjang.” Kakek tidak sependapat denganku. Kasih sayang?
Dengan mengorbankan anaknya sendiri?

Aku mengusap lembut punggung induk kelinci. Menatapnya dengan


seksama, seolah-olah menyampaikan pesan ‘kamu tidak mungkin melakukan itu,
kan?’

Paginya, aku bergegas menuju kandang kelinci di belakang rumah kakek.


Terkejut aku melihat bulu-bulu anak kelinci bertebaran penuh darah di dalam
kandang. Tak percaya dengan apa yang kulihat, kuhitung anak kelinci yang
masih hidup di dalam kandang, tinggal delapan. Dua ekor anak kelinci yang baru
lahir mati. Dimakan induknya. Induk kelinci terbaring disudut kandang dengan
darah disekujur tubuhnya. Pemandangan ini, sungguh kejam untuk dilihat bocah
10 tahun.

Kasih sayang. Inikah kasih sayang?

****

Tujuh tahun yang lalu kakekku meninggal dunia. Kakekku, pria tua yang
dikenal oleh hampir semua orang di kota ini. Kakekku yang kaya raya. Kabar
kematian kakek disiarkan ke seluruh negeri. Kematian Kabul Makuta, pendiri
Makuta Foundation, meninggalkan duka mendalam dan kehilangan besar bagi
Kota Cotta.

Di hari kematian kakek, aku menangis sendirian di kamar paviliun. Paviliun


pribadi di dalam kebun nan jauh dari rumah utama. Terdiri dari sebuah kamar
paviliun dengan sebuah televisi besar dan kasur yang juga besar serta satu ruang
kamar mandi. Mirip kamar indekos. Paviliun itu seakan-akan menjadi markasku
di kala rumah utama kakek dipenuhi tamu. Di paviliun itu diriku seakan-akan
menyatu dengan kesendirian dan kesunyian yang menyelimuti ruangan. Setiap
kali aku memasuki paviliun itu, aku merasa seperti telah melarikan diri. Aku
merasa berhasil ‘kabur’. Di kamar paviliun aku dapat menikmati setiap buku yang
memenuhi rak dinding di ruangan itu. Aku dapat menikmati harum bunga angsana
yang pohonnya tumbuh subur di samping paviliun, berhadapan dengan jendela
kamar. Di situlah tempatku melarikan diri.

Namun, di hari kematian kakek, aku tidak ingin ‘melarikan diri’.


Seharusnya aku berada di rumah utama menyaksikan orang-orang menyampaikan
dukanya kepada keluarga kami. Atau duduk diam dan memahami apa yang tengah
terjadi. Mendengar keterangan orang-orang disekitar kakek tentang bagaimana
kakek meninggal hari itu. Seharusnya aku datang saja ke rumah utama
memberikan penghormatan terakhirku kepada kakek yang telah ku kenal selama
15 tahun.

Aku menangis sendirian di kamar paviliun. Bersembunyi dari tamu-tamu


dan wartawan yang ‘sebaiknya jangan mengenalku’. Mencegah rilisnya artikel di
media massa dengan tajuk “Selama Ini Disembunyikan, Putri Tunggal Calon
Walikota Cotta Muncul di Hari Kematian Kabul Makuta”, “Sara Makuta, Putri
yang Disembunyikan Calon Walikota Cotta, Hadir di Pemakaman Kabul
Makuta”, atau yang lebih buruk “Putri yang Disembunyikan, Sara Makuta Anak
dari Wanita Simpanan Cakra Makuta?”.

Kakek meninggal di malam hari saat memancing di danau belakang


rumahnya. Kakek meninggal karena serangan jantung. Yang aneh dari
kematiannya adalah adanya luka bakar di jari tangan kanannya. Ayah mengeklaim
bahwa luka itu mungkin didapat ketika kakek menyalakan api unggun saat
memancing. Hal itu dibuktikan dengan adanya sisa-sisa kayu yang terbakar
menjadi abu. Sementara yang kutahu adalah kakek lebih suka memancing dengan
lentera yang digantung pada tiang bambu di dekat danau. Kakek tidak menyukai
sesuatu yang merepotkan, lebih menyukai sesuatu yang praktis.

Keanehan lainnya adalah kakek memancing bukan di spot yang biasa ia


tempati saat memancing di akhir pekan. Kakek biasa memancing di tepi danau
yang dekat dengan pohon angsana yang rimbun di dekat jalan setapak menuju
paviliun. Tapi malam itu kakek memancing di tepi danau yang jauh jangkauannya
dari rumah utama. Selain itu kakek biasanya hanya memancing hingga pukul
21.00. Namun, berdasarkan keterangan penjaga rumah, malam itu kakek
berangkat memancing saat penjaga rumah pulang, pukul 22.00.

Keluarga menolak otopsi dan polisi menyimpulkan kematian kakek


disebabkan karena gagal jantung. Polisi tidak menemukan adanya percobaan
pembunuhan pada kakek. Obat yang biasa dikonsumsi kakek tidak ditemukan di
TKP, namun ditemukan di meja nakas di samping tempat tidur kakek. Polisi
menduga kakek lalai membawa obat-obatnya saat memancing.
Tujuh tahun lalu aku tak terlalu memikirkan hal tersebut, namun aku baru
menyadarinya saat ini, saat usiaku 22 tahun. Diriku yang berusia 15 tahun saat itu
hanya berpikir kematian kakek begitu mengoyak perasaanku sehingga aku tak
berpikir bahwa kematian kakek mungkin saja memuat adanya kejanggalan. Lalu
sekarang tiba-tiba aku teringat bahwa di subuh hari sebelum kakek ditemukan
meninggal dunia, ayah pulang kerumah dengan wajah kusut dengan baju serba
hitam. Aku yang masih berusia 15 tahun mengira ayah hantu sehingga aku segera
berlari tanpa suara setelah mengambil air minum di ruang makan. Situasi saat itu
mirip dengan situasi di hari temanku menghilang.

Maka, mulai saat ini aku mencurigai ayahku sebagai dalang dibalik
kematian kakekku atau mungkin juga dalang dibalik kematian temanku. Aku
mencurigai ayahku sebagai pembunuh.

****

Di atas gedung aula perisakan Revaline dan teman-temannya terasa


mengerikan. Injakan sepatu boot Revaline pada tanganku semakin kencang dan
terasa menyakitkan.

“Muak katamu? Kalau tidak kuat coba saja. Kalau berani cepat lompat
dari sini!”

Revaline gila. Mana mungkin aku melompat dari atas gedung aula ini.

Dimensi berpindah. Sekarang Revaline duduk di sampingku memegang


rambutku.

“Sara, rambutmu kepanjangan, mau aku potongin?”

Dimensi berpindah lagi.

“Sara, kamu kurus banget! Ayo makan roti!”

Revaline dan teman-temannya menjejalkan paksa roti kacang ke dalam


mulutku. Aku mual. Lalu dimensi berpindah lagi. Terus berpindah. Hingga aku
merasa muak.
“Sara, kadang-kadang kamu keterlaluan ya, mau kuinjak kepalamu?”

“Sara, kamu tahu apa yang menarik dari permainan melempar bola?
Mencari sasaran!”

Revaline keterlaluan.

“Ayah bertemu temanmu di jalan pulang. Kalian satu kelas, kan? Jadi ayah
ajak Revaline makan malam di rumah.”

Sekarang aku berada di ujung tangga, berhadapan dengan Revaline di


meja makan. Ayah seharusnya tak perlu mengajaknya makan malam.

“Sara, aku tidak tahu keluargamu kaya raya.”

Kenapa aku diam saja diujung tangga? Kenapa aku tidak menyuruhnya
pulang?

Lalu aku berpindah ke kamar tamu.

“Sara, seharusnya kamu bilang, kita bisa menjadi lebih dekat.”

Revaline memandangi sekitar.

“Kamar ini, rumah ini, keluarga ini, bagaimana rasanya jadi anak orang
kaya?”

“Sara, urusan yang di sekolah, lupakan saja, ya.”

Lupakan? Kenapa aku harus melupakannya?

“Kamu beruntung banget. Aku iri. Rumahku kecil. Jangan bilang siapa-
siapa, ya.”

Lalu tiba-tiba aku berada di ruang makan lagi. Dengan ayahku yang
memakai pakaian serba hitam dan sesuatu yang tiba-tiba ia lemparkan ke
perapian.

“Ayah baru mengantar Revaline.”

“Ngomong-ngomong, temanmu itu… sangat menyebalkan, ya.”


“Sara, kamu ingin Revaline menghilang, kan?”

Ayah, maksudku…

“Ayah, kenapa ayah memasukkan pisau ke perapian?”

Lalu aku berpindah lagi. Dimensi terus berpindah. Aku semakin muak.

***

Beberapa tahun terakhir aku dihantui dengan mimpi buruk. Mimpi itu.
Mimpi yang berulang kali merasuki alam bawah sadarku. Mimpi itu bukan
sekadar mimpi. Itu adalah ingatanku dari kejadian di masa lalu, delapan tahun
lalu. Delapan tahun lalu, tepatnya tahun 2016, di mana kabar menghilangnya
Revaline tersiar di lingkunganku.

Aku mengutuk hidupku yang dipenuhi kejadian aneh yang berkaitan dengan
kematian. Yang pertama adalah kematian Revaline di lingkungan rumahku, lalu
kematian kakek yang janggal. Mungkin karena hal itu aku terus memimpikan
kejadian-kejadian di masa lalu. Mimpi-mimpi itu tak hanya membuatku terbangun
di tengah malam. Dadaku dipenuhi perasaaan gelisah karena ingatan-ingatan itu
muncul kembali. Aku selalu merasa ketakutan, menyangkal dugaan-dugaan sok
tahuku yang mungkin saja terjadi. Menutup dugaan tersebut dengan fakta yang
menurutku masih ganjal. Aku terus merasa was-was dan tidak merasa aman
berada di dekat orang-orang terdekatku, terutama Ayah. Apa yang akan terjadi
padaku jika aku mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di subuh hari
kepada polisi yang menyelidiki kematian kakek? Apa yang akan terjadi padaku
jika aku menunjukkan di mana pisau yang mungkin saja merupakan senjata
pembunuhan yang digunakan pelaku untuk membunuh Revaline di hari itu?

“Terimakasih Pak Walikota atas sambutannya.” Suara MC membuyarkan


lamunanku.

Riuh tepuk tangan di auditorium terdengar keras. Daniella yang duduk di


sampingku menyenggol lenganku, menyadarkanku dan menyuruhku tepuk tangan.
Kami bertepuk tangan atas sambutan dari walikota atas peresmian gedung
perkuliahan yang baru selesai dibangun.

Di tengah-tengah tenangnya acara peresmian gedung baru yang berlangsung


dengan hikmat, aku memandang lelaki yang berdiri di samping gong itu. Lelaki
yang menjabat sebagai walikota Cotta. Lelaki yang dilantik menjadi walikota
Cotta sebulan setelah kematian kakekku.

Ayahku. Suami direktur utama yayasan Makuta Foundation. Walikota Cotta


yang menjabat hingga dua periode. Lelaki yang baik dan berwibawa, setidaknya
begitu pandangan masyarakat terhadapnya.

“Arghh…tatapan matanya bikin frustrasi.” Daniella tiba-tiba bersuara.

“Siapa?” tanyaku.

Daniella menunjuk lelaki yang berdiri kaku di sudut panggung, Prof. Surya.
Dosen linguistik umum itu hanya berdiri di sudut panggung sambil menatap para
mahasiswa. Setelan jasnya yang abu-abu terlihat rapi. Potongan rambutnya short
pomp, menggambarkan kepribadian Prof. Surya yang rapi. Dahi Prof. Surya
cukup lebar. Tampak mengkilap terkena pantulan lampu panggung. Yang menjadi
ciri khas dari penampilan Prof. Surya adalah tahi lalat di ujung mata kirinya yang
tampak mengganjal bingkai kacamatanya.

Kalau berbicara mengenai Prof. Surya, maka yang kuingat pertama


tentangnya adalah caranya menyampaikan materi perkuliahan yang selalu ceplas-
ceplos. Prof. Surya sering membuat lelucon garing dikelas yang ia tertawakan
sendiri. Prof. Surya seakan-akan hendak membuat kelas perkuliahan santai,
namun leluconnya yang kaku tampak tak berhasil.

Aku tahu Daniella sangat tak menyukai kelas Prof. Surya. Menurutnya Prof.
Surya seringkali bersikap sok tahu dan suka basa-basi. Satu hal lainnya yang
paling menyebalkan dari Prof. Surya menurut Daniella adalah sikap narsistik Prof.
Surya yang tampaknya sudah mendarah daging. Seringkali Prof. Surya
membicarakan pencapaiannya selama menjadi dosen, prestasinya, prestasi anak-
anaknya, riwayat hidupnya, penghargaan yang pernah ia dapat, keluarganya,
hingga rasanya kami satu kelas lebih hafal dan paham mengenai kehidupan
pribadi Prof. Surya dibanding materi Linguistik Umum.

“Kujamin di pertemuan selanjutnya Prof. Surya akan membicarakan acara


hari ini. Entah relasinya dengan walikota lah, para tamu lah, atau mungkin
kontribusinya dalam pembangunan gedung baru, aku tidak peduli. Seakan-akan
serangkaian acara yang diadakan kampus tidak akan ada tanpa kontribusinya.”
Daniella mengeluh jengkel.

****

Aku duduk di kamar kost Daniella yang sempit dan lembab. Rumah kost
Daniella hanya berupa deretan kamar kecil berjumlah delapan kamar yang saling
berhadapan dengan empat kamar di masing-masing sisi. Lorong koridornya
sempit. Rumah kost ini hanya terdiri atas satu lantai dan tampak tak terurus.
Suasananya sangat sepi dan mencekam. Kurasa hanya Daniella yang tinggal di
kost ini.

Kamar Daniella berada di paling ujung koridor. Disebelah kamar mandi dan
dapur umum. Kamar no. 4. Kamar Daniella hanyalah kamar berukuran 2 x 2
meter yang di dalamnya hanya terdapat kasur lantai, lemari kecil, dan meja
lesehan. Beruntung kamar mandi berada di luar, baunya tidak sampai masuk ke
dalam kamar. Namun tetap saja, kamar Daniella lembab karena kurangnya sinar
matahari yang masuk.

Kurasa Daniella sudah cukup berusaha merapikan kamar kost kecilnya.


Namun barang-barangnya yang banyak hanya mampu dijejal-jejalkan. Ada dua
lampu yang menerangi kamar Daniella. Saat kunyalakan sakelar lampu, salah satu
lampunya tak menyala.

“Ngomong-ngomong, kenapa kost-kostan ini sepi?” tanyaku.

“Tinggal aku yang menghuni kost ini. Penghuni lainnya sudah pindah.”
Waahhh…tangguh sekali Daniella hidup sendirian di kost kecil nan gelap
ini. Diam-diam aku merasa prihatin dengannya. Apa Daniella bertahan hidup di
kost ini karena kondisi keuangannya tak memungkinkan untuk dia pindah?

“Maaf ya, kostnya kecil. Apa mau belajar di café?” Daniella menawarkan
solusi. Aku cepat-cepat menolak.

“Tidak perlu. Disini saja. Aku malas mengeluarkan uang,” kataku.

Aku menarik meja lesehan dan mulai membuka laptop, mengerjakan tugas
kelompok.

***

Di jalan pulang aku merasa seseorang mengikutiku. Seorang lelaki memakai


hoodie abu-abu dan topi hitam serta masker. Aku mempercepat langkahku. Ku
lihat jam di ponsel. Pukul 21.00. Sudah cukup larut untuk seorang perempuan
berjalan sendirian di jalanan sepi.

Pada convex mirror yang berdiri di ujung jalan sebelum belokan, kulihat
laki-laki berhoodie abu-abu itu masih berjalan santai mengikutiku yang mencoba
berjalan cepat dengan perasaan ketakutan setengah mati. Tingginya kira-kira 180
cm. Apakah kakiku mampu menendang wajahnya jika aku melakukan round kick
secara tiba-tiba? Atau kupukul saja wajahnya?

“Sara Makuta.” Lelaki di belakangku bersuara. Dia tahu namaku? Apakah


dia akan menculikku karena tahu aku putri Cakra Makuta? Atau dia adalah mata-
mata yang diutus oleh seseorang yang tidak menyukai Ayah?

Aku menghentikan langkahku. Lelaki di belakangku juga ikut menghentikan


langkahnya. Biarkan dia berjalan mendekat. Lalu putar tubuh dan lakukan round
kick. Aku menyesal hanya mengikuti kelas taekwondo selama satu tahun saat
SMA. Aku jadi agak ragu akan melakukan gerakan round kick, namun hanya itu
yang sepertinya bisa kulakukan untuk saat ini. Setelah melakukan round kick aku
hanya perlu berlari sambil berteriak. Setidaknya aku memperlambat gerakan
lawan dengan tendanganku.
“Aku tidak tahu putri walikota Cotta pulang kuliah dengan jalan kaki.”

Lelaki itu berjalan mendekat. Dalam hitungan ketiga balik badan lalu
lakukan round kick.

Satu…

“Kukira Sara Makuta akan pergi kemana saja dengan pengawal pribadi.”

Dua…

“Keamanan yang cukup…”

Tiga.

Ciit…Wuush…

Aku menendang angin. Setelah aku berbalik badan dan melakukan round
kick, rupanya lelaki itu mampu menghindar.

“…payah.”

Ketakutan setengah mati aku mematung berhadapan dengan lelaki 180 cm


yang sepertinya juga jago beladiri.

“Siapa yang memerintahmu?” tanyaku penuh telisik.

“Memerintah? Aaah…sepertinya kamu sering kedatangan mata-mata, ya?”

Aku berjalan mundur sementara lelaki asing ini terus maju.

“Aku polisi. Tenang saja.” Lelaki itu mengeluarkan card holder-nya.

Aku yang was-was tak langsung mempercayainya. Tanda pengenal itu bisa
dicari di mana saja. Lagipula apa urusanku dengan polisi? Dasar penipu.

Aku berbalik badan hendak berlari. Namun lelaki itu menarik tanganku.

“Sara, menurutmu lumpuhnya ibumu benar-benar murni karena kecelakaan


yang tak disengaja?”

Kata-kata lelaki itu berhasil membuatku mematung.


Bersambung…

***

Anda mungkin juga menyukai