Anda di halaman 1dari 5

Ada Apa Denganku?

Setelah lama mataku tertutup, kini ku dapat menikmati kembali indah dunia ini. bahkan
tak ku sangka lebih indah dari yang sebelumnya. Apalagi kini ku tak lagi membutuhkan dua kaca
tebal yang telah menghancurkan mataku dulu saat kecelakaan. Oh betapa senang malamku kini.
Seluruh keluarga besarku datang merayakan kebahagiaan yang tengah ku alami ini. mereka
semua berkumpul di meja makan menikmati makanan sederhana kesukaanku; bakso. Tapi
disaat seperti ini aku merasakan ada hal yang kurang. Oh ya Randi, sepupuku yang pendiam itu
tak lagi ada di sampingku. Begitu cepat ia pulang menyisakan kenangan mata ini padaku. Kalau
bukan karena kejadian itu kami berdua pasti masih terus bersua berbagi cerita.

Tiba-tiba pembicaraan keluargaku beralih pada sosok yang tak lagi ada itu. Paman-bibiku
menyebut-nyebut bahwa ia adalah si biang kerok yang telah mendatangkan keuntungan. Segala
kesialan yang ia timbulkan kini berakhir dengan kematiannya. Tiada yang membela anak itu, aku
pun hanya terdiam. Aku pun tahu sejak anak itu ditinggal mati oleh orang tuanya, ia selalu
disudutkan oleh keluarga ini. mungkin karena bentuk fisik anak ini yang unik atau karena ia
selalu di anggap beban bagi keluarga ini. Maaf memang ia terlahir tanpa kaki dan suka melamun
sendiri.

Tiba-tiba lampu padam. Ayah kemudian menyalakan lilin sebagai penerang. Di balik
cendela, ku lihat bulan yang bersinar begitu terang, hingga cahayanya menembus ruangan ini.
lalu kulihat kembali mangkuk bakso di hadapanku. Rasanya ada yang ganjil. Tiba-tiba bau anyir
menusuk rongga hidungku. Aku kaget bukan main, ternyata mangkukku terisi dua bola mata
yang masih segar, bercampur dengan uraian usus yang tadinya adalah mie. Dan kutahu yang
merah ini tak lain adalah darah. Perutku langsung terasa diaduk-aduk, seluruh isinya protes
menghunjami bagian ulu hati. Tak tertahankan semuanya keluar dengan lunas. Huek-huek.

Semua orang memandangiku. Merasa heran akan tingkahku. Di lain sisi, terbentang di
hadapanku pemandangan yang mencekam. Darah di mana-mana, memenuhi meja makan kami.
Di tengah meja nampak sosok anak kecil tanpa kaki dari balik sinar lilin yang redup. Tangan
satunya telah putus. Matanya bolong tercongkel. Isi perutnya morat-marit ke mana-mana. Pipi
kanannya luka bekas disayat pisau. Kulitnya putih pucat bahkan sebagiannya telah menghitam.
Raut mukanya tersenyum aneh. Ku tahu ia adalah sosok yang barusan dibicarakan.
Namun orang-orang tiada yang panik. Malah kulihat mereka semua telah berubah.
Berubah menjadi sosok yang tak pernah ku lihat. Berhidung besar seperti babi, telinga
memanjang kebawah dan mulut lebar dengan dipenuhi darah di sekitarnya, terdengar darinya
seperti mengunyah tulang-tulang tulang yang tak terlalu keras. Kretek-kretet. Ku rasa tubuh
anak ini tengah disantap oleh sekumpulan orang yang ada dihadapanku. lalu kemanakah
keluargaku? Akankah mereka berubah menjadi monster-monster ini?

Aku lari terbirit-birit meninggalkan mereka, takut akan diriku juga dijadikan santapan
mereka. Dari balik kegelapan aku menuruni tangga rumah dan masuk kamar. Lalu ku kunci rapat
dari dalam. Rupanya mereka mengejarku. Dari balik pintu terdengar ketokan pintu seraya
panggilan yang mirip suara ibuku. Ku biarkan ia terus mengetuk tanpa ku bukakan pintu, karena
bisa saja monster itu menyamar menjadi ibuku.

Lampu kembali manyala, masih saja panggilan itu terdengar dari balik pintu. Ku dengarkan
suara yang mirip ibuku itu terus memanggil dengan serak tangis, sepertinya ia khawatir. Nak,
ada apa denganmu? Mungkinkah ia benar ibuku. Tak kuat rasanya diriku terus mendengar suara
mirip ibuku terus seperti itu. Ku bukakan pintu kamarku untuknya. Ternyara benar ia adalah
ibuku. Ia langsung memelukku seraya bertanya; “ada apa denganmu nak,?”

“Tiada apa-apa bu, mungkin aku hanya berhalusinasi saja.”

Sejujurnya, bau anyir itu masih saja tercium olehku. Namun tak kulihat satu pun berkas
darah darinya. Lalu apa yang ku lihat tadi?

Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan kejadian di meja makan itu. Seumur-umur, baru
sekali rasanya menyaksikan hal yang mengerikan. Tapi semuanya hilang seketika saat lampu
kembali menyala. Mungkin benar itu hanya halusinasiku saja. Namun mengapa masih saja bau
anyir tercium hingga pagi ini. malah rasanya aku mencium bau yang sangat busuk, anyir
melebihi tadi malam di meja makan. Ku beranikan diri tuk keluar kamar mencari sumber bau itu.
Hingga akhirnya langkahku harus terhenti di kamar ayah-ibuku. Ku lirik dari balik pintu terlihat
ada sosok mayat yang tergantung. Tubuhnya kaku berlumuran darah. Tersisa darinya hanya
beberapa bagian saja. Kepalanya telah hilang. Lagi-lagi isi perutnya terurai kemana-mana seperti
tadi malam. Ku tengok ada dua orang, lelaki dan wanita sedang memangsanya, bersamaan suara
pembicaraan di antara mereka berdua.
“Pak Beni itu memang tak tau diri. Kurang baik apa aku padanya? tapi mengapa masih saja
dia suka menggeser batas pekarangan belakang rumah kita?”

“Memang tak pantas ia dikasihi. Ku akan bersyukur kalau ia mati”

Tubuhku menggigil ketakutan. Ku langakahkan kakiku menjauh keluar rumah. Aku


khawatir mungkinkah mayat tadi adalah mayat tetanggaku pak Beni? Dari postur tubuhnya
memang mirip, namun aku tak bisa memastikan karena kepalanya telah hilang. Ku berlari
menuju rumah Pak Beni tuk memastikan bahwa mayat itu bukan dirinya.

Ku berjumpa dengan anak pak Beni yang terkenal aneh, Rofi. Ia seumuran denganku. Di
sekolah ia tak memiliki kawan karena selalu menyendiri. Ia lebih suka menghabiskan waktunya
dengan melamun sendiri. Canggung rasanya menanyakan hal aneh padanya.

“Ayahmu ada di rumah?” tanyaku padanya seakan-akan tiada hal aneh pun terjadi

“Ada” jawabnya singkat. Lalu dia mengantarkanku menuju kandang ayam belakang
rumah.

“Itu dia”

Aku kaget bukan main. Lagi-lagi aku melihat sesuatu yang mengenaskan. Darah tercecer
di mana-mana. Sosok yang disebut pak Beni tadi membungkuk membelakangiku, bergerombol
bersama bebearapa orang. Di antara mereka tergeletak sosok mayat yang telah diamputasi.
Tangan, kepala, kaki , jari-jari, dan isi perut, semuanya telah terpisah dari badan. Orang-orang
itu saling berebut daging busuk didepannya. Mereka mengunyahnya dengan rakus bagai orang
yang belum makan setahun. Lagi-lagi perutku terasa diaduk-aduk. Aku muntah seketika.
Tubuhku menggigil ketakutan. Aku lari meninggalkan mereka dan Rofi mengikutiku.

“kenapa kau lari?”

“tidak kah kau melihatnya?”

“melihat apa?”

“rombongan monster yang memangsa mayat tadi.”

“tidak, bukankah mereka hanya berkumpul ngegosip.”


“tidak, mereka bukan hanya ngegosip. Oh, ada apa denganku? Semalam aku melihat
keluarga besarku berubah menjadi monster yang memangsa mayat sepupuku, tadi pagi aku
keluar rumah karena melihat di kamar ibu ada dua sosok mahluk yang memangsa rakus mayat
tak berkepala dan lagi-lagi tadi pun sama. ”

“stop! Rupanya kau sama seperti mereka ”

“apa maksudmu?”

“perhatikanlah dirimu!”

Aku baru sadar bahwa bau anyir itu kembali lagi. Bahkan terasa begitu dekat. tak kusadari
bahwa rupanya gigiku tengah mengunyah sesuatu. Kenyal dan alot seperti daging. Menetes dari
mulutku merah-merah seperti darah. Aku terkejut bukan main. Ternyata tangan kananku tengah
memegang erat uraian usus dan tangan kiriku memegang rambut dari penggalan kepala; kepala
ayah, ibu, paman, bibi, dan pak Beni. Perutku langsung berontak mengeluarkan seluruh isinya.
Oh ada apa denganku?
Nama : Ardloah Dhany (Ibn Abd Ghofur)

No hp. : 085299849349

Medsos: ig :@ardloah_dhany

Fb : ardloah dhany

No rek: 161-00-0438032-2 AN Abdul Ghofur, bank mandiri

Nama : ardloa

Anda mungkin juga menyukai