Anda di halaman 1dari 6

Mau tentang seorang wanita yang memiliki kepribadian

ganda dan dia ternyata menculik seorang anak kecil yang dia
anggap sebagai adik sendiri karena diseperti melihat anak
kecil itu seperti dirinya saat dulu. Kepribadian dia itu lebih
tua dari dia

Ceritanya itu seorang kakak yang berusaha elindungi adiknya


dari ancaman luar

Konfliknya itu si kepribadian ganda memprovokasi si jane


Manik ku terbuka lebar, nafas yang memburu terdengar
di telingaku tiada henti. Ku seka semua peluh yang ada
sudah seperti berenang di laut lepas. Mimpi itu lagi.
Tanpa sadar bibir ranum ku melahap sebagian kuku jari
jemari, menggigitinya hingga sensasi logam yang selalu
diibaratkan orang orang menyapu indera perasaku. Ku
lirik jam di dinding. Pukul 12 siang, masih belum ada
tanda tanda keberadaannya. Aku berniat untuk bangun
dari kumpulan kapuk-kapuk ini, tak lama engsel pintu
bilik berdenyit kencang. Terpampang dua sosok yang
memiliki perbedaan tinggi yang berbeda, air muka yang
ditonjolkan bahkan saling berkebalikan. Geram dan
ketakutan. Aku menghampiri dia, dia yang gaya
rambutnya berkepang dua sama rata di kedua sisi.
Sedangkan sosok yang lain pergi entah kemana. Ku elus
surai lembut nan cantik itu, berharap sosok mungil
dihadapanku tidak ketakutan lagi. Netra hitamnya lambat
laun melembut menatap kearahku, senyum simpul dapat
ku pastikan sudah terukir diwajah ku saat ini. Gemuruh
petir tiba tiba menyambar, pipi anak kecil tadi malah
memerah semerah tomat seraya tersenyum kikuk
kepadaku. Gemuruh rasa lapar. Dengan senang hati ku
ajak ke dapur tempat dimana aku menyimpan makanan,
terlihat binar matanya ketika seonggok daging yang aku
bawa telah ku letakkan keatas meja makan, lalu
dimakannya daging itu dengan lahap olehnya. Sesekali ia
melihat kearah ku yang ku balas dengan senyuman
sendu, menyuruhnya untuk tetap menyantap apa yang
ada dihadapannya. Kulit putih yang bersih, mata hitam
legam, bibir merah muda bahkan gaya rambut yang
dikepang membuatku merasa seperti bercermin dengan
diri sendiri. Entah bagaimana tiba tiba saja kepala ku
mulai berputar, keringat bercucuran tiada hentinya anak
kecil tadi bahkan berduplikasi dan beranjak dari kursi,
meneriaki ku.

“KAKAKK!!!!”

Aku kembali tersadar saat mendengar rintihan seseorang.


Dia menangis. Kucari ke penjuru rumah, bilik tidur,
ruang tengah, bilik kamar mandi, bahkan halaman
belakang. Tetap nihil. Aku mengusak kepalaku frustasi
tak menemukan apa yang aku inginkan. Tak lama
kemudian, serpihan kayu dari atas plafon mulai
berjatuhan kebawah menandakan ada yang pernah
menginjakkan kakinya ke atas loteng. Aku bergegas
menurunkan tangga rahasia menuju loteng dan
menaikinya. Benar saja. Sosok mungil yang kucari
meringkuk kedinginan tanpa sehelai benang pun, sontak
dengan sendirinya kaki ku berlari menghampirinya.
Berbeda dari ekspektasiku, malah tolakan yang ku
terima. Gerak geriknya berusaha menjauh, tatapannya
bahkan seperti sedang melihat binatang buas yang
hendak menerkamnya saat itu juga. Ku coba yakinkan
bahwa aku bukanlah sosok yang seperti itu, pelan pelan
ku dekati kembali dirinya. Mataku membelalak, sekujur
tubuhnya berwarna ungu legam. Kulit putih bersihnya
sekarang terhiasi noda-noda kotor yang entah sampai
kapan akan bersemanyam disana. Segera ku gendong
sosok mungil itu, meski kakinya terus menerus
menendang hembusan angin. Ku letakkan tubuhnya di
ranjang, memakaikannya busana berharap dapat
membuatnya lebih hangat. Jari jemari tangannya bahkan
masih bergetar tiadatara. Kejadian itu terjadi lagi.
Terulang kembali.

“Jane.”
Suara itu lagi, dia lagi. Terus menerus memanggil
namaku. Jane.. Jane.. Jane.. Janee.. Aku muak, ku
palingkan pandangan ku kedaun pintu. Ia yang bersandar
seraya melipat kedua lengannya memberi sinyal
kepadaku untuk berbicara berdua dengannya. Aku
memutar mataku malas, akan begitu semuanya tetap ku
turuti.

“Jane, aku tak bermaksud seperti itu—

“Anak perempuan tadi hampir mati karena ulah


mu, bajingan!” Suaraku meninggi, tak habis pikir
dengan apa yang telah ia lontarkan. Tatapannya mulai
menajam, daguku terangkat berusaha untuk tidak lemah
dihadapannya.

“Kau mulai berani menyebutku seperti itu?”

Kembali tersudut, aku menundukan pandangan berusaha


menahan isak tangis di hadapannya. Ia memelukku,
membisikkan kata-kata manis tepat di telingaku. Getaran
tubuhku membuatnya mengeratkan pelukan hangat itu.
Ia tidak akan melibatkan semuanya kepadaku, ia bisa
melindungi ku, dan ia mencintaiku. Seminggu lagi anak
itu tepat berumur 7 tahun.

“Hanya tinggal lakukan apa yang ku suruh, Jane.”

Aku mengangguk.

Anda mungkin juga menyukai