Anda di halaman 1dari 98

Rhapsody of Dead Children

Prologue
Aku sudah melihat banyak sekali anak-anak yang
meninggal. Entah itu akibat pelecehan yang dilakukan oleh
para orang tua atau akibat perang. Anak-anak yang tidak
diminta untuk dilahirkan seharusnya tidak dijadikan sebagai
senjata perang atau pelampiasan para mereka-mereka yang
kewarasannya sudah hilang.
Aku hidup di dunia dimana semua manusia memiliki
kekuatan yang unik. Ada yang bisa mengendalikan air, api, es,
telepati dan lain-lain. Aku sendiri adalah orang yang bisa
mendengar teriakan mereka, para anak kecil yang meninggal
akibat perbuatan orang tua yang mengeksploitasi mereka.
Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap
minggu, dan sepanjang hidupku, aku selalu mendengar
teriakan minta tolong mereka.
Aku dulu menganggap ini sebagai schizophreni. Aku
sadar bahwa ini adalah kekuatanku berawal ketika aku melihat
salah satu anak laki-laki yang diperkosa dan dibunuh oleh
beberapa orang di sebuah gang ketika aku ingin pulang dari
pekerjaanku. Anak itu melihat ke arahku sebelum dia
meninggal. Setelah itu, teriakan minta tolong dia masuk
melalui telingaku. Aku bisa merasakan tengkorak kepalaku
hingga otakku bergetar. Perutku mual seperti lambungku
diaduk sehingga membuat semua isi perutku ingin keluar dair
mulutku. Aku menyandarkan lenganku ke tembok, lalu
meletakkan kepalaku ke lenganku. Mulutku terbuka seperti
ingin memuntahkan sesuatu, sementara mataku melotot
terkejut dengan apa yang kulihat tadi. Aku langsung lari
menjauh dari tempat tersebut.
Aku terus belari ke arah rumahku yang masih jauh.
Aku tidak peduli apa yang orang pikirkan ketika melihatku
berlari seperti orang gila. Aku tidak peduli seberapa lelah aku.
Aku sangat terkejut melihat hal itu langsung berada di
depanku. Aku yang hannya melihat kejadian tersebut
langsung menjadi seperti ini, apalagi anak itu yang
mengalaminya langsung sebagai korban.
Aku melihat apartemenku yang berwarna putih. Aku
berlari menaiki tangga dengan keringat yang bercucuran
mulai dari kepala hingga kakiku. Aku terlalu panik dan
terkejut hingga lupa bahwa apartemen ini memiliki lift yang
masih berfungsi dengan baik. Aku sampai pada lantai atas,
menempelkan kartu namaku di gagang pintu yang berbentuk
persegi panjang yang mendatar kebawah.
PIP!
Suara pintu tersebut terdengar yang berarti terbuka.
Aku langsung masuk dan menutup pintu. Aku berjongkok
dengan badan mengahadap ke arah ruangan kamar
apartemenku. Aku memegang kepalaku yang menunduk
dengan kedua tanganku. Suara-suara anak kecil tersebut
semakin jelas
“Ayah, mengapa engkau meninggalkanku!”
“TOLONG, TOLONG, TANGANKU TERPUTUS!”
“Tolong jangan pukul aku!”
Suara tersebut satu-persatu muncul. Lima suara,
sepuluh suara, dua puluh suara, seratus suara, dan entah
berapa suara yang masuk ke otakku. Jeritan, permohonan,
tangisan, dan umpatan. Semuanya ada di kepalaku. Suara
tersebut terus bertambah dan bertambah. Suara ini semakin
terdistorsi membuatku semakin gila. Aku menghantamku
kepalaku ke lantai dengan sangat kencang.
“DIAM! DIAM! DIAM!” Teriakku sambil
menghantam kepalaku berulang-ulang hingga darah terus
mentes dari dahiku. Suara tersebut lama-lama menghilang.
“Apa mau kalian?”
Suara yang halus tiba-tiba muncul dari kepalaku.
“Jangan biarkan anak-anak yang lain bernasib sama seperti
kami!”
“Aku hanya orang biasa. Pekerja kantoran biasa. Apa
yang kalian harapkan?” tanyaku dengan putus asa.
“Kami akan membantumu.”
“Bagaimana?” tanyaku lagi.
“Kami adalah anak-anak yang tidak biasa. Kami akan
memenuhi keinginianmu dengan kekuatan kami.”
“Baiklah.”
“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan?”
“Membasmi mereka yang mengeksploitasi anak-anak
yang tidak berdosa. Aku merasa berdosa tidak membantu
mereka. Aku hanya ingin membantu mereka.”
“Terima kasih,” kata suara tersebut dengan nada
sedih.
!
Morvus Aeter
Aku duduk di sebuah bangku yang memanjang
hingga pintu masuk gedung ini. Gedung ini merupakan tempat
pendaftaran para tentara bayaran. Aku melihat banyak sekali
orang yang ingin mendaftar sebagai tentara bayaran. Jika
dilihat-lihat, aku ini berada di urutan ke lima belas. Untung
aku datang lebih awal. Entah mengapa perempuan dengan
urutan empat belas yang ada disampingku terus melihatku.
Aku memperhatikan para individu yang ada di sini.
Beberapa dari mereka ada yang sangat menonjol kekuatannya.
Dibilang sihir tidak, dibilang bakat juga tidak. Itu semua
muncul dengan alami. Pemicu munculnya kekuatan pada
setiap individu itu berbeda. Contohnya adalah aku yang
sampai saat ini masih belum ada kekuatan.
Aku menunggu sambil memainkan pisau lipat di
tangan kananku. Aku masukkan pisau tersebut, kemudian aku
keluarkan, kemudian aku masukkan lagi, dan begitu aku
ulang-ulang hingga akhirnya giliranku dipanggil.
Seorang perempuan dengan rambut berwarna hitam
pekat yang dikuncir dan name tag di bagian dada kirinya yang
bertuliskan Takeu Nyak memanggil namaku. “Morvus Aeter,”
kata dia sambil melihat kertas di tangan kirinya.
Aku langsung berdiri dan berjalan ke arahnya
“Silahkan daftar di sini,” kata dia sambil memberikan
penanya serta jari telunjuknya menunjuk kertas yang ada di
mejanya.
Aku mengambil pena tersebut dan menulis mulai dari
nama, umur, lama ikut kegiatan militer, dan hobi. Aku tidak
mengerti mengapa hobi dimasukan di formulir ini. Aku tidak
mengisi bagian nama orang tua dan kekuatan karena aku tidak
tahu orang tuhaku dan kekuatanku.
“Baiklah, silahkan masuk,” kata dia sambil membuka
pintu yang warnanya menyatu dengan tembok yang berada di
samping kiri meja resepsionis.
Aku melihat pintu ini terbuka. “Ah … baiklah.
Teknologi memang nyaman.”
“Hey,” panggil perempuan tadi. “Hati-hati.”
Aku hanya melihat dia dan terdiam beberapa detik,
kemudian membalikan badanku untuk berjalan ke pintu
tersebut. Aku memasuki pintu tersebut yang menyambung ke
sebuah ruangan penuh jendelan yang mengarah keluar.
Ruangan tersbeut sangat terang. Pintu tadi yang aku masuki
langsung tertutup. Aku melihat tiga orang duduk yang
berjarak masing-masing dua meter. Orang yang di tengah
mengenakan rompi yang panjang hingga ujung kakinya.
Rompi tersebut berwarna abu-abu. Di balik rompinya, dia
mengenakan kemeja berwarna hijau tua. Orang tersebut
mengenakan anting berbentuk gajah. Tatapannya terlihat
seperti antusias
Di sebelah kiri terdapat seorang perempuan yang
duduk dengan kaki kanan diangkat di lutut kanannya.
Ekspresinya seperti merendahkan orang lain. Dia mengenakan
topi kecil dengan jaring-jaring berwarna putih yang menjadi
hiasan di topinya. Rambutnya hanya sepanjang leher. Dia
mengenakan baju militer berwarna abu-abu. Di bagian tengah
bajunya terdapat bercak berbentuk gajah.
Di sebelah kanan terdapat seseorang dengan topeng
besi yang terdapat retakkan di bagian mulutnya yang
memanjang hingga belakang kepala. Dia mengenakan baju
yang memiliki hoodie berwarna abu-abu. Terdapat sebuah
tongkat di seelah kanan kursinya. Ujung tongkat tersebut
berbentuk bunga lotus dan di dalam bunga lotus tersebut
terdapat muka orang. Entah itu muka siapa.
Mereka semua melihat ke arahku. Satu orang
menatapku dengan tatapan merendahkan, satunya mentapku
dengan tatapan antusias, dan satunya tidak bisa aku katakan
karena ditutupi oleh topeng.
“Selamat datang tuan … Morvus Aeter, benar kan?”
tanya orang yang berada di tengah.
Aku mengangguk.
“Baiklah, jadi apa yang tujuanmu menjadi tentara
bayaran?” tanya orang yang tadi sambil memegang kerah
rompinya.
Aku melihat ke atap-atap ruangan ini.
“Tidak tahu?” tanya perempuan yang duduk di
sebelah kiri.
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Mungkin mencari
tujuan,” kataku sambil melihat dia.
“Kami tidak peduli dengan tujuanmu. Kami akan
menerimamu jika berhasil menyelesaikan tes ini.”
“Tes?”
Tiba-tiba si rompi menarik badanku dan melemparku
ke luar jendela. Aku bisa mendengar jendela tersebut pecah.
Serpihan-serpohan jendela ini memasukki badan-badanku.
Aku bisa merasakan tubuhku terjun bebas di udara, tetapi
sedikit dari yang mereka tahu aku ini tidak memiliki emosi.
Pikiranku hanya terpaku padaku, ketakutan tidak bisa
membuatku goyah, rasa senang tidak pernah kurasakan, rasa
kecewa tidak pernah membuatku jatuh, dan bahkan aku tidak
bisa merasakan semua itu. Aku mengikuti kegiatan militer
hanya untuk mencari tujuanku yang sebenarnya.
Aku langsung tahu, bahwa kekuatan si rompi abu-abu
ini adalah ilusi. Aku pikir dia juga tidak tahu bahwa aku
sudah lepas dari ilusi dia, tetapi tatapan si topeng berkata lain.
Aku tidak bisa melihat tatapan dia, tetapi aku bisa
merasakannya.
“Jadi, tesnya hanya ilusi?” tanyaku dengan anda
monoton
“Tunggu, kau dari tadi kau sadar?” tanya dia dengan
nada terkejut.
“Hahahah … Menarik, menarik,” ketawa si topeng.
Dia bediri dan berjalan ke arahku. “Selamat datang di
Pecunia. Karena anda sudah menyelesaikan tes pertama, kali
ini saaatnya anda memasuki tes kedua.”
“Kukira bakal ada pemerikasaan kekuatan,” kataku.
“Kita lihat saja,” kata dia sambil memegang dagu.
“Silahkan berdiri di tengah dekat meja orang yang
duduk di tengah,” kata si perempuan yang berada di sebelah
kiri.
Aku langsung berjalan ke tengah. Lantai yang kuinjak
ini langsung membawaku ke bawah seperti lift. Aku tidak
tahu ini akan membawaku kemana, tetapi aku selalu siap. Aku
mengeluarkan pisau lipat dari saku celana kiriku. Aku melihat
cahaya dari bawah. Aku rasa ini sudah pada dasar atau tujuan.
Aku melihat cahaya yang sangat terang berwarna coklat
bercampur oranye. Aku membuka mataku. Sebuah medan
perang berada di depan mataku.
Tembakan yang sepertinya merupakan sebuah plasma
mengarah ke arahku, tetapi aku berhasil menhindarinya
dengan mudah. Tembakan tersebut melelehkan tembok yang
ada di sebelah kananku. Aku membunyikan leherku dengan
menggelengkannya ke kanan dan ke kiri. “Selamat datang
kembali pekerjaan lamaku.”
2
Shelom Evarden
“HATI-HATI KALAU MENYETIR!” teriak
seseorang yang baru saja aku serempet
“MAAF!” balasku dengan teriak serta mengemudikan
mobilku di udara.
Aku akihrnya melihat sebuah gedung dengan gajah
berwarna abu-abu besar yang terpampang di ujung atas
gedung tersebut. Aku menurunkan mobilku untuk diparkirkan
di darat. Mobil terbang memang cepat. Aku memasuki
bangunan tersebut dengan rambutku yang masih berantakan.
Aku tidak memikirkan penampilanku jadi aku langsung
masuk saja. Kurasa aku tidak terlalu telat dan tidak terlalu
awal juga. Aku melihat sebuah bangku yang memanjang dari
pintu masuk hingga meja resepsionis. Kurasa ini tempatnya.
Aku menduduki di urutan ke empat belas. Aku duduk di
sebelah orang yang mengenakan pakaian seerbah itam. Muali
dari rompinya, alat pelindung di balik rompinya, celananya,
dan sepatunya. Rambut bagian poninya diikat kebelakang dan
bagian pinggirnya panjang menutupi telinga. Kemudian aku
melihat kalung yang dia pakai. Kalung itu berwarna abu-abu
dengan kerang sebagai hiasannya. Kerang tersebut setengah
terbuka sehingga foto yang ada di dalam situ bisa aku lihat.
Foto itu …, aku kenal wajahnya. Aku langsung teringat
sesuatu. Keringatku bercucuran. Dipikiranku hanyalah
permintaan maaf kepada dia.
Pikiran tersebut terpotong setelah namaku mulai
dipanggil.
“Shelom Evarden,” kata seorang perempuan dengan
kacamata.
Aku langsung berjalan ke tempat dia.
“Silahkan isi formulir ini,” kata dia sambil
memberikan penanya padaku, sementara jari telunjuknya
menunjuk formulir yang berada di atas meja.
Aku mengambil pena tesebut dan menulis mulai dari
nama, umur, orang tua, berapa lama ikut kegiatan militer, dan
kekuatan. Setelah mengisi aku melihat pintu yang menyatu
dengan tembok mulai terbuka. Pintu tersebut berada di
samping kiri meja resepsionis.
“Ini pintunya?” tanyaku sambil menunjuk ke arah
tembok tersebut.
“Ya, silahkan masuk.”
“Baiklah.”
Aku langsung berjalan ke arah tembok yang terbuka
tersebut. Aku memasuki pintu tersebut. Cahaya terang
menyilaukan mataku.
“Sepertinya aku pernah melihat anda,” tanya orang
yang mengenakan rompi abu-abu yang dududk di bagian
tengah.
“Shelom Evarden. Seorang gadis yang
menyelamatkan Jenderal Barkes,” kata orang tadi.
“Siapa?”
“Sepertinya kau sudah lupa. Lupakan tentang dia.
Aku mempercayaimu, jadi anda bisa langsung menuju tes
kedua.”
“Tunggu … apa yang terjadi?” tanyaku dengan
keheranan.
“Karena anda kebetulan sudah beridiri di tempat itu,
mari kita langsung mulai saja,” kata perempuan yang berada
di sebelah kiri.
“HEY TUNGGU DULU! APA YANG TERJADI?”
tanyaku yang perlahan-lahan dibawa ke bawah oleh lantai
yang tadi aku pijaki.
Aku memilki firasat yang pernah aku alami
sebelumnya. Perasaan ini, sensai ini, dan hawa ini. Ini adalah
medan perang. Aku sangat yakin. Perlahan-lahan aku melihat
cahaya dari bawah kakiku. Ya, sudah kuduga. Ini adalah
peperangan. Kabut-kabut yang menutupi pandangan. Bau
bubuk mesiu dan suara ledakkan dimana-mana.
Aku tidak tahu apakah ini medan perang yang
sesungguhnya atau hanya simulasi. Apapun itu aku tetap
harus waspada. Aku keluar dari tempat dimana aku
dikirimkan tadi. Aku baru mau mulai saja sudah bisa
mendengar seseorang yang putus asa. Tes ini memang sangat
berat. Bongkahan metal melaju ke arahku. Aku langsung
menghindarinya dengan memindahkan tubuhku ke dimensi
yang aku ciptakan sendiri.
Kekuatanku adalah menciptakan dimensi sendiri
dengan keadaan yang sama persis dengan keadaan yang aku
tempati sekarang. Hal yang membedakan adalah dimensiku
ini dikeliilngi oleh garis-garis berwarna merah dan lebih gelap
dari keadaan yang sebenarnya. Kekurangan dari kekuatanku
adalah aku tidak bisa bernafas di dimensi yang kubuatkan.
Maka dari itu aku langsung cepat-cepat keluar.
Setelah menghindari bongkahan metal tadi, aku
langsung keluar dari dimensiku dan berlari di balik tumpukan
kantung pasir dekat mayat orang yang terbaring
mengenaskan. Aku menutup mata mayat tersebut dengan
jariku.
“Semoga tenang di sana,” kataku.
Aku mengamati keadaan sekitar. Aku tidak tahu siapa
rekan dan musuhku. Aku terus bersembunyi untuk
menemukan waktu yang tepat. Kurasa waktu sudah lewat dari
tiga puluh menit. Aku langsung berdiri dan melompati
tumpukkan karung pasir tersebut. Aku melihat bom asap
bekas orang yang kelihatannya sudah tergelatak cukup lama.
Setelah itu, aku mengambil senjata berbentuk seperti senapan
laras panjang dengan batu berwarna biru sebagai tenaga
tembakannya. Ketika aku ingin mengambil, aku melihat
tangan seseorang dengan sarung tangan dan baju lengan
panjang berwarna hitam. Sepertinya dia ingin mengambil
juga. Aku langsung memindahkan tubuhku ke dimensi
buatanku. Berlari ke belakangnya. Ketika aku sudah berada di
belakangnya, aku langusng kelluar dari dimensiku dan
mencekik lehernya dengan lenganku. Orang tersebut berhasil
kecekik, tetapi tenaga dia sangat luar biasa. Dia menundukkan
badannya sehingga badanku terlempar ke depan. Ketika aku
terlempar, aku langsung berpikir cepat untuk mengambil
senapan tersebut. Aku berguling dan menodongkan senapan
tersebut.
“Skak,” kataku.
Dia tetap menerjang ke arahku tanpa rasa takut dan
mukanya ekspresinya yang tidak menunjukan emosi. Aku
langsung menembakkan ke arah kepalanya.
DAR!
Dia berhasil menghindari tembakkanku yang sangat
dekat. Gerakan dia sangat lugas. Gerakan dia terlihat sangat
ceroboh, tetapi sangat efektif. Dia terlihat seperti tidak takut
mati. Tipe musuh yang tidak pernah kuhadapi selama aku
hidup di medan perang.
Dia berhasil memegang senapanku dan langsung
dipatahkan dengan lututnya. Setelah itu, dia langsung
menghunuskan pisau lipatnya yang berwarna hitam ke arah
leherku. Aku langsung mengaktifkan kekuatanku, kemudian
berpindah ke belakangnya. Aku keluar dari dimensiku dan
langsung menendang bagian pinggang kanannya.
“Dasar orang bodoh, mengapa kau patahkan senapan
tadi?” tanyaku.
Dia langsung bangun. “Aku tidak bisa menggunakan
senapan, jadi kupatahkan.”
Aku langsung sadar setelah melihat dia dengan
seksama. Dia adalah orang yang duduk di sebelahku ketika
menunggu giliran pendaftaran tentara bayaran. Pakaian yang
serba hitam.
“Siapa namamu?” tanyaku pada dia.
“Morvus Aeter.”
“Nama yang baru kudengar. Kurasa kau adalah
pemula.”
“Entahlah. Entah kenapa, aku jadi tidak ingin
bertarung,” dia beridri dan menjulurkan tangannya seperti
ingin bersalaman. “Mari kerja sama.”
Setelah dipikir-pikir dia ada benarnya juga. Lagian
tidak ada aturan yang melarang. Aku langsung menjabat
tangannya yang ditutupi oleh sarung tangannya.
“Jangan sampai mati!” kataku.
3
Dia yang Tidak Takut Mati dan Si
Pembuat Dimensi
Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Sadarlah kau
itu profesional Shelom. Baiklah.
“Siapa namamu?” tanyaku sambil memberikan
senjata yang baru kurampas sebelum aku bertemu dia.
“Shelom. Shelom Evarden,” dia menjawab tanpa
melihat ke arahku. Dia melihat ke atas langit. “Apa kau
pernah dilempar oleh bongkahan metal yang sangat besar?”
“Sempat mengenai badanku,” jawabku sambil
memperhatikan menara kecil yang dipersenjatai oleh gatling
gun.
Dia melihat ke arahku dengan wajah tidak percaya.
“Badanmu sekeras apa?”
Aku mengabaikan pertanyaanya dia. “Apa kau bisa
mengendeap-endap ke belakang menara kecil itu?” tanyaku
sambil menunjuk dengan pisau lipatku yang ada di tangan
kanan.
“Bisa saja, asalkan kau bisa menahan napas.”
“Baiklah.”
“Ketika jaring-jaring sudah muncul dan keadaan
menjadi lebih gelap, berarti itu adalah waktu kita untuk maju.
Mengerti?”
Aku mengacungkan jempol.
“Baiklah.”
Dia menjetikkan jarinya. Jaring-jaring berwarna putih
mulai bermunculan menjaringi semua tempat ini dan keadaan
langsung menjadi gelap seakan-akan dia membuat dunia
sendiri. Shelom langsung berlari dengan sangat cepat. Aku
baru kali ini melihat manusia dengan kecepatan yang sangat
cepat tanpa bantuan kekuatan mereka. Aku langsung
mengikuti dia dari belakang. Kami berlari melingkari sebuah
pagar yang lumayan tinggi secepat-cepatnya. Memang benar
kata dia, tempat yang dia buat ini sangat menyesakkan.
Kami sampai pada bagian belakang menara kecil ini.
Aku mencoba untuk mensabotase menara kecil ini. Secara
bersamaan, terdengar suara langkah kaki yang menurut
perkiraanku itu berjumlah delapan orang. Aku melihat
Shelom yang kurasa dia juga sadar.
“Delapan orang,” kataku
“Yakin?” tanya dia
“Ya.”
“Berapapun itu, jika mereka hanya berpangkat kapten,
mungkin bisa aku lawan. Jika lebih dari itu, mungkin akan
sulit.”
“Apa kau punya bom asap?” tanyaku.
“Ya.”
“Lempar sesuai aba-abaku.”
“Baiklah.”
Kami menunggu. Sampai muncul salah satu moncong
senjata mereka, aku langsung mengayunkan pergelanganku
dengan jari telunjuk yang menunjuk ke arah moncong senjata
mereka yang terlihat. Dia mulai melempar bom asap tersebut.
“Ah, sial. Ada aja yang bawa bom asap,” kata salah
satu dari mereka.
“Pindahkan aku ke dalam kekuatanmu.”
Dia langsung mengangguk tanpa keraguan.
Seperti yang kuduga dari kekuatan dia. Aku masih
bisa melihat keadaan langsung yang sebenarnya di dalam
dunia dia. Aku bisa melihat jelas posisi mereka dibandingkan
di dalam asap. Seseorang yang memakai topi berwarna hijau
berdiri di tengah. Seseorang yang membawa sebuah shotgun.
Dua orang membawa belati dan handgun. Sisanya membawa
M4. Mereka semua membentuk posisi yang saling melindungi
satu sama lain sehingga tidak ada titik buta. Si shotgun berdiri
di depan si topi hijau, si handgun beridri di kanan dan di kiri
si topi hijau, dan sisanya menempati tempat yang kosong.
Salah satu titik buta adalah tempat dimana si topi
berwaran hijau berdiri. Ya, beanar. Itu adalah di tengah. Aku
mencoba untuk mencari celah dengan cara menyelinap ke
dalam formasi mereka. Shelom langsung mematikan
kekuatannya yang dia hitung dengan perhitungan dia sendiri.
Aku berhasil menyelinap ke tengah. Posisiku sangat bagus
dan efektif. Aku berada di belakang si topi hijau sekaligus di
belakang mereka semua yang menjagai si topi hijau. Aku
langsung mengarahkan pisau lipatku ke lehernya, kemudian
merobek lehernya. Aku menutup bekas robekan lehernya
dengan tanganku supaya darahnya tidak muncrat kemana-
mana sehingga tidak ada yang menyadari posisiku.
Aku mengambil granat dari celana bagian kirinya
yang menggantung. Aku membuka pin granat tersebut dan
menggelindingkannya di antara kaki si shotgun dan si M4.
Setelah beberapa detik bom tersebut meledak. Semua orang
yang ada di sini mulai terpental. Tidak hanya terpental, ada
juga yang bagian tubuh mereka putus akibat tekanan dari
granat yang tadi aku ledakkan. Aku juga ikut terpental, tetapi
bagian tubuhku masih utuh.
Aku mendengar seseorang berlari ke arahku dari
balak asap.
“Dasar orang gila. Kau tidak apa-apa?” tanya Stleron
yang baru datang.
Aku langsung berdiri, kemudian melempar pisau
lipatku ke samping kananku. “Beberapa dari mereka masih
hidup.”
“Baiklah. Kau diam di sini! Biar aku yang
mengurusnya.”
Asap pun mulai menghilang. Semua terlihat sangat
jelas. Shelom berjalan ke arah mayat yang baru tertancap oleh
pisau lipatku. Dia mengambil pisau lipat tersebut,
membalikan badan, dan berjalan ke arah pasukan yang sudah
siap ingin menembak dia. Dia dengan cepat langsung
berpindah dimensi. Tiga dari pasukan tesrsebut langsung
ditebas lehernya oleh Shelom dalam waktu satu detik.
Pasukan tersebut belum siap bereaksi, tetapi Shelom tetap
memenggal mereka layaknya malaikat kematian yang
kapanpun siap membawa mereka ke kematian. Setelah lima
orang dia bunuh, muncul lagi pasukan lain yang kurasa
berbeda faksi.
Dia tidak peduli faksi apa yang mereka masuki. Dia
tetapn melakukan trik dia kepada para pasukan tersebut.
Enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, dan sebelas. Sebelas
pasukan dia bunuh dalam waktu tiga detiak. Empat di antara
mereka berpangkat mayor dan sisanya adalah kapten.
Meskipun dia sudah membunuh semua pasukan musuh yang
datang, dia tetap mempertahankan kuda-kuda dan posisinya
tanpa ada kelengahan yang terlintas dalam badan dan pikiran
dia. Setelah beberapa detik, dia langsung berlutut kelelahan
sambil menghela nafas seperti orang yang kekurangan
oksigen.
Aku berjalan ke arah dia
“Hah, hah … bentar, aku perlu asupan oksigen,” kata
dia dengan terengah-engah.
“Santai saja, kita tidak perlu buru-buru.”
“Bagaimana … hah … performaku?” tanya dia
kepadaku sambil tersenyum.
“Fantastis. Aku tidak pernah melihat seseorang
bergerak dengan kecepatan seperti itu dalam keadaan
kekurangan oksigen.”
“Tidak sia-sia aku menenggelamkan diri di samudra,”
kata dia sambil menjulurkan tangannya ke arahku.
Aku langsung memegang tangan dia dan menarik
tangannya untuk membantu dia berdiri. “Ekstrim sekali.”
Aku menopang tangan kanannya di kiriku. Kaki dia
sangat gemetar. Dia sepertinya tetap merasakan rasa takut.
Aku mengerti apa yang dia pikirkan. Apa yang akan terjadi
jika dia gagal membunuh mereka dalam waktu singkat seperti
tadi. Mungkin nasibnya akan berbalik. Aku menopang dia,
sementara dia tertidur. Tangan kananku memegang handgun
yang tadi kuambil ketika Shelom melakukan atraksinya. Tak
lama aku berjalan, akhirnya aku menemukan sebuah
kendaraan.
Aku melihat sebuah mobil Jeep yang masih sangat
bagus. Aku tidak pernah mengendarai mobil, tetapi aku sering
melihat orang lain menyetirnya. Aku berjalan ke mobil
tersebut, membukan pintu belakang untuk membaringkan dia,
menutup pintu belakang, dan kemudian membuka pintu
bagian untuk mengemudi. Aku cukup beruntung karena mobil
ini sudah ada kuncinya di dalamnya. Aku memutar kunci
tersebut. Suara mesin mulai terdengar. Aku melihat ada
tombol dengan gambar awan biru atas setirnya. Tombol ini
seperitnya untuk mode terbang. Karena medan perang ini
sangat tidak bisa diprediksi, jadi aku menggunakan mode
darat saja.
Ketika aku menginjak pedal gas, tiba-tiba pesawat
tempur jatuh mengarah ke belakang kami, sementara
sayapnya terbakar oleh api berwarna biru. Pesawat tersbeut
akhirnya jatuh dan kemudian meledak di belakang mobil
kami.
“Medan perang yang tidak bisa diprediksi.”

4
Akhirnya Aku Bertemu Dia
Aku merasakan seseorang berada di atasku. Aku
langsung membuka mata dan mengarahkan pisau dengan
tangan kananku yang entah darimana aku mendapatkannya.
Pisauku tepat berada di leher seseorang yang ku kenal.
“Sudah bangun rupanya,” dia langsung kembali ke
tempat pengemudi. “Jangan khawatir, aku hanya ingin
memeriksa keadaanmu.”
“Ah, maaf.”
“Tidak apa-apa.”
Aku langunsg membangunkan badanku yang awalnya
terbaring. Entah mengapa, badanku sangat lemas. Kepalaku
sangat panas dan tenggorokkanku mual.
“Berbaring saja. Kau terkena demam,” kata dia
sambil melihatku dari spion dalam mobil.
Aku langsung berbaring. “Memalukan sekali. Tentara
yang sudah ikut peperangan lebih dari enam tahun masih
terkena demam.”
“Siapapun bisa sakit. Lagian kau begitu gemetar
setelah melawan mereka.”
“Terima kasih.”
“Tidak apa-apa. Tidur saja, sepertinya kita akan
sampai pada tujuan. Mobil ini memiliki GPS yang
memberitahu kita dimana lokasi tujuan kita.”
“Baiklah, kuserahkan sisanya padamu.”
Aku langsung menutup mataku dan tertidur dengan
sangat cepat. Aku merasa berutung bertemu dia. Aku awalnya
merasakan sesuatu yang mencurigakan dari dia. Dia
memberikan kesan yang mengerikan seperti siapapun akan
dipatahkan lehernya atau semacamnya. Aku baru sadar satu
hal, dia itu belum pernah menunjukkan kekuatannya.
Seseorang menyentuh jidatku.
“Bangun. Kita sudah sampai,” kata Morvus yang
tidak terlihat kelelahan sedikit pun.
Aku langsung bangun dari tidurku dan membuka
pintu mobil ini untuk keluar. Aku melihat sebuah pintu besi
yang terlihat sangat familiar. Di sebelah kanan tempat ini ada
sebuah air yang dijadikan air minum oleh tentara yang
berhasil melewati tes ini. Sorakan kegembiraan terdengar
sangat jelas dari sana. Aku baru sadar, jika ini adalah lokasi
akhir dari tes ini berarti dia juga selamat. Aku mencari-cari
dia. Tak lama setelah itu, seseorang memelukku dari
belakang. Pelukkan tersebut sangat hangat. Dia juga mencium
pipi kiriku.
“Selamat!” ucapan selamat dari orang yang ku kenal
sekaligus kekasihku.
Aku membalikan badan dan memeluk dia. “Korno!
Selamat untukmu juga.”
Nama dia adalah Korno. Korno Horae. Dia selalu
membawa jam saku yang rantainya dia lilit di tangan kirinya.
Dia biasanya mengenakan topi silinde, tetapi untuk kali ini dia
tidak. Dia mengenakan baju militer lengkap dengan senjata
khasnya yaitu belati yang biasa gunakan dengan cara
dilempar. Aku memegang kedua pipinya dan kemudian
mencium bibirnya.
“Aku tidak akan sampai di sini jika tidak ada dia,”
kataku sambil mencari-cari Morvus.
“Dia?” tanya dia dengan kebingungan.
“Dimana dia ya? Nama dia adalah Morvus.”
“Morvus? Apakah dia mengenakan pakaian serba
hitam dan bagian bawah rompinya sudah robek?”
“Aku tidak yakin dengan rompinya yang robek, tetapi
dia mengenakan pakaian serba hitam. Bagaimana kau tahu dia
mengenakan pakaian serba hitam?”
“Aku bisa melihat apa yang dialami orang lain di
masa lalu.”
“Ah, aku lupa kau bisa memanipulasi waktu.”
“Apakah itu orangnya?” kata dia sambil menunjuk
seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam yang sedang
mengambil air menggunakan botol plastiknya. Semua orang
melihat ke arah dia karena hanya dia yang mengambil air
tersebut dengan botol plastik.
“Kau benar. Akan kuperkenalkan. Lagian kau hanya
bisa melihat, tetapi tidak mendengar bukan?”
“Kau tahu aku. Dia terlihat … mengerikan.”
“Tenang saja, dia orang yang santai.
Aku berjalan ke arah dia sambil memegang tangan
kekasihku dengan tangan kananku.
“HEY, MORVUS!” teriakku.
Dia hanya melambaikan tangan kanannya.
“Ke sini sebentar!” suruhku.
Dia langsung memutari sumber air tersebut dan
kemudian berjalan ke arahku.
“Jadi, kau adalah Morvus?” tanya kekasihku sambil
menjulurkan tangannya bertujuan untuk berkenalan.
Morvus mengenggam tangannya sebagai balasan.
“Ya. Salam kenal.”
“Tidak menanyakan namaku? Menarik.”
“Jam saku sebagai ciri khasnya dan simpanan belati
yang cukup banyak. Siapa yang tidak tahu ciri khas dari
tentara bayaran yang cukup berjasa pada peperangan di daerah
timur. Benar begitu, Korno Horae,” kata dia dengan nada
yang monoton.
“Ah, kau sudah tahu. Kurasa kekasihku sangat
terkenal.”
Tiba-tiba seseorang keluar dari pintu besi tersebut.
Aku baru meliaht orang tersebut. Orang ini mengenakan baju
militer khas perusahaan ini. Baju militer tersebut berwarna
abu-abu dengan bercak berbentuk gajah abu-abu yang berada
di bagian badan depannya. Dia mengenakan helm motor.
Tangan kirinya disembunyikan di belakang badannya.
“Selamat bagi kalian yang berhasil menyelesaikan tes
ini,” dia melihat ke semua orang yang ada di sini. “Semua
orang yang ada di sini pernah kudengar jasa kalian, tetapi
kamu,” sambil menunjuk Morvus, “ini pertama kalinya aku
melihatmu. Siapa namamu jika aku boleh tahu?”
“Morvus Aeter,” kata dia sambil membuka botol
plsatiknya. Wajah dia sangat santai. Bukan santai, lebih
tepatnya tidak memiliki emosi.
“Tidak ada sikap hormat. Kau memang tentara
bayaran sejati. Aku suka. Apa tujuanmu mengikuti tes ini?”
“Entah. Mungkin mencari tujuan hidup yang baru.”
“Memang apa yang kau lakukan sebelum mendaftar
di sini?”
“Tidak ada bedanya dengan yang sekarang.”
“Baiklah,” dia melihat ke kami semua sambil
bertepuk tangan, “Kalian semua, ikuti aku!”
Kami semua mengikuti dia, tetapi semua orang di sini
melihat ke arah Morvus termasuk kekasihku. Kami sampai di
dalam pintu besi tersebut. Tidak kusangka ternyata dalamnya
sangat luas. Ini sepertinya akan membawa kita ke atas. Aku
melihat semua orang yang berhasil menyelesaikan tes ini.
Hanya terdapat sebelas orang yang berhasil. Enam diantara
mereka aku tahu, tetai tidak kenal.
Abigail Vomica. Perempuan yang tidur di pojok
kanan tempat ini. Separuh wajah dan tubuh dia membusuk
akibat kekuatannya yang tidak terbendung, maka dari itu dia
mengikat pergelangan tangannya dengan gelang besi
transparan berwarna ungu. Kalau tidak salah kekuatan dia
adalah membusukkan apapun yang dia kehendaki.
Grudge. Laki-laki yang sedang mengobrol dengan
tentara yang tidak aku kenal. Dia mengenakan baju kulit
lengan panjang dan masker gas. Aku heran mengapa keadaan
tubuh dia masih sempurna tanpa bekas luka atau
semacamnya? Aku tidak tahu apa kekuatan dia.
Teresa. Dia sedang bersandar bersebelahan dengan
Ika. Perempuan dengan rambut kuning yang bisa berganti
menjadi biru. Dia berhasil menjatuhkan dua puluh pesawat
tempur dalam peperang di timur menggunakan petirnya.
Kedua tangan dia diperban mungkin akibat dari tes ini.
Ika. Laki-laki pengendali metal yang berhasil selamat
dari peperangan di timur. Dia mengenakan ikat kepala dengan
motif batik, kalau tidak salah namanya. Bajunya berwarna
hitam seperti seragam beladiri. Baju dia sudah sobek-sobek,
tetapi badannya baik-baik saja. Sepertinya dia melindungi
tubuh dia dengan metal. Kurasa dia memiliki hubungan yang
erat dengan Teresa.
Aquila. Dia sedang berdiri di tengah ruangan ini
sambil melihat ke atas. Dia terkenal akan matanya yang
sangat teramat tajam, bahkan burung elang pun kalah. Dia
juga terkenal sebagai penembak jitu. Dia membawa sniper di
punggungnya serta mengenakan topi cowboy. Kudengar-
dengar juga dia mempunyai kekuatan kamuflase
Terkahir adalah yang tentunya Morvus Aeter. Laki-
laki yang berjasa buatku dan orang yang memberikan kesan
kengerian bagi yang belum mengenal dia. Dia tidak pernah
menunjukkan kekuatannya. Tanpa kekuatan saja dia sudah
sekuat ini. Aku tidak bisa membayangkan kekuatan mentah
dia dicampur dengan kekuatannya.
Oh ya seharusnya ada tujuh orang yang aku ketahui.
Aku lupa akan kekasihku. Semakin lama kita naik, semakin
terang juga ruangan ini. Akihrnya kami sampai atas. Kami
disambut meriah oleh para orang-orang berpangkat tinggi di
tempat ini. Aku melihat semua orang sangat senang, kecuali
Morvus, Teresa, dan Abigail. Untuk Abigail aku mengerti
mengapa dia tidak senang. Siapa yang senang jika tiba-tiba
ada suara yang begitu kencang yang membuatmu terbangun
dari tempat tidur. Ditambah posisi dia yang terbaring akibat
tembok yang dia jadikan sandaran sudah hilang karena sudah
sampai lantai atas.
Perempuan yang pernah aku lihat sebelumnya
berjalan ke arah kami. Dia adalah penjaga resepsionis. Takeu
Nyak. Dia menjulurkan kedua tangannya. Sesuatu keluar dari
kedua saku roknya. Benda tersebut adalah kunci. Terdapat
lima kunci yang melayang di depan dia.
“Tenang saja ini bukan tes. Ini adalah kamar kunci
kalian. Silahkan dipilih.”
Morvus langsung maju dan mengambil kunci
berwarna merah muda.
“Aku ambil ini.”
“Apa kau ingin sendiri?” tanya Takeu.
“Jika diperbolehkan.”
“Silahkan saja. Berarti sisanya berpasangan.”
Aku maju dan mengambil kunci berwarna hijau.
Tentu saja aku sekamar dengan kekasihku. Aku ingin
mengobrol dengan dia dan melakukan sesuatu dengan dia.
Aku tidak melihat orang lain mengambil kunci warna apa
karena aku ingin cepat-cepat beristirahat.
“Korno, ayo cepat!”
5
Aquila dan Pintu Kamarku yang
Aneh
Aku melihat kunci berwarna merah muda yang berada
di tanganku yang diberikan oleh Takeu atau lebih tepatnya
Kolonel Takeu Nyak. Aku tidak menyangka penjaga
resepsionis tempat ini adalah seorang kolonel. Kurasa orang-
orang yang kelihatannya biasa di tempat ini adalah para
mantan tentara berpangkat tinggi. Satu hal yang baru kusadari
dari tempat ini adalah mereka, orang-orang yang mengelola
tempat dan yang mendaftar disini adalah para mantan tentara
yang selamat dari perang besar yang ada di timur. Termasuk
aku.
Aku berjalan menaiki lift untuk menuju ke kamarku
yang berada di lantai lima. Sepertinya lantai tersebut berisi
kamar-kamar para tentara bayaran yang baru direkrut. Aku
menekan tombol lantai atas pada tembok yang dilapisi dengan
metal. Tombol tersebut langsung memancarkan cahaya
berawarna hijau toska setelah aku menekannya. Aku melihat
angka yang terus berganti pada atas tempat pintu masuk lift
berada. Lift tersebut berhenti di angka tiga. Pintu lift tersebut
terbuka, kemudian aku langsung masuk. Aku heran mengapa
lift tersebut tidak ada orang. Aku menekan tombol yang
bertuliskan angka lima. Pintu langsung tertutup.
“TUNGGU! TUNGGU!” kata seseorang yang panik
dan mengahalang pintu tersebut supaya tidak tertutup dengan
benda yang terlihat seperti sniper.
“Sniper?” tanyaku dengan nada pelan. Aku langsung
menekan tombol yang bergambar kedua tanda panah saling
berlawanan. “Silahkan masuk.”
Orang tersebut langsung masuk ketika pintu terbuka.
“Terima kasih. Fyuh! Hampir saja.”
Aku membalasnya dengan acungan jempol.
“Apa kau tentara bayaran yang selamat dari tes
mengerikan waktu itu? Kalau begitu, aku juga,” dia
mengarahkan tangannya ke arahku untuk salaman. “Aku
Aquila.”
Aku melihat seorang laki-laki yang terlihat seperti
remaja. Rambut belakang dan pinggirnya tidak terlalu
panjang, tetapi poninya sangat panjang hingga hidung. Dia
mengenakan jubah yang menutupi tangan kanannya. Jubah
tersebut lumayan panjang untuk menutupi tangan dan snuper
dia. Baju yang dia kenakan seperti baju buatan dia sendiri.
Bajunya berwarna coklat pasir yang memanjang hingga
kakinya. Tunggu, bukankah itu seperti jas hujan? Sniper yang
dia bawa menurutku juga merupakan buatan dai sendiri. Aku
pertama kali melihat sniper dengan warna coklat pasir dengan
scope yang berbentuk prisma. Selain itu juga moncong dari
senjata ini terbuka sehingga terdapat enam sisi yang tajam.
Sniper yang dia bawa seperti tidak menembakkan peluru
timah, melainkan sebuah plasma. Persegi panjang berwarna
biru yang terlihat di kotak peluru pada snipernya merupakan
bukti bahwa amunisi senjata tersebut merupakan plasma.
Aku menjabat tangannya. “Morvus. Morvus Aeter.”
“Oh, jadi kau yang berhasil menghindari
tembakanku,” kata dia dengan nada dan tatapan yang antusias.
Aku melihat ke langit-langit untk mengingat. “Aku
tidak ingat.”
“Lupakan. Aku melihat sebuah individu yang kuat.
Apakah kekuatanmu sejenis indra keenam atau
semacamnya?”
“Aku tidak punya kekuatan. Mungkin punya, aku
tidak tahu dengan pasti.”
“WAAAW! Tanpa kekuatan saja refleksmu sudah
sangat cepat, apalagi ditambah kekuatan. Untung saja kau
tidak punya, kalau punya sih … kau bisa menjadi senjata
andalan pemerintah,” kata dia dengan senyuman.
“Senjata pemerintah ya? Lagian perang juga sudah
selesai. Masalah yang tersisa adalah terorisme.”
“Benar juga katamu.”
TING!
Lift sudah berhenti pada lantai lima. Aquila
melambaikan tangannya padaku tanpa mengatakan sepatah
kata pun sebagai perpisahan. Sepertinya kamar dia berada di
lorong bagian kanan. Aku sempat melhat kunci dia yang dia
gantung di pelatuk snipernya. Kunci dia berwarna hijau tua
jika tidak salah. Aku melangkah keluar dari lift dan langsung
menuju lorong depan. Aku melihat kunciku lagi yang
berwarna merah muda. Kunci tersebut tertulis angka delapan
belas. Aku berjalan mencari angkat delapan belas, sampai
akhirnya ketemu. Kamar tersebut sangat absurd. Tidak
mungkin pintu dari penginapan sebuah militer terdapat cat
berwarna merah muda yang bertuliskan selamat datang anak-
anak.
Aku menatap pintu tersebut selama beberapa detik.
“Absurd.”
Tiba-tiba penghuni kamar yang berada di sebelahku
keluar. Dia melihat pintuku dengan tawa kecil. Aku melihat
ke arah dia dan menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku
memasukin kunciku ke lubang kunci. Aku mencoba
memutarnya ke kanan dan ke kiri, tetapi pintu tersebut tidak
terbuka dan bahkan kunci tersebut seperitnya tidak membuka
engsel pintu tersebut.
Orang yang tadi menepuk pundakku. “Membuka
kunci dengan cara seperti itu merupakan metode lama.
Beginilah cara yang baru,” kata dia sambil menempelkan
seuruh bagian kunci tersebut ke gagang metal yang ada pada
pintu tersebut. Setelah itu dia langsung mengembalikan
kuncki dan langsung pergi.
Aku menatap pintu tersebut yang sudah terbuka,
kemudian menatap kunciku. “Teknologi memang
membingungkan,” ketika aku ingin masuk ke kamar, aku
berhenti sejenak. “Orang yang tadi seperti bau bubuk mesiu.”
6
Aquila Si Bunglon Bermata Elang
Aku terbangun dari tidurku. Aku merasakan kasurku
sangat keras. Tunggu dulu … kuraas ini bukan kasur. Aku
membangunkan badanku dengan sangat cepat. Punggungku
terasa sakit. Aku melihat sekitar. Aku melihat seseorang
dengan jam saku di tangan kirinya dan perempuan diikat
dengan gaya ponytail di samping kanannya. Aku memegang
kepalaku untuk meredakan rasa sakit. Aku berdiri dengan
tangan kiri di punggungku. Serius, ini sakit sekali.
Tiba-tiba seseorang berjalan ke arahku. “Sudah
tidurnya?”
Aku melihat ke arah dia. “Hah?”
Aku merasa badanku melayang. Tiba-tiba tubuhku
langsung terlempar ke arah tempat yang banyak kusinya.
“Duduk sana!”
Aku dengan cepat mengambil kursi tersebut,
sementara badanku terbalik. Aku mengontrol badanku supaya
tidak terjatuh dan duduk seperti orang pada umunya.
“Apa yang terjadi?” tanya laki-laki dengan ikat kepala
batik.
“Tanya pada perempuan gila itu!” kataku sambil
menunjuk perempuan itu.
Dia menuju ke arahku dengan tubuhnya yang
melayang di udara. “Lumayan juga,” kata dia dengan tatapan
yang aneh.
Laki-laki tersebut berlari ke arahku. “Ternyata kau
korban ke tiga dia.”
“Maksudmu?”
Dia mendekatkan kepalanya ke telingaku sambil
berbisik. “Sepertinya ini bentuk latihan, intinya dia
memindahkan semua orang yang selamat dari tes tadi ke
tempat ini. Kurasa yang pindah adalah mereka yang sudah
tidur.”
Aku langsung mengangguk. “Sadis.”
“Nama perempuan itu Melissa. Dia akan melatih
kita.”
“Serius?”
“Sepertinya.”
“Sepertinya?” tanyaku dengan nada keheranan.
“PERHATIAN!” teriak asisten Melissa yang
merupakan laki-laki dengan topi polisi.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Kurasa segini
sudah cukup. Berhubung kalian sudah pada bangun, biarkan
aku memanggil nama kalian,” kata Melissa dengan nada yang
dingin.
Asistennya mulai mengambil sebuaah besi berbentuk
siku-siku dari saku bajunya. Hologram mulai muncul dari besi
tersebut. “Baiklah, sekarang aku sebutkan satu-satu. Korno
Horae!”
“Hadir.”
“Ika!”
“Hadir.”
“Teresa!”
“Ada.”
“Adevor!”
“Hadir
“Aquila!”
“Hadir.”
“Meredith Aesta!”
“Hadir.
“Karena semua hadir, kalian semua harus bekerja
sama dengan orang yang ada di ruangan sebelah.”
Aku mengangkat tangan.”Permisi, jadi kalian tidak
menculik kita yang tidur saja?”
“Tentu tidak. Sebelum itu, kalian akan mengadakan
pertemuan dengan para strategis,” kata Melissa.
“Apakah ada serangan terroris?” tanya Teresa.
“Itulah alasan kami menculik kalian,” dia melhat ke
arah kami semua. “Sepertinya kalian semua sudah siap,” dia
melhat ke asisten dia. “Bernard, mari kita mulai.”
Bernard menghentakan kakinya. Semua visual dari
tempat ini langsung berubah. Mulai dari lantai, tembok,
pokoknya semuanya. Di depan aku terdapat sebuah layar yang
lebar. Layar tersebut menunjukkan sebuah peta yang sangat
luas. Terdapat bebreapa titik berwarna merah yang kurasa ini
merupakan sarang teroris atau tujuan terorsi tersebut.
“Lima tempat telah diserang oleh teroris yang tidak
bernama. Pemimpin dan para anggotanya tidak dikethui
karena teroris ini masih baru,” jelas Melissa.
“Apa kau yakin ini teroris baru? Dari pergerakan
mereka, sepertinya mereka bukan teroris baru,” kata seorang
laki-laki dengan suara berat yang mengenakan baju yang
dirangkap vest pelindung.
“Bisa saja, tetapi kita masih kekurangan data
mengenai teroris ini. Menurut rekaman yang direkam oleh
CCTV di daerah tersebut,” kata dia sambil menyuruh Bernard
membuka rekaman melalui hologram yang dia perbesar.
“Teroris tersebut mengenakan pakaian yang sesuai dengan
tempat yang mereka kunjungi.”
“Benar juga. Titik merah yang berada di pojok kanan
atas itu setahuku merupakan hotel yang berada di tepian
pantai,” kata perempuan dengan jubah terutup berwarna putih
merah yang dilengkapi dengan kerudung. Mantap, ada kaum
jubah juga. Aku juga memakainya loh. Meskipun hanya
menutupi tangan kanan. Kurasa nama dia adalah Meredith.
“Bagaimana dengan tempat yang lain?” tanyaku.
Bernard langsung membuka semua rekaman.
Rekaman pertama adalah yang di tempat pantai. Kedua adalah
tempat yang sangat luas dibanding tempat lain yaitu wisata
patung yang bernama Ishington dan Jembatan Barton. Tempat
ini adalah tempat yang digunakan untuk pertemuan orang-
orang penting, terutama Patung Ishington. Tempat ketiga
adalah Kebun Binatang Raurus yang mengharuskan
pengunjungnya mengenakan pakaian bermotif hewan.
Terakhir yang keempat adalah tempat wisata yang berada di
atas langit yang bernama Qielli yang semua pengunjungnya
mengenakan tas parasut. Penjelasanku tentang busana itu
lupakan saja.
Sesuai rekaman yang ditunjukan oleh Bernard,
pakaian mereka beradaptasi sesuai tempat yang mereka
kunjungin. Baju pantai, baju santai lengan pendek dan topi,
jas hitam dan putih, baju bermotif hewan, dan tas parasut.
Mereka semua mengenakan itu.
“Apakah tidak mematikan CCTV merupakan tujuan
mereka?” tanya Ika.
“Kita akan mengeahuinya setelah kita ke sana,” kata
dia lalu menunjuk seseorang. “Teresa,” lalu menunujukku.
“Aquila. Kalian akan menuju Qielli,” setelah itu dia membuka
lantai yang berada di dekat dia. Senjata-senjata mulai keluar
dari situ. “Ambilah senjata kalian masing-masing.”
Aku lansung berdiri dan berjalan ke arah senjataku
yang ternyata sudah mereka bawa. Aku mengambil senjataku.
“SIAP!”
Teresa mengambil sebuah senjata bertenaga listrik
yang sesuai dengan senjata dia. Senjata tersebut merupakan
senjata tembakan beruntuk yang panjangnya seperti handgun
biasa. Lalu dia juga mengambil belati yang dia simpan di
bawah lengan kirinya. “Laksanakan!”
Aku dan Teresa langsung berangkat ke tempat yang
ditugaskan. Kami keluar melalui tembok yang digunakan
untuk peta tadi. Ketika kami keluar, kami melihat dua orang
juga yang keluar dari tempat sebelah. Mereka adalah Morvus
dan seseorang dengan masker gas. Kami saling bertatapan.
Tak lama kemudian helikopter mendarat di depan kita.
Seseorang mengulurkan tangannya. “Mari berangkat.”
Kami semua naik secara begiliran. Morvus dahulu,
kemudian aku, disusul oleh Teresa, dan terkahir di laki-laki
bermasker gas.
“Dengarkan baik-baik. Rekan-rekan kalian akan
dikirimkan ke tempat yang berbeda. Kalian bisa
berkomunikas dengan menekan huruf-huruf yang berada di
pergelangan kalian.”
Kami semua langsung mengecek pergelangan. Alat
tersebut merupakan chip yang tertanam. Aku saja tidak
menyadari kapan dimasuk …, tunggu dulu. Ah, aku mengerti.
“Huruf Q merupakan kode kita, R merupakan kode
Raurus, B merupakan Jembatan Barton, I merupakan tempat
Menara dan Patung Ishington, dan H merupakan hotel Heach.
Alat ini bisa kalian gunakan untuk berkomunikasi, seperti
menyampaikan informasi, mengirim bantuan, dan lain-lain.
Yang penting kalian harus bisa menolong diri kalian masing-
masing dahulu. Paham?”
Kami semua membalas. “PAHAM!”
“Kita akan sampai tiga menit lagi. Kita akan mendarat
di lantai tengah. Jika kita mendarat pada lantai atas,
kemungkinan kita bisa ketahuan dan helikopter ini bisa jatuh.”
“Dimengerti,” kataku.
“Oh ya, panggil saja aku Oris.”
Tempat tinggi menjulang menembus langit dan awan.
Queli mulai terlihat. Bangunan ini semua bagiannya ditutupi
oleh kaca, bahkan lantainyapun merupakan kaca. Sungguh
mengerikan. Aku melihat ke arah rekan-rekanku. Mereka
semua tidak gemetar dan tidak gentar. Pemimpin kami, Oris
terlihat sangat antusias. Morvus terlihat biasa. Bukan biasa,
melainkan kosong dan dingin. Pupil hitam dia seperti jurang.
Ketika aku melihat dia, sepertinya yang menjadi ancaman
adalah bukan teroris, melainkan dia sendiri. Mata dia seakan-
akan ingin menelan apapun. Teresa sudah bersiap-siap
mengokang senjatanya. Si masker gas sepertinya tidak
membawa senjata apapun. Aku sepertinya dikelilingi oleh
orang-orang yang tidak biasa.
“Kita akan langsung menerobos kaca tersebut. Kaca
tersebut lemah terhadap listrik, maka dari itu aku membawa
bom listrik in …” perkataan dia terpotong setelah melihat
Teresa melemparkan belati yang dialiri oleh listrik.
“Mari terobos.”
Kami semua langsung meloncat dari helikopter. Kami
semua berguling untuk mendarat dengan aman, kecuali
Morvus yang hanya mendarat dengan kedua kakinya menahan
semua tekanan. Kurasa kami melompat cukup tinggi.
“Karena kita kurang informasi mengenai serangan ini,
terpaksa kita harus berpencar,” dia membalikan badan.
“Kamu yang membawa sniper dan laki-laki serba hitam akan
menuju pintu bagian kanan. Masker gas dan wanita listrik
akan menuju pintu kiri. Aku akan sendiri menggunakan pintu
tengah ini.”
“Lebih baik aku sendiri,” kata si masker gas dengan
suara yang terdistorsi akibat maskernya.
“Apa kau yakin?”
“Kekuatanku mendukung untuk melawan banyak
pasukan.”
Osir menatap dia dengan keraguan. Keraguan yang
kumaksud adalah bukan keraguan karena dia tidak mampu,
tetapi dia ragu bahwa dia memiliki motif lain. “Baiklah. Aku
akan bersama si wanita listrik.”
“Baiklah, kami akan berangkat,” kataku. Aku berjalan
ke arah pintu dan kaget karena Morvus sudah menungguku di
sana. “Ngomong dong kalo mau duluan.”
Aku berjalan ke arah dia yang ingin membuka pintu,
tetapi aku cegah dengan memegang pundaknya. “Aku periksa
dulu,” aku mengintpi melalui celah pintu yang sedikit terbuka.
Aku mengatifkan kekuatanku. Mataku seperti kamera yang
bisa aku zoom in dan zoom out. Aku melihat sebuah turret
yang bertenaga plasma. Satu tembakan mengenai tubuh kita
akan sangat bahaya. Ini sperti one hit one kill.
”Terdapat satu turret otomatis bertenaga plasma yang
mengarah ke arah pintu ini. Biarkan aku mematikan turret
tersebut,” kataku sambli mendekatkan mataku pada lensa
sniper ini untuk membidik ke sumber tenaga yang
menggantung di atap-atap yang sangat gelap. Kamuflase yang
bagus.
DAR!
Suara dari senjataku sangat kencang. Setelah
menembak, aku langsung mengatifkan kekuatanku yang
kedua yaitu kamuflase. Badanku langsung menyesuaikan
dengan lantai yang aku injak. Aku menyentuh Morvus yang
berada di sampingku untuk menularkan kekuatanku.
Morvus melihatku dan lansguns mengangguk. Dia
membuka pintu secara perlahan. Aku berada di belakang dia
sambil meliaht ke sekitar dengan langkah yang lambat. Kami
menghindari untuk membuat suara. Cahaya merah yang
menandakan evakuasi terus berkedip. Kursi-kursi yang
berantakan kami hindari. Kami akhirnya pada pintu yang
merupakan satu-satunya pintu tempat ini. Kami membuka
pintu yang merupakan sebuah lift yang sudah hancur.
“Mengapa ada lift di tempat ini?”
Dia hanya membalas dengan menggelengkan kepala.
“Apakah kita harus balik?” tanyaku pada dia yang
sedang melihat ke atap lift.
“Sepertinya kita bisa memanjat melalui atap ini.”
Aku langsung berjalan ke arah lift tersebut dan
melihat ke atap lift tersebut. “Kau benar.”
Morvus memanjat terlebih dahulu karena badan dia
sangat-sangat tinggi. Setelah dia berada di atas, dia
menjulurkan tangannya padaku. Aku memegang telapak
tangannya yang kemudian dia tarik sehingga aku bisa naik ke
atap lift tersebut. Aku melihat-lihat tempat ini.
“Lihat itu,” kata Morvus sambil mencolek pundakku
dan tangan kirinya menunjuk ke tempat yang dia maksud.
Aku melihat sebuah lubang berbentuk persegi yang
mengeluarkan cahaya merah. Lubang tersebut berada di atas
kanan dariku yang tidak terlalu tinggi. Aku melihat Morvus
yang kemudian dia balas dengan tatapan juga. Aku
mengangguk menandakan untuk memanjat ke tempat itu.
Karena tempatnya tidak terlalu tinggi, jadi aku bisa naik ke
tempat itu tanpa bantuan Morvus.
Setelah kami memanjat tempat tersebut, kami sadar
bahwa tempat ini adalah ventilasi. Kami berjalan maju
beberapa langkah. Terdapat celah-celah yang bisa kami intip
dari atas ke bawah. Kami mencoba mengintip, tetapi tidak ada
siapapun meskipun aku sudah mengaktifkan kekuatanku. Aku
heran, apakah tempat ini benar-benar diserang teroris.
Kami memutsukan untuk menjebol ventilasi ini. Aku
menghantap gagang senjataku dengan sangat kencang ke besi-
besi untuk ventilasi tersbut. Besi-besi tersebut akhirnya
penyok dan jatuh ke bawah sehingga menghasilkan bunyi
yang sangat kencang. Tidak perlu khawatir karena tidak ada
siapapun di sini. Aku melompat ke bawah yang kemudian
disusul oleh Morvus.
“Tempat apa ini?” tanyaku sambil melihat-lihat
sekitar.
“Entah,” balas dia sambil membuka lemari yang ada
di sudut ruangan.
“Aku bingung dengan keadaan ini. Apakah tempat ini
memang diserang teroris?”
“Aku juga tidak yakin. Jika ini diserang teroris,
seharusnya semua tempat sudah dijaga, tetapi jika dilihat
dengan kondisi sekarang keadaannya sangat terbalik.”
Aku melihat pintu besi berwarna hijau. Aku membuka
pintu tersebut dengan perlahan. Aku melihat kanan dan kiriku
untuk memastikan apakah situasi aman atau tidak. Setelah aku
mmeastikan keadaan, aku langsung memberikan isyarat ke
Morvus dengan menggoyangkan telunjukku seperti menyuruh
untuk ke arahku. Dia yang melihat isyaraktu langsung
berjalan ke arahku. Aku mengaktifkan kekuatanku. Lorong
yang panjang ini dapat aku lihat hingga ujung dan bahkan
jejak-jejak kecil yang tertinggal di tembok dan lantai. Setelah
aku perhatikan untuk kedua kalinya, jejak-jejak yang aku lihat
adalah berasal dari hewan-hewan kecil seperti tikus dan
serangga. Aku tidak melihat ada jejak manusia.
“Ini aneh,” kataku sambil memegang daguku.
“Aneh?” tanya Morvus.
“Aku tidak melihat jejak manusia sama sekali. Apa
penyerangan ini hanya pengalihan? Menurutmu bagaimana?”
“Aku juga tidak tahu. Apakah ada jebakan?”
“Tidak juga.”
“Mari kita ikuti lorong ini.”
Kami berjalan mengikuti lorong yang panjang ini.
Setelah tiga belas menit berlalu akhirnya kami sampai pada
ujung lorong tersebut. Kami hanya melihat tembok. Perasaan
tadi aku melihat sebuah pintu. Apa hanya perasaanku? Aku
mencoba menggunakan kekuatanku lagi. Sudah kuduga ini
adalah pintu, tetapi bagaimana kami membukanya?
“Tembok di sebelah kanan kita ini adalah pintu jika
kau tidak tahu.”
“Tidak bisa dibuka?”
“Yah.”
Tanpa berkata apapun, dia langsung menghantam
pintu berbentuk tembok tersebut dengan tangan kanannya.
Hantaman pertama membuat tembok tersebut menjadi retak
sedikit, hantaman kedua membuat retakan tersebut semakan
melebar, dan hantaman ketiga membuat tembok tersebut
langsung jebol. Aku melihat dia dengan tatapan heran. Apa
benar dia tidak punya kekuatan? Tidak ada manusia biasa
yang bisa menjembol tembok setebal ini.
Dia berjalan memasuki tembok yang baru dia hantam
tadi. Dia melihat ke arahku yang berada di belakang dia. Dia
langsung menggelengkan kepalanya sebagai tanda untuk
masuk ke tempat itu. Aku mulai masuk bersama dia. Kami
melihat ruangan yang penuh dengan jendela kaca, seperti awal
tujuan tempat ini yang memang diselimuti oleh kaca. Kurasa
kita sudah berada di ruangan khusus para wisatawan. Kami
berjalan hingga ujung ruangan yang setidaknya tidak
sepanjang lorong tadi.
“Dimana terrorisnya?” tanyaku. Setelah beberapa
detik dai tidak menjawab, aku langsung menanyakan lagi.
“Apa yang kau lihat?”
Dia menunjuk keluar jendela yang besar tersebut.
“Lihat itu.”
Aku melihat ke arah yang dia tunjuk. Aku terkejut
setelah melihat hal tersebut. Sebuah bola yang terbentuk entah
dari batu atau material lain, melayang dia antara tiga pulau
besar. Satu adalah pulau yang aku dan rekanku tempati ini
untuk menyelesaikan terorisme. Dua adalah pulau yang
mewakilkan negara-negara timur jauh. Ketiga adalah pulau
yang berisikan penelitian bahan kimia. Jika dilihat lagi, bola
yang melayang tersbeut tersebut perlahan menghisap yang ada
disekitarnya.
“Kau tahu apa itu?” tanyaku.
“Tidak tahu, tetapi aku tahu bahwa di dalam bola
tersebut terdapat seseorang.”
“Hah?”
“Apa kau mendengar mereka?”
Aku tahu apa yang dia maksud. Aku juga bisa
mendengar suara langkah kaki mereka. “Tip tak top tik tap
top. Begitu kan?” aku memegang tangannya. “Mari kita
menjadi bunglon.” Tubuhku dan Morvus langsung menjadi
transparan mengikuti warna jendela yang kami sentuh.
Beberapa detik kemudian datanglah para terroris yang
menggunakan senjata plasma. Mereka sangat kaya ternyata.
Mereka berjumlah sepuluh orang. Sangat banyak melebihi
perkiraanku. Aku tahu kelemahan senjata plasma yaitu hanya
dengan mengacaukan aliran listrik dari senjatanya. Maka dari
itu aku selallu membawa bom EMP. Bom ini bisa
mengacaukan aliran listrik. Aku perlahan mengeluarkan
bomku supaya tidak terdengar suaranya. Kemudian aku
memencet tombol diatasnya dan langsung menggelindingkan
ke arah mereka. Mereka menatap keheranan setelah bom
tersbut bergelinding ke arah kaki mereka. Bom tersebut
kemudian meledak. Senjata mereka menjadi mengeluarkan
sebuah gelombang kejut yang membuat senjata mereka
menjadi tidak berguna dan juga menyengat tangan mereka.
Sungguh seru. Tanpa basa-basi Morvus langsung maju
dengan cepat setelah bom tersebut meledak.
Aku tidak bisa melihat senjata dia karena efek
kekuatanku. Ironi bukan? Empat dari terroris yang
kebingungan tersebut tiba-tiba lehernya terbuka dan
mengeluarkan darah. Morvus memang sesuatu sekali. Dia
menghabiskan empat orang dengan waktu yang singkat. Satu
orang kepalanya dia tancapkan dengan sesuatu. Setelah dia
melepaskan senjatanya barulah terlihat. Dia menggunakan
pisau berwarna hitam yang sangat tipis. Satu orangnya lagi
dia patahkan lehernya, kemudian empat orang ke arah Morvus
yang masih tidak terlihat. Sungguh gerakan yang ceroboh.
Empat dari mereka langsung ditembak dengan senjata api
oleh Morvus. Mereka semua terbaring mengenaskan dibawah
Morvus.
“Apa kau mantan pembunuh bayaran?” tanyaku.
“Hanya tentara bayaran,” balas dia sambil mengambil
pisaunya yang tertancap di salah satu kepala terroris ini.
“Seprtinya tugas kita selesai.”
“Ya.”
Tiba-tiba ledakan terlihat dari balik lantai kaca
transparan ini. Ledakan tersebut berada tiga lantai di bawah
dari kami berada. Ledakan tersebut hingga menembus luar
bangunan ini. Aku melihat ke arah Morvus dan Morvus
membalas dengan anggukkan. Setelah itu kami langsung
kembali, tetapi menggunakan rute terroris tadi. Ingat, aku bisa
melihat jejak mereka.
7
Malaikat Petir
Aku tidak tahu di tempat lain bagaimana, tetapi di sini
sangat banyak sekali terroris dan turret yang menjaga.
Terlebih lagi jariku yang gemetaran setelah melihat mereka
yang begitu banyak. Aku selalu gemetaran ketika
menjalankan sebuah misi. Alasannya tentu saja karena takut.
Aku selalu takut meskipun orang-orang menganggapku
seorang profesional atau Malaikat Petir dari Kota Suci. Aku
tidak mengerti dengna julukan konyol itu, meskipun aku
mengerti maksud Kota Suci itu.
“Terdapat tiga turret, dua belas orang bersenjata
plasma, dan sepuluh bersenjata api,” penjelasan dari analisi
Osir.
“Mereka terroris yang kaya,” kataku dengan jariku
yang gemetaran.
Osir melihat jari-jari tanganku. “Apa kau ketakutan?”
“Memang, tapi ini sudah biasa. Lupakan itu, kita
harus waspada pada turret plasma mereka. Aku bisa
merasakan aliran listrik dari turret tersebut,” kataku sambil
melihat garis-garis tipis dengan cahaya kecil seperti kunang-
kunang yang memanjang dari senajta dan turret plasma
mereka.
“Oh, jadi mereka menggunakan turret plasma.
Menarik. Apa kau bisa mematikan persenjataan plasma
mereka?”
“Sedang kulakukan dari tadi.”
Dia melihat tanganku yang perlahan dialiri listrik.
“Oh, aku mengerti.”
Kami bersembunyi di balik pintu ruangan tersebut
selama beberapa menit. Kami sengaja membuka sedikit
pintunya dengan tujuan untuk melihat situasi di dalam.
Awalnya kami ingin menigntip melalui lubang kunci, tetapi
lubang kunci tersebut tertuutp oleh sesuatu. Listrik dari
senjata dan turret mereka akhirnya telah terkumpul di tangan
kananku setelah beberapa menit. Aku langsung menyalurkan
semuanya ke belati di tangan kiriku. Aku menganggukkan
kepalaku kepada Osin untuk menandakan bahwa kita bisa
menyerang sekarang. Osin langsung mendobrak pintu
layaknya sebuah bom. Para terroris langsung terketjut. Aku
dengan cepat melempar belatiku ke atas atap ruangan ini.
Mereka mulai menodongkan senjatanya terhadapku dan turret
mereka juga sudah siap menembak, tetapi aku sudah mulai
mengaktifkan kekuatanku. Aku mengangkat tangan kiriku dan
mengayunkannya ke lantai dengan cepat dengan badanku
yang ikut membungkuk. Aliran listrik yang sangat kuat keluar
dari belati yang aku lempar ke atas atap tadi. Listrik tersbeut
menyambar layaknya petir ketika hujan badai. Listrik tersebut
memecahkan membuat lubang di ruangan tersebut mulai dari
atap hingga lantai. Turret mereka hancur lebur, sedangkan
para terroris ada yang tersambar hingga tidak berbentuk
badannya dan ada yang jatuh akibat lubang dari listrikku tadi.
“Aku tidak menyangka bakal sekuat itu,” kata Osir
yang sangat terkejut.
“Aku …, hah …, tidak menyangka bakal …, hah
menembus enam lantai,” kataku terengah-engah.
“Apa kau bisa berjalan? Sepertinya kau mengeluarkan
banyak tenaga.”
Aku membalasnya dengan anggukan kepala. Osir
mengerti dan langsung lanjut memimpin jalan. Dia berhenti
sejenak, membalikkan badan, dan melihat ke arahku.
“Haruskah kita menggunakan jalan lain?” tanya dia
sambil menunjuk lantai yang berlubang.
“Benar juga.”
Osir melihat sekitar. Dia akhirnya menemukan sebuah
tangga yang mengarah ke lantai atas. Tangga tersebut berada
di sebelah kiri pintu masuk ruangan ini. Kami tidak
menyadarinya dari awal karena kami masuk dengna
mendobrak dan membantai mereka. Kami berjalan ke tangga
tersbeut. Aku melihat tangga tersebut sangat tinggi. Osir
menaiki tangga terlebih dahulu kemudian disusul olehku.
“Apa kau memiliki pangkat dalam militer?” tanya dia.
“Aku hanya relawan yang berasal dari organisasi
relawan yang membantu dalam berbagai bidang termasuk
militer.”
“Relawan? Apa kau berasal dari Kota Suci?”
“Ya.”
“Turut berduka terhadap mereka yang gugur di sana.”
“Tidak apa-apa, lagian tempat itu sudah lama
hancur.”
“Apakah sudah ketahuan pelaku dari kejadian
tersbeut?”
Aku melihat ke atas. “Belum. Mereka hanya
menemukan nama asli orang yang menyerang. Nama dia
kalau tidak salah Simmond Magnes.”
“Pemimpinnya sudah ketahuan, berarti tinggal
organisasi terrorisnya.”
“Aku tidak bilang yang menyerang adalah pasukan
terroris.”
“Jadi?”
Sesuatu yang mengejutkan yang dapat membuatku
terdiam terlihat di luar jendela tempat ini. Aku saking
terkejutnya tidak dapat menjawab pertanyaan dia. Tanganku
semakin gemetaran. Kakiku lemas sehingga keseimbanganku
menjadi kacau yang membuat tubuhku berlutut lemas.
“Hey, apa yang terjadi denganmu?”
“tidak tidak tidak tidak tidak,” kataku secara impulsif dan
pelan.
“Apa yang kau katakan?” tanya dia dengan tenang,
tetapi khawatir dengan diriku.
Aku mengaliri dadaku dengan listrik sehingga
membuatku terkejut seperti disetrum oleh defibrilator. Aku
mengatur nafasku. “Mari balik ke titik awal.”
Osir kurang mengerti dengan situasi apa yang terjadi,
tetpai dia juga merasakan sesuat yang tidak mengenakan
setelah melihatku. “Baiklah, apa kau bisa beridiri?”
“Bisa,” aku mencoba berdiri, tetapi kakiku sangat
lemas.karena ketakutan dan trauma.
“Sini aku bantu,” dia menopang tubuhku dengan bahu
dan tangannya.
“Apa lingkaran seperti bola melayang di atas tadi
mengingatkanmu apda sesuatu?” tanya dia kepadaku sambil
menuruni tangga.
Aku membalasnya dengan anggukan.
Dia ingin menekan chipnya, tetapi chip tersebut
terhisap oleh sesuatu sehingga lepas dari pergelangan
tangannya. “Ah sial.”
Setelah beberapa menit kami menuruni tangga, kami
akihrya sampai pada pintu masuk ruangan yang tadi aku acak-
acak. Osir membuka pintu. Dia berhenti setelah membuka
pintu. Kepalaku melihat ke arah lantai sehingga tidak tahu apa
yang membuat dia berhenti.
“Siapa anda?” tanya Osir pada seseorang.
Aku penasaran, jadi aku mencoba melihat apa yang
dia lihat. Aku langsung muntah setelah melihat dia. Makhluk
yang merupakan mantan manusia. Makhluk yang hanya hidup
dari kerangkanya. Makhluk yang menutupi kerangkanya
dengan menghisap apapun yang ada di sekitarnya layaknya
magnet yang berubah menjadi cangkang. Sesuatu yang paling
berbahaya yang pernah ada.
“Kau baik-baik saja?”
Dia beridri dengan melipat kedua tangannya ke
pinggang. Berdiri dengan kedua kaki yang merapat. Tubuhnya
yang tinggi dengan besi-besi sebagai pengganti dagingnya dan
berbagai serpihan kaca dan material lain yang kecil
mengelilingi tubuh dia. “Ah …, wajah putih pucat, mata
berwarna abu-abu, dan rambut coklat pucat. Tidak salah lagi
kau adalah orang dari Kota Suci yang selamat. Atau bisa
dibilang …, satu-satunya yang selaamat,” kata dia tanpa
melihat ke arah kita, bahkan badannyapun tidak mengarah ke
arah kita. Nada suaranya itu masih mengantui pikiranku sejak
dulu.
“Apa kau dalang dibalik serangan ini?”
“Serangan ini? Aku hanya bergerak sendiri. Jika yang
kau maksud adalah penyerangan Kota Suci, berarti kau tepat,
tetapi jika penyerangan di berbagai tempat pulau ini
jawabannya tentu saja tidak.”
“Teresa, lebih baik kau diam di sini,” kata dia
kepadaku dengan berbisik.
“Baik.”
“Jadi, apa rencanamu setelah ini?”
“Aku tidak memiliki rencana apapun. Aku hanya
mengunjungi tempat penyerangan saja. Kau lihat bola yang
melayang di antara tiga pulau itu? Aku berniat
menghancurkan itu. Bagaimanapun juga aku mencintai pulau
ini.”
“Apa itu akan meledak?”
“Aku membaca laporan dari pemimpin mereka bahwa
itu projek MEGASTAR. Itu akan meledak pada waktu yang
ditentukan. Lebih tepatnya dua bulan lagi.”
“Kau berniat bekerja sama pada militer?”
“Tentu tidak.”
Osir langsung menodongkan shotgunnya. “Kalau
begitu, enyahlah.”
DUARR!!
Suara shotgun yang sangat kencang terdengar dari
tempatku diam. Tembakkan tersebut pasti seratus persen
mengenai kepalanya, tetapi itu semua sia-sia dihadapan dia.
Simmond bukan makhluk yang normal. Dia adalah mantan
manusia. Tidak bisa dibunuh dengan senjata manusia. Cara
mengalahkan dia adalah dengan sesutau yang bukan senjata
manusia.
“Hahaha,” balas dia dengan tertawa. Dia memegang
senjata Osir dengan tangan dia yang diselimuti oleh besi. Dia
mencengkram senjatanya dengan cakar dia dan menariknya.
Dengna cepat Osir melepas shotgunnya dan langsung berganti
senjati menjadi handgun. Aku tahu dari awal bahwa Osir
tidak akan menang melawan dia. Osir dengan cepat
diterbangkan keluar bangunan ini oleh Simmon. Kekuatan dia
secara garis besar adalah magnet. Aku bisa merasakan aliran
listriknya ketika dia menggunakan kekuatannya. Dari ketika
aku melihat chip Osir terbang, aku tahu bahwa dia ada di
tempat ini, etapi aku tidak bisa memberitahu dia karena aku
sangat ketakutan sehingga membuatku tidak bisa berkata lebih
banyak.
“Ah, anak dari Kota Suci. Karena aku sudah
memberimu kesempatan hidup sekali. Maka kali ini tidak
akan aku berikan lagi,” dia mencoba mengandilkan badanku
dengan kekuatannya, tetapi entah mengapa listrikku tiba-tiba
mati. Begitupun juga dengan kekuatan dia.
“Jadi kau, membawa EMP ya? Pintar juga.”
Aku sadar dia tidak bisa menggunakan kekuatan
untuk sementara waktu. Aku langsung mengambil granat dari
sakuku. Aku melempar ke arahnya. Dia mencoba untuk
menghindari granat tersbut, tetapi aku bisa mengeluarkan
listrik yang ada ditubuhku yang baru beregenerais meskipun
sangat kecil. Aku menyambar granat tersebut dan akhirnya
granat terbsue meledak. Aku tidak menyangka ledakannya
sangat besar. Aku langsung berdiri dan berlari ke arah titk
awal kami berkumpul. Aku membuka pintu demi pintu untuk
ke titik awal. Aku akihrnya sampai pada titik awal, tetapi
tidak melihat mereka sama sekali. Simmon tiba-tiba terlihat
melayang dari luar jendela yang pecah. Dia mengarahkan
tangannya ke arahku. Dorongan magnet terasa sangat kuat
sehingga membuat lantai kaca bangunan ini terbang mengarah
ke tubuhku yang ikut terdorong ke tengah pilar berlian yang
berada di tengah-tengah bangunan ini.
Kaca-kaca tempat tersebut menusukku, mulai dari
kaki hingga badan. Aku mengorbankan listrik terakhir di
tubuhku untuk menahan kaca yang terbang ke arah kepalaku.
Dia kemudian menngendalikan badanku untuk dilempar
keluar.
TANG!
“APAAN TUH?” teriak seseorang dari pintu kanan.
Aku melihat ke arah pintu tersebut. Aku melihat dua
orang. Satu orang yang membawa senapan yang sangat
panjang di pungunggnya dan satunya menembakkan sebuah
handgun.
“Senapan yang sangat kuat.”
Memang benar senapan itu sangat kuat. Muka besi
Simmon langsng hancur dan mengekspos tengkoraknya.
Karena Simmond terganggu oleh mereka, kendali dia
terhadap tubuhku menjadi hilang. Tubuhku yang melayang di
atas menjadi jatuh. Aku kira aku akan membentur lantai,
tetapi orang yang membawa senapan tadi berhasil
menangkapku
“Untung aku menembak dari ruangan sebelah, jadi dia
tidak sadar,” kata dia dengna meilhat ke arah orang dengan
pakaian serba hitam, “dan terimakasih juga terhadap dia untuk
mengulur waktu.”
“Awas,” kataku dengan sangat lemas dan tanganku
menunjuk Simmon yang siap menerjang orang ini.
Simmon yang sedikit lagi dapat menyentuh dia, tiba-
tiba dia terbang ditendang oleh orang yang pakaiannya serba
hitam ini. Aku ingin pingsan, tetapi tidak bisa. Rasa takut
membuat kesadaranku tetap sadar.
Aku baru sadar bahwa dia menggendong badanku dan
membawanya ke ujung ruanang dekat pintu mereka masuk.
Pastinya jauh dari Simmon.
“Aku akan membantu dia dari sini. Kau lihat cara
kami bertarung,” kata dia dengan senyuman meskipun lawan
dia sunggun menakutkan, “MORVUS. MARI MENJADI
BUNGLON!”
“Sip,” dia langsung melompat ke arah dia dan
menyentuh tangan dia. Mereka langsung berubah menjadi
transparan menyesuaikan warna kaca ini.
“Kau juga, Teresa,” kata dia kepadaku.
Aku bisa lihat bahwa Simmon kebingungan melawan
mereka. Besi-besi tubuh Simmon mulai lepas satu-persatu.
Aku tidak tahu sekuat apa serangan orang serba hitam itu. Dia
bisa menghancurkan tubuh Simmon yang begitu keras.
“Kau tidak bisa menggunakan kekuatan psikismu
ketika tubuh besimu lepaskan, kan?” kata seseorang dari balik
pintu yang ada di pillar kristal tempat ini.
“Siapa?” tanya Simmond dengan terkejut.
DRRR! DRRR! DRRR!
Suara senapan otomatis terdengar dari balik pintu
tersbut. Suara tersbeut terdengar seperti bukan hanya satu
orang yang menyerang. Tubuh-tubuh besi simmon hampir
semuanya lepas. Hanya tersisa punggung, paha, dan jari-jari.
Simmon mengetahui bahwa situasinya memburuk, dia
akhirnya memutuskan untuk mundur.
“Manusia dengan kekutan fisik yang aneh, kamuflase,
dan orang misterius. Lebih baik aku mundur,” kata dia sambil
berlari terjun bebas dari luar jendela, “sampai jumpa!”
Seseorang dengan masker gas keluar dari pintu
tersebut tanpa senjata apapun. Dia menyapa orang serba hitam
yang baru keluar dari kamuflasenya bersamaan dengan si
pembawa sniper. “Tadi siapa?”
“Entah. Intinya dia menyerang perempuan itu.”
“Hey, bukan perempuan itu, tetapi Teresa. Dia punya
nama,” balas si pembawa senapan.
“Aku sudah menghubungi pusat. Jadi kita hanya harus
menunggu.”
Si pembawa sniper menyelimutiku dengan jubah yang
dia kenakan. “Tidurlah. Kau berdarah sangat banyak.”
Aku mulai menutup mata dengan tenang.

8
Moral Dari Sebuah Belatung
Morvus, Aquila, Teresa, dan Osir sudah berpisah
dariku. Aku memutuskan untuk melakukan aksi mandiri ini
karena aku memang bisa melakukan ini sendirian. Aku
bahkan tidak perlu mereka untuk menyelesaikan misi ini,
tetapi aku harus membut diriku menyatu dengan sekitar.
Seperti menuruti atasan, berabaur dengan rekan-rekan, dan
kerja sama. Ya. Kerja sama. Kerja sama adalah bidang
terlemahku. Bagaimana bilangnya ya? Kurasa bukan bidang
terlemahku, melainkan hal yang tidak penting buatku.
Mengapa? Kita ambil saja sebuah fenomena dimana
seseorang memiliki kekuatan untuk memerintah. Ya.
Memerintah secara absolut, tanpa ada yang menyanggah,
membantah, dan melawan. Mereka semua patuh. Aku adalah
orang yang seperti itu.
Sebelum aku melakukan misi ini, aku sudah terlebih
dahulu melakukan pencarian mengenai misi yang akan
dijalankan dan para individu yang akan ikut misi-misi ini.
Aku memiliki banyak koneksi. Meskipun para koneksiku
tidak bisa berbicara, tetapi mereka bisa menulis laporan yang
bisa aku baca. Koneksiku tersebar dalam cangkupan global.
Aku tidak menyadari bahwa aku akan masuk ke
dalam misi bangunan kaca yang tinggi ini. Aku kagum
terhadap bangunan ini karena bangunan ini sudah berdiri
sejak lima tahun yang lalu. Pilar kristal yang berada di tengah
bangunan kaca ini adalah sumber utama mengapa bangunan
ini berdiri sangat kokoh. Kecuali saat ini. Bangunan ini sudah
sangat kacau.
Jika kalian bertanya-tanya, apakah aku sudah selesai
dengan misiku? Tentu saja sudah. Aku sudah pernah bilang
sebelumnya bahwa aku bisa menyelesaikan misi ini seorang
diri. Kekuatan untuk memerintah secara absolut memang
sangat nyaman. Setiap individu mendapat kekuatan spesial
mereka bukan karena bakat, melainkan faktor-faktor yang
tidak terduga. Misalnya seperti keputusasaan. Dia terlalu
putus asa hingga dia mengharapkan kekuatan yang lebih pada
dirinya untuk menutupi kekurangannya. Hahaha, jangan
dianggap serius. Pada dasarnya semua orang memiliki
kekuatan spesial ini, tetapi tidak semua orang bisa
mengeluarkannya. Mungkin ada beberapa faktor yang tidak
bisa disebutkan karena semua orang berbeda. Serius, ini
sangat berbeda. Sangat mengerikan. Aku boleh mengatakan
bahwa mereka yang bisa mengeluarkan kekuatan spesial
mereka merupakan sebuah kengerian yang lahir. Termasuk
aku.
Aku mendapat kekuatanku ketika aku kecil.
Peperangan yang terjadi di daerah timur, termasuk timur jauh.
Aku lahir salah satu negara bagian timur jauh. Peperangan
hebat terjadi di sana. Empat negara berperang di satu negara
yang luas. Negaraku harus bertahan dari serangan acak dari
empat negara yang saling berperang ini. Peperangan hebat
tersebut membuat negara hancur lebur tanpa tersisa apapun.
Apa yang aku lihat adalah tumpukan mayat. Hanya beberapa
orang yang selamat, bahkan bisa dihitung menggunakan jari.
Aku terbaring lemas di atas mayat-mayat yang membusuk dan
tidak berbentuk. Aku tidak memiliki kekuatan untuk bangkit.
Setengah mulutku hancur. Aku tidak bisa menggunakan
mulutku untuk makan. Karena hal tersbeut, aku harus
memikirkan cara lain. Aku mengambil belatung-belatung
yang melahap puas mayat-mayat disekitarku. Aku
memegeang kumpulan belatung tersebut dengan tanganku.
Aku mengarahkan tanganku ke arah mulutku yang sudah
rusak. Rahangku hilang, tetapi lubang menuju tenggorokanku
masih ada. Aku memeras belatung tersebut dan meminum
darah dan cairan yang dikeluarkan oleh belatung tersebut.
Aku melakukan ini setiap hari. Pada hari tertentu aku bisa
berdiri meskipun pincang. Aku yang tadinya hanya
mengkonsumsi belatung lalu berganti menjadi gagak. Aku
tahu bahwa tubuhku tidak akan bertahan hanya dengan
mengkonsumsi makanan yang tidak layak. Pada saat ketika
aku sekarat, aku merasakan bahwa mulut dan rahangku
kembali utuh, tetapi membusuk. Lubang-lubang dan kerutan
muncul di rahangku serta ruam-ruam Aku bisa merasakan
belatung-belatung menempel di lubang-lubang rahangku.
Belatung tersebut tidak akan pernah hilang. Pada saat inilah
aku sadar, aku tidak perlu makan apapun. Aku seharusnya
sudah mati, tetapi kembali hidup karena kekuatanku hidup.
Ah, aku menyadari mengapa kekuatanku bangkit. Aku
memakan gagak dan belatung itu seperti aku menyatu dengan
kematian. Aku mulai menutup mulutku yang membusuk ini
dengan masker gas yang aku ambil dari salah satu mayat di
negaraku yang sudah hancur rata. Masker gas tersebut
menutup dari mulut hingga hidungku.
Kebencian bangkit. Karena aku orangnya sangat adil,
jadi aku membenci semua orang sama. Aku ingin meratakan
dunia ini dengan tanah. Tunggu. Tidak tidak. Lebih tepatnya
duduk di atas dunia yang sudah dipenuhi oleh para mayat.
Terroris, pembela keadialn, orang-orang suci. Pftt. Semuanya
sama. Aku sudah kehilangan kepercayaan pada kemanusiaan
sejak saat itu. Aku melihat dunia ini hanya dipenuhi oleh
manusia tanpa kemanusiaan. Apa artinya manusia tanpa
kemanusiaan? Kegagalan. Inilah mengapa aku ingin
meratakan semua umat manusia dengan menggunakan
kebusukan yang pernah mereka ciptakan sama seperti halnya
aku membunuh para terroris pada misi ini dengan kebusukan
yang mereka buat.
Aku menuruni tangga karena lift di sini sudah rusak.
Aku membuka pintu tengah dimana aku dan rekanku
berkumpul. Aku melihat figur tinggi yang dipenuhi oleh besi,
tetapi bagian muka, lengan, dan dadanya telah rusak. Di
dalam tubuh besi itu terdapat kerangka tulang manusia. Aku
melihat dia sedang bertarung dengan sesuatu yang tidak
terlihat. Kurasa dia sedang melawan Aquila dan Morvus.
“Mari aku bantu.”
Dua orang dibelakangku bangkit dan menembaki si
figur besi ini dengan senapan otomatis. Semua peluru
mengenai dia sehingga besi-besi di tubuhnya hampir semua
terlepas. Setelah dia ingin kabur, dia melihat ke arahku
sebentar dan melompat dari jendela. Sepertinya dia
mengatakan sesuatu. Mereka berdua keluar dari kekuatan
kamuflase. Karena mereka sudah melihatku, mengapa tidak
aku sapa saja?
9
Manusia Metal, Batu, Kayu, dan Apapun.
Sangat gelap. Aku lupa apa yang terjadi tadi. Bentar.
Hmm. Oh ya, aku ingat kami dimakan dinosaurus. Kami
melakukan misi ke kebun binatang bernama Raurus. Di kebun
binatang ini dinasaurus kembali dihidupkan dengan teknologi.
Bisa dibilang mereka ini robot, bukan dinosaurus asli, tetapi
kulit mereka benar-benar seperti kulit teksturnya. Bukan
hanya itu, menurutku semuanya terasa seperti makhluk hidup,
termasuk bagian dalamnya. Mengapa aku tahu? Karena aku
sekarang berada di mulut dinosaurus. Apakah harus keluar
sekarang?
Badan dinosaurus ini sejatinya adalah besi, jadi aku
bisa merubah badanku menjadi besi. Aku merobek entah itu
bagian perut atau punggung, intinya aku merobek tubuh itu
dengan kedua tanganku yang sudah berubah menjadi besi.
Aku bisa melihat cahaya dari balik lubang yang aku robek
tadi. Aku mengeluarkan badanku dari dinosaurus tersebut,
lalu melompat keluar. Dinosaurus buatan tersbut tumbang. Oh
ya, dinosaurus tersbeut adalah Giganotosaurus. Aku melihat
kebelakang untuk melihat dinosaurus tersebut. Besar juga.
Aku menekan chip yang ada di pergelangan tanganku.
Hologram berwarna biru langsung muncul dari chip tersebut.
Muka-muka anggota yang ikut misi di Raurus ini. Ada Berta,
Yaer, Murr, dan Xan. Xan adalah pemimpin dari misi ini.
Seingatku. Aku melihat sekitar untuk mengingat kembali
bagaimana kami terpisah. Hmm … Ah, aku ingat. Fondasi
tempat ini yang merupakan sebuah tiang-tiang besi yang
mengelilingi tempat ini, mulai dari bawah hingga atas
sehingga membentuk melingkari tempat ini, rubuh sehingga
membuat kami terpisah. Rubuhnya fondasi ini masih misteri.
Aku tidak mendengar suara ledakan sebelumnya atau sesuatu
yang menyebabkan fondasi ini runtuh.
KRRKK!
Suara kresek kresek terdengar dari chip ini. Aku
melihat dan menekan chipku yang ada di pergelangan
tanganku. Aku melihat muka seseorang dengan kacamata di
atas kepalanya. Dia adalah laki-laki berama Murr.
“Ika, sekarang kau lagi dimana?” kata dia dengan
nada serak.
Aku melihat sekitar sebelum menjawab. “Entah,
semua tempat ini menjadi kacau. Aku tidak bisa
menggambarkan aku berada dimana.”
“Aah …,” desah dia dengan nada kesal. “Hati-hati
saja. Dinosaurus di sini mulai menggila, terutama pada raja
disini. Si hybrid. Dia sangat besar dan masih tertidur.”
“Baik.”
Aku langsung menutup saluran yang ada di chipku.
Aku berjalan kembali ke mayat gigantosaurus tadi. Aku
melihat bekas robekan di tubuhnya yang aku lakukan tadi.
Aku mengambil tulangnya yang terbuat dari metal. Aku bawa
tulang tersebut untuk menjadi senjataku. Bisa dibilang aku
seperti membawa pedang besar seperti di dalam sebuah game
rpg. Aku merasa tulang ini bisa untuk memotong para
dinosaurs yang masih tersisa dan juga cocok untuk menebas
yang tipe terbang. Aku terus berjalan lurus melewati rumput-
rumput buatan yang sangat tinggi. Seperti di savana saja.
Beberapa menit aku berjalan, akhirnya aku menemukan
sebuah asap dari kejauhan. Kurasa tidak terlalu jauh. Aku
pergi ke arah asap tersebut, tetapi dengan merendahkan
badanku. Aku merasa asap itu juga mengundang makhluk-
makhluk lain. Aku bersembunyi di bawah rumput ketika
mendengar suara auman hewan yang keras. Aku tidak tahu itu
hewan apa, tetapi aku percaya itu bukan hewan buatan yang
terbuat dari metal. Aku percaya itu sebuah hybrid.
Aku sebentar lagi sampai di tempat asap tersebut.
Sebelum aku keluar dari rumput untuk ke tempat asap
tersebut, aku melihat empat orang dengan baju yang beragam.
Aku memperhatikan lagi bajunya sampai akhirnya aku sadar.
Mereka adalah Xan, Berta, dan Yaer. Xan mengenakan
pakaian tentara dengan rompi pelindung serta amunisi di
celana kanan dan kirinya. Xan juga tidak memiliki salah satu
telinga. Berta mengenakan jaket kulit hitam dengan baju
berwarna putih di dalamnya. Yaer mengenakan pakaian
seperti rumput. Sepertinya untuk mengendap-ngendap.
Sebelum aku keluar dari tempatku berdiam, aku memikirkan
beberapa rencana.
Pertama aku ingin menebak mengapa mereka
membiarkan asap dari api unggun tersbeut meninggi hingga
langit-langit. Kedua aku ingin tahu mengapa mereka bisa
berkumpul dengan badan yang utuh. Ketiga mengapa mereka
tidak terhubung di chip ini? Sungguh aneh.
Beberapa menit aku berpikir, aku merasa ada sesuatu
yang mengincarku. Aku meliaht ke atas, pojok kanan atas,
kanan, kiri, dan pojok kanan kiri. Aku tidak melihat apa-apa.
Sampai akhirnya aku melihat cahaya yang bersinar dari atas.
Aku melihat cahaya tersebut jatuh tepat di tengah-tengah
tempat tersebut. Aku tahu itu akan meledak, jadi aku langsung
berlari ke arah mereka berempat dan merangkul mereka untuk
melindungi mereka dari ledakan tersebut. Badanku sudah
berubah menjadi metal karena aku masih memegang tulang
metal dari bangkai gigantosaurus tadi. Ledakan tersbut sangat
beasr. Kami terpental sangat jauh. Sangat, sangat jauh. Aku
bahkan bisa bilang kami terpental hingga keluar dari tempat
ini. Setidaknya mereka tidak terkena panas dari ledakan ini.
Setidaknya panas yang mengalir ke tubuhku hanya
menghanguskan sebagian kecil dari pakaian mereka.
“Ugh …, apa yang terjadi?” kata Xan sambil
kesakitan akibat terpental jauh.
“Aw …, entahlah. Sepertinya tulangku patah,” kata
Yaer sambil memegang daerah rusuknya.
“Kau tidak apa-apa Ika?” tanya Berta sambil
memegang pundakku. “Aw, panas.”
“Jangan pegang aku,” kataku sambil berdiri.
“Badanku masih panas akibat ledakan tersebut.”
Xan bediri. “Aku sudah memperhatikan tempat ini
sangat lama, tetapi sepertinya tidak ada anggota terroris.
Hanya dinosaurus liar yang ada. Apakah ini rencana mereka?”
“Jika rencana mereka untuk membebaskan dinosarus.
Berarti …,” kata Yaer.
“Ledakan tadi ingin membangunkan sesutau,” kataku.
“Maksudmu? Ada sesuatu yang lebih besar dari
dinosarus-dinosaurus liar?” tanya Xan dengan wajah heran
sekaligus terkejut.
“Murr, mengatakan padaku sebelumnya bahwa kita
harus berhati-hati pada si hybrid. Dia tidak menjelaskan
padaku secara detail bahwa dia sangat besar.”
“hybrid?,” tanya Berta dengan heran.
Tak lama kemudian tanah mulai berguncang. Retakan
mulai muncul dari dekat tempat tersebut. Retakan tersebut
menyebar hingga ke arah kami dimana berpijak. Suara seperti
bumi yang runtuh mulai terdengar. Sesuatu yang sangat besar
yang ditutupi oleh bebatuan dan debu yang tebal mulai
muncul dari dalam tanah. Besar makhluk tersebut sangat besar
dan tinggi. Bisa dibilang setinggi dimana helikopter bisa
terbang.
“Demi apapun itu, kita harus lari secepat mungkin,”
kata Berta sambil lari gemetaran ke belakang.
Sayangnya debu-debu dan batu dari hewan tersebut
muncul mulai terhempas kepada kami. Layaknya hewan
tersebut memilki sayap. Alhasil kami semua terlempar lagi.
Hewan tersebut mengepakan sayapnya karena suaranya sangat
kencang. Hewan tersebut terbang. Besarnya memang tidak
main-main. Dua kali lebih besar dari Kebun Binatang Raurus.
Dia terbang begitu saja ke arah …, bentar aku lihat dulu. Arah
barat. Arah barat berarti …, Oh tidak, itu adalah patung
Ishington. Makhluk berparuh burung undan dengan gigi
anglerfish. Selain itu di punggungnya terdapat sirip seperti
spinosaurus. Ekornya merupakan ekor merak. Sayap yang
membuatnya terbang merupakan sayap dinosaurus pada
jamab purbakala. Kakinya merupakan ekor ular. Di kepalanya
terdapat tanduk rusa yang bercabang seperti rantik. Selain itu
yang membuatnya menyeramkan adalah di daerah dada dekat
sayapnya terdapat sabit belalang sembah. Hal yang paling
lebih membuat makhluk ini menjadi kengerian yang paling
ngeri yang pernah ada adalah di daerah lehernya terdapat
tentakel gurita yang menglilingi. Tubuh dia diselimuti oleh
sisik tempurung kura-kura. Mulai dari paruh hingga ekor
meraknya berwarna hitam. Ekor meraknya yang bercorak
seperti mata memancarkan kegelapan yang menelan matahari.
Aku menyebut hewan tersbut sebagai Mavri Omorfia.
Seseorang mencolek bahuku dari belakang. “Aku
Murr, lebih baik kita hubungi pusat.”
“Bagaimana kau selamat dari ledakan itu?” tanyaku
dengan keheranan, terkejut, dan sekaligus senang sementara
tanganku bolak-balik menunjuk kebun binatang dan dia.
“Aku tidak pernah bilang berada di dalam kebun
binatang itu. Ah lupakan, yang terpenting kita harus hubungi
pusat. Mencari menara untuk menyambungkan sinyal,” kata
dia dengan nada terburu-buru, sementara yang lain melihat
monster tersebut terbang entah kemana.
Berta melihat Murr yang sedang membungkukkan
badan dan kedua tangannya menyentuh tanah. “Apa yang kau
lakukan?”
“Melacak monster itu terbang ke arah mana. Tadi
kalian merasakanya kan? Getaran yang disebabkan oleh
hempasan sayapnya?”
Yaer melihat sekitar daritadi kita mengobrol sampai
akhirnya dia membuka suara. “Aku merasakan sesuatu dari
belakang kita.”
Aku menoleh kebelakang. “Tidak ada apa-apa.”
“Maksudku jauh. Sangat-sangat jauh,” kata dia
dengan nada dingin dan mata yang tajam menatap
belakangku.
Aku berheni sejenak. “Baiklah, jadi apa yang kamu
rasakan?”
“Sinyal elektronik dari sebuah alat dan plasma dari
sebuah senjata,” kata dia sambil menunjuk chip di tangannya
untuk memberikan sebuah gambaran apa yang dia bicarakan.
“Kurasa itu tempat yang paling bagus. Bisa saja
sebuah menara.”
Yaer membalikan badannya ke arah mereka bertiga.
“Aku menemukan tujuan kita,” kata dia sambil berteriak
kepada mereka.
Xan melihat ke arah Yaer. “Menara untuk
menyambungka sinyal?”
“Sepertnya.”
“Kerja bagus. Kita sangat terdesak. Kita harus
mencari apa yang kita temukan,” dia berhenti sejenak.
“PASUKAN!!! Ikuti Yaer.”
“Sebelum itu, aku ingin memberitahu bahwa tujuan
monster tadi adalah Jembatan Barton,” kata dia sebelum kami
berangkat.
“Itu tempat yang sangat jauh dari sini. Ayo kita harus
cepat-cepat ke sana.”
“Siap.”
Sementara itu.
“Cek, cek. Kurasa masuk. Perbukitan Rioscar sudah
menjadi debu dalam waktu semalam. Tidak ada yang tahu apa
yang terjadi dan-,” tiba-tiba seseoran mematikan siaran TV
tersebut.
“Babi-babi rakus kotor itu telah dibasmi. Mari
menuju mangsa selanjutnya. Apa ya kira-kira?” kata orang ini
sambil memegang sebuah lembaran bergambar bangunan dan
lapangan militer. “Singa yang angkuh. Kurasa ini target dia
selanjutnya.”
10
Selamat Tinggal
Kami semua berjalan ke tempat dimana Yaer
keberadaan sinyal yang dia lacak tadi. Dia awalnya tidak
yakin apakah tempat tersebut jauh sekali atau hanya sekedar
jauh, tetapi dari wajahnya yang lebih tenang dari yang tadi,
mungkin tidak sejauh yang kita kira. Xan memimpin jalan ini
karena dia pada dasarnya memang ketua di pasukan ini. Lalu
ada Yaer di tengah sebagai navigasi. Di sebelah kanan dan
kiri ada aku dan Murr. Dan yang terkahir ada Berta yang
menjaga bagian belakang. Kami berjalan ke tempat tersebut
sekalian melihat-lihat jika ada kendaraan. Urusan bekerjan
atau tidaknya kendaraan tersebut itu urusan nanti karena kami
juga dikejar-kejar waktu. Kami harus cepat-cepat
menyampaikan ke pusat. Aku masih kepikiran tentang bom
tadi. Siapa yang menjatuhkan bom itu ya? Bom tersebut
membuat ledakan yang sangat besar hingga semua tempat
yang disekitarnya hancur. Tidak heran semua sinyal di tempat
ini mati.
“Apa kah sudah dekat?” tanyaku kepada Yaer.
“Gelombangnya semakin besar, tetapi aku tidak yakin
ini masih dekat.”
“Baiklah.”
Tiba-tiba Murr berhenti. “Aku merasakan getaran,”
kata dia yang membuat kami semua berhenti.
“Monster?” tanya Berta.
“Bukan. Lebih seperti bangunan yang runtuh,” jelas
Murr.
“Tidak ada salahnya berkunjung ke tempat itu bukan?
Siapa tahu ada kendaraan,” kataku.
“Ini seperti bertaruh pada waktu. Jika tidak ada
kendaraan yang bisa digunakan maka waktu kita akan
terbuag,” pendapat dari Xan.
“Haruskah berpencar?” tanya Berta.
“Tidak usah, kita lupakan saja tempat itu,” kata Yaer
dengan muka yang meyakinkan.
“Apa kau yakin?” tanya Murr.
“Yah, kurasa tidak akan jauh.”
Kami semua saling bertatapan satu sama lain secara
bergantian. “Baiklah, mari kita abaikan tempat itu,” kata Xan
sebagai pemimpin pasukan ini.
Kami semua kembali ke posisi masing-masing dan
lanjut berjalan ke arah dimana sinyal yang dilacak Yaer
tersebut berada dengan mengabaikan tempat yang Murr
rasakan getarannya tadi. Kami berjalan, berjalan, dan berjalan.
Berta yang sudah kelelahan, Yaer saking sibuknya melacak
sinyal tersebut hingga tidak terlihat kelelahan, Xan yang
terlihat kelelahan, tetapi mencoba tidak terlihat karena dia
adalah pemimpin, dan Murr yang dari tadi melihat ke segala
arah tanpa lelah. Aku? Tentu saja tidak kelelahan, aku bisa
menyatukan badanku dengan pasir yang ada dibawahku, jadi
aku lebih tepatnya berselancar daripada berjalan. Tapi tempat
ini memang panas. Tidak ada satupun dari kami yang tidak
berkeringat.
“Sinyalnya mati,” kata Yaer yang mengejutkan semua
orang.
“Sial,” umpat Berta.
“Bukan itu maksudku. Kita sudah sampai tempat
tersebut.”
Aku memiringkan kepalaku karena keheranan. “Aku
tidak melihat menara di sekitar sini.”
“Lagian menara itu cuman asumsimu bukan?
Setidaknya kita sudah sampai. Sepertinya tempat ini …,”
Yaer langsung menutup mulutnya dengan lengannya serta
matanya disipitkan seperti dia merasakan ada sesuatu yang
janggal.
“Ada apa?” tanya Xan.
“Apa kalian tidak mencium bau busuk?” tanya Yaer
dengan suaranya yang terendam oleh lengannya.
“Bau?” tanyaku.
Murr langsung mengeluarkan revolver bertenaga
plasma dari balik rompi bagian kanannya. Dia langsung
mengokang revolver tersebut dan menembakkannya ke arah
bawah tanah dibelakang Berta. Berta yang kaget akibat Murr
yang tiba-tiba menembak langsung melihat ke arah dimana
Murr menembakkannya. Bukannya Berta, tetapi kami juga
langsung melihat ke arah tersebut. Bercak darah langsung
melukis pasir-pasir tersebut dengan warna merah.
“Sepertinya kita terperangkap,” kata Murr dengan
senjatanya yang sudah siap diarahkan dan ditembakkan.
“Apakah makhluk tadi sudah ada di sekitar kita?”
tanya Berta dengan suara yang gemetaran.
“Ya. Mereka ada di bawah kita.”
“Apa …, apaa …, kita tidak bisa kabur …, AAAGH!”
teriak panik dan histeris Berta membuatku ingin memukul dia.
Murr langsung menembak diantara kaki Berta.
“Tenang dan hidup atau takut dan mati. Kau pilih yang
mana?” ancam Murr sambil menodongkan revolvernya.
Tiba-tiba sesuatu seperti manusia muncul dari dalam
tanah. Mereka membawa senjata biasa yang tidak bertenaga
plasma. Untung saja. Senjata plasma adalah kelemahanku
karena tidak peduli aku merubah badanku menjadi metal,
kristal, atau bahan keras lainnya, plasma pasti menembus
tubuhku. Kami tidak bisa melihat mereka karena pasir-pasir
menutup mereka. Murr langsung berbalik badan dan
menembak makhluk tersebut tanpa keraguan. Mereka juga
mulai menembak ke arah kami. Posisi mereka melingkari
kami seperti kami yang terjebak. Aku melindungi Yaer dari
serbuan peluru yang ditembakkan dari kanan kami. Aku
melindunginya dengan badanku yang sudah berubah menjadi
metal. Semua peluru mulai terpantul. Yaer yang tahu ini
kesempatan dia untuk menyerang balik. Dia mengambil bom
dari saku kanannya. Bom tersebut meledak dengan ledakkan
yang tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk melubangkan
tanah di tempat makhluk itu berdiri.
“Kukira kau akan menggunakan senjata api,” kataku
dengan mengacungkan jempol.
“Ekstrim bukan?” balas dia dengan posisi jongkok
dan memegang bom berbentuk lingkaran di yang cukup di
sela-sela jarinya.
“Bagaiman dengan yang lain?” tanyaku.
Dia melihat ke arah mereka secara bergantian. “Xan
dan Murr sepertinya baik-baik saja, tetapi dimana Berta?”
“AAARGGHHH!!!,” tiba-tiba terdengar teriakan
yang kurasa itu Berta.
“Itu sepertinya Berta,” kata Yaer sambil kami belari
ke arah posisi Berta sebelum dia menghilang.
Kami meliha berta memukul makhluk tersebut dengan
gagang senapannya. Dia terus memukulnya sambil berteriak.
Yaer yang langsung menarik tubuh dia dengan memegang
kedua lengannya.
“Cukup-cukup, jangan berlebihan,” kata Yaer sambil
menarik Berta.
Xan berjalan ke arah mayat makhluk tersebut. Dia
berjongkok dan mengamati makhluk terebut dari kepala
hingga kaki. “Aneh sekali. Badan dia seperti mayat,” kata dia
sambil memegang kepalanya yang hampir hancur. “Aku
mencoba melacak siapa ini melalui memorinya, tetapi aku
tidak bisa. Mungkin karena dia sudah mati.”
“Pengendali mayat ya? Aku baru melihat ada
kekuatan seperti ini,” kataku sambil mengambil tulang
makhluk tersebut.
Murr meliriku dengan heran. “Buat apa tulang itu?”
“Koleksi pribadi.”
“Kacau sekali,” balas dia dengan menggelengkan
kepalanya.
Xan berjalan ke arah Berta yang sedang meringkuk
ketakutan lalu berdiri di hadapan dia. “Bangun!” suruh dia
dengan nada yang sedikit dingin.
Berta langsung berdiri. Mukanya melihat ke bawah
seperti dia kecewa dengan dirinya sendiri.
“Liat wajahku!”
Berta tetap melihat ke bawah.
“BERTA!!!” teriak Xan yang membuat kami semua
langsung melihat ke arah mereka.
Berta langsung melihat ke arah Xan dengan wajah
ketakutan. Kemudian Xan langsung memegang mukanya
dengan kedua tangannya. Mukanya di dekatkan. Mata mereka
saling bertatapn. Mata yang penuh dengan ketakutan bertemu
dengan mata yang penuh dengan wibawa.
“Mengerti,” Xan tidak berkata sepatah katapun
bahkan mulutnya saja tertutup dari tadi, tetapi entah mengapa
dia mengerti.
“Mari kita lanjutkan pencarian sinyal ini,” kata Yaer
sambil memegang bom berbentuk lingkaran di sela-sela
jarinya.
“Tapi, dimana sinyal tersebut? Tadi kata kau
tempatnya berada di bawah tanah, bukan?” tanya Murr.
“Biarkan aku menggali tempat di mana kita
menemukan sinyal tadi.”
Kami kembali berjalan di tempat sinyal tersebut
berada. Berdasarkan Yaer tentunya.
“Mari menjauh,” kata Yaer kepada kami.
Kami semua mulai menjauh. Yaer mulai melempar
empat bom yang berbentuk lingkaran tersebut ke tempat
dimana sinyal tersebut berada. Bom tersebut meledak dan
menghasilkan asap berwarna ungu dengan listrik-listrik
berwarna ungu di sekelilingnya. Tak lama kemudian asap pun
menghilang. Kami bisa melihat tempat tersebut berlubang.
Kami mulai berjalan untuk melihat apa yang ada di dalam
lubang tersebut. Kami meliaht tumpukan-tumpukan mayat di
dalam lubang tersebut. Mayat-mayat tersebut mengapung di
atas lautan air yang berwarna merah kehitaman.
“Disinikah mereka berdiam?” tanyaku sambil
menunjuk lubang tersebut. “Dan bagaimana mereka memanjat
keluar permukaan?”
“Kau lihat itu,” kata Murr sambil menunjuk ke arah
bawah yang tepat berada di bawahku.
Aku langsung memasukan kepala ke lubang tersebut
dan meliaht ke arah dimana Murr menujuk. Aku melihat ada
lekukan-lekukan yang mungkin dijadikan mayat-mayat
tersebut untuk memanjat. “Ah aku mengerti.”
“Haruskah kita loncat ke dalam lubang ini?” tanya
Berta yang terlihat lebih tenang daripada tadi.
“Ada yang mau duluan?” tanyaku.
Yaer melihat ke arahku lalu beberapa detik kemudian
dia melihat ke dalam lubang tersebut. “Haruskah aku
melempar bom lagi?” sambil memegang bomnya.
“Jangan, kau bisa merusak sinyal tersebut,” kata
Murr.
SETTT!
Suara tembakan senjata plasma terdengar. Peluru
plasma tersebut mengarah ke Xan, tetapi dia mengangkat
kepalanya sehingga peluru tersebut tidak mengenai kepalanya.
“Semuanya mundur!” perintah Xan.
Kami semua langsung mundur.
“Aghh …, sepertinya ini sangat sulit dari yang kita
bayangkan,” keluhku dengan kesal. “Jadi ada yang punya
ide?”
“Apa kau bisa memanipulasi sinyal tersebut supaya
bisa digunakan untuk menyambungkan ke markas pusat?”
tanya Xan.
“Bisa saja asalkan sinyal tersebut kuat. Aku bisa
menggabungkan sinyal apapun. Mau itu dari senjata atau alat
komunikasi,” jelas Yaer.
“Baiklah,” balas Xan.
“Baiklah?” tanyaku.
Dia langsung berlari ke arah lubang tersebut lalu
melompat masuk. Aku melihat dia dengan kebingungan dan
kaget. Apakah dia akan selamat, pikirku. Kemudian, aku
sadar bahwa dia meningglakan sesuatu di tempat dimana dia
berdiri tadi. Dia meninggalkan sebuah bayangan transparan
berwarna biru. Aku melihat berta menyentuh bayangan
tersebut, tetapi tangan berta hanya menembusnya.
“Dia gila?” tanya Berta sambil menunjuk bayangan
tersebut.
Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari
dalam lubang tersebut. Kami langsung berlari ke lubang
tersebut. Kami melihat dia sendiri melawan para yang ada di
dalam lubang ini. Dia membawa pedang yang dialiri listrik
pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawa
shotgun dengan tiga lubang. Tiga lubang? Aku yakin itu
senjata buatan dia sendiri. Di sekeliling dia terdapat bayangan
transparan seperti di tempat pertama aku lihat tadi. Dia
menghindari semua peluru tersebut dengan memundahkan
tubuhnya ke bayangan-bayangan tersebut. Dia sama sekali
tidak menginjak lautan berwarna merah kehitaman tersebut.
Dia benar-benar sangat berhati-hati. Tembakan dan tebasan
dia benar-benar tepat mengenai jantung dan otak mereka.
“Dia …, hebat juga,” puji Murr.
“Dia ketua pasukan ini, jadi wajar saja dia hebat,”
balas Yaer.
“Sepertinya dia sudah selesai,” kata Berta sambil
menunjuk ke arah Xan.
Xan berdiri di bawah lubang tersebut. “Bisa kau
beritahu dimana sinyal tersebut berada?” tanya dia sambil
berteriak. Suara dia bergema di dalam lubang tersebut.
“Tepat di bawahmu. Kurasa ada di saku-saku pakaian
mayat itu,” teriak dia juga yang menggema di dalam lubang
tersebut.
Xan langsung beranjak dari mayat yang dia injak tadi.
Dia kemudian berjongkok untuk merogoh mayat-mayat
tersebut. Beberapa menit kemudian, dia berhasil
menemukannya.
:”Ini?” tanya dia sambil mengangkat untuk
menunjukkan kepada kami sebuah alat kotak seperti GPS
yang masih berfungsi dengan sangat baik.
“Yah itu,” balas Yaer.
“Apakah masih ada?” tanya Xan lagi.
“Kurasa ada di sana,” kata Yaer sambil menunjuk ke
arah belakang Xan.
Sementara mereka berkomunikasi, aku melihat Murr
dari tadi melihat Berta. Karena aku penasaran mengapa dia
melihat Berta daritadi, aku langsung melihat ke arah Berta.
Berta ternyata sedang memperhatikan Yaer. Entah mengapa
perhatian dia sangat mencurigakan. Aku melihat tangna kiri
dia memegang bagian kaki kirinya. Aku inign melihat apa
yang ada di kaki kiri dia, tetapi tidak bisa karena aku berada
di kanannya. Aku langsung menarik pisauku dari kaki
kananku, tetapi setengah saja supaya dia tidak curiga. Aku
dan Murr jadi memperhatikan Berta.
“Senjata ini?” tanya Xan lagi kepada Yaer.
“Yah itu, aku merasakannya. Kau bisa melempar GPS
itu terlebih dahulu. Nanti aku tangkap.”
Xan langsung melempar GPS tersebut ke arah Yaer.
Yaer langsung menangkapnya dengan tangan kanan.
“Tangkapan yang bagus,” puji Xan.
Kemudian Xan mengambil senjata tersebut yang dia
pegang di tangan kirinya. Dia mencoba melempar senjata
tersebut dengan kedua tangannya.
CETAK!
Jentikan jari terdengar dari tangan kiri Berta
bersamaan dengan meledaknya senjata plasma yang dipegang
oleh Xan. Senjata tersbut membuat kedua tangan Xan menjadi
hancur lebur. Aku langsung memegang tangan kirinya
menggunakan tangan kiriku. Tangan kiriku berada di
belakang punggung dia. Aku menarik tangan kiri dia dan
menekuknya kebelakang. Aku langsung memotong jari
ibunya dengan pisau yang aku keluarkan dari saku kananku.
“APA YANG KAU LAKUKAN?” teriaku kepada
Berta yang berkhianat sambil menjatuhkan badannya dengan
menimpa punggungnya dengan lututku.
“HAHAHAHAHA! Senjata itu sudah hancur, kalian
tidak akan bisa memberitahukan markas pusat,” kata dia
dengan suara yang sudah tidak waras.
Xan langsung kembali ke bayangan yang dia buat di
tempat awal tadi. Dia berjalan ke arah Berta yang sudah aku
lumpuhkan.
“Apa lihat-lihat? Ingin membunuhku? Silahkan,” kata
dia sambil sambil meludahi Xan.
“Kekuatan untuk meledakkan plasma ya? Menarik,”
kata dia dengan kedua tangannya yang tumbuh kembali.
Tangan tersebut terlihat sangat jelas proses regenerasinya.
Pertama-tama tualangnya mulai tumbuh, lalu serat-serat
ototnya, ototnya, dan terakhir kulitnya.
“Kau …, bukan manusia,” kata Berta dengan terkejut
serta ketakutan.
“Karena kau pengkhianat, berarti kau memiliki alat
komunikasi tersembunyi,” kata dia sambil meletakkan
mukanya sangat-sangat dekat dihadapn Berta. “Beritahu aku
dimana!”
“Hah?”
Aku melihat tangan kanannya ingin menjetikkan jari.
Aku yang sadar langsung memotong jari-jari dia.
“AAAGHH! Apa yang kau lakukan?” tanya dia
dengan teriak kesakitan.
“Entahlah, aku merasakan kau ingin melakukan
bunuh diri. Mungkin di dalam lehermu atau jantungmu
terdapat teknologi plasma yang bisa diledakkna,” jawabku
dengan polos.
“SIALAN! MENGAPA KALIAN SEMUA
MENGACAUKANNYA? KALIAN BEKERJA PADA
SEKELOMPOK ORANG YANG ….”
Perkataan dia dipotong oleh Yaer yang tiba-tiba
menutupnya dengan sebuah bom berbentuk lingkaran. Yaer
meletakkan telunjuknya pertanda diam. “Diam atau
kuledakan?”
Xan tidak segan-segan menusukkan tangannya ke
arah kepala Berta. Tangan dia menembus kepala dia. Dia
terlihat ingin mengambil otak Berta dengan tangan
kosongnya. Yaer dan aku terkejut.
“Tenang saja, aku hanya mengincar ini. Terimakasih
sudah menceegah dia meledakkan otaknya,” kata dia dan
langsung memakan otak tersebut bulat-bulat.
“Sama-sama kurasa,” jawabku dengan heran karena
aku tidak tahu apa yang terjadi. Semua terjadi begitu cepat,
seolah-olah aku berada di sebuah roller coaster yang
menanjak lalu menurun, kemudian menanjak lagi dan tidak
kembali.
“Alat komunikasinya ada sepatunya,” kata Xan.
Yaer langsung melepas kedua sepatu Berta dari kedua
kakinya. Dia mencoba mendekatkan GPS yang dia dapat dari
Xan dengan sepatu tersebut. “Oh ya, kau benar. Mengapa aku
tidak bisa merasakan sinyalnya ya?”
“Asumsiku adalah dia menutupi sinyalnya dengan
sebuah plasma. Ketika otak dia sudah tidak bekerja berarti
kekuatan dia sudah tidak bekerja,” jelas Murr secara tiba-tiba.
“Oh ya, mengapa kau bisa tahu alat komunikasi dia
adalah sepatunya?” tanyaku.
“Aku tidak bilang adalah sepatunya. Aku hanya
bilang itu berada di sepatunya. Itulah kekuatanku. Kau
tahukan, seseorang bisa memiliki lebih dari satu kekuatan.”
Kata Xan.
“Aku baru tahu. Apa ada orang yang memiliki
kekuatan lebih dari satu lagi?” tanyaku sementara Yaer
sedang sibuk menyambungkan kedua sinyal itu.
“Aquila.”
“Si orang yang selalu membawa sniper?”
“Aku sempat melawan dia ketika peperangan di
timur. Aku bertemu dia dua kali. Aku rasa dia lebih hebat
dariku. Bahkan lebih hebat dari kalian semua. Dia
mengalahkanku dua kali,” kata dia sambil memegang telinga
kanannya yang sudah tidak ada.
“Apa kau tidak menumbuhkan kembali telingamu?
“Itulah salah satu kekuatan dia.”
“Waw.”
Tiba-tiba chip di pergelangan kita mulai tersambung.
Chip tersebut mulai menyala dengan cahaya berwarna biru
muda. Xan langsung menyambungkan saluran ke pusat.
“Xan, Xan, Xan,” panggilan sesorang pada chip Xan.
“Xan di sin.”
“Apa kau tahu tentang monster hitam yang terbang
ini?”
“Oh ya, dia mengarah ke Jembatan Barton. Beritahu
mereka yang bertugas di sana sebelum monster tersebut
sampai ke sana.”
“Hmm …,”
“Ada apa?”
“Masalahnya adalah tempat yang dia lalui menjadi
hancur lebur.”
“Tolong ulangi!”
“SEMUA KOTA YANG MONSTER INI LALUI
MENJADI HANCUR LEBUR. KAMI TIDAK TAHU
BERAPA KORBAN YANG MENINGGAL,” teriaknya.
“Tolong kirimkan transportasi udara ke koordinat
kami. Sekarang juga!”
“SIAP LAKSANAKAN!”
“Jadi, negara ini sudah kacau?” tanya Yaer.
Tiba-tiba chip Xan menyala lagi.
“Pemberitahuan darurat dari laporan para pasukan
yang bertugas di tempat lain dan berita dari reporter.
Perbukitan Rioscar sudah rata menjadi debu dalam waktu
semalam dan ada sebuah bola raksasa yang mengambang di
tengah-tengah negara ini,” chip tersebut langsung mati setelah
memberitahukan berita tersebut.
“Aku rasa manusia akan punah. Haha,” tawa Xan
yang penuh kekecewaan dan kesedihan yang tersembunyi.
Aku hanya berdoa semoga Teresa baik-baik saja. Aku
dengar dia bertugas bersama Aquila yang Xan anggap lebih
kuat dari kita. Aku yakin Teresa selamat. Aku, sangat, yakin.

11
Untuk Apa Kita Datang?
“Ikuti aba-abaku!” perintah Wancas.
Dia melihat dari dalam sela-sela pintu belakang mobil
yang berisikan para pasukan termasuk aku. Dia mengangkat
jari telunjuk kanannya ke atas. Satu detik, dua detik, tiga
detik, empat detik, lima detik, dan enam detik. Dia langsung
mengayunkan jarinya ke depan pertanda kita semua harus
membuka pintu tersebut dengan cepat dan maju. Seseorang
membukan pintu tersebut dengan cepat, kemudian disusul
oleh kami maju berlari keluar dengan masing-masing senjata
di tangan. Sesuatu yang mengejutkan telah terjadi di depan
kami. Semua teroris ini sudah mati terbaring. Para pasukan
mulai mendekati mayat-mayat tersebut dengan hati-hati. Aku
mendekati salah satu mayat dengan kepalanya yang sudah
terpotong seperempat. Aku membalikkan badannya dengan
kaki kananku. Dari jantung hingga hatinya terdapat sebuah
luka robek yang sangat-sangat lebar.
“Ughh. Apakah ada pihak lain yang ikut campur?”
kataku pada diriku sendiri yang tak lama kemudian melihat
Korno berdiri terdiam di tempat dia keluar dari mobil tadi.
“Korno?” aku mulai berjalan ke arah dia dengan cepat. Aku
menepuk pundaknya. “Korno, kau tidak apa-apa?”
Tatapan dia yang melotot seperti baru pertama kali di
medan perang seketika berubah menjadi tenang dengan cepat.
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit terkejut.”
“Aku juga sama. Menurutmu siapa yang melakukan
ini?” tanyaku pada dia. Dia tidak menjawab setelah itu.
“Korno?” aku mencoba menyentuh pipinya dengan tangan
kananku. “Korno?”
“Ah maaf, pikiranku kemana-mana. Ayo kita lanjut,”
kata dia sambil berjalan cepat ke depan.
“Baiklah.”
Aku mempercepat langkah jalanku untuk menyamai
kecepatan Korno. Aku dan Korno memutuskan untuk
langsung menuju Patung Ishington. Patung ini berwarna abu-
abu dengan bentuk seseorang yang tentunya dia itu bernama
Ishington. Patung tersebut memiliki warna selain abu-abu
hanya pada bunga yang dia kenakan. Dia memegang buket
bunga lili berwarna oranye yang dia pegang setinggi
pinggangnya. Tangan kirinya memegang buket bunga peoni
berwarna merah muda. Di sekeliling bawah patung tersebut
terdapat sekumpulan anak-anak yang memeluk kakinya
dengan raut yang bahagia. Anak-anak tersebut masing-masing
memegang satu bunga anyelir. Wajah patung Ishington ini
menghadap ke atas langit seperti mata kirinya, sedangkan
mata kanannya menatap anak-anak yang memeluk kaki dia.
Jujur saja patung ini sepertinya bermakna dalam sekaligus
menyeramkan. Ngomong-ngomong aku juga tidak tahu siapa
Ishington.
Kami terus melanjutkan penyelidikan. Beberapa
menit kita melakukan penyelidikan yang pada akhirnya tidak
menemukan sebuah petunjuk akan kematian para teroris ini.
Aku melihat semua pasukan. Mereka semua terlihat
keheranan, bahkan akupun ikut keheranan. Apakah ada pihak
militer lain? Apakah ada teroris lain? Apapun bisa menjadi
kemungkinan ini terjadi. Kami semua akhirnya berkumpul di
depan Patung Ishington.
“Perhatian semua! Perhatian!” teriak pemimpin kami
yang bernama Wancas. Kami semua berkumpul setelah
mendengar perintah dia. “Kejadian ini memang aneh. Apakah
diantara kalian ada yang menemukan petunjuk?” kami semua
terdiam. “Ternyata tidak.”
“Kurasa kita lapor saja pada …,” perkataan salah satu
pasukan terpotong akibat getaran yang sangat kuat. “Apa itu
tadi?”
“Gempa?” tanya salah satu pasukan.
“Kurasa tidak. Masalahnya getaran ini terasa juga dari
udara,” jawabku. “Menurutmu apa ini, Korno?” tanyaku pada
Korno, tetapi tidak ada jawaban. Aku langsung melihat sekitar
dan Korno pun sudah hilang. Aku langsung bertanya pada
salah satu pasukan bernama Denver. “Apa kau melihat
Korno?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Tidak. Kukira daritadi dia bersamamu.”
“Tadinya.”
“Aneh.”
Tiba-tiba seseorang menutup mataku. “Tenang saja,
aku dari tadi keliling-keliling.”
Aku langsung berbalik badan dengan perasaan lega.
“Tolong, kalau mau pergi sendirian bilang padaku. Kau
membuatku khawatir.”
“Haha, maaf,” permintaan maaf dia sambil mencium
keningku.
BIP! BIP!
Chip semua pasukan berbunyi. Sepertinya ada berita
darurat.
“Pemberitahuan kepada pasukan yang bertugas di
Jembatan Barton dan Patung Ishington untuk langsung segera
pergi. Terdapat seekor monster besar yang terbang ke arah
kalian. Pemberitahuan sekali lagi kepada pasukan yang
bertugas di Jembatan Barton dan Patung Ishington untuk
langsung segera pergi. Terdapat seekor monster besar yang
terbang ke arah kalian.”
Kami semua saling menatap satu sama lain kerena
kebingungan.
“SEMUA PASUKAN MUNDUR!” perintah Wancas.
“LAKSANAKAN!” jawab semua pasukan dengan
kompak dan lantang.
Kami semua langsung kembali ke mobil untuk pergi
keluar jauh-jauh dari tempat ini. Seorang pasukan yang
menjadi supir mobil tersebut langsung menginjak gas lalu
maju ke markas pusat dengan kecepatan penuh.
BIP!
Bunyi chip itu terdengar lagi.
“Ada apa lagi?” tanya Wancas.
“Pemberitahuan darurat dari laporan para pasukan
yang bertugas di tempat lain dan berita dari reporter.
Perbukitan Rioscar sudah rata menjadi debu dalam waktu
semalam dan ada sebuah bola raksasa yang mengambang di
tengah-tengah negara ini.”
“Perbukitan Rioscar? Bukannya itu tempat
tersembunyi? Bagaimana para teroris bisa sampai tempat itu?”
tanya Wancas dengan kesal yang kemudian memukul tembok
mobil ini.
“Semalam? Berarti itu kemarin sebelum terjadinya
serangan teroris, kan?” tanyaku.
“Perbukitan itu mempunyai zona waktu sendiri.
Semalam berarti di sini itu sekarang …, tunggu dulu.
SEKARANG? TERORIS APA YANG BISA
MEMUSNAHKAN BUKIT ITU DALAM WAKTU
BEBERAPA JAM?”
“Selain itu ada sebuah bola raksasa yang
mengambang di tengah-tengah negara. Maksudnya apa?”
tanya Korno yang kebingungan juga.
“Aku juga tidak tahu, tetapi semoga saja itu tidak
meledak,” lelucon yang dikeluarkan salah satu pasukan.
Aku melihat sesuatu yang berwarna hitam sedang
terbang ke arah sini. “Teman-teman.”
“Ada apa?” tanya salah satu pasukan.
“Tadi katanya monster tersebut terbang, bukan?”
“Ya, memang kenapa?”
Aku menunjuk ke jendela mobil yang sangat kecil.
“Itu?”
Dia langsung naik ke atas tempat duduknya dan
mengintip dari jendela tersebut. “Kau benar,” dia langsung
menghadap ke semua pasukan. “MONSTER ITU SUDAH DI
SINI!”
Mereka semua langsung bersiaga. “Senjata siap,” kata
salah satu pasukan.
Kami sudah bersiap dengan senjata yang sudah
terkokkang di tangan kami, tetapi kami sudah menunggu
beberapa menit, monster tersebut tidak mengarah ke sini.
Monster itu malah berdiam di atas Jembatan Barton.
“Apa yang dilakukan monster itu?” tanya Korno.
Monster tersebut mengangkat wajahnya ke langit.
Membuka mulutnya seolah-olah memakan sedang menelan
matahari yang terbenam. Monster tersebut langsung berteriak.
Suaranya seperti kicauan gagak dicampur dengan auman
singan, dicampur dengan suara lumba-lumba, dan manusia.
Serius seperti manusia suaranya. Lebih tepatnya suara anak-
anak yang sedang menangis, tetapi jumlah mereka banyak.
“Agghh, sauranya membuat kepalaku ingin meledak,”
kata salah satu pasukan sambil menutup telinga.
Aku baru sadar akan sesuatu. “Tunggu dulu,
APAKAH ITU ANAK DIA?” tanyaku sambil menunjuk
monster tersebut.
Mereka semua langsung melihat ke arah monster
hitam bersayap tersebut dengan tatapan terkejut. Monster-
monster sekuruan elang bahkan lebih, terbang disekitar dia.
Monster-monster ini yang kuanggap anaknya, muncul dari
permukaan laut pantai yang dekat dengna Jembatan Barton.
Mereka terbang sangat ccepat menuju arah induknya.
“Apakah mereka ke sini?” tanya Korno.
“Kurasa tidak mungkin, kita sudah sangat jauh
untungnya,” kata supir yang mengemudi mobil ini.
Karena perkataannya aku langsung melihat ke jendela
sebrang untuk melihat sesuatu. Aku melihat masih ada laut
disekitar tempat ini yang menyatu dengan pantai dekat
Jembatan Barton tadi. “Kurasa kita tidak akan bisa kabur,”
kataku.
“Alasannya?” tanya Wacas.
“Di sana masih ada laut yang menyatu dengan pantai
tadi,” jelasku.
Tak lama kemudian anak-anak monster tersebut
keluar dari laut. Mereka seperti burung pelikan dengan
tentakel disekitar lehernya. Sayapnya seperti gagak kurasa.
Mereka terbang ke arah mobil kami.
“Sial. Buka semua lumbang untuk menembak!”
perintah Wacas.
“Tunggu, biar kuurus,” kataku sambil mengaktifkan
kekuatanku. Mobil yang kami tumpangi mulai masuk pada
dimensi buatanku. Aku melihat para monster itu kebingungan
mencari kami. Untung saja mobil ini cepat jadi aku tidak usah
khawatir jika kekuatanku sudah pada batasnya.
“Ini kekuatanmu?” tanya Denver dengan ekspresi
kagum.
“Ya, tetapi aku tidak bisa menggunakan terlalu lama.
Setidaknya kita sudah jauh dari jangkauan iblis-iblis terbang
itu.”
“Jangan lega dulu, kita harus tetap siaga,” kata Wacas
dengan tegas.
“Ya, ketua benar. Kita tidak tahu setajam apa indra
mereka,” kata Korno sambil menutup mulutnya dengan
tangan kirinya. Aku tidak tahu mengapa dia menutup
mulutnya, padahal mobil ini tidak berdebu.
Aku merasa aku sudah di ujung batas dalam
menggunakan kekuatanku. “Aku sudah pada batasnya. Akan
kumatikan kekuatanku,” kataku sambil mematikan
kekuatanku, lalu kelelahan.
“Kau baik-baik saja?” tanya Denver.
“Tidak, huff …, huff …, ini sudah sering terjadi,”
kataku sambil memandang Korno yang menatapku dengan
senyum.
“Tenang saja, dia sudah sering melakukan itu. Dia itu
seorang pro dalam bidang kelelahan,” kata Korno sambil
bercanda.
Kami merasa sudah aman jadi kami kembali ke
tempat duduk masing-masing. Sudah berjam-jam berlalu,
tetapi monster tersebut tidak mengejar kami. Kekuatanku
memang terlalu hebat. Aku melihat keluar jendela untuk
menikmati pemandangan yang sudah rusak ini. Aku
membandingkan kondisi dulu yang sudah hancur dan
sekarang yang semakin hancur. Dunia ini terus berperang
meskipun perang sudah selesai. Kenangan-kenangan dulu
terus teringat ketika aku masih menjadi seorang tentara
perdamaian dunia. Sungguh ironis bukan, aku yang dulunya
pasukan tentara perdamaian dunia malah sekarang menjadi
tentara bayaran. Ada cerita dibalik itu semua. Peperangan di
timur membuat banyak orang, mau itu tentara atau penduduk
biasa menjadi trauma. Salah satunya aku. Aku bukan trauma
karena aku hampir terbunuh. Aku malah senang dengan
suasana hampir terbunuh itu. Hal yang membuatku trauma
adalah sebuah pertanyaan moral yang masih aku tanyakan
sampai sekarang. Untuk siapa aku berperang? Siapa korban-
korban yang aku bunuh dengan kedua tangaku ini? Siapa yang
benar? Siapa yang salah? Apakah aku wajib dihukum? Apa
itu kedamaian? Hanya ada apa, siapa, apa, siapa, dan apa.
Semua itu terus menghantuiku. Anak-anak yang kubunuh
ketika perang, seorang ibu yang aku ledakan rumahnya,
seorang ayah yang kuculik, dan …, masih banyak lagi yang
tidak bisa aku ungkapkan melalui mulut dan pikiranku.
“Shelom?” tanya Wancas yang duduk di depanku.
“Iya, ketua?” balasku dengan pertanyaan.
“Kau …, menangis?”
Aku langsung memegang mataku. “Ah, ini …, hanya
teringat kenangan lama.”
“Perang di Timur memang membuat luka baru bagi
semua orang. Luka itu tidak akan pernah hilang. Perang yang
membuat beberapa negara musnah. Aku juga masih
memendam rasa penyesalan. Diriku yang naif dulu
mempercayai bahwa perang tersebut membawa kedamaian.
Sebuah Utopia yang pasti akan terbentuk, tetapi ketika semua
sudah selesai aku baru sadar bahwa itu semua hanya membuat
Dystopia. Meskipun itu tidak bisa aku bilang Dystopia karena
itu sudah tidak berbentuk apapun,” ceita dia yang begitu
kelam membuat hatiku menjadi makin sesak.
“Andai aku tidak membunuh pemilik panti asuhan itu.
Jika aku tetap membunuh dia, andai saja aku merawat dia,”
kataku sambil menahan kesedihan penuh sesal ini, sementara
yang lain tidur kecuali aku dan Wancas.
“Aku tidak memaksamu untuk bercerita, tetapi siapa
anak itu?” tanya Wancas yang penasaran akan perkataanku
tadi.
“Anak itu berasal dari panti asuhan yang bernama
Rawuh.”
“Tunggu, pemiliki panti asuhan itu sepertinya tidak
asing.”
“Ya, dia ketua pasukan perdamaian itu sendiri. Dia
meinggal di tangan anak buahnya sendiri. Dia meninggal
ketika dia melindungi panti asuhan tersebut. Dia pada
akhirnya gagal dan hanya satu orang yang selamat. Terakhir
kali aku melihat anak itu, dia menjadi tentara bayaran.”
“Maksudmu dia ada di sini atau di tempat lain?”
“Dia sedang bertguas di Qielli.”
“Qielli? Aku ingat beberapa nama mereka. Kukira
yang cocok dengan tempat itu adalah Morvus. Kulit warna
dan mukanya seperti orang-orang Nusantara yang memang itu
tempat panti asuhan itu berada.”
“Kau benar.”
“Sungguh mengejutkan, dia sangat muda. Jadi, kau
ingin meminta maaf kepada dia jika kalian bertemu?”
“Itulah tujuanku, tetapi aku selalu gemetar ketika di
dekat dia. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan ketika dia
melihatku atau melihat semua orang. Tatapan dia kosong.”
“Dampak peperangan terhadap anak kecil yang polos
sungguh tidak bisa kusangka.”
Aku hanya diam.
“Oh ya, kalau kau tidak menyelamatkannya, lalu
siapa yang menyelamatkan dia?”
Aku langsung melihat ke arah Wancas. “Yang
pastinya bukan seseorang yang melabelkan dirinya dengan
kata-kata perdamaian,” sindirku terhadap diriku sendiri sambil
tersenyum.
12
Mayat Hidup, Mayat Hidup, dan Tentu
Saja Mayat Hidup.
Jadi perbukitan Rioscaar berada dalam Patung
Ishington? Menarik. Informasi yang sangat-sangat berguna.
Akhirnya aku bisa menemukan babi-babi rakus itu.
Peperangan di Timur mungkin sudah selesai, tetapi mereka
harus hancur. Ini bukan deklarasi perang, tetapi penebusan.
Anggap aku sebagai malaikat yang datang untuk menyucikan
mereka. Mereka yang hanya menonton kehancuran negara-
negara Timur dibalik kemewahan mereka. Mereka yang
memulai, tetapi mereka tidak terluka dan tidak bertanggung
jawab. Aku sudah mempersiapkan semua. Mulai dari orang-
orang dari semua benua yang membenci mereka hingga
senjata rahasiaku. Makhluk Hitam yang terkurung di bawah
tanah Kebun Binatang Raurus serta bibit-bibitnya yang
tersebar di dalam perut ikan-ikan di laut. Aku tidak
merencanakan ini sendiri. Aku merencanakan ini dengan
orang yang paling berpengaruh. Dia dianggap sebagai
pahlawan karena berhasil memberhentikan peperangan di
Timur. Meskipun demikian dia mati di tangan mereka.
Nama dia adalah Ishington. Ya, dia yang diabadikan
menjadi patung tersebut. Cukup ironis sebenarnya. Mereka
yang membunuh Ishington malah tinggal di dalam Patung
tersebut. Ishington dikenal sebagai ilmuan dan pakar hewan.
Dia sangat menyayangi hewan dan anak-anak. Dia merupakan
manusia paling murni diantara manusia-manusia lain. Dia
tidak pernah memegang senjata, dia tidak pernah membunuh,
dan dia tidak pernah memiliki niat jahat sekalipun. Tetapi itu
dulu. Ketika berakhirnya peperangan di Timur, dia mulai
menciptakan malapetaka terbesar. Senjata biologis yang tidak
masuk akal. Plasma, senjata api, senjata tajam, tidak ada yang
mempan. Malapetaka tersebut adalah makhluk yang aku
sebutkan tadi yang disembunyikan oleh dia di bawah tanah
Kebun Binatang Raurus. Dia menyuruhku untuk
membangunkannya ketika waktunya sudah tiba. Bahkan
orang seperti dia yang dianggap orang yang sangat murni bisa
kehilangan keyakinan pada kemanusiaan. Dunia memang
sudah gila. Kurasa bukan aku dan dia saja yang hilang
keyakinan pada kemanusiaan. Pasukan-pasukan yang aku
rekrut dan mungkin rekan-rekan yang bergabung di dalam
organisasi ini juga ada yang seperti aku dan Ishington.
Aku mulai melakukan serangan sehari setelah aku
bergabung dalam organisasi tentara bayaran ini. Aku
merencanakan ini dibalik layar. Aku hanya melihat sejauh apa
mereka menyerang. Semua rencana itu terhambat karena
seseorang membunuh pasukanku. Aku tidak tahu siapa, tetapi
aku yakin mereka bukan orang yang normal. Mungkin mereka
dari organisasi tentara bayaran ini. Morvus? Kurasa bukan,
dia tidak terlihat sebagai orang penuh dendam. Teresa? Tidak
mungkin, dia orang yang menyelamatkan dan merawat salah
satu orang dari negara Timur yan sudah hancur. Aquila?
Kemungkinannya sangat besar. Aku tidak tahu dia datang
darimana dan dia itu apa. Kekasihku Shelom? Dia terlalu
murni untuk melakukan kejahatan, jadi tidak mungkin. Ika?
Dia adalah orang yang dirawat Teresa dan pikiran dia terlalu
sederhan untuk melakukan kejahatan yang terencana ini.
Abigail? Jika dia mau melakukan ini, mengapa harus dengan
pasukan? Dia juga takut akan kekuatannya sendiri. Grudge?
Dia yang paling misterius. Aku tidak bisa mengetahui asal dia
darimana karena suara dia terdistorsi oleh masker gasnya,
wajahnya tertutupi oleh masker gasnya juga, dan kulitnya
tertutupi oleh pakaian dia yang serba panjang. Hal yang aku
bisa lihat dari dia adalah bagian mata hingga jidatnya, itu juga
sudah tidak seperti kulit manusia. Kemungkinan terbesar
adalah Grudge dan Aquila.
Aku mendapat kabar bahwa sesuatu yang membunuh
pasukanku adalah mayat hidup yang dipersenjatai oleh senjata
api dan plasma. Mayat hidup ya? Hmm? Lawanku sepertinya
memiliki kekuatan untuk memanipulasi orang mati. Anggap
saja dia memiliki kekuatan ini sudah lama, berarti dia sudah
mengumpulkan mayat ini dengan jumlah yang sangat banyak.
Itu juga jika dia memiliki kontrol penuh dalam kekuatannya.
Tujuan dia melakukan ini apa? Apa dia melakukan ini untuk
sebuah misi seperti perlawanan terorisme? Jika demikian
berarti mereka dari organisasi militer. Tidak mungkin orang
iseng melakukan ini. Apa dia korban dari peperangan di
Timur dan ingin balas dendam, tetapi dia tidak tahu siapa
yang dia serang? Sejujurnya ini bukan masalah yang sangat
besar bagiku, karena tujuan utamaku adalah Perbukitan
Rioscar dan kebangkitan makhluk tersebut.
Aku datang ke Jembatan Barton dan Patung Ishington
bersama pasukan yang dipimpin oleh Wacas. Di sini juga ada
kekasihku. Aku ketika melihat pasukanku mati tanpa tahu
siapa yang menyerang, aku langsung terkejut sementara
sehingga membuat kekasihku bertanya padaku, tetapi
sepertinya dia tidak curiga. Aku melanjutkan ke tempat
Patung Ishington bersama dia. Ketika dia memerikas tempat
lain, aku langsung menarik Bunga Anyelir yang dipegang
oleh patung anak-anak yang berpakaian pangsi yang berada di
kaki Patung Ishington. Terowongan kecil mulai terbuka dari
balik belakang patung tersebut dimana tempat patung anak-
anak ini berada dan aku berdiri. Aku mulai merangkak masuk.
Sudah kuduga. Babi-babi rakus ini merasa aman sehingga
mereka merasa tidak memerlukan penjaga. Kalaupun ada
penjaga itu juga bukan masalah. Aku berjalan beberapa detik
ke depan. Pemandangan yang sangat cerah. Sangat berbeda
dengan yang di luar. Tempat ini memiliki zona waktu
tersendiri lupanya. Dari siapa itu ya? Aku akan mengambil
memento Ishington. Aku mulai mengarahkan kedua tangaku
ke arah perbukitan tersebut dan mulai mengaktifkan
kekuatanku. Proyeksi jam berwarna biru dengan angka
romawi meulai muncul di sekeliling perbukitan tersebut. Aku
memutar kedua tanganku ke kanan. Waktu terus maju, maju,
maju, maju, dan maju hingga perbukitan ini menjadi debu.
Bukan hanya perbukitannya saja, melainkan semua yang ada
di dalamnya. Akhirnya kalian mati juga. Kedua tanganku dan
kepalaku langsung merasakan nyeri. Mengeluarkan kekuatan
sebesar ini memang memerlukan tenaga yang sangat-sangat
besar. Aku beristirahat sebentar dengan cara duduk. Aku
merasa sudah tidak lelah, aku langsung maju ke tumpukan
debu tersebut yang perlahan tertiup oleh angin. Aku menggali
tumpukan debu tersebut dengan tangan kananku, sementara
tangan kiriku menutupi mulut dan hidung supaya debu tidak
masuk. Aku menggali hingga merasakan sesuatu yang keras.
Aku menarik benda tersebut keluar. Di tangan kananku
terdapat jam yang berbentuk jantung. Sudah kuduga kekuatan
yang sama tidak akan konflik.
“Ishington, misiku telah berhasil,” kataku sambil
berjalan keluar dari tempat tersebut. Aku akhirnya keluar.
Kemudian aku mulai mencari rombonganku. Aku menemukan
mereka sedang berbincang sesuatu di depan patung Ishington.
Kurasa mereka mendapat berita tentang datangnya makhluk
itu ke tempat ini. Wajar saja dia datang ke arah sini. Makhluk
tersebut tahu siapa majikannya. Dia mencari memento
Ishington yang aku pegang ini. Selama aku memegang ini,
aku tidak akan diserang termasuk anak-anak dari makhluk
tersebut. Wacas langsung memrintahkan seluruh pasukan
untuk kembali ke mobil. Kami sampai di mobil, masuk, lalu
dikejar-kejar oleh anak-anak dari makhluk tersebut.
Kekasihku mulai mengaktifkna kekuatannya yang membuat
kami bisa kabur dari makhluk tersebut. Aku melihat dia
sangat kelelahan. Aku juga merasa kelelahan, jadi aku
memutuskan untuk tidur. Aku sempat melihat Wacas dan
kekasihku berbicara, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka
bicarakan. Aku tidak penasaran karena aku mengharagi
kekasihku.
Kami semua sudah sampai pada markas utama. Aku
tidak menyangka Morvus, Aqula, Teresa, dan Grudge sudah
sampai duluan. Kurasa mereka sudah lama tiba sehingga
membuat Aquila dan Grudge sempat bermain video game
dahulu. Aku melihat mereka bermain sebuah arkade. Aku
bahkan baru tahu bahwa di tempat ini ada sebuah arkade. Aku
melihat lagi ke arah Morvus yang sedang duduk terdiam
dengan tatapannya yang …, aku tidak tahu harus bilang apa.
Dia adalah salah satu enigma dalam organisasi ini. Aku
melihat Teresa yang tertidur pulas di sebelah Morvus. Dimana
pemimpin mereka? Tak lama kemudian datang lagi
rombongan yang dipimpin oleh Xan jika tidak salah namanya.
Mereka keluar dari sebuah helikopter berwarna. Satu-persatu
mereka turun. Xan, kemudian disusul oleh Ika, kemudian
disusul oleh Murr, dan …, sudah kuduga dia akan ketahuan.
Tidur dengan tenang Berta. Xan memang orang yang tidak
bisa diremehkan.
Datang seorang perempuan dengan rambut hitam
pekat yang dikuncir. “Kurasa hanya satu rombongan lagi,”
Ah dia Takeu Nyak. Kami semua menuggu dengan
melakukan hal lain. Aku duduk di kursi dekat pohon yang
berada di sebelah pintu masuk. Kekasihku kemudian duduk di
sebelah kiriku sambil membawa minuman.
“Tadaaa. Minuman gratis,” kata dia sambil
memberikan minuman padaku dengan wajah tersenyum.
Aku mengambil minuman tersebut. “Sudah tidak
kelelahan?”
“Tentu saja, aku ini perempuan yang kuat,” kata dia
sambil memamerkan otot lengannya.
“Haha,”
“Kamu juga terlihat kelelahn ketika di mobil tadi.
Kamu langsung tertidur. Aku ingin ikut tidur juga, tetapi
tempat tersebut mengingatkanku pada suasana peperangan di
Timur.”
Akulah yang membuat tempat tadi menjadi hancur
lebur seperti itu. Aku merasa bersalah karena mengingatkan
dia pada kejadian itu, tetapi itu semua harus kulakukan.
“Semoga saja kejadian ini tidak separah peperangan di
Timur.”
“Ya, semoga saja.”
Kami mendengar suatu keributan pada tempat kami
mendarat tadi. “Ada apa? Ribut sekali di situ.”
“Entah, mari kita ke sana.”
Kami langsung berjalan dengan cepat ke arah
keributan tersebut. Kami melihat Abigail memegang kedua
kepala di masing-masing tangannya dan beberapa orang
menodongkan senjata ke arahnya. Aku tidak bisa
memberitahu itu wajah siapa yang dia kepala karena sudah
sangat hancur. Dia berlutut dan seluruh badannya gemetaran.
Apa yang terjadi?
Xan sambil menodongkan senjatanya. “Bisa beri kami
penjelasan?” tanya Xan dengan nada yang tenang, tetapi tidak
dihiraukan oleh Abigail. “Aku tidak tahu namamu, tapi bisa
tolong jelaskan?” tanya Xan lagi dengan suara yang perlahan
semakin kencang, tetapi Abigail tetap tidak menghiraukannya.
“JAWAB AKU!!!” teriak Xan dengan kencang sambil
menekan senjatanya ke jidat Abigail.
Takeu langsung menarik badan Xan. Dia melihat ke
arah Murr dan Ika. “Kalian, bawa Abigail ke dalam. Biar aku
yang menenangkan dia.”
Murr dan Ika tanpa berkata apapun langsung
mengangkat badan Abigal dengan perlahan dan membawanya
ke dalam, sementara Takeu memeluk kepalanya.
“Tenang, tenang, tidak apa-apa,” tenang Takeu
kepada Xan yang sangat marah.
Tiba-tiba seseorang menoel bahu kiriku. “Lebih baik
kita masuk juga,” kata kekasihku.
“Baiklah,” balasku setuju kepada kekasihku. Aku
berjalan ke dalam sambil melihat kebelakang sebentar.
“Sungguh hari yang tidak bisa kuprediksi.”
“Kau ngomong sesuatu?” tanya kekasihku.
“Tidak.”

13
Aku Harus Melakukannya

Anda mungkin juga menyukai