Anda di halaman 1dari 5

Peluk Erat

“Mah….Fajri udah ga ada..” suara isak tangis dipelukanku semakin kencang. Tubuhnya lemas,
mukanya pucat dengan ingus dan airmata memenuhi parasnya yang cantik. 
“shh…shhh..Fajri pasti lagi jalan ke surga yaa cantik, gapapa…shh..gapapa”
“MAMAH GA BAKAL NGERTI!!” Matanya menatap nyalang diriku, melepas paksa pelukanku
di tubuh lemasnya. Tubuhnya bergerak lemah ke sosok yang terbujur kaku di ranjang rumah
sakit, sembari terisak.
“Fajri…Fajrii….jangan tinggalin aku…seharusnya kamu ga ikut…UDAH AKU BILANG GA
USAH IKUT…” tangannya menggapai-gapai sosok kekasih dihadapannya. Aku menangis,
kembali memeluk anakku yang terus memanggil-manggil dengan pilu. Bukan, anakku salah
besar, mamahmu mengerti, malah sangat mengerti. 

Tiga tahun sudah aku mengenal sosoknya. Ceria, ramah, kritis, penyayang, sosok idaman bagiku
sebagai penyempurna hati. Aku menyukainya sejak SMA, sejak kelas satu. Sosok lelaki yang
semua orang ingin gapai.

“Mba Meli, jangan  melamun tengah jalan, ntar nabrak,” kata sosok yang menahan jalanku. Aku
menoleh
“hehe makasi ya, Anggi” 
“Mbak ngelamun lagi mikirin Mas Elang ya?” aku menelan ludah, mukaku memerah, malu. Apa
sejelas itu? Aku menggeleng dan membantah perkataan Anggi, jujur saja aku tidak bisa bilang.
Cintaku ini hanya bisa aku simpan dalam diam.  Anggi tersenyum saja melihatku
“Mbak kalo ga bilang-bilang keburu direbut loh Mas Elangnya” 

Hari ini pengumuman PTN, seluruh murid yang mendaftar berebut membeli koran, mencari
namanya diantara para pendaftar yang diterima. Begitu juga aku, mataku memicing, mencari
namaku tertulis di atas tinta. Nihil, aku memandang ayah yang sedang duduk menyesap kopi.
“Maaf, yah” ayah memandangku dengan kecewa
“Yowis ayah masukin kamu ke swasta aja, daripada malu kamu ga kuliah” aku menunduk,
menitikkan air mata. 

Disinilah aku, berdiri di depan gedung kampus berwarna putih ini. Sebagai mahasiswa baru
kampus jaket biru, Universitas Trisakti. Sejujurnya aku senang ayah memasukkanku ke
universitas ini. Karena Mas Elang jadi kakak tingkatku. 

Kehidupan universitas sangat sibuk, sebagai MaBa aku disuruh mengerjakan macam-macam.
Membawa papan nama sebesar 40x40 cm, menguncir rambut warna-warni, membuat kelompok.
Aku berkenalan dengan banyak orang salah satunya Kak Frankie, sahabat Mas Elang. Sosok
yang sama-sama pintar dan menggebu-gebu. 

“Mel, kalo lu beraniin diri lu sekali aja buat ngomong ke Elang pasti lu udah jadian” celetuk Kak
Frankie, disela-sela ngobrol sore. Aku memukulnya pelan dan tertawa miris, tidak mungkin aku
berani mengungkapkannya ke Mas Elang. Apalagi di masa-masa sulit seperti saat ini. 
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial asia
sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung
Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.  

“MELITA LASMI PUTRI!” ayah keluar rumah dengan wajah marah, menahan langkahku yang
sudah di depan pagar.
“AYAH NGULIAHIN KAMU BUKAN BUAT DEMO-DEMO GAJELAS!” ayah mendekatiku
dan menampar pipiku. Pipi kiriku terasa panas, mataku juga, genangan air sudah terkumpul di
pelupuk mataku. Mataku menatap nanar ayah, di pandanganku sekarang ayah hanyalah seorang
DPR berpengaruh yang tidak memandang rakyat. Ayah menarik tanganku paksa, aku meronta-
ronta minta dilepaskan. Hari ini hari spesial, mahasiswa universitasku akan berdemonstrasi dari
depan kampus hingga Gedung Nusantara. Aku harus ikut. Aku bergeming saat ayah menarikku
masuk ke dalam rumah.

“Ayah bisa tampar Meli, Ayah bisa tahan Meli, tapi Meli tetep mau ngebela rakyat” sahutku
tegas. Aku menyentak tangan ayah dan berlari keluar pagar. Berlari dengan ingus dan air mata
bercucuran hingga dagu. ‘Maaf ayah, Meli gamau jadi anak durhaka. Tapi Meli lebih malu kalo
durhaka sama negara’ 

Segerombolan mahasiswa trisakti yang ingin berunjuk rasa sudah berkumpul di depan kampus,
bersiap untuk aksi damai di depan Gedung Nusantara. Hari ini sebenarnya adalah hari pertama
UTS, 12 Mei 1998. Namun, dibatalkan karena aksi damai. Mahasiswa-mahasiswi yang
berkumpul membawa poster dan megafon. Orasi demi orasi digaungkan sepanjang penjuru
jalan. Muka semangat dan menggebu-gebu terpancar di masing-masing mahasiswa. Ada sih
muka-muka sepertiku, sembab tapi semangat. 

Aku semangat menunggu orasi dari Mas Elang. Mas Elang salah satu orang yang berpengaruh
diantara mahasiswa. Pasti Mas Elang akan berorasi. Aku tersenyum membayangkan Mas Elang
berorasi dengan wibawa. Mataku menoleh kesana kemari mencari sosok Mas Elang dan Kak
Frankie. Aku sendiri bersama Mbak Sekar, pacar Kak Frankie yang jadi sahabatku di kuliah.
Batang hidung mereka belum tampak di manapun. 

Matahari semakin terik di atas kepala, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas . Dan aku
masih belum melihat sosok Mas Elang atau Kak Frankie. Para mahasiswa pengunjuk rasa sudah
berjalan setengah jalan menuju Gedung Nusantara. 

“BUBAR! BUBAR!” teriakan suara bapak-bapak mengelegar diantara orasi yang menggaung.
Membuat  suasana hening seketika. Di depan terlihat blokade polisi yang memblokir jalan
menuju Gedung Nusantara.  Aku melihat beberapa mahasiswa senior mencoba bernegosiasi
dengan pihak polri. Sepertinya percakapan yang cukup alot, hingga muka kakak senior berkerut
dan muka pak polisi berurat. Negosiasi alot berhenti saat datang pasukan militer. Para mahasiswa
makin terdesak hingga akhirnya mundur kembali ke tempat awal, di depan kampus. 

Aku menengok jam di tanganku, waktu menunjukkan pukul 17.15. Aku berdiri tepat di depan
kampusku. Bergerak mundur kembali karena terdesak oleh para  aparatur negara yang terus
bergerak maju. Dengan tameng dan senapan mereka menghalau maju para demonstran yang
hanya berbekal megafon dan poster. Menghalau keadilan. 

“DOOOR” suara tembakan memecah keheningan udara dilangit. Asap dari gas air mata
bertebaran di mana-mana mengincar mata para demonstran yang kocar-kacir ketakutan. Mbak
Sekar menarik tanganku untuk berlindung.
“BANGSAT KALIAN SEMUAAA” terdengar umpatan mahasiswa yang berlari menyerang
salah satu polisi, berbekal batu ditangan. Mahasiswa itu pun dikepung dan digebuki tanpa ampun
oleh aparatur yang lain. 

Suasana kacau, asap yang membutakan ada di mana-mana. Muntahan peluru berterbangan tiada
henti, menargetkan tubuh-tubuh mahasiswa yang tidak terlindung apapun. Aku dan Kak Sekar
meringkuk di balik mobil SUV yang entah milik siapa, mobil saksi bisu kejadian penembakan
mahasiswa penegak keadilan. Aku mengintip keluar dan sudut mataku menangkap sosok pujaan
yang dari tadi kutunggu. Mas Elang yang sedang berlari. 
“Mas Ela..” baru ingin kupanggil untuk bersembunyi kata-kataku terpotong oleh suara tembakan.
Di telingaku suaranya berbeda dengan tembakan yang lain, suara kematian bagaikan sabit sang
malaikat maut. 

Mas Elang ambruk seketika. Darah keluar mengucur dari dadanya yang bidang. Mata elangnya
membelalak menahan sakit dari sekarat itu sendiri. Aku menyaksikan dengan mata kepala
terkejut.
“MAS ELANGGGG” aku berlari dengan kencang, tidak memedulikan Kak Sekar yang menahan
tanganku untuk tetap bersembunyi. Aku berlari dan berlari menuju tubuh kekar Mas Elang,
sembari memanggil namanya. Menggapai-gapai rohnya yang sudah setengah tercabut. Aku
terduduk di sampingnya yang terbaring bersimbah darah. Mas Elang yang sedang menahan sakit
memandangku dengan teduh. 

“Meliii…”panggilnya dengan suara lirih, aku balas memandangnya dengan muka tidak karuan.
“Mas bisa selamat kok aku tau, a..aku panggilin ambulan dulu..”aku hendak beranjak untuk pergi
ke kotak telefon terdekat, tanganku ditahan. 
“Mel…mas cuman mau bilang. Jangan tungguin mas, mas ga bakal balik lagi, mas ngerasa udah
dipanggil buat ke atas” aku terisak mendengar ucapannya, terdengar sangat menyayat diriku.
Aku meraup kepalanya yang terbaring ditanah, membaringkannya dipahaku agar aku bisa
mendengar lebih jelas.
“Ma..a..s” 
“Shh..shhh..jangan sedih, nanti mas juga sedih ninggalin kamu buat naik ke atas. Sekarang mas
cuman pengen minta maaf sama kamu. Maaf ga sempet bales perasaan kamu sama makasih udah
mau nungguin mas yang ga pantes ditungguin..uhuk” batuk darah menahan ucapannya yang
tidak bisa lagi panjang. Aku memandang muka Mas Elang sendu, tahu jelas ini adalah
perpisahan.
“Mas juga cinta sama Meli…uhuk…niatnya mas pengen nembak setelah acara ini selesai,
ternyata emang mas udah selesai di sini ya hehe…uhuk…” sempat-sempatnya Mas satu ini
menyengir di sela kematiannya. Tangannya mengusap wajahku yang berlinang air mata dan
ingus. 
“Dadah Meli..Mas titip salam buat Frankie ya, bilang makasih udah jadi temen yang baik…
uhuk..sama titip salam buat mamih Elang sama keluarga bilang kalo Elang selalu sayang…”Mas
Elang tersenyum kemudian dengan terbata-bata mengucapkan kalimat syahadat sebagai penutup
perpisahan. Aku tertegun tidak bisa berkata-kata, bibirku kelu. Mas Elang menutup mata
perlahan, terlihat seperti tidur dengan tenang. 

Mobil ambulans pun datang, mengangkut jenazah Mas Elang dan para korban penembakan
menuju Rumah Sakit Sumber Waras. Aku memandang nanar mobil ambulans hingga hilang dari
pandanganku. Tubuhku lemas, kakiku berat seakan ditahan batu satu ton. Aku melihat Kak
Frankie lari dari arah pos satpam. 
“Sekar! Meli!” teriaknya sambil melambaikan tangan. “Liat Elang sama Adny ga? Tadi gue udah
janjian ketemu di pos satpam” Kak Frankie melihat mukaku yang sangat tidak keruan dan Sekar
yang menunduk. 
“Mas Elang udah ga ada, kak, ketembak” jelasku sembari terisak, aku tidak kuat membicarakan
ini. Kak Sekar yang iba lanjut menjelaskan kronologi kematian Mas Elang yang juga dilihatnya. 
“Ditembak di mana?” Aku menunduk, menunjuk pelan dada kiri tempat jantung bersemayam.
“ANJIING!” dengan emosi Kak Frankie menyusul mobil ambulans yang telah membawa Mas
Elang dengan motor butut yang dibawanya.  

“ELANG!!” teriak Kak Frankie sesampainya di depan rumah sakit. Wajahnya terlihat kalut
memanggil-manggil nama temannya sepanjang rumah sakit. Suster dan dokter kewalahan
menahan Kak Frankie yang menerobos masuk ke kamar jenazah. Tubuhnya tiba-tiba lemas
menemukan sosok sahabatnya yang terbujur kaku berbaring di dipan dengan berbalut kain.
Dokter menatap sedih Kak Frankie. Menjelaskan bahwa Mas Elang tertembak peluru yang
menembus hingga punggungnya. Dokter pun menunjukkan peluru yang bersarang di tas
punggung Mas Elang. Kak Frankie menerima tas punggung dengan gemetar. Membuka pelan tas
punggung sahabatnya tersebut. 

Aku berlari menyusul Kak Frankie menuju kamar jenazah. Nafasku terengah-engah, aku berhenti
sejenak sambil mengusap wajah yang penuh debu dan air mata. Kulihat Kak Frankie sedang
menangis di depan kamar jenazah. Sambil memegang tas punggung yang tadi dipakai oleh Mas
Elang. Kak Frankie yang melihatku makin terisak. Diusapnya wajah berantakannya dengan kasar
sembari memberikan sepucuk surat dan botol parfum yang sudah pecah. Sekejap wangi
semerbak bunga mawar menyebar disepanjang koridor rumah sakit. Parfum mawar, wangi
kesukaanku. Aku merobek sampul  surat dengan gemetar hebat. Surat apa ini, pengakuan?
Melihat isi dari surat itu, tulisannya tidak banyak hanya 6 baris.

Selamat Ulang Tahun, Febri


Semoga kamu suka sama parfum ini. Mamih yang pilih katanya semua perempuan pasti suka
wangi mawar. Sekalian pengen jujur, aku suka sama kamu, perasaan aku boleh diterima boleh
ditolak. Makasih, yaa. Semoga kamu panjang umur 
-Elang Mulia Lesmana 
Aku menangis tersedu sedan. Air mataku bercucuran di atas surat hingga tinta kabur, melebur
dengan air mata. Tanganku gemetar aku terduduk di depan kamar jenazah, menangis sepanjang
koridor. 

Ingatanku buyar, dari masa lalu yang perih untuk diingat. Aku memeluk kembali anakku yang
malang. Mengapa tuhan menguji hal yang sama kepada anakku? Kehilangan adalah rasa terberat,
tiada satupun manusia yang mampu memikulnya. Namun, manusia harus bisa melepaskan masa
lalu dan tumbuh dari rasa kehilangan tersebut. Aku akan mengajarkannya untuk memeluk dan
melepaskan , wahai anakku. 

TAMAT

Sumber:
- https://nasional.okezone.com/amp/2013/05/13/337/805923/detik-detik-elang-mulya-lesmana-
sebelum-tewas-ditembak
- https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti

Karya: Fadhilah Nashrillah

Anda mungkin juga menyukai