Anda di halaman 1dari 11

Cintaku Bersemi Di Asrama

Cerpen Karangan: Cece Geraldine

Namaku clarain dan biasa aku dipanggil rain, aku adalah seorang gadis SMA yang dimasukan
asrama oleh ibuku meskipun telah dilarang keras oleh ayahku untuk tidak masuk ke asrama,
perjuanganku untuk bisa meloloskan diri dari asrama terbilang sangat susah dan aku harus
melalukan itu karena aku merasa tertekan di sini.

Di bawah pohon beringin yang besar aku dan ketiga temanku yang bernama stevi anggi dan diah
sedang duduk di bawahnya kami sedang membahas tahun baru untuk nanti malam “aku bosan
berlama lama di sini” stevi memulai pembicaraan, “iya nih sama padahal nanti malem kan tahun
baru” timpalku dngan nada jengkel “ada rencana kabur gak?” tanya anggi “gimana ya caranya
kabur dari sini?” tanya diah kemudian “bagaimana kalo kita lewat gerbang itu itu kan gerbang
gak pernah dikunci!” seru anggi dengan bersemangat “terus kita keluarnya gimana kan banyak
orang kalau kita ketahuan bisa kena marah kita sama pengurus asrama!” jawab diah dengan
santai “aduh diahhh kita kaburnya waktu mereka semua solat jama’ah magrib kan asrama sepi
tuh!” jawab anggi dengan enteng “oke deh kita sepakat ya” rain meyakinkan.

Pada pukul 16:10 PM kami berempat berkumpul di toilet asrama untuk menyusun rencana “nanti
rain sama diah kabur dulu ya, entar anggi sama stevi nyusul di belakang!” kata anggi mengatur.

Akhirnya aku dan diah memutuskan lihat sekitar asrama untuk memastikan aman atau tidak,
“rain sudah sepi yukk” aku menganggukkan kepalaku dan akhirnya aku dan diah berhasil lolos
dari asrama, aku dah diah berlari dengan sangat cepat, “udah berhenti di… anggi sama stevi di
belakang tuh” kataku sambil mengatur nafas, akhirnya aku dan diah berhenti sejenak, kulihat di
belakang anggi dan stevi ada lima pemuda laki laki yang sedang mengejarnya “ohh tidak itu
kakak asrama laki laki sedang mengejar stevi dan anggi bagaimana ini rain?” tanya diah dengan
nada bingung, kemudian kutarik tangan diah menyuruhnya untuk mengikutiku “ihh rain kok
sembunyi di bawah kandang kambing sih jorok banget” ketus diah sambil menutup hidungnya
“ihh diem napa dari pada kita kena” jawabku.

Pada saat kakak asrama laki laki kehilangan jejak mereka berpencar untuk mencari kami, kulihat
keaadaan sudah cukup aman untuk keluar, aku dan diah langsung keluar dari tempat
persembunyian “sudah aman ya rain?” tanya diah sambil membersihkan tubuhnya dari daun
daun “iya sudah” jawabku santai “lain kali kalo ngajak sembunyi jangan di bawah kandang
kambing lagi dong bau tau” ketus diah “hahhaha sorry di terpaksa” jawabku sambil tertawa.

Tiba tiba ada suara “sreekkk sreekkk” dari semak semak “waduh rain kakak asrama balik lagi
tuh” seru diah dengan ekspresi panik “rain diah” teriak seseorang dari balik semak “ehh itu kan
suara anggi” tanyaku pada diah, tak lama kemudian muncul dua gadis anggi dan stevi “ehhh kok
kamu gak ketangkep mereka” tanyaku dengan bingung “kita dilawan ya gak bisa laah” jawab
anggi dengan santai “ehh gimana ceritanya kok bisa ketahuan” tanyaku penasaran “itu gara gara
sih idiot mila” “lah tau dari mana kalo mila yang bilang coba?” tanyaku semakin penasaran “kan
si idiot mila lagi halangan dia gak solat dan pas aku sama stevi kabur ehh sih mila malah teriak
teriak ada orang kabur” jelas anggi panjang lebar “waah si mila tuh harus dikasih pelajaran
emang” sahut diah, “oke yuk kita udah kumpul ayo berangkat!” ajak anggi.

“tiiit tiiit tiiiiit” ponselku berbunyi kubuka ternyata pesan dari kakak kelas namanya liam

“ehh dek kamu di mana satu asrama pada cariin tuh” isi pesan “ehh kak ini lagi sama anggi stevi
dan diah lagi party new years” balasku

“balik dong jangan buat khawatir semua orang”


“No… aku benci di sana kak”

“ok sekarang kamu di mana aku jemput”

“udah dong kak jagan sok peduli aku kan bukan siapa siapanya kakak!” jawabku sadis, ketika ku
mengira tak ada pesan lagi kumasukan ponselku dalam saku.

15 menit kemudian seseorang pria tampan berambut hitam bermata choklat dan berkulit putih
menggandeng tanganku dan menarikku untuk keluar dari gerombolan orang orang yang menari
nari “kak liam!” seruku terkejut “ayo dek kembali” liam memohon “aku gak suka di sana kak
lepasin aku lepasin tanganku” tak kusangka liam langsung memelukku dengan erat sambil
berkata “aku tak mau terjadi apa apa denganmu gadis kecilku karena ku sangat menyayangimu”
liam mulai melepaskan pelukannya “kakak” seruku sambil terpaku “rain aku ke sini karena
kamu bilang aku bukan siapa siapa kamu dan aku mau menunjukan keseriusanku ke kamu
bahwa perasaanku selama ini ke kamu serius bukan main main” jelas liam “tapi kakak kan
pacarnya kak selvi?” tanyaku dengan wajah tertunduk “selvi bukan pacarku hanya saja dia
menyukaiku tapi aku tak menyukainya karena rasa suka dan cintaku sudah kau ambil semua
rain”

Tiba tiba liam memegang kedua tanganku dan berkata “rain aku gak peduli senakal apapun kau
ku tak peduli apa pun kata semua orang tapi yang pasti jam dua belas malam tepat ini dan tepat
pada tahun baru ini aku mau menyatakan cintaku ke kamu aku harap kamu mau jadi pacarku”
“maaf kak bukannya aku gak mau… kakak anaknya pak kyai dan aku santri paling bandel di
asrama kakak pasti tau itu”

“kamu gak nakal atau apa pun rain kamu hanya ikut ikut temanmu dan aku pikir itu hal wajar
karena aku pun juga sama, aku mohon rain terima ya cintaku” aku mengangguk anggukkan
kepalaku tanda mau, “yes akhirnya kamu jadi pacarku rain aku seneng banget makasih ya… em
iya di mana ketiga temanmu itu ayo kita kembali kamu harus minta maaf ke pak kyai dan yang
lainnya untuk tidak mengulangi lagi perbutanmu ini” kata liam sambil mencubit pipiku, akhirnya
aku mengajak ketiga temanku untuk kembali ke asrama.

Sesampai ku di asrama aku, ketiga temanku dan juga ditemani kekasih baruku liam pergi ke
rumah pak kyai untuk minta maaf, liam mengetok pintu rumah pak kyai “tookk tookk” pintu pun
terbuka “abi ini mereka sudah kembali mereka mau minta maaf bi jangan dimarahin ya mereka
khilaf bi” jelas liam “iya tenang saja abi tidak akan marah cuma segala kesalahan selalu ada
konsekuensinya bukan… dan mereka telah membuat kesalahan berarti mereka harus dihukum”
kami berempat syok saat mendengar kata “DIHUKUM”, “memang hukuman apa yang harus
kami terima pak kyai?” tanya stevi gugup “kalian harus bersikan asrama ini selama satu bulan”
jelas pak kyai, ketika aku mau mengusulkan pendapat aku dicegah oleh liam “oke abi kalau
begitu kami pergi dulu saya juga mau ke mushala al-quran saya tertinggal di sana” “baiklah
silahkan” seru pak kyai, akhirnya kami semua keluar dari rumah pak kyai “jangan khawatir ya
rain aku bantu kok bersihin asrama ini” liam menenangkanku dan sebelum pergi ke mushola
liam berbisik kepadaku “jaga diri ya sayang aku sangat mencintaimu” aku membalas senyuman
tulusku untuknya.

THE END
Berhijab Dalam Penantian

Cerpen Karangan: Abdul Rosyid

Beratapkan langit jingga yang mempesona, kau berdiri tegak di tepi jalan menatap hamparan
sawah yang menguning. Tiba-tiba angin berhembus kencang menarik-narik kerudungmu. Di
waktu yang sama berpuluh-puluh burung pipit berbaris rapih tanpa paksaan, terbang
mengangkasa. Beberapa diantaranya diam-diam mencuri pandang di atas buliran padi yang padat
berisi. lantas mematuk satu-dua biji. Kemudian setelah puas mereka bergerak mengepakkan
sayapnya, terbang sambil bernyanyi riang.

Motorku melaju begitu pelan saat melintas di hadapanmu. Niat hati ingin menyapa walau hanya
sekedar salam, namun lisan ini begitu berat untuk bersuara. Tertahan oleh nasehat ibu yang terus
berulang, timbul dan tenggelam dalam ingatan.
“Nak, perempuan itu makhluk yang sangat perasa. Jangan sekali-kali kau sentuh hatinya jika tak
siap memenuhi harapannya”
Duhai ibu, maafkan anakmu yang telah lalai. Lagi-lagi aku menumbuhkan harapan seseorang.
Tapi sungguh, ini bukan sebuah kesengajaan. Aku tak bisa melarang siapapun untuk menahan
hati agar tak sembarang mencintai.

Kuinjak rem perlahan, kini aku terduduk di atas jok berjarak tepat 10 meter darimu. Kali ini kita
menghirup udara yang sama, menatap buliran padi yang serupa. Ahh… perlukah kukatakan
padamu, tapi darimana memulainya? aku tak pernah ingin menyayat hati siapapun, terlebih
makhluk lembut bernama perempuan.
Aku tak pernah memintamu menunggu di tepi sawah setiap hari. Diri ini juga belum sekalipun
berbicara denganmu. Namun orang-orang diluar sana begitu ramai membicarakan tentangmu
yang selalu menanti di batas senja. Kau yang tiba-tiba berhijab setelah mendengar bahwa aku
sangat menyukai perempuan yang menutup auratnya.

Doaku terus bergema di hati, ya Allah berikan ilham… jangan biarkan hamba salah melangkah,
apalagi salah berucap. Kuayunkan kedua kaki untuk berjalan mendekat padamu, selagkah-dua
langkah… ohh tidak hati kecilku melarangnya. Tak seharusnya aku merapatkan jarak hanya
berdua denganmu, Allah takkan menyukainya.

Tubuhku memutar balik, kembali membelakanginya. Ya, aku memilih memacu dan memutar
roda duaku ini. Maafkan, aku pergi tanpa sepatah katapun dan membiarkanmu duduk berteman
senja yang sebentar lagi berganti gelap. Tak ada keinginan dalam diri ini untuk menumbuhkan
harapan di hatimu, keinginanku saat ini adalah lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan
tinggi di Bandung, tak lebih dan tak kurang. Belum ada sedikitpun ruang yang kusediakan untuk
menyambut sejuknya kasihmu.

Saat langit hitam berangsur angsur berubah menjadi terang, mentari menyapaku dengan
hangatnya, burung-burung masih berkicau merdu saat adikku kembali menyodorkan amplop
dengan warna yang sama seperti sebelumnya, merah. Apalagi yang kau inginkan dariku?,
Kucoba menenangkan diri, berdamai dengan hati. Perlahan tangan ini membuka surat singkat
itu.

Assalamualaikum kak Shenan…


Kak, kemarin sore kenapa tidak menyapaku? Kakak tau kan, aku berdiri berjam-jam di tepian
sawah bertemankan burung-burung yang terus menggodaku, bahkan hingga senja berakhir
seiring terdengarnya kumandang adzan. Tega kau kak!
Kak, sekarang aku telah berhijab, maka izinkan kasih ini bersemayam dengan lembut di hatimu.
Agar rindu ini menemukan ruang terbaiknya untuk berlindung.

Aku menghela napas panjang, mengusap dahi.


Terdiam beberapa saat, ya Tuhan…

Surat yang terus menerus kau kirimkan tak pernah dibaca. Jalur pulang yang biasa ditempuh
melalui pematang sawahpun kualihkan. Walau harus memutar jauh dan meyusuri jembatan
gantung sepi yang bergoyang-goyang saat dilewati, sedang di bawahnya sungai meluap-luap,
dengan aliran derasnya mampu menenggelamkan apapun. Horror, sungguh menegangkan.
Semua cara dilakukan demi memangkas habis harapan-harapanmu yang terus bertumbuh. Tak
pernah ku mengerti, atas semua sikap yang tak ramah, kau masih saja sanggup merawat akar-
akar cinta itu tetap subur dan hidup.
Ahh… sudahlah. Terserah padamu. Aku terlanjur memilih untuk memenuhi janjiku pada ibu.
Pendidikan menjadi prioritas utamaku saat ini, tiada yang lain.

Waktu terus bergerak tanpa rasa letih, hari demi hari berlalu sedang surat-suratmu terus saja
datang, bertumpuk dalam lemari, tak pernah kubaca. Beberapa diantaranya berjatuhan,
berserakan di bawah lemari dan terus kubiarkan begitu adanya. Hingga aku bosan dan
memutuskan untuk mengakhiri drama ini.

Malam, sepulang dari mesjid suratmu kembali hadir. Ya baiklah, setelah ini tak ada surat lagi
yang kau kirimkan, tekadku dalam hati.

Assalamualaikum kak Shenan yang baik hati


Kak, 27 Mei sore hadir ya ke rumah Rini. Aku mau syukuran milad yang ke-16. Acaranya
takkan dimulai sebelum kakak hadir.
Salam Hormatku
INA

Inshaa Allah, aku hadir dik… ucapku lirih. Aku akan menjawab penasaranmu menjadi terang,
seterang mentari.

Hari yang dinanti telah tiba.


Sore hari setelah menunaikan Ashar, kami berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Kau
mengenakan gamis putih dengan bross bunga di jilbabmu, sementara aku masih bercelana abu
berpasangan dengan kaos biru polos tanpa motif apapun. Aduhai, kau begitu anggun dengan
pakaian itu, jilbab lebar menutup dada. Jujur, penampilanmu saat ini adalah gambaran calon istri
yang kuidamkan.

Dadaku bergetar saat kedua mata kita beradu pandung. Ada harapan yang begitu besar dalam
tatapanmu, ada rasa tentram di wajahmu sekaligus juga ada rasa cinta yang mengiba, memohon
tempat yang ditujunya untuk bernaung dari gejolak. menatapmu lama-lama akan membuat
hilang kendali. Astagfirullah, ampuni hamba yang tak mampu menjaga mata ini dari hal tak halal
ya Rabb.

Kuedarkan pandanganku ke meja makan, kemudian menyisir satu demi satu kawan-kawan yang
hadir. Total yang hadir 8 orang, 5 perempuan 3 laki-laki. Masing-masing fokus dengan
aktifitasnya masing-masing. Ada yang memasak nasi, menyiapkan piring, mengulek sambal dan
kami para lelaki sibuk menyalakan kayu untuk membakar ayam-ayam yang bernasib malang itu.

Rangkaian acara berjalan tanpa kendala. Dari mulai masak, bakar ayam, doa bersama hingga
makan-makan, alhamdulilah sesuai yang diinginkan. Sekarang saatnya mewujudkan rencana
yang sudah kubuat sejak tiga hari yang lalu. Ada setitik ragu dalam diriku, namun hati ini
berusaha untuk menepisnya. Yakin, bahwa inilah yang terbaik menurutku.

Di ruang tamu rumah Rini, ada tiga sofa berwarna coklat yang berjejer rapih membentuk
setengah lingkaran, sedang meja yang ber-vas bunga warna orange itu berada tepat di tengahnya.
Setelah kuberi kode, satu-persatu teman-teman mohon diri untuk ke belakang. Tersisa kini hanya
kami berdua, duduk berhadapan saling berdiam diri, hening. Doa yang sama terus kuulang-
ulang. Ya Tuhan berikan kekuatan, ilham dan kelancaran lisan untuk mengakhiri semua ini
dengan damai. Wajah kami saling tertunduk, kubetulkan posisi duduk sambil mencari celah
untuk memulai pembicaraan ini.

Kutegakkan badanku, duduk dengan berjarak 10 centi darimu. Jantungku berdegup kencang,
mencari dan menyusun kata-kata terbaik agar mudah dipahami dan tak menyakiti.
“Dik… boleh, kakak menyampaikan sesuatu?” sapaku perlahan memecah kesunyian.
“Ya kak, silahkan” jawabmu dengan pandangan yang masih tertunduk, menahan malu.
“Barakallah dik, kau hebat. Saat perempuan seusiamu sibuk dengan gaya hura-hura kau justru
punya niat mulia, berhijab. Tahukah bahwa kau begitu anggun dengan hijab putih ini, semua
pesonamu terpancar. Bahkan aku merasa gagal menundukkan pandangan ini, Tuhan telah
menciptakanmu begitu sempurna. Semoga kau isitiqomah berteman dengan perintah Allah yang
ini.
Namun ada hal yang keliru, saat ini Allah cemburu atas sikapmu dik. Karena kau mengotori niat
bersihmu untuk menutup aurat hanya untuk lelaki sepertiku. Perbaiki dan luruskan niatmu dik,
tolong!.
Aku hanya lelaki biasa dik, tak ada yang istimewa, pun juga tak sebaik yang kau kira.
Seandainya Allah membuka tabirnya, niscaya kau akan menemukan banyak aib dan
kekuranganku dik. Namun jika kau mendengar di luar sana orang-orang mengatakan bahwa
lelaki sederhana ini ingin beristrikan wanita yang berhijab, maka dengan keyakinan yang di
dalamnya tak ada sedikitpun keraguan akan ku jawab itu benar.
Tak ada niat sedikitpun untuk mendahului takdir, aku ingin sekali perasaan kita bertemu dalam
bahagia, tapi ngga sekarang dik. Masih banyak cita-cita yang harus diraih. Mari sama-sama kita
memperbaiki diri, meningkatkan ketaatan pada Ilahi serta memupuk cinta yang hakiki. Semoga
keinginan kita beririsan dengan kehendakNya. Bukankah kalau memang berjodoh, Allah akan
mempertemukan kita kembali diwaktu dan tempat yang tepat? Percaya itu dik.
Suatu waktu nanti, jika Allah mengizinkan aku akan bersalaman dengan bapakmu di depan
penghulu. Namun bila sebelum itu, ada seseorang yang soleh datang padamu, terimalah ia dik.
Biarkan cinta kita mendekap takdir terbaiknya.
Dengan menangkupkan kedua tangan aku memohon padamu dik, maafkan lelaki biasa ini, telah
menanam benih-benih asmara yang tak seharusnya tumbuh di hatimu, membuat malam terasa
begitu panjang bagimu dan parahnya lagi membuat Allah cemburu pada niat berhijabmu.
Sungguh, semua ini bukan mauku.
Pada hati yang terlanjur mengagumi, pada jiwa yang begitu mudah mencintai, aku meminta
dengan penuh ketulusan. Simpanlah perasaanmu, kubur dalam-dalam Jangan biarkan ia
menyeruak sampai waktunya tiba. Mari kita sama sama menjaga jarak dalam penantian ini”

Saat melihat kau sibuk mengusap-usap pipi yang basah, mataku menghangat. sedang mulutmu
yang sejak tadi terkunci, kini terisak-isak mengiba. Hati ini bergumam, semoga kau perempuan
terakhir yang menjadi korban kelalaian sikap lelaki sepertiku.

Aku bergegas meninggalkanmu yang masih terduduk, dengan kedua tangan menyeka tetesan air
mata. Dari jauh kulihat teman-teman memeluk dan menguatkan hatimu. Pohon mangga di depan
rumah Rini menjatuhkan beberapa helai daunnya yang masih hijau, seakan mengerti bahwa hari
ini tanpa sengaja ada lelaki yang membuat harapan seseorang perempuan runtuh berguguran.

Sehari setelah pertemuan itu, kau kembali mengirimkan surat. Namun kali ini suratmu berbeda,
tak seperti biassanya. Sekarang beramplop putih

Assalamualaikum Kak Shenan..


Aku menulis surat ini sambil berurai air mata kak…
Maafkan diri ini kak, telah berbuat banyak kekhilafan. Aku tak menyadarinya.
Jujur aku tak pernah mengenal lelaki selurus dirimu, menatapmu memberikan keteduhan di
hatiku. Mendengar nasehatmu menentramkan jiwaku. Aku hanya seorang perempuan lulusan SD
kak, sedang sebentar lagi kau akan menjadi seorang Mahasiswa. Aku sangat memahami alasan
kenapa kau tak membiarkan cintaku singgah dalam jiwamu.
Saat ini aku merasa hancur kak. Baru sejenak merasa dunia ini begitu indah, namun sebentar
kemudian kau merusaknya. Aku sedih kak, kau menggugurkan asa yang kurangkai dan kurawat
berhari-hari.
Tapi aku akan berusaha menuruti semua maumu. Apapun yang terjadi aku akan menantimu kak.
medidik diri dan bersabar dalam doa. Agar kelak Allah memantaskanku untuk menghabiskan
umurku hanya demi berbakti padamu.
Insyaa Allah kak, aku akan terus berhijab dalam penantian ini.
Ini surat terakhirku kak, maaf sudah sering mengganggumu.
Salam takzim
INA

Duhai Allah yang Maha Cinta…


Izinkan kami untuk saling menjaga perasaan ini, mampukan kami untuk berjarak sebelum halal.
Dan jadikanlah kami, hamba-hambaMu yang selalu taat dalam kondisi lapang maupun sempit.
Aamiiin.
Eternal Love

Cerpen Karangan: Luke Omega

Hari itu seorang gadis baru pindah ke sekolah SMA ku, semua orang menatap wajah dan
tubuhnya yang indah, dengan potongan rambut zaman sekarang yang sangat cocok dengannya.

“Namaku adalah Rina, salam kenal semuanya” dia pun memperkenalkan dirinya di depan kelas.
Pak guru menyuruh Rina untuk duduk di sebelahku, di baris paling belakang dekat dengan
jendela.
“Halo, namaku Rina, namamu siapa?” Tanya Rina kepadaku.
“Ha.. halo, namaku Alex.” Jawabku kepadanya. Rina pun tersenyum kepadaku.
dari situlah aku mendapat teman pertamaku di SMA, yaitu Rina.

Semua murid menyambut Rina dengan ramah, dan Rina pun dapat dengan mudah membaur di
kelas.
“Rina, ayo kita karaoke nanti.” Ajak temannya, dan dengan senang hati Rina pun menerima
ajakan temannya.
“Alex, kamu mau ikut karaoke sama yang lain?” Tanya Rina balik kepadaku. Aku melihat raut
wajah teman-teman Rina yang benci karena Rina mengajakku untuk pergi karaoke, karena
memang aku tidak mempunyai teman di kelas selain Rina.
“Gak deh, aku gak bisa nyanyi.” Jawabku kepadanya, karena karaoke adalah hal paling tidak
kusukai karena suaraku yang sumbang dan untuk meredam amarah teman-teman Rina.

Entah kenapa saat aku mengatakan hal itu raut wajah Rina sedikit berubah, seperti sedikit
kekecewaan tercampur di dalamnya. Tetapi aku tetap bersikeras untuk tidak ikut dengan mereka,
dan bel sekolah menandakan waktu pulang pun berbunyi. Aku melihat Rina dan teman-
temannya pergi menuju tempat karaoke dekat sekolah, dengan Rina tertawa bersama teman-
temannya. Aku pun berjalan sendirian pulang ke rumah.

Saat perjalanan pulang aku pergi ke cafe untuk menikmati secangkir kopi sendirian. Di café aku
hanya duduk di lantai atas menikmati pemandangan gunung yang indah, dengan awan yang
lembut seperti kapas menghiasi langit. aku bukan seperti kebanyakan orang yang datang dengan
teman-temannya ke café untuk nongkrong dan bercanda, tapi aku hanya datang sendiri untuk
melihat langit yang indah, mengagumi apa yang ada di sekitarku. Saat aku melihat matahari
yang menyinari awan, aku teringat Rina yang ceria, ramah, dan popular layaknya matahari, dan
aku anak pendiam dan tidak punya teman seperti awan yang menutup terang dari matahari itu
sendiri.

Sesaat setelah aku memikirkan hal itu, terlihat Rina datang di depanku.
“Alex, kebetulan banget, Kamu disini ternyata!” ucapnya.
Aku terkejut karena Rina tiba-tiba muncul di depanku dan berbicara denganku.
“Bukannya kamu ikut karaoke tadi?” aku berkata kepadanya.
“kami sudah selesai karaoke, setelah selesai karaoke aku langsung kesini.”
Aku merasa sedikit bingung dan senang karena bertemu dengan Rina disini, tidak menyangka
bahwa dia akan datang ke café ini.
“Kamu sering ke cafe ini?” Tanya Rina kepadaku.
“iya, aku biasanya datang ke café ini, di sini pemandangannya bagus.” Ucapku.
Rina pun duduk di kursi mejaku dan melihat pemandangan di luar café.
“kamu benar, memang bagus sekali pemandangannya, terutama saat sore hari seperti ini ya. Tapi
Alex, kamu datang kesini sendirian?”
“i…iya, aku gak punya banyak teman, jadi aku datang kesini sendirian dan menghabiskan
waktu.” Jawabku dengan sedikit rasa malu dalam diriku. Cemas Rina akan membenciku seperti
teman-teman yang lain.
“tapi aku kan temanmu? Kalo kamu mau ke café ajak aku aja, yang punya café ini pamanku, jadi
aku sering datang kesini dan mungkin kamu bisa dapat potongan harga.” jawab Rina dengan
senyum yang lebar kepadaku.

Sesaat setelah mendengar Rina rasa bahagia memenuhi diriku, bahwa ada yang mau menerima
ku meski aku bukan orang yang mudah bergaul, tidak punya banyak teman, tidak popular, dan
mendengar bahwa dia menganggapku sebagai temannya. Aku dan Rina pun berbincang-bincang
dan tertawa bersama sampai sore dan akhirnya kami pun pulang ke rumah kami masing- masing.

Setelah hari itu Aku pun sering mengajaknya pergi ke café berdua, dan membicarakan banyak
hal di sana sampai sore tiba, mengisi waktu luang dan berbahagia bersama.
“Alex, sekarang kamu tulis apa yang kamu cita-citakan di masa depanmu, dan aku juga akan
menuliskan apa cita-citaku dimasa depan, lalu kita tunjukkan bersama.” Kata Rina dengan
antusias.

Kami pun menulis bersama apa yang kami cita-citakan di buku kami, setelah beberapa saat kami
menunjukkan satu sama lain apa yang kami tulis.
Di kertas kami berdua menuliskan hal yang sama, yaitu “mendirikan Panti Asuhan.”
Kami berdua terkejut karena kami menuliskan hal yang sama di kertas masing-masing.
“kamu juga ingin mendirikan panti asuhan?” ucap kami berdua bersama-sama.
“hahahahahhahaha!!!” kami pun tertawa karena kami bahkan mengucapkan hal yang sama.
“kenapa kamu ingin mendirikan panti asuhan Lex?”
Aku pun menjelaskan alasanku ingin mendirikan panti asuhan.
“hmm, karena aku merasa kasihan dengan anak-anak kecil yang tidak mempunyai orangtua, aku
ingin menyediakan rumah untuk mereka agar mereka tidak kesepian, ya bayangin aja masih
kecil udah kehilangan orangtua, mereka pasti kesepian.”
“beneran? bahkan alasanmu juga sama denganku, ahahahha!” Rina tertawa lepas.
Aku benar-benar bahagia karena aku bisa melihat Rina tertawa lepas di depanku, hatiku terasa
hangat dan bahagia melihatnya. Saat itu aku pun menyadari, bahwa aku menyukai Rina.

“hei Lex, gimana kalo saat kita dewasa nanti, kita bikin panti asuhan bersama? Aku bisa jadi
salah satu pengurus anak-anak disitu.”
“kamu mau Rina? Ayo aja kalo aku, 2 orang lebih baik dari sendirian.”
Sesaat setelah itu wajah Rina mulai malu-malu dan memerah, aku sempat bingung kenapa
wajahnya seperti itu. Dan dengan gugup dia mulai berkata,
“ya udah, kalo kamu mau kita bikin panti asuhan bersama, kamu harus jadi pacarku.”
aku yang saat itu dengan santai menikmati kopi terkejut dan menumpahkan kopi yang kuminum.
“Eh? Apa katamu tadi Ran?”
“masa aku harus ngulangi lagi? Jadi cowok yang peka donk.” Dengan wajah Rina yang merah
dan malu. Aku berusaha tenang dan memikirkan lagi apa yang Rina katakan, dan saat itu aku
mulai sadar, bahwa Rina baru aja ingin aku jadi pacarnya.
“k..kamu serius Rin?”
“serius lah, jadi jawabanmu apa?”
Aku benar-benar terkejut karena baru saja cewek nembak aku, dan tidak lain adalah cewek yang
aku suka, Padahal seharusnya cowok yang nembak duluan. Aku benar-benar bahagia dan
senang, lalu aku pun menjawab Rina.
“aku gak mau Rin.”
“k.. kamu gak mau?” wajah Rina mulai sedih.
“aku gak mau kalo kamu yang nembak duluan, jadi aku yang bakalan nembak kamu, Rina mau
gak kamu jadi pacarku?”
Wajah Rina yang sedih berubah menjadi senyum lebar yang menandakan bahwa dia mau jadi
pacarku.

Hari itu menjadi hari tidak terlupakan untukku, 18 Oktober 2017 hari aku mulai pacaran dengan
Rina.
Kami pun menjalani hubungan ini selama 1 tahun, dan Rina memutuskan untuk membawaku ke
orangtuanya. Rasa takut dan cemas mulai muncul dalam diriku, aku belum siap menemui
orangtuanya.
“santai aja Lex, kamu kesana kan cuma kenalan sama orangtuaku, bukan mau aneh-aneh.”
Kata-kata Rina mulai meyakinkanku dan memberiku keberanian. Aku pun pergi menemui
orangtuanya.

Sesampainya disana, aku melihat orangtua Rina, ibunya yang sangat cantik dan lembut,
menyambutku dengan ramah, dan ayah Rina yang bertubuh besar dan gagah duduk di sebelah
ibu Rina.
“ayah, ibu, ini pacarku, Alex.”
Saat ayahnya mendengar bahwa aku adalah pacar rina wajahnya berubah menjadi serius dan
bertanya kepadaku, “kamu bisa kasih apa ke Rina?”
“ayah ngomong apa sih?” Rina terkejut mendengar kata-kata ayahnya.
kalimat pendek dengan ratusan makna itu membuatku bingung dan ketakutan karena aku
menyadari aku belum bisa memberikan apa-apa kepada Rina, karena aku sendiri masih siswa.
Aku pun terdiam di depan mereka, menyadari batas kemampuanku.
“kamu boleh jadi pacar Rina, jika kamu udah sukses, bisa cari uang sendiri, bisa cukupi
kebutuhanmu dan Rina. Jika kamu bisa memenuhi kebutuhanmu dan Rina, jangankan jadi pacar,
jadi suami Rina bapak bolehin. Tapi kalo kamu masih ingusan minta uang ke orangtua, jangan
harap untuk menjadi pacar Rina.”
“ayah, jangan terlalu kasar!” ibu Rina mulai marah. Tapi ayah Rina tetap keras kepala dan
serius.

Kata-kata ayah Rina membuatku merasa seseorang menamparku dengan sangat keras. Aku
memikirkan hubungan apa yang aku inginkan dengan Rina, hubungan yang serius, atau Cuma
cinta monyet? Dari situ aku pun memutuskan aku akan menikahi Rina, tapi aku harus berusaha
keras untuk Rina terlebih dahulu.
“untuk sekarang saya memang tidak bisa memberikan apa-apa, tetapi saya berjanji dalam
beberapa tahun kedepan saya akan menjadi orang yang sukses, untuk memenuhi kebutuhan saya
dan Rina.”
“ngomong aja gampang nak, kalo kamu emang serius, jangan hubungi Rina lagi sebelum kamu
jadi sukses!” ayahnya menambahkan.
“ayah!!!” jawab Rina dengan marah.
“tenang aja Rina, aku bakal jadi orang yang sukses, jadi kita bisa mendirikan panti asuhan
bersama. Tunggu aku, aku bakalan datang untuk kamu.”
Wajah Rina terlihat sedih saat mendengar jawabanku. Aku tidak bisa melihat wajah sedihnya,
tapi aku harus berjuang untuk dia demi masa depan kami.
“jangan sedih, aku janji aku bakalan sukses, kamu disini baik-baik ya, karena nanti saat aku
datang, aku akan langsung melamarmu.”
Rina menangis dan berkata padaku, “aku akan menunggumu, sampai kapanpun aku akan
menunggumu.”

Sejak itu kami pun tidak berhubungan lagi, kami menjalani hidup kami sendiri seperti yang
dijanjikan. Setelah lulus SMA aku melamar di perusahan sebagai bagian marketing. Begitu
banyak yang kulalui, mulai dari hinaan orang, bagaimana bos memarahi jika aku melakukan
sedikit kesalahan, dari situ aku pun menyadari beratnya mencari nafkah. Tetapi saat hidup
menjadi berat, aku memikirkan Rina menungguku untuk melamarnya, mendirikan panti asuhan
bersama. Aku pun mengepalkan tanganku dan memperkuat hatiku, menjalani hidup dengan
segala kesusahannya, hanya berharap untuk melamar Rina.

2 tahun berlalu, aku yang dulunya marketing biasa, menjadi manager dari perusahaan ternama
dengan gaji yang tinggi. Saat itu aku memutuskan untuk melamar Rina di hari kami pacaran,
yaitu 18 Oktober. Dengan mobil yang kudapatkan dari aku bekerja, aku membeli cincin dan
sekuntum bunga untuk melamar Rina.
Aku pun pergi ke rumah Rina dan mengetuk pintunya, sesaat setelah itu ibu Rina membuka
pintu depan. Saat ibunya melihatku, dia mulai menangis. Aku terkejut, aku menanyakan ada apa
dengannya. Ayah Rina datang dan melihatku, membantu ibu Rina bangun.
“Rina sudah tiada.” Dengan suara serak ibu Rina berkata padaku.
Aku menjatuhkan bungaku, tidak percaya itu terjadi. Bagaimana bisa Rina sudah meninggal.
“apa maksud ibu Rina sudah tiada?”
Ibu Rina memberikan suatu surat kepadaku dan menjelaskan kepadaku apa yang terjadi.
“1 tahun lalu, suatu hari Rina tidak dapat memegang bolpoin, tangannya terasa kehilangan
kendali dan diapun kesulitan menulis. Kami membawanya ke dokter, dan Rina didiagnosis
terkena ataxia, dia mulai kehilangan koordinasi otak ke tubuh, dari pergerakan tangan, kaki,
hingga bola matanya terganggu. Awalnya dia hanya kesulitan menulis, mengambil barang, tetapi
Semakin lama penyakitnya semakin parah, dia mulai lumpuh dan tidak bisa berbicara, dan
dokter berkata dia tidak akan bertahan lama. Tapi suatu hari, dia menuliskan suatu surat dengan
tenaganya yang terakhir, surat itu adalah surat untukmu.”

Aku dengan rasa sedih dan tidak percaya membuka surat tersebut. Air mataku menetes saat aku
membaca surat itu. Aku melihat suatu surat dengan tulisan yang tidak rapi, seperti orang yang
kehilangan koordinasi tubuhnya, berusaha untuk menyampaikan apa yang dia pikirkan
kepadaku, katanya “Alex, jika kamu membuka surat ini, aku yakin kamu sudah menjadi orang
yang sukses, dan aku yakin kamu pasti bisa melakukan itu. Tapi, aku minta maaf, karena aku
tidak bisa memenuhi janji kita, aku tidak tahu apa aku bahkan bisa bertahan hidup sampai kamu
datang nanti. Aku merindukanmu, tapi aku tidak mau mengganggumu untuk meraih kesuksesan
yang kamu kejar saat ini. Aku berterima kasih karena kamu mau berusaha keras untukku,
memenuhi janji yang kamu buat dulu. waktu bersamamu saat kita SMA dulu, adalah saat paling
bahagia yang pernah aku rasakan. Saat kita di café, membicarakan tentang hal-hal kecil, menjadi
ingatan yang tidak pernah terlupakan untukku. Aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu.
Aku rasa, saat kita mendirikan panti asuhan juga tidak akan pernah datang. Tapi bisakah kamu
mengabulkan permintaan terakhirku..”

Air mata semakin banyak menetes, aku tidak bisa menahan tangis saat aku membaca surat itu,
dan aku membaca permintaan terakhir dari Rina.

“aku ingin kamu tetap menjalani hidupmu, dan mendirikan panti asuhan seperti yang kamu cita-
citakan, jatuh cinta dengan wanita, menciptakan keluarga dengannya dan memiliki anak-anak,
hidup hingga tua dan memiliki cucu, bermain bersama mereka dan memiliki keluarga yang besar
dan harmonis.”

Aku menangis dengan keras, ayah dan ibu Rina hanya melihatku dengan wajah sedih.

“Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku, jika alasan tujuan hidupku adalah kamu!!” aku
berteriak dengan menangis, berharap Rina kembali padaku. Tapi itu tidak mungkin. 3 tahun aku
bekerja keras, siang dan malam, menghadapi semua hinaan, dan semua itu demi wanita yang
kucintai, tapi saat aku datang dengan kesuksesanku, dia meninggalkanku sendirian.
Aku menangis dan terus menangis seperti bayi, berharap keajaiban datang kepadaku. Tapi itu
tidak mungkin, Rina sudah tiada.

50 tahun kemudian, aku mendirikan panti asuhan, kuberi nama panti asuhan Rina. Aku
menerima semua anak yang terlantar, kehilangan orangtuanya, dan merawat mereka disini.

“hei, itu pemilik panti asuhan belum menikah?” kata perawat baru.
“iya, ceritanya dia dulu berjanji untuk melamar wanita saat dia sudah sukses, 3 tahun setelah itu
dia datang untuk melamar, dan wanita yang dia lamar sudah meninggal karena ataxia.” Kata
perawat lain.
“itu berarti, dia tidak bisa lepas dari wanita yang dia cintai dulu ya.”
“iya, dia memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup daripada menikah dengan wanita lain,
setia banget ya.”
Kata-kata perawat terdengar di telingaku, Aku yang sekarang sudah berumur 72, hanya bisa
duduk di kursi goyang dan memandang langit dan awan yang indah. Cahaya yang terang
mengingatkanku kembali pada Rina yang ceria, ramah, popular layaknya matahari yang terang.
ingatan SMA ku dulu bersama Rina teringat jelas di pikiranku. Tubuhku terasa lelah dan letih,
mataku mulai mengantuk dan aku ingin menutup mataku. Semua menjadi gelap, aku mulai tidak
bisa merasakan apapun.

Yang ada di bayangku hanya Rina, cinta pertama dan cinta terakhirku.
Menikmati Rasa Syukur

Cerpen Karangan: Hilda Fiati

Kawa, sahabatku adalah sosok perempuan yang anggun dengan kekurangannya yang mudah
mengeluh dan sulit berterima kasih. Namun, kekurangan itu terutup di mataku dengan rasa
sayang terhadapnya yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri.

Enam tahun kami bersahabat melalui kebahagiaan dan kesedihan bersama tak ubahnya seperti
sepasang sumpit mie ayam. Perempuan cantik, tubuhnya yang langsing dan tinggi, bola matanya
yang besar selalu menatap langsung pada lawan bicara, hidung mancung dan pipinya yang tirus
membuat laki-laki manapun yang melihatnya pasti terpana oleh kecantikannya.

Seberapa banyakpun kelebihan yang dimiliki manusia pasti selalu terselip kekurangan dalam
dirinya, begitu juga dengan Kawa. Ia mudah sekali mengeluhkan dirinya pada sesuatu yang
menurutku itu adalah hal yang sepele, seperti minggu lalu Kawa mencemaskan perubahan
kulitnya yang menjadi hitam setelah liburan. “Aduh Rim, gara-gara ke pantai kemarin tangan
gue jadi belang nih”, keluhnya menunjukan pergelangan tangan di hadapanku saat kami berjalan
cepat di koridor kampus, karena tiga menit lagi kelas segera dimulai.
“Minggu depan udah mulai ujian ya?”, tegur Kawa menghampiri saat aku sedang duduk dengan
memandangi layar ponselku. “Iya, belajar lo, jangan bikin contekan doang bisanya”, jawabku
tersenyum karena melihat gambar karikatur lucu. Menurutku, Kawa adalah perempuan yang
cerdas. Tetapi, ia selalu mengabaikan kemampuannya dan memilih untuk berpenampilan cantik
di mata semua orang, itu sebabnya ia tidak pernah belajar saat ujian sekalipun.

“Rim, sore ini temenin ke Mall yuk?”, ajaknya memohon padaku. Karena sore ini aku juga tidak
ada acara, aku mengiyakan ajakannya, entahlah apa yang diinginkannya sesampainya di sana
nanti. “Iya, gue temenin”, selaku datar saat berjalan keluar kampus. “Ya ampun… Ini cuacanya
panas banget deh!”, gerutu Kawa dengan menutupi tangannya menggunakan jaket, karena takut
hangus terbakar. “Lebay lo, ini baru panas di dunia, gimana di akhirat, Wa!”, sahutku.

Penglihatan Kawa tertuju pada seorang anak yang duduk di penjuru kota dengan tumpukan
koran di sampingnya. Berbalut kaos putih dekil mengalirkan keringat dan debu diusap
keningnya dengan tangan tanpa jemari. Memakan sebungkus nasi tanpa menggunakan tangan,
melainkan langsung pada mulutnya. “Penjual koran”, ujarku seraya melambaikan tangan di
hadapan wajah Kawa. Kulihat tatapanya tanpa mengubah kedipan mata yang tertuju pada anak
penjual koran itu. “Oh, eh, iya, ya, iya Rim, kenapa?” Kawa sedikit tergagap sambut ucapanku
dan segera memalingkan wajah di sekitanya. “Lo lihatin anak itu?”, ujarku menunjuk arah pojok
kota tempat penjual koran tersebut sedang asyik menikmati makannya. “Iya Rim, kok bisa ya?”,
Kawa keheranan, “Itu dia gak punya telapak tangan, Rim”, lanjutnya seolah ini adalah kali
pertama ia melihat manusia makan dengan cara hewani. “Apapun bisa terjadi, hidup kita udah
direncanakan dan gak ada yang bisa mencegahnya”, tegurku menghela nafas dengan suara pelan
dan rendah.

Kurasa Kawa empati terhadap penjual koran itu. Tanpa berpikir lama aku berniat mengajak
Kawa ke Panti Asuhan Penyandang Disabilitas sebelum kami pergi sore ini. Tempat yang aku
harapkan Kawa dapat sadar bahwa dirinya penuh keberuntungan. Sepanjang jalan kulihat mata
Kawa seperti membentuk telaga yang seakan ingin menumpahkan isinya.

Sampainya di tujuan tanpa mengira-ngira siapa yang datang Ibu Leli sebagai pengurus Panti
Asuhan segera menyambut kami dengan menarik senyumnya. “Rima”, tegurnya sambil
meninggalkan pakaian yang sedang dijemurnya. Beliau mempersilahkan kami untuk masuk dan
duduk. Ya, memang aku dan Bu Leli sudah saling mengenal, karena jarak panti dari rumah
baruku berseberangan. Tanpa membuang waktu lama aku meminta izin untuk memperlihatkan
Kawa isi dari Panti Asuhan Penyandang Disabilitas tersebut, dan syukurlah beliau mengizinkan.
Senyuman tipis di balik kerudung ya mengantarkan kami berkeliling dari satu ruangan ke
ruangan lainnya.

Kami melihat beberapa anak dengan kekurangan fisik yang berbeda-beda setiap individunya.
Dari anak yang Buta, Tuli, Bisu, Cacat Fisik, hingga Keterbelakangan Mental, sampai akhirnya
Kawa menumpahkan telaga yang sedari tadi membendungnya. “Bersyukurlah, Wa”, ucapku
dengan merangkul tubuhnya, “Tuhan udah menganugerahkan kita kesempatan lahir di dunia ini,
bagi mereka keterbatasan fisik bukan halangan untuk terus berkembang dan maju”, ajarku pada
Kawa, berharap ia bisa menyadari dirinya bahwa kurang tepat caranya dalam bersyukur.

Fisik bukan patokan untuk menjamin kita hidup bahagia walau terkadang tidak dapat dielakan
bahwa kita sering sekali mempermasalahkan “Kesempurnaan Fisik” yang kita miliki. Mungkin
selama ini Kawa beranggapan bahwa jika cantik ia akan mendapat sanjungan dari banyak orang.
Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja cara Kawa dalam mensyukuri nikmat tersebut
kurang tepat, sehingga ia tidak pernah merasa puas atas kecantikannya. Pada akhirnya segala
yang diciptakan tuhan akan menua dan mati.

Anda mungkin juga menyukai