Adinda Aurora, itulah namaku. Murid SMA biasa yang berada dikelas 11 SMA.
Aku masih ingin mengukir kenangan dengan teman-temanku yang lain, tapi tidak
untuk sekarang dan seterusnya.
1 Maret 2018
“Apakah sudah lengkap?” tanya ibuku. Aku mengangguk kecil sambil tersenyum.
“Iya, ini sudah semuanya” balasku.
Hari ini aku akan Lombok, itupun acara yang diadakan sekolah. Sebelum ujian
kenaikan kelas dimulai, kami akan pergi liburan terlebih dahulu. Aku pun
menutup tas ransel berwarna hitam dan membawanya dengan kedua pundakku.
“Ibu, saat tiba nanti akan ku beri tahu.” ibuku hanya tersenyum sambil
mengangguk.
Ku pakai sepatu putih ku lalu melambaikan tanganku sambil berteriak ‘aku pergi’.
Ku turuni tangga untuk menemui Farhan, ia bisa dibilang bodoh sekarang, begitu
juga aku yang masih saja turun ke bawah. Saat di lantai dua aku melihat Farhan
yang berjalan ke arah ku. Kemudian ia menarikku agar ikut menaiki tangga.
Saat aku menaiki tangga, kapal semakin miring. Mungkin sudah 60 derajat.
Barang-barang satu persatu mulai berjatuhan, aku berusaha menahan tubuhku
namun tidak bisa.
“Bisakah kau lebih berhati-hati?” ucap Farhan sambil memegang tanganku. Aku
hanya diam tidak berbicara, diriku terlalu terkejut dengan apa yang terjadi
barusan.
Dengan perlahan-lahan kami melangkah sambil memegang tembok agar tidak
jatuh. Kami juga kesusahan melangkah karena banyak murid yang berbaring di
lantai. Hampir saja aku dan Farhan menyerah dan ikut dengan mereka yang duduk
di lantai atupun diam di kamar masing-masing. Namun, aku masih waras dan aku
tidak ingin mati karena tenggelam di kapal.
Saat sampai di lantai empat, aku segara menuju ke mereka, “ayo, kita harus keluar
dari sini!” ajakku. Bisa kulihat wajah mereka yang tercampur aduk. Sedih,
khawatir, pasrah, dan cemas.
“Sekali lagi saya beritahu bahwa untuk tetap tenang, jangan bergerak, dan tetap
diam di tempat. Tim penyelamat akan segera datang” pengumuman itu berbunyi
lagi setelah berkali-kali diberi tahu.
“Apa kau tidak mendengar itu? Kita disuruh berdiam diri disini” ucap Sarah.
“Kalian harus selamat. Jangan dengarkan pemberitahuan bodoh dan tidak masuk
akal seperti itu. Ayo ikut aku” namun mereka menolak ajakanku.
“Kamu bisa pergi Din, kami akan tetap disini” tegas Yasmin.
“Ayo” ajak Farhan sembari menarik tanganku. Aku hanya bisa pergi
meninggalkan mereka dan berjalan menuju dek.
Lagi dan lagi kapal ini semakin miring. Bisa kurasakan sepertinya kapal ini
hampir 90 derajat. Dengan begitu, dinding pun kampir menjadi lantai sekarang,
atau sudah menjadi lantai. Ku eratkan genggamanku pada Farhan. Kami masih
mencari pintu dek.
“Apa kalian mencari pintu dek?” tanya seorang murid perempuan yang datang
dari arah depan. Aku dan Farhan pun mengangguk pelan.
“Ikuti aku” ajaknya. Aku dan Farhan pun mengikutinya, hingga akhirnya kami
sampai di pintu dek. Terlihat beberapa orang sudah ada di pintu dek. Aku
menoleh mencari orang yang mengarahkan ku dan Farhan ke pintu dehk. Namun,
aku sudah tidak melihatnya lagi. Apa dia pergi untuk menyelamatkan yang lain?
Semoga saja dia selamat.
“Kau duluan” suruh Farhan. Aku menatapnya dengan tatapan bertanya. Ada apa
dengannya? Kenapa sorot tatapannya sendu? Kenapa dia menyuruhku naik
duluan? Kenapa tidak bersama saja?
“Tidak” seakan tau apa yang ada dipikiranku, dia mengucapkan satu kata yang
membuatku khawatir. Banyak bayangan buruk yang mulai masuk ke dalam
kepalaku.
Farhan pun mendorong tubuhku untuk segera naik. Aku khawatir jika Farhan
tidak selamat. Dia bahkan tidak mengenakan pelampung sama sekali yang
membuatku tambah khawatir.
“Aku berada di belakangmu, jangan khawatir” ucap Farhan dengan senyum
khasnya. Akhirnya aku melangkahkan kakiku menuju dek. Ku harap itu bukan
senyuman terakhirnya. Aku tidak ingin mendengan dan menatap wajahnya untuk
terakhir kalinya.
Saat di dek bisa ku lihat banyak orang yang meloncat keluar. Aku pun
meloncatkan diriku ke air. Saat ke lihat ke belakang, tidak ada Farhan. Rasa
khawatirku semakin menjadi.
“Hei! Cepat naik ke atas kapal!” teriak nelayan yang membantu. Nelayan itu
mengulurkan tangannya kepadaku. Akupun membalas ulurannya dan naik ke atas
kapal.
Aku selamat, namun tidak dengan yang lain. Ku tolehkan badanku untuk melihat
kapan yang perlahan-lahan tenggelam dengan sangat cepat. Tidak ku sangka,
acara sekolah bisa semenyeramkan ini. Tidak teras air mataku menetes. Aku bisa
mendengar saat loncat ke air. Banyak murid yang menangis dan berteriak,
berharap ia di selamatkan. Namun, mereka harus meninggal dengan cara yang
amat sangat menyedihkan. Kehabisan nafas di dalam air yang dingin sangatlah
menyakitkan.
Aku pun dipindahkan ke kapal yang lebih besar. Bisa ku lihat hanya tersisa
lambung kapal yang masih mengapung. Impian mereka tidak bisa tercapai,
keinginan mereka untuk menjadi orang yang berprestasi tidak bisa mereka capai.
Itu yang aku pikirkan sekarang. Aku berharap Farhan tidak menjadi salah satu
korban. Begitu juga teman-temanku.
Sekarang kami yang selamat sudah sampai di dermaga. Dengan berbalut selimut,
kami berjalan keluar dari kapal menuju orang tua masing-masing. Bisa kulihat
orangtuaku yang sudah menangis. Ku langkahkan kakiku menuju orangtuaku.
Saat sudah di depan mereka aku langsung memeluk erat mereka dan menangis
sejadi-jadinya.
“Aku takut…” tangisku. Ibu dan ayahku semakin memelukku erat. Ibuku
mengusap-usap penggungku, begitu juga ayahku untuk memberikan sedikit
ketenangan.
“Aku takut..hiks..m-mereka masih ada di dalam sana..aku takut..hiks..k-
kehilangan m-mereka..” tangisku semakin keras. Di satu sisi aku bersyukur karena
selamat, namun disatu sisi aku menyesal karena teman-temanku tidak selamat.
“Yang terpenting kamu ada disini, dipelukan ibu dan ayah” ucap ibu.
“Lebih baik kita ke dokter dulu” suruh ayahku. Namun aku menggeleng menolah.
“Aku ingin disini dulu” kataku. Ibu dan ayah yang mengerti keadaan pun
mengiyakan.
Aku masih tida percaya terhadap apa yang terjadi barusan. Kapal Egol, kapal yang
kita tumpangi untuk jalan-jalan ke Lombok tenggelam.
Nama lengkap : Aisyanjani Isavitri
NIM : H4401221013
Asrama : A3
No. WhatsApp : 088224759058