Anda di halaman 1dari 13

A STORY

Adinda Aurora, itulah namaku. Murid SMA biasa yang berada dikelas 11 SMA.
Aku masih ingin mengukir kenangan dengan teman-temanku yang lain, tapi tidak
untuk sekarang dan seterusnya.
1 Maret 2018
“Apakah sudah lengkap?” tanya ibuku. Aku mengangguk kecil sambil tersenyum.
“Iya, ini sudah semuanya” balasku.
Hari ini aku akan Lombok, itupun acara yang diadakan sekolah. Sebelum ujian
kenaikan kelas dimulai, kami akan pergi liburan terlebih dahulu. Aku pun
menutup tas ransel berwarna hitam dan membawanya dengan kedua pundakku.
“Ibu, saat tiba nanti akan ku beri tahu.” ibuku hanya tersenyum sambil
mengangguk.
Ku pakai sepatu putih ku lalu melambaikan tanganku sambil berteriak ‘aku pergi’.

“DINDA! DISINI!” teriakan yang kudengar saat sampai di pelabuhan. Ku


tolehkan kepalaku ke kanan, ternyata teman-temanku sudah ada di sana. Mereka
adalah Yasmin, Putri, dan Sarah. Aku berlari menuju mereka yang kelihatannya
sudah lama menunggu.
“Kenapa kau lama sekali?” Sarah memukul pundak ku dengan tatapan kesal.
“Maaf, tadi aku ketinggalan bis, jadi harus naik yang kedua,” balasku dengan
eksresi bersalah.
“Kapalnya ditunda beberapa jam karena kabut. Apa sebaiknya kita jajan dulu?”
ajak Putri yang disetujui oleh kami.
Kami pun pergi ke supermarket yang tak jauh dari tempat kami berkumpul.
Setelah sampai, kami langsung berpencar untuk membeli jajan kesukaan masing-
masing.
Setelah selesai membeli, kami kembali ke tempat semula. Masih ada banyak
murid yang belum datang ke pelabuhan.
Sudah hampir 2 jam kami menunggu kabut turun dan itu membuat aku dan yang
lainnya bosan. Hingga akhirnya aku menghabiskan snack yang seharusnya aku
makan saat di kapal nanti.
“Dinda, aku bosan,” keluh Sarah.
“Aku juga, hampir saja aku berpikir untuk kembali pulang, tapi aku nggak mau.
Kita akan sibuk tentunya di kelas 12 nanti, jadi aku ingin bersenang-senang
terlebih dahulu.” terlihat raut wajah Sarah yang mungkin terharu dengan apa yang
kuucapkan.
“Hei! Kapalnya akan berangkat!” teriak Putri yang sudah berada di dekat badan
kapal, serta Yasmin yang berada di sampingnya. Aku dan Sarah yang sedari tadi
mengobrol tersadar akan teriakan Putri. Kami pun menyusul mereka untuk naik ke
dalam kapal.
Tak bisa ku pungkiri bahwa kapal ini sangatlah besar dan juga luas. Tempatnya
pun juga bersih.
Ku harap ini menjadi perjalanan yang paling menyenangkan.
Kami sudah berada di dalam kamar. Suasana sunyi menyelimuti kami yang sibuk
dengan urusan masing-masing, karena terdapat anak dari kelas lain juga. Hingga
akhirnya Yasmin memutuskan untuk berkenalan, “bagaimana kalau kita
berkenalan?” seru Yasmin. Kami yang berada di kamar itu pun mengangguk
setuju.
“Jadi, mulai dari siapa?” tanya Sarah. Kami pun saling melempar pandangan.
Belum ada keberanian di dalam diriku untuk memperkenalkan diri.
“Dari aku saja!” kata salah satu dari mereka yang tempat tidurnya bersebelahan
denganku.
“Baiklah, jadi siapa namamu?” tanyaku langsung.
“Namaku Kayla” ucapnya ditambah senyum tipis. Aku lumayan terkagum dengan
pesona yang ia keluarkan.
Aku pun berusaha mengumpulkan keberanian untuk memperenalkan diri. “Kalau
aku Adinda, yang dibelakang ku ini Yasmin, diatasnya Sarah dan diatasku Putri”
jelasku. Kayla mengangguk mengerti.
“Kalau di belakang ku ini Naya, diatasnya Farah, dan diatasku Citra” jelasnya.
Akupun mengangguk mengerti.
Perjalanan dari Surabaya ke Lombok membutuhkan waktu kurang lebih 20 jam.
Sekarang sudah jam 10 malam, dan aku belum mengantuk sama sekali. Aku
masih senang akan berpergian ke Lombok. Bisa ku bayangkan betapa indahnya
Lombok itu.
Karena merasa bosan, kami pun bermain kartu uno. Gelak tawa hingga teriakkan
kemenangan atau pun tak terima kekalahan memenuhi ruangan ini. Hingga kami
tidak sadar akan waktu yang terus berjalan.
Jujur, aku tidak peduli akan jarum jam yang terus bergeser, karena momen seperti
ini akan menjadi langka sebentar lagi dan kami mungkin tidak akan tertawa
seleluasa ini. Masuknya kami ke kelas 12 yang sibuknya hampir sama seperti
orang bekerja membuat waktu bermain terkikis. Dan aku tidak mau tidak
membawa kenangan saat pergi atapun pulang dari Lombok.
“Sepertinya di kamar lain sudah pada tidur. Apa kita pergi tidur juga?” tanya
Naya.
“Tidak, aku belum mengantuk” tolak ku. Yang lain mengangguk setuju.
“Oke, kalau beigut kita tidak boleh berisik. Pada jam segini guru-guru mulai
berpatroli agar memastikan bahwa kita semua tidur.” Peringatan Naya dengan
nada berbisik. Kami pun mendengarnya mengangguk kecil.
“Sebaiknya ita cuci muka dulu, lalu kembali sambil bercerita lalu tidur” usul
Putri. Anggukan kepala diberikan untuk usulan Putri. Kami pun mengambil
peralatan untuk cuci muka dan pergi ke toilet.
Sekaran Dinda dan yang lainnya sedang berada di toilet. Toilet disini tidak terlalu
kecil, namun harus bergantian untuk memakainya hingga menghabiskan kurang
lebih 20 menit. Walau membutuhkan waktu yang cukup lama, namun sekarang
ritual cuci muka sudah dijalani dengan baik.
“Ayo balik!” seru Citra. Kami pun berjalan menuju lantai tiga untuk kembali ke
kamar. Saat kami menaiki tangga, kami dikejutkan dengan suara yang tidak asing.
“Apa yang kalian lakukan? Ini sudah malam” suara baritone tersebut terdengar
oleh kami berdelapan. Langkah kami otomatis terhenti, bulu kuduk mulai berdiri,
dan juga pita suara yang mulai enggan mengerjakan tugasnya.
Aku yang berada paling belakang perlahan menengok ke belakang. Persis seperti
di film horor yang sering ku tonton di sekolah jika ada jam kosong. Diiringi doa
yang ku panjatkan di dalam hati agar mendapatkan perlindungan dari setan
ataupun kawan-kawannya.
“AAAAAAA!!!!” sontak mereka juga teriak dikarenakan teriakanku.
Bagaimana aku tidak teriak? Sekarang hampir seluruh lampu sudah mati,
pencahayaan disini juga sedikit remang-remang dan Farhan tiba-tiba saja menegur
dengan suaranya yang terdengar seperti hantu dan diam berdiri. Ditambah masker
yang masih menempel rapi di wajahnya.
“Kenapa kau tiba-tiba saja disini? Dan kenapa masker itu terpasang di wajahmu?”
omelku yang sudah di kuasai oleh emosi.
“Aku hanya jalan-jalan, kenapa kau memarahiku?” balas Farhan yang mulai
menaikkan nadanya.
“Setidaknya lepas dulu maskermu” ucapku kesal.
“Kan aku hanya jalan-jalan saja” balasnya lagi.
“Apa jalan-jalan akan terus menjadi alasanmu? Seperti tidak mempunyai rumah
saja”
“Apa!?” teriaknya
“Apa!? Apa kau akan meninjuku? Jika kau meninjuku akan ku balas yang lebih
sakit lagi!” balasku tak mau kalah.
Sia-sia energi yang ku keluarkan untuk berdebat dengannya, lebih baik aku
kembali saja. Aku pun berbalik badan bertujuan untuk kembali ke kamar bersama
mereka. Tapi mereka semua sudah meninggalkanku.
“Pft” suara tawa yang tertahan terdengar dari bawah. Terlihat Farhan sedang
menahan tawa. Aku pun tidak memperdulikan itu karena sudah lelah berdebat
dengannya.
Aku segera naik menuju lantai tiga, suasana disini lumayan mengerikan- bukan
lumayan, namun memang mengerikan. Semua pintu sudah ditutup dan juga guru
yang mulai berjalan ke arahku. Dan sekarang aku bingung ingin jalan kemana,
jika ke depan aku akan dimarahi dan dihukum, entah dalam bentuk soal atau kuis
mendadak. Namun jika aku ke belakang aku akan bertemu dengan Farhan.
Aku lebih memilih turun lagi ke bawah. Dan ternyata disini lebih menyeramkan
daripada lantai tida. Disini betul-betul tidak ada orang. Tanpa berpikir panjang,
aku bersembunyi di toilet. Tidak ada pilihan lagi.
Ku buka sedikit pintu agar bisa mengintip dari luar, setidaknya aku tau keadaan
diluar bagaimana. Kalau aman aku keluar, kaalu tidak aku akan disini hingga
aman.
“Kenapa kau bersembunyi disini?” terdengar suara di belakangku. Aku
menolehkan kepala dengan cepat untuk memastikan siapa di belakang itu.
“AAA-“
“Jangan teriak, bodoh!” Farhan langsung membekap mulutku. Bisa ku lihat
dicelah pintu seorang guru sempat menoleh ke arah kamar mandi, namun ia lanjut
berpatroli dan menghiraukan teriakan ku tadi.
Kami masih tetap di posisi yang sama. Hening, itu yang bisa ku rasakan disini.
Saat Farhan menoleh sedikit ke celah pintu ia menghela nafas panjang. Ia pun
mendorong pelan-pelan pintu toilet.
“Sekarang cepatlah pergi ke kamarmu sebelum ada guru” suruh Farhan. Namun
aku masih diam dan menatapnya penuh dengan penasaran, sedangkan Farhan
yang sadar di tatap olehku mengernyitkan alisnya.
“Kenapa kamu bersembunyi di toilet?” tanyaku dengan volume suara yang
sengaja ku kecilkan.
“Dari ujung sana ada guru yang berpatroli juga, jadi aku sembunyi. Tidak lama
kamu masuk” jelasnya sembari menunjuk ke arah ujung lorong lantai dua. Aku
pun mengangguk mengerti.
Setelah itu, aku berjalan kembali menuju kamar. Saat sampai di kamar, mereka
tidak tidur, namun duduk melingkar sambil membicarakan sesuatu.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku sambil duduk di ranjang tempat aku tidur.
Naya menengok ke arahku dengan tatapan yang menyimpan beribu pertanyaan.
“Apakah benar, kau ada hubungan dengan Farhan? Tanya Naya. Aku pun
mendengar itu spontan menyembur air yang sedang ku minum.
“Hah? Berpacaran dengan Farhan? Aku saja berharap tidak pernah bertemu
dengannya” ucap ku penuh dengan nada kesal.
“Sudahlah, sebaiknya kita cepat tidur. Besok pagi kita akan sarapan” ujar Farah.
Lalu aku membaringkan badan menghadap ke kanan.
2 Maret 2018 pukul 07.15
“Dinda, bangun. Kita mau sarapan” ucap Kayla sambil sedikit menggoyangkan
tubuhku. Aku bukannya bangun, malah menaikkan selimut hingga atas kepala.
“Baiklah, kau bisa tidur dulu. Jangan salahkan aku bila makanannya habis” ujar
Kayla yang mulai melangkah keluar. Namun aku tidak menghiraukan perkataan
Naya, bagiku sekarang lebih penting tidur.
“Dinda bangun!!!” teriak seseorang dekat dengan telinga ku yang membuatku
terkejut bukan main.
“APA SIH!?” teriaku ku saat kaget. Bisa ku lihat senyumnya bagaikan tak punya
dosa.
Farhan menarik selimutku dan juga bantalku dengan paksa.
“Bangun, jangan jadi pemalas” ujar Farhan seperti ibuku.
Aku berusaha mengambil selimut dan bantal, namun itu sia-sia karena Farhan
berdiri dan menjauh dariku agar aku tidak bisa mengambilnya.
“Baiklah, aku akan bangun” ucapku kesal. Farhan pun tersenyum senang.
Akupun mengambil sabun cuci mukaku dan perlengkapan lainnya untuk cuci
muka. Aku melangkah malas menuju toilet. Sejujurnya aku malas sekali untuk
sarapan, namun karena rasa malas dikalahkan oleh rasa lapar, akhirnya aku pegi
ke dek dahulu.
Udara pagi di laut memang berbeda daripada udara pagi di kota. Di tengah
lamunan, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya seseorang. Aku yang menoleh pun terkejut.
Erwin. Ia sekarang berada di sebelahku.
Jujur, aku menyukainya sejak kelas 10, sekarang pun kami menjadi lebih dekat
karena sekelas. Namun, aku tidak tahu apakah Erwin mempunyai rasa yang sama
atau hanya menganggapku sebagai teman.
Aku yang sedikit terkejut menjawab dengan lumayan gagap, “t-tidak ada. Aku
hanya menikmati u-udara pagi.” balasku dengan sedikit senyuman. Erwin pun
tersenyum kecil.
“Dinda, ayo kita nanti jalan-jalan saat berada di Lombok” ajak Erwin.
“Pasti kita akan jalan-jalan, kalau tidak jalan-jalan apa gunanya kita ikut acara
sekolah” jawabku. Namun Erwin malah menggelengkan kepalanya.
“Bukan acara sekolah, namun jalan-jalan berdua. Aku dengan mu” jelasnya
sambil menatapku. Bisa ku rasakan pipiku memerah sekarang. Entah karena aku
yang bodoh atau reflek dari tubuh, aku berlari ke dalam meninggalkannya.
“Apa yang kau lakukan Dinda!?” gumamku. Itu adalah hal terbodoh yang pernah
ku lakukan seumur hidupku.
Pukul 08.30
Aku yang sedang bermain hp sambil sarapan tiba-tiba mendapat telfon dari ibuku.
“Dinda, bagaimana? Apa kamu sudah sampai di Lombok?” tanya ibuku ketika
aku mengangkat telfonnya.
“Belum, kami masih di jalan” jawabku.
“Baiklah, hati-hati. Jangan lupa belikan oleh-oleh untuk ibu dan ayahmu, oke!”
pintanya.
“Baiklah bu” jawabku lagi. Dan ibu pun mengakhiri telfonnya. Ku matikan hp dan
melanjutkan sarapan ku yang tertunda.
Setelah selesai sarapan, aku pun melangkahkan kakiku pergi ke kamar untuk
bermain hp. Saat ku rebahkan tubuhku ke kasur, aku dikejutkan dengan Farhan
yang berdiri di ambang pintu.
“Ini, kau tadi hanya sarapan sedikit saja bukan” Farhan yang asal masuk dan
membawa satu piring penuh dengan kue. Aku yang melihat itu menggelengkan
kepala.
“Aku tidak selera” tolak ku terhadap apa yang dibawa oleh Farhan. Bisa kulihat
sedikit raut kesal mulai tertoreh di wajahnya.
“Kau tau betapa susahnya aku membawa kue sebanyak ini? Aku hampir saja
dimarahi oleh guru tau. Kau bisa tanya saja kepada Citra atu Naya yang
membantuku membawa kue sebanyak ini” kekesalannya pun tumpah dalam
sekejap.
“Aku tidak peduli kau dimarahi atau tidak” jawabku dengan santai.
Farhan pun duduk di seberang kasur dan memakan kue yang ia bawa tadi dengan
wajah kesalnya. Bisa kudengar sedikit ia bergumam sambil menyunyah.
“Kalau begini ceritanya aku tidak harus susah-susah membawakanmu kue-kue
ini” Farhan masih saja mengomel. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya
dengan kue yang ia bawa.
Aku mengabaikan Farhan yang masih saja memakan kuenya satu pesatu.
Sebentar, kenapa kue tiramisu harus ada disitu? Aku akui kalau aku sangat
menyukai kue tiramisu.
Tersadar akan kehadiran kue favorit, aku langsung duduk. Farhan yang melihat itu
menatapku aneh.
“Kenapa kau bangun? Katanya tidak mau” tanya Farhan.
“Sekarang tidak, aku ingin memakan kue tiramisu itu!” ujarku penuh penekanan
sambil menujuk potongan kue tiramisu.
Farhan yang melihat jariku menunjuk salah satu kue favoritnya langsung
menyembunyikan piring ke belakang tubuhnya.
“Tidak, aku tidak akan memberikan kue tiramisu ini” kata Farhan dengan tegas.
Aku yang tidak mau menyerah pun berusaha mengambil kue itu agar aku
memakan ke tiramisu yang lezat itu.
“Kau tadikan ingin membawakanku kue, kenapa sekarang kau tidak mau
memberikut kue?” tanyaku kesal sambil berusaha mengambil piring dibelakang
tubuh Farhan.
“Itu kan tadi, sekarang aku berubah pikiran” ucap Farhan sambil menahan
tubuhku dengan lengannya.
Tentu saja aku tidak menyerah untuk mengambil kue itu. Bahkan aku rela berlari
10 atau 100 kali mengelilingi lapangan bola.
BOMM
“Apa yang terjadi?” tanya ku terkejut. Bisa kurasakan kapal ini seperti menabrak
sesuatu. Benturannya sangat kerasa, bahkan kue yang dipegang oleh Farhan
hampir terjatuh.
“Apa kau ingin mengecek keluar?” tawar Farhan setelah melihat wajahku yang
panik namun penasaran apa yang terjadi. Aku pun mengangguk.
Saat aku dan Farhan keluar, bisa ku lihat beberapa siswa juga sibuk menanyakan
apa yang terjadi. Aku yang bingung dan panik mulai berjalan menuju luar,
sepertinya kapal menabrak sesuatu.
“Apa kau tidak apa-apa?” tanya Farhan. Aku menggeleng kecil, pikiranku
bercabang sekarang.
“Aku harus mencari mereka” kataku terhadap Farhan lalu pergi ke arah tangga.
Ku langkahkan kakiku sebisa mungkin. Kapal ini sedikit miring. Jujur, aku sangat
takut, teramat sangat takut. Namun jika aku ketakutan, aku tidak bisa mencari
temanku dan temanku mungkin saja tidak selamat dan aku juga tidak selamat.
Ku lawan rasa takutku sembari meneriaki nama mereka bertiga, “Yasmin! Putri!
Sarah! Kalian dimana!?” teriakku. Aku masih berusaha melangkahkan kakiku
menuju lantai dua. Akhirnya aku bertemu dengan mereka saat ditangga.
“Kalian tidak apa-apa kan?” tanya ku panik.
“Kami bertiga tidak apa-apa Din” jawab Sarah se tenang mungkin walau
diselimuti rasa panik juga.
“Sudahlah, sebaiknya kita naik ke atas” arahku kepada mereka. Ku tarik mereka
menuju lantai tiga
Kapal ini benar-benar sudah miring beberapa derajat. Yasmin yang berada di
belakangku memegang erat tanganku, begitu juga Sarah dan Putri. Aku pun
berbisik kecil, memberi mereka sedikit ketenangan, “jangan khawatir, aku disini”
Saat sampai di lantai tiga, aku melihat Farhan yang berlari dengan susah payah ke
arah ku. Ia membawa empat pasang pelampung.
“Ini, kau pakai dulu” kata Farhan memberiku empat pasang pelampung. Aku yang
menerimanya kebingungan.
Bagaimana bisa dia memberikan pelampung kepada orang lain, sedangkan dia
sendiri belum memakai pelampung sama sekali. Setelah memberikan pelampung
kepadaku, kakinya beranjak dan melangkah melewatiku.
“Kau mau kemana?” tanyaku kepadanya. Farhan hanya melihatku sebentar dan
mulai berlari menuruni tangga. Aku yang melihat itu pun merasa kesal padanya.
“Ini, kalian pakai saja dulu. Lalu kalian pergilah menuju dek” suruhku sambil
memakaikan pelampung ke mereka.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Sarah. Aku tersenyum sambil
mengancingkan pelampung.
“Kita akan bertemu di dek nanti, aku janji” ucapku.
“Kau janjikan?” kata Putri dengan wajah sendunya ditambah ketakutan.
“Iya, aku janji” setelah meyakinkan mereka bertiga, mereka pun mulai melangkah
menuju lantai empat dengan perlahan. Entah sejak kapan pikiranku tertuju pada
Farhan dan mulai mengkhawatirkannya.
“Pengumuman untuk penumpang, demi keselamatan bersama. Kami perintahkan
jangan bergerak dan tetap diam di tempat” pengumuman itu terdengar dari
speaker di dalam kapal, ini sudah kelima kalinya mereka mengumumkan
pemberitahuan. Bagaimana bisa ia menyuruh kami untuk tetap diam di tempat.

Ku turuni tangga untuk menemui Farhan, ia bisa dibilang bodoh sekarang, begitu
juga aku yang masih saja turun ke bawah. Saat di lantai dua aku melihat Farhan
yang berjalan ke arah ku. Kemudian ia menarikku agar ikut menaiki tangga.
Saat aku menaiki tangga, kapal semakin miring. Mungkin sudah 60 derajat.
Barang-barang satu persatu mulai berjatuhan, aku berusaha menahan tubuhku
namun tidak bisa.
“Bisakah kau lebih berhati-hati?” ucap Farhan sambil memegang tanganku. Aku
hanya diam tidak berbicara, diriku terlalu terkejut dengan apa yang terjadi
barusan.
Dengan perlahan-lahan kami melangkah sambil memegang tembok agar tidak
jatuh. Kami juga kesusahan melangkah karena banyak murid yang berbaring di
lantai. Hampir saja aku dan Farhan menyerah dan ikut dengan mereka yang duduk
di lantai atupun diam di kamar masing-masing. Namun, aku masih waras dan aku
tidak ingin mati karena tenggelam di kapal.
Saat sampai di lantai empat, aku segara menuju ke mereka, “ayo, kita harus keluar
dari sini!” ajakku. Bisa kulihat wajah mereka yang tercampur aduk. Sedih,
khawatir, pasrah, dan cemas.
“Sekali lagi saya beritahu bahwa untuk tetap tenang, jangan bergerak, dan tetap
diam di tempat. Tim penyelamat akan segera datang” pengumuman itu berbunyi
lagi setelah berkali-kali diberi tahu.
“Apa kau tidak mendengar itu? Kita disuruh berdiam diri disini” ucap Sarah.
“Kalian harus selamat. Jangan dengarkan pemberitahuan bodoh dan tidak masuk
akal seperti itu. Ayo ikut aku” namun mereka menolak ajakanku.
“Kamu bisa pergi Din, kami akan tetap disini” tegas Yasmin.
“Ayo” ajak Farhan sembari menarik tanganku. Aku hanya bisa pergi
meninggalkan mereka dan berjalan menuju dek.
Lagi dan lagi kapal ini semakin miring. Bisa kurasakan sepertinya kapal ini
hampir 90 derajat. Dengan begitu, dinding pun kampir menjadi lantai sekarang,
atau sudah menjadi lantai. Ku eratkan genggamanku pada Farhan. Kami masih
mencari pintu dek.
“Apa kalian mencari pintu dek?” tanya seorang murid perempuan yang datang
dari arah depan. Aku dan Farhan pun mengangguk pelan.
“Ikuti aku” ajaknya. Aku dan Farhan pun mengikutinya, hingga akhirnya kami
sampai di pintu dek. Terlihat beberapa orang sudah ada di pintu dek. Aku
menoleh mencari orang yang mengarahkan ku dan Farhan ke pintu dehk. Namun,
aku sudah tidak melihatnya lagi. Apa dia pergi untuk menyelamatkan yang lain?
Semoga saja dia selamat.
“Kau duluan” suruh Farhan. Aku menatapnya dengan tatapan bertanya. Ada apa
dengannya? Kenapa sorot tatapannya sendu? Kenapa dia menyuruhku naik
duluan? Kenapa tidak bersama saja?
“Tidak” seakan tau apa yang ada dipikiranku, dia mengucapkan satu kata yang
membuatku khawatir. Banyak bayangan buruk yang mulai masuk ke dalam
kepalaku.
Farhan pun mendorong tubuhku untuk segera naik. Aku khawatir jika Farhan
tidak selamat. Dia bahkan tidak mengenakan pelampung sama sekali yang
membuatku tambah khawatir.
“Aku berada di belakangmu, jangan khawatir” ucap Farhan dengan senyum
khasnya. Akhirnya aku melangkahkan kakiku menuju dek. Ku harap itu bukan
senyuman terakhirnya. Aku tidak ingin mendengan dan menatap wajahnya untuk
terakhir kalinya.
Saat di dek bisa ku lihat banyak orang yang meloncat keluar. Aku pun
meloncatkan diriku ke air. Saat ke lihat ke belakang, tidak ada Farhan. Rasa
khawatirku semakin menjadi.
“Hei! Cepat naik ke atas kapal!” teriak nelayan yang membantu. Nelayan itu
mengulurkan tangannya kepadaku. Akupun membalas ulurannya dan naik ke atas
kapal.
Aku selamat, namun tidak dengan yang lain. Ku tolehkan badanku untuk melihat
kapan yang perlahan-lahan tenggelam dengan sangat cepat. Tidak ku sangka,
acara sekolah bisa semenyeramkan ini. Tidak teras air mataku menetes. Aku bisa
mendengar saat loncat ke air. Banyak murid yang menangis dan berteriak,
berharap ia di selamatkan. Namun, mereka harus meninggal dengan cara yang
amat sangat menyedihkan. Kehabisan nafas di dalam air yang dingin sangatlah
menyakitkan.
Aku pun dipindahkan ke kapal yang lebih besar. Bisa ku lihat hanya tersisa
lambung kapal yang masih mengapung. Impian mereka tidak bisa tercapai,
keinginan mereka untuk menjadi orang yang berprestasi tidak bisa mereka capai.
Itu yang aku pikirkan sekarang. Aku berharap Farhan tidak menjadi salah satu
korban. Begitu juga teman-temanku.
Sekarang kami yang selamat sudah sampai di dermaga. Dengan berbalut selimut,
kami berjalan keluar dari kapal menuju orang tua masing-masing. Bisa kulihat
orangtuaku yang sudah menangis. Ku langkahkan kakiku menuju orangtuaku.
Saat sudah di depan mereka aku langsung memeluk erat mereka dan menangis
sejadi-jadinya.
“Aku takut…” tangisku. Ibu dan ayahku semakin memelukku erat. Ibuku
mengusap-usap penggungku, begitu juga ayahku untuk memberikan sedikit
ketenangan.
“Aku takut..hiks..m-mereka masih ada di dalam sana..aku takut..hiks..k-
kehilangan m-mereka..” tangisku semakin keras. Di satu sisi aku bersyukur karena
selamat, namun disatu sisi aku menyesal karena teman-temanku tidak selamat.
“Yang terpenting kamu ada disini, dipelukan ibu dan ayah” ucap ibu.
“Lebih baik kita ke dokter dulu” suruh ayahku. Namun aku menggeleng menolah.
“Aku ingin disini dulu” kataku. Ibu dan ayah yang mengerti keadaan pun
mengiyakan.
Aku masih tida percaya terhadap apa yang terjadi barusan. Kapal Egol, kapal yang
kita tumpangi untuk jalan-jalan ke Lombok tenggelam.
Nama lengkap : Aisyanjani Isavitri
NIM : H4401221013
Asrama : A3
No. WhatsApp : 088224759058

Anda mungkin juga menyukai