Anda di halaman 1dari 12

Jakarta dan Kenangan

Bab 1 : Sekilas Kota Jakarta

Jakarta merupakan provinsi istimewa yang masuk ke dalam pulau Jawa. Yang
terkenal dari kota itu adalah tugu nasional yang banyak dikunjungi banyak
orang dari dulu sampai sekarang. Selain itu, hal terkenal lainnya dari Jakarta
adalah kemacetan lalu lintas yang sudah tidak menjadi rahasia umum bagi
banyak orang. Bahkan bagi penduduk di luar Jakarta pun semua tau. Hiruk
pikuk suasana kota itu terkenal dengan polusi kendaraan yang kadang
menyesakkan. Membuat kabut asap yang kotor pun memenuhi langit kota.

Di balik kekotoran udara kota Jakarta, banyak spot terkenal yang mempunyai
banyak peminat. Bahkan banyak turis yang datang untuk menyaksikan dan
serunya berbagai wahana di Dufan dan indahnya laut di Ancol. Merupakan
perpaduan sempurna yang tidak boleh dilewatkan ketika mengunjungi ibu
kota negara ini. Kalau mau ke tempat yang bersejarah dan berkaitan dengan
budaya, Taman Mini Indonesia Indah adalah tempatnya. Di sana banyak rumah
adat, barang-barang bernilai sejarah, teknologi menarik di Pusat Peragaan
IPTEK dan bertemu spesies air tawar di Taman Akuarium Air Tawar.

Saat itu tahun 2018, aku mendapat pemberitahuan Study Tour ke Jakarta.
Setiap tahun sekolah memang selalu mengadakan kegiatan seperti ini. Tahun
lalu, kakak kelas kami bisa Study Tour ke Jakarta-Bandung. Namun tahun ini
sekolah hanya mengajak kami untuk perjalanan ke ibu kota. Sungguh, ada rasa
tidak puas yang amat kentara di wajah teman-teman. Apalagi saat kami
melakukan protes bersama, tetap saja Kepala Kesiswaan kekeuh
mempertahankan keputusannya. Beliau bilang, terlalu jauh. Guru-guru yang
menemani sudah terlalu sepuh. Bahkan kami juga sempat protes untuk
menambah destinasi perjalanan ke Monas, namun juga ditolak mentah-
mentah. Beliau juga bilang, jalan ke Ancol dan Dufan tidak searah dengan jalan
ke Monas.
Tjih. Bilang saja malas menemani kami.

Aku sempat merasa kalau angkatan kami ini selalu sial dan dikutuk. Kalau ada
apa-apa pun aku merasa kami selalu tertinggal dan terlupakan. Maka dari itu,
kami pun terpaksa menerima keputusan dari pihak sekolah. Aku juga berusaha
terlihat senang karena mau bagaimanapun, ini satu-satunya momen untuk
mempunyai banyak kenangan bersama teman satu kelas.

Pagi itu, pukul 7 sudah banyak bus yang parkir berjajar di depan gerbang
sekolah. saat ku hitung ada sekitar 8 bus yang akan memuat 8 kelas.
Untungnya, kelasku bisa kebagian 1 bus bersama-sama karena membayar
dengan cepat. Saat itu, ada drama yang sempat terjadi di dalam bus setelah
aku meletakkan barang-barang di kursi penumpang ku. Namun aku tak begitu
ambil pusing, aku beranjak keluar karena merasa situasi bus semakin
memanas saat orang tua dari siswa tersebut malah marah-marah tidak jelas.

"Kenapa keluar, Wi?" tanya Fina setelah melihatku keluar dari bus.

"Ada war," jawabku seadanya dengan malas.

"Wah!" Raut wajah Fina mendadak semangat. "Aku mau ikut!" serunya
dengan antusias sambi berlari masuk ke dalam bus.

Aku melengos pelan, memaklumi sikap Fina yang begitu meledak-ledak kalau
ada keributan. Aku selalu menjadi yang terbelakang kalau soal keributan.
Malas terjebak dalam situasi rumit yang membuat atmosfer seketika semakin
panas dan menyesakkan. Belum lagi keterlibatan ratu drama, membuat pusing
saja.

Aku memilih duduk di emper trotoar. Menunggu sambil bermain handphone.


Kemudian temanku yang lainnya datang untuk mengobrol. Namanya Tisa.
Gadis berwajah bulat dengan lesung pipi yang menawan di kedua pipi
bulatnya. Walau punya wajah yang digandrungi banyak orang, Tisa bukan
pribadi yang menyebalkan.

"Kamu bawa uang saku berapa?" tanya Tisa mendadak sok asik.

"Lima ratus ribu," jawabku seadanya.

"Kamu muntah gak?" tanya Tisa lagi.

"Nggak, sih. Tapi kadang mual sih," jawabku. "Kalo kamu biasa muntah gak?"

"Gak sih, udah biasa nyium AC," jawab Tisa kelewat santai.

"Yoksi, anak sultan," sahutku dengan jenaka.

Tisa tertawa, menggamit lenganku untuk masuk ke dalam bus setelah


mendengar seruan dari pemandu wisata untuk segera naik dan duduk di kursi
masing-masing sebelum pemandu memberi panduan apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan setelah sampai di Asrama Haji tempat kami
menginap dan saat di tempat rekreasi Study Tour nanti.
Bab 2 : Tradisi Sebelum Tidur.

Pukul 8 malam, kami sampai di Asrama Haji Jakarta. Satu kamar dihuni 4
orang. Jadi otomatis aku berkelompok dengan 3 temanku. Bersama Lina, Anya
dan Tisa si gadis berisik itu. Walau berisik, suasana kamar kami jadi riuh dan
menyenangkan karena Tisa membawa hawa yang ceria.

Kami menempati kamar di lantai 3 di pojok lorong. Ada beberapa kamar lagi
sampai menuju ujung lorong yakni mushola yang tidak pernah digunakan.
Terlihat seram di malam hari karena lampu tengah mushola dimatikan. Ada
sebuah keributan di malam hari saat sebuah sarang lebah menggemparkan
teman-teman ku. Selain itu, ada juga kejadian saat kami terkunci bersamaan di
dalam kamar sementara kunci kamar di luar pintu.

Aku berteriak histeris, menggapai ponsel untuk menghubungi teman satu


kelasku di kamar sebelah. "FINNN TOLONG DOOONGG!!! KITA KEKUNCI DI
DALEM KAMARRR!!!"

Fina dari seberang menjawab, "sukurin," katanya.

Aku mengumpat dalam hati, sembari merengek sampai membuat Fina


akhirnya menyerah membantu membukakan pintu dari luar dan mencabut
kuncinya. Tentu setelah teman satu kamar Fina menertawai kecerobohan ku.
Wajahku memerah malu, menahan segala keinginan untuk menendang Fina
sampai ke Antartika.

Untung saja Anya datang, menarik ku ke dalam kamar untuk mandi bersama.
Sebenarnya agak ngeri sih mandi di tempat yang asing. Namun berhubung
seluruh tubuhku rasanya sudah lengket, mau tak mau aku mandi bersama Tisa
dan Anya.
"Ini ada sabun euy!" seru Tisa sambil menunjuk sabun di sudut kamar mandi.

"Pake yang baru aja lah. Itu punya orang ditinggalin kali," kataku saat Tisa
hendak mengambil sabun itu.

"Sayang tau." Tisa mengerucutkan bibir.

"Masak Sultan pake sabun bekas, sih?" Lina menyahut dari luar dengan nada
canda.

"DIEM DEH!!!" seru Tisa marah-marah sendiri. Mau tak mau membuka
kemasan sabun batang yang dibawanya dari rumah.

"Kamu nggak mandi, Lin?" tanya Anya setelah keluar dari kamar mandi.

"Males, ah. Mandi nanti subuh aja sekalian," jawab Lina dengan nada malas.

"Ih, bau, ih," Tisa otomatis mengernyit jijik. "Jangan tidur sama Lina guys, dia
gak mandi!" katanya memprovokasi.

"Iya deh iya Sultan tuan puteriii!!!" Lina memutar bola matanya malas.

Mereka pun segera pergi tidur. Melihat waktu sudah menunjuk ke angka 10.
Udara semakin dingin sementara AC ruangan pun tak bisa dinaikkan. Untung
saja masing-masing dari kami membawa selimut dan jaket untuk membungkus
tubuh kami agar tetap hangat selagi angin AC semakin mendinginkan suhu
ruangan.

Harapanku untuk besok, semoga perjalanan kami lancar sampai tujuan dan
memberi kenangan yang menyenangkan. Semoga juga, ada hal-hal menarik
yang bisa kutangkap dengan kamera dan memberi memori nyata yang
membekas di hati kami semua.
Bab 3 : TMII Story

Pagi itu aku terbangun pukul setengah 5. Menunaikan salat subuh di kamar
karena malas mengantre wudhu di mushola. Seperinya sudah menjadi
kebiasaan, sebelum salat harus ada canda yang terlontar lebih dulu. Sampai 10
menit kemudian, barulah kami bisa menunaikan salat dengan khusyuk.

Setelah salat, kami mandi bersama lagi dengan berbagai candaan yang terus
terucap. Sampai waktu sarapan kami tetap bercanda di meja makan. Namun
aku tidak sarapan karena mendadak nafsuku hilang. Teman-teman pun hanya
makan sedikit. Lalu kami memutuskan untuk beres-beres barang bawaan
untuk bersiap ke tempat Study Tour pertama.

"Ada barang yang ketinggalan gak?" tanya Fina seolah mengomando teman-
teman yang untuk mengecek semua barang bawaan setelah sampai di
parkiran.

"EH BENTAR KAMERA CUY!!!" Tisa berseru nyaring sambil berlar tergopoh-
gopoh kembali masuk ke Asrama. Otomatis Anya dan aku mengikuti, saat
menaiki tangga, kami bertemu dengan salah satu guru.

"Mau ke mana?" tanya Pak Noor, guru Bahasa Inggris di sekolahku.

"Mau ke kamar, Pak. Ambil kamera. Tadi ketinggalan." Anya menjawab.

Pak Noor otomatis mendelik, "KOK BISA?!" serunya marah. Melihat jam sudah
menunjuk ke angka 8 lebih sedikit.
"Ya maaf, Pak. Sifat alami seorang manusia itu gampang lupa," kata Tisa
beralasan, dengan nada bicaranya yang selengean.

Pak Noor menghela napas keras, akhirnya membiarkan kami mengambil


kamera di kamar sebelum berangkat ke tempat wisata pertama. Setelah
mengecek semua barang bawaan, akhirnya kami berangkat menuju Taman
Mini Indonesia Indah dan Museum IPTEK sebagai tempat tujuan pertama
kami.

Sampai di TMII, kami disambut berbagai rumah-rumah adat yang ada di sana.
Berhubung kami juga mendapatkan tugas untuk membuat laporan mengenai
kunjungan wisata ini. Apalagi dengan embel-embel ancaman yang
menyusahkan, jadi mau tak mau kami terpaksa mengamati sambil mencatat
poin-poin penting yang bisa dijadikan laporan nantinya.

"Rumah adat in disebut Rumah Gadang. Berasal dari Provinsi Sumatera Barat.
Namun rumah yang satu ini mempunyai nama lain. Ada yang tau?" tanya
seorang wanita muda sebagai pemandu wisata di TMII itu.

Sontak Fina mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk menjawab. "Rumah


Ampek Baanjuang, Bu!"

Pemandu tersebut mengangguk sekali, kemudian mengacungkan jempol tanda


bahwa jawaban Fina benar. "Nama lain rumah ini adalah Rumah Bagonjong
atau Rumah Gonjong Ampek Baanjuang. Kenapa dinamakan Ampek? Karena
memiliki 4 gonjong pada setia sisi rumah. Rumah ini memiliki 7 ruangan
dengan tambahan anjung di sisi kiri dan kanan," jelasnya panjang lebar sambil
menunjuk bagian-bagian yang disebutnya tadi.
Satria mengacungkan jarinya, membuat perhatian pemandu seketika teralih.
"Bisa diceritakan asal-usul rumah Gadang, Bu?" pintanya langsung disetujui
beberapa teman-teman nya.

"Asal-usul rumah Gadang sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek


moyang urang Minang. Ceritanya, bentuk badan rumah Gadang Minangkabau
yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek moyang
pada masa lampau. Perahu nenek moyang ini yang kemudian disebut
lancang."

"Bu, kenapa rumah Gadang dibuat tinggi?" tanya Lina penasaran.

"Rumah Gadang dibuat tinggi dengan fungsi untuk menghindari masuknya


hewan liar. Rumah ini juga sudah terbukti tahan terhadap angin kencang dan
gempa. Jadi enak banget nih kalo punya rumah kayak rumah Gadang ini,"
jawab pemandu wisata tersebut dengan sedikit candaan di akhir.

Kami melanjutkan survei sendiri. Setelah puas melihat berbagai bangunan


mengenai budaya, kami berpindah ke tempat yang memiliki nilai sejarah. Kami
mulai berkeliling bersama kelompok masing-masing. Berfoto bersama di
depan replika pesawat yang dibuat oleh Pak B. J. Habibie.

"Guys ayo foto dulu!" seru Tisa semangat sambil melambaikan tangannya.

Ardan menoleh, melengos kecil. "Alay," katanya mencela.

"YEUUU!!!" Fina, Tisa dan Lina kompak berseru mengejek.


Walau setelahnya, kami jadi ribut sendiri mengatur barisan untuk berfoto
bersama teman satu kelas. Aku menoleh, dengan gemas menarik Ardan untuk
ikut ke dalam barisan. Akhirnya beberapa dari mereka terseret pasrah. Ikut
bergaya dengan formal dan free style di depan kamera dalam rangka
mencetak kenangan.

Bab 4 : Metropolintan

“Dewi capek gak?” tanya Rian dengan senyum simpulnya.

Aku menoleh, melebarkan mata perlahan karena merasa denyut asing tiba-tiba
membuat jantungku berdebar lebih cepat. Sial. Padahal aku noob soal percintaan.
Tapi kalau diberi perhatian pasti terbawa perasaan, kan?

“Eh, gak kok..” jawabku agak gagap. “Gak apa-apa, Yan.”

“Bener?” tanya Rian memastikan. “Kalo capek biar aku bantu bawain barang-barang
aja.”

Aku mendelik refleks menjauhkan tanganku dari Rian yang hendak menyabet 2 tas
yang kubawa. Isinya perlengkapan kamera dan cemilan- tentu saja.

“Gak apa-apa, Yan. Kamu gabung sama Satria aja gih,” kataku mengusirnya dengan
halus.

Rian mengangkat alis sebentar, kemudian mengendikkan bahu dan berjalan menjauh
menuruti perkataanku. Aku mendengus, ternyata semua laki-laki sama saja. Suka
memberi perhatian kemudian pergi dan berlalu begitu saja tanpa ada rasa bersalah.

Aku juga salah sih karena sok-sok an menolak. Tapi kan tidak enak juga kalau ada
gosip yang aneh-aneh tentang kami.

Belum lagi fans Rian garis keras layaknya seperti setumpuk kertas hvs, sangat banyak
hingga aku sendiri kadang heran apa yang mereka lihat dari Rian. Benar sih, cowok itu
punya aura yang kalem dan sudah tentu memiliki wajah yang goodlooking. Siapa yang
tidak suka? Tidak ada.

Oke, lupakan soal Rian. Aku harus segera kembali ke dunia nyata. Aku berlari kecil
menyusul Tisa dan Anya. Mengikuti langkah mereka menuju bus. Kami kembali
melanjutkan perjalanan ke Dufan dan Ancol. Saat di bus, seperti kebanyakan orang,
teman-temanku bercanda ria hingga menyanyi bersama. Seketika banyak orang yang
rusuh berebut mikrofon untuk bernyanyi ria.

Aku menggeleng pelan, maklum dengan kehebohan dan kerusuhan teman-teman


satu kelasku. Ekor mataku melirik, mendapati wajah tenang Rian dari kursi samping,
tengah mendemgarkan musik lewat earphone-nya sambil memejamkan mata.
Terlihat sangat menikmati me time-nya sendiri. Aku mendengus kecil, mengalihkan
wajah berusaha tak peduli.

“Kamu mau tidur gak, Sa?” tanyaku pada Tisa yang asik berswafoto karena duduk di
samping jendela. Katanya aesthetic selfie sambil jalan.

“Nggak. Kamu mual? Mau tidur?” tanya Tisa dengan nada sedikit khawatir.

Aku mengangguk. “Iya, mau tidur.”

“Yaudah. Sini tidur aja,” kata Tisa sambil menepuk pahanya yang dilipat di atas kursi-
bersila- mempersilahkan aku menjadikan pahanya sebagai bantal.

Aku tersenyum, merasa bersyukur mempunyai teman yang pengertian seperti Tisa.
Siapa lagi orang yang dengan baiknya mau meminjamkan pahanya untuk dijadikan
bantal sementara ia sendiri belum tidur sama sekali sejak pagi tadi? Tisa adalah
definisi teman yang baik dan pengertian.

Setelah tidur kira-kira 2 jam, aku terbangun karena merasa AC bus semakin dingin.
Saat aku menegakkan tubuh, aku tertegun melihat Tisa tertidur. Posisi tidurnya
membuatku merasa bersalah. Tisa pasti tak tega membangunkanku dan akhirnya
tertidur dengan posisi yang paling tidak nyaman. Bersandar pada jendela dengan
tangan masih menggenggam handphone. Untung saja Tisa memakai bantal leher, jadi
bahunya tidak tertekan pada pinggiran kursi.

“Sa.. bangun. Udah sampe Dufan nih,” kataku sambil menggoyangkan bahu Tisa
pelan.

Tisa perlahan tersadar, mengucek matanya pelan baru kemudian meregangkan


badannya. “Beneran udah sampe? Cepet banget.”

Aku meringis semakin merasa bersalah karena merasa waktu tidur Tisa tak begitu
panjang karena tak bisa mendapat posisi tidur yang ternyaman.

Setelah sampai di Dufan, Tisa menggamit lenganku membawa ke pintu masuk. Kami
diberi masing-masing gelang tiket untuk mencoba beberapa wahana di dalam sana.
Saat itu aku bersama Anya, Tisa, Lina, Fina, dan Cika. Kami terpisah dari gerombolan
laki-laki karena mereka lebih memilih naik roller coster lebih dulu.

Sedangkan Fina menyuruh aku berbaris antre di antrean wahana kora-kora. Teriakan
demi teriakan mulai terdengar dari beberapa orang yang naik sebelum kami. Aku agak
termundur, kemudian bergidik ngeri. Ternyata setelah menaiki wahananya, tidak
seram sama sekali. Hanya kadang mengagetkan sehingga aku berpegagan erat pada
besi.

“Mau naik apa lagi?” tanya Fina menawari.

“Mending makan dulu gak sih?” Lina mengusul.


“Iya makan dulu deh. Laper nih,” kataku setuju dengan usulan Lina.

Fina mengangguk, lalu kami mencari kedai yang menjual berbagai makanan. Ujung-
ujungnya aku hanya membeli beberapa sosis bakar karena tidak nafsu makan
makanan berat seperti nasi dan lainnya. Sementara Fina dan yang lainnya memakan
makanan mereka, aku pamit sambil menggandeng tangan Anya untuk mengajaknya
berkeliling. Kami menemukan satu kios penjual pakaian. Aku berpikir untuk membeli
beberapa.

“Kamu beli baju buat siapa, Wi?” tanya Anya penasaran.

“Buat adek sama ibuku,” jawabku. “Buat aku juga sih.”

“Eh bagus-bagus sablonnnya. Aku mau beli juga deh.” Lina mendadak antusias setelah
melihat beberapa gantungan baju yang dijual. Ia memakan sosisnya dengan sekali
tarikan kemudian sibuk memilih baju untuknya.

Setelah berbelanja pakaian, aku dan Anya kembaIi ke kelompok kami. Kemudian kami
melanjutkan perjalanan menuju istana boneka. Wahana air dengan kereta sebagai
transportasi itu masuk ke dalam sebuah gedung besar yang berisi berbagai macam
boneka. Boneka-boneka itu menari dengan kocak hingga membuat kami tertawa puas
merasa lucu. Namun saat mau keluar, boneka-boneka lucu tersebut mendadak
diganti menjadi boneka monyet. Cukup membuat kami terkejut hingga menjerit.

Berganti ke rumah kaca, awalnya kami biasa saja. Aku saling bergandengan dengan
Tisa lagi, nenyusuri jalan setapak yang di kiri dan kanannya hanya terdapat kaca
besar. Di pertengahan jalan, kami mendadak panik karena terus kembali menyusuri
jalan yang sama. Kami tersesat. Aku pun jadi takut karena hanya bisa melihat
bayangan wajahku dan teman-temanku dari banyaknya kaca di sana.

“Heh ini kemana???” Fina mulai panik ketakutan.

“Aduh rumah kaca ini kan emang memusingkan kaya matematika!” Lina mendadak
julid.

“Eh kalo tau trik nyari jalan keluar bisa gampang tau!” kata Anya mencoba berpikir
logis.

“Tapi masalahnya kita gak tau triknya gimana, Nya,” balasku dengan resah.

Kami kompak menghela napas keras, semakin panik. Aku beralih memimpin jalan,
melewati beberapa jalan yang di awal tadi belum kami lewati. Namun tetap saja kami
tak bisa keluar dari sana. Sampai akhirnya, ada seorang laki-laki yang menghampiri
dan menanyai kami.

“Dek, kenapa?” tanya laki-laki itu.


“Kami tersesat, Mas,” kata Fina dengan lemas.

“Lho kok bisa? Gak hafal jalannya, ya?”

“Lha emang jalan keluar rumah kaca bisa dihafalin, Mas?” tanyaku bingung.

“Bisa kok. Kan make strategi dan trik.”

“Tuhkan apa kubilang!” Anya menyahut sewot.

“Yaudah kalian bareng aja sama aku. Nanti tak tunjukkin jalan keluarnya.,” kata laki-
laki itu sambil tersenyum setelah menawarkan bantuan.

Kami kompak bernapas lega, kemudian melangkah bersama nengekori laki-laki baik
hati yang mau membawa kami keluar dari rumah kaca ini.

Setelah puas berjalan-jalan di Dufan, kami beranjak keluar dan menuju bus karena
sudah kelelahan. Setengah jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke pantai
Ancol. Sebelum sampai di sana, aku dan Tisa tertidur pulas karena terlalu lelah.

Sampai di Ancol, kami hanya berfoto bersama teman satu kelas dan wali kelas.
Setelah bermain-main sebentar di pinggir pantai dan merasakan embusan angin sore
yang sejuk dan menenangkan. Belum lagi anginnya yang semula hangat berubah
menjadi air yang dingin namun juga menyejukkan.

Ternyata, Jakarta tidak seburuk itu. Masih ada beberapa spot yang terpelihara hawa
sehat dan sejuknya. Masih ada berbagai keindahan yang bisa dilihat dengan mata.
Masih ada banyak makanan sehat yang bisa dikonsumsi dengan metode pemasakan
yang higienis. Masih ada tempat-tempat menyenangkan yang ramai dikunjungi.

Jakarta mungkin kota polusi. Namun Jakarta juga kota metropolintan yang banyak
menyimpan kenangan dan keindahan.

Bab 5 :

Anda mungkin juga menyukai