Anda di halaman 1dari 214

Sekumpulan Kisah Remaja

Kepompong
Kupu-Kupu

Shanti Izzaku
Ida Kusdiati
Edief Wangi, dkk.

Penebar Media Pustaka

i
Kepompong Kupu-Kupu
Penulis : Shanti Izzaku, Ida Kusdiati, Edief Wangi, dkk.
Editor : Melly W
Layout : Tim P2I
Desain Cover : Tim P2I

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh
isi buku ini ke dalam bentuk apa pun, secara elektronis
maupun mekanis, tanpa izin tertulis dari penerbit atau penulis.
All Rights Reserved

Diterbitkan oleh:
Penebar Media Pustaka & P2I
Alamat : Jl. Samas km 1, Palbapang, Bantul, Bantul, Yogyakarta,
55713.
Hp. : 081227914515
E-mail : penebarcom@gmail.com

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Shanti Izzaku, Ida Kusdiati, Edief Wangi, dkk., Kepompong Kupu-
Kupu; Editor: Melly W—Cetakan 1—Yogyakarta: Penebar Media
Pustaka, 2021
iv + 210; 14 x 20 cm

ISBN: 978-623-

Cetakan 1, 2021

ii
Sapa Manis

Terucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas terbitnya buku


bergenre remaja ini. Sungguh bukan suatu hal yang mudah untuk
menuliskan tentang segala hal berbau remaja disaat usia tak lagi muda.
Seperti mengulang kembali masa sekolah dengan segala keceriaan.
Remaja, semua pasti melewati fase ini. Banyak kisah suka
duka di masa itu. Apa pun ingin diketahui, dicoba dan dijalani kadang
tanpa perhitungan. Saat di mana emosi masih meledak-ledak, jiwa
haus kebebasan dan merasa paling benar. Dan tidak sedikit juga
prestasi yang bisa diraih.
Itulah remaja. Keceriaan mereka tertuang manis dalam kisah-
kisah di buku ini. Persahabatan, persaingan bahkan permusuhan walau
berakhir dengan keceriaan. Semua adalah pembelajaran menuju
kedewasaan. Kepompong Kupu-Kupu, 17 kisah dituliskan dengan
manis, penuh dengan motivasi dan inspirasi untuk remaja. Selamat
mengenang masa remaja dalam buku ini.

Salam Manis

Komunitas P2I

iii
DAFTAR ISI

Sapa Manis iii


Daftar Isi iv
1. ‘Odelia’Key -- Ida Kusdiati ......................................................1
2. The Rainbow Juvenile -- Nila Santi ..........................................9
3. Kepompong Kupu-Kupu -- Siti Muslikah ...............................21
4. Dendam Rania -- Shanti Izzaku ..............................................31
5. Nama Gue Ipeh, Mimpi Gue Melangit --
Listyarini Soewarno ..................................................................43
6. Luka Persahabatan -- Yani Yan ...............................................53
7. Maafkan Aku -- Farhan K. Nugroho .......................................62
8. Dilan, Aga Kareba -- A. Sukma Asar ......................................75
9. Anoynimous -- Sheila Annisa .................................................86
10. Aku Bukan Adikmu -- Nuraini Maftuhah ...............................95
11. Cerita Kita -- Eldian Nuha ....................................................105
12. Asa Dalam Pengabdian -- Yuli Rini ......................................116
13. Janji Manis Hungarian Dance no 5 -- Tsaabitah Zuhro ........125
14. Memang Dia -- Dhevita ........................................................136
15. Ada Bara di Matanya -- Enny Hidajati .................................145
16. Antara Jarak dan Waktu -- Rifqah Kamilia ..........................153
17. Putih Abu-Abu Kita, Berbeda -- Laila Sahlah ......................163
18. Bahu dan Punggung -- Askarwahyu .....................................176
19. Burung Bangau -- Shafira .....................................................182
20. Dunia Masih Biru -- Melly W ...............................................193

iv
“ODELIA” KEY
Ida Kusdiati

Sabtu pagi ini cuaca seger banget, rugi kalo cuma manyun,
seperti biasa Neta dan gengnya udah meluncur sepedaan ke alun
Kapuas. Setelah menyelesaikan beberapa putaran mereka duduk
nyantai di Taman.
“Bioskop kuy...sore ini mau kagak gue traktir lu pada!” Key
dengan gaya borjunya yang ngedemenin banget.
“Kuylah, jemput gua, ya.” Neta dengan semangat 45 tersenyum
sumringah.
“Siapa lagi neh biar sekalian gua angkut!” Key yang super
duper baik hati menawarkan diri.
“Yo’i angkut dah semua, biar Key nggak mondar mandir stay
di rumah gua ae kek biasa,” ujar Neta si ketua geng. Tujuh sekawan
akhirnya sepakat dengan agenda ntar sore.

****
Tiba sore harinya, setelah semua ngumpul di rumah Neta
mereka segera cabut ke bioskop. Seperti biasa Key yang ngebos buat
semuanya di temani Melly mengambil tiket yang sudah di pesan
secara online dan antri makanan ringan di counter jajanan.
Saat antri makanan ringan Key menangkap sosok seseorang
yang dikenalnya sedang membayar di kasir. Entah mengapa
jantungnya tiba-tiba berdebar keras, semoga dia tak melihatku, batin
Key.

1
Begitu selesai dengan do’anya, tubuh itu berbalik dan hampir
saja menabrak Key kalau saja tak segera menghindar. “Eh… maaf,”
ucap cowok berkacamata perawakan sedang berkulit sawo matang
dan berambut lurus dengan lesung pipinya memandang Key sesaat
dan langsung menunduk terus berlalu.
Key tak dapat berkata apa-apa hanya bengong dengan perasaan
campur aduk tak karuan, Melly yang menyaksikan kejadian di
belakangnya ikut tersenyum, “Eh, itu bukannya….” Belum sempat
Melly menyelesaikan bicaranya, Key meletakkan telunjuk di bibirnya
tanda keep silent.
“Mbak, mau pesan apa?” suara penjual di counter menyadarkan
Key dan Melly.
“Oh ya... kami pesan 7 cup popcorn ukuran sedang dan 7
cup minuman soda ukuran sedang juga ya,” jawabnya cepat sambil
mengambil dompet untuk membayar. Sementara 5 sahabat lain masih
duduk nyantai di ruang tunggu di depan studio 1.
Tak lama kemudian Key dan Melly datang membawa 7 cup
popcorn dan 7 cup minuman soda beserta 7 tiket di tangan mereka.
Suara panggilan penonton untuk memasuki studio 1 karena film
akan segera di mulai membuat mereka bergegas masuk, dan Neta
memperhatikan Key yang senyum-senyum sendiri. Kesambet apa nih
anak, batin Neta.

****
Udah lewat 1 jam dari waktu Ashar, Neta celingak-celinguk
dari tadi memastikan Key yang janji menjemput namun jangankan
orangnya baunya pun tak keciuman. Ada rasa khawatir di pikirannya
karena tidak biasanya Key terlambat seperti ini.

2
Ada apa dengannya, biasanya dia segera memberi kabar
kalau ada halangan? Batin Neta yang henti berdo’a semoga sahabat
karibnya ini baik-baik saja.
Tiit… bunyi klakson panjang di halaman rumah, bergegas
Neta keluar membuka pintu dan menatap lekat mobil yang terpakir
dan menunggu pengemudinya segera keluar.
“Maaf ya, Net telat banget nih!” ujar Key manis dengan
senyum yang selalu tersungging di bibirnya sambil melirik jam tangan
dan berlari kecil mendekati Neta dan memeluknya seperti biasa agar
sahabat satu ini luluh kekesalannya.
“Hemm, tahu aja ya kalau gue kesel!” Neta dengan mata
melotot dan muka jutek mengomeli Key yang masih cengar-cengir.
“Maafkan aku sayang, tadi mendadak Mami minta anterin ke
rumah temannya, katanya sih nggak lama, lah lo tau sendiri gimane
tuh mak-mak kalau udah ketemu demenannya anyut dah, inilah gue
sekarang, maafkeennn…,” sambil mendekap tangan di dadanya.
“Jadi…gimana? Tetap berangkat atau batal neh?” Neta masih
dengan wajah manyunnya.
“Eh jadi dong, karena udah terlalu sore kita berdua aja ya,
yang lain ntar lain kali aja,” jawab Key manja.
“Gue mau ajak lo ke mall cari baju kaos terus kita makso di
foodcourt sebelum Magrib balik dah, gimana?” tanya Key dengan
senyum manisnya.
“Terserah lo aja, pokoknya jalan karena gua udah terlanjur
mengoffkan banyak agenda karena lo, kuy cabut.” Neta mengambil
tas tangannya dan berbegas melangkah keluar diikuti sahabatnya Key.
“Duh serasa seleb banget sih, banyak agenda gitu!” Key

3
tertawa kecil di belakang Neta dan menyusulnya untuk duluan masuk
ke mobil. Dan mereka cuss menuju mall.

****
Selesai jam pelajaran ketiga sambil menunggu bel istirahat
sekolah. Saat 6 sekawan lagi asyik nongki di bangku Neta disusul
Key yang datang terakhir dengan wajah runyam, “Frend, temanin
gue yuk, ke kantin.”
“Duh...tuh muka nape kagak biasanya lo begini?” Dengan
kening mengkerut menatap sahabat satu ini.
“Sebel gua! Lo taukan gimana Anne, maksud gua ngebayarin
lo pada, bukan karena gua mau nyombongin harta gua. Tapi karena
gua sayang banget ama lo pada, susah banget sih mau jadi orang
baik,” rungutnya dengan wajah kesel.
“Duh, Nek... orang kayak begono jangan dipikirin bikin
runyam acara aja. Nih, gue kasih tahu ya...lo pentingin mana dapat
pahala atau berhenti berbuat baik gara-gara tuh orang, sama aja ntar
nilai lo ama dia, rugi kelles!” Neta dengan gayanya yang so cool.
Panjang umur lagi asyik bicara, Anne dan komplotannya
nongol, kontan wajah Key berubah males.
“Hey ada putri baik hati di sini!” Dengan gaya julitnya yang
bikin 7 sekawan illfeel.
“Hallo...men temen pada denger nggak, kok gua kayak denger
suara serem gitu tapi... kagak ada orangnya, ya!” Neta berdiri dari kursi
sambil menempelkan telapak tangannya ke telinga dan terus bicara
sinis, “sepertinya ini suara Mak Kunti deh...kuy cabut ntar keburu
kelihatan mukanya bisa gua tabok nggak sadar!” Neta menarik tangan

4
Key diikuti yang lainnya melewati Anne dengan seruan kompak
mereka. “Widih...serem coi. Lariiii...!” sambil ngakak habis seakan
tak melihat ada Anne dan komplotannya di sana. Adapun orang yang
ditinggalin hanya menatap sinis kepergian mereka.

****
Pagi ini mentari yang tersenyum cerah dengan cahayanya dan
sahabatnya angin yang memberikan semilir membuat semangat pagi
yang luar biasa termasuk 7 sekawan yang sepagi ini udah siap kumpul
di sekolah untuk ikut serta baksos dalam rangka ulang tahun sekolah.
“Neta, lihat tuh Anne n the geng nontonin kita doang bukannya
ngebantuin ntar pas bagi-baginya mereka yang terdepan, ampun
dah!” Melly menggerutu.
“Ya gitu deh, Mel ntar gue teriakin tuh anak,” jawab Neta
setengah jengkel. Setelah meyakini bahwa masih banyak yang harus
dilakukan sementara waktu sudah mepet harus segera meluncur ke
TKP maka Neta mau tak mau harus lebih kencang dengan rekan
lainnya yang masih terlihat santuy.
“Anne, sini gerakan tuh teman- temanmu jangan hanya nonton,
kalau emang nggak mau kerja nggak usah ikut aja kalian lebih baik
pulang aja tiduran!” suara Neta menggelegar dengan wajah merah
padam dan tubuh sedikit bergetar, melihat ini segera Key memegang
tangan sahabatnya khawatir hilang kendali.
“Kuy guys bantu dong ntar kalau ini kelar gue traktir lo pada
maksi di resto, tenang aja yang penting lancar nih acara, ayo!’ Key
dengan suara merdu dan senyum manis, membujuk dengan tawaran
yang tak mungkin di tolak Anne n the geng.

5
“Ehmm… kalau nggak karena acara ini, kagak rela gue lo
traktir mereka,” ujar Neta pada Key dengan nada gusar yang di ok
kan sahabat lainnya.
“That’s ok, gue ngelakuin ini untuk kepentingan yang lebih
besar, so what everlah hitung-hitung amal gue, kan lo yang ngajarin,
Net,” ujar Key dengan menonjok pelan lengan kanan atas Neta sambil
tertawa ringan.
Neta memandangi wajah sahabatnya sambil bergumam, “nih
anak muka ama kelakuan sama bagusnya, kalah gue kalau urusan
baik hati, Masya Allah.”
Setelahnya ajiib Anne n the geng bergerak cepat dan lancar
jayalah kegiatan mereka hari itu di tutup dengan makan siang di salah
satu café favorit anak jaman now di Kota ini dengan tentu saja Key
jadi juragannya.
****
Neta celingukan mencari sosok sahabat setianya, Key.
Namun orang yang dicari tak kunjung terlihat. Neta teringat satu
tempat di bagian belakang sekolah sebuah Taman kecil dengan pohon
jarak rindang yang memayungi sebuah bangku kayu panjang tempat
favorit dia dan Key jika lagi suntuk dengan pelajaran.
Mungkin dia ada di sana, batin Neta. Bergegas dia melangkah
cepat dan ternyata benar Key ada di sana. Sekilas Neta menangkap
raut sedih di wajah sahabatnya.
“Frend, ke mana aja dicariin dari tadi?” Neta mendekati Key
yang menoleh dengan senyum misteriusnya.
“By the way, ada apa sih say, kok manyun alone begini?” tanya
Neta sesantai mungkin menjaga perasaan Key.

6
“Kalau lo suka ama seseorang, tapi tuh orang ndak pede ama
lo hanya karena lo anak orang kaya, cantik dan baik hati, kira-kira lo
sedih kagak, Net?” tanya Key dengan suara lirih.
“Kan bukan salah gue kalau jadi anak orang kaya dan nyaris
tiada cacat di mata para lelaki itu, kan Net?” Masih dengan nada lirih
dan kelopak mata yang mulai jenuh dengan air mata.
Neta merengkuh pundak Key dan membiarkan kepala sahabat
bersandar di bahunya dan sejenak mencurahkan air mata sampai puas.
“Tidak ada yang salah, Key hanya mungkin orang dan waktu
yang belum tepat saja.” Neta mulai membesarkan hati sahabat.
“Kalau boleh kutahu siapa pria beruntung itu?” tanya Neta
dengan lembutnya.
Sejenak Key menarik napas tersenyum dan menatap wajah
sahabatnya, “cius lo nggak bisa nangkap aroma fall in love gue?”
Key balik nanya dengan nada pelan.
“Just a little.” Neta menjawab dengan jentikan jari sambil
menatap Key dengan senyuman.
“Siapa coba?” tanya Key penasaran pada Neta.
“Siapa lagi kalau bukan penunggu musala langganan juara
lomba matematika itu, benarkan?” Neta berdiri dengan wajah
menggoda ke Key.
Key tersipu malu dan langsung memeluk Neta erat. “Hei
lepasin, masak gue kagak ngerti selera sohib gue sih, senengnye lelaki
cool kayak kulkas gitu!” Kontan Neta tertawa lepas yang disambut
pelukan makin kuat dari Key yang memang memiliki tubuh lebih
tinggi dari Neta.

7
“Ntar gue bilang sama tuh kulkas, hei masak lo cuekin bidadari
dari syurga sih, nyesel nggak pakai lama kelles!” Neta kembali
menggoda sahabatnya Key.
Gantian Key yang membalas candaan sahabatnya, “terus gue
harus bilang, hello... kagak nyesel lo ngelepasin kesempatan dapetin
anugrah karena bisa jadi kalau gue dapatin elo kata sahabat gue itu
musibah…hahaha….” Akhirnya mereka berdua tertawa bersama.
“Kuy ke kantin aja, perut gue laper banyakan nangis kali ya.
Urusan si kulkas ntar aja kita bahas lagi,” ujar Key yang udah kembali
ceria menarik tangan sahabatnya.
“Gitu dong, cemen amat baru juga dicuekin kan belum di tolak
ntar 1000 % bakal nyesel tuh kulkas, kuy kantin aja!” Mereka berjalan
beriringan dengan senyum menghiasi wajah Key yang rupawan dan
Neta turut merasakan kebahagiaan sahabatnya.

SELESAI

Ida Kusdiati
Seorang ibu rumah tangga dengan 4 orang anak, telah memiliki
1 Buku Solo dan 1 Buku Antologi yang tak henti ingin terus menulis.
Wanita kelahiran Pontianak 26 Januari 1975 yang juga seorang ASN
ingin selalu menuangkan ide di kepalanya untuk semua pembaca agar
tulisannya menjadi salah satu jalan bagi amal baiknya.

8
The Rainbow Juvenile
Nila Santi

Setiap perjalanan kehidupan memiliki ceritanya sendiri. Setiap


perempuan pasti mempunyai rahasianya sendiri. Mencinta, menangis,
memaafkan dan menyimpan asa.
“Dear my pink, hari ini mau curhat lagi ya ke kamu … gue lagi
kesel banget nih sama Venna, sekarang dia tuh berubah pas deket
sama si Andre, boro-boro telepon gue, di sekolah dia jarang kumpul
lagi sama geng kita.”
“Julia!” terdengar suara merdu Mama. Sontak aku berhenti
menulis padahal belum ada satu paragraf.
“Ih … Mama ganggu aja deh!” Aku bersungut sambil menutup
diary.
Hari Minggu ini aku tidak mau ke mana-mana dan pastinya ga
mau terima telepon juga, padahal tadi sudah bilang ke orang rumah.
Mungkin Mama lupa, karena biasanya Minggu pagi Beliau pasti
sudah nongkrong di depan televisi.
Dengan rasa malas aku beranjak dari tempat tidur menuju
ruang tengah. Benar, kan? Mama asik nonton acara kesayangannya,
masih pagi sudah ada sinetron India. Kulihat Mama sambil ngemil
pisang goreng begitu khusuk nonton India yang lagi joget-joget.
“Ya … haloo siapa nih?” tanyaku dengan sedikit kesal.
“Jul … ini gue Venna, elu masih marah sama gue?” jawab
seseorang dengan nada sedih.

9
“Venna? Ngapain elu tumbenan telpon gue, bukannya elu dah
lupa sama grup kita, lagi berantem atau dah di putusin sama si playboy
cap tikus itu.” Aku nyerocos terus tanpa jeda.
Venna terdiam ada suara isakan tangis yang tertahan. Aku
sebenarnya masih malas bicara dengan sahabatku ini, tapi pas denger
suaranya dan pake acara nangis segala, rasanya tidak tega juga.
Aku dan Venna sudah bersahabat sejak kelas satu Sekolah
Menengah Pertama. Dan sekarang kami satu sekolah lagi di sebuah
Sekolah Menengah Atas swasta yang cukup beken di daerah Jakarta
Selatan dan kebetulan sekelas pula.
Di Sekolah ini kami punya geng yang di beri nama The Rainbow
Juvenile, yang pasti anggota grupnya 4 gadis cantik dan pintar dong.
Aku dan ketiga sobat centilku selalu jadi sorotan, karena keisengan
gangguin teman-teman atau guru dan terkadang kami bolos sekolah.
Walaupun agak sedikit bandel tapi soal belajar kami berempat
selalu berusaha dapat nilai yang baik. Kami pun sudah komit tidak
mau di ribetin masalah cowok-cowok yang coba dekatin kami. Tapi
masalahnya sekarang si Venna jadian sama si playboy merangkap
ketua Osis. Itu bermula ketika ada lomba Pidato bahasa Inggris antar
kelas, Venna salah satu pesertanya, walaupun dia kalem tapi kalo
urusan bicara di podium dan pake bahasa Inggris, Venna termasuk
jago. Dia selalu juara pertama. Mungkin dari situ Andre mulai jatuh
hati.
Semenjak Venna dekat dengan si ketua Osis hubungan kita
berempat agak sedikit renggang. Andre sepertinya posesif banget,
selalu aja ikut nimbrung ke kita. Alhasil kami sedikit terganggu oleh
Andre. Venna dan Andre baru 3 bulan ini dekat, padahal tuh playboy

10
baru putus sama pacar yang lain sekolah. Sudah kami peringatkan
tapi kayaknya Venna sudah terpengaruh oleh si Andre itu.
Dan pagi Minggu ini aku mendengar dari mulut Venna
langsung kalo dia sudah putus dengan Andre. Karena tidak sengaja
Venna bertemu Andre di sebuah Mall, waktu kepergok Andre bilang
itu sepupu tapi pacarnya ngaku kalo mereka pacaran sudah 6 bulan.
Pacarnya si Andre itu anak dari sekolah lain juga.
“Venna … udah sih biarin aja, kayak ga ada cowok lain lagi, kan
lagian kita dah komit ga pacaran-pacaran dulu sampe lulus sekolah,”
kataku bergaya orang tua yang kasih nasehat ke anaknya.
“Ya gue minta maaf klo selama 3 bulan ini gue egois tanpa
mikir perasaan kalian, padahal selama ini kita selalu kompak,” sahut
Venna pelan.
“Eh … udah ga usah ngomongin si playboy itu lagi, mending
jalan yuk, kita lanjutkan keusilan yang dulu lagi aja, mau ga?” kataku
sambil tertawa.
“Janganlah terlalu berisiko, gue takut!” jawab Venna si gadis
kalem dan lembut.
Oya karaktek kami berempat sangat jauh berbeda, aku si
rame, aga galak tapi manis dan juga baik hati, ga tegaan orangnya.
Si Venna kalem, cantik, pendiam suka ngalah makanya gampang ke
rayu Andre. Anita si tenang, serius tapi perhatian. Nah yang terakhir
si Aleta hobinya ngemil, lucu dan periang. Genk kami namakan
Juvenile itu singkatan dari nama kami berempat, di tambahin kata
Rainbow karena kita seperti pelangi yang berwarna-warni.
“Ven…ga apalah, tenang aja kan kita berempat klo ada apa-apa
keroyok aja trus teriak deh.”

11
“Tapi hari ini gue lagi malas ke mana-mana nih lagi masih
badmood,” jawab Venna.
“Tadi gue telepon Anita dan Leta juga ga bisa karena ada acara
keluarga mereka,” ujar Venna lagi.
“Ya udah elu ke rumah gue aja, tapi jangan lupa bawain gue
mie ayam plus bakso ya, beli yang dekat rumah elu aja,” kataku
seraya memerintah dengan paksa.
“Tuh kan mulai deh keluar premannya, dasar tukang palak, tapi
elu jangan tidur, kebiasaan klo gue pas ke sana elu pasti lagi tidur.”
“Ga ketiduran deh, gue tunggu tapi jangan pake lemot,” sahutku
sambil terbahak.
Sambil nunggu silemot aku kembali mengisi si pinki dengan
unek-unek yang tidak bisa di ungkapkan ke sahabatku. Walaupun
kami sudah cukup lama bersahabat tapi kami menghormati privasi
masing-masing. Ada lagi kenakalan kami yang mungkin sedikit
ekstrem dan berisiko, kami pernah bolos hanya untuk menguji
kenekatan kami. Kenakalan itu adalah memberhentikan mobil pribadi
yang pengemudinya sendiri, lalu kami berempat minta di antar ke
Mall bahkan kalo pas libur kenakalan pun semakin jadi yaitu minta di
antar ke tempat wisata.
Tapi sampai sejauh ini kenakalan kami berakhir dengan mulus,
karena kebetulan mobil yang kita minta tumpangi adalah orang
baik tanpa ada niat mencelakakan kami. Bahkan ada yang memberi
nasihat agar kami tidak melakukan perbuatan ini lagi. Tapi tetap saja
bandel, pernah suatu kali mobil yang kita tumpangi ingin membawa
keluar Kota, sontak kami berempat panik. Untung si Aleta tiba-tiba
berakting sakit dan pingsan alhasil kami di antar ke rumah sakit.

12
Entah terinspirasi dari mana kenakalan kami ini, spontan saja karena
celetukan aku yang merasa grup kami sangat datar dan kalem. Tapi
setelah kejadian yang berakhir di rumah sakit karena aktingnya Aleta,
kami berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Satu jam berlalu Venna belum datang juga, mungkin dia lagi
antre di warung mie ayam, sambil menunggu, aku melanjutkan
menulis diariku lagi.
“Dear pinki mau tau ga sebenarnya aku tuh suka juga sama
si Andre, padahal dia tuh playboy banget…itulah kelebihan si Andre
bisa bikin para gadis meleleh, termasuk aku dan mungkin kedua
temanku yang lain, tapi cuma Venna yang menarik di antara kami
berempat, makanya Andre lebih memilih Venna.”
“Tapi akhirnya Venna pun sakit hati, walau si Andre itu playboy
rasa sukaku ke dia ga berkurang, biarin deh lebih baik dia ga suka ke
aku, daripada aku yang akan sakit hati pula.”
Tanpa terasa aku ketiduran, aku kaget pas bangun si Venna
sudah ada di samping sisi tempat tidur dan memegang buku diary-ku.
“Eh … kok elu kapan datang nya? Sorry gue ketiduran lagi,”
sambil merebut diary yang masih di tangan Venna.
“Ven … elu baca diary gue ya, lancang banget sih!” kataku
kesal.
Venna hanya menunduk dan berkata lirih. “Elu suka juga ya
sama Andre?”
“Um … um ga gitu Ven, itu hanya suka sesaat, elu tau kan si
Andre biar ganteng dan pintar tapi playboy.” Aku mencoba membela
diri.
“Dan elu juga tau yang suka sama Andre bukan gue aja,

13
mungkin cewek-cewek satu sekolah kita seneng juga tuh sama si
playboy.”
“Ya sih kita aja yang baperan gampang di rayu sama Andre,
hm … ya udah mending kita makan mie ayamnya mumpung masih
hangat,” jawab Venna tersenyum walau sedikit di paksakan.
Aku kenal banget sahabatku dia memang sedikit sensitif apalagi
menyangkut hal pribadi. Kami sepakat untuk tidak membahas Andre
lagi. Tetiba kami di kejutkan suara ramai di ruang tengah, Aleta dan
dan Anita datang tanpa memberitahu aku dulu.
“Eh … katanya elu pada pergi kok main datang aja, ga pake
bilang sih, ganggu acara gue berdua ama Venna.”
“Jahat ih kalian makan cuma berdua, eh Ven … elu juga tumben
lagi nih ke rumah Julia, kemarin-kemarin boro-boro kumpul jawab
telpon gue juga hampir ga mau,” celetuk Anita dengan sedikit sinis.
“Tadi pagi gue telpon ke rumah elu Nit, tapi kata Bi Inah elu
pergi sama bokap nyokap acara keluarga, terus gue telpon Aleta juga
jawabannya sama, atau elu berdua sepakat ga mau jawab telpon gue.”
Venna mulai terpancing emosi.
Aleta dan Anita berpandangan, terlihat mereka memang
sepakat tidak mau menjawab telepon dari Venna.
“Eh … sudahlah sekarang kita kumpul lagi dan ga usah bicara
tentang pria penggombal kayak si Andre,” aku menimpali.
“Venna …elu lagi berantem ya atau di putusin sepihak,” ujar
Anita lagi sambil tersenyum meledek.
“Gue yang putusin kok, suara Venna sedikit bergetar. Gue
minta maaf kalo buat kalian kesal.”

14
“Elu berdua udah sih ngomongin Andre terus, Nit … elu juga
jangan cecar Venna terus, dia dah minta maaf ke gue juga kok.”
“Lemah lo Jul … baru di bawain mie ayam langsung berubah
baik lagi,” kata-kata Anita masih sinis.
Aku hanya biasa menarik napas panjang melihat tingkah
mereka berdua. Begitu deh kelakuan kami kadang bertengkar tapi
cepat baik kembali.
“Aleta!!” Aku berteriak karena si gembul satu ini sedang asik
menghabiskan jatah mie ayamku.
“Mie ayam gue kenapa elu habisin sih …?”
Dengan tenang Aleta menjawab,” elu pada ribut aja soal
cowok, emang apa bagus nya sih, mending gue makan aja, itu mie
ayam panggil-panggil gue terus … makan aku … makan aku, he he.”
Kontan terjadilah keramaian yang berlanjut sambil berebut
makan mie ayam yang tinggal 1 porsi. Akhirnya, Mamaku tercinta
turun tangan dengan membelikan lagi mie ayam plus bakso tentunya.
Keceriaan hari Minggu ini tidak kami lewatkan begitu saja, setelah
memalak Mama lagi kami berempat pergi ke Bioskop, Mama dengan
senang hati memberikan dana untuk nonton, karena kami terlalu
berisik dan mengganggu Beliau jadi tidak bisa konsentrasi nonton
India nya.
Senin pagi ini seperti biasa aku berangkat sekolah dengan hati
riang. Karena kami berempat janjian setelah pulang Sekolah mau ke
toko buku dan pastinya makan Fastfood kesukaaan kami.
Sampai di sekolah aku hanya bertemu Aleta dan Anita, aneh
Venna tak terlihat, padahal waktu sudah menunjukan jam setengah 7.
Sampai upacara bendera selesai Venna belum datang juga.

15
Kami bertiga mulai khawatir jangan-jangan Venna sakit,
padahal hari minggu kemarin dia sehat-sehat saja. Lalu kami
menanyakan ke guru piket. Tapi guru piket bilang tidak ada laporan
kalo hari ini Venna tidak masuk atau izin karena sakit.
“Leta …si Venna ada nelpon elu pagi tadi? Bilang klo dia izin
ga masuk?” tanyaku ke Leta.
“Engga ada tuh, aneh nih anak ga biasanya kayak gini, kalo
pun sakit dia pasti nelpon ke kita.” jawab Leta dengan wajah cemas.
“Ya ke gue juga ga telpon ke mana sih pagi-pagi dah bikin kita
khawatir,” timpal Anita pula.
“Jul … kita pinjam telpon sekolah aja, yuk. Kita tanya ke orang
tuanya,” kata Anita lagi.
Lalu kami minta izin pinjam telpon sekolah. Kebetulan yang
menerima Mbak Sri, asisten rumah tangga Venna, Mbak Sri bilang
Venna berangkat sekolah seperti biasa dengan Adik di antar ayahnya
sekalian ke Kantor. Aku menanyakan, apa ada yang aneh dari tingkah
Venna pagi tadi. Menurut Mbak Sri, biasa aja tidak ada yang aneh.
Kami bertiga semakin cemas karena Venna baru setahun di
tinggal mamanya karena sakit kanker yang cukup lama. Aku sering
melihat Venna menangis, kalo di tanya, pasti jawabannya cuma
kangen ke mamanya.
Hari ini aku, Leta juga Anita hilang konsentrasi belajar apalagi
aku rasanya aneh duduk sendiri tanpa teman sebangku yang tidak
tahu keberadaannya. Setelah bubaran sekolah kami bertiga langsung
ke rumah Venna dan sudah pasti acara hari ini gagal total. Sampai
di rumah kami melihat Mbak Sri, berjalan sambil mondar-mandir
karena kami sempat bilang kalo Venna tidak ada di sekolah dan jangan

16
memberitahukan dulu pada ayahnya. Setelah beberapa saat kami
berbincang tetiba kami dikejutkan dengan kedatangan Venna dengan
wajah murung serta mata yang sembap seperti habis menangis.
Melihat kami datang bukannya menyambut dengan senang,
aku, Leta dan Anita malah di usir dengan kasar. Kami belum sempat
menanyakan ke mana dia satu hari ini, Venna malah menghardikku
dengan kata-kata yang kasar.
Apa yang terjadi dengan sahabatku ini? Setelah sedikit berdebat
kami pun pulang dengan penuh pertanyaan. Dalam perjalanan pulang
kami bertiga hanya bisa terdiam melihat tingkah Venna yang aneh,
selama kami bersahabat Venna hampir tidak pernah apalagi berteriak
dengan kata-kata yang kasar.
Malam harinya aku tidak bisa tidur, aku telpon Venna sama
sekali tidak di angkat. Aleta dan Anita juga, Venna tidak mau
menjawab telpon dari mereka.
Besok paginya Venna kembali tidak masuk, guru piket
menanyakan pada kami apa benar Venna sakit, karena ada telpon dari
asisten rumah tangganya kalo Venna minta izin untuk beristirahat
karena sakit. Rasa khawatir kami semakin menjadi.
Sepulang Sekolah kami bertiga bergegas ke rumah Venna,
sesampainya kami di sana, rumah itu terlihat sepi dan lengang,
menurut tetangganya Venna beserta Ayah dan adiknya pergi sejak
pagi tadi, dan Mbak Sri menyusul ikut pergi juga setelah pamit
kepada tetangga sebelah. Tidak ada yang tahu ke mana Venna dan
keluarganya pergi, menurut tetangganya pun tidak ada konfirmasi
baik dari ayahnya Venna ataupun Mbak Sri.
Semua terjadi begitu saja, kami bertiga shock dengan apa yang

17
sebenarnya terjadi, bahkan setelah sebulan berlalu kabar tentang
kepergian Venna masih belum terjawab. Dari pihak sekolah kami pun
tidak tahu karena ayah Venna sama sekali tidak memberitahukannya.
Setelah kepergiaan Venna yang tanpa kabar kami bertiga seperti
kehilangan nyawa, hari-hari yang kami lalui terasa hambar dan tidak
ada keceriaaan lagi. Tapi harus tetap fokus untuk ujian akhir sekolah.
Dua bulan lagi kami akan lulus dan meninggalkan kenangan selama
3 tahun bersekolah di sana. Sebelumnya aku pernah menanyakan
pada Andre, apa pernah bertemu atau di telpon Venna. Andre pun
tidak tahu karena waktu Venna tidak masuk dan akhirnya pergi tanpa
pamit, Andre tidak sedang berada di sekolah karena dia sedang diutus
jadi perwakilan lomba ilmiah antar Sekolah Menengah Tingkat Atas.
Akhirnya aku, Anita dan teman-teman seangkatan kami lulus
dengan hasil baik. Kenapa cuma aku dan Anita? Ada tragedi lagi yang
kami harus hadapi, Aleta yang begitu teobsesi dengan tubuh langsing
mengambil jalan pintas dengan meminum obat diet tanpa resep dan
konsultasi ke Dokter atau Ahli Gizi, akhirnya berakhir dengan gagal
ginjal akud karena obat dietnya merusak ginjal dan juga gizi buruk.
Aku tidak mengerti apa yang Aleta pikirkan kenapa dia begitu
ngotot untuk melangsingkan badannya padahal selama ini kami tidak
permasalahkan tentang badannya, aku sudah memberi nasihat agar
menghentikan minum obat pelangsing.
Tapi semua di luar kuasa aku dan Anita, demikian juga dengan
orang tuanya. Semua sudah terjadi Aleta menyerah dengan pengobatan
karena harus pula cuci darah, seminggu sebelum kelulusan aku dan
Anita, Aleta pergi untuk selamanya. Satu yang sangat aku sesalkan
Aleta harus berhenti sekolah karena kondisinya yang buruk tepat saat

18
Dokter memvonis dia harus cuci darah.
“Dear pink apa yang terjadi di kehidupan ini kadang di luar
kehendak manusia, tapi kita diberikan pilihan baik atau buruk, aku
tak tau apa yang terjadi di kehidupan kehidupan Aleta dan Venna
apakah pilihan terbaik mereka … entahlah.
Demikian juga dengan aku sekarang, aku sedang menjalani
takdirku, sampai saat ini dia yang terbaik menurutku, masa depan
yang sedang kami rancang sekarang pun, apakah menjadi jalan yang
terbaik dan terindah bagiku dan dia.”
Aku kaget ada yang menepuk pundakku dengan lembut,
seorang pria gagah berdiri di hadapanku dengan tatapan lembut.
“Belum selesai curhatnya ke si pink?” tanyanya dengan lembut
sambil duduk di hadapanku.
“Sudah selesai kok, kamu mau makan ga aku dari tadi belum
makan nih, nunggu kamu sampai lumutan,” jawabku dengan manja.
“Tuan putri sayang maaf kakandamu ini tadi menghadap
Dosen pebimbing, jadi agak lama, lagian kalo lapar kamu bisa makan
duluan, nanti kalo kamu kurus bisa-bisa calon mertuaku memecat
aku jadi calon mantunya,” sahut si gagah ini sambil terbahak dan
mengucel rambutku.
“Andre …kamu ini hobi banget sih ngacak-ngacak rambutku,”
sungutku seraya merapikan rambut.
“Julia … kan aku pernah bilang cobalah untuk berhijab, pasti
akan terlihat lebih cantik deh.” Andre mencubit pipiku dengan gemas.
Sesaat aku terdiam, tidak menyangka Andre begitu perhatian
kepadaku. Sampai masalah hijab pun dia pikirkan. Aku semakin
sayang dengan pria ini, kami di pertemukan lagi di satu kampus yang

19
sama walau kami berbeda jurusan selalu menyempatkan waktu untuk
bertemu. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, pertemuanku dengan
Andre adalah karunia bagiku yang sudah kehilangan 2 sahabat
terbaikku.
Anita pun juga pergi karena harus ikut orang tuanya yang
di pindah tugaskan ke Lampung. Ada yang berjarak, ada yang tak
pernah terucapkan tapi di pertemukan, ada pula yang pergi dengan
meninggalkan luka yang pedih.
Kehidupan ini seperti pelangi, indah dan berwarna timbul di
saat tak diharapkan dan kembali hilang di saat berharap. Mungkin
perjalanan hidup ini memang tidak selalu mudah karena kadang kita
salah mengartikan petunjuk jalan yang di harapkan. Dan untuk semua
yang sudah terlambat … apakah masih ada harapan?

SELESAI

Nila Santi
Kelahiran Banjarmasin. Single parent, ibu dari 5 orang anak
yang mulai beranjak dewasa. Sudah menghasilkan beberapa antologi
yang bertema Kearifan Lokal, Miracle of Mom 2, dll. Dengan
tulisannya, Santi panggilan akrabnya ingin berbagi pengalaman yang
semoga bermanfaat bagi pembacanya.

20
Kepompong Kupu-Kupu
Siti Muslikah

“Ada gajah bengkak lewat, kasih jalan woi!” suara cempreng


milik Iyan terdengar diikuti gelak tawa teman-temannya, Friska and
the gank.
Aku dan Aisyah berhenti di depan pintu kantin.
“Ngomong apaan sih. Gak bagus tahu!” Aisyah memandang
tajam Iyan yang terlihat cengengesan. Gadis berjilbab itu tampak kesal.
“Udah Ais, kita pergi aja yok,” ajakku menghindari keributan
dengan gangnya Friska, cewek yang paling ngetop seantero SMU
Merah Putih.
“Eh ..., Neng Ais yang solehah, woles aja kalee.” Vera, dengan
gaya congkak memindai aku dan Aisyah dari ujung kepala sampai
ujung kaki. Vera salah seorang kaki tangannya Friska yang paling
suka ngejatuhi orang. Merasa hebat dengan mendompleng ketenaran
Friska yang merupakan anak seorang penjabat.
“Kita kan cuma ngomongin fakta,” sembur Vera lagi, “emang
teman loe kayak gajah bengkak.” Tangannya mengacung ke arahku.
Aku tertunduk, ada yang berdegup kencang di dalam sini.
Pingin banget nampol muka yang penuh jerawat itu. Tapi rasa takut
lebih kuat mencengkram. Aku menarik lengan Aisyah mengajaknya
meninggalkan kantin. Ketika hendak membalikkan tubuh, terasa ada
tangan yang mendorong.
“Ngapain takut, ayo kita masuk,” suara Sonia terdengar,
rupanya dia menyusul ke kantin.

21
“Otak cuma seuprit, bisanya cuma ngebully orang,” gertak
Sonia membuat Iyan menyingkir dari hadapan kami. Keder juga dia
ngadepin Sonia, pemegang sabuk hitam dan salah satu atlet karateka.
Aku, Aisyah dan Sonia, masuk ke dalam kantin, mencari tempat
duduk yang kosong. Sementara Iyan dan Vera menghampiri Friska
dan teman-temannya yang bekelompok di salah satu meja kantin.
“Dah, enggak asyik lagi, males nih mo ngabisin bakso.” Friska
berkata sambil berdiri meninggalkan tempat duduknya. Kehadiran
kami membuatnya gerah. Lalu dia meminggalkan kantin diikuti para
dayang, Iyan, Vera, Nico dan Puri. Aura kantin menjadi lebih hidup
setelah ditinggalkan para seleberitis SMU Merah Putih. Semoga
mereka tidak pernah ke kantin lagi, do’a jelek terlintas dalam hatiku.
Ini bukan pertama kalinya gang Friska membully, entah apa
yang membuat mereka senang menghina fisik seseorang. Tubuhku
yang tambun menjadi santapan empuk mereka. Iyan dan Vera menaruh
dendam karena waktu kelas satu, aku menolak memberi contekan
pada mereka berdua. Maka setiap bertemu, mereka selalu mencoba
mempermalukan dan menjatuhkan harga diriku. Dan apalah daya si
gendut ini tak punya nyali buat melawan. Beruntung aku memiliki
sohib yang keren, yang siap membela.
Siang menjelang sore usai sekolah, adan Aisyah berjalan
beriringan.
“Kuy, kita tunggu Sonia ama Muti di musala aja,” Aisyah
berkata sambil menarik tanganku.
Pulang sekolah kami biasa bersama, tapi karena hari ini Sonia
ada latihan karate dan Muti mendapat pelajaran tambahan dari Pak
Gunadi untuk persiapan lomba OSN, maka aku dan Aisyah menunggu

22
mereka.
“Aku ngajak ke musala sekalin mo salat, dah sore nih bentar
lagi masuk Ashar.”
“Iya deh, tapi aku enggak salat, lagi M nih. Mana dari pagi nih
perut rasa dipilin-pilin, kek mo lahiran sakitnya.”
Aku mengambil tempat duduk yang nyaman di selasar ketika
sudah sampai di musala, sementara Aisyah menuju tempat wudu
perempuan. Aku mengambil gawai di dalam tas, memberi tahu Sonia
dan Muti bahwa kami menunggu di musala.
Aisyah telah selesai salat Ashar ketika Sonia dan Muti tiba.
“Kami salat dulu, ya.” Muti meletakkan tasnya di sampingku
diikuti oleh Sonia. “Titip dulu,” ujar Muti. Aku mengangguk.
Sonia menghampiriku seusai salat. “Kok muka loe pucat.
Sakit?”
“Biasa lagi M,” jawabku malas.
“Oh .., gue kira loe masih sedih gara-gara tadi, Makanya jadi
orang melawan dikit, napa?”
“Ada apa sama si Luna?” Jiwa kepo Muti terasah karena
cuma dia yang tidak ikut ke kantin.
“Biasa Mut, nih anak dibully lagi sama cowok sok ganteng,
Iyan,” Sonia memberikan keterangan pada Muti, lalu dilanjutkan
dengan menceritakan kejadian di kantin tadi.
“Hem …, orang yang terluka seringnya menutupi lukanya
dengan melukai orang lain,” kata-kata sok ilmiah khas Muti terdengar.
“Dari dulu diejek terus sama Iyan ma Vera. Harus beranilah
melawan,” Sonia memprovokasi.

23
“Mo nunggu sampai kapan? Sampai Nobita berani melawan
Giant atau sampai Doraemon berubah jadi kucing beneran baru loe
membalas mereka.” Sonia mendengus sebal.
“Sudah …, sudah … kita doain semoga mereka insyaf, dapat
hidayah.” Aisyah mencoba meredakan kekesalan Sonia. “Kita pulang
sudah sore nih.”
Malam hari di rumah kata-kata Sonia muncul kembali dalam
pikiranku. Dari kecil aku sering diejek karena ukuran tubuhku. Teman-
teman menjadikan kekurangan fisik ini sebagai bahan candaan. Lidah
yang tak bertulang membuat mereka mudah melontarkan ejekan.
Andai aku berani mendobraknya. Sayangnya aku bukan Sonia yang
punya kemampuan ilmu bela diri hingga membuat orang segan dan
tidak berani menganggu. Aku juga bukan Muti si cerdas yang jadi
kesayangan para guru karena sering mengharumkan nama sekolah
dengan berbagai medali yang diraih. Atau seperti Aisyah, jilbaber
ketua keputrihan Rohis SMU Merah Putih, putri seorang ulama yang
termasyur di kotaku, membuat orang kagum dan segan padanya. Aku
adalah Luna yang kecerdasannya standar saja dan punya banyak
kekurangan.
Berhari-hari aku merasa seperti hopeless. Hidup kok gini amat,
enggak ada bahagia-bahagianya. Pagi hari aku jadi malas untuk
beranjak ke sekolah. Sering timbul rasa takut akan bertemu dengan
gang Friska, terutama Iyan dan Vera.
“Ke kantin woi, cacing-cacing di perutku sudah demo, nih,”
berisik suara Sonia.
Bel istirahat baru saja berbunyi, Sonia menghampiri Muti
dan Aisyah yang sedang memasukkan buku-buku ke dalam tas. Aku

24
ogah-ogahan, maju mundur cantik, ke kantin apa enggak.
“Aku di kelas aja, lagi mager, nih,” tolakku halus.
“Napa nih anak, tumben amat.” Muti menatapku dengan mata
menyipit.
“Sudah, tidak apa, kita duluan aja, nanti klo Luna lapar bisa
nyusul kita.” Aisyah dengan lembut mengajak Muti dan Sonia
meninggalkan kelas.
Aku menghela napas, lega. Tidak ke kantin supaya tidak
ketemu para pembully.
“Kamu kenapa?” Pertanyaan Aisyah kujawab dengan gelengan
kepala. Kami berjalan beriringan menuju musala. Hari ini jadwal
kajian keputrian dan aku sudah berjanji menemani Aisyah ikut acara
tersebut, sementara Sonia dan Muti sudah pulang duluan.
Kajian hari ini diisi oleh Kak Mia, alumni SMU Merah Putih
mantan Ketua Keputrian. Kak Mia sedang libur kuliah dan diminta
untuk menjadi pembicara pada acara hari ini.
“Dalam surat At Tin ayat empat, Allah berfirman
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya,” kata-kata Kak Mia meresap dalam hati
pendengarnya.
“Manusia dijadikan Allah makhluk yang sangat istimewa,
diberi banyak kelebihan dibandingkan makhluknya yang lain. Ia
diberi hawa nafsu dan dianugerahi akal untuk mengendalikan hawa
nafsu tersebut. Sedangkan malaikat tidak diberi nafsu, tugasnya
hanya beribadah kepada Allah. Hewan diberi nafsu dan insting, tanpa
memiliki akal. Oleh sebab itu Allah memberikan kita tugas menjadi
khalifah di muka bumi,” lanjut Kak Mia.

25
“Nah adik-adik, dengan anugerah Allah tersebut selayaknya
kita bersyukur, tidak menjadi rendah diri tapi tidak juga ujub.
Memanfaatkan semua potensi yang telah diberikan Allah untuk
senantiasa berada di jalan-Nya dan berusaha keras untuk meraih
prestasi terbaik di dunia dan akhirat.”
Aku terpaku, merasa tersindir sebab sering mengeluh dan
jarang bersyukur. Selalu merasa kurang, rendah diri dan iri dengan
kelebihan teman-teman yang lain. Selesai mengikuti kajian, aku
seperti mendapat pencerahan.
Hari- hari selanjutnya lebih bersemangat menjalani kehidupan.
Membuka hati dan berani jujur pada sahabatku tentang rasa rendah
diri dan rasa iri dengan teman-teman yang banyak prestasi.
“Kamu kan jago buat puisi. Kenapa tidak ditekuni aja itu.” Si
jenius Muti menyampaikan idenya.
“Oh iya, Luna dulu pernah kirim puisi buat Kak Alpian waktu
SMP.” Sonia tertawa, mengenang memori zaman hina-dina waktu
aku falling love sama Kakak Kelas.
“Iss …, iss …, Sonia jangan buka-buka aib dong.” Aku
ngedumel. Aku dan Sonia satu sekolah sejak SD sampai SMU karena
itu dia tahu semua sepak terjangku.
“Aku cuma penulis puisi di mading sekolah,” kataku dengan
tidak percaya diri. Kutulis puisi untuk mengisi kekosongan mading
sekolah dan sekedar coretan-coretan ungkapan hati.
“Diasah lagi, dilatih, siapa tahu suatu saat puisimu bisa jadi
karya yang keren.” Aisyah memberikan dukungan.
“Di rumah banyak buku puisi punya Kak Tera, nanti aku bilangi
sama Kak Tera biar kamu bisa pinjam bukunya.” Muti menepuk

26
lembut bahuku.
Mataku berembun, sungguh bahagia punya sahabat yang saling
mendukung.
Akhir pekan aku pergi ke rumah Muti untuk meminjam buku-
buku puisi milik Kak Tera, kakak sulung Muti yang kuliah di Fakultas
Sastra,
“Ayo, masuk.” Muti menyambutku, setelah aku mengucapkan
salam. Muti membawaku ke ruang perpustakaan keluarga.
“Nih, bukunya. Sudah aku pilihkan buku-buku yang menarik.”
Wow … ada buku Sapardi Djoko Damono, Khalil Gibran,
Taufik Ismail dan beberapa karya penyair Indonesia yang lain. Aku
membuka-buka buku dengan riang.
“Thank ya. Kamu memang sahabat yang the best deh,” pujiku
pada gadis beralis tebal itu.
Muti tersenyum tulus. Selanjutkan kami ngobrol tentang puisi.
Muti suka puisi Putu Wijaya sedangkan aku lebih suka karya Sapardi
Djoko Damono dan Khalil Gibran.
“Kata Kak Tera, kamu bisa ikut gabung komunitas penyair.
Aku kasih nomor WA-mu, biar bisa dimasukkan Kak Tera ke grup.”
Luar biasa Muti meskipun terkesan jutek orangnya, tapi dia
jenis teman yang peduli dan selalu punya solusi.
Aku giat berlatih membuat puisi. Lembar demi lembar goresan
perasaan dan kejadian sehari-hari kutuangkan dalam rangkain kata.
Tak kupedulikan lagi dengan ejekan dan celaan gang Friska. Fokus
pada usaha untuk meraih prestasi, lupakan hal-hal yang tak penting,
itu motivasi dari teman-teman.

27
Beberapa puisi dikirim ke media, baik cetak maupun online.
Ditolak semua dan tidak layak tayang, tapi aku tak menyerah. Baru
setelah hampir seratus puisi yang kukirim, akhirnya ada yang diterima.
Senang sekali rasanya. Hasil tidak mengkhianati usaha.
“Luna, nih ada lomba puisi memperingati Hari Kemerdekanan
Republik Indonesia nih.” Aisyah memperlihatkan iklan perlombaan
pada gawainya.
“Wuih … lumayan tuh hadiahnya.” Sonia ikut nimbrung.
“Siapa yang ngadain?” tanya Muti.
“Dinas Pendidikan Propinsi. Puisi yang layak nanti dibuatkan
buku antologinya. Kereen nih.” Sonia nampak semangat.
“Loe harus ikut.” Tatapan Sonia diikuti Aisyah dan Muti. Aku
menggangguk ragu.
“Tapi peluangnya kecil, pasti banyak yang ikut. Hadiahnya
gede,” kuungkapkan rasa ragu.
“Wes tenang aja, yang penting ikut. Kalah menang itu biasa.”
Aisyah mencoba menyalurkan semangat.
Aku mulai mencari ide yang terbaik untuk lomba puisi kali
ini. Berulang kali aku ikut lomba, gagal, belum pernah jadi pemenang.
Sekali ini aku harus usaha keras. Setiap ide yang muncul kutuliskan
dalam lembaran kertas HVS. Mendekati batas akhir pengumpulan,
ada dua puluh puisi yang telah kubuat. Aku meminta pendapat teman-
teman puisi mana yang akan dikirim ke panitia lomba. Akhirnya
terpilih satu puisi yang bercerita tentang pahlawan yang ada di sekitar
kita, yang sering diacuhkan, tak terlihat oleh khalayak dan tak disadari
pengorbanannya.
Sayangnya kabar aku mengikuti perlombaan puisi diketahui

28
oleh teman-teman lain termasuk gang Friska. Mereka menjadikan
bahan celaan setiap kali bertemu denganku.
“Lihatlah sang pujangga gajah,” ejek Iyan disambut derai tawa
teman-temannya.
Pada waktu yang lain Friska mencemooh kemampuanku,
“Ternyata bukan body aja yang besar, nyalinya lumayan, sok ikutan
lomba, padahal cuma penyair picisan.”
Tak kuhiraukan semua celaan itu. “Emang gue pikirin, serah
loe,” jawabku menangkis ejekan mereka.
Tuhan tak pernah tidur, begitu kata-kata yang pernah kubaca.
Pada waktunya Allah menjawab doa-doa di sujud panjang di sepertiga
terakhir malam, aku memenangkan perlombaan puisi yang diadakan
Dinas Pendidikan Propinsi meski hanya mendapatkan juara ketiga.
Setidaknya itu bisa membungkam kejulidan Friska beserta konco-
konconya.
Pada upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI yang
dilaksanakan di SMU Merah Putih, kepala Sekolah menyampaikan
kebanggaannya atas prestasi-prestasi yang diraih para siswa, termasuk
kemenanganku dalam mengikuti lomba puisi.
Setelah upacara bendera selesai, kami berkumpul merayakan
kegembiraan. Selain aku yang memenangkan lomba puisi, Muti juga
berhasil maju menuju OSN tingkat Propinsi. Tak ketinggalan Sonia
dan Tim basket SMU Merah Putih berhasil memenangkan kejuaran
basket antar SMU sekabupaten, Tim juga akan melaju ke tingkat
propinsi.
“Terima kasih teman-teman untuk semua dukungannya.”
Kupandangi dengan haru wajah ceria ketiga sahabatku.

29
“Sahabat memang harus begitu. Saling mendukung.” Aisyah
berkata sambil membenahi jilbabnya.
“Sahabat yang baik bukanlah yang hanya bisa menerima
kekurangan kita, tapi sahabat yang baik akan mendorong kita
menemukan kelebihan kita dan mensupport kita meraih prestasi,”
kata-kata bijak Muti terdengar.
Tiba-tiba sebaik lagu milik Sindentosca terlintas dalam
pikiranku “Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi
kupu-kupu”.
Inilah persahabatan kami yang seumpama kepompong. Dan
kepompong-kepompong ini akan siap bermetamorfosis menjadi
kupu-kupu.

SELESAI
Siti Muslikah
Biasa dipanggil Mbak Mumut. Lahir di Kota kecil di ujung
propinsi Sumatera Selatan, Lubuk Linggau, pada hari Kamis 2 Maret
1978. Ibu dari 5 orang putra.
Aktivitas sehari-hari sebagai pengajar di sebuah PTS di Kota
Kayuagung, serta membersamai kelima putra saya sambil mengelolah
Rumah Baca Thoriq, membagi kecintaan membaca kepada lingkungan
di sekitar tempat tinggal.
Baru menerbitkan dua buku Antologi dan memiliki mimpi bisa
menjadi penulis yang karyanya dapat bermanfaat bagi orang lain.

30
Dendam Dania
Shanti Izzaku

Taman Kota sepi, hanya ada beberapa pengunjung. Kondisi


sesuai yang kami rencanakan. Dava mengangkat jempol, tersenyum
puas. Tara nyengir, menggandengku penuh semangat. Aku tercekat.
Ini tindakan gila. Mereka mempertaruhkan kewarasan akalku.
“Cowok yang di sana, bisa kau dekati. Pura-pura nanya
lokasi atau sekedar ngobrol apalah,” saran Tara sambil menarik rok
panjangnya yang tersangkut akar pohon.
“Tidak!” tolak Dava cepat. “Cowok itu terlalu beresiko,
sepertinya ia berpotensi mengganggu Dania. Lebih baik cowok
yang duduk sendiri di sana itu, dia lebih kalem.” Tangannya
menunjuk seseorang, spontan pandangan kami menyatu pada cowok
berkacamata yang rapi pakaiannya. Duduk santai di bangku Taman
sambil memegang bukunya, wajahnya tak ada tampang kriminal.
Sepertinya aman untuk dimanfaatkan.
“Dia juga bisa berbahaya. Bagaimana kalau dia melakukan
hal yang …,” sahutku tak usai. Tara memegang tanganku yang mulai
dingin. Dava menemukan gelisahku.
“Ingat Dan, ini demi keberhasilan misi kita. Beranilah!”
tegasnya di depanku tanpa mendekat. Ia sekarang semakin menjaga
jarak padaku, tapi perhatiannya masih terus menjagaku. Kami bertiga
sudah membicarakan rencana hari ini selama berhari-hari. Aku akan
menaklukkan makhluk yang disebut lelaki!
Kakiku melangkah. Jarakku dengan cowok kutu buku itu

31
sekitar 10 meter. Ia masih sibuk dengan bacaannya. Setiap langkahku
sudah sangat berat di meter kelima. Antara terus maju atau aku sudahi
saja beban berat ini. Aku bingung bagaimana aku harus menghadapi
cowok asing itu. Dava mengangguk dan Tara masih tersenyum harap.
Aku aman ada mereka jika terjadi hal buruk.
Jarakku tinggal tiga meter. Aku berhenti. Ini sudah sangat
dekat, keringat dingin sudah membanjiri tangan dan wajahku. Badanku
bergetar, sejenak aku tarik napas untuk menetralkan kondisiku. Aku
mendehem untuk menormalkan pikiranku. Tapi suaraku ternyata
memancing cowok itu menoleh padaku.
Aku tercekat tanpa kata. Cowok itu melihatku heran. Tentu
saja. Aku menatapnya setengah ngeri dengan badan yang sudah tak
kuasa tegak. Perutku mual seketika, begitu cowok itu berdiri. Pendar
gelap dan terang menguasaiku. Seperti sebuah ruangan gelap yang
memaksaku bertahan dalam ketakutan. Aku lemah, sekali lagi aku
lemah.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya mulai mendekat.
Napasku sesak, mundur menjauh dari jangkauannya. Pendar cahaya
gelap terang datang menyerang lagi. Dalam mata terpejam aku
meraba apa pun untuk kujadikan pegangan. Pusing melanda lebih
cepat dari sangkaku. Napas sesak mewakili cekikan kejahatan yang
mengancamku. Aku tercekat beberapa saat.
“Dania.” Seorang menyapa pelan memegang pundakku.
Spontan aku berontak, mengibaskan tangannya dengan kasar. Aku
harus melindungi diriku, atau ia akan menghancurkanku tanpa ampun.
Aku bersimpuh di tanah, merapatkan tangan dan kaki menyatu ke
badan. Serapat mungkin, bersama kepala yang merunduk.

32
“Pergi! Pergi …!” teriakku tanpa ampun sambil memukul
bertubi-tubi, seseorang yang tak berani kutatap. “Pergi, lepaskan
aku!” teriakku menjadi.
“Dania, aku Dava. Awas kau bisa kejebur sungai,” sahutnya
lebih tepat disebut membentak. Menarikku dengan keras dan
melemparkanku jatuh ke tanah. Aku tersadar.
Kubuka mataku dan kulihat Dava masih tersengal oleh ulahku
barusan. Aku duduk bersila di tanah, mengatur napas. Meregangkan
kepalan tangan yang menegang, menarik napas mengisi rongga dada
dengan sebanyak-banyak oksigen. Merasa tenang menemukan Dava
di situasi kelam yang terlalu sering datang hanya sekedar untuk
menyiksaku.
Kulihat Tara meminta cowok tadi untuk meninggalkan kami.
Tangannya tertangkup di dada, mungkin meminta maaf atas kejadian
yang membuat cowok itu kaget. Ia menghampiriku memastikan
kondisiku membaik. Mereka sudah biasa melihatku seperti ini.
Aku ingin menangis rasanya setiap menyadari mereka akan
selalu menolong di saat tergentingku. Meski kali ini semua sudah
direncanakan. Seberapa kekuatan yang mereka kerahkan untukku,
aku masih belum mampu melawan musuh bayanganku.
“Maafkan aku, Dan. Aku terlalu memaksamu,” suara Dava
penuh penyesalan. Aku menggeleng segera. Melambaikan tangan
seolah semua tak apa-apa.
“Kita sudah merencanakan bersama. Kita gak tau, apakah
dengan cara ini bisa membantuku?” balasku sambil meregangkan
semua otot yang masih menegang.
“Kau hampir masuk sungai tadi,” jelas Tara membuatku

33
menyadari aku terduduk di bibir sungai gelap yang airnya mengalir
deras.
“Kesalahanmu, Dava …,” tuduhku membuat Dava mengernyit,
“… adalah salah mencari lokasi yang tepat. Gak romantis,” sahutku
mencairkan suasana. Kalau aku tak menentralkan suasana, mereka
akan terus merasa bersalah.
“Mungkin ke pantai kali ya?” sambung Tara terkekeh oleh
idenya sendiri. Ia mencoba mengimbangi candaku. Kami mencoba
menetralisir keadaan tak enak barusan.
“Kurang jauh, ke Paris sekalian. Lumayan dapat cowok bule
yang gak membumi di akalmu,” sahut Dava semakin sewot seraya
menoyor kepala Tara. Dan kami tertawa dalam kecewa yang tertahan.
Misi hari ini gagal. Aku tak bisa menaklukkan seorang cowok.
Malam ini Tara menginap di rumah. Kami sepakat akan
menyelesaikan tugas Pak Dika di rumahku. Aku suka pelajarannya
tapi tidak dengan gurunya. Pak Dika terlalu berbahaya. Guru muda
yang digandrungi teman-teman cewek di sekolah itu mengerikan. Dia
pernah memujiku. Membuatku mual dan terancam. Suatu saat ia akan
menghancurkan hidupku sekali lagi. Dasar lelaki!
Setelah makan malam aku beranjak ke ruang tengah, Tara sedang
membantu mamanya membereskan piring kotor di dapur. Aku duduk
di sofa ketika tiba-tiba … lampu padam! Aku tercekat dengan segera.
Siapa yang mematikan listrik, jangan-jangan ulah dia lagi. Berulang
kali dia mengancamku dengan mematikan listrik. Dan benar, sebuah
tangan mencengkeram pundakku. Aku bergidik, mencoba bergerak
menjauh. Tangan itu mencengkeram lebih kuat. Aku kesakitan dan
ketakutan. Di mana Mama, aku tak mampu bernapas seolah dicekik

34
ancaman tiada terperi. Di mana Tara …
Aku bangkit dari sofa dengan napas menderu dan sesekali
suara mencicit yang muncul bersama ketakutan. Tangan itu masih
lekat di pundak lalu mendorongku sampai tersungkur di lantai dingin.
“Tidaaak,” suaraku tercekat. Seharusnya teriakan yang panjang
dan keras yang terdengar bersama ketakutan yang kian memuncak.
Tapi tak ada suara yang keluar. Aku terancam. Bayangan hitam itu
mulai menjamah apa saja yang selama ini kujaga. Tangannya kasar
dan menyakiti. Aku menangis dalam diam. Hilang suara meski
batinku berteriak tak tertahan lagi.
Aku mulai kalut. Tangan itu semakin kurang ajar, sesekali suara
terkekeh menjeratku makin tak kuasa. Tangan dan kakiku mengamuk
membela diri. Dia mulai mengambil apa saja yang seharusnya
menutupiku. Tak butuh lama ia telah membuatku layaknya bayi.
Menangis tak berdaya mempertahankan celana panjang yang masih
melekat erat.
Ia mulai menampar dan menendang, melihatku terus saja
menolak kemauannya. Tak terlalu berdaya tapi tak bisa diam
menyerah. Di mana Mama? Di mana Tara? Aku menggila, ketakutan
mengalahkan semuanya. Aku mengamuk sejadinya di bawah ancaman
dan tekanan. Ia mulai menampar dan menyakiti.
“Dania … Dania … Dania ….” Sebuah suara memanggil
namaku berulang-ulang. Semakin lama semakin keras semakin dekat.
Suara Dava! Bagaimana Dava tahu aku dalam bahaya?
“Daniaaaaaa!” teriakan panjang kembali datang. Tara
memanggilku. Selanjutnya dua sahabatku itu terus-menerus
memanggilku membuat bayangan hitam mulai terganggu. Aku

35
menendangnya dengan kuat dan menjumput selimut menutupi diri.
Dava dan Tara datang dan melindungiku dari manusia bejat itu.
“Dania sayang,” suara lembut yang kutunggu. Mama
memelukku seiring lampu menyala. Tara nampak di depanku
kemudian. Napasku menderu, mataku melotot memastikan siapa
orang-orang yang ada di sekitarku. Meyakinkan bayangan hitam itu
pergi dari hidupku. Seketika aku lemah dan bayangan putih yang
nampak membuatku tak sadarkan diri.
Antara sadar dan tidak, berputar kisah demi kisah seperti
sebuah film diputar ulang.
“Tenanglah Dania, buang bayangan hitam itu. Ia ada karena kau
menciptakannya. Semua baik-baik saja,” suara Tara lagi berulang-
ulang. Ia tak percaya bahwa bayangan hitam itu terus mengikuti sejak
kejadian lima tahun lalu di gudang sekolah.
“Semua sudah berlalu, tak akan terulang lagi. Ada aku yang
akan menjagamu bersama Tara seperti waktu itu. Semua akan baik-
baik saja,” janji Dava untuk kesekian kalinya. Aku tahu seharusnya
percaya pada dua penolongku yang selalu setia menjagaku, meski
lima tahun telah berlalu.
“Izinkan om Roy menjaga kita. Menjagamu dan menjaga
Mama,” pinta Mama di antara kekhawatirannya mengasuhku seorang
diri setelah Papa meninggal, sebelum kejadian jahat itu.
“Kamu cantik, aku suka. Sini main sama Om,” suara bayangan
hitam itu membuatku menjengit lagi. Kutarik tangan dan kakiku
menyatu dalam badanku serapat mungkin.
“Pergiiii!” pintaku dalam tangisan yang tak pernah keluar air
mata. Mataku terbelalak lagi dan lagi. Kusadari aku ada di kamar,

36
tersadar dari pingsan. Teriakanku membangunkan Mama dan Tara
yang ternyata menjagaku. Mungkin sejak mati lampu semalam.
“Dania, tenang Sayang. Kita di kamarmu,” sambut Mama
sambil mendekapku dan kusambut cepat dengan pelukan yang lebih
erat. “Tenang, Mama dan Tara di sini. Hanya ada kita bertiga. Tak ada
orang lain yang akan mengganggumu. Tak akan pernah ada!”
Kupaksakan diriku meyakini seluruh ucapan Mama. Mama
orang yang paling aku percaya, selain Dava dan Tara. Mereka yang
menemukanku tertutup selimut, berteriak-teriak sampai bantuan
datang menyelamatkanku yang ketakutan. Penjahat itu hanya berhasil
membuka bajuku, tapi telah membuatku malu dan trauma panjang
hingga kini. Aku membenci semua lelaki. Semuanya kecuali Dava.
Aku benci mereka, sejak mengenal lelaki ramah yang selalu
menyapaku. Ia penyayang dan selalu membahagiakanku dengan
hadiah. Perhatiannya membuatku terobati akan kerinduanku pada
Papa yang telah lama sekali tiada. Aku menginginkan cinta yang
berbeda dengan cinta yang Mama berikan. Om Jin dia minta dipanggil,
aslinya siapa aku tak tahu. Orangnya lucu dan selalu sabar mendengar
cerita atau keluhanku. Ia membawakan cokelat kesukaanku dan
boneka mungil yang selalu kusimpan di tas sekolah.
Lugunya aku. Tak bisa membedakan mana kebaikan yang tulus
dan mana yang berkedok palsu. Ia serigala yang menunggu waktu
untuk bisa menerkamku di saat tepat. Dengan cara halus ia telah
menyentuhku, tapi aku menganggapkan kasih sayang seorang ayah.
Dia selalu menyambutku dengan pelukan hangat, yang aku artikan
sebagai kasih sayang pada seorang anak. Hingga terjadi peristiwa itu,
ia tak mampu lagi menahan gejolak yang baru kusadari kini.

37
“Hai, Putri,” sebuah suara membuat kami menoleh segera. Dava
datang sepagi ini? Mama atau Tara yang secepat itu mengabarkan
padanya. Mereka pasti ingin aku setenang mungkin.
Kulirik Tara, dan kutemukan wajah yang sama. Sesekali
menatap Dava dengan rasa yang ditahannya. Bukan wajah yang biasa
kulihat. Tara mengambil gelas satunya dan menyerahkan pada Dava.
Sekilas mereka tersenyum. Kusadari lagi, senyum mereka sangat
serasi. Mengembang senyum dan berpaling padaku di saat yang sama.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Dava cepat, seperti
menyadari aku mengamati mereka sejak tadi. Aku hanya tersenyum
dan mengacungkan dua jempol mengabarkan aku baik-baik saja.
Dava masih menelisik wajahku. Mereka menahan diri demi menjaga
perasaanku. Apa mereka mengira aku menyukai Dava? Bahkan aku
tak sempat memikirkan perasaan seperti itu.
“Apa? Di mana?” suara keras Dava membuatku menoleh
cepat. Intonasinya menjelaskan ada yang tidak beres. Kulihat Tara
juga mematung. Tanpa sadar kami mendekati Dava yang masih
membalas telepon rumah.
“Siapa?” tanyaku tak sabar.
“Papaku,” jawabnya menatapku ragu. “Kita ke rumah sakit,
sekarang!” lanjutnya mulai bergerak mengambil jaketnya. Spontan
aku dan Tara menyesukaikan diri tanpa bertanya lagi. Sepanjang
perjalanan, Dava belum menjelaskan apa pun. Dia masih sibuk
menghubungi seseorang dengan HPnya. Perasaan tak enak dan
gundah merayap pelan semakin tidak menenangkan. Jalanan yang
ramai membuat perjalanan semakin terasa lama.
“Dania, sini!” panggil Dava menarik tanganku menuju sebuah

38
ruangan. Aku masuk dengan ragu dan berdebar. Menunggu wajah
siapa yang akan kutemui terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Bau
obat menusuk hidung.
“Dania ….” Sebuah panggilan lemah membuatku tercengang
dilanda ketakutan.
“Mamaaaa!” sahutku histeris menemukan Mama yang tergolek
lemas di ranjang. Kurengkuh tangan Mama, memastikan bagian tubuh
mana merasakan sakit.
“Kemarilah,” pinta Mama sambil menarikku ke dalam
pelukannya, seolah mengisyaratkan aman untuk sekedar dipeluk. Aku
segera menarik diri dan mencari penjelasan dari wajah Mama yang
masih menegang. Kejadian apa yang menimpanya hingga terkulai
kacau di sini.
“Mama cuma terserempet tadi. Kaki Mama cedera, tapi kata
dokter tak apa-apa,” jelas Mama seolah tahu apa yang tersimpan
tanya di benakku.
“Bagaimana Mama bisa sampai sini? Bukankah kantor Mama
jauh dari sini?” tanyaku tak habis pikir bagaimana Mama berjuang
dari sakit untuk bisa sampai rumah sakit. Siapa yang menolongnya,
selama ini Mama hanya seorang diri merawatku dan menjaga dirinya
kuat bertahan tanpa Papa.
“Maaf, Mama langsung menghubungi Om Roy, karena
Mama gak tau pada siapa minta tolong,” sendu mata Mama. Bukan
kesedihan akan sakitnya, tapi kekhawatiran akan reaksiku. Aku telah
tegas menolak Om Roy menggantikan Papa. Meskipun ia adalah papa
Dava, pahlawanku yang setiap saat menjagaku selama ini. Bahkan
Dava memaklumi keputusanku.

39
“Jangan sebut Om lagi, Ma. Itu mengingatkanku pada Om
yang lain,” sahutku dengan berani menyebut kata ‘om’ yang bisa
membuatku terpental ke masa silam yang kejam.
“Dania …, maaf Mama gak menyangka kalau sebutan itu pun
akan melukaimu, Sayang. Maafkan Mama,” sahut Mama, menyadari
keadaan yang kusembunyikan. Aku tahu, Mama membutuhkan papa
Dava untuk menemani kekosongan hati setelah Papa tiada. Sama
seperti aku yang membutuhkan Dava dan Tara untuk menguatkanku
berani menjalani hidup.
“Bagaimana kalau Dania panggil papa Dava dengan Ayah?”
tanya suara bariton di belakangku. Ia tersenyum ragu dan penuh harap.
Aku tatap lama, menguji perasaanku sendiri. Memastikan apakah aku
akan ketakutan melihat sosok lelaki di depanku ini.
“Jangan memaksakan diri, Dania,” sebuah suara pelan di
sebelahku. Aku menoleh pada Dava, ia mulai mengkhawatirkan
keadaanku yang selalu ketakutan dengan sosok lelaki. Bahkan teguran
Pak Dika yang biasa saja, membuatku berprasangka akan melukaiku.
Demi Dava dan Tara yang berjarak karenaku, demi Mama yang
letih menjagaku seorang diri. Aku selangkah maju mendekati papanya
Dava. Suasana sunyi dan tegang. Aku menatap papanya Dava lebih
dekat. Kutemukan kasih di matanya. Kutemukan tulus di senyumnya.
Aku menangis menyadari perasaanku. Kebaikan papanya Dava
menghapus traumaku.
“Dania,” sahut Tara lembut memelukku. Kubalikkan badan
dan memeluk sahabatku ini. Ia mengelus punggungku, merasakan
energi tenang dan kuat. Kulepaskan pelukannya dan menuju Mama
yang jelas nampak kekhawatiran di wajahnya. Wajah yang selalu

40
siaga di saat dukaku. Senyum yang sering dipaksakannya hadir untuk
menenangkan.
“Aku tidak mau memanggilnya Ayah,” sahutku pelan. Mama
menatapku lama, lalu mengangguk mengalah pada hasratnya. Aku
meyadari telah merampas banyak kebahagian yang seharusnya bisa
menenangkannya.
“Aku memanggil Papa saja, seperti Dava memanggilnya,”
sahutku kemudian, membuat Mama tak langsung bahagia. Kulihat
Mama mencari kepastian di wajahku, memastikan tidak ada luka
yang akan mengancamku lagi. Aku mengangguk dan mangangkat
dua jempol. Kupeluk Mama dan mendapat balasan peluk yang
mengharukan diiringi lirih tangisan.
“Dania yakin?” tanya papanya Dava. Antara harapan dan
kutemukan kekhawatiran atasku. Baru kusadari arti tatapan itu, ia
peduli padaku. Tapi ketakutanku pada lelaki, membuatku mengartikan
sebagai ancaman. Juga pada Pak Dika guruku, pujinya malah
kuanggap jebakan.
Kuraih tangan papanya Dava dengan keberanian memuncak,
kupejamkan mata dan kurasakan kenyamanan. Aku tersenyum
bahagia. Saat kubuka mata, semua telah berlinang air mata. Kusadari
selama ini bukan hanya aku yang sakit, tapi Mama juga. Hanya
Mama kuat demi aku, anaknya. Semoga aku belum sangat terlambat
untuk melukis bahagia ini. Bahagiaku dan bahagia orang-orang yang
menyayangiku.

SELESAI

41
Shanti Izzaku
Penulis kelahiran Salatiga, 1 Mei 1979 adalah seorang guru
Matematika yang mencintai tulis-menulis. Baginya setiap kisah
selalu membawa hikmah yang amat berharga untuk dilewatkan begitu
saja. Ibu 3 orang anak, Izzaku Team, berharap bisa mewariskan buku
sebagai pemantik motivasi kebaikan bagi anak-anaknya. Semoga
memancing kebaikan-kebaikan yang lebih subur, rimbun daunnya
dan lebah buahnya. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling
banyak manfaatnya.

42
Nama Gue Ipeh, Mimpi Gue Melangit
Listyarini Soewarno

“Tugas Bu Ririn susah amat seeh.” Gue menggerutu saja


seenaknya.
Sudah berjam jam otak ini gak bisa diajak kompromi. Huhh.
Mending keluar dulu aja deh, batin gue. Pelajaran Kimia emang paling
malesin. Udah daring belajarnya… duh mampus deh. Dijelasin saat di
kelas saja otak ini bebal banget rasanya. Lha ini? Kenapa ya gak fokus
amat. Apalagi sinyal internetnya sayup-sayup seperti tertiup angin.
Apa karena di kebon belakang banyak pohon ya, jadinya seperti ini?
Untung sekarang sudah selesai Pembelajaran Jarak jauh nya, jadi gue
bisa berhenti dan istirahat dulu. Daripada kesel, gue tinggalkan meja
belajar yang berantakan. Cari camilan. Ternyata para makhluk yang
ada di perut gue sudah pada laper minta dikasih nasi.
“Ke mana tadi perginya Enyak, ye?” sambil bertanya yang
sepertinya gak bakal gue jawab sendiri. Biasanya siang-siang begini,
Enyak udah siapin makan siang. Tapi hawa hawanya kok meja makan
masih kosong. “Nyaaaakkkk!!” gue teriak sekencangnya.
Tapi rumah kelihatannya sepi banget. Duh, Enyak gak ada
lagi. Mending makan dulu dah, ngrebus mie instant kayaknya enak...
hmmm pakai cabe nya 5 aja sama pake telornya si burik ayam
Engkong. Hmm lezat nyo. Pakai caisim sepertinya tambah mantap.
Sambil makan gue lihatin handphone mau update kondisi terkini,
hahah…gaya bener pakai bahasanya pembawa berita acara di tipi.
Eh handphone bukan punya gue, ini juga punya Enyak yang dengan

43
ikhlas lahir dan batin dihibahkan ke gue buat belajar online. Harap
maklum dah, kami kan orang biase bukan orang kaye, jadi ya gantian
aja pakenye.
“Ipeeeeeehh!” suara cempreng itu tiba-tiba mengisi ruang-
ruang kosong rumah gue. Thang. Suara sendok beradu ke mangkok.
Upss… gue sampai kesedak dengar suara Ijah memanggil. Ijah ini
tetangga gue yang paling berisik. Kebetulan temen satu sekolah, satu
angkatan tetapi beda kelas. Dia ini satu satunya temen yang sangat
mengerti dan pengertian sama gue. Die yang sangat peduli dan tau
bener penderitaan gue... Ciaahhh penderitaan. Ijah ngakak habis
terguling guling tiap gue bilang kata “penderitaan” itu.
“Apaan lo,” kata gue waktu Ijah nyamperin dan memukul
punggung. “Udah selesai PJJ lo?” tanya gue sebelum Ijah bertambah
bawel. Makin bawel makin rempong ngeremnya.
“Eh… lo tau nggak? Ada gosiiiip,” gayanya memancing dan
gak peduli dengan pertanyaan gue.
Gue? Ipeh, gitu. Ijah tau banget kalau Ipeh sangat alergi
bergosip. Masih aja die mincing-mancing. Dengan menikmati suapan
terakhir mie kuah, gue gelengkan kepala. Malas banget ngeladenin
die. Gosip lagi. Gosip lagi. Gak jauh-jauh. Sebentar juga ngomongin
youtuber yang lagi trending atau ngrumpiin si anak ujung gang yang
katanya naksir sama gue.
“Payah lo,” katanya sambil ngejendulin kepala.
Kurang asem. Kalau bukan Ijah, mungkin udeh gue tampar
balik tuh bocah. Gak ada sopan-sopannya. Kepala orang dikira kelapa
kali yee. Songong emang.
“Lu traktir gue dong.” Ijah merengek seperti biasa kalau dia

44
merahasiakan sesuatu yang pasti pengin gue tau. Gue sebenarnya
paling anti gosip, kecuali berita itu bener, baru gue tanya dan
klarifikasi. Tapi Ijah tau banget mana berita yang butuh ‘traktiran”
dan mana yang enggak. Artinya, gosip atau berita itu memang
menyangkut diri gue kalau sampai Ijah minta ditraktir.
“Lo mah kebiasaan!” Dengan tak acuh gue jawab sekenanya,
tanpa ngelihat Ijah dan pura pura males denger.
“Nyaaak!” tiba tiba Ijah lari ke depan nyamperin Enyak yang
baru datang.
“Nyak, Ijah punya inpo penting nih!” tanpa menunggu Enyak
masuk ke rumah terlebih dahulu, Ijah udeh nyerocos aja kagak karuan.
Ampun dah nih bocah.
“Tau aja lo, Enyak dating.” Gue ngomong sambil nyuci
mangkok dan sendok.
Gue lihat Ijah ngekor Enyak masuk ke rumah. Gue malas
ngeladenin dia, mending gue kerjain aje soal Kimia tadi. Biarin aja
ntar Ijah sama Enyak, gue mau fokus sama tugas gue. Gue masuk
kamar dan menguncinya. Cekrek. Hmmm legaaaa
Kalau lu pada denger gaya bertutur gue, lu pasti tau siapa
gue. Bener, gue anak Betawi, asli tanpa campuran. Dan gue bangga
menjadi anak Betawi. Bagaimana tidak? Ibu kota negara tercinta ini,
letaknya ada di Betawi. Walau katanya sebentar lagi mau pindah, sih.
Budaya Betawi itu beraneka, dari makanan, minuman, tarian dan
budaya lainnya. Pernah dengar tape uli? Kerak telor? Beer pletok?
Atau Lenong sama Tanjidor? Itu semua khasnya Betawi dan satu yang
gue inget jaman kecil gue… Sueeer gue sampai trauma dan ketakutan
kalau lihat Ondel-Ondel. Gimana enggak, menurut gue ondel ondel

45
itu boneka raksasa yang nyeremin. Wajahnya itu lho putih pucat. Tapi
mau gak mau gue tetap harus bangga sama budaya leluhur.
Nama gue Ipeh. Nama lengkapnya Latipa bin Oman, nama
Baba gue. Tapi dari kecil, gue denger Enyak sama Baba panggil gue
Ipeh. Nama panjang dan nama beken gue kalau di kampung adalah,
“Ipeeeeeeeh!” Hihihi begitu teriakan Enyak ama Baba kalau gue
kagak nongol nongol saat dipanggil. Jadilah nama gue jadi bahan
becandaan temen temen gue sekampung. Bodo amat… biar saja
mereka terhibur, kan membuat senang orang lain itu bisa jadi ladang
pahala buat gue. Kalau gak salah ustaz gue pernah bilang begitu.
Sekarang, gue tinggal berdua doangan sama Enyak. Gue
anak semata wayang dan gue sudah yatim dari umur 5 tahun. Baba
panggilan kesayangan gue ke bokap. Baba gue meninggal karena
kecelakaan. Tapi mungkin karena waktu itu gue masih kecil dan
memori belum kuat, maka daya ingatnya belum bagus, jadinya gue
bisa pelan pelan lupa. Tapi gue inget banget waktu itu Enyak nangis
berhari hari. Gue ikutan nangis, tapi gak tau kenapa. Sedih aja lihat
Enyak nangis. Lu pasti tau kan, anak umur 4 tahun itu gimana.
Yang gue tau dan inget setelah itu, gue hanya sering lihat
Enyak sorangan. Baba kagak pernah kelihatan lagi. Kalau malam
mau tidur, gue sering teriak, “Baba… Baba!” Enyak cuma nangis
kalau gue sudah begitu. Belum lagi kalau tiba tiba badan gue panas
dingin karena kangen sama Baba. Jadi setelah itu selama bertahun
tahun, gue hidup sama Enyak. Kalau lihat tetangga gue yang ada
bokapnya kadang kadang sedih. Mamang gue, Udin mukanya mirip
Baba. Sering gue panggil Baba. Malah nangis si Mamang. Masak
laki laki nangis? Jadinya gue ikutan nangis. Tuh bingung, kan. Malah
pada tangis tangisan. Tapi ya begitulah adanye.

46
Engkong gue pernah cerita kalau Enyak dulu bercita cita jadi
guru. Tapi engkong kagak punya duit, jadinya Enyak hanya lulus SPG
dan enggak lanjut kuliah. Meski begitu, Enyak pernah ngajar PAUD
karena kebetulan kenal dengan pemiliknya. Tapi ngajar sebentar,
Enyak kemudian dilamar sama Baba, padahal umurnya masih
muda. Habis mau pegimana, Engkong kagak bisa nguliahin, umur
Enyak juga sudah lewat 17 tahun. Ya sudah, mau gak mau Enyak
kawin dah. Tapi setelah 3 tahun nikah, mereka belum dapat anak,
Baba minta Enyak kagak usah ngajar lagi. Jadilah Enyak gue keluar
dari pekerjaannya. Karena Enyak punya hobi njahit, maka bukalah
usaha jahit sampai sekarang. Setelah keluar dari pekerjaan, beneran
Alhamdulillah Enyak hamil, mengandung anak pertama dan satu
satunya, ya gue ini.
Baba bahagia banget waktu gue lahir, Baba pengin nanti kalau
sudah gede gue bisa jadi guru tapi yang ngajar mahasiswa gitu, dosen
maksudnye. Biar bisa ngegantiin cita-cita Enyak yang gak kesampean
karena kagak bisa kuliah dan gagal jadi guru. Begitu cerita Enyak ke
gue.
“Ipeh besok kalo gede harus jadi orang nyang bergune. Jangan
kaya aye cuma jualan belimbing ame buah-buahan aje hasil kebon,”
kata Baba suatu waktu ke Enyak.
Faktanya, Baba bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
kami dari situ. Atau gue mungkin kagak pernah tau kesulitan orang
tua, karena apa pun yang gue minta pasti selalu ada dan dipenuhi
sama Baba.
Gue sih emang kagak pernah dengar sendiri dari mulut Baba.
Tapi ya sudahlah, kata guru ngaji gue, itu amanat dan wasiat yang

47
harus gue pegang teguh. Jadi cita cita gue sekarang, mau jadi dosen…
kayak harapan Baba. Bahkan gue mau jadi profesor.
Meski kagak ada bokap, hidup gue dari kecil sangat bahagia.
Bersyukur gue punya Enyak seperti Enyak gue itu. Untungnya, Enyak
gue kagak kayak Ijah yang cerewet… hihihi. Dari penghasilannya
menjahit, Enyak bisa nyekolahin gue. Selain jahit, penghasilan kebon
yang diurus Mamang Udin ditabung sama Enyak. Pelanggan jahitnya
cukup banyak, kalau dulu Enyak njahit sendiri, sekarang sudah
punya 5 orang pegawe yang bantuin. Ajaib memang. Allah SWT itu
Maha Pemberi Rizki. Gue percaya itu, karena gue nyaksiin sendiri.
Kata Enyak, “Kalau kita bersungguh sungguh, Allah swt pasti akan
menolong kita. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Nyang penting
mah usahanya.”
Cita cita Enyak sangat mulia, karena mau nyekolahin gue
setinggi tingginya, nanti habis gue lulus SMP ini, gue harus masuk
SMU, trus kuliah S1, kemudian S2, S3 dan sampai gue jadi profesor.
Pendidikan anaknya harus lebih tinggi dari Baba yang cuma SD
kagak tamat dan Enyak yang lulus SPG doang. Kata Enyak tiap saat,
“Ayo… Belajar, ngaji, berdoa, mohon pada Allah SWT, agar selalu
diberi kemudahan.”
Dan tiap waktu Enyak cerewetin gue. Kadang kadang kesel
juga sih ndengerinnya. Tapi masih mendinglah dibandingkan suara
cempreng Ijah. Tingkat kecerewetannya dengan Ijah itu jauh banget.
Cerewetnya Ijah blas kagak berkelas. Enyak gue, cerewetnya berkelas.
Contohnya, Sudah belajar belum? Sudah salat belum? Jangan lupa
salat. Jangan lupa belajar. Dan mengingat cita-cita gue yang mau jadi
profesor, masak gue gak mau belajar, bukan? Jadi gue harus sungguh-
sungguh belajar.

48
Enyak bener bener sempurna buat gue. Meski sendiri, semua
kebutuhan gue terpenuhi. Walau kami bukan orang kaye, tapi
Alhamdulillah cukup buat kami. Enyak mengajarkan ke gue untuk
bersyukur dengan apa pun. Makan pakai sayur, tempe, sambel sama
krupuk. Kadang ikan cue, telor dadar. Sederhana tapi nikmat sekali,
apalagi kalau Enyak masakin ikan peda cabe ijo pake jagung manis
sisir. Wah sedap sekali itu. Intinya apa pun harus disyukuri, itu pesan
Enyak dan juga guru ngaji gue.
Enyak segalanya buat gue. Makanye gue kagak bakal
mengecewakan nya. Gimana gue mau ngecewain Enyak, orang
permintaan Enyak cuman atu ke gue. Rajin belajar. Kayaknya juga
kagak berat berat amat. Gue harus jadi profesor, sesuai cita cita. Harus
jadi orang berguna. Kelak, gue bakal mengajar mahasiswa, gue pasti
bakal jadi dosen, seperti keinginan Enyak dan Baba.
Tok Tok… Suara pintu kamar terdengar diketok. Suara Ijah
kembali mulai memekakkan telinga, “Ipeeeh, buka pintu!” Gue tutup
telinga. Pusing amat yak denger suara Ijah.
“Enyak udah denger tuh gosiiip… lu kagak mau denger?”
teriaknya sambil gedor pintu.
Gue diam dan pura pura tidur. Dan sepertinya gue benar benar
tertidur pulas karena suara Ijah akhirnya tidak terdengar sama sekali.

***
Bulan ini adalah bulan pengumuman kelulusan dan gue bakal
masuk SMU. Semua serba online. Kagak tau kenapa gue bingung
mau pilih sekolah di mana. Sekolah sudah kasih pengumuman kalau
semua murid lulus dengan baik, termasuk gue. Acara wisuda juga
mau diadakan online. Gue pengin masuk ke SMUN 1 yang memang

49
paling ngetop di Kota gue ini. Hari ini wisuda online akan segera
dilangsungkan. Enyak, tentu saja menemani gue. Rasanya gimana
gitu, wisuda di depan layar monitor. Tapi gue sama Enyak anteng
aje dan mengikuti acara demi acara dengan tertib. Dan sebentar lagi
giliran gue dipanggil.
“Latipa bin Oman,” begitu suara dari host terdengar. Gue
dan Enyak berdiri dengan senyuman manis tersungging. Enyak
mengalungkan selempang kelulusan yang sudah diterima dari
sekolah, menyerahkan piagam dan piala ke tangan gue. Kami ngadep
kamera dan jepret jepret, kami difoto untuk dokumentasi sekolahan.
“Latipa dan ibu jangan duduk dulu,” kata host acara, membuat
gue agak canggung karena itu kagak ada di dalam rundown acara.
“Wah ada apa ini, Nyak?” tanyaku lirih ke Enyak yang masih
dengan anggun menatap monitor.
“Dengan bangga, kami umumkan dan kami ucapkan selamat
kepada ananda Latipa bin Oman, atas prestasinya sehingga diterima
di SMA N 1 dan mendapatkan beasiswa selama 3 tahun penuh, atas
prestasi akademiknya. Sekali lagi, selamat untuk ananda Latipa
bin Oman!” seru host itu membuat jantungku berdebar kencang.
“Penghargaan ini hanya diberikan pada 1 orang yang luar biasa …
mari kita berikan applaus bapak ibu,” host itu lancar menjelaskan.
Waaah… Masya Allah. Sungguh ini kejutan manis yang tidak
disangka. Ini bener-bener di luar ekspektasi gue. Gue merasa biasa saja
dalam belajar. Tapi gue yakin dan percaya sama omongan Enyak…
bahwa jika ada kemauan pasti akan ada jalan. Dan ternyata ini jalan
gue yang telah dipermudah Allah SWT. Ya Allah… Alhamdulillah…
Alhamdulillah.

50
“Alhamdulillaaaaah,” seru Enyak sambil menciumi pipi gue
dan merasa wajah gue menghangat.
Rasanya malu di depan ratusan pasang mata Enyak menciumi
dan memeluk gue erat erat. Tapi ada yang luar biasa gue rasakan. Gue
bahagia sekaligus bangga bisa membuat Enyak tersenyum bangga
dan bahagia. Mata Enyak terlihat bersinar dan ada sedikit embun di
sana. Aku percaya, Enyak menangis karena bahagia.
“Selamat, ya anak Enyak,” sambil berantakin rambut gue yang
emang kagak pernah rapi. “Enyak yakin, anak Enyak bisa. Emak
yakin Ipeh hebat,” kata Enyak sambil ngacungin jempol.
“Alhamdulillah, gue bisa dapat beasiwa tanpa gue sangka,”
batin gue.
Ternyata gosip yang kemarin mau diceritakan Ijah adalah berita
ini, tadi Enyak ngomong ke gue. Darimana Ijah denger berita itu…
gak tau lah. Dia emang paling jago kalau dapat gossip. Tapi ini mah
bukan gosip. Apa pun itu, yang jelas, gue bakal traktir Ijah.
Satu langkah sudah gue selesaikan untuk menuju cita-cita gue
jadi orang berguna, orang yang bermanfaat. Gue percaya, selama
gue berusaha dengan belajar sungguh-sungguh, gue bisa meraih apa
pun yang gue cita-citakan. Gue yakin gue bisa jadi Profesor. Selama
gue juga melangitkan do’a, tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT.
Enyak, Baba. Ipeh bakal jadi profesor.
Jadi, perkenalkan yaa, nama gue Ipeh dan mimpi gue melangit.

SELESAI

51
Rejeki Listyarini
Listyarini Soewarno adalah nama pena dari pemilik nama asli
Rejeki Listyarini yang sampai saat ini berprofesi sebagai bankers.
Hobi berkebun, melukis, menulis dan baca puisi yang sudah dimiliki
dari kecil. Sebelum buku Asmaraloka, Listyarini Soewarno yang
juga memiliki nama pena lain yaitu Tjemani Jati telah berkontribusi
di dunia literasi dan menghasilkan beberapa karya yang sudah
diterbitkan antara lain: Lirih (antologi Puisi), The Pluviophile
(antologi cerpen tentang hujan), Per Empuan Shakti di Dalam
Bhakti (persembahan ruhani para Pecinta), The Choices of Life (The
inspiring women),   Puisi hati (antologi puisi) dan Antara Kita Ada
Cinta (kumcer). 
Listyarini soewarno dapat ditemui di fb: Rejeki Listyarini 

ig: rejekilistyarini, listyarinisoewarno dan lis_galeri

email: tjemani.jati@yahoo.com

52
Luka Persahabatan
Yani Yan

Azan Maghrib berkumandang. Sekumpulan anak muda


bergeming mendengar panggilan salat itu. Mereka tetap asyik ngobrol
sambil tertawa cekikikan di pos ronda yang terletak di ujung jalan.
Dian tersentak, ketika tiba-tiba seorang lelaki menarik
tangannya dan membawanya pergi, menjauh dari pos ronda itu.
Muka lelaki itu merah padam, seakan telah menghabiskan satu cobek
sambal udang super pedas level tujuh.
“Kamu itu ya!” teriak Bapak sambil menahan marah. “Sudah
berapa kali Bapak bilang? Anak perempuan itu tidak pantas berada
di luar petang hari kayak gini,” lanjut Bapak sambil tetap menahan
marah.
“Ada apa to, Pak?” Ibu datang tergopoh-gopoh mendengar
suara ribut di ruang tamu.
“Ini lho, Bu. Lihat anakmu! Kelakuannya makin lama makin
tak karuan.” Bapak menjawab dengan gusar.
“Sabar Pak, sabar.” Ibu berusaha menenangkan Bapak.
Emosi Bapak sudah hampir meledak. Ini sudah kesekian kali,
Dian berbuat ulah. Akhir-akhir ini kelakuan putri sulungnya sungguh
sangat menguji emosinya.
Iqomah berkumandang. Bapak mengusap kasar wajahnya
kemudian bergegas ke masjid, meninggalkan Dian yang tertunduk
menahan kesal namun tidak berani melawan. Yah, ia tahu, ia salah.
Kemarin Bapak marah besar karena ia pulang hampir jam 9 malam

53
setelah diajak Fani, sahabatnya. Tanpa pamit pula sebelumnya. Hari
ini ia membuat marah Bapak lagi. Ia lupa waktu. Entah setan apa yang
sedang merasukinya sehingga beberapa waktu belakangan ini ia sering
melupakan jam main yang disepakatinya bersama keluarganya. Pulang
maksimal jam 17.30 WIB. Begitulah kesepakatan di keluarganya,
tetapi lagi-lagi ia melanggarnya, wajar jika Bapak murka. Alih-alih
meminta maaf, Dian malah protes juga kepada Ibunya.
“Emang anak perempuan itu ga boleh main ya, Bu? Ga boleh
gaul, gitu?” tanya Dian kepada Ibunya.
“Bukannya ndak boleh main, tapi kan rumah itu juga ada
aturannya, Nduk,” Ibu berusaha tetap tenang.
“Aturan apa Bu, ini mah namanya mengekang.” Jiwa muda
Dian bergolak, lalu lanjutnya. “Pulang telat dikit salah, keluar ga
pakai jilbab salah, kayaknya Dian salah terus di mata Bapak.”
“Kita ini orang Islam Nduk, ya memang begitu aturannya.” Ibu
berusaha menjelaskan pelan-pelan agar putri sulungnya itu tak makin
meradang.
“Ibu lihat akhir-akhir ini, kamu banyak berubah Nduk. Kamu
jadi sering main, suka jajan, dan jarang bantu Bapak.” Ibu menghela
napas panjang. “Sudahlah, ambil wudu gih sana. Ibu tunggu, kita
salat Maghrib jamaah.”
Dian beranjak menuju kamar mandi, menunaikan titah Ibunya,
dalam hati ia membenarkan apa yang dikatakan Ibunya barusan. Ia
pun sebenarnya merasakan, akhir-akhir ini sering membuat marah
Bapak, bahkan sering berontak dengan kesepakatan keluarga atau
tata tertib keluarga lebih tepatnya. Sebagaimana sekolah, keluarganya
memang menerapkan tata tertib untuk mengajarkan kedisiplinan pada

54
anggota keluarga.

***
Sore yang cerah. Awan berarak putih kebiruan, sepertinya sore
ini tak akan turun hujan. Dian yang telah bersiap dengan dandanan
casualnya. Celana jeans, Hem kotak-kotak ditambah kerudung polos
warna merah. Dihampirinya Fani yang juga mengenakan baju hampir
serupa dengannya.

“Di, temeni jalan-jalan yuk,” celetuk Fani sambil menghidupkan


motor beat kesayangannya.
“Ehm....”
“Halah, udah buruan naik!” Fani menarik tangan Dian sebelum
dia berkata sepatah katapun.
Tetiba Dian pun sudah nangkring di belakang Fani. Dan motor
segera melaju.
“Emang mau ke mana sih Fan?!” teriak Dian untuk mengalahkan
bising suara kendaraan di jalan raya.
“Ke suatu tempat yang belum pernah lu kunjungi,” jawab Fani
diiringi tawa riang.
“Gila lu, gue ga bawa duit. Belum pamit lagi.”
“Udah, tenang aja ntar gue traktir deh.” Fani terlihat santai
sambil mengendalikan tunggangannya yang meliuk-liuk di atas aspal.

Selang setengah jam, sampailah mereka di pinggir telaga. Lebih


tepatnya bendungan. Terlihat pemandangan yang menakjubkan.

55
Airnya yang bening mengalir menimbulkan suara gemericik dan riak-
riak kecil. Semilir angin sore dan kicauan burung ditambah hamparan
sawah di sepanjang mata memandang, membuat netra Dian tak
berkedip.
“Wooow, indah nian ciptaan Tuhan,” lirih dia berucap.
“Keren, kan?”
“Lu kenapa ga kemarin-kemarin ngajak gue ke sini, Sis?”
protes Dian pada sohibnya.
“Lha, ntu tu. Tadi aja katanya ogah,” ujar Fani membela diri.
“Lu, ga bilang sih, mau ke mana.”

Dian segera berlari kecil meninggalkan Fani yang sedang


memarkir sepeda motor. Sesampainya di pinggir telaga, ia
membentangkan tangan dan menutup netra, lalu berputar perlahan
seolah merasakan kedamaian yang lama tak ia temukan. Fani kemudian
menyusulnya, sudah dengan dua buah keripik singkong balado yang
ditusuk berbentuk spiral. Disenggolnya Dian dan diserahkannya satu
kepada sohibnya yang tengah terpesona dengan pemandangan telaga
Parean.
“Tumben lu baik banget, Fan?”
“Yaelah...ni anak. Sudah dari dulu keles.” Fani duduk menjajari
sahabatnya.
“Eh, iya ding. Lu emang sahabat gue yang paling jelek,” goda
Dian sambil memicingkan netra ke arah Fani. “Nggak ding yang
paling baik seluruh dunia deh. Puas?!” Dian buru-buru melanjutkan
sebelum kepalan tangan Fani mampir di bahunya. Lalu mereka pun

56
terkekeh. Saking asyiknya ngobrol, hingga tak terasa waktu beranjak
petang.

“Gue laper nih!” seloroh Fani sambil berdiri dan menepuk-


nepuk celananya untuk membersihkan debu yang menempel di sana.
“Makan, yuk.” Fani segera menarik tangan Dian.
Mereka menghampiri salah satu warung tenda yang berjajar di
sepanjang pinggir telaga dan menikmati makanan hingga tak terasa
malam telah menjelang.
Dian melirik jam tangannya.
“Astaga,” serunya panik melihat jarum jam menunjuk angka
8. “Gila, jam delapan, Fan! Pulang, yuk!” terlihat kepanikan di
wajahnya.
“Iya, gue juga udahan kok.” Fani terlihat biasa saja.
Setelah membayar makanannya mereka pun pergi meninggalkan
warung tenda itu. Fani melajukan tunggangannya dengan kecepatan
rata-rata seperti biasanya.
“Buruan Fan, cepetan dikit bisa ga ya?” Dian sedikit berteriak,
menahan kekhawatirannya.
“Santai aja kenapa sih, lu ga mau kenapa-kenapa, kan?”
“Santai lu bilang, ini jam berapa euy?” Dian semakin panik,
“gue pasti kena damprat deh,”
Fani menurunkan Dian di ujung gang. Dian berjalan setengah
berlari. Tiba di depan pintu rumah, diambilnya napas panjang
dan diembusnya perlahan-lahan untuk mengurangi ketegangan.
Tangannya menjulur ke arah gagang pintu. Dibukanya pintu pelan

57
sekali agar tak menimbulkan suara lalu ditutupnya kembali.
“Ehm...ehm....” Terdengar suara Bapak berdehem sambil
menyalakan lampu. Tak kepalang rasa kaget Dian.
“Assalamu’alaikum, Pak,” suara Dian terbata menyembunyikan
kegugupannya.
“Dari mana saja kamu? Anak gadis jam segini baru pulang,”
suara berat Bapak menginterogasi.
“Eh...anu itu, Pak. Habis belajar kelompok,” jawab Dian
berbohong menutupi kekeliruannya.
“Halah…mana ada belajar kelompok hingga larut malam
begini. Sudah pintar berbohong kamu rupanya.” Bapak langsung
menghakimi.
“Dian itu salah apa sih, Pak? Masak gini ga boleh, gitu ga
boleh? Terus maunya Bapak itu Dian mesti bagaimana?”
“Ya jelas salah! Di, kamu itu sudah besar. Harusnya kamu itu
jadi contoh buat adik-adikmu, bukannya kelayapan. Ga sopan, anak
gadis berkeliaran malam-malam kayak gini. Sudah berapa kali Bapak
bilang, jauhi Fani, dia hanya memberi pengaruh buruk padamu,”
Emosi Bapak mulai meledak. Alih-alih meminta maaf dan
mengakui kesalahannya, Dian yang tidak terima Bapak menjelekkan
Fani, beradu argument dengan Bapak. Dian membela Fani di depan
Bapaknya. Ibu yang sedang membereskan dapur, dan mendengar
suara ribut bergegas ke ruang tamu. Lalu melerai keduanya. Hanya
Ibu yang bisa menenangkan Bapak. Lalu Ibu menyuruh Dian masuk,
sebelum suasana semakin gaduh.

***

58
Kejadian malam itu mengakibatkan Dian mendapat sangsi
dari Bapak dan Ibunya. Dian tak boleh main lagi sepulang sekolah
atau ia tak diberi uang saku sama sekali. Dian tak berani membantah.
Tugas sekolah banyak, semuanya membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, bagaimana ia bisa mengerjakan jika tak mendapat uang saku?
Mengabaikannya jelas tidak mungkin karena ia hanya akan mendapat
hukuman. Kalau sekadar menyalin, ia masih sanggup, tapi biasanya
yang sudah pernah dia alami, tugasnya hukuman lebih berat dari
tugas sebenarnya. Ampun, deh. Katanya dalam hati. Tidak ada pilihan
lain, selain menjalani sangsi ini.
Pun begitu, Bapak dan Ibu sudah dengan pertimbangan dan
perbincangan yang matang memilih sangsi untuk Dian. Mereka
berharap sangsi tersebut akan sedikit menjauhkan Dian dari pengaruh
buruk Fani. Sebenarnya mereka telah berteman sejak kecil, tapi
entah mengapa akhir-akhir ini Fani banyak berubah dan membawa
pengaruh buruk pada Dian. Mungkin pengaruh kondisi rumah tangga
keluarga Fani yang sedang tidak harmonis sehingga menjadikan Fani
kurang kasih sayang dan akhirnya mencari perhatian di luar.
Di saat yang sama Bapak sedang panen kacang panjang, jadi
ia harus menjaga dua adiknya, sementara Ibu membantu Bapak
mengelola hasil panen, mulai dari memetik, menyortir, mengikat lalu
mengantar ke pengepul. Dian hanya sesekali bertemu dengan Fani,
itu pun tak lama. Dian tak sanggup menerima sangsi lebih berat dari
kedua orang tuanya. Kebetulan sejak melanjutkan di tingkat atas,
sekolah mereka berbeda arah jadi tak bisa berangkat dan pulang
bersama lagi.
Tadi pagi ketika Dian bertemu Fani saat hendak berangkat
sekolah, Fani seperti hendak menyampaikan sesuatu tetapi bus

59
sekolah yang biasa ditumpangi Dian tetiba datang.
“Kutunggu ditempat biasa jam 2!” teriak Fani sesaat sebelum
Dian naik bis.
“Ada apa sih?” tanya Dian begitu keduanya bertemu.
“Anu…”
“Anu apa? Buruan ngomong, gue takut ntar telat, hukuman gue
ditambah lagi sama bonyok.”
“Itu…”
“Apaan sih, Fan? Gue ga ngerti deh”
“Gue telat, Di,”
“Gue lebih telat lagi kalau lu ga buruan ngomong,” Dian mulai
sewot.
“Bukan itu, Di! Gue telat datang bulan,” suara Fani lirih nyaris
tak terdengar.
“What??” Dani berseru kaget sambil melotot ke arah Fani.
“Iya, Di. Gue sudah tes dan ….” Fani tak kuasa meneruskan
ucapannya, hanya isak tangis yang mulai terdengar.
“Lu bego banget sih, Fan!” Dian serta merta kehilangan
kendali. Diucapnya kalimat itu sambil menahan emosi. “Kenapa bisa
lu lakuin hal menjijikkan kek gitu?”
“Gue khilaf, Di,”
“Sama siapa? Yang lu ceritain malam itu?” Dian menebak.
Fani hanya mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan Dian. “Gue
kan udah pernah bilang, hati-hati sama Ferdy. Dia itu manis karena
ada maunya sama lu, lu itu yang ….”
Fani semakin terisak. Dian sungguh terluka. Bahkan sangat

60
terluka. Dia ingat sekali janji mereka berdua usai menerima surat
kelulusan dari sekolah menengah pertama. Bahkan mereka berjanji
akan membentuk komunitas “Ijo Lumut-Ikatan Jomblo Imut-imut”
tetapi belum terwujud Fani sudah melukai janji itu. Tak hanya
melukai hatinya, tetapi yang pasti akan lebih perih adalah hati kedua
orang tuanya.
Dian meninggalkan Fani yang masih dalam isak tangisnya. Ia
melangkah gontai. Betapa sahabatnya yang sering ia bela di hadapan
Bapak dan Ibunya telah melukai hatinya. Melukai persahabatan
mereka dengan perbuatan yang melanggar syariat. Seburuk-buruknya
dia, dia tak akan menyerahkan mahkotanya begitu saja. Sungguh
masa depannya masih sangat panjang.

***

SELESAI

Yani Yan
Penulis dengan nama asli Maryani, S.Pd ini tinggal di
Semarang. Ia baru berkecimpung di dunia menulis saat ini. Jik ingin
mengenalnya, silakan kunjungi akun Fb: Yani Yan atau email: yanie.
trsala3@gmail.com.

61
Maafkan Aku
Farhan K. Nugroho

Selasa, 12 Februari 2019

Hari ini, gua mulai membuka mata untuk melihat realita di


sekitar. Peristiwa yang terjadi hari ini membuat gua sadar bahwa
banyak bahasa kekinian yang nggak digunakan sebagaimana
mestinya. Gua mulai nggak nyaman dengan kejadian belakangan ini
di sekolah, tapi gua bingung harus cerita ke siapa. Karena itu gua
menulis diary ini, semoga dengan menulis di buku ini gua bisa lebih
tenang dalam berkeluh kesah.
Udah, itu aja buat hari ini.

Kamis, 7 Maret 2019

Udah lama nggak nulis diary, liburan Nyepi tahun ini nggak
berasa, soalnya tahun ini banyak banget hari libur. Sebenernya gue
seneng sih, hari sekolah jadi nggak banyak hehehe. Keseharian gua
kalo libur ya cuma main online game, nonton kartun, dan rebahan
aja. Tadi pas lagi main, gua keinget kalo ada hal yang pengen gua
curahkan.
Namaku Alan, saat menulis diary ini aku masih kelas 8 di
SMP Bunga Millenia, emang sekolahku ini nggak terlalu terkenal
jadi jangan dipikirin ya, hehe. Gua bisa dibilang anak yang aktif di
organisasi sekolah, tapi gua juga anak yang introvert. Rasanya capek

62
kalo harus interaksi sama banyak orang, makanya temen Gua bisa
dihitung pake jari.
“Alan mah orangnya anti-sosial, mainnya pilih-pilih,” begitulah
kata yang sering gua denger dari temen di kelas. Seperti yang gua
bilang pada diary sebelumnya, anti-sosial sepertinya bukan istilah
yang tepat untuk menggambarkan kondisi gua. Kalo nggak percaya,
coba aja kalian cari arti anti-sosial menurut ahli. Gua nggak se barbar
itu gaesss.
Karena sering banget denger hal begitu gua jadi makin males
buka obrolan sama mereka, agak tertekan gitu rasanya. Apalagi, di
kelas gua ada geng “hitz” yang cetar badai jedam jedum gedebum
blubuk-blubuk. Mereka kumpulan anak paling gaul di sekolah ini,
kenapa? Karena konon, mereka lah yang pertama kali membawa dan
menggunakan bahasa ‘kekinian’ di Sekolah.
Intermezzo-nya segitu dulu aja ya, itu uneg-uneg yang udah
lama gua tahan, dan beberapa hari ini rasanya makin parah karena…
Next deh, hehehe.
Udah ngantuk gaesss, Alan out.

Senin, 11 Maret 2019

Gaes, gua balik lagi nih nulis diary. Karena gua kesel banget,
banget, banget.
Coba tebak, karena apa? YA, BETUL! Geng ‘hitz’ itu. Mereka
ngejek salah satu murid di kelas gua, namanya Denis, jadi gini
ceritanya.

63
Bel istirahat pertama berbunyi, kami semua langsung
mengambil posisi masing-masing. Ada yang bersiap ke kantin, ada
yang mau ngumpul makan bareng di meja temennya, ada yang mau
ke musala, dan sisanya menarik napas dalam setelah mengikuti kelas
pagi. Kebetulan kelas pagi ini adalah matematika, so kalian bisa
pahamlah ya kalo otak kami pada ngebul.
Oke, back to topic. Sebelum gua melangkahkan kaki ke luar
kelas, terdengar tawa yang mengganggu di kuping gua. Itu suara tawa
Emon, salah satu siswa yang paling berpengaruh dalam geng anak
‘hitz’ di sekolah. Menurut gua, dia siswa paling bandel di antara siswa
lainnya. Tampangnya nggak cakep, agak burik sih menurut gua (jujur
aja ya), tapi dia punya aura yang bisa bikin orang lain nggak berani
natap matanya langsung, gua juga ngeri, asli dah!
Ini percakapan mereka yang gua denger setelah gelak tawa
Emon. “Eh, bocah ingusan! Ngapain dateng ke sini? Ke mana aja
lu, ekskul nggak pernah dateng, di sekolah tidur mulu kerjaannya!”
ledek Emon dengan nada tinggi, seolah merendahkan Denis yang
sedang mengantuk di mejanya. Belum selesai sampai disitu,
“Lu nggak kasian sama orang tua lu yang nyekolahin lu di
sini hah? Atau, orang tua macem apa yang mendidik anak kayak lu
gini?” Emon menurunkan nada bicaranya, hal itu membuat suasana
kelas menjadi sangat hening. Suara siswa lain yang mengobrol,
bersenda gurau, bahkan suara burung di luar pun seolah tidak pernah
ada. Kemampuan intimidasi seorang gangster benar-benar dapat
kami rasakan.
Keheningan itu pun pecah dengan suara lirih yang putus putus,
“huk… huk… hukk.”

64
Itu suara Denis, dia benar-benar berusaha untuk
menyembunyikan tangisnya dengan berpura-pura cegukan. Tapi
tentu, dia tidak bisa menyembunyikan mata merah yang berair sekuat
apa pun ia menahan tangisnya itu.
Dan gua nggak kuat untuk nulis lebih banyak lagi, besok gua
harus ngomong sama wali kelas soal ini.
Sebaiknya gua nggak tidur kemaleman juga.

Selasa, 12 Maret 2019

Hari ini, Gua merasa gagal dan bodoh.


Jadi jam istirahat kedua gua menyempatkan diri untuk ke ruang
guru, mencari wali kelas gua. Kita ngobrol cukup lama sampai jam
istirahat hampir habis, Beliau menyetujui kalau nanti setelah jam
pelajaran-nya siswa yang bersangkutan akan dipanggil ke ruang guru,
termasuk gua sebagai saksi mata dan pelapor.
Sepulang sekolah, Kami berkumpul di ruang guru sembari
menunggu wali kelas kami Kembali. Emon dan dua temannya
bertingkah seperti cacing kepanasan, disertai dengan cacian dan
umpatan lain yang ditujukan pada gua dan Denis. Jujur gua ngerasa
gerah juga deket sama mereka, pengennya cepet kelarin masalah ini
dan berharap guru sadar akan adanya kejadian begini. Singkat cerita,
gua ceritakan semua yang gua denger dan lihat di hari itu.
Tapi kemudian perjuangan gua sia-sia, karena orang yang gua
perjuangkan nggak mau Stand Up! Pertama, Emon dan kawan-kawan
menyangkal adanya kejadian itu selepas gua cerita, dan mereka minta
tanggapan Denis! Berani-beraninya mereka manfaatin Denis! Dan

65
parahnya lagi, Denis juga menyangkal bahwa kejadian hari Senin
pernah terjadi.
Gua nggak bisa berkata banyak, Pak Guru malah balik ngasih
ceramah buat gua. Asli dah, kecewa berat hati ini.
Sepulangnya, Denis menghampiri gua dan berkata, “Makasih
ya Lan, gua nggak apa-apa kok. Jadi jangan dibahas lagi ya.”

Senin, 18 Maret 2019

Sekarang gua jadi bahan ledekan juga di kelas, siapa lagi


yang mulai kalo bukan Emon. Selain itu, sudah terhitung 4 hari Denis
nggak masuk sekolah. Jadi gua putuskan untuk tanya ke wali kelas
mengenai alamat Denis, singkat cerita gua sempetin pulang sekolah
main ke rumahnya.
Gua baru tau, ternyata Denis sudah nggak memiliki orang
tua. Ia tinggal di rumah bersama dengan adiknya. Mereka dirawat
oleh paman mereka yang hanya beberapa kali dalam sebulan datang
untuk menjenguk. Jadi Denis harus bekerja untuk menafkahi diri
dan juga adiknya yang masih kecil. Gua baru kali ini masuk dalam
pembicaraan yang serius dengan orang yang belum lama gua kenal,
setelah sebelumnya gua marah dulu ke Denis.
Tapi jujur, gua merasa bersalah marah padanya setelah
mengetahui latar belakangnya.

66
Selasa, 19 Maret 2019

Denis hari ini masuk Sekolah, senang rasanya. Tapi rasa


senang itu berubah menjadi khawatir saat melihat ada luka lebam di
punggung tangan Denis.
Setelah jam istirahat tiba, gua coba untuk menghampiri Denis,
“Den, coba lihat tangan lu!” Gua mencoba menarik lengan Denis agar
dapat melihatnya lebih jelas. Dia enggan memberi tau dari mana asal
luka itu, tidak berselang lama.
“Uhukkk!!!” Denis batuk dengan sangat keras, awalnya
seisi kelas melihat kami dengan pandangan jijik, seolah menyuruh
kami untuk diam dan tidak mengganggu mereka. Seketika suasana
berubah, wajah mereka menunjukkan ketakutan, mata yang terbuka
lebar dengan alis yang menekuk ke bawah.
Kami semua panik, Denis batuk berdarah. Percikan darahnya
cukup banyak sehingga menodai baju seragamnya. Hanya sedikit
yang mengenai gua karena Denis sempat memalingkan wajahnya.
Saat itu juga Denis dibawa ke ruang UKS untuk diperiksa, dan
kabar yang gua dengar setelah itu ia dirawat di Rumah Sakit.

Rabu, 20 Maret 2019

Hari Rabu, hmmm. Hari ini rasanya gua capek banget, nggak
bergairah, lebih dari biasanya. Jadi begini, sepulang sekolah tadi gua
coba beranikan diri untuk ngomong sama Emon yang lagi nongkrong
bareng gengnya di kantin. Kurang lebih percakapannya seperti ini.
“Emon, Sorry nih ya ganggu waktu kalian. Gua boleh ngobrol

67
sama lu nggak? Berdua aja.” Emon menunjukkan ekspresi bingung,
dia terdiam, melirik dengan tatapan bingung dan kemudian Emon
bilang begini ke temen-temennya,
“Hmmm, Gaes gua mau kelarin urusan dulu nih ya, kalian
pesen makan dulu aja nanti gua yang bayar!”
Mendengar itu, gua merasa agak ciut. Gua berasumsi bahwa
nanti gua bakal dipalak, mungkin dipukulin, dan sebagainya. Saat
pikiran itu terlintas, gua kembali mengumpulkan keberanian. Setelah
agak jauh dari teman-temannya, gua langsung tanya, “Mon, sebelum
Denis batuk darah kemaren gua liat tangannya lebam-lebam… Gara-
gara lu ya?” Dengan tatapan dan nada tajam gua mencoba untuk
memojokkan Emon, namun tak disangka.
Emon mengakui bahwa luka pada tangan Denis memang betul
ulahnya! Gua mulai gelisah dan nggak bisa menahan diri lebih lama
lagi, tapi gua ingat dengan Denis yang selalu sabar menahan emosinya.
Jadi gua tarik napas dalam-dalam, dan out of the blue. Emon bilang
minta maaf, jujur gua masih nggak terima, nggak semudah itu bilang
maaf dan keadaan bisa berbalik.
Selain meminta maaf, Emon bilang bahwa saat Dia mengganggu
Denis hingga tangannya lebam. Ia teringat akan dirinya sendiri,
sewaktu kecil selalu diperlakukan secara tidak wajar oleh orang tua-
nya. Emon bilang bahwa hal itu nggak bisa lepas dari ingatannya,
dan hal yang Emon lakukan selama ini merupakan pelampiasan untuk
masa kecilnya yang kelam.
Emon bilang bahwa, setelah ia melihat luka pada Denis. Ia
teringat akan dirinya sendiri, dan Emon bilang bahwa ia sudah paham
bagaimana perasaan Denis, yang mungkin mirip dengan perasaan

68
Emon waktu dulu diperlakukan secara tidak baik.
Singkat cerita, gua mengiyakan cerita Emon meskipun masih
berat hati. Emon menitipkan salam dan permohonan maaf untuk
Denis jika gua menjenguk ke rumah sakit.
Hari ini sangat melelahkan, tapi rasanya banyak sekali
pelajaran yang bisa gua ambil. “Apa harus dengan cara seperti ini
untuk menumbuhkan empati seseorang?” tanyaku pada diri sendiri.

Kamis, 21 Maret 2019

Hari kamis ini, gua masih seperti kemarin, mungkin lebih


lemah rasanya dibandingkan hari kemarin.
Sepulang sekolah tadi, gua sisihkan sebagian uang jajan
untuk membeli buah. Memang gua mau berkunjung ke rumah sakit,
menjenguk Denis. Bener-bener deh, banyak banget hal yang tidak
terduga, gua sampe capek kepikiran semua hal yang terjadi. Apakah
begini cara alam semesta membentuk diri ini?
Jadi pas gua dateng ke rumah sakit, perawat di sana bilang
bahwa Denis sedang istirahat saat ini, sehingga gua nggak bisa
masuk. Saat itu, perawat meminta gua untuk bertemu dengan Dokter
yang merawat Denis untuk dimintai beberapa keterangan.
Gua bener-bener kaget saat Dokter bilang bahwa banyak luka
di tubuh Denis, baik lebam ataupun luka sayatan. Gua langsung
termakan emosi, teringat apa yang Emon katakan sebelumnya.
Setelah mengobrol agak lama dengan Dokter, gua memutuskan untuk
mendatangi rumah Emon untuk memberinya pelajaran. Sebelum
gua melangkahkan kaki keluar dari ruang Dokter, perawat yang

69
sebelumnya bilang bahwa Denis sudah bisa ditemui.
Gua merasa lega, dan ingin memastikan semuanya dengan
Denis. Tapi hal yang nggak terduga terjadi lagi, Denis kali ini benar-
benar terbuka pada gua. Semua hal yang terjadi dia ceritakan, dan gua
yakin nggak ada yang ditutup-tutupi, karena gua tau butuh keberanian
yang besar untuk menceritakan hal seperti ini kepada orang lain.
Hal itu bisa gua lihat melalui matanya yang berkaca-kaca sembari
bercerita.
Belakangan ini, Denis memang lebih sering di bully
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, karena Denis bekerja lebih
keras dibandingkan sekolah. Sehingga tak jarang Ia tertidur di kelas,
datang terlambat, dan sebagainya. Denis bilang bahwa ia harus
menjadi kuat untuk dapat menghidupi diri dan Adiknya, tapi di sisi
lain Denis juga mengatakan bahwa tetap saja dirinya hanya remaja
biasa yang memiliki perasaan takut, sedih, kesepian, dan ia bilang
bahwa dirinya sangat mengharapkan kehidupan normal layaknya
siswa lain yang bisa berkumpul bersama teman-teman. Terutama
teman yang mau menerima dirinya sebagaimana adanya.
Gua hampir saja melampiaskan kemarahan pada orang yang
salah. Luka lebam dan sayatan pada tubuh Denis bukanlah ulah
Emon, tapi perbuatan Denis sendiri. Gua nangis dong, bingung,
kenapa kok dia melakukan hal itu? Denis menjawab pertanyaanku
dengan jawaban yang menurutku tidak masuk akal, sebagai hukuman
untuk dirinya.
Denis bilang bahwa hal itu untuk menghukum dirinya, karena
ia tidak cukup kuat, tidak cukup pintar, tidak cukup rupawan dan tidak
cukup mapan untuk dapat bergaul dengan siapa pun di sekolah. Denis

70
juga bilang bahwa, semasa kecilnya dulu ia akan diberi hukuman
apabila menangis. Semenjak orang tua-nya tiada, ia meneruskan
kebiasaan tidak baik itu pada dirinya sendiri. Gua sadar, ini konstruk
sosial yang nggak dibangun dengan tepat.
Hal yang membuat gua terpukul adalah bagaimana Denis
menceritakan semua hal itu, rasanya ia sudah menyingkap seluruh hal
yang menutupi kebenaran akan dirinya. Udah nggak bisa lagi denger
apa pun, gua nggak kuat di sana lama-lama.
Nggak berselang lama, gua pamit pada Denis dan menitipkan
pesan singkat padanya, “Den, lu yang sekarang udah nggak terikat
lagi dengan masa lalu. lu bebas untuk menentukan masa depan
sendiri. Gua yakin, lu berada di posisi saat ini karena Allah pengen lu
jadi orang yang kuat! Apa buktinya? Gua sekarang di sini, nemenin
lu, dengerin cerita lu, dan kalo lu mau belajar gua bersedia bantu,
apa pun yang sekiranya bisa bikin lu jadi lebih baik, gua siap bantu!
Mungkin pertemuan kita bukan kebetulan, pasti ada skenario di balik
semua ini Den!”
Denis menatapku dengan tatapan yang penuh, seolah
menyadari ada hal yang lebih besar dari dirinya. Setelah merenung
sejenak, Denis menahanku yang sudah hampir keluar pintu dengan
kata-kata yang membuatku merinding.
“Alan, mungkin lu bener. Mungkin ini bukan kebetulan,
sepertinya Allah memang sengaja mempertemukan kita, tapi bukan
untuk gua, Lan.” Gua menghentikan langkah dan berbalik untuk
melihat Denis sembari ia melanjutkan kalimatnya. “Gua perhatiin lu
belakangan ini berubah Lan, nggak kayak dulu yang biasanya cuek.
Gua sadar ini semenjak bulan lalu, waktu Emon and the gang lagi asyik

71
mempermainkan gua, dan gua marah. Orang-orang langsung bilang
gua baperan, nggak asyik, cemen.” Suara Denis semakin pelan, tapi ia
terus melanjutkan kalimatnya “Gua sadar kalo perlawanan gua nggak
akan berguna, bikin capek doang, karena gua nggak berhadapan sama
Emon and the gang doang. Gua berhadapan dengan trend & Socialita
yang ada!”
Gua terdiam, sebelum mengucapkan selamat tinggal.
“Lan, lu yang dipertemukan sama gua! Allah pengen lu jadi
orang yang kuat, yang bisa berempati, yang mau bertindak untuk
orang kayak gua! Meskipun gua tau, lu ngerasa hal yang lu perbuat
belum menghasilkan apa pun. Jangan nyerah ya, Lan! By the way,
terima kasih ya.” Denis tersenyum sembari mengatakan terima kasih.
Selepas itu Gua pulang, langsung nulis diary ini.
Dan Gua nggak bisa berhenti kepikiran sama apa yang Denis
katakan sore tadi, terutama… Senyum yang ada pada wajahnya
sebelum gua pergi, rasanya seperti hangat, dingin, namun misterius.
Aku sudah lama tidak melihat dan merasakan senyum seperti itu,
semenjak.

Senin, 8 April 2019

Sudah lama gua nggak jenguk Denis. Ya, dia masih di rumah
sakit. Gua belum sempet nulis diary lagi karena selama 2 pekan lalu
ada UTS. Selain itu, waktu gua untuk keluar pun juga terbatas karena
ada beberapa acara keluarga.
Beberapa hari lalu, Kami sekeluarga mengadakan pengajian
100 hari meninggalnya kakek kami. Jadi kami mengerahkan fokus

72
kami untuk kegiatan tersebut.
Dan saat menulis ini gua baru sadar. Agak merinding sebenernya
gua mau nulis ini. Gua inget, senyuman Denis waktu itu sebelum
gua pergi. Senyuman Denis mirip banget sama senyuman kakek,
senyuman terakhir kakek yang gua lihat beberapa hari sebelum kakek
meninggal.
Besok gua bakal jenguk Denis lagi, mungkin gua bakal ajak
Emon juga. Oh iya, pekan pertama UTS lalu gua dan Emon sempet
berbincang, dan dia mau ikut berpartisipasi di organisasi sekolah,
sekarang kami cukup bersahabat.

Jumat, 12 April 2019

Diary hari ini, gua pake bahasa yang agak beda ya, karena
potongan diary ini adalah hal yang sangat gua hormati.
Terima kasih, diary-ku. Yang sudah menemani diri ini melewati
berbagai drama dan rintangan sebulan bulan belakangan ini. Saat ini
aku melihat ke belakang, semuanya terasa sangat singkat. Tapi bila
mengingat saat diriku di posisi sulit itu, waktu rasanya sangat lama
dan menyiksa. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan dalam
catatan hari ini.
Hari Selasa, 9 April 2019 seharusnya kami berkunjung ke
rumah sakit untuk memeriksa kondisi Denis, namun takdir berkata
lain. Saat jam sekolah, kami mendapatkan informasi dari rumah sakit
mengenai kabar duka. Denis sudah meninggal dunia, dan sepulang
sekolah kami sekelas berkunjung ke rumah duka. Aku tidak bisa
mengatakan banyak hal, Aku hanya menangis dalam hati, di sisi lain

73
aku berterima kasih kepada Denis.
Saat ini, aku dan beberapa teman membuat sebuah komunitas
di sekolah, komunitas untuk memberikan social & emotional support
bagi teman-teman, terutama yang menghadapi kasus bullying. Kami
akan stand up untuk mereka yang tidak mampu untuk melawan
sendirian. Kami tidak memberi hukuman pada pelaku, tapi kami
membantu memperkuat mereka yang menjadi korban. Kami
mengadakan sosialisasi, edukasi dan juga sesi sharing dengan harapan
untuk membuat teman-teman sadar akan bahaya dari bullying.
Pesanku yang terakhir adalah, “Terima kasih Denis, pertemuan
kita memang bukanlah kebetulan. Maaf, maaf, dan maafkan aku yang
tidak dapat berbuat lebih baik.”

SELESAI

Farhan K. Nugroho
Panggil saja Ahan, seorang mahasiswa psikologi yang masih
mencari cara untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Memiliki minat pada topik perkembangan dan kenakalan
remaja. Hobinya adalah menggambar sketsa, turing dan ngegame.
Antologi TeenLit ini adalah buku pertama dalam perjalanannya.
Cek profilnya di,

Instagram : @far.23

74
Dilan, Aga Kareba
A. Sukma Asar

Ruang perpustakaan hari sabtu selalu ramai. Banyak siswa-


siswi yang meminjam buku. Entah itu buku cerita fiksi atau buku
pelajaran. Qita masuk bersama Harini dan langsung menuju rak buku
sejarah. Qita terus mencari-cari buku, sedangkan Harini sudah pindah
ke rak buku yang lain pas dekat jendela.
Di luar, gengnya Fairus sedang serius main basket buat sebuah
even yang mewakili sekolahnya.
“Jago juga tuh si Fairus ya,” ujar Qita.
Harini agak kaget kalau Qita sudah di dekatnya.
“Sudah beberapa kali mereka mewakili sekolah kita dan selalu
dapat juara umum.” Harini duduk menonton di kursi sudut ruang
perpustakaan yang diikuti Qita.
Ketika jam istirahat berakhir, siswa-siswi kembali ke kelasnya
masing-masing. Qita bersenggolan dengan Fairus di pintu kelas.
Mereka saling pandang dengan wajah jutek. Kelas ini akan belajar
mata pelajaran sejarah dan membahas tentang binatang purba. Wah,
Qita sangat senang sekali, apalagi kali ini akan diadakan diskusi.
“Bu, kenapa binatanag purba yang akan kita diskusikan.
Mereka kan sudah tidak ada di dunia ini. Bukankah lebih baik kita
diskusikan binatang sekarang? Tentang bagaimana merawat dan
melestarikan mereka. Bukankah begitu, Bu?”
Riuh tiba-tiba di kelas disambut tepuk tangan.
“Ada yang mau menanggapi?” tanya Ibu guru Aisyah.

75
Harini menyenggol sedikit lengan Qita seraya memberi kode.
Qita lantas berdiri dan dengan lancing menyanggah pernyataan
Fairus. Perdebatan mereka berdua semakin seru hingga jam pelajaran
sejarah selesai. Siswa-siswi yang lain hanya mendukung dengan riuh
tepuk tangan.
“Hebat kamu, Ta,” kata Harini waktu ke kantin belakang.
“Kebetulan aja aku tahu, Ni,” jawab Qita sambil mengunyah
bakso.
“Oh iya Ta, bagaimana dengan lomba madingnya? Sudah jadi
blom?”
“Udah sih, tapi masih mau aku cek dululah, deadlinennya
masih empat hari lagi, kan?”
Harini mengangguk dan menayangkan jempol kanannya.
“Yang suka teriak-teriak bilang Citra, siapa sih?” tanya Qita
tiba-tiba.
Harini mengernyitkan keningnya.
“Oh, itu namanya Dilan. Anak kelas sebelah, kakak kelas kita.
Dia jago baca puisi dan bikin cerpen lho, tuh cerpen dan puisinya
suka nampang di mading kita. Tapi namanya ia samarkan,” kata
Harini menjelaskan.
“Oh ya?”
“Terus, kenapa bukan dia saja yang ikuti lomba mading ini
yah?” Qita menghabiskan soft drinknya dan mengajak Harini ke kelas.
Harini mengangkat kedua bahunya dan melirik Qita tersenyum.
Ketika kelas Qita sedang belajar, merka dikagetkan suara Dilan yang
memecah kesunyian. Dilan berteriak menyebut Citra. Qita tahu, kalau

76
panggilan itu ditujukan untuknya.
Pagi itu, Qita baru saja memasuki gerbang sekolah ketika Dilan
juga datang dengan langganan bentornya. Dengan percaya dirinya
Dilan turun dari bentor dan mendekati Qita. Dengan sedikit berbisik,
ia memanggil Citra. Qita menutup telinganya segera.
Tetapi Qita masih diam. Ketika dengan santainya Dilan
memanggil nama Citra di depan kelas untuk yang kesekian kalinya,
sontak Qita dan Fairus keluar kelas. Mereka menemui Dilan yang
hampir masuk ke kelasnya.
“Hay, sini ko. Kenapa kau panggil Qita dengan Citra?
Memangnya dia saudaramu?
Dilan urung masuk kelas dan menghampiri Qita dan Fairus.
“Kenapakah? Itu urusan saya. Saya bebas memanggil siapa
pun di sini sesukaku.”
“Kecuali sekelasku bos, mengerti?” Fairus menantang dengan
geram.
“Sudahlah, kita masuk ke kelas saja. Dan kamu, ini yang
terakhir kali kau sebut Citra dan berhenti berteriak di depan kelas,
mengerti badak?” Qita berbalik menuju kelas.
“Lancang!”
“Cih!”
“Tunggu aku depan sekolah nanti!” kata Dilan dengan nada
marah.
“Gawat, gawat Ni!” Qita memegang tangan Harini.
“Anngapai.” Harini terkejut.
Lalu Qita menceritakan kejadian barusan. Di kelas, Fairus lantas

77
setengah berbisik kepada Qita saat lewat dekat tempat duduknya.
“Jangki geer, nah.” Fairus sedikit menyenggol meja Qita.
Qita dan Harini hanya mendengus.
“Jangan diladeni, Ta.” Keduanya tersenyum.
Pulang sekolah, dan mendekati pintu gerbang, Qita dan Harini
langsung mencari Dilan yang sedang duduk di balik pohon asam.
“Aku tidak mau melihat kalian berduel dekat sekolah. Sebelum
berduel dengan Fairus, lawan dulu aku,” kata Qita lancing.
Dilan hanya tersenyum nyengir. “Nda ji.”
“Awwass ya!” kata Qita meninggalkan Dilan sendiri.

***
Suatu sore, Dilan menyantap sepiring pisang epe di tepi pantai
Losari bersama gengnya. Tak disangka, rombongan Fairus tiba-tiba
datang dan mengajak berkelahi. Perkelahian yang seimbang menjadi
tontonan gratis di area pantai itu. Salah seorang dari gank Fairus
menelpon Qita. Tak lama kemudian Qita datang bersama ayahnya
yang seorang polisi. Mereka didamaikan setelah luka keduanya
diobati oleh Qita.
Pagi-pagi sekali, Qita Nampak berdiri dekat mading sekolah.
Ia mengeluarkan beberapa lembaran kertas kemudian menempelnya
di mading. Qita manggut-manggut tersenyum melihar cerpennya
nampang di situ. Kemudian ia menanggalkan cerpen dan puisinya
yang ia pasang beberapa hari lalu.
Sementara itu, di sampingnya sudah berdiri Dilan yang
membaca cerpen baru Qita. Dari jauh di samping ruang guru, Fairus
mengawasi keduanya.

78
“Aku tidak suka kalian berkelahi kemarin.” Mata Qita menatap
tajam Dilan.
“Malah kami akan melanjutkan hari ini,” kata Dilan santai.
Refleks Qita meninju bahu kanan Dilan hingga nyaris
tersungkur.
“Ayo lawan,” kata Qita berkacak pinggang.
Dilan bangkit dan serta merta Qita memegang tangannya dan
ia bawa ke belakang.
“Inimi kah yang dibilang kassa?”
Fairus mendekati mereka dan menatap tajam ke Dilan.
Kemudian mengajak Qita masuk kelas. Sekali lagi Fairus menatap
tajam kepada Dilan.
Tetapi Qita akhirnya tidak masuk kelas, ia memilih duduk di
bawah pohon mahoni depan kelasnya. Nun di seberang kelas, ada
mata teduh yang selalu siap menaungi. Mata seorang anak kelas
Fisika yang cool.
Beberapa kali Qita dan Azis berjalan bersama di koridor gedung
sekolah, tapi Azis hanya bisa tersenyum tanpa menyapa.
“Kamu suka sama Azis ya, Ta? Aku melihat matamu yang
berbicara,” kata Harini pelan.
Qita tersenyum dan mengangkat bahu.
Usai sekolah, Qita menunggu langganan becaknya. Kali ini ia
ditemani Harini menunggu. Karena Harini juga sedang menunggu
dijemput kakaknya. Tiba-tiba Azis menawari Qita boncengan motor.
Harini mengangguk lantas melihat Qita.
“Maaf, saya tetap menunggu Daeng becak, ya,” kata Qita

79
tersenyum.
Harini kini benar-benar memahami mata keduanya. Harini
tersenyum penuh arti.
“Kamu rada nyesel dong, nolak ajakan si anak jenius,” kata
Harini menggoda.
“Yah, suatu saat nanti deh, aku bakalan dibonceng dia.” Kami
tertawa.
“Oh iya Ni, ntar sore kita makan coto dong, sudah lama tidak
makan coto, nih,” kata Qita setengah merengek.
“Jam berapa?”
“Kita salat Asar di masjid terapung.”
“Jadi kita ketemu di sana dong, ya.”
“Sip, Inshaa Allah.” Qita naik di becak langganannya.
Entah dari mana dapat berita, Qita dan Harini kaget ketika
mereka bertemu Dilan di halaman masjid. Dilan berjalan mendekati
Qita yang sedang berdiri di sebelah kiri menghadap laut. Angin
menerbangkan rambut Dilan yang agak panjang, juga menerbangkan
hijab Qita yang berusaha untuk menghalaunya.
Mereka diam beberapa saat sambil pandangan mereka
lemparkan jauh ke laut.
“Aku ada rencana yang harus melibatkanmu, Ta,” kata Dilan
tenang.
Qita diam sejenak.
“Kerjakan saja!” balas Qita agak ketus.
“Hey, orang cantik tidak boleh bicara ketus begitu tahu.”
Qita menarik napas panjang, kemudian dibuangnya pelan.

80
“Kamu denger gak sih apa yang kubilang?”
“Denger.”
“Tanggapanmu apa?”
“Bagaimana aku mau menanggapi kalau masalahnya saja aku
tidak tahu.” Mata Qita masih menatap lurus ke laut.
“Oh iya yah,” kata Dilan.
Ada yang menggelepar di dada Qita saat ini. Ada yang terasa
hangat setiap kali mengingat Azis, seperti saat ini. Cowok kelas fisika
yang cool. Setiap kali bertemu dengan tidak sengaja, cowok itu hanya
selalu senyum tanpa suara.

***
Even tahunan sekolah akan segera dilaksanakan. Acara pentas
seni kali ini melibatkan banyak acara. Tari dan baca puisi yang Qita
ikuti membuatnya ia harus membuat puisi untuk pementasan nanti.
Juga latihan tari, ia akan latihan tiga kali seminggu.
Hari kedua pentas seni, tibalah giliran Qita dan teman-temannya
yang tampil membawakan tarian daerah yakni tari padduppa. Tarian
ini dibawakan biasanya untuk menyambut tamu yang berkunjung ke
Makassar.
Qita dan teman-temannya menunggu giliran naik pentas.
Fairus dan genknya sudah siap di depan panggung memberi semangat
kelasnya. Dilan juga, bersama sekelasnya sudah siap depan panggung.
Qita melihat Azis dari jauh. Harini menarik napas. Ia sangat
mengerti perasaan sahabatnya ini. Harini berjalan dan memanggil
Azis mendekat ke Qita.
“Kapan tampilnya?”

81
“Sebentar lagi setelah ini,” kata Qita sambil menunjuk kea rah
panggung.
“Bagaimana dengan kostumku?”
“Bagus. Tapi…,” suara Azis terputus.
“Kok ada tapinya?”
“Tanpa make up pun kamu tetap cantik, bahkan lebih cantik.”
Mata Azis terus menatap Qita.
Qita agak keget mendengarnya. Sesaat kemudian ia berlari kecil
ke arah toilet yang tak jauh dari temptnya berdiri. Azis mengikutinya.
“Mau ke mana?”
Qita terus berjalan. Azis menghentikan langkahnya ketika
Harini datang
“Qita kenapa Zis?” Tanya Harini.
Azis hanya mengangkat bahu dan berjalan ke arah depan
panggung menunggu giliran Qita tampil. Terdengar dari pengumuman
panitia, kalau giliran kelas IPA 1 yang tampil. Sorak sorai dan tepuk
tangan seketika riuh memenuhi halaman sekolah yang luas itu.

Alangkah kagetnya semua yang hadir, melihat Qita tampil


tanpa make up seperti teman-temannya. Sedangkan Qita sendiri
berusaha menari dengan percaya diri tanpa merasa terganggu dengan
keadaan yang mengagetkan semua yang hadir. Namun yang paling
kaget dan merasa bersalah adalah Azis.
Genknya Dilan berteriak histeris mengejek. Fairus dan
sekelasnya tidak menerima lantaran komentar mereka yang tidak
sedap terdengar. Darah panas mereka bertemu. Fairus mendekati

82
Dilan yang merasa biasa saja. Kemudian ia memasang wajah sinis
begitu Fairus mendekat.
“Memangnya kelas kamu tidak punya dana? Tuh satu orang
anggotamu tidak pakai make up, kasihan!”
“Itu bukan urusanmu!”
“Jelas, itu urusanmu. Urus sana! Beli make up yang banyak.”
Dilan dan teman-temannya tertawa.
Dengan dongkol dan tangan mengepal, akhirnya Dilan mundur
dan mengambil posisi di bawah pohon akasia dekat pos sekolah.
Ketika acara usai, Dilan mendatangi Qita.
“Hebat! Kamu benar-benar cantik tanpa make up. Jangan geer
kamu!” lanjut Dilan.
Qita diam, matanya terus mencari sosok Azis.
“Dia sudah pulang, Ta,” kata Harini dengan bola mata
menggoda.
“Kita tidak bakal menang di tari-tarian,” teriak Fairus tiba-tiba
di kelas.
Ia mendekati Qita, menatap Qita lebih dekat sampai deru napas
Fairus jelas terasa oleh Qita.
Qita diam.
“Siapa yang menyuruhmu menghapus make up?” Suara Fairus
parau menggelegar. Seluruh isi kelas diam bagai patung. Fairus
menepuk meja di depan Qita dengan keras. Teman-teman yang lain
bergidik ketakutan.
“Atau, si Dilan itu yang menyuruh kamu menghapus make up?
Kurang ajar!” Fairus meninju pintu.

83
“Tidak perlu kau ributkan itu. Persoalan menang atau kalah
bukan karena aku tidak pake make up, tahu?”
Kelas kembali hening.
“Itu kemauanku sendiri, mengerti?” kata Qita dan langsung
menuju keluar kelas.

***
Qita duduk di bawah pohon akasia samping kelas sambil
memegang buku. Sesekali dibukanya buku itu sambil menunggu
Harini.
“Dari tadi duduk di sini?”
Qita mengangguk. “Hari ini terakhir penyetoran mading tingkat
propinsi.”
“Oh ya? Terus bagaimana, kamu bawa, kan Ta?”
Qita menggeleng. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke
wajah Harini. Ia berbisik kalau saat ini ia akan pulang segera.
“Saya akan minta izin pulang lebih cepat. Tolong bantu
aku, Ni,” kata Qita seraya meninggalkan dirinya. Dari jauh Dilan
mengamati mereka.
Dilan menemui Harini dan mengikuti Qita keluar sekolah. Dilan
menawarkan bantuan untuk mengantarnya mengambil madingnya di
rumah. Qita setuju walaupun dengan berat hati.
Dua jam kemudian, Dilan dan Qita sudah ada di Kantor
Penerangan Kota. Mereka diterima salah seorang panitia. Akhirnya
keduanya tersenyum puas karena mading dari sekolah mereka
akhirnya diterima.
Dilan menggenggam tangan Qita dengan senang. Ia gembira

84
bisa membantu Qita. Sebagai tanda kegembiraan ia mengajak Qita
makan mie titi.
“Mie Titi di sana memang enak, ya?”
Keduanya menyusuri jalan menuju sebuah kedai yang terkenal
dengan hidangan mie titi.
“Aku tidak akan memanggilmu Citra lagi,”
“Terima kasih, janji ya.”
Keduanya tertawa.

SELESAI

Sukma Asar
Tanggal lahir 1 Nopember 1971 di Watampone, Sulawesi
Selatan. Saat ini menjadi ibu rumah tangga. Nama pena dipakai dari
nama keempat cucunya, “Arumi Lilyanum”. Jejaknya bisa ditemukan
di akun FB Sukma Chairun. IG: @madebyyasy.
Menulis adalah hobby walaupun masih ingin terus belajar
sampai ia merasa tulisannya pantas untuk dibaca.

85
Anoynimous
Sheila Annisa

Prang!
Piring yang ada di tanganku tergelincir saat aku sedang
mencucinya. Aku mengenali suara langkah kaki yang berjalan
tergesa-gesa ke arah dapur. Kubungkukkan badan untuk memunggut
serpihan porselen yang berserakan di lantai
“Kamu lagi? Masa cuci piring aja engga bisa?!” bentak suara
pemilik sepasang kaki yang tengah berdiri di depanku saat ini. “Engga
pernah diajarin apa ya sama ibunya? Heran?”
Kupejam mataku sebentar untuk menahan diri agar tidak
marah pada kakak tiriku yang satu ini. Segera kusisihkan pecahan
piring dan membersihkan lantai agar tidak ada yang terinjak oleh
anggota keluarga lainnya. Tanpa menghiraukan tatapan tajamnya,
aku melanjutkan mencuci piring serta peralatan makan lainnya dan
langsung pergi ke kamarku mengunci diri seperti biasa.
Sudah setahun semenjak mamaku memutuskan untuk
menikah lagi. Aku tidak masalah dengan suami barunya, atau biasa
aku panggil Bapak. Bapak sangatlah baik dan memperlakukanku
seperti anak kandungnya sendiri. Tidak dengan anaknya, atau kakak
tiriku yang barusan membentakku. Aku tidak tahu apa salahku, tapi
dia sudah membenciku semenjak pertama kali kita bertemu. Anehnya,
dia hanya berlaku kasar jika Mama dan Bapak tidak ada di rumah.
Aku juga tidak mau melaporkan kakakku pada mereka. Bukan karena
aku takut, tapi aku lebih memilih menghargai Bapak sebagai orang

86
tua kandungnya, dan juga Mama.
Begitu sampai di kamar aku langsung menjatuhkan diriku ke
atas kasur. Aku ingin berteriak, tapi itu tidak mungkin. Satu-satunya
yang bisa mengalihkan perhatianku adalah teman onlineku. Aku
mempunyai kehidupan di dunia maya yang tidak diketahui keluargaku.
Tempat di mana aku bisa mencurahkan isi hatiku dan bercanda tanpa
mengetahui identitas masing-masing. Banyak hal yang aku dapat dari
dunia virtual ini, seperti pertemanan dan juga informasi-informasi
lainnya. Salah satu teman dekatku adalah nasisototanpakuah atau
biasa dipanggil J yang dengan cepat mengirimiku pesan setelahku
selesai membuat beberapa cuitan
@nasisototanpakuah: “Berantem lagi?”
Me: “Iya, biasa. Aku salah sih memang tapi kata-katanya tetep
nyakitin. Seakan merendahkanku dan juga mamaku.”
@nasisototanpakuah: “Kenapa engga lapor aja?”
Me: “Buat apa? Aku engga punya bukti. Lagian kalo aku
laporin dia ke Bapak yang ada aku bakal nyakitin Bapak.”
@nasisototanpakuah: “Aku ada saran deh. Tapi engga tau sih
berguna atau engga.”
Tok Tok Tok! Terdengar suara ketukan di pintu kamarku.
Segera aku menyeka air mataku sebelum suara seseorang di balik
pintu terdengar, “Rachel? Sudah tidur belum? Mama boleh masuk?”
Kapan mama pulang? Apa Mama pulang sewaktu aku sedang
menangis tadi? “Mama boleh masuk, kan?”
Mama masuk setelah aku mengiyakan pertanyaannya.
Sekarang Mama sudah duduk di salah satu sisi tempat tidurku. Aku
hanya bisa berharap Mama tidak melihat mataku yang sembap karena

87
habis menangis.
“Kok kamu di kamar aja seharian? Kakakmu bilang kamu
engga keluar seharian.” Mama menatapku, cemas. “Mama kan udah
bilang kalau bisa keluar dari kamar, kalau ada pekerjaan rumah yang
bisa dibantu ya dibantu. Jangan di kamar terus. Kamu sakit?” Aku
menggelengkan kepalaku. Sudah kuduga dia bakal bilang kayak gini
ke Mama. Padahal yang cuci piring dan baju daritadi juga aku.
“Iya, Ma,” jawabku singkat. Mama masih memandangku penuh
tanya. Aku yakin Mama menyimpan beberapa pertanyaan. “Masih
ada yang mau diomongin lagi engga, Ma? Aku ngantuk. Mau tidur.”
Mama menggeleng dan segera beranjak dari kamarku. Sebelum
beliau meninggalkan kamarku, ia berpesan untuk segera menentukan
langkah yang ingin aku ambil setelah lulus SMA. Pusing juga setiap
mama menanyakan hal ini. Kuraih smartphoneku untuk membalas
pesan J yang tadi hanya kubaca saja.
“3 pesan belum terbaca? Dia ngapain sih,” gumamku, saat
jemariku dengan lincahnya membuka ruang obrolannya.
@nasisototanpakuah: “Kenapa kamu engga cari tau aja
kenapa perlakuan dia begitu?”
@nasisototanpakuah: “Atau nih ya, aku pernah baca juga
kalau ada anggota keluarga yang toxic, kamu bisa coba buat tegas
sama dia.”
@nasisototanpakuah: “Sebelumnya kamu pernah engga tegas
ke kakakmu?”
Me: “Engga pernah. Udah Males duluan.”
@nasisototanpakuah: “Aku juga cuma kasih saran kok.”

88
Sebenarnya aku pernah aja kepikiran buat tegas ke kakakku,
hanya saja waktunya tidak pernah pas. Apalagi setiap kita bertemu,
dia langsung melontarkan banyak kata-kata yang membuatku tidak
nyaman. Aku memang terlalu sensitif.
Dua bulan kemudian, tepat di hari Sabtu, saat itu sekolah libur
dan J mengajakku untuk bertemu. Ini cukup membuatku tegang
karena ini pertama kalinya kita bertemu setelah berteman cukup
lama, kami memutuskan untuk bertemu karena sudah merasa dekat
satu sama lain. Aku merupakan salah satu anak yang jarang sekali
bermain dengan teman di luar sekolah. Bukan karena aku tidak punya
teman, hanya saja aku terlalu malas untuk pergi dari rumah. Namun,
semenjak Mama menikah dan aku merasa sedikit kesepian. Itulah
mengapa aku memutuskan untuk bermain di dunia maya dan berteman
dengan banyak orang tanpa harus bertemu. Di sanalah aku bertemu
J sebagai R, kami memang menggunakan nama samaran selama ini,
dan untuk pertama kalinya, kami akan bertemu dan mengungkap
identitas masing-masing hari ini.
“Rachel! Turun sini kita sarapan, Nak!” teriakan Mama
terdengar sampai kamarku yang berasa di lantai dua. Dengan tergesa-
gesa aku segera turun dan kami pun mulai menikmati sarapan kami
saat aku bergabung. Hanya ada aku, Mama dan Bapak di meja makan.
Tidak ada tanda-tanda dari kakak tirik. Ke mana dia?
“Nyari kakak? Dia pergi dari semalam. Menginap di tempat
teman. Belum pulang,” ujar Bapak seakan menjawab pertanyaan
yang terbesit di benakku. Pantas saja sepi. “Nanti juga pulang.
Kangen, ya?” Aku hanya bisa melontarkan senyum untuk membalas
pertanyaan Bapak. Siapa juga yang kangen dia? Engga ada.

89
Seusai sarapan, aku segera membereskan piring-piring kotor
dan juga bekas panci bersama Mama. Kemudian aku teringat akan
janjiku dengan J siang ini. “Ma, aku mau pergi nanti siang, ya?”
Mama menatapku penuh heran. “Tumben. Sama siapa?”
tanya Mama kembali membersihkan piring-piring kotor yang ada di
tangannya.
“Teman, Ma,” jawabku sambil tetap tersenyum.
“Teman?” Mama melepas celemek dan juga sarung tangan
khususnya, menggantungkan keduanya ditempat yang semestinya
kemudian duduk kembali di salah satu kursi yang ada di ruang makan.
“Teman SMA? SMP? Atau SD? Mama kenal?” Aku menggeleng.
“Dia temanku di Social Media. Ini pertama kalinya aku
bertemu dengannya. Mama tau kan aku tidak pintar berteman dan dia
bisa dibilang cukup dekat denganku. Boleh, kan Ma?” ucapku sedikit
merayu Mama yang tampak ragu untuk memberikanku izin. “Ma
ayolaaaah. Mama udah berapa kali menyuruhku keluar dari rumah
dan bermain, aku sudah besar juga, aku bisa jaga diri. Aku janji!”
Dengan berat hati, Mama memberiku izin dan aku segera
memeluknya karena aku tidak pintar menyembunyikan perasaan
senang karena akan bertemu teman yang selama ini menjadi tempatku
berkeluh kesah dan juga bercanda. Aku beranjak ke kamarku untuk
bersiap-siap dan member kabar kepada J. J bilang akan menungguku
di Kafe Kucing di pusat kota. Kebetulan kita berdua memang penyuka
kucing.
Jam menunjukan pukul 13:20 saat aku tiba di Kafe Kucing.
Terlambat 20 menit. J bilang ia akan menungguku di dalam. Ia juga
mengenakan jaket denim dan juga tas ransel biru. Kubuka pintu

90
kafe dan menemukan sosoknya sedang duduk membelakangiku.
Aku berjalan mendekatinya. Saat aku hendak menyapanya, ia sudah
terlebih dahulu berbalik badan ke arahku.
“NGAPAIN DISINI?!” Sosok itu membentakku.
Aku yang masih bingung dan juga kaget berusaha menjawab,
“Kakak yang ngapain di sini? Kata Bapak kakak nginep di rumah
temen.” Sosok itu ternyata adalah kakak tiriku. Ia menatapku tajam
dan kemudian mebelalakkan kedua matanya. Seolah mengerti
maksudnya, aku menggeleng dengan kencang. “Engga, engga
mungkin. Kakak bukan J, kan?”
“Kamu, R?” Seketika lututku lemas. Rasanya ingin menghilang
dari permukaan bumi kalau memang bisa. Baru saja aku berbalik dan
hendak untuk pergi, kakakku menahanku. “Tunggu! Aku perlu bicara
denganmu.”
“Engga mau. Aku engga mau!” tolakku dengan sekuat
tenaga melepas cengkramannya dari pergelangan tanganku namun
gagal. Akhirnya aku mengalah dan duduk di seberang kakakku. Ia
memandangku dengan tatapan ngeri, kami berdua jelas memiliki
banyak pertanyaan. Terbesit di benakku seluruh cerita yang pernah
aku ceritakan pada J. Hampir keseluruhannya tentang kakakku yang
ternyata itu dia sendiri.
“Kok bisa sih? Dari sekian banyaknya orang di dunia ini,
kenapa yang aku temui dan jadi teman dekatku itu kamu?” tanyanya
sambil tersenyum sinis. Aku menarik napas dalam dalam sebelum
menjawab pertanyaannya.
“Kenapa memangnya kalau itu aku?” Kakak tiriku sedikit
terkejut mendengar jawabanku. Dia tersenyum padaku dan itu

91
membuatku sedikit merinding. “Kenapa sih? Kakak selalu saja
menyudutkanku, menyalahkanku. Kakak juga engga pernah sekalipun
berusaha buat dekat sama aku.”
“Memang tidak,” jawabnya singkat sambil menyeruput kopi
yang sudah dia pesan sebelum aku datang. “Untuk apa? Memangnya
ada keuntungan apa kalau aku dekat denganmu?”
“Kita kan sauda….”
“Saudara tiri. Itu saja. Tidak lebih, kan? Di dalam tubuh kita
tidak mengalir darah yang sama. Kita hanya saudara secara hukum,
karena orang tua kita menikah,” selanya tidak membiarkanku
melanjutkan kalimatku. “Aku tidak percaya, jadi selama ini cerita
yang aku dengar itu tentang aku?”
“Iya. Karena aku sudah merasa nyaman dengan J yang ternyata
adalah Jessica, kakak tiriku sendiri. Rasa nyaman sebagai teman
dekat itulah yang membuatku bisa bercerita padanya,” jelasku. “Apa
sih yang membuat kakak sebenci itu padaku? Apa aku ada salah sama
Kakak?”
“Kehadiranmu yang salah,” jawabnya singkat. Ia mengeluarkan
sebuah dompet yang di dalamnya ada sebuah foto. Sebuah keluarga
yang sangat bahagia, begitulah kesan pertamaku melihat foto itu.
“Ini foto keluargaku, aku, Bapak dan Ibuku. Ibu kandungku.” Kak
Jes berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum melanjutkan
pembicaraannya. “Aku anak tunggal. Ibuku pergi meninggalkanku
dan juga bapak, itu terjadi saat aku masih berumur 2 tahun sehingga
aku sudah lupa rasa sakit yang kami rasakan saat itu. Semua berjalan
baik-baik saja. Sebagai satu-satunya anak dan juga anggota keluarga
yang tersisa, Bapak sangat memanjakanku. Ia memberiku banyak

92
perhatian hingga suatu hari beliau memberitahuku bahwa aku akan
mempunyai seorang ibu baru dan juga seorang adik tiri.” Kak Jes
memasukan foto itu kembali ke dalam dompetnya. “Aku memang
mengizinkan Bapak, namun dalam lubuk hatiku masih tidak bisa
menerima bahwa aku harus berbagi perhatian Bapak padamu dan
juga mamamu.”
Aku terdiam. Tidak berani menjawab. “Mungkin kamu tidak
tahu rasanya karena kamu anak terakhir sekarang. Bapak memberikan
banyak perhatian padamu. Mama juga tetap memberikan perhatiannya
padamu. Aku?”
Kami berdua terdiam. Aku tidak menyangka karena ternyata ia
selama ini menyembunyikan perasaan ini dariku dan Mama. Selama
ini Bapak sangatlah baik padaku sehingga aku tidak memperhatikan
perlakuan Bapak pada Kak Jes.
“Kata siapa?” selaku. “Kakak selama ini mendengar banyak
ceritaku tapi Kakak lupa kalau aku pernah mengeluh karena Mama
selalu menanyakan hubunganku dengan Kakak? Mama selalu ingin
dekat dengan Kakak, ia juga memintaku untuk dekat denganmu.
Kakak lupa?” Ia mengangguk kemudian tersenyum. Aku dapat
melihat ketulusan di senyumnya kali ini.
“Sepertinya kita memang harus mengenal satu sama lain
sebelum memutuskan perlakuan yang seharusnya. Maaf, karena
aku membuatmu tertekan dengan perlakuanku. Aku hanya bisa
melampiaskan semuanya kepadamu. Maafkan aku,” ujar Kak Jes
“Aku juga minta maaf kalau memang membuatmu tidak
nyaman. Kurasa memang cara terbaik untuk menyelesaikan masalah
adalah berbicara dengan kepala dingin,” jawabku. Kami berdua

93
tertawa dan segera pulang kerumah.
Seminggu setelah kejadian tersebut, Kak Jes menjadi lebih
ramah dan terbuka padaku. Kami juga sering berbagi cerita seperti
yang kami lakukan saat masih menjadi teman ANONYMOUS hanya
saja kali ini berbeda. Aku, dan kak Jes, adalah saudara yang cukup
dekat sekarang. Kami juga berjanji untuk menyelesaikan masalah
apa pun dengan kepala dingin dan tidak gegabah dalam mengambil
keputusan.

SELESAI

Sheila Annisa
Akrab dipanggil dengan sapaan ‘Sheila’, lahir di Sleman
pada hari Jum’at tanggal 26 Desember tahun 1997. Saat ini
tinggal di Surakarta dengan kedua orang tua dan juga 3 orang
saudara/i. Mempunyai banyak cita-cita yang selalu berganti seiring
bertambahnya usia, salah satu yang paing teringat adalah untuk
menjadi Astronot walaupun akhirnya berkuliah di jurusan social.
Motto hidupnya adalah Live must go on.
Instagram: Sheilaannsa
Email: Sheilaannisa2612@gmail.com

94
Aku Bukan Adikmu
Nuraini Maftukhah

Suara sorakan gembira memenuhi stadion mini sekolah.


Hampir semua murid perempuan bersorak riang ketika bola berhasil
masuk ring lawan. Diiringi pula desahan sesal yang berkecamuk acap
kali bola meleset tak mampu membobol kandang.
“Dimas, Dimas!” Suara para penggemar ketua Tim basket
terdengar riuh. Rona wajah para fans terlihat begitu gembira saat Tim
sekolah berhasil menjuarai pertandingan.
Dina terlihat paling histeris. Muka nampak berseri-seri. Mata
tajam menatap sang idola sampai lupa tak berkedip. Tangannya
mengepal dan diangkat-angkat ke atas.
“Dimas I love you!” teriaknya.
Ih sungguh mengerikan, batinku.
Aku menepuk pundaknya. Dina menjawab dengan kedipan
mata. Isyarat itu sudah sangat ia mengerti. “Yuk Riya!” ajak Dina
yang sudah hafal keinginanku.
Kami melangkah menuju tempat penghilang lapar dan dahaga.
Yups, kantin! Sepanjang jalan menuju kantin, cerita Dina tak henti-
henti memenuhi kendang telinga. Permainan dan keberhasilan Tim
idola yang sangat dia bangga-banggakan. Padahal aku sudah tahu
persis suasana pertandingan tadi, jelaslah! Aku setia menemani dan
ikut terbawa euforia di sana. Tapi demi menyenangkan hati sahabat,
sorot mata kubuat terpana dengan semua cerita.
“Alhamdulillah, makanan datang juga.” Setelah menahan suara

95
cacing yang meronta-ronta di perut. Dina langsung meneguk es jeruk
yang di pesannya dan habis dalam sekali tegukan.
“Hadew, kamu haus apa doyan, Din?” tanyaku heran melihat
tingkahnya.
“Gue haus banget, Riya! Sedari tadi teriak-teriak demi idola
gue,” jawab Dina sambil mulai menyahut pisang goreng.
“Makanya nggak usah terlalu bersemangat gitu deh! Dimas
juga nggak bakal ngelirik elo saat bertanding,” tegasku. Dia tak
memedulikan omonganku, nampaknya lewat saja di kuping. Dia tetap
asyik melahap makanan yang erat dia terkam. Entah karena terlalu
lapar atau memang sudah terlalu cinta dengan idolanya.
Pagi ini begitu cerah, hari yang membuat hati berseri. Ada satu
mata pelajaran yang amat kusuka di hari Jumat. Pelajaran itu adalah
olahraga. Jujur saja bukan karena olahraganya tapi karena gurunya.
Pak Irfan namanya. Guru muda paling keren seantero sekolah.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi berisi. Berkulit putih dan bermata
sipit seperti Tionghoa namun beliau asli Jawa. Gayanya yang supel
dan ramah semakin membuat terpesona. Tak sekalipun aku berniat
untuk absen di pelajaran olahraga. Janjiku!
“Riya! Tolong ambilkan bola basket di ruang penyimpanan alat
olah raga, ya?” pinta Pak Irfan padaku.
Ach ... mendengar ia memanggil saja, jantung terasa berdebar-
debar. Tak mungkin kutolak pintanya. Jangankan mengambil bola
basket. Mengambil karang di dasar lautan pun kan kuterjang,
batinku. “Siap Pak,” jawabku.
Semua sudah bersiap di lapangan. Aku datang dengan
membawa bola basket yang Pak Irfan pesan. Mata tertuju heran pada

96
Dina. Terlihat aneh! Biasanya dia paling enggan mengikuti pelajaran
olahraga karena takut kulit putihnya akan menghitam. Kini terlihat
sangat bersemangat berbaris di barisan paling depan dengan gaya
yang di manis-maniskan.
Pandangan menyapu seluruh area lapangan. Akhirnya
kutemukan penyebab Dina begitu riang. Oh Dimas! Pantas saja
panas terik dia hadang, batinku gerang.
“Hari ini kelas IPA dan Bahasa, Bapak gabung karena Pak
Ali izin. Kita akan berlatih menguasai bola basket. Beruntung hari
ini ada Dimas. Dia nanti bisa membantu Bapak mengajari kalian.”
Penjelasan Pak Irfan disambut teriakan kata siap para pendengar.
Kami dibuat barisan melingkar menjadi 4 kelompok. Dan
tanpa kusadari ada idola Dina berbaris melingkar di hadapan. Dina
menempelkan bahunya dengan keras ke bahuku. “Awas ya, lo! Jangan
tebar pesona sama si doi,” ancamnya sambil menunjuk Dimas dengan
dagunya.
Aku tertawa mendengar ancaman lucu itu.
“Nggak mungkin, mending tebar pesona sama Pak guru keren,”
jawabku asal.
Acara berlatih lempar tangkap bola dimulai. Sorot mata masih
tertuju ke Pak Irfan. Guru yang amat kukagumi. “Berharap jodohku
nanti baik dan ganteng kayak Pak Irfan,” gumamku dalam hati.
Baru selesai berkhayal, samar-samar kudengar suara
memanggil. Kulayangkan pandangan ke arah radar. Sungguh kaget!
Tanpa aba-aba bola sudah mendarat saja di kepala tanpa sempat
menerkamnya.
Tetiba langit terlihat menghitam, sama menghitamnya dengan

97
tubuh teman-teman yang melingkar. Badan mulai lemah. Bahkan
terasa tak mampu lagi menguasai tubuh yang sedari tadi berdiri tegak
tanpa keluhan. Aku limbung!
Sedikit demi sedikit mulai kudengar suara tak asing menyebut
namaku. Rasa panas bermukim di bawah indera peciuman. Mata
yang terbuka, samar-samar melihat wajah Dina yang resah. “Riya,
sadar dong!” suara Dina membuatku terbelalak menyelidik tempat
terbaringnya tubuh yang masih lemah. Ingatan mulai kembali. “UKS,”
batinku. Raut muka Dina terlihat lega melihat sahabatnya tersadar.
Ada raga yang lain coba mendekat dan menanyakan kondisiku.
Suaranya lembut tapi jelas. Suara ini rasanya juga tak asing tapi tak
begitu mengenalnya. “Pasti bukan suara Pak Irfan,” pikirku.
“Lo nggak apa-apa, kan Riya?” tanyanya. Aku menoleh ke
arah suara. Ternyata suara murid laki-laki idola Dina. Wajahnya
terlihat pucat, badannya sedikit gemetar. Sudut mata memancarkan
kekhawatiran.
“Gue nggak apa-apa, kok,” jawabku ringkas.
“Maafin gue ya, tadi gue kira elo sudah siap menangkap bola.
Jadi gue melempar tanpa aba-aba. Eh ternyata elo lagi ngelamun!”
suara Dimas merasa bersalah dan menjelaskan semuanya.
“Iya, lo nggak salah kok! Gue yang kurang mawas,” jawabku
sambil mulai duduk mengkondisikan raga agar mampu diajak
kompromi dan bisa segera pergi dari tempat penuh bau minyak angin
ini.
Dina membantuku duduk. Dia adalah sahabat yang selalu ada
di kala suka dan duka. Aku sangat menyayanginya. “Makasih ya, Din,
elo sudah nemenin dan jaga gue.”

98
“Iya Riya, sama-sama. Kita kan sahabat jadi pasti gue akan
selalu ada buat elo,” jawaban Dina yang membuat hati semakin yakin
bahwa dia adalah orang yang paling kupercayai selain mama dan
papa.
Hangatnya pagi menyambut senyum manisku. Masa putih
abu-abu akan selalu melekat indah di kalbu. Melangkah masuki kelas
yang mejadi salah satu cerita indah masa remaja. Dan mata dibuat
terkesima dengan sebuah benda berbentuk kotak dengan hiasan pita
merah berada di atas meja.
“Milik siapa ini?” tanyaku pada Dina yang sudah sedari tadi
menempati bangku.
“Ada tulisanya baca aja,” jawab Dina sambil menunjuk kertas
kecil yang menempel di atas kado cantik. “Untukku? Dari siapa ini?”
tanyaku penasaran. Dina hanya mengangkat kedua pundak diikuti
menaikkan kedua alisnya yang tebal.
“Cie ... ada penggemar rahasia nih!” goda Dina.
Kuambil benda itu dan segera membuka. Nampak sebuah
boneka tedybear berwarna ungu dengan acesoris cokelat besar di
genggaman tangan.
“Wow cokelat kesukaan lo, Riya!” celoteh Dina.
Aku mengernyitkan dahi. Masih penasaran siapa yang memberi
kado istimewa di hari yang tak semestinya.
“Riya, gue minta maaf atas kejadian kemarin. Gue benar-
benar tidak sengaja. Tolong terima hadiah kecil ini sebagai tanda
permintaan maaf. (Dariku, Dimas).” Kertas kecil itu membongkar
siapa pemberinya.
“Hah dari Dimas?” suara kaget Dina yang ikut nimbrung

99
membaca isi surat.
“Em ini pasti cuma karena dia merasa tidak enak dengan
kejadian kemarin. Tenang Dina, tak ada maksud apa-apa!” jawabku
dengan nada datar berharap Dina tak curiga dengan kiriman kado dari
Dimas.
Walaupun sebenarnya terasa ada sesuatu yang janggal, tapi
coba kutepis pikiran itu. Siang berlalu berganti senja yang syahdu.
Ponselku berdering merdu meminta untuk segera kusentuh. Ada
pesan whatsapp masuk. Nomor asing!
“Riya bolehkah aku jadi teman, lo? Gue pengen kenal elo
lebih dalam.” Pesan itu tertera nama Dimas. Mata melotot melihat
kalimat di layar kecil dan mengulang lagi membacanya. Tak ada yang
berubah, masih sama!
Jantung jadi berdetak tak seperti biasa. Tangan sedikit gemetar.
Pikiran kalut tak karuan. Masih bingung jawaban apa yang akan
kuberikan.
Kutarik napas sejenak untuk menghilangkan kegundahan hati
dan angan. Jari jemari bergerilya dari huruf ke huruf memastikan
maksud pesan yang dituju.
Kuiyakan pintanya, tanpa curiga. “Lebih baik banyak teman
dari pada banyak musuh,” pikirku
Semenjak kuterima tawaran Dimas untuk menjalin pertemanan.
Hampir setiap pagi ada saja hadiah nongol di laci mejaku. Dari baju,
jaket, buku diary, bahkan sandal jepit. Selalu ada huruf “D” bersanding
dibenda-benda itu yang berarti “Dimas”. Entah pertemanan macam
apa yang dia mau. Bagiku Dimas hanya teman dadakan yang tak
begitu kukenal. Walau dia terkenal di sekolah. Bahkan sangat terkenal.

100
Dan sejak itu pula, ancaman dan sindiran mulai sering terucap
dari para fans yang tak terima idolanya memberi perhatian lebih
padaku. Tapi bersyukurnya itu tak terucap dari sahabatku. Dia tetap
memberi support dan canda ceria yang selalu membuat bahagia di
kala deburan sindir melayang untukku.
Sampai suatu ketika, aku dihadang cewek kalap yang sering
merasa paling berkuasa di sekolah. Riska namanya. Dia adalah gadis
jutek yang terkenal bengis ketika merasa terusik. Tak pernah terpikir
ada masalah dengannya sejak dulu, tapi dia sudah menghadang saja
bagai preman pasar minta jatah harian.
“Lo jangan macem-macem sama gue ya, Riya!” ancamnya.
“Maksud lo apa?” jawabku yang masih tak mengerti apa yang
di maksud.
“Lo jangan coba-coba menggoda Dimas! Dia milik gue!”
lanjutnya menegaskan.
Aku dan Dina tertawa. Kami tak pernah takut dengan makhluk
super menyebalkan ini. Jika kita benar, kita akan lawan! Itu prinsip
yang sudah kita teguhkan ketika Dina dan aku menjalin persahabatan.
“Heloooo, gue nggak pernah menggoda Dimas. Elo tanya aja
sendiri. Lagian Dimas sendiri yang minta untuk berteman. Kalau
memang Dimas milik lo? Sudah lo ambil aja. Ngapain repot-repot
main kasar sama gue,” jawabku meradang.
Tangan Riska mengepal dan mulai terangkat. Matanya
memerah. Deru napasnya cepat. Dan kepalan tangan hampir melesat
menonjok muka yang mencoba menyingkir, tapi sebelum kepalan itu
sampai, ada hadangan tangan yang menahannya.
Tangan yang kuat dan cekatan. “Jangan ganggu Riya dan

101
Dina!” teriaknya menghentikan tangan Riska. Dimas datang menjadi
pahlawan. Pahlawan kesiangan karena kami sebenarnya tak butuh
pembelaan. Masih sanggup bertahan!
Riska semakin kesal. Namun tak ada perlawanan. Geraknya
berbalik badan dan pergi dari tempat kejadian. Dimas menanyakan
keadaan kami. Aku hanya menyeringai dan memintanya agar menjauh
dan tidak lagi memberi hadiah apa pun.
Dina yang mendengar kejutekanku menyahut meminta untuk
berterima kasih padanya. Dimas hanya manggut enggan. Dia meminta
maaf dan pergi dengan wajah penuh sesal.
“Riya harusnya lo hargai perjuangan Dimas,” bela Dina.
“Berteman dengannya seperti bermain-main dengan tangkai
mawar putih! Jika tak hati-hati akan sakit tertusuk duri,” kesalku.
Dina terdiam sejenak seakan ada beban yang ingin dia lepas.
“Wajah lo mirip dengan adek Dimas yang telah meninggal, Riya,”
cerita Dina tetiba.
Aku tercengang. Baru paham lewat cerita Dina, bahwa saat bola
membuatku tak sadar. Dimas yang mengangkat dan membawaku ke
UKS. Dia terlihat pucat pasi dan gemetar. Ia pasti melihat kemiripan
wajahku dengan adiknya. Dan itu membuat trauma masa lalu kembali
menyambangi separuh ingatan. Seakan membawa kembali pada
kenangan adeknya yang kehilangan nyawa saat kecelakaan tragis
setahun silam.
Kemiripan wajah membuat Dimas ingin bernostalgia. Dia
berharap perhatiannya kepadaku bisa mengganti penyesalan atas
kematian sang adik “Juli”. Adiknya meninggal akibat kecelakaan saat
membonceng motornya saat pulang sekolah.

102
Akhirnya kubiarkan dia mengobati traumanya dengan
menjadikanku teman dalam dalam dunia nyata. Dan berharap takdir
itu dia ikhlaskan tanpa menyisihkan sesal yang tiada guna. Bayangan
kelam menjadi sebab adanya rasa. Membuang resah yang tersimpan
dan membelokkannya. Aku adalah aku bukan adiknya. Tapi jika
memang rasa itu hinggap menyatu dalam serpihan kalbu. Biarkan
bayangku menjadi obat luka ingatan di masa lalu.
Dan kini kubiarkan asanya mengisi hari-hari penuh makna.
Menjadi sahabat yang setia bukan sekedar memancing cinta. Kami
tak lagi dua tapi tiga. Berjanji setia pada persahabatan. Persahabatan
yang bukan hanya mengurus hal sia-sia! Tapi sekata dalam melangkah
untuk mejadi pribadi yang selalu bertumbuh dalam kebaikan, asa dan
do’a.

SELESAI

Nuraini Maftukhah
Lahir di Kab. Boyolali, 10 Nopember 1991. Istri dari Budi
Sulistianto dan ibu dari dua putri yang bernama Ghumaisha Izdihar
Azalia dan Ghaida Faihanah Ulya. Lulusan S1 PGSD dan mengajar
sesuai dengan jurusan di salah satu Sekolah Dasar Islam Terpadu di
Kab. Semarang. Ia aktif di beberapa organisasi sosial, hobi bercerita
dan menyukai dunia anak. Mulai menekuni dunia literasi sejak juni
2020.
Motto Hidup: 

103
beberapa organisasi sosial, hobi bercerita dan menyukai dunia anak. Mulai
sejak juni 2020.

Motto Hidup:

‫ل ل ناس أن ف عهم ال ناس خ ير‬

(khoirunnas anfa'uhum linnas).


 (khoirunnas anfa’uhum linnas). 
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain"
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lain”
(HR. Bukhari dan Muslim)

(HR. Bukhari dan Muslim)


Tulisan yang masih seumur jagung bisa di lihat di FB/IG "Nuraini Maf

Kritik yang
Tulisan dan saran
masih sangat
seumurdiharapkan
jagung bisaguna peningkatan
di lihat di FB/IGkualitas dan
“Nuraini Maft”
Untuk itu, silahkan kirim kritik dan saran ke email: nurainimaft@gmail.com
Kritik dan saran sangat diharapkan guna peningkatan kualitas
dan penulisan selanjutnya. Untuk itu, silahkan kirim kritik dan saran
ke email: nurainimaft@gmail.com

104
Cerita Kita
Eldian Nuha

Kantin masih terlihat sepi, beberapa bangku-bangku kosong.


Terlihat beberapa stand kantin yang sudah mulai penuh dengan
hidangan makan siang, siap untuk diserbu siswa-siswa, hanya beberapa
siswa dari kelasku yang mulai berhamburan keluar kelas sebelum
jam istirahat. Beruntungnya Bu Dahlia, guru Matematika kami tidak
masuk hari ini karena sakit, jadi aku bisa menikmati semangkok mie
ayam Bude Sri di kantin lebih awal. Nyaam… Mantap.
Dari arah toilet sekolah yang tak jauh dari kantin, sosok tinggi
semampai dengan rambut pendeknya berjalan ke arahku.
“Liat Rara gak, May?” tanya Tya padaku. Gadis tomboy
berdarah Palembang itu nampak kesal dengan Rara.
“Rara gak masuk hari ini Ty, dia bilang gak enak badan,”
jawabku.
“Dasar ya tuh anak! Palingan juga dia bolos, pasti gara-gara
Dodo ni. Lembek banget sih jadi cewek, diputusin langsung sakit.
Kan udah gua bilang gak ada gunanya pacaran mulu!” Tya mengunyah
mie ayam dengan lahap.
“Tyaa... Itu mie ayam gue!” ujar Maya setengah teriak.
“Sorry May, kalo lagi esmosi gini bawaannya laper.”
“Laper sih laper Ty, tapi gimana nasib cacing di perut gue?
Udah dari tadi nangis minta disantunin,” ujarku memajukan bibirku
sebal.
“Hahaha... iya, iya nih gue balikin.” Tya pun menyodorkan

105
kembali mangkok mie ayam yang tidak lagi penuh ke tempat semula.
“Hai Tya!” sapa beberapa siswa laki-laki yang lewat di meja
kami sembari tebarkan senyum mautnya. Dengan acuh Tya tidak
memedulikan tiga laki-laki fansnya itu dan meneruskan percakapan
denganku. “Beli batik dua warna, Tya cantik, abang yang punya…
eaaa,” teriak salah satu di antara mereka dan disambut dengan tawa
riuh yang lainnya sembari berjalan menjauhi meja kami.

“Gara-gara lu Ty, gak lu ladenin?” tanyaku usil.


“Gak! Kebiasaan tu anak, diemin aja biar capek sendiri, nanti
pulang sekolah kita ke rumah Rara ya,” ujar Tya.
Namaku Maharani Maya Safitri, asli orang Sleman Jogyakarta,
anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Heru dan Ibu
Diah. Sejak kecil aku dan saudara-saudaraku selalu ikut bapak dan
ibuku, karena tugas Dinas Bapak yang berpindah-pindah. Jakarta,
adalah persinggahan yang cukup lama dari daerah yang lainnya, 5
tahun lamanya. Dan ini adalah tahun terakhirku di Jakarta, tanpa
Bapak, ibu dan saudara-saudaraku. Yah, aku memilih untuk tetap
tinggal di Jakarta, paling tidak hingga lulus SMA, sedangkan
keluargaku kembali ke Sleman. Dengan berat hati Bapak mengizinkan
aku untuk menyelesaikan sekolahku di Jakarta.
Tya Arifin adalah sahabat baikku sejak 1 SMP. Gadis cantik
berdarah Palembang ini, cool banget sama urusan cowok, tapi justru
dengan sifatnya yang seperti itu membuat pengagumnya malah
bertambah, baik pengagum rahasia maupun yang terang-terangan
seperti Anggara, hahaha… Tya paling sering nginep di kosan-ku.
Bukan karena gak punya keluarga, tapi justru karena keluarganya

106
yang membuat dia gak betah di rumah. “Pusing gue May, nyokap
bokap berantem lagi,” ujarnya santai setiap kali numpang nginep di
tempatku.
Sara Chandra Mukti dia adalah sahabatku dan Tya. Jadi ingat
pertama kali masuk SMA, saat Masa Orientasi Siswa, aku dan Tya
adalah orang yang menyelamatkannya dari keusilan kakak kelas saat
ia disuruh lari 10 kali memutari lapangan sekolah yang luas banget.
Aku dan Tya yang melaporkan kejadian ini ke pihak sekolah, hingga
akhirnya kakak kelas tersebut yang mendapat hukuman dari guru BK.
Sifat Sara yang manja membuatnya sering diledekin beberapa siswa
di kelasnya.
“Jadi Dodo pacaran sama Hilma? May, Hilma itu bukannya
anak Rohis itu, kan?” tanya Tya padaku, karena aku merupakan salah
satu anggota Rohis di sekolah.
“Iya, dia anggota bidang seni Islam,” jawabku sedikit malu,
mendengar anak Rohis ada yang pacaran.
“Tuh kan, emang gak bisa jamin deh anak Rohis itu baik
semua! Udah Ra, lu gak usah temuin lagi yang namanya Dodo. Laki-
laki di mana tempat gak bisa setia tau gak sama satu cewek. Inget ni
ucapan gue, sekali orang yang lu suka selingkuh dengan orang lain,
artinya dia punya bakat buat selingkuh lagi, orang kayak gitu mending
buang aja ke sumur!” ujar Tya mengebu-gebu. Sepertinya Tya mulai
membawa urusan pribadinya ke dalam masalah Rara.

“Ya, gak gitu juga Tya. Lu gak bisa samain semua orang kayak
gitu. Memang kalo ada cewek pake jilbab terus berbuat gak bener,
semua cewek yg berjilbab yang lu kenal semuanya jadi gak bener?

107
Gue jadi gak bener juga? Kan enggak Ty,” ujarku seraya menenangkan
Rara yang masih murung dan menangis sejak kami datang. “Kita ke
sini kan buat nenangin Rara, bukan bikin dia tambah sedih Ty.”
“Makasih ya Maya, Tya. Aku seneng banget kalian dateng.
Tya bener May, sebenernya Hilma bukan orang pertama, sebelumnya
Dodo juga udah pernah selingkuh dengan Chelsea. Dodo adalah
cowok yang sangat berarti buat aku, dia baik dan care banget sama
aku...tapi karena kejadian ini, kayaknya aku harus move on deh.”
Tampak kesedihan di raut mukanya.
Bukan tanpa sebab Rara bersikap seperti itu. Terlahir dari
orang tua yang kaya raya namun hanya memiliki waktu seadanya
untuk Rara, putri mereka satu-satunya, nampaknya membuat Rara
sering mencari perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Gadis
yang memiliki keturunan Chinese ini, selalu memiliki barang apa
pun yang ia mau dari kedua orangtuanya, semua barang yang dimiliki
Rara adalah barang branded yang harganya, wow! Sepertinya sebagai
kompensasi karena sering absennya mereka pada keseharian Rara.
“Ra, sorry ya gue gak maksud buat lu tambah sedih. Gue cuman
pengen lu stop cari perhatian di luar sana, yang justru bikin hidup
lu tambah ruwet. Mungkin lu kehilangan sosok nyokap-bokap lu,
tapi mereka sayang banget sama lu Ra, dengan cara mereka sendiri.
Kalian berdua masih enak, nyokap dan bokap masih perhatian. Gue?
Bokap pergi dengan selingkuhannya, nyokap kadang suka ngelamun
dan sedih sendiri. Tapi gue harus kuat, kan? Gue gak mau nambahin
masalah gue di hidup nyokap, beruntung gue dapet beasiswa, kakak
gue juga baru kemaren dapet kerja, tinggal adek gue aja yang perlu
dipikirin biaya sekolahnya,” ujar Tya dengan suara yang tercekat
ditenggorokannya.

108
Yah, dari kami bertiga Tya yang mengalami hidup yang lebih
sulit. Dia jauh lebih tegar dan dewasa, walau agak sedikit galak, tapi
dia yang paling perhatian. Aku dan Rara memeluk Tya mencoba
menenangkan dan menyemangatinya, pecah juga tangis Tya.
“Ty, jilbab gue basah… Ini air liur apa air mata, Ty?” candaku
dan membuat Tya melengkungkan senyumnya.
“Air raksa, May!” seloroh Tya.
“Hahaha… “

***
“May, bacanya di sana aja yuk!” ajak Rara sembari menunjuk
meja kosong dekat jendela perpustakaan. Tak selang 10 menit aku
mulai membaca buku biologi, Rara mulai mengganggu. “Sst, May itu
Radit tu!” seru Rara.
Raditya Wiryawan, siswa kelas 2.1 yang terkenal sebagai kelas
dengan kumpulan anak-anak yang pintar. Bukan cuma itu, Radit adalah
ketua bidang kaderisari di Rohis dan juga siswa yang berprestasi di
olahraga basket sehingga meluluhkan hati cewek-cewek di sekolah,
termasuk patner kerjanya di Rohis, wakil bidang kaderisasi.
“May, kayaknya dia nyamperin kita deh,” bisik Rara.
“Assalamu’alaikum May, Ra,” ujarnya menyapa kami
“Wa’alaikumsalam, Dit,” jawab kami kompak.
“May, gue titip proposal ya… Hari ini gue ada pertandingan
basket di SMAN 79, lu bisa minta temenin Widi atau Mala nanti
pas ngadep Pak Sigit,” titah Radit menyerahkan lembaran yang
bertuliskan Proposal Pelatihan Kepemimpinan di sampulnya.
“Oke Dit, nanti siang gue coba kasih ke Pak Sigit,” ujarku

109
sembari mengambil proposal itu dari tangannya.
“Oke, gue balik dulu ke kelas, assalamu’alaikum!” ujar Radit
berlalu. Tak lama punggungnya pun menghilang di balik pintu
perpustakaan.
“Wa’alaikumsalam.”
“Wiiih, Radit emang sekeren itu ya May? Ramah, tapi cool
gimanaa gitu. Pantesan aja kamu ikutan kesemsem. Jadi, Radit udah
kamu embak belum May?” goda Rara.
“Gak ada tembak-tembakan Ra, gue tau Radit itu orangnya anti
pacaran. Pacaran adalah sebuah ekspresi yang salah dari rasa suka,
banyak maksiatnya. Lagian gue juga mau fokus sama sekolah, masuk
kelas IPA unggulan, organisasi jalan, dan cita-cita gue Ra, dokter gigi
Ra,” cengirku. Rara termenung beberapa saat mendengar jawabanku,
seperti ada yang mengganggu pikirannya.

Radit, nama itu kukenal ketika aku mengikuti Rohis di kelas


2. Dari awal sosoknya yang lebih menonjol di antara anggota Rohis
yang lain benar-benar menarik perhatian banyak orang. Satu tahun
sudah aku menjadi partnernya di bidang kaderisasi, proposal ini
adalah program kerja terakhir kami Tim kaderisasi. Setahun sudah
aku menyimpan rasa padanya. Caranya bergaul dengan semua teman-
teman gak pandang bulu, gak sombong tapi tetap menjaga interaksi
dengan lawan jenis. Belum lagi prestasi sekolahnya. Bagaimana
coba aku gak tertarik? Tapi biarlah aku cukup simpan saja di hati.
Nanti, jika aku sudah dewasa, mandiri, dan kalau aku bisa ketemu
lagi dengan Radit di masa depan, aku minta kan Bapak buat melamar,
hahaha… Udah sampe sini aja mimpinya.

110
“May, a-aku bolehkan ikut BBQ di Rohis? Aku gak ikut
organisasinya May, tapi cuma mau belajar ngaji dan dengerin
ceramahnya aja, boleh?” tanya Rara membuyarkan lamunanku.
“Alhamdulillah Ra… boleh dong!” ujarku girang dan
memeluknya. Dua tahun sudah, aku coba bujuk Tya dan Rara untuk
ikut kegiatan Rohis, mengaji dan mengajak mereka ikut kajian tapi
selalu mereka sering menghindar. Ya Allah, semoga kali ini mereka
tidak melepaskan hidayah ini. Pelan-pelan May, dakwah paling sulit
bukankah dakwah dengan orang-orang terdekat? Semoga Tya bisa
segera menyusul.
“Eh iya, pulang sekolah nanti jangan lupa kita lihat
pengumuman jurusan ya May, janjian dulu dengan Tya. Duuh deg-
degan deh, semoga kita bisa sekelas ya May,” senyum Rara.
Pulang sekolah beberapa anak kelas 2 berkerumun di papan
pengumuman sekolah berebut tempat untuk melihat hasil penempatan
jurusan untuk kelas 3. Alhamdulillah, aku dan Rara masuk kelas IPA,
walaupun tidak sekelas. Tunggu, kulirik lagi lembar pengumuman
yang ditempel di papan pengumuman. Tertulis nama yang tidak asing
di atas nama Rama Anggara, cowok tengil yang paling usil gangguin
Tya. Radit sekelas denganku! “Waah, ya Alloh… godaan apa ini?”
lirihku merutuki diri sendiri. Hadeeh, semoga aku bisa fokus belajar
walau harus tiap hari lihat wajah gantengnya Radit, ups! Istighfar
May, istighfar! Sementara itu Tya masuk kelas bahasa, sebagai siswi
yang pintar bahasa Inggris, sudah pasti pilihan tepat bagi Tya berada
di kelas itu.

***
Malam ini, Tya menginap di kosanku, wajahnya pucat dan

111
badannya terlihat lebih kurus dari biasanya. Hampir 1 bulan lebih,
kami fokus pada pelajaran kami masing-masing dan jarang bertemu,
terlebih lagi Tya yang mengambil jurusan yang berbeda dengan aku
dan Rara, jarak kelas yang cukup jauh membuat kami makin jarang
bertemu.
“Gimana kabar lu, sehat, kan Ty? Lu kurusan deh,” ujarku
“Cuma kecapekan aja May, udah 3 minggu ini gue kerja shift
malem di resto deket rumah, Beasiswa gue kan gak lanjut. Tiap pulang
sekolah gue ngajar privat bahasa Inggris. Ya gini, capek.”
Ya Allah, Tya bener-bener mandiri. Untuk remaja seusia kami,
umumnya semua biaya hidup masih ditanggung sama orang tua, aku
salah satunya. Biaya kosan, uang makan, uang jajan semua masih
minta sama Bapak.
“Ternyata menjadi orang dewasa itu capek, ya May.” Kulihat
bulir air mata yang tertahan di sudut matanya. “Gue pengen kuliah
May, tapi kira-kira gue bisa gak ya? Gue harus cari beasiswa kalau
mau kuliah. Apa gue harus telpon bokap untuk minta uang? Hah,
gue gak mau ketemu bokap gue lagi May! Cuma bikin masalah
baru aja, yang ada nambah pening kepala gue. Tapi, harusnya dia
masih tanggung jawab kan sama gue, abang dan adek gue?” ujar Tya
menanyakan hal yang ia sendiri tahu jawabannya.
“Sabar ya Ty, coba lu salat malam. Minta petunjuk sama Allah.
Allah itu kasih ujian ke kita cuma satu tujuannya Ty. Biar kita inget
dan mendekat sama Allah, cuma Allah yang punya segala jawaban
dari permasalahan hidup kita. Jangan pernah putus asa ya Ty,” ujarku
mengusap punggungnya lembut disambutnya dengan anggukan dan
setetes air mata.

112
Pukul 02.00 dini hari. Sayup-sayup aku dengar lantunan ayat
suci Al-Quran dan sesekali terdengar tangisan di sela-sela bacaannya.
Kuintip dari balik selimutku, Tya sedang berbincang dengan Rabb
nya, indah sekali. Ya Allah, berikanlah jalan keluar dari masalah Tya
dan jadikanlah ia muslimah yang taat, batinku.

***
Setiap kehidupan manusia punya ceritanya masing-masing.
Ceritaku, cerita sahabatku tiada yang sama. Tapi kami yakin, kami
ditakdirkan bertemu untuk sebuah alasan. Kalaupun pada akhirnya
kita akan berjumpa pada perpisahan, semoga Allah perkenankan kita
kumpul bersama di sudut tempat di syurga.
“Teman-teman, aku lulus di Melbourne University School!”
sorak gadis berjilbab putih itu senang disambut sikap cool dari gadis
berjilbab rapih disebelahnya.
“Alhamdulillah,” ujarku dan Tya bersamaan.
“Hari ini kita jadi kumpul ya di rumahku, kita makan-makan.
Mamaku buat brownies enak.” Senyum Rara, jilbab putihnya
menambah manis wajahnya. 3 bulan terakhir adalah hari-hari
bahagianya, karena ibunya telah resign dari pekerjaannya dan fokus
mengurus rumah dan Rara, kini Rara tak lagi kekurangan perhatian
dan kasih sayang.
“Jadi, Tya setelah ini apa rencana lu, eh kamu?” tanyaku. Yah
kami sedang membiasakan memperbaiki ucapan kami agar lebih
sopan lagi.
“Aku mau mondok dulu May, mau fokus dengan hapalan
Al-Quran dan ilmu tafsir di Ponpes ayahnya Bu Halimah,

113
setelahnya mungkin aku mau cari beasiswa di luar negeri,” jawab
Tya menyebutkan Bu Halimah, guru Bimbingan Konseling kami.
Bu Halimah adalah jawaban atas doa-doanya dulu. Tya menjadi
anak asuhnya Bu Halimah. Selama 1 tahun, Bu Halimah lah yang
membiayai sekolah Tya dan menyarankannya untuk mondok gratis di
Ponpes. Banyak yang berubah dari sosok Tya, dulu dia galak perlahan
menjadi lebih kalem dan lebih banyak senyum, wajah cantiknya jadi
semakin menampilkan inner beauty nya.
“Kamu sendiri gimana, May?” tanya Tya balik sembari
menahan jilbabnya dari tiupan angin.
“Aku akan balik ke Jogja, aku coba cari universitas di sana
saja, biar lebih dekat dengan keluarga,” ujarku mengingat kembali
kegagalanku pada tes seleksi jurusan kedokteran di UNPAD.
“Tetap berkirim kabar ya teman-teman, kalian teman terbaik
aku selama ini, ” ujar Rara dengan mata berkaca-kaca.
Iya, di mana pun kita tetap saling mendoakan ya,” sahut Tya
dan kami pun saling berpelukkan.
“Oiya Ty, dapat salam dari Gara. Dia bilang, kamu suruh
nunggu dia 7 tahun lagi. Kayaknya dia serius loh Ty,” ujarku sambil
nyengir kuda.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Tya.
“Ciee... Akhirnya jawab salamnya Gara,” ledekku dan Rara.
“Apa siih…,” ujar Tya dengan pipi warna merah jambu.

***
Sahabat adalah ia yang selalu mengingatkanmu akan Tuhan.
Yang menginginkan kebaikan dan kebahagiaan untukmu

114
Menangis kala kau bersedih, tertawa kala kau gembira
Tanpa perlu kau tau namamu ada dalam deretan panjang
doanya.

Bandar Lampung..... September 2020


Teruntuk genk Peri uNyu

SELESAI

Dian Septiani
Lahir di Kota Bandarlampung provinsi Lampung pada tanggal
09-09-1986. Wanita dengan nama pena Eldian Nuha, saat ini bekerja
di sebuah Sekolah swasta di Bandarlampung sebagai staf administrasi
sekolah. Media sosial yang aktif dengan akun Dian Na Taqin dan
alamat email dianraihan998@gmail.com

115
Asa Dalam Pengabdian
Yuli Rini

Persahabatan tak harus terucap namun ada hati yang harus


dijaga. Masa remaja selalu punya cerita, kisahnya tak terulang, jadi
sejarah di masa depan. Bingkai reuni dikemas untuk memanggil
sepenggal kisah yang pernah tertoreh para pelaku cerita.
Ria dan tiga sahabatnya baru saja lulus sekolah kejuruan
kesehatan sekolah yang setara dengan SMU. Mereka kompak untuk
melanjutkan ke jenjang berikutnya yang se linear tentunya. Mencari
informasi tentang sekolah bagian dari kesungguhan Ria dan tiga
sahabatnya untuk menyakinkan akan pilihannya.
Setelah mendapatkan informasi tentang kampus yang mereka
inginkan, mereka pun memutuskan untuk melanjutkan sekolah di
Yogyakarta.
“Hai guys, jadi nggak kumpul di rumah gue?” ajak Amel pada
tiga orang sahabatnya.
“Jadilah, sekalian kita isi formulir pendaftaran di rumah lo.
Ini formulir dah gue bawain,” jawab Ria menjelaskan pada tiga
sahabatnya.
“Wuih mantap Ria gerak cepat,” tukas Zia seraya memuji Ria.
“Bersyukur banget ya Ri, ada saudara lo yang mau ngambilin
formulir pendaftaran, udah gitu mau lagi ngirimin ke alamat lo buat
kita. Gue ngga ngebayangin berapa biaya yang harus gue keluarin
kalau harus sering bolak balik Jakarta-Yogya. Secara lo pada kan tau
keadaan gue,” ujar Puspa lirih. Air mukanya terlihat sedih.

116
Puspa sudah menjadi yatim sejak ia masih SMP. Ibunya hanya
punya usaha warung kecil-kecilan masih harus biayai Puspa dan dua
adiknya.
“Udah ngga usah sedih, lagian urusan formulir kenapa bisa
sampe Jakarta, ini juga saran Ummi gue,” jawab Ria merendah.
“Ayok, buruan isi formulirnya biar cepat selesai urusannya!
Lusa kita berangkat ke Yogya untuk serahin nih formulir.” Amel si
ceriwis sang tuan rumah kembali mengingatkan sahabatnya.
“Siip. Kita naik kereta malam aja Ria,” usul Puspa sambil
melirik ke arah dua sahabat yang lain meminta persetujuan.
“Hmm ok setuju,” sahut Zia dan Amel bersamaan.
“Ok, jadi begitu sampe stasiun Tugu Yogyakarta, lanjut mandi
cuss ke kampus untuk serahin tuh formulir sekalian ambil nomor
ujian. Sorenya langsung pulang, naik kereta jam lima,” saran Ria
menawarkan paket hemat. Tiga sahabatnya setuju dengan usulan Ria.
“Waw paket hemat, anggap aja lagi backpacker an,” celetuk
Amel diiringi tawa. Janjian di Stasuin Pasar Senen ya.”
Senja berangsur tenggelam, rona jingganya tergantikan oleh
pekatnya malam yang kian sempurna ditemani sinar bulan dan cahaya
bintang. Sesuai rencana pukul 20.00 WIB Ria dan tiga sahabatnya
bertemu di Stasiun Pasar Senen menunggu kedatangan kereta tujuan
Yogyakarta. Diperkirakan bila tidak ada gangguan mereka akan tiba
di stasiun Tugu Yogyakarta besok pagi pukul 07.15
Keesokan harinya pukul 07.30 WIB, kereta yang mereka
tumpangi tiba di Stasiun Tugu. Bergegas mereka turun dari rangkaian
gerbong kereta, dilanjut bersih-bersih diri seperlunya di kamar mandi
stasiun.

117
“Waw, Yogya keren, kamar mandi stasiunnya bersih cuy,” puji
Amel.
“Iya Mel bener banget, rasa seger dah kena air,” sahut Zia
Puspa si ratu kamar mandi.
“Udah ayok buruan Mel! Udah belom jangan kebanyakan
drama,” protes Ria.
“Lah itu si Puspa aja belom keluar dari kamar mandi,” balas
Amel pada Ria.
“Biasa Puspa mah ratu kamar mandi.” Julukan itu di berikan
lantaran Puspa selalu lama di dalam kamar mandi. Entah apa yang
dilakukannya.
Perjalanan mereka berlanjut, kendaraan roda tiga bebas
polusi mengantarkan mereka pada kampus tujuan yang terletak di
kecamatan Ngampilan. Ria dan ketiga sahabatnya menatap gedung
yang di dominasi warna hijau dengan penuh harap.
Berharap dapat menjadi salah satu bagian penuntut ilmu di
kampus yang dikelola oleh organisasi besar di negeri tercinta dengan
biaya 0% alias gratis plus dapat uang saku dari Departemen Kesehatan.
Tanpa menunggu lama formulir pendaftaran mereka telah berganti
menjadi nomor ujian yang seminggu lagi baru akan dilaksanakan.
Berbekal restu orang tua, satu Minggu kemudian Ria dan ketiga
sahabat berangkat ke Yogya untuk mengikuti ujian seleksi masuk.
Kali ini mereka memilih perjalanan pagi. 
Kereta fajar utama membawa mereka kembali ke Yogya untuk
kedua kalinya dengan tujuan stasiun akhir, Stasiun Lempuyangan.
“Alhamdulillah sampe juga kita,” ucap Zia. Keempatnya
menurunkan barang bawaan.

118
“Eh itu sepupu gue udah nunguin. Bang Ridwan!” panggil Ria.
Bergegas Ria menghampiri sepupunya yang diikuti tiga sahabatnya.
“Alhamdulillah dah pada sampe. Ayok langsung naik aja ke
taxi. Kebetulan Abang udah pesanin.”
Bergegas kami menaiki taxi. “Lah Abang naik apa?” tanya Ria
dengan logat betawinya.
“Abang naek motor Ria. Supir taksi suruh ikutin motor Abang,”
jelas Bang Ridwan dengan logat betawi yang ngga kalah.
Tak sampai setengah jam kami sampai di rumah kost bang
Ridwan, tepatnya desa Krapyak Panggung Harjo, Kabupaten Bantul. 
“Alhamdulillah udah sampe, ayo Ria ajak teman-temannya
masuk.” Bang Ridwan segitu ramah menyambut kami, merelakan
rumah kostnya ditempati untuk melepas rasa lelah.
Eh, jangan prasangka buruk dulu ya, Bang Ridwan ngungsi ke
rumah kost temannya yang masih berada dalam satu kompleks karena
rumah kostnya kita kuasai. Lingkungan rumah kost bang Ridwan
ramai tapi jauh dari kesan berisik. Untuk memasuki pekarangan
rumah kost dilarangan menyalakan motor alias motornya dituntun
dulu.
Tampak berjajar kost-kostan lain di samping rumah kost Bang
Ridwan yang dikhususkan untuk kost mahasiswa. Banyak teman
Bang Ridwan yang berasal dari Jakarta. Hmm… ketemu orang satu
daerah di perantauan serasa ketemu saudara.
Suasana religi begitu kentara menyelimuti lingkungan kost
Bang Ridwan yang kebetulan berdekatan dengan pondok pesantren
terkenal. Belakang baru kami ketahui banyak ulama dan tokoh bangsa
alumni pondok pesantren tersebut.

119
Selepas istirahat, kami belajar tipis-tipis untuk ujian besok pagi.
Ya... siapa juga yang ngga ngarep sekolah gratis plus dapat uang saku
pula. Tapi... tunggu dulu guys, sebagai gantinya wajib mengabdikan
diri di desa selama tiga tahun. Nah siap ngga menanggung rindu?
Kalau kita sih siap, secara pada jomblo fi sabilillah kecuali Puspa.
Tepat mentari menyapa pagi, semburat sinarnya kokohkan
niat dan langkah kami menjemput asa. Bang Ridwan serta tiga orang
temannya siap mengantar kami ke kampus harapan. 
Deru motor bersahutan di tengah ramainya jalanan Kota
Yogyakarta. Kami yang belum mengenal seluk beluk Kota Yogyakarta
terbantu dengan kemurahan hati bang Ridwan, sepupu Ria.
Tepat pukul 8 pagi kami tiba di kampus. Suasana kampus
tampak riuh rendah dipadati peserta yang jumlahnya sekitar 200
orang yang tidak hanya berasal dari Yogyakarta tetapi dari luar Kota
Yogyakarta seperti kami. Peserta yang di ambil 40 orang.
“Wuih banyak juga pesertanya,” celetuk Puspa. Terdengar
nada getir dari mulutnya ikut pula dirasakan tiga sahabatnya.
“Udah, ayok ah masuk,” ajak Ria memecah keraguan. Siapa
tau kita beruntung terus bisa ke terima,” ujarnya lagi.
Bergegas Ria dan tiga sahabatnya maduk ke ruang ujian.
Meramu, melahap dan mencerna soal ujian dengan jawaban terbaik.
Meracik takdir Nya. Kembali ke rumah atau hijrah ke Kota pelajar
selama 4 tahun. Belajar untuk mengabdi.
Ujian kami lalui dengan baik, sebelum Zuhur Ria dan
sahabatnya sudah sampai di rumah kost Bang Ridwan.
“Eh kira-kira kita ke terima apa nggak, ya?” lirih Ria bertanya
pada sahabatnya. “Kalau baca soal tadi kayaknya gue optimis kita

120
bakal diterima,” jawabAmel percaya diri.
“Sok kepedean lo Mel,” celetuk Puspa.
“Lah bukan gitu maksudnya, optimis boleh aja kali,” balas
Amel membela diri.
“Eh malah pada berisik kalian, ngga enak tuh sama Bang
Ridwan dan teman-temannya.” Kalimat bijak Zia mengingatkan
kehebohan sahabatnya.
“Lagian kalian ingat ngga apa kata Bang Ridwan? Yang penting
kita udah berusaha, urusan hasil biar Allah yang tentukan,” sahut Zia
sekaligus.
“Udah ayok pada siap-siap sekalian beresin kamar kostnya
Bang Ridwan,” pinta Ria. “Inget yang rapi ya,” sambungnya lagi.
“Ok Ria,” jawab sahabatnya kompak.
Sekejap kamar kost bang Ridwan bersih dan rapi. Sore ini juga
merekan langsung balik ke Jakarta. Tak enak rasanya berlama-lama
merepotkan.
“Ria sama teman-teman udah siap? Kalau udah kita jalan
sekarang ke stasiun,” Bang Ridwan datang hampiri mereka.
“Iya udah Bang, kamar juga udah kita rapihin, beres.” Kompak
sahabat Ria menjelaskan.
“Ayok buruan udah jam 4 tuh.” Bang Ali kembali mengingatkan
Ria yang masih terlihat santai.
“Bang... Ria mau minta tolong lagi, tolong lihatin ke kampus
kita lulus apa nggaknya. Pengumumannya semimggu lagi. Jadi nomor
ujian kita Abang pegang, please.” Ria dan ketiga sahabatnya merajuk
layaknya anak kecil Bang Ridwan.

121
“Hmm mau nggak, ya?” tanya Bang Ridwan sambil mengetuk
dagu.
“Mana sini kumpulin nomor ujiannya. Lagian mana bisa Abang
nolak Ria, bisa di cincang Abang sama Abah Ria,” jawabnya. Ria dan
tiga sahabatnya tertawa sebagai tanda kemenangan.
“Ya ampun Bang baik banget sih,” jawab mereka kompak
sambil menyerahkan kartu ujian.
Kebaikan Bang Ridwan membuat tiga sahabat Ria meleleh.
“Ria, simpen ya Bang Ridwan buat gue,” harap Amel.
“Huh... ngarep aja lo Mel, kalau yg model gini gue juga mau,”
ujar Puspa tak mau kalah.
“Dasar kalian berdua sama aja. Ini lagi Puspa, inget elo dah
punya Arif, mau dikemanain tuh Arif,” celetukRia.
“Makasih banget nih Bang, Ria sama temen-teman jadi ngga
perlu repot ke Yogya sebelum kita yakin lulus.”
“Iya, begitu ada pengumuman lulus tidaknya, langsung Abang
kabarin,” ujarnya menyakinkan.
“Udah ayok berangkat ke stasiun, tuh teman-teman Abang juga
udah siap antar kalian.” Tampak berjajar motor teman Bang Ridwan
yang siap mengantar Ria serta tiga sahabatnya.
Di bawah langit jingga serta semilir angin sepoi-sepoi
menerpa wajah kami bersama deru motor mengantar kami ke stasiun
Lempuyangan. Selamat tinggal Yogya, insya Allah kami akan
kembali, siap mengabdi.
Hari kelulusan yang dinanti tiba. Amel, Puspa Zia bergegas
meluncur ke rumah Ria. Dengan rasa berdebar ke tiganya menuggu

122
pengumuman ke lulusan.
“Ria, gimana nasib kita? Udah ada kabar dari Bang Ridwan?”
tanya Zia mewakili duan sahabatnya yang lain. “Penasaran nih,”
ujarnya lagi.
“Hmm... maaf ya teman....” Ria membuka pembicaraan.
“Kenapa, Ria? Ngomong dong! Udah nggak sabar nih! Kita
ngga lulus?” cecar Amel pada Ria.
“Hmm... kita tetap bersama,” lirih Ria menjawab pertanyaan
sahabatnya.
“Bersama di sini atau Yogya Ria? Jawab yang jelas dong,”
cecar tiga sahabatnya bersamaan..
“Iya guys kita lulus!” teriak Ria. Puas hati Ria ngerjain
sahabatnya.
“Alhamdulillah. Horee!” teriak mereka kompak sembari
melonjak kegirangan.
Mel kenapa lo senyum-senyum sendiri?” tanya Ria penasaran.
“Gue seneng banget, kampus kita dekat sama nol kilometer,
bisa sering-sering ke Malioboro. Pokoknya nih kita harus eksplore
tempat wisata di Yogya selama di sini,” usul Amel antusias.
“Fokus Mel, fokus,” ujar Zia mengingatkan.
“Ok juga idenya Amel. Belajar sambil bermain. Kalau Zia ngga
mau ikut tinggalin aja. Hahaha,” jawab Ria sembari mtanya tertuju ke
Zia.
“Gue ikutlah kalau kalian jalan-jalan,” protesnya.
Kata orang, usaha tak menghiasi hasil, itulah yang terjadi pada
takdir Ria dan ketiga sahabatnya. Babak baru jalani racikan takdir-

123
Nya akan mereka lalui di Kota gudeg. Mengulang kebersamaan untuk
satu tahun ke depan, melukis mimpi untuk masa yang panjang dalam
bingkai pengabdian masyarakat sebagai konsekuensi atas setiap
keputusan. Entah di bumi desa mana akan di tempatkan. Menunggu
skenario dari Sang Maha Berkendak.

SELESAI

Yuli Rini
Lahir di Jakarta 17 Juli 1977. Penulis adalah salah satu tenaga
kesehatan di sebuah Instansi Kesehatan yang tidak memiliki latar
belakang sastra. Penulis mempunyai hobi membaca saat duduk
dibangku SMP. Penulis mulai mencintai dunia literasi baru beberapa
tahun ini dengan mencoba mengikuti kelas menulis. Pada tahun 2020
tepatnya pada bulan April penulis mulai bergabung dengan komunitas
menulis dengan tujuan belajar dan mulai mengikuti kelas antologi
sera diberi kesempatan untuk mempublikasikan tulisannya dalam
bentuk buku antologi.
Yuli Rini: Pencinta buku, hujan dan langit senja

Silakan menyapanya di FB: Yuli Rini

124
Janji Manis Hungarian Dance no. 5
Tsaabitah Zuhroh

Melodi itu masih terngiang di telinga Tasha. Melodi yang


berhasil menggetarkan gedung opera kala itu. Tapi apakah Tasha
sanggup untuk tetap mengingatnya? Melodi indah beberapa tahun
lalu. Yang sempat membawanya kepada rasa cinta, berakhir luka.
Langit Surabaya hari ini berwarna kelabu, seperti hati Tasha
yang juga tak kalah kelabu. Ya, Tasha tengah pilu. Hatinya tersayat
seperti tertusuk ribuan jarum. Kekesalan dan penyesalan ada pada
dirinya.
Perlahan, ia melangkah menuju rak buku. Diambilnya album
berisi foto-foto dirinya ketika mengikuti kontes musik di Austria,
enam tahun lalu. Isak tangisnya belum juga berhenti. Lelaki itu masih
terus memenuhi isi pikirannya.
“Masih kepikiran ya?” Seseorang mendatangi Tsaha.
Ia menoleh. Tante Melly rupanya. Tasha hanya mengangguk.
Air matanya mengalir semakin deras. Sakit. Sebenarnya ia tidak ingin
membuka album tersebut. Foto-foto di dalamnya mengandung luka
yang sangat dalam. Foto-foto bersama si manis pembawa luka.

***

Surabaya, beberapa tahun silam.

Gemerlap bintang menghiasi malam itu. Alunan violin


membisikkan cinta pada seorang gadis yang sudah beberapa purnama
di selimuti kerinduan.

125
Tasha namanya. Melody Reenatasha. Pantas saja, jemarinya
selalu piawai memainkan simfoni aneka warna. Nama adalah do’a
bukan? Orang tuanya memberikan nama tersebut, karena mereka
ingin putri sulungnya pandai bermain piano.
Alunan violin itu terus terdengar indah. Hingga ia lupa, bahwa
ia sedang menunggu lelaki yang ia rindukan.
“Marcel belum datang?” Suara itu membuyarkan lamunannya.
Tasha menoleh. Seorang wanita cantik bergaun cokelat muda berada
tepat di belakangnya. Tante Melly, yang mengurus Tasha sejak orang
tuanya pindah ke Belanda untuk mengurus bisnis.
“Belum, tante,” jawab Tasha dengan raut wajah bersedih.
Tante Melly dan Tasha saling bertatap dalam senyap. Walau
begitu, mereka tentu mengetahui bahwa di lubuk hati paling dalam,
ada sesuatu yang meluap.
Sunyi kembali menghampiri. Malam ini akan menjadi
malam terindah untuk Tasha. Marcel akan datang untuk merayakan
ulang tahun Tasha yang ke 20. Sejak pagi, halaman rumah Tasha
sudah dihiasi sedemikian rupa untuk menghasilkan pesta yang Tasha
inginkan. Nuansa putih dan cokelat muda pun jadi pilihan. Sederhana,
namun elegan.
Sebuah grand piano berwarna putih pun sudah ditempatkan
di tengah halaman. Karena Tasha akan memainkan piano itu bersama
dengan Marcel. Duet manis dari dua pianis. Bukankah ini menawan?
Tasha dan Marcel. Dua pianis yang memutuskan untuk bersama
memainkan melodi manis yang romantis. Musik yang menyatukan
mereka.
Pandangan pertama langsung membuat hati mereka

126
berbunga. Musik, membuat hati mereka saling terikat. Tasha tidak
pernah lupa hari itu. hari di mana pertama kali pandangan keduanya
saling beradu. Di depan Winner Staatsoprer, gedung megah Vienne
State Opera, Austria.

***

Vienne, Austria. Ketika musim dingin hampir tiba.

“Kau tau, Etude Op. 10 no. 4 yang kau mainkan tadi benar
benar membuat detak jantungku berkejaran.” Seorang lelaki dengan
kemeja putih menghampiri Tasha setelah acara malam itu usai. Jas
yang seharusnya ia kenakan, malah dijinjing begitu saja. Tasha
spontan menoleh.
“Lelaki ini…,” gumam Tasha dalam hati.
Di panggung tadi, ia berhasil memainkan Etude Op. 25 no. 11
karya Frededic Chopin, seorang komposer dan pemain piano virtuoso
asal Polandia. Ia dikenal sebagai salah satu musisi romantik terbesar.
Tasha benar benar hanyut dalam alunan nada yang dimainkan
lelaki ini. Hingga jantungnya pun berdegup kencang. Tadi. Hingga
kini.
“Ouh, benar begitu?” tanya Tasha memastikan.
“Ya, mengapa kau memilih nocturne yang ini, dibanding
nocturne karya Chopin yang lain? Etude yang ini memiliki kecepatan
yang sangat cepat. Seolah tidak ada sedikit pun celah untuk bernapas,”
tanyanya.
Tasha menghela napas, kemudian ia menyandarkan badannya
pada sandaran bangku yang ia duduki dari tadi. sedangkan lelaki itu

127
kini menyandarkan tubuhnya pada tiang yang berada tepat di samping
bangku yang sedang ditempati oleh Tasha.
“Dalam hidup, kadang kita harus bergerak sangat cepat.
Tidak selamanya lambat dan perlahan,” jawab Tasha.
Lelaki itu hanya diam, kemudian duduk di samping Tasha. ia
juga menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku itu.
“What’s your name?” tanyanya.
Jantung Tasha berdegup semakin kencang. Lelaki itu
mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Sedangkan Tasha tidak
pernah sekali pun bertemu dengannya.
“Tasha. Melody Reenatasha,” jawab Tasha seraya membalas
uluran tangannya.
“Seriously?” Ia kembali bertanya.
“Ya, why?” tanya Tasha.
“Um… tidak. Perkenalkan, aku Marcel. Mercell Guitara.”
Kali ini ia memperkenalkan diri.
Cell dan gitar. Menakjubkan.
“Nama yang indah. Apa kamu juga memainkan cell dan
gitar?” tanya Tasha lagi.
“Tentu saja,” jawabnya.
Lama berbincang. Tasha dan Marcel sudah seperti teman dekat.
Padahal keduanya belum saling mengenal.
Tak perlu di tanya, menit-menit selanjutnya keduanya berjalan
berdampingan mengelilingi halaman gedung ini. Perbincangannya
tidak terputus. Mereka justru saling mengenal lebih dekat.
“Beritahu aku, siapa pianis favorit?” tanya Marcel tiba tiba.

128
“Frederic Chopin, of course.”
“Wolfgang Amadeus Mozart?”
“Ludwig Van Beethoven,”
“Johannes Brhams.” Kali ini Marcel menyebutkan Komposer
asal Jerman.
“Hungarian Dance no. 5.” Tasha menyebutkan salah satu
karya Johannes Brhams.
“Yeah. Hopefully, we can play it together, Sha,”
Detak jantung Tasha yang sebelumnya sudah berdegup normal,
kini kembali bedegup kencang, dan enggan melambat.
Tasha hanya terdiam. Berusaha menyembunyikan wajahnya
yang kini semakin merona. Marcel yang berada di sampingnya pun
ikut terdiam. Ia memalingkan pandangannya dari Tasha.
“Um…Johann Sebastian Bach,” lanjut Tasha mencairkan
suasana.
“Claude Debussy.” Lelaki itu tersenyum setelah menyebutkan
nama komposer asal Prancis. Claire de Lune, Tasha pernah
membawakan karya komposer tersebut pada sebuah kompetisi musik
di Prancis. Saat itu usianya masih 13 tahun. Ditemani oleh seluruh
anggota keluarganya.
“Umm… Franz Liszt.” Lelaki itu tersenyum kembali setelah
Tasha menyebutkan nama komposer itu.
“La Campanella,” ucap keduanya serempak. Kini mereka
tertawa bersama.
Sambil terus berjalan, Tasha mengusap lengannya kedinginan.
Ia hanya menggunakan gaun hitam yang panjang. Namun gaun tersebut

129
tidak menutup lengannya. Angin malam itu mulai menyelimuti tubuh
Tasha.
“Dingin, ya?” tanya Marcel.
Entah Marcel memang tidak merasakan dingin, atau dia pura-
pura tidak tahu jika angin malam itu memang menusuk hingga ke
tulang.
Marcel menyodorkan jas hitam yang dari tadi ia bawa. Sungguh.
Kalau seperti ini, kapan degup jantung Tasha bisa kembali normal?
Tasha mengambil jas tersebut kemudian ia gunakan untuk
menutup sebagian tubuhnya yang kedinginan.
“Terima kasih,” ucap Tasha. Marcel hanya menangguk.
Mereka masih berjalan beriringan. Malam terindah. Dua pianis
yang dipertemukan di akhir bulan November.
“Kau, asli Indonesia?” tanya Tasha canggung, memecah
keheningan.
Wajah Marcel tidak menunjukkan sedikit pun bahwa dirinya
warga Indonesia. Hanya bahasa yang ia gunakan saja, bahasa
Indonesia. Sepertinya, ia memiliki keturunan Eropa.
“Tentu tidak. Ayahku adalah warga Prancis, sedangkan Ibuku
warga Belanda,” jawabnya.
Bayangkan betapa tampannya seorang Marcello Guitara.
Campuran antara Prancis dan Belanda.
“Pantas saja. Wajahmu sama sekali tidak menunjukkan
tampang Indonesia. Lalu, dari mana kau bisa berbahasa Indonesia?”
Tasha kembali bertanya.
“Ketika usiaku 10 tahun, orang tuaku membawaku ke

130
Indonesia untuk tinggal bersama nenek. Nenekku memang asli
Prancis. Tapi kakekku orang Aceh,” jawab Marcel menjelaskan.
“Waah... beraneka negara. Tapi, apa kamu masih menetap di
Indonesia sampai sekarang?” tanya Tasha.
“Tidak. Sejak Kakek meninggal 1 tahun lalu, aku kembali ke
Prancis. Kalau Nenek, memang sudah meninggal 2 tahun sebelum
kakek,” jelasnya.
Sunyi kembali menghampiri. Tasha bingung. Tak tahu reaksi
seperti apa yang harus ia berikan. Hanya anggukan, tanda mengerti.
“Tapi wajahmu juga tidak terlalu menunjukkan tampang
Indonesia, Sha,” ucap Marcel kali ini.
“Ya, bundaku asli Belanda, sedangkan ayahku asli
Palembang,” jawabnya.
Bisa dibayangkan, bagaimana cantiknya wajah Tasha. Cantik
dan tampan. Keduanya pianis. Bukankah ini sempurna?

***
“Kak Tasha!” seru Reina, adik perempuannya.
Tasha menoleh ke sumber suara. Terlihat Reina sedang berlari
dengan se bucket bunga di tangannya. Gaun putihnya tersapu oleh
angin, menjadikan dirinya tak kalah cantik dari kakaknya.
“Dari siapa?” Tasha mengambil bunga tersebut dari
genggaman adiknya. Senyum yang awalnya terlukis di wajahnya kini
hilang. Ada surat yang terselip di sela-sela bunga itu.
Hello Tasha,

Hope you are doing fine :)

131
Jangan cari aku.

Bahagia selalu.

—Marcello Guitara.

Begitu kira-kira isi suratnya. Dengan tangan gemetar, Tasha


berusaha menghubungi Marcel. Tapi sayang. Nomornya mati.
“Tidak Tante, Marcel pasti bercanda. Tasha yakin dia akan
datang,” ujarnya sambil menahan air mata yang hampir jatuh.
Tante Melly hanya mengusap lembut rambut Tasha. Reina turut
bersedih. Sebenarnya apa maksud Marcel mengirimkan bunga dan
surat itu? Marcel tidak apa-apa kan? Pertanyaan itu terus memenuhi
isi pikiran Tasha. Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Sejurus kemudian, Tasha berlari menuju tengah halaman
rumahnya. Pandangannya menyapu seluruh bagian halaman. Berharap
bahwa Marcel hanya bercanda. Ia pasti ada di sini. Tapi tetap. Marcel
tidak ada. Dekorasi yang sudah dihias sedemikian rupa, terasa sia-sia.
“Tenang Tasha, Marcel sudah berjanji. Dia akan datang.
Tunggu saja, aku akan memainkan piano,” ucap Tasha pada dirinya
yang sudah duduk di hadapan grand piano putihnya.
Sebuah melodi mulai terdengar. Etude Op. 25 no. 11, alunan
piano pertama yang Tasha dengar dari seorang Marcel. Ia luapkan
semua amarahnya dengan memainkan piece karya Frederic Chopin
itu. Tante Melly hanya memperhatikan Tasha dari kejauhan. Kemudian
ia mendekat.
Selesai. Permainan piano Tasha sudah selesai. Tapi Marcel
tak kunjung datang. Ia memainkan piece yang berbeda kali ini.

132
Mariage De’Amour. Marriage of love.
“Kak, sudah dong, ini sudah malam,” kata Reina cemas.
Sudah pukul 10 malam. 2 jam sudah, Tasha memainkan piano
dengan berbagai macam melodi. Perlahan Tante Melly mendekati
Tasha.
“Tasha, sudahlah hentikan. Kita tunggu di dalam saja, ini
sudah malam,” pinta Tante Melly pada Tasha.
Tasha pura-pura tuli. Ia tetap memainkan pianonya. Tengah
malam. Alunan melodi masih terdengar. Ie enggan menghentikan
permainannya hingga Marcel datang menepati janji.
“Marcel bohong, Tante. Ia belum juga datang.” Tasha terus
terisak, tanpa menghentikan sedikit pun gerak jamarinya. Tante Melly
kian panik.
Hungarian Dance No. 5. Piece yang harusnya dimainkan
bersama Marcel malam ini, ternyata Tasha seorang yang memainkan,
dengan luka yang mendalam, air mata yang terus mengalir. Tanpa ada
seorang lelaki yang ia rindukan.
Pukul 3 dini hari, Tasha menghentikan permainannya. Lelah.
Kemudian ia lemah tak berdaya. Sejak kejadian itu, Tasha tidak ingin
memainkan alat musik, terutama piano. Marcello Guitara, si manis
pembawa luka. Ke mana dia?

***
Frederic Chopin Museum, Warsaw, Poland. Ketika hati kian
berbunga.
“Welcome!” seru Marcel. Sebuah monumen tinggi ada di
hadapan Tasha. Ya, itu Frederic Chopin, komposer favoritnya. Taman

133
itu juga sangat luas. Melody dapat mendengarkan penggalan musim
karya Chopin. Polonaise Op. 53. Ya, Tasha pernah membawakan
piece itu ketika ajang musik di Jerman.
“Fantaisie-Impromptu Op. 66,” ujar Tasha menebak melodi
karya Chopin yang ia dengarkan sembari memejamkan mata.
“Umm… Sha, trust me. I promise. I’ll play Hungarian
Dance no. 5 with you, sometimes,” ujar Marcel seraya menggandeng
erat tangan Tasha. Sedikit berbelok. Hungarian Dance No. 5 karya
Johannes Brhams. Bukan Chopin.
Tasha tertawa kecil mendengar Marcel menyebutkan
Hungarian Dance No. 5, karya Johannes Brhams. Tidak sesuai dengan
tema hari ini. Frederic Chopin. Tapi bukan berarti Tasha tidak percaya
akan janji itu. Ia memegang erat janji yang telah terucap dari bibir
Marcel.
“Oke, aku pegang janjimu, Marcello Guitara,” ujar Tasha
sambil memukul pelan lengan Marcel.
Keduanya kembali berjalan beriringan. Memandangi sekeliling
Frederic Chopin Museum. Indah.
“Taman ini dibangun pada abad ke-17, dikenal dengan
nama ‘Royal Baths Park’ karena berada di kompleks istana raja pada
masa lampau. Sejak dibuka untuk umum pada tahun 1918, taman ini
menjadi ikon Warsawa,” jelas Marcel panjang lebar.
Tasha mendengarkan penjelasannya dengan antusias.
“Aku suka lelaki gitaris,” ucap Tasha tiba-tiba.
“Oh ya?” tanya Marcel meyakinkan.
“Iya, kenapa kamu lebih memilih fokus bermain piano

134
dibanding gitar? Aku lebih suka suara petikan gitar, nyaman masuk
telinga.” Tasha memberi pendapat.
“Aku gitaris, bisa bermain gitar. Tapi aku lebih suma
mendengarkan alunan piano,” jawab Marcel.
“Waah, menakjubkan. Aku ingin bisa bermain gitar. Tapi aku
tidak tau harus memulainya dari mana,” ujar Tasha menekuk wajah
cantiknya.
“Aku bisa menuntunmu, jika kau benar-benar
menginginkannya,” kata Marcel seraya tersenyum.

***
“Kak, ada paket untuk kakak.” Reina membuyarkan
lamunanku. Adik perempuannya itu membawa sekotak kado
berwarna tosca. Terdapat berbagai macam bentuk cokelat dan bunga
di dalamnya. Tasha semakin penasaran dengan sosok di balik kotak
itu.
“Dari siapa?” tanya Tasha seraya menerima kotak tersebut
dari tangan adiknya.
“Marcello, Guitara.”

SELESAI
Tsaabitah Zuhroh
Adalah seorang pelajar yang senang menulis setiap kejadian
yang bisa dijadikan pelajaran untuk dirinya. Anak pertama yang lahir
di Surabaya, 24 September 2004 ini mempunyai hobby mendisain
baju-baju muslimah juga. Untuk lebih dekat mengenalnya bisa
melalui IG @zuy.zuyaa, Email bita@cahyono.web.id.

135
Memang Dia
Dhevita Mustika P

“Tataaa!!”
Aduh kupingku, ini anak ada di sampingku kenapa harus teriak
sih. Aku menoleh ke arahnya dan mencoba menahan rasa kesalku,
“Apa sih, Mayy?”
“Ih, jangan gitu dong, lagian diajak ngobrol dicuekin terus,”
katanya sambil meletakkan kepalanya di meja dan mencibirkan
bibirnya.
“Lagian yang ditanya itu terus sih, kepo banget sih,” kataku
agak menggodanya.
“Memangnya kalau iya kenapa?”
Dia tersenyum, matanya berbinar. “Nah kan bener! Habis kalian
tuh ke mana-mana bareng, tapi gak ada kayak gandengan tangan atau
panggil-panggil sayang gitu. Makanya aku penasaran. Terus si Rizky-
nya juga perhatian banget sama kamu tapi kamunya gitu.”
“Gitu gimana?”
“Ya gitu, cuek banget. Terus gak pernah kayak manja atau
gimana gitu. Pernah gak sih kamu minta apa gitu sama dia?”
Yah, kalau dipikir-pikir sih iya juga ya. Tapi sebenernya aku
sama Rizky itu belum ada status pasti karena emang dari kitanya tuh
gak ada yang nyatain apa-apa. Cuma saling nyaman aja.”
Aku mengalihkan pandanganku dari Mayang dan melihat ke
lapangan. Dari jauh aku lihat Rizky datang menghampiri. “Udah

136
diem, tuh anaknya dateng.”
Mayang mendongak, menyiritkan matanya, menengok kanan
dan kiri “Lah, mana?” Aku menunjuk ke depan. “Emang itu dia ya?”
Kami saling diam menunggu bayangan orang itu berjalan lebih dekat
ke arah kami. Akhirnya wajahnya terlihat jelas. “Wih! Iya bener, hafal
betul ya.”
Iyalah, gimana gak hafal udah berapa tahun sih ini, enam tahun
mungkin ya. Rizky langsung duduk di kursi dekatku.
“Ngapain ini ibu-ibu duduk di gazebo, gibahin orang ya?”
katanya sambil tersenyum jahil.
“Ngomongin kalianlah! Ngapain gibahin orang kalo bisa
ngomong langsung sama orangnya.” Kutendang sedikit kaki Mayang,
ini anak gak bisa jaga mulutnya apa, ember banget deh.
“Ups!” Mayang menutup mulutnya sambil menyeringai ke
arahku.
Rizky tertawa, “Ngomongin apaan emang?”
“Ngomongin sebenernya kalian pacaran apa enggak.” Mataku
terbelalak, ya ampun ini anak bener-bener deh. Mendengar Mayang
ngomong dengan entengnya, sontak aku berdiri sambil menarik
tangan Mayang.
“Loh, mau ke mana?” tanya Rizky sambil ikut berdiri.
“Balik ke kelas!” jawabku yang masih menyeret Mayang jalan
menjauh dari gazebo. Mayang tertawa puas. Aku menyempatkan diri
melihat wajah Rizky yang agak kecewa karena ditinggal. Duh, malu
banget aku. Untung saja kami lain kelas.
Sesampainya di kelas aku melepas tangan Mayang, dia masih

137
tertawa sambil berjalan ke bangkunya. Aku pun mengikutinya. Kami
selalu duduk sebelahan dari kelas satu. Tapi dari dulu, Mayang gak
pernah sekepo ini soal statusku dengan Rizky. Aku jadi penasaran.
Aku ambil smartphoneku dari tas, kubuka dan mendapati chat
dari Rizky, ‘Ditinggal sendirian’
Aku terkikik dan membalasnya. ‘Biarin’
“Kenapa tuh senyum-senyum?” tanya Mayang sambil
mendekatkan wajahnya ke arahku. Cepat-cepat kumasukan kembali
smartphoneku ke dalam tas. “Ah, paling di chat sama Rizky. Ya,
kan?” katanya menggodaku.
Aku kembali duduk dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Habis ini pelajaran siapa deh?”
“Hmm, pelajarannya Pak Rudi kalo gak salah. Oh iya! Ada PR
ya! Lupa aku, liat dong Ta!” Duh kebiasaan ini anak, udah mau mulai
pelajaran baru inget. Untung aja masih jam istirahat. Kugelengkan
kepalaku sambil menghela napas. “Pleaasee!” Aku masih
menggelengkan kepala. “Aku kasih traktir cokelat deh,” katanya
mencoba menyogokku. Aku masih menggeleng. “Ih, apa dong. Oh,
gak aku godain lagi deh, ya, ya, ya.”
“Both.”
“Deal!” Aku tersenyum dan memberikan bukuku padanya.
Selesai menyalin PR, pelajaran pun di mulai. Selama pelajaran
percakapan kami normal kembali dan sesuai janjinya Mayang tidak
membahas aku dan Rizky lagi. Walau sebenarnya jauh dalam hati,
aku senang membahasnya.
Setelah pelajaran selesai, sembari merapihkan bukuku aku
bertanya pada Mayang, “May, kamu lagi kenapa sih? Tumben banget

138
nanyain status aku sama Rizky?”
Mayang menyeringai, “Gak apa-apa kok.”
Kami segera bergegas keluar kelas. Saat keluar kudapati Rizky
sudah duduk di depan kelasnya dengan beberapa temannya. Aku
menatapnya sekilas, dia menoleh padaku, menepuk pundak temannya
dan segera berdiri untuk menghampiri kami.
“Langsung pulang?” tanyanya sambil menatapku.
Belum sempat aku menjawab, Mayang menyelak, “Jajan dulu
dong, hihihi,” godanya.
“Pulang sana kamu, My!” kataku sambil mendorongnya. Rizky
hanya tersenyum.
“Emang mau pulang kok!” Ujarnya sambil membenahi tasnya.
“Byee!” ucapnya sembari melambai dan berlari ke arah pacarnya di
kelas yang lain.
Aku mendengus. Memang anak satu itu.
“Kamu mau jajan?”
“Boleh, kalo gak salah deket pasar ada café yang lagi viral itu,
kan searah pulang.”
“Oke,” kami pun berjalan ke arah parkiran. “Gak kerasa udah
mau lulusan, kamu jadi ambil graphic design?” tanyanya.
“Hmm, gak tau juga sih, soalnya TGP tuh mahal semesterannya.
Tapi gak tau juga sih, liat aja nanti deh dapetnya di mana, soalnya
pengennya yang gak terlalu jauh juga, biar masih bisa pulang ke
rumah.”
“Iya sih, aku juga kayaknya.” Rizky menyodorkan helmnya.
Memang aku selalu diantar Mama saat berangkat, tapi kalau pulang

139
pasti sama Rizky. Padahal arah rumahku berbeda darinya, tapi selalu
dia yang mengantarku pulang. “Siapa tau arah kampus kita searah
nanti, jadi bisa tetep anter kamu pulang.”
“Lah, emang pelajarannya nanti sama?” Tak bisa aku menahan
senyumku dengan perkataannya itu.
“Oh iya juga ya, yah liat nanti deh,” ucapnya sambil menaiki
motornya. “Ayo. Uang parkirnya ada?”
“Ada dong,” kataku sambil mengibaskan selembar uang dua
ribu. Selama di jalan tiada hentinya aku berbicara, entah bagaimana
dia selalu bisa memancingku untuk selalu berbicara.
Kedekatan kami berawal dari sebuah kompetisi, sebuah
kompetisi yang sebenarnya hanya aku yang merasa bahwa itu adalah
tantangan darinya. Dari dulu Rizky selalu mendapat ranking satu
dan aku merasa kalah darinya. Padahal hobi kami sama, maksudku,
kami selalu main game bersama, bahkan kelihatannya dia yang lebih
sering main daripada aku. Tapi kenapa dia bisa dapat ranking satu
dan aku hanya bisa ranking empat. Berkat itu aku bertekat untuk
mengalahkannya. Semenjak itu guru-guru mengandalkan kami dan
itulah kenapa kami selalu bersama.
Kompetisi ini masih kulakukan sampai sekarang. Walaupun
kami berbeda kelas, aku merasa sangat puas dapat mempertahankan
rankingku dan tetap menikmati sekolah. Aku tetap bisa mengikuti
kegiatan-kegiatan di organisasi dan membanggakan orang tuaku
dengan nilai yang kudapat. Tapi di kelas 3 ini, kami dianjurkan untuk
tidak mengikuti kegiatan organisasi agar bisa fokus dalam pelajaran
dan mempersiapkan diri untuk universitas.
Sesampainya kami di café, aku segera turun dan memberikan

140
helmku ke Rizky. Aku menunggunya, agar kami masuk bersama.
“Emang yang viral menu apa?” tanyanya sambil berjalan di
sampingku.
“Toast! Ada toast yang dagingnya banyak, just like what you
loved!” kataku dengan semangat.
“Oh, is it? Let’s see then,” Begitu memasuki café aku segera
menuju ke counter untuk memesan. “Pesenin ya, kan kamu yang tau
menunya.”
“Oke, oke.”
“Mau pesan apa?” tanya si pelayan.
“Hmm, toast… curry chicken sama bulgogi.”
“Baik, minumnya apa?” Aku menoleh ke arah Rizky.
Mengisyaratkan kalau dia harus memilih sendiri.
“Latte.”
Sudah kuduga. Mendengar jawabannya aku langsung mencari
minum yang gak bikin seret. “Aku es teh aja, Mbak,” jawabku
“Baik, saya ulangi pesanannya ya. Curry chicken toast satu,
bulgogi toast satu, latte satu dan tea satu.” Aku mengangguk. “Baik
akan kami antarkan, silakan duduk dulu ya.”
Aku dan Rizky pun mencari tempat duduk. Kami duduk
berhadapan. “Jadi, tadi ngomongin apa sama Mayang?” tanyanya
memulai pembicaraan.
Kenapa dia tanya itu sih, aku belum ada persiapan untuk
membahasnya. Aku pun mulai gugup untuk menjawabnya, “Ya, itu,
apa. Itu.”
“Itu apa?”

141
“Kan tadi Mayang udah jawab,” jawabku sedikit kesal.
“Terus kamu jawab apa?”
“Kira-kira apa?” jawabku spontan.
Rizky menatapku, memangku dagunya. “Hmm… give
your hand.” Dia menjulurkan satu tangannya ke arahku. Aku
pun memberikan tanganku tanpa berpikir panjang. Saat tanganku
memegang tangannya dia terkekeh sambil berkata, “Well, it’s obvious
that you’re mine isn’t it?”
Aku terkesiap dan sontak menarik tanganku, “Curaaaangggg!!!”
Bisa-bisanya dia bilang begitu dengan entengnya. Mendengarku
begitu raut wajahnya berubah.
“You don’t like it?”
Aku pun menutup wajahku dan menjatuhkannya ke meja.
“Bukan begituuu,” kemudian aku menatapnya di sela-sela jariku.
“Say it.”
Dia menatapku. “I love you,” ucapnya sambil tersenyum.
Argh, aku kalah lagi. “I’ve been waiting,” ucapku dengan
suara pelan.
“Silakan pesanannya.”
“The toast!” Pesanannya datang disaat yang tepat, aku
terselamatkan. Ah, thanks Mayang, berkatmu aku bisa mendengar
kata-kata yang sudah kutunggu lama sekali. “Makasih, Mbak” ucapku
pada sang pelayan.
“Jadi yang ditunggu rotinya nih?” kata Rizky menggodaku.
“Both,” kataku.
“Both?”

142
“Yep. You and this,” kataku sambil menyantap roti panggang
yang sudah ada di hadapanku. Rizky tersenyum dan ikut melahap
rotinya.
“Oh! It’s good!” ucapnya.
“Ya, kaan?” ucapku yang merasa bangga karena dugaanku
benar dia akan menyukainya. Selesai makan, aku menunggunya
menghabiskan kopinya.
“So, won’t you say it back?” Rizky menatapku lagi.
“Say it back,” kataku dengan entengnya.
“Oke, aku ulangin ya. I….”
“Iya iyaa!! Aaaa, jangan buat aku malu,” potongku.
Dia tertawa. “Thanks. Karena aku juga malu bilangnya.” Dia
berdiri. “Ayo pulang.”
“Minum dulu nih,” kataku sambil menyodorkan gelas tehku.
“Hahaha, iya, tau aja seret.”
“Of course, emang aku gak hafal apa.” Dia tertawa lagi dan
kami pun pulang dengan perasaan yang amat sangat bahagia.
Tahun-tahun pun berlalu dan kami masih tetap bersama. Semua
ini berkat Mayang yang kepo. Terkadang kita mudah marah karena
keingintahuan tentang kehidupan pribadi seseorang, tapi semenjak itu
aku sadar, bahwa kepo sebenarnya adalah salah satu bentuk perhatian.
Dan aku merasa sangat berterima kasih dengan itu.

SELESAI

143
Dhevita Mustika P
Lahir di Kota Bogor yang dikenal sebagai kota hujan. Seorang
yang mengeluti banyak hal, dimulai dari menulis cerita-cerita
pendek di fanfiction, ilustrasi, membuat komik 4 panel, dan lainnya.
Sebelumnya pernah menjadi seorang guru, untuk saat ini menjadi
seorang admin di sebuah kantor ekspedisi. Terlepas dari itu semua,
ia merupakan seorang yang menikmati cerita yang ringan, bermain
game, quality time dengan keluarga dan jalan-jalan ke tempat yang
memiliki pemandangan dan udara segar.

144
Ada Bara di Matanya
Enny Hidajati

Aku beringsut dari tempat tidur. Ogah-ogahan


sebenarnya. Namun, suara Emak kalau sudah berkumandang,
tiada duanya. Lengkingannya cuma bisa ditandingi sama si
Agnez Mo. Se-RT juga bakalan dengar jika tidak disetop dengan
kemunculanku.
“Iya, Mak!” Kurendahkan suara. Maksudku, biar Emak
terhipnotis dengan nada dasar yang kutawarkan.
“Emak dah manggil berapa kali?” Lumayan, agak turun
juga. “Itu, anterin sayur pesanan ke Bu Rio. Lanjut ke Tante
Puji, Jangan lupa, mampir ke warung beli telur buat besok.”
“Riri mana, Mak?”
“Pecah semua, nanti! Riri ada tugas lain, metikin kangkung.”
Emak mengulurkan kantong plastik. Sekilas kulirik catatannya.
“Kenapa gak sekalian tadi sih. Mak? Ini mesti balik lagi …
muter-muter lagi!”
“Ini pesanannya mendadak. Udah, jangan banyak protes.
Rezeki engak boleh ditolak!”
Emak emang begitu. Tak boleh dilawan. Hanya ada satu kata:
segera!
Kukayuh sepeda yang sejak masuk SMP menemani. Itu
sepeda warisan dari Abang Dito. Dia dapat hadiah lomba siswa
berprestasi tingkat kabupaten. Sekarang, kupakai ke mana pun aku
pergi.

145
Terik makin menyengat. Sebentar lagi masuk waktu makan
siang. Sayur dan lauk-pauk ini harus segera sampai ke tujuan.
Rata-rata, pelanggan Emak adalah warga perumahan di
samping kampungku. Dulu, waktu Ayah masih ada, Emak bekerja
membantu beberapa warga di situ. Bersih-bersih rumah, mencuci
baju, menyeterika, membantu memasak. Ada 3 rumah dalam sehari.
Kini, Emak memilih berjualan sayur dan lauk siap makan.
Sejak pandemi ini, Ibu-Ibu warga kompleks itu enggan keluar.

Jujur, aku sih lebih senang Emak bekerja saja, Enggak mesti
keliling tiap hari ngantar pesanan usai belajar daring.
“Bara, sampaikan ke Emak. Besok pesanannya sama. Sayur
seporsi, tahu, tempe, dan sambal. Hanya ikannya diganti ayam bakar
aja.” Kuanggukkan kepala. Kuterima uang dari Bu Rio. Lanjut ke
antaran berikutnya.
“Bara, kamu mau lanjutin ke SMA mana? Mau ikut kakakmu
ke Yogya?’ Pertanyaan Tante Puji cuma kujawab dengan senyum
“Belum tahu, Tan. Nanti lihat kondisi lagi.”
“Kan sudah ada abangmu dan nanti anak Tante juga di sana.
Biar kalian sama-sama lagi.” Diangsurkannya beberapa lembar
rupiah.
“Kelebihannya buat jajan kamu,”
Kuucapkan terima kasih dan berlalu. Masih ada yang kutuju.
Telur pesanan Emak kubawa hati-hati. Tak bisa kubayangkan jika
pecah. Alamat seharian diomelin melulu.
Sepanjang pulang, panas matahari tak kurasa lagi. Aku malah

146
terngiang ucapan Tante Puji tadi. Masih lekat juga obrolanku dengan
Tio, beberapa hari lalu di Whatsapp.
[“Lu lanjut ke mana, Bar? Kita samaan kuy. Lu tahu, kan?
Gue orangnya susah nyari temen.”]
Kubalas dengan emot alis terangkat satu.
[“Suwer. Cuma Lu yang paling ngertiin gue. Nyokap juga gak
paham soal gue.”]
[“Kayaknya gak mungkin. Kali aja, Emak takut, kagak ada
yang bantuin anter-anter pesanan lagi. Wkwkwk”]
[“Kan ada adikmu?”]
[“Iya, tapi tetap gue yang diandelin. Kamu, sih enak. Kagak
mikir apa-apa lagi. Mau nerusin ke mana, ayo aja!”]
[“Ah, kata siapa? Gak mau ikutan Abang?”]
Seringkali aku merasa iri dengan Abang Dito. Enak bener
hidupnya. Lempeng. Sejak SD dah jadi juara umum. Masuk SMP
begitu pula. Lolos ke Olimpiade Sains Nasional di Jakarta dan dapat
medali. Wuih, emang teope begete!
Itulah yang bikin abangku yang pendiam itu dapat beasiswa.
Ada sekolah keren di Yogya. Biaya full ditanggung. Yang jelas. kalau
misal uang masuk sekolah itu dibayar dari jualan sayur, entahlah.
Berapa belas tahun baru bisa lunas. Kata Emak, SPP per bulan saja
lebih besar dari biaya makan kami sebulan.
Aku sih cukup tahu diri. Kagak mungkinlah, Emak mau
nyekolahin aku di sana. Namun, entah mengapa, mulutku keceplosan
juga.
“Mak, tadi Tante Puji bilang, mau masukin Tio ke sekolah

147
Abang.” Kuletakkan telur di meja. Emak sedang memetik cabai di
dekatnya.
“Ngaca lu, Bar. Duit dari mana buat ke sana. Kalau Abang,
emang dah rezekinya di situ. Makanya, belajar rajin biar pinter, Kamu
sih, mainin HP terus, kapan pinternya?”
Nah, betul kan. Baru sekalimat aku nanya soal sekolah Abang,
jawaban Emak panjang bingit kayak antrean gerbang tol mudik
lebaran.
“Makanya, kalau mimpi jangan lama-lama. Cepet bangun!
Kamu sih, molor mulu. Sana cuci telurnya, terus direbus!”
Yah, ujungnya! Telur pun kuangkat lagi.
***
Habis Subuh, kembali berkutat dengan masakan Emak. Tugasku
macam-macam. Hari ini, memotong kacang panjang dan mengiris
bawang. Lantas, bantuin menyiangi ikan dan cuci-cuci ayam.
Emak mengambil baskom isi kacang panjang yang sudah
kucuci. Menuangkan ke kuali besar bumbu.
Aku beranjak. Handuk di tangan kiri.
“Tumben, pagi-pagi dah mandi.”
“Mau diajak Tio daftar Bimbel, Mak”
Habis mandi, kudekati Emak.
“Mak, Bara boleh ikutan? Itu tempat Abang kursus dulu.
Sekalian daftar.” Emak menghentikan adukan sayurnya.
“Duit dari mana, Bar? Abang kan dulu menang lomba. Jadi
bisa gratis kursus di situ.”
“Katanya, disuruh tekun belajar, biar pintar”

148
“Iya, tapi gimana caranya biar gak usah bayar. Contoh, tuh
Abang.”
Yah, Abang lagi, Abang lagi!
Aku mendekati Riri yang tengah mengupas telur. Kuraupkan
tangan yang basah ke wajahnya.
“Ih, Kakak. Basah, nih!” Aku ngakak. Senang nian lihat wajah
manis itu manyun.
“Nih, buat lap!” Kututupkan handuk ke wajahnya.
“Ih, ogah. Bau!” Dilemparkan kembali ke arahku.
Kucowel pipi tembemnya
“Ih… sakit, Kak! Emak!” teriaknya nyaring seperti kaleng
kosong dimainin si Empus. Kabur ….
“Umbara … berhentilah gangguin adikmu!” Sayup kudengar
suara Emak dari kamar. Aku senyum-senyum.
Habis sarapan, kujabat tangan Emak. Bagaimanapun juga, aku
anak yang baik.
“Jangan lama-lama ya. Nanti bantuin Emak!” Kalau
menyangkut Tio dan Tante Puji, Emak biasanya ho-oh aja. Maklum,
pernah 10 tahun bekerja di sana. Tio sudah dianggap anak sendiri.
Mobil Tio datang menjemput. Ada sopir yang siap menemani ke
mana pun dia pergi. Emang lain kalau anak orang kaya itu, selorohku.
Sejak kecil, aku sudah sering diajak Emak main ke rumah
Tio. Bahkan, Tante Puji sering menyuruh kami menginap menemani
Tio. Urusan bisnis sering mengharuskannya ke luar kota, bahkan luar
negeri.
“Lu kagak daftar, Bar?” Aku menggeleng. Aku tahu, Tio tak

149
perlu jawaban lagi dariku. Kami duduk di Taman Bimbel yang asri.
Kantor belum buka, kepagian.
“Gua sebenarnya malas ikut ini.” Tio mengucapkan pelan.
“Kenapa? Gua malah pengen banget. Biar Emak enggak
bandingin terus sama Abang.”
“Gua malah ilfil, muak! Hidup gua diatur terus sama Mama.
Pengen sekali-sekali memberontak!” Nada bicara Tio meninggi.
“Lu pikir, gua nyaman di rumah? Mama dan Papa berantem
terus. Apalagi sekarang, Mama sering uring-uringan. Bisnis Papa
turun drastis. Jarang pulang! Gue yang sering jadi sasaran amukan
Mama. Semua serba salah! Duh, mau pecah kepala gua!”
Kulihat Tio membanting tasnya.
“Buat apa belajar payah-payah, kalau gak ada yang menghargai.
Buat apa capek-capek sekolah, kalau gak dari hati!”
Aku tak bisa berkata apa-apa, Kuelus pundaknya. Suwer, baru
kali ini aku melihatnya menangis. Dulu, pernah menangis waktu main
sepeda dan nyungsep di got.
“Jadi, ngapain kita ke sini?” tanyaku tak mengerti. Tio
mengangkat bahunya.
“Gua piker, Emak lu bisa bantu gua.”
“Maksud. Lu? Gua aja, tiap hari berantem sama Emak.
Samalah, nasib kita!”
“Lainlah! Lu beruntung, Bar! Emak ngajarin kenyataan,
banyak pilihan. Lu juga sudah disuruh berpikir jauh ke depan. Lu
punya tantangan. Lu punya hidup yang lengkap, Gue iri. Jujur!”
Aku terdiam. Benarlah yang pernah kubaca itu, syukuri apa

150
yang ada di tangan, bisa jadi itu sesuatu yang sangat diimpikan oleh
orang lain.
“Jadi, maksud lu?”
“Biar Emak yang nyampain ke Mama. Gua gak mau sekolah
di Yogya. Biarlah mantep di Palembang ini saja. Gua tak mau diatur-
atur terus sama Mama.”
“Emang Emak bisa nyampaikan ke Mama? Yakin?”
Tio mengangguk mantap.
“Mama itu salut sama Emak lu. Mama sering cerita kehebatan
Abang, juga, lu dan Riri sering dipuji. Kalian anak yang berbakti,
pintar ngebantuin orang tua.” Aku menyeringai.
Tetiba, kurindu wajah Emak. Rindu omelannya, Rindu
dibandingin dengan Abang. Meski itu sering meyakitkan bagiku.
Namun. pelan kumengerti kini. Itulah cara sederhana Emak buat
bangkitkan harga diri dan daya juangku.
“Aku iri, lihat mata lu yang membara itu, Umbara.” Tio
menatapku.
Kurangkul pundaknya.
“Kita hadapi bersama, Bro! Cuma, gua punya syarat. Lu
daftarlah Bimbel ini.”
“Gua juga punya syarat, Lu harus mau gua daftarin juga.” Tio
menepuk saku kanan belakang celananya. Tawa kami berderai.

SELESAI

151
Enny Hidajati
Adalah ibu dari 5 anak, 4 laki-laki dan 1 perempuan. Sehari-
hari aktiv sebagai dosen di sebuah PTS di Palembang. Perempuan
kelahiran Ngawi, 26 Agustus ini menyukai tulis menulis, pembacaan
puisi, dan teater sejak masih SMP dan berkembang ketika kuliah di
Sastra Indonesia UGM. Belasan antologi nonfiksi, fiksi dan puisi
sudah terbit, diantaranya Multitasking Mom, Dongeng Sebelum
Tidur, Satwa Punya Cerita, Antologi Cerita Anak,Anak Perempuan
Bertanya dan Ibu Menjawab, Semesta Beryukur, Batas Keangkuhan,
dan Goresan Penaku, Marahkah Tuhan. Si Kribo, dan lainnya.
Penulis dapat dihubungi lewat surel ennyhidajati@gmail.com

152
Antara Jarak dan Waktu
Rifqah Kamilia

Hari semakin larut, dan aku masih tetap bersamanya. Aku akan
menghabiskan waktuku dengannya sebelum ia pergi jauh. Oh…,
sungguh akankah aku merindukannya?
“Besok, aku ke Australia pagi-pagi,” ujarnya sambil mengambil
tangan kananku lalu mengamitnya. Akankah aku kuat dengan Long
Distance Relationship yang orang bilang jika melakukan Long
Distance Relationship atau yang biasa disebut ‘Ldr’, ini hanya
berakhir dengan sakit hati dan hanya 15% dari 100% orang berhasil
menjaga hubungannya dengan baik.
“Kamu yakin mau ke sana?” tanya Qiana yang sebenarnya
agak ragu ditinggal oleh kekasihnya yang bernama Reynald itu.
Qiana terus memandang wajah kekasihnya itu, mata yang berwarna
hazelnut, dengan bulu mata yang sedikit lentik, kesukaannya.
Reynald mengelus rambut Qiana pelan, “Tenang saja! Aku
akan baik-baik saja di sana, dan…” lelaki itu menghela napasnya.
“Aku mohon agar kamu mengerti, aku di sana hanyalah bersekolah,
agar hidupku sukses dan mendapatkan uang yang banyak untuk
menghidupi kamu dan anak-anak kita nanti!” seru Reynald dengan
semangat.
Reynald memanglah laki-laki yang humoris, bertanggung
jawab dan sangat dewasa, sehingga tidak heran jika banyak wanita
yang menyukainya. Tapi Reynald tetaplah Reynald, ia akan memilih
wanita yang baik untuk menjadi kekasihnya dan pasangan hidupnya

153
nanti. Tapi tidak semudah itu mereka menjalankan hubungannya,
beribu-ribu rintangan telah mereka lewati dari dibully, diganggu,
hingga akhirnya bisa tenang dari semua cibiran tersebut seperti
sekarang ini.
Di taman yang sangat indah, dengan bunga-bunga berbagai rupa
mengelilingi mereka, menatap indahnya langit-langit pada malam
hari disertai bintang yang selalu setia menemani bulan menjadi saksi
bisu dari perjuangan baru mereka yang akan dimulai.
Qiana masih terdiam di tempatnya, menatap langit gelap itu
dengan tatapan kosong, membayangkan apa yang akan terjadi jika
kekasihnya itu benar-benar pergi bersekolah di Australia selama 6
tahun.
Tiba-tiba Reynald menarik tangannya, “Mau ke pasar
malam?” tanyanya sambil tersenyum sumringah pada Qiana,
Ya…, senyumannya yang itu hanya diperlihatkan untuk Qiana
seorang, khusus untuk Qiana. Hari pun semakin larut, mereka telah
menghabiskan waktunya selama 24 jam. Qiana hanya bisa pasrah
menunggu hari esok.

***
Hari, menit dan detik ini juga sebuah perjalanan besar akan
dimulai. Lika-liku yang lebih berat dari yang mereka rasakan
sebelumnya. Rasa kepercayaan dan cinta yang sangat-sangat diuji,
melawan keraguan dan memperteguh kepercayaan terhadap masing-
masing adalah cara mereka untuk bertahan.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, Reynald sudah
rapih dan siap untuk berangkat, tepatnya pada pukul 07:32 mereka
semua sudah berkumpul di bandara untuk mengantar kepergian

154
Reynald ke Australia termasuk Qiana.
“Ikut aku yuk!” seru kekasihnya itu sambil menggenggam erat
tangan Qiana dan yang ditanya hanya menautkan alisnya sebagai
pertanda ‘Ke mana?’
“Kita mau ke mana, Rey?”
“Ck, bawel deh,” balas Reynald.
Reynald masih setia menggenggam tangan Qiana sampai
Reynald menemukan tempat tujuannya. Reynald berhenti di depan
sebuah Indomaret kecil-kecilan.
“Kita ngapain ke sini…, Rey, kamu laper? Kalo tau gitu tadi
aku masakin makanan kesukaan kamu. Kamu tuh harus makan,
gaboleh laper, harus jaga pola makan, harus…,” celoteh yang belum
saja ia selesaikan langsung dipotong oleh sebuah jari telunjuk yang
kini berada di depannya bibirnya sekarang ini.
“Ngga gitu, astaga.” Reynald menatap mata Qiana, sekarang
pandangan mereka sudah bertabrakan, saling menatap satu sama lain.
Tiba-tiba ada semburat yang membuat pipi Qiana kini bersemu merah
karena melihat tatapan kekasihnya itu.
Reynald yang tadinya memasang wajah tersenyum sekarang
berubah menjadi wajah menyebalkan nan absurd. “Gitu doang udah
merah pipinya, gimana sih, gimana aku mau ninggalin kamu di
sini kalau kamunya begitu, cantik.” Seketika wajah Qiana menjadi
berubah, seperti orang yang ‘Nolep,’ alias No Life dengan bibir yang
agak dicondongkan ke depan semakin terlihat bahwa dia sedang
‘Ngambek,’ Reynald yang melihat perubahan wajah kekasihnya itu
hanya cekikikan.
Mereka berdua mulai masuk ke dalam Indomaret tersebut, saat

155
Qiana sedang asik melihat-lihat skincare, tiba-tiba kekasihnya itu
hilang entah ke mana. Ketika Qiana sedang melihat-lihat ice cream,
Qiana dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dari
belakang. Qiana hanya diam, dan diamnya itu semakin membuatnya
penasaran, detik-detik saat Qiana menengok untuk melihat siapa yang
menepuk bahunya tadi, sangatlah menegangkan!
Dan… Yap! Ternyata itu adalah kekasihnya, Reynald. “Kamu
mau apa?” tanya Reynald sambil melihat-lihat ice cream. “Mau
ini? Aku tau kamu suka ice cream ini, baiklah mari kita ambil dan
membayarnya ke kasir,” ajak Reynald, lagi dan lagi menggenggam
tangan Qiana.
“Berapa, Mba?” Reynald membuka dompetnya dan
mengeluarkan satu kartu kreditnya, kemudian memberikan kartu
kreditnya itu pada kasir untuk membayar belanjaan yang mereka beli.
“Kamu sekarang udah suka minuman itu, Rey?” tanya Qiana
syok melihat salah satu minuman kaleng favorit nya itu ada di tangan
kekasihnya. Seingat Qiana, Reynald tidak menyukai minuman-
minuman yang berkaleng.
Reynald menggeleng, “Sebenernya aku,” katanya terputus lalu
berdeham. “Kita minum berdua, ya? Aku ga terlalu suka,” ucapnya
jujur.
Reynald membuka penutup kalengnya lalu menatap Qiana,
“Siapa duluan nih?” tanyanya sambil nyengir.
“Suit dong! Yang kalah minum duluan dan harus minum lebih
banyak, Oke?” tantang Qiana yang sangat bersemangat, Reynald
yang melihatnya tertawa kencang, dan mereka langsung melakukan
suit “Batu, gunting, kertas.”

156
“Suu…, It! Suit!” ucap mereka berbarengan, Qiana
mengeluarkan senjata suit andalannya, gunting. Sedangkan Reynald
kertas. Terbukti bahwa Reynald kekasihnya itu sudah kalah telak,
kertas jika dihadapkan dengan gunting pasti kalah! Kertas yang
tekturnya tipis dan mudah dirobek membuatnya mudah untuk di
gunting. Beda dengan batu yang tekstur permukaannya tebal, keras,
dan sulit untuk dihancurkan.
“Kamu kalah, Rey!” Qiana gembira, “hayulu…, Abisin!
Abisin!” tuntut Qila dengan tepukan tangannya.

***
“Hati-hati di jalan, Rey! Jangan lupa do’a!” teriak Qiana
saat Reynald sudah menaiki pesawatnya. Saat Reynald sudah naik
ke pesawat, mereka hanya bisa mengangkat tangan mereka sambil
menggerakkan-gerakkannya ke kanan dan kiri seperti yang orang
sebut dengan kalimat ‘Dadah,’
Qiana pun pulang dengan bersedih hati membiarkan kekasihnya
pergi ke Australia dan membiarkan jarak sejauh 3.445 km, timbul di
tengah-tengah hubungan mereka.
Saat sampai rumah Qiana membuka kotak merah yang mewah,
bukan berisi cincin, tapi penutup kaleng bulat bekas minuman kaleng
tadi. Dibukanya dengan pelan, ada sebuah penutup kaleng bekas tadi
dan secarik kertas.
“Apakah ini hadiah yang Rey berikan padaku?” batinnya.
Qiana mengambil dan membuka secarik kertas yang diselipkan di
pinggir dalam kotak merah tersebut. Terlihat ada beberapa kata yang
diubah menjadi sebuah kalimat indah menghiasi kertas putih polos
itu.

157
Dear Qiana,
Hai! Ratu di dalam hatiku, Apakah kau sudah merindukanku?
Aku tau saat sampai rumah kau akan membuka secarik kertas
yang aku selipkan ini.
Aku ingin kau menjaga hatiku untukmu, sayang.
Begitu juga sebaliknya. Sungguh, aku akan merindukan
senyumanmu dan wajah konyol itu.
Teruslah menelponku, aku akan sangat merindukanmu.
Jangan lupakan janji penutup kaleng kita, simpan penutup
kaleng itu sampai aku pulang kesana.
Dan jangan biarkan jarak ini memisahkan kita.
Saat aku pulang, akan ku bawakan kau oleh-oleh yang banyak!

Begitulah isinya, tidak terasa air mata Qiana jatuh perlahan


tanpa izin dari pemiliknya. Qiana memeluk erat surat itu lalu menangis
sejadi-jadinya. Hari ini akan menjadi awal yang berat bagi Qiana.
Keraguan yang harus dilawan, kepercayaan yang harus diteguhkan
dan cinta yang harus diperkuat menjadi solusi atas ujian ini.

***
Tak terasa 5 tahun sudah Qiana menjalani hari-harinya tanpa
didampingi Reynald, hanya ada cintanya dan sebuah bayangan yang
selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Hampa, itulah yang ia
rasakan sekarang. Menjalankan hubungan yang dipisahkan oleh jarak
sejauh 3.445 km tidaklah mudah.

158
Sekarang sudah pukul 18:00 dan Qiana akan mengabari
kekasihnya yang tinggal jauh di Canberra, Australia. Dikarenakan
Qiana yang tinggal di Jakarta membuat selisih waktu antara mereka.
Reynald yang waktunya 4 jam lebih cepat di sana. Gadis cantik itu
berpikir apakah kekasihnya itu sudah tidur atau belum.
Selama ini mereka hanya berkabar lewat aplikasi ‘Whatsapp,’
dan ‘Video call,’ saja. Qiana selalu menantikan waktu itu tiba…,
Ya, waktu disaat Reynald pulang ke Jakarta dan kembali untuk
menghabiskan waktu bersamanya.
Qiana jadi teringat saat Reynald dan dirinya berdebat hanya
karena minuman kaleng. Bibir yang selalu tersenyum dan kata-kata
romantis yang disertai dengan wajah kocak nan absurd membuat
dirinya semakin merindukan Reynald.
“Rey, ayo dong diminum, itu enak tau,” rengek Qiana pada
Reynald.
“Oke-oke aku minum tapi ngga banyak ya!” balasnya sambil
meminum minuman kaleng tersebut.
“Ih, kok dikit banget si Rey, kan kamu udah janji.”
“Iya bawel,”Reynald memberikan botolnya pada kekasihnya
itu, “Nih abisin, aku kurang suka.”
Qiana mengambil botol tersebut dan tidak ada isinya, “Lah,
ini kamu abisin? Tuh kan doyan, aku bilang juga apa!” Reynald
dan Qiana tertawa kencang, sangat terlihat kebahagiaan di wajah
mereka pada saat itu.
Dan saat itu juga rasa kantuk mulai menyerangku, aku sudah
tidak kuat menahan mata ini, tubuh ini pun langsung menjadi lunglai.
“Aku berharap bisa bertemu kekasihku walau hanya di mimpi,

159
kumohon,” lirihnya lalu Qiana tertidur.

***
“Halo…, Rey, kamu udah tidur?” tanya Qiana memulai
percakapan di handphone mereka.
“Belum nih, lagi nugas, nggak bisa tidur aku,” balas Reynald
di sebrang sana.
“Pasti gara-gara nonton Naruto!” seru Qiana pura-pura
marah.
“Hm… ya begitulah!” katanya sambil tertawa.
“Kamu kapan pulang Rey? Ini udah hampir 6 tahun loh,” ucap
Qiana mengingatkan sekaligus bertanya.
“Udah dulu ya, aku capek, selamat istirahat.” Reynald
mengakhiri sambungan teleponnya sekaligus mengakhiri percakapan
mereka hari ini.
Setiap ditanya kapan pulang, Reynald langsung mengalihkan
topik pembicaraan mereka atau yang lebih parahnya lagi mengakhiri
sambungan teleponnya seperti tadi.
Qiana sangat khawatir jika seandainya Reynald memang tidak
akan pulang menemuinya lagi. Apakah Rey tidak akan kembali? Apa
Rey telah menemukan yang lebih care dariku? Entahlah, beribu-ribu
pertanyaan tentang Rey membuatnya pusing dan semakin pusing.

***
Pagi ini Qiana akan menjemput kekasihnya itu di Bandara.
Ah… sungguh Qiana sangat merindukan kekasihnya yang konyol itu.
Subuh tadi Reynald mengirim chat kekasihnya itu melalui aplikasi

160
‘Whatsapp,’ bahwa dia akan pulang ke Jakarta hari ini.
“REY DISINI REY!” teriak Qiana.
Reynald yang mendengar suara teriakan Qiana pun langsung
menghampirinya.
“Ck, nggak berubah sama sekali!” celetuk Reynald dengan
wajah konyol nan absurd-nya itu.
“Iya dong!” balas Qiana menampilkan senyum kebahagiannya.
“Mau ke mall ?” tawar Reynald.
“Ngapain?” Sungguh pertanyaan yang benar-benar tidak
berbobot.
“Nih, aku kasih tau ya, cewek normal tuh kalo diajak ngemall
pasti seneng banget, ada yang loncat-loncat, bahkan ada yang yang
teriak-teriak kayak gitu.” Reynald mengangkat jarinya lalu menunjuk
seorang wanita yang sedang berteriak tidak jelas di dekat mereka,
“Lah ini kamu kalo diajak ngemall malah banyak tanya.”
“Jangan-jangan kamu reinkarnasi Dora, ya?” tanya Reynald
ngaco, sebelum kekonyolan itu semakin menjadi-jadi, Qiana langsung
mencubitnya dengan cubitan maut yang membuat sang empu-nya
mengaduh.

***
“Aku pergi sebentar ya, kamu liat-liat aja dulu.” Reynald
melepaskan genggaman tangannya lalu pergi entah ke mana.
Dikarenakan Qiana yang tidak mau ditinggal sendirian di
dalam mall, ia langsung pergi mencari Rey yang keberadaannya
entah di mana.
Saat mencari Reynald, Qiana mendengar seorang laki-laki

161
yang menyanyikan lagu ‘Halalkanmu,’ suara yang begitu familiar di
telinganya. Semakin dekat dan semakin kencang. Qiana pun berbalik
untuk melihat siapakah yang menyanyikan lagu itu.
Betapa terkejutnya Qiana melihat kekasihnya membawa
sebuah kotak berwarna merah berisikan cincin yang tidak kalah
mewah dengan tempatnya. Reynald pun berhenti menyanyikan lagu
‘Halalkanmu,’ itu lalu menghampiri kekasihnya.
“Qiana Gricelle, will you marry me?” Qiana menatap mata
Reynald dengan sungguh-sungguh. Tidak terlihat kebohongan di
matanya. Gadis berambut panjang itu langsung mengangguk secepat
kilat.

SELESAI

Rifqah Kamilia
Siswi dari salah satu Sekolah Menengah Pertama yang ada di
Kota Bogor. Usianya baru 14 tahun. Ia bercita-cita menjadi seorang
penulis. Buku antologi teenlit ini adalah karya pertamanya’

162
Putih Abu-Abu Kita, Berbeda.
Laila Sahlah

“Nis, kapan kita diajak makan-makan ke rumah loe lagi?” sapa


Dea sambil menyodorkan seblak ceker pesananku.
“Iya Nis, kapan? Gue rindu sama nyokap loe, pengen curhat,
nyokapnya Ninis mah auto gaul, pokoknya asyik banget kekinian,”
cerocos Tama sambil merem melek menikmati pedasnya seblak yang
dibawa Dea.
“Sebenarnya kalian temen gue atau temen nyokap sih?”
timpalku sambil cemberut dan menikmati pedas dan lezatnya seblak
ceker.
“Dua-duanya Nis, sahabat loe dan temen nyokap,” jawabnya
sambil tertawa dan mengedipkan mata.
Dan tak hanya mereka berdua yang merindukan Bunda,
masakan, dan keramahannya, tapi juga semua teman sekelompokku
yang biasa nugas, belajar, dan main bareng. Teman-temanku nggak
tahu, aslinya Bunda itu tegas-tegas galak gitu, apalagi mengenai
pergaulan.
“Woy, Nis kok bengong, ngelamunin Dafa yah?” seloroh Ica
sambil menyodorkan jus sirsak yang kupesan.
“Apa sih Ica, udah kelaut aja kali Dafa tuh,” ujarku meninggi.
“Baru jadian dah putus lagi,” cerocos Kekey sambil tepok jidat
dengan mulut penuh makanan.
“Siapa yang jadian? Temenan aja kali, sama kaya loe-loe pade
dan teman-teman cowok yang sekelompok dengan kita, apa kata

163
dunia kalau secuek dan sealim gue pacaran,” kelakarku penuh canda.
Dari depan pintu kulihat Rere berlari tergopoh-gopoh, “Nis
dipanggil Bu Lita ke kantor tuh,” ujarnya dengan napas yang masih
tersengal-sengal.
“Ada apa yah,? Jangan-jangan harus remed ujian kimia?”
timpalku cemas, dengan mulut yang masih kepedasan... setelah
kusedot jus sirsak, segera kutemui Bu Lita di kantor.
Kuketuk pintu kantor dan mengucapkan salam,
“Assalamualaikum Warahmatullohi wabarookatuuh, mohon maaf,
Bu Litanya ada?” tanyaku pada guru piket.
“Masuk, Nis,” terdengar suara Bu Lita dari dalam kantor.
“Baik, Bu,” jawabku sambil berjalan menuju sumber suara.
“Duduk Nis! Besok bisa bantu ibu menilai hasil ujian kimia?
besok datang ke rumah Ibu jam 09.00, jangan lupa izin ayah
bundamu!” tegas Bu Lita dengan senyum khas yang tersungging di
bibirnya.
“In sya Allah, Bu,” jawabku lega dan bahagia, sambil sekalian
pamit dan kembali ke kelas untuk menuntaskan seblak dan jus sirsak
yang masih tersisa.
Belum sampai ke depan kelas terdengar seseorang
memanggilku, ”Nis tunggu!” terdengar seperti suaranya Azzam sang
ketua kelas yang alim. Setelah kubalikan badan, Ternyata tebakanku
tepat.
“Iya Zam, ada yang bisa kubantu?” tanyaku sambil tertunduk,
karena Azzam terkenal alim, hafalan Qur’annya banyak, paling
disegani dan selalu ghadal bashor (menundukkan pandangan) kalau
bertemu lawan jenis.

164
“Nis, ada tugas ngemc di acara wisuda tahfidz pekan depan,
kamu bisakan?” tanya Azzam dengan tetap menjaga pandangan.
“In sya Allah Zam, minta susunan acaranya yah biar bisa
dipelajari,” timpalku sambil tertunduk dan sama-sama menjaga
pandangan.
“Okey nanti kita bahas di rapat sore ini, kamu bisa hadirkan,
Nis?” ujar Azzam.
“ In sya Allah, nanti coba izin Bunda dulu, ya Zam,” timpalku,
dan kami pun memasuki kelas diiringi bunyi bel selesai istirahat
kedua.
“Cie-cie pasangan serasi niih, pantesan Dafa yang ganteng
ditolak, ada yang lebih keren, mas Azzam,” ledek Ica sambil cengar
cengir.
“Apa sih Ica cuman ketemu di pintu doang, heboh banget,
lagian mana mau Azzam sama gue yang pecicilan gara-gara ketularan
loe,” selorohku sambil cemberut dan mendelik ke arah Ica.
“Ampun, Bosque, nggak akan kuulangi ngeledek dan ngajak
pecicilan,” jawab Ica sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatal,
dan aku segera duduk dengan wajah cemberut karena candaan ica
yang kelewatan.
Ica dan teman-teman nggak tahu kalau sekarang aku bukan
bucin lagi seperti waktu kelas 1, sekarang aku adalah cewek yang
ingin sukses dan siap masuk PTN bergengsi di kota Bandung.
Dari bangku belakang terdengar bisik-bisik sinis si cantik
Diana, “semuanya aja digebet, dasar cewek kecentilan,” ucapnya
sambil menyeringai dengan tatapan sinis. Dan aku benar-benar
nggak berhasrat untuk melayani celotehan Diana saat ini, yang

165
terbayang hanya senyum hangat dan kepercayaan bunda yang selalu
menyejukkan, bak oase di padang pasir.
“Nis, loe nggak dengar barusan Diana ngomong apa? Loe
nggak marah? Beneran yah loe auto sabar Nis, sejak kapan yah loe
berubah? Kayanya sejak kita sekelas sama Azzam deh,” bisik Ica.
“Ca, loe tuh nanya sendiri, jawab sendiri, dengerin yah Ca!
gue bener-bener nggak berhasrat buat ngelayanin Diana, unfaedah
banget, satu lagi, Ca, soal Azzam, gue nggak ada apa-apa sama dia,”
sungutku dengan tatapan mata menajam.
Kehadiran Pak Dirman mengheningkan suasana gaduh sesaat,
”anak-anak hari ini silahkan bermusyawarah untuk acara baksos
besok lusa, Bapak mohon izin tidak bisa membersamai kalian sampai
selesai,” ucap Pak Dirman, dan beliau langsung meninggalkan kelas.
Musyawarah segera terlaksana, dipimpin Azzam sang ketua
kelas, lagi-lagi aku ditunjuk sebagai penanggung jawab Baksos, dan
berhasil membuat Diana dan gengnya auto sinis.
“Teman-teman kita bagi tiga kelompok dengan masing
masing koordinator, kelompok 1, mengumpulkan dan mengepak
makanan, kelompok 2, mengumpulkan dan mengepak alat tulis dan
buku bacaan, kelompok 3,mengumpulkan dan mengepak baju layak
pakai, dan terakhir kita sepakati panti asuhan mana yang akan kita
kunjungi.” Azzam membacakan point pembahasan rapat.
“Sebaiknya kita voting aja Zam, biar enak.” Kucoba menengahi
dan menetralkan suasana yang semakin memanas, gaduh dengan
suara-suara tak jelas.
“Aku setuju dengan idenya Ninis,” seloroh Noval. Semuanya
setuju dan mengiyakan ideku.

166
Voting pun segera dilaksanakan, terpilihlah Nugi sebagai ketua
pelaksana, dan 3 koordinataor di antaranya ada Diana, Noval dan
Tama. Kami akhirnya memilih panti asuhan Cinta Bunda, sebagai
target baksos.
Azan Ashar menutup musyawarah dan kelas hari ini, setelah
berdo’a, semua siswa bergegas menuju suara kemenangan untuk
menunaikan salat Ashar, sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Aku memenuhi janji untuk menghadiri rapat persiapan wisuda
tahfizdul Qur’an, terdengar pesan masuk ke ponsel, “Nis kita rapat di
serambi mesjid yah,” pesan Azzam.
Rapat Rohis selesai tepat jam 17.00, aku segera berlari menuju
gerbang sekolah dan mencari ojeg yang siap mengantarku pulang.
“Nis!” Seseorang memanggilku, setelah kulirik ternyata Noval.
“Iya Val, kamu belum pulang?” timpalku, sambil mataku sibuk
mencari ojeg yang mangkal.
“Belum, Nis, tadi aku basket dulu, Ayo pulang bareng!
kebetulan jalur sore ini lewat rumahmu,” kelakarnya.
“Hallo...Noval, rumahku kan buntu, di ujung sendiri, jangan
ngaco ah,”selorohku.
“Aku antar Nis, please mau yah, test drive Nis, motor baru
Nih,” pintanya.
“Baiklah, terpaksa kuterima tawaranmu, lain kali nggak ah,
cari masalah aja,” sungutku ketus.
“Tenang Nis aku tahu batasan, lagian bundamu kan dah kenal
sama aku,” jawabnya kepedean, kunaiki motor baru Noval dengan
jaga jarak tentunya, ransel kugunakan untuk pengaman.

167
“Noval, kamu baru pulang?” terdengar suara Azzam menyapa
Noval.
“Iya, Zam, tadi latihan dulu buat persiapan minggu depan,
kamu ke mana tadi?” timpal Noval.
“Aku, ada rapat Rohis, in sya Allah besok siang ikut latihan
Val,” ucap Azzam sambil memicingkan matanya dan melihat ke
arahku yang hanya tertunduk diam.
“Aku duluan yah Zam, mau anterin penumpang dulu,” seloroh
Noval sambil tertawa dan menjalankan motor barunya, duuh betul-
betul nggak enak banget perasaanku, khawatir Azzam berpikir yang
enggak-enggak, tapi apa peduliku, dia kan bukan siapa-siapanya aku.
Motor pun melaju dan sampai dengan cepat ke depan rumah.
“Makasih yah Val, sudah nganterin,” ucapku singkat.
“Nggak dipersilahkan masuk dulu nih, tawarin minum
gitu,... nggak bercanda Nis, Salam buat Bunda yah,” seloroh Noval,
kuanggukkan kepala tanda aku akan menyampaikan salamnya sama
bunda.
Kuucapkan salam dan ketuk pintu, sembari duduk di kursi
tamu dan melepas sepatu, Bunda membrondongku dengan rentetan
pertanyaan.
“Pulang sama siapa Nis? Kaya bukan tukang ojeg! Ayo siapa?”
tanya Bunda penuh curiga.
“Noval, Bun, tadi aku dah nolak, tapi maksa Novalnya, katanya
test drive, Bun, motor baru, in sya Allah aman dan terkendali Bun, tas
ransel kujadikan sebagai pelindung dan pengaman, kita bener-bener
jaga jarak, oh iya dapet salam juga dari Noval dan teman-teman,”
cerocosku panjang.

168
“I trust with you honey, istikamahlah untuk menjaga kemuliaan
dan kehormatanmu sebagai seorang muslimah, ada Allah Swt yang
selalu mengawasi melalui malaikatnya dan seluruh anggota tubuh
kita yang akan menjadi saksi suatu hari kelak.” Bunda menasihatiku
sambil menyodorkan segelas teh manis.
“Iya Bun, aku ingat terus pesan Bunda, tapi...Bunda nggak
ngerasain sih, kalau Ninis suka dianggap sok alim, terus kondisi di
sekolah kan berbeda, Bun, dengan pesantrennya Bunda dulu, selain
ketat dengan peraturan, satu sekolah cewek semua lagi, lah di sekolah
Ninis cowok-cewek berada dalam satu kelas, zaman putih abu-abunya
Bunda beda sama jamannya Ninis,” curhatku sama Bunda sore ini.
“Bunda paham kok, kan hanya mengingatkan, dan kita harus
banyak-banyak berlindung Nis dari syetan yang akan menggelincirkan
kita, lewat teman atau lingkungan,” terus Bunda mengingatkanku.
“Iya Bun, Ninis paham, bantu do’a yah semoga bisa istikamah
dalam kebaikan,” pintaku pada Bunda.
“Tanpa diminta pun do’a ayah dan bunda senantiasa tercurah
untuk kesuksesan, keberkahan, dan perlindungan anak-anaknya,
bahkan jodoh, rezeki pun sudah kami minta dari dulu,” ujar Bunda
lirih.
“ I love you Bunda, auto meleleh nih, Bun,” desisku lirih
sambil kupeluk dan kucium pipinya.
“Oh iya Nis anaknya tante Rose juga satu sekolah sama kamu
katanya! ... namanya Azzam,” ucap Bunda.
“Azzam? owh, dia ketua kelas, Bun, anaknya alim, hafalan
Qur’annya banyak, dan jadi most wanted cowok seantero sekolah,
jago basket pula Bun, pokoknya good looking ,” jelasku pada Bunda.

169
“Oh dah kenal toh Nis, Azzam perfecto dan good looking yah,
harus hati-hati loh, khawatir ada Virus merah jambu menyelinap
hadir dalam hatimu,” canda Bunda sambil tersenyum.
“Ih apa sih, Bun,” timpalku, sambil mohon pamit untuk bersih-
bersih.
Bunda tuh tetep aja khawatir dengan anak ceweknya, padahal
aku dah berubah dan lebih memilih aktif di Rohis, apalagi mau naik
kelas 3, aku hanya ingin menjadi anak yang taat, berbakti, sukses,
dan masuk Fakultas Kedokteran,” gumamku sambil berjalan menuju
kamar.
Kami kembali berkumpul di meja makan setelah menunaikan
salat maghrib, malam ini minus ayah, karena beliau sedang ada tugas
luar kota, azan Isya memaksa kami untuk segera menyelesaikan
makan malam, dan segera menunaikan salat, lanjut menyelesaikan
tugas dan pekerjaan rumah masing-masing.
“Bun kapan Ayah pulang? Berasa lama banget perginya,
padahal baru dua hari,” ujar Nay adikku.
“In sya Allah besok lusa Nay, katanya mau cari oleh-oleh
dulu,” jawab Ibu.
“Bun besok aku izin ke rumah Bu Lita yah, disuruh bantu
menilai ujian kimia!” pintaku pada Ibu.
“Okey, tapi beresin dulu tugas wajibmu yah, Nis,” ujar Ibu,
sambil terus asyik dengan jahitan bajunya.
“Ayo tidur semuanya, besok biar bisa bangun sebelum Subuh,”
ajak Bunda sambil mematikan lampu ruang keluarga.
Tugas dari Bu Lita, baksos yang melelahkan selesai tepat pada
waktunya, waktunya refress, kudu nonton niih, bak gayung bersambut,

170
Tama mau neraktir nonton, dan kebetulan besok pulang lebih awal,
tinggal izin Bunda yang seumur-umur belum pernah nginjak bioskop,
kudu pakai jurus rayuan maut niih, gumamku.
“Nis, besok sepulang sekolah, bisa hadir rapat? Sekalian gladi
bersih,” suara Azzam mengagetkanku.
“Bisa, in sya Allah, sepulang sekolah yah?” jawabku sambil
bertanya.
“Betul Nis, biar leluasa waktunya, kan besok kita pulang awal,”
jelas azam, Azzam nggak tahu sih kalau aku dah seneng mau nonton
bareng, kok aku jawab iya iya aja yah, kan dah janjian nonton, kaya
dihipnotis.
“Hai Azzam, aku mau laporan pertanggung jawaban baksos
niih,” ujar Diana dengan suara centilnya.
“Oh iya setengah jam lagi kita pembubaran panitia sekalian
evaluasi, aku lupa umumin di group kelas,” jawaban Azzam membuat
merah merona wajah Diana.
“Owh gitu yah, aku ke kelas duluan yah,” seloroh Diana sambil
meninggalkan kami.
“Nis, kamu kenal dekat yah dengan Noval,” pertanyaan Azzam
di luar espektasiku, auto kaget.
“Teman aja, Zam, kita sekelas dan sekelompok terus dari
pertama masuk SMA,” jawabku tegas, sambil pamit untuk duluan
masuk ke kelas. Ada apa yah Azzam tanya-tanya kedekatanku sama
Noval, jangan-jangan, apa sih Ninis, segera kutepis lamunanku.
Alhamdulillah evaluasi dan pembubaran panitia Baksos
selesai sudah, kami pulang lebih awal, sesampainya di rumah kucoba
meminta izin Bunda buat nonton besok, jurus rayuan maut segera

171
diluncurkan, walaupun masih belum yakin bisa ikut nonton atau
tidak, alhamdulillah Bunda mengizinkan dan tetap mengingatkan
untuk jaga diri, akhlak dan adab.
Rasa kantuk masih menggelayut memenuhi ruang netra,
ucapan salam dan suara derikkan pintu mengusir kantuk seketika,
”Ayah!” suara Nay membuatku terperanjat dan segera keluar kamar,
”Ayah,” sapaku sambil masih mengucek netra.
“Pergilah ke kamar mandi dan ambil wudu, Nis,” pinta Ibu
sambil membawa nampan menuju ruang keluarga di mana Amulai
mengeluarkan buah tangan yang dijanjikannya.
“Siap, Bun,” jawabku singkat.
“Waah aku dapet kaos bagus,” seloroh Nay penuh bahagia.
“Aku dapet apa, Yah?” tanyaku sambil segera membuka
bingkisan yang Ayah berikan, “alhamdulillah jilbab dan broos bunga
yang kuinginkan,” aku berdecak kegirangan. “Eh ada kaos juga, kita
kembaran dek,” ternyata Ayah, Ibu dan Kak Nizar pun punya kaos
yang sama, “wah dresscode liburan ahir tahun ya, Yah,” ujarku girang.
“In sya Allah do’akan kita semua sehat dan bisa liburan sama-
sama, kapan pembagian raportnya, Nak?” tanya Ayah.
“Dua hari lagi, Yah,” jawabku berbarengan dengan Nay.
Azan shubuh berkumandang dengan syahdu, semua bergegas
menuju suara kemenangan, kali ini Ayah mengimami salat Subuh di
mushola rumah, selesai salat semua kembali pada rutinitas harian
Ibu berkutat di dapur, aku dan Nay bertugas merapikan ruang tamu
dan ruang keluarga, sang surya mulai menampakkan senyumnya,
cahayanya menyelinap masuk ke seluruh ruangan.
Setelah sarapan kami berpamitan untuk menunaikan kewajiban

172
mencari ilmu, sesampainya di sekolah seabreg tugas menanti,
merapihkan kelas untuk persiapan pembagian raport dan gladi bersih
acara wisuda tahfidz, “apa kabar dengan agenda nontonku hari ini?”
gumamku dalam hati.
“Nis kelas kita cuman sampai jam 10.00 loh, karena ada rapat
guru, kita nonton yang jam 10.30, aku dah pesen tiketnya,” ajak Tama
dengan mata berbinar, dan senyum khasnya.
“Tama, maafkan...kalau jam segitu aku nggak bisa, soalnya ada
gladi bersih buat wisuda tahfidz besok, maafin yah,” timpalku penuh
sesal.
“Kok kamu nggak ngabarin dari semalem Nis, aku kan bisa
ambil yang jam siang,” ucap Tama ketus.
“Iya maaf Tama, aku bener-bener lupa, soalnya semalam Kak
Nizar pulang, jadi kita heboh ngobrol semaleman, maaf ayah, Tam,”
jawabku lirih penuh sesal dan kecewa.
“Yah sudah selesaikan saja agendanya, maaf kita nggak bisa
ikut jadwalmu yah Nis,” ucap Tama sambil meninggalkanku, deg
rasa tak nyaman mulai memenuhi relung hatiku, ada sesal yang tak
berujung, “maafkan aku sahabat,” gumamku dengan tatapan nanar ke
arah Tama.
“Nis, ayo... gladi bersih akan segera di mulai!” suara Azzam
memecahkan sunyi dalam hati.
“Okey, aku izin ke kelas sebentar yah Zam, just five minutes,”
ujarku sambil berlari menuju kelas untuk minta maaf ke Tama dan
teman yang lain.
Belum sampai ke kelas rombongan Tama sudah menghampiriku,
“Ninis sibuk yah, kita pergi duluan yah Nis,” ujar Dea sambil

173
melambaikan tangan, sepintas kulihat Diana berada di antara mereka,
aku hanya terdiam dan mematung menatap kepergian mereka,
”maafkan aku,” gumamku dalam hati sambil berjalan menuju aula
sekolah untuk menuntaskan gladi bersih, alhamdulillah semuanya
berjalan lancar.
Hari yang ditunggu tiba, wisuda tahfidz, terlaksana dengan
sukses dan mendapat apresiasi baik, untuk Pembagian raport
dilaksanakan di kelas masing-masing, Alloh mengabulkan do’a kedua
orang tuaku, semua kerja kerasku selama ini membuahkan hasil, aku
dapat juara umum tahun ini, kulihat rona bahagia di wajah Ibu ketika
namaku dipanggil.
Tatapan sinis dan kesal masih terlukis jelas di wajah sahabat-
sahabatku, senyum manis tetap kusunggingkan ketika berpapasan
dengan mereka, rasanya ingin menangis, memeluk, dan meminta
maaf pada mereka, apa daya kesempatan tidak memungkinkan.
“Nis, ini Tante Rose yang ibu ceritakan,” ujar Ibu, langsung
kuraih dan kucium tangan Tante Rose.
“Oh ini Ninis yng suka diceritakan Azzam, barakallah yah jadi
juara umum, rencananya mau ambil jurusan kuliah apa, Nis?” tanya
tante Rose.
“In sya Allah ingin masuk kedokteran Tante, mohon do’anya,”
ucapku lirih dengan rona wajah memerah.
Do’aku diaminkan Ibu dan Tante Rose, Ibu mengajakku
belanja sebelum pulang, alhamdulillah kami sampai ke rumah selepas
Zuhur, ketika kuucapkan salam dan membuka pintu, terlihat ruang
tamu dipenuhi teman teman sekelas dengan perak-pernik milad yang
tertata rapi di dalam ruangan, Tama berada di barisan depan sambil

174
membawa kue tar di tangannya.
“Barakallah fi ummriik Ninis, sukses selalu yah,” ucap semua
teman yang hadir.
Kristal bening menetes dan mulai membanjiri wajahku,
kuberbalik dan memeluk Bunda, teruntai do’a ikhlas dari mulutnya
untuk kesuksesanku, kulihat Ayah, Nay dan Kak Nizar datang dengan
membawa motor scoopy yang kuimpikan sejak lama. Kami larut
dalam lingkaran cinta dan bahagia.
Kembali kubalikkan tubuhku, “kalian,... jadi kemarin ngeprank
aku yah, pura-pura kesal dan marah, membuatku nggak enak hati.”
Semua puas menertawakan tingkah luguku, kami semua berpelukan
dan menikmati hidangan yang sudah disiapkan Bunda, entah kapan
Bunda memesannya, semua benar-benar rapih, tak sedikit pun aku
curiga, dengan rencana mereka.
Syukurku pada-Mu ya Rabbana atas semua kesempatan dan
nikmat yang telah Engkau berikan melalui keluarga, guru, dan semua
sahabat hebatku.

SELESAI
Laila Sahlah

Ibu rumah tangga yang mengabdi sebagai guru. Lahir di


Bandung. Ibu dari Nizella (18 tahun) dan Qeis (16 tahun) serta
Khalish (11tahun), istri dari Y. Yusdiana Firdaus.
“Menulis bagiku adalah cinta. Menulis menasihati tanpa ha-
rus berkata. Menulis merupakan amal ibadah yang akan kekal dan
abadi.”

175
Bahu dan Punggung
Askarwahyu

Pagi itu seperti biasanya aku duduk di pojok ruangan kelasku.


Sinar matahari mulai menembus dari kisi-kisi jendela, membentuk
jala berwarna keemasan. Indah.
Selesai merapikan meja, kuedarkan pandangan ke luar. Di balik
jendela kaca berukuran 100 cm x 40 cm, aku memperhatikan aktivitas
riuh yang terjadi di lapangan samping kelasku. Jam ke nol kelas
sebelah sudah dimulai. Meskipun ujian nasional akan dihilangkan,
tapi tetap saja sebagai sekolah negeri terakreditasi A yang tidak ingin
kehilangan predikat, sekolah kami tetap saja memberlakukan jam ke
nol untuk membekali kami sebelum masuk perguruan tinggi.
Kelas sebelah sedang pelajaran olah raga, sedangkan kelasku
yang terkenal sebagai kelas “buangan” penghuninya masih santuy.
Ruangan masih sepi meski jam sudah menunjukkan pukul 06.30,
padahal jam ke nol harusnya dimulai lima belas menit yang lalu.
Hanya aku saja yang sudah siap menunggu guru kami datang ke kelas.
Tempat dudukku ini adalah spot favoritku di kelas. Aku bisa
dengan leluasa melihat ke depan atau dengan bebas mengembarakan
pandangan ke luar. Menghilangkan penat setelah seharian
mendengarkan penjelasan memusingkan tentang segala hal yang
berkaitan dengan ilmu sosial, jurusanku
Masih asyik dengan kegiatan pengamatanku, mata ini
tertumbuk pada sosok tinggi tegap berkulit sawo matang. Kutopang
daguku, masih fokus dengan pemandangan di luar. Sosok itu berlari

176
ringan sambil mendribble bola dan melakukan lay up. Yess, masuk.
Sorakku dalam hati. Apa yang dilakukannya itu adalah sesuatu yang
selalu menjadi mimpiku, aktif dan bebas bergerak. Dengan keadaanku
sekarang, it’s almost impossible. Matanya menyipit, menghindari
sengatan matahari pagi yang mulai menimpa semua isi mayapada.
Aku terpesona.
Aku melihatnya mendongakkan kepalanya, menggeleng
beberapa kali, mengibaskan keringat yang mengucur di rambutnya.
Gerakan sederhana itu akhirnya seperti slow motion terus berputar di
dalam kepalaku mulai pagi itu. Namanya Rein, Reinhard.
Aku bukanlah termasuk bagian dari the most favorite girl
di sekolah, bahkan aku juga bukan termasuk murid yang brilliant,
buktinya aku masuk kelas sosial bukan IPA seperti layaknya orang-
orang yang berstigma cerdas lainnya. Aku senang menjadi tak terlihat,
karena dengan kondisiku yang sekarang itu yang lebih baik.
Seperti pagi-pagi yang lain, aku menikmati duduk di pojok
ruangan kelasku, hari masih pagi ketika tiba-tiba seseorang masuk ke
kelas dengan tergesa. Hari ini kelasku kosong. Jam ke nol ditiadakan
karena pengampunya sedang ada tugas ke luar Kota. Kesempatan
untuk penghuni kelasku untuk segera berpesta di kantin. Aku? Hanya
cukup menjadi observer.
“Hi, boleh tahu nggak Andra duduknya di mana? Seseorang
tiba-tiba datang mengganggu keasyikanku menuangkan suasana pagi
itu dalam buku sketsaku.
Aku tergeragap, menoleh dan mendapatinya tengah mendekat
dan tersenyum manis. Duuh ... dia seperti terbuat dari gulali, taburan
cokelat meses, serta sebongkah gula batu. Very sweet ditambah

177
dimple di pipi kanannya yang tercetak jelas ketika senyum menghiasi
wajahnya. Manis sekali. Jika setiap hari aku diberi pemandangan
seperti ini, bisa-bisa kena diabetes aku.
“Eh… oh… dia duduk di ujung kiri paling depan,” jawabku
dengan suara terbata seperti seekor kucing yang tertangkap sedang
mencuri ikan.
“Duuh, sial. Ternyata baju olah ragaku tidak dia bawa hari ini,”
gerutunya sambil mengaduk-aduk isi tas Andra. “Sepertinya hari ini
aku akan melewatkan pelajaran olah raga. Yah sudahlah itung-itung
aku istirahat, karena nanti siang sampe sore aku ada jadwal latihan di
klub basket,” jelasnya panjang.
Aku menatapnya tanpa kedip, menikmati setiap gerakan
dan perubahan raut wajahnya. Hal yang dulu, bahkan tidak berani
kubayangkan. Kami sedekat ini? Aku biasanya hanya dapat menikmati
sosoknya dari jauh, sebatas bahu dan punggung. Ya, hanya sebatas
bahu dan punggung. Aku suka menatap punggungnya yang meliuk
melakukan lay up atau manuver lain dalam basket. Dan bahunya?
Sering kubayangkan dapat menjadi tempatku bersandar. Angan yang
terlalu tinggi untuk jadi kenyataan.
“Sketsamu bagus,” pujinya pelan sambil memperhatikan
kertas di depanku. Dadaku berdegup lebih cepat dari biasanya
sampai-sampai aku khawatir jika dadaku tidak terbungkus dengan
tulang rusuk, rasanya jantungku akan dapat melompat keluar. Aku
masih diam, berpura-pura sibuk dengan sketsaku ketika dia perlahan
berjalan mendekat.
“Boleh duduk di sini?” pintanya dengan nada memohon.
Seperti burung pelatuk, kuanggukkan kepalaku berkali-kali. Dan

178
kalau saja dia sadar sedikit dengan metode mengamati, dia pasti
menyadari bahwa aku tidak berani mempersuakan pandangku pada
matanya saat tengah berbicara. Aku menunduk menekuri sketsa yang
aku bahkan lupa tentang apa.
“Sebenarnya bagus juga aku absen olah raga pagi ini. Kepalaku
tiba-tiba berdenyut. Sepertinya efek kurang tidur tadi malam,”
lanjutnya entah pada siapa. Dia melipat tangannya di atas meja
dan meletakkan kepalanya di sana. Tanpa banyak bicara kuambil
Tote bag-ku yang berisi baju ganti dan kusodorkan dan diterimanya
dengan tanpa protes.
Tanpa sengaja, tanganku bersentuhan dengan kulitnya, benar
panas sekali.
“I think you’ve got a fever. Bukankah sebaiknya kamu istirahat
di UKS,” ucapku pelan.
“I feel safe here. Let me sleep for a while. “
Tiba-tiba dia mengubah posisinya, mengangkat Tote bag-
ku yang dijadikannya bantal dan berbalik menatapku lekat. Masih
tergeletak di mejaku dengan mata setengah terpejam.
“True, this place is very comfortable. Tempat persembunyian
yang benar-benar nyaman.
“Apakah kamu sudah minum obat?” tanyaku dengan nada
khawatir.
“Obat rasa jeruk. Warna kuning seperti warna sweater
kesukaanmu.”
Eh… mataku membulat.
“Ngomong -ngomong, aku sering menangkapmu tengah

179
memperhatikanku tiap pagi, di sudut kelas ini dan baru kali ini aku
punya kesempatan untuk ganti menatapmu.”
Mulutku melongo, eh benarkah?
“Kadang aku iri kalo liat kamu bisa nyaman duduk menjadi
pengamat tak terlihat. Menjadi pusat perhatian itu tidak enak, capek.
Jadi biarkan aku istirahat sebentar ya, bangunkan aku jika kelas sudah
akan dimulai,” ucapnya setengah tertidur.
Dengan hati-hati kebetulkan letak tasku. Dengan takut-takut
kembali kugerakkan pensilku. Memotret wajahnya di atas kertas
sketsaku. Di luar suasana masih riuh.
Waktu masih sepuluh menit lagi sebelum bel di mulai. Teman
sekelasku masih belum ada yang berniat kembali ke kelas. Kali ini
biar kunikmati wajahnya dari dekat, bukan lagi punggung yang
meliuk, atau bahu tegap yang terbiasa kokoh melakukan serangan
man to man. Dia sama rapuhnya seperti aku, hanya tidak banyak orang
tahu. Dia juga perlu tempat untuk menyandarkan bahunya. Kami
sama, bedanya mungkin dia akan menikmati masa mudanya lebih
lama, sedangkan aku? Mungkin tidak cukup lama untuk menunggu
punggungnya berbalik dan dadanya menghadapku.
Ddddrrrt.
[Dhek, Mama jemput sekarang. Tunggu di gerbang. Jadwal
kemo nya sudah keluar. Kamarnya sudah siap.]
Aku menatapnya sekali lagi sebelum melangkah keluar dengan
secarik kertas berisi skesta wajahnya kuselipkan di bawah lengannya
yang terlipat. “Terima kasih.”

SELESAI

180
Askarwahyu
Seorang ibu dari tiga bidadari yang punya cita-cita membuat
buku yang tidak membosankan jika dibaca berulang-ulang. Hobinya
membaca dapat membuatnya berkelana dan saat ini tengah belajar
menuangkannya dalam bentuk tulis. Mottonya adalah, just be yourself.

181
Burung Bangau
Shafira

Sebuah kejadian yang sangat berharga bagiku dan tidak


ada sepintas pun di benakku telah terjadi, aku tidak rencana untuk
menghapus ingatan kecil itu. Ini adalah cerita tentang burung
bangauku. Ya, burung bangauku. Burung bangau merupakan lambang
dari kesetiaan.
Sebelumnya, ada beberapa hal yang kalian harus tahu. Aku
adalah seseorang yang tidak begitu mudah bergaul, namun bukan
berarti aku tidak punya teman, aku punya beberapa teman dekat yang
tulus dan saling memberikan semangat satu sama lain, termasuk
burung bangau ini. Terakhir, aku memang menyukai temanku ini.
Karena pembawaannya yang santai tetapi penuh dengan kejutan.
Kejadian ini terjadi saat aku masih duduk di bangku SMA. Saat
itu jam kosong dan cuaca sedang tidak bersahabat. Air hujan berjatuhan
membasahi permukaan. Aku dan teman dekatku berkumpul melingkar
di belakang kelas untuk bermain bersama. Biasanya jika istirahat atau
jam kosong kita bermain kartu uno atau remi. Ada sekitar 7 orang di
antara kita, empat perempuan dan tiga laki-laki.
Berbeda dari hari sebelumnya, salah satu dari kita membawa
kertas lipat yang tadinya digunakan untuk prakarya. Ada peraturan
untuk tidak menggunakan smartphone saat jam sekolah dan kami
harus menitipkannya di tempat yang tersedia, jadi kami akhirnya
bermain dengan kertas lipat tersebut. Kebetulan kartu kami disita di
hari sebelumnya. Hehe

182
“Cara bikin pesawat gimana sih? Aku lupa.”
“Lo gambar monyet kok mirip lo sendiri?”
“Aya, kamu ngapain ngalamun? Masih kepikiran sama yang
nyalahin kamu tadi? Nggak usah dipikirin. Kamu nggak salah sama
sekali,” ujar Kirana kepadaku. Beberapa teman yang awalnya fokus
dengan kertas masing-masing langsung nimbrung dan memberi
semangat dengan cara mereka masing-masing seperti
“Aya biasanya galak, kok disalahin malah diam aja. Mana Aya
kita yang galak?”
“Ya, lo yakin nggak pernah berantem sama mereka
sebelumnya?”
“Iya, Ya. Biasanya mereka adem aja nggak pernah nyenggol
kamu.”
“Ini pasti kelakuan pacar baru mantannya Aya, nggak usah
digubris lah!” dan lain sebagainya. Tapi di antara mereka semua, ada
satu orang yang tidak mengatakan apa pun dari tadi. Ya itu dia burung
bangauku. Tapi jika boleh jujur, aku tidak mengharapkan sepatah kata
pun darinya.
Aku balas semua kata-kata hiburan mereka dengan sebuah
senyum yang memiliki arti bahwa aku benar tidak apa-apa.
Sebenarnya, aku tidak merasa baik-baik saja. Kejadian tadi siang
tidak bisa hilang dari ingatanku dan memang benar hal itu yang buat
aku melamun. Tapi otakku menyuruhku untuk pura-pura kuat seperti
biasa.
Aku pun memperhatikan teman-temanku. Mereka terlihat asik
bersama kertas lipat mereka masing-masing. Kalau diperhatikan,
kami sudah seperti sekelompok anak kecil bahagia yang baru pertama

183
kali melihat kertas lipat saat itu.
“Kir, bikin apaan?” Kirana terlihat sedang menuliskan sesuatu
di kertasnya.
“Oh ini.” Kirana berhenti menulis dan memperlihatkan isi
kertasnya kepadaku. “Nih, aku lagi nulis hal yang gue pengen. Ntar
aku lipat trus masukin ke botol biar jadi kayak jar of hopes gitu.”
“Boleh tuh Kir, gue nitip tulisin harapan dong,” sahut Aufa.
“Yaelah, manja banget lo.” Kirana mencubit tangan Aufa
karena gemas dengan sikap malasnya, hampir saja Aufa membalas
cubitan Kirana tetapi dihentikan oleh Alvin.
“Heh, daripada kalian cubit-cubitan mending kita bikin… apa
tuh tadi namanya? Jar of Hopes? Pokoknya itu kita bikin bareng.”
Alvin membuka suaranya sembari melirik Aufa dan melanjutkan
ucapannya dengan,
“Tulis sendiri-sendiri tapi.”
“Alah, lo nggak perhatian banget sama temen lo yang males
ini sih, Vin?”
“Salah siapa lo malesan, Fa.”
“Ah, lo mah gitu.”
“Woi berantem mulu ini orang, kayak orang pacaran aja. Malu
dilihat cewe,” timbrung Raihan, selaku penengah (yang tidak becus)
antara Alvin dan Aufa. Kami berempat tertawa melihat kelakuan
mereka bertiga yang tiada hari tanpa kegaduhan.
“Yaudah, kebetulan aku punya botol kaca sisa di loker kita
bikin Jar of Hopes di dalam Time Capsule aja gimana? Kita buka
lagi 5 tahun lagi?” Rara menyampaikan idenya dan kami semua tanpa

184
banyak basa basi menyetujui idenya.
Aku tidak mengharapkan banyak dan hanya menulis
keinginanku agar teman-temanku sehat dan bahagia selalu. Aku
melipat kertas lipatku dan memasukkannya ke dalam botol yang Lia
sediakan, diikuti Alvin dan Raihan. Aku mencuri pandang ke Alvin
dan Raihan, Alvin sedang menuliskan sesuatu di atas kertas lipatnya
lalu melipat menjadi bentuk lain dan sedangkan Raihan sedang
membantu Aufa menulis. Dia memang pemalas.
Karena aku takut ketahuan sedang mencuri pandang ke mereka,
aku mengalihkan perhatianku pada sisi lain kelas. Beberapa ada
sedang asyik bergosip di sisi kanan tengah kelas dan beberapa anak
lain terlihat tidur dengan lelap. Sisanya? Kabur dari kelas tentu saja.
Aku masih tidak menyangka bahwa aku akan meninggalkan
sekolah ini beberapa bulan lagi, rasanya baru kemarin aku salah pakai
seragam saat pertama kali masuk sekolah tetapi ternyata itu sudah
dua tahun yang lalu. Sudah hampir saatnya menempuh jalanku dan
memulai hidup sebagai aku yang baru.

--
Jam menuju pada angka 4, saatnya mengemas barang dan
pulang. Bagaimana dengan Time Capsulenya? Tenang saja, walaupun
Aufa memiliki sedikit kendala dengan tulisannya, (dia bilang dia
takut tidak bisa membaca tulisannya sendiri 5 tahun lagi,) tetapi kita
menyelesaikannya dengan baik beberapa menit sebelum bel pulang.
“Lia, anterin aku pulang ya?” ujarku.
“Siap! Tapi kita tunggu di lobi dulu ya sampai hujannya agak
reda? Nanti aku yang ke parkiran sendiri habis itu,” jawabnya. Aku

185
menganggukan kepala tanda aku setuju. Setelah itu kami bertujuh
jalan menuju lobi untuk menunggu jemputan dan hujan reda.
Tidak banyak percakapan yang kami miliki setelah itu. Aku
sendiri tidak begitu ingat dan beberapa percakapan lain tidaklah
begitu penting. Yang aku ingat adalah saat tinggal aku, Raihan, Lia,
dan Alvin yang berada di lobi dan hujan sudah mulai reda. Raihan
berencana mengambil motornya, begitu pun Lia. Alvin sendiri belum
dijemput saat itu, mungkin jalanan sedang macet. Setelah Lia dan
Raihan meninggalkan lobi, rasanya sedikit canggung berdua dengan
Alvin. Sangat canggung.
“Canggung ya?” ucapku mematahkan keheningan di antara
kita, ia hanya tertawa kecil.
“Lia itu mau berduaan sama Raihan, makanya aku disuruh
nunggu di sini. Jemputan kamu masih lama?”
“Sebentar lagi sampai.”
“Mobil kamu tuh. Yah, sendiri dong aku.”
“Aku temenin sampai Lia dateng.”
“Eh? Tinggal aja nggak apa, bercanda doang. Nanti kamu
dimarahin.” Dia merogoh sakunya mengambil smartphone dan mulai
mengetik sesuatu setelah mendengarkan ucapanku.
“Udah, nggak bakal dimarahin.”
“Ok.” Biasanya topik obrolan kita berdua berjalan lancar kalau
ada teman yang lain, entah kenapa jika cuma berdua rasanya canggung
sekali. Setelah hening beberapa saat kami melihat Lia menuju ke arah
kita, disaat bersamaan pula ia merogoh sakunya, menarik tanganku
dan memberikan sesuatu di tanganku sambil berkata, “Nih, ambil
aja.” Lalu ia pergi menuju mobilnya dan Lia kemudian datang. Aku?

186
Diam beribu bahasa sedang mencerna apa yang baru saja terjadi dan
mengantongi sesuatu darinya tanpa melihatnya terlebih dahulu.
Aku tidak menceritakan ini kepada siapa pun begitu sampai
di rumah. Aku berlari kecil menuju kamar, melempar tasku, dan
merebahkan badanku. Kurogoh saku dan mengambil sesuatu dari
Alvin. Sebuah kertas lipat berbentuk burung bangau ada di tanganku
sekarang. Aku tersenyum malu. Walaupun aku tidak tahu untuk apa
burung bangau itu tapi hatiku rasanya berbunga-bunga. Aku simpan
burung bangau itu ke dalam dompet.

--
Aku ingat kejadian lain tepat beberapa minggu sebelum Ujian
Nasional, Alvin membawa motor sendiri ke sekolah untuk pertama
kalinya. Di hari yang sama juga, Lia alias antar jemput langgananku
tidak masuk sekolah karena kondisinya dia sedang tidak baik. Dia
menawarkan tumpangan ke aku karena aku tadinya berinisiatif untuk
pulang jalan kaki.
Seperti sebuah takdir bukan? Aku merasa bersalah harus merasa
senang saat temanku sedang sakit, tapi bagaimana cara menolak ini?
Akhirnya aku pulang diantar olehnya. Bayangkan betapa senangnya
aku saat itu, aku sampai tidak bisa menjelaskannya dalam kata-kata.
Setelah lulus SMA, beberapa dari kita jarang bertemu lagi. Lia
dan Aufa melanjutkan kuliah di dalam Kota. Raihan memilih bekerja.
Aku, Kirana, dan Rara melanjutkan kuliah di luar Kota. Terakhir kali
kami berkumpul lengkap? Saat wisuda. Itu pun kami tidak sempat
mengabadikan foto bersama untuk terakhir kalinya.
Tapi aku ingat saat wisuda, Alvin menghampiriku yang
sedang bersama teman lain. Ingat waktu teman-teman dekatku

187
memberi semangat karena aku ada masalah dengan teman lain? Ya,
aku berusaha menyelesaikan masalah yang ada dan membersihkan
namaku. Kita sudah berbaikan.
Kembali kepada Alvin, ia menggeretku sedikit menjauh dari
keramaian dan mengatakan bahwa dia akan menempuh studinya
di Jerman. Aku memberikan anggukan karena aku tidak mengerti
kenapa dia harus menjauhkanku dari kerumunan hanya untuk
mengatakan itu. Lalu, untuk pertama kalinya dia mengelus kepalaku
sambil berkata, “Kamu tau aku nggak suka megang hp lama-lama jadi
mungkin bakal susah dihubungi, kamu bisa jaga dirimu sendiri, kan?
Aku akan kembali setelah selesai.” Lalu ia pergi, disaat bersamaan
Rara menghampiriku.
“Alvin bilang apa, yak?”

--
Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengannya, kita jarang
mengobrol melalui ponsel genggam dan dia juga jarang muncul
di group kami. Setidaknya aku akan bertemu dengannya hari ini.
Semoga. Ingat janji kita 5 tahun yang lalu? Hari ini adalah 5 tahun
dari hari kita membuat Time Capsule. Kami sudah berjanji akan
kumpul di tempat favorit kami dulu, sebuah café kecil yang nyaman.
Bagaimana dengan Alvin? Entahlah, dia tidak berkata bahwa dia akan
datang atau tidak. Kita bahkan tidak tahu dia masih di Jerman atau
tidak.
Aku sengaja datang lebih awal, aku ingin bertemu Alvin
lebih cepat dan menceritakan semua hal konyol seperti aku pernah
menyukainya. Walaupun sejujurnya aku tidak yakin dia akan datang.
Aku datang paling awal di antara kami bertujuh, lalu disusul dengan

188
Rara beberapa menit kemudian. Lia dan Raihan datang bersamaan,
katanya mereka sudah berpacaran setelah lulus SMA dan disusul oleh
Aufa serta Kirana datang bersama sekitar 7 menit kemudian.
Akhirnya aku bertemu dengan teman-temanku lagi. Banyak
hal telah berubah, Lia yang awalnya terlihat tomboy sekarang terlihat
lebih feminim. Aufa yang sebetulnya tak pernah akur dengan Kirana
saat masa SMA mengatakan bahwa mereka sudah berpacaran sejak
beberapa minggu yang lalu.
“Ini kita kayak triple date ya,” ujarku.
“Triple?”
“Iya, kalian berempat dan aku Rara,” balasku.
“Rara mah sama pacarnya, lo gimana sih?” Rara punya pacar?
Aku baru tau.
“Hah? Pacarnya Rara di sini? Mana? Siapa?”
“Ntar dia nyusul, tadi berangkatnya nggak bareng.”
“Siapa? Jangan-jangan Alvin?” Entah apa yang membuatku
berpikir bahwa itu Alvin.
“Alvin mah sama lo. Makanya buka Instagram lo dong, baca
story wa juga,” jawab Raihan.
“Sama aku? Kok aku?”
“Lo emang yang paling nggak peka ya. Udah jelas lo sama
Alvin tuh saling suka, tapi kalian berdua sama-sama takut ngerusak
pertemanan kalian.”
“Kita semua tahu, kamu doang yang nggak.”
“Alvin suka sama aku juga? Ngaco ah kalian. Kenapa kamu bisa
bilang Alvin suka sama aku?” Aku tertawa geli saat mengatakannya,

189
walaupun hatiku benar-benar penasaran.
“Ah, lo mah nggak pernah peka masalah kayak gini. Lo inget
waktu gue cacar air beberapa mingggu sebelum UN? Gue nyuruh
Alvin bawa motor buat beberapa hari. Menurutmu kalau bukan buat
nganterin lo pulang apa dia mau bela-belain bawa motor sendiri? Lo
tau kan bapaknya gimana”
“Haha. Udahan dong bercandanya,” ucapku.
“Siapa yang bercanda sih?” Terdengar suara dari belakang
kursiku, aku membalikkan badanku dan mengarahkan mataku ke
sumber suara. Alvin berjalan menuju meja kami, duduk tepat di
seberangku. “Hai guys,” ucapnya sambil tersenyum.
Satu-satunya orang yang tidak pernah menunjukan dirinya,
jarang muncul di group chat karena perbedaan waktu, tidak pernah
update di social media, dan bahkan jarang membalas pesan singkatku
akhirnya duduk di seberangku. “Aya, gimana kabarmu?” itu adalah
kalimat lain dari mulutnya setelah 5 tahun.
“Bisa-bisanya lo nggak nampakin diri selama 5 tahun dan
begitu muncul cuma nanyain kabar Aya? Lo pikir kita di sini obat
nyamuk doang?” celetuk Aufa.
“Bercanda guys,” balasnya tertawa. “Apakabar nih? Katanya
kalian pada pacaran? Kok gue ditinggal?”

--
Jarum di jam tanganku menunjuk ke angka 10, sebagai anak
yang masih bergantung kepada orangtua aku harus segera pulang.
Acara reuni dan membaca Time Capsule kami hari ini sangat
menyenangkan. Aufa benar-benar kesulitan membaca tulisannya

190
sendiri walaupun tulisan tangannya lebih bagus dari sebelumnya.
Kami saling bertukar cerita tentang apa yang kami lakukan selama
5 tahun terakhir dan juga bergosip riya. Sayangnya aku tidak bisa
menceritakan lebih detail karena menyangkut privasi orang lain.
Aku berjalan menuju lobi bersama Alvin, mengingatkanku
kepada hari di mana dia menemaniku sampai Lia datang. Kami
berdua berdiri di lobi café, suasana canggung kembali menyelimuti.
“Kamu nunggu jemputan juga?” tanyaku.
“Aku nunggu kamu dijemput.” Canggung sekali! Aku pun
mulai basa-basi dan menanyakan banyak hal tentang dirinya, “Jadi,
kamu udah punya pacar?”
“Pacar?” Aku menganggukan kepalaku penasaran.
“Haha, crushku belum menerimaku,” jawabnya.
“Huh? Ada yang gantungin orang kayak kamu ternyata?”
Seketika suasana menjadi hening lagi sebelum dia menjawab.
“Iya, aku digantung 5 tahun tanpa jawaban, kamu pasti belum
pernah buka burung bangau?”
“Burung bangau?” tanyaku. Oh ya! Kertas lipat yang ia berikan
kepadaku waktu itu. “Kenapa burung bangaunya?” Disaat yang sama,
kami melihat mobil ayahku memasuki parkiran café itu.
“Kalau kamu belum buang kertas lipat itu, kamu akan tahu
sendiri. Jangan lupa beritahu aku jawabannya,” ucapnya sambil
mengacak-acak rambutku lalu berjalan menuju parkiran. Aku pun
langsung menuju ke mobiil. Kenapa aku tidak pernah kepikiran? 5
tahun lalu aku dengan jelas melihatnya menuliskan sesuatu di kertas
lipat itu tapi tidak pernah sedetik pun aku berpikir itu kertas yang
sama dengan yang ia berikan kepadaku.

191
Di dalam mobil, aku membuka dompetku. Masih ada. Aku
mengambil kertas lipat itu dan membukanya, benar saja, ada sebuah
catatan di sana. Aku tersenyum membacanya. Selama ini dia benar-
benar memiliki perasaan yang sama denganku, aku tidak berhalusinasi
atau semacamnya. Terima kasih, burung bangauku.

--
“Aya, I know this is sounds cringe to know that I wrote the
whole massage for you. But please keep your chin up like usual okay?
Ikut sedih kalau lihat kamu sedih kayak gini. Aku tau Aya lebih kuat
daripada ini. Duh, malu. Pokoknya, aku nggak suka kamu nangis
karena mantan kamu. You deserve so much better than him. Terlebih
karena aku suka kamu lebih dulu daripada dia. Haha, iya aku cupu
karena tidak pernah berani bilang suka. Jadi aku tidak ada hak buat
ngelarang kamu waktu mantan kamu deketin kamu. Tapi semua
udah berlalu, lupain masa lalu itu dan coba pikirkan orang yang
benar-benar sayang kamu. Kamu bukan orang yang peka jadi aku
yakin kamu akan membaca surat ini seminggu setelah aku tulis. Tapi
walaupun selama apa pun itu akan tetap aku tunggu. I will try my best
to be the bestest one for you. Aku suka kamu, Ya. Would you be mine?”

SELESAI
Shafira.
Lahir pada tanggal 9 Juni di Solo. Saat ini tercatat sebagai
mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Selama masa SD dan
SMP aktiv mengikuti ekstra yang berkaitan dengan tulis menulis.
Memiliki kegemaran membaca buku cerita. Cerpen ini adalah
cerpen pertamanya yang ditulis sambil melalui masa ospek sebagai
mahasiswa baru.

192
Dunia Masih Biru
Melly W

Namaku Bintang. Mamaku Bulan dan papaku Surya. Kata


teman-teman, aku keluarga penghuni langit. Pagi ini cuaca lumayan
cerah, kelihatan dari sinar mentari yang menyeruak di balik sela-
sela daun kamboja.
“Bintaaaaang!”
Itu teriakan mamaku. Kedengarannya sampai radius 10 meter.
Mama biasa seperti itu, mungkin karena Kakek yang seorang mantan
militer berpangkat Kolonel dan papaku militer juga berpangkat
Letkol. Oya, satu lagi, kakakku. bernama Mars. Keluargaku punya
banyak julukan, keluarga penghuni langit, Militer dan keluarga Tata
Surya.
Aku berlari dari teras samping menuju tempat Mama.
“Siap, Bu kumendan!” sahutku sambil berdiri tegap dan
memberi hormat.
Mama memperhatikan aku dari kepala sampai kaki. Mata
bulatnya yang indah menyelidik tiap inci tubuhku. Di tangannya ada
sapu ijuk dan kemoceng. Satu lagi, di kepala Mama masih melingkar
manis roll warna pink yang menggulung rambut ikalnya. Firasatku
langsung nggak bagus. Jangan-jangan tugas bebersih dilimpahkan
padaku.
“Kenapa lihat Mama kayak gitu?”
“Lha? Kan Mama yang daritadi lihatin aku kayak gitu?”
jawabku dengan balik bertanya.

193
“Cepat bantu Bi Inah bebersih rumah. Opa mau datang nanti
sore,” perintah Mama.
“Serius, Mam?” Mama mengangguk. “Kan Papa masih Dinas?”
“Papa pulang nanti sore sekalian jemput Opa. Udah jangan
banyak tanya,” kata Mama sambil serah terima sapu ijuk dan
kemoceng. “Mama mau masak istimewa,” lanjutnya.
Aku mulai menyapu halaman samping. Heran, giliran bebersih
nyuruh aku, pas ke supermarket nyuruh Kak Mars. Enakan dia bisa
jalan-jalan ke... “Ouuttss!” teriakku sambil mengusap punggung. Ada
sebatang sapu lidi yang mendarat tiba-tiba.
“Kenapa pake gerutu segala?” tanya Mama yang berdiri di
belakangku.
“Mama kayak Jinny aja, Tau-tau udah berdiri di belakangku,”
jawabku sambil menahan senyum lihat ekspresi Mama yang lucu
kalau lagi marah.
“Nggak pa-pa, Mam. Sekali-kali tugasnya di rolling dong. Aku
yang belanja, Kak Mars yang bebersih,” protesku.
“Tenang aja sih, nanti kan kalau ada Opa, tugasnya Mars yang
nemenin Opa tiap hari. Dan kita, bisa jalan-jalan,” jawab Mama
sedikit berbisik.
“Serius, Mam?”
“Iyalah, emangnya Mama pernah bohong, apa?”
Yess! teriakku dalam hati. Aku makin giat bebersih rumah. Biar
hari ini letih, nanti bakal dapat pengganti lelah. Mama memang begitu
orangnya. Wanita yang tetap sederhana walau berteman dengan para
istri pejabat. Selalu sibuk dengan berbagai urusan di luar tapi nggak

194
pernah mengabaikan anak-anaknya. Waktunya selalu padat kegiatan
tapi nggak pernah melupakan salat. Tak percuma Papa mendidik istri
dan anak-anaknya dengan keras bahkan seperti militer. Supaya kami
bertanggung jawab pada Allah dan diri sendiri.
Selesai bebersih, aku pamit pada Mama untuk ke Taman
komplek perumahan sebelah, untuk ketemu teman SMA-ku. Barusan
pesan whatsapp Listi masuk dengan meminta aku datang ke sana.
Sudah bisa kutebak, pasti ada kejadian lagi di rumah sahabatku itu.
Oops! Hampir saja aku bertabrakan dengan kak Mars di pintu
depan. Kulihat di tangannya banyak jinjingan tas plastik yang penuh
belanjaan.
“Wooyy...selow dong, buru-buru banget, mau ke mana, Dek?”
tanya kak Mars dengan menaruh belanjaannya di lantai.
“Mau ketemuan sama Listi,” jawabku cepat sambil
mengeluarkan sepeda dari garasi.
“Bantuin dulu dong...eeeh Bintaaang!” teriaknya. Aku hanya
melambaikan tangan sambil menggoes sepeda ke luar pintu gerbang.
Sepuluh menit cukup bagiku sampai di Taman perumahan
sebelah. Jarak yang cukup dekat, sekitar 500 meter dari rumahku.
Mataku menyapu sekitar Taman. Kuparkir sepeda rally dekat pohon
Mahoni. Pak satpam Taman memperhatikan dari jauh. Aku hanya
memberi salam dengan menganggukan kepala.
Sedikit berjalan ke dalam, aku sudah bisa menemukan Listi
yang duduk menyendiri menyandarkan punggungnya di kursi.
“Hey, jangan melamun!” sapaku sambil menepuk halus
bahunya. Aku duduk di sampingnya. Listi hanya menoleh sebentar,
lalu kembali asik melihat ke depan dengan tatapan kosong.

195
“Ada apa lagi, Lis?” Aku menatapnya. Sahabatku ini memang
cantik. Hidungnya yang bangir terlihat runcing dari samping. Mata
dan alisnya berpadu dengan indah, membuatnya makin sempurna.
Beda banget sama hidungku yang bulat kayak jambu kata Opa, tapi
aku bersyukur. Kata teman-teman, aku adalah cewek multi talenta.
Otak cemerlang, pemegang medali emas olah raga Taekwondo, pinter
masak dan punya jiwa sosial yang tinggi. Semua itu kata teman-
teman, bukan aku yang bilang begitu.
“Orang tuaku mau bercerai.” Kalimat itu keluar dari bibir Listi
yang mungil.
“What? Are you serious?”
Listi hanya mengangguk. Ia menatapku dengan kubangan di
matanya yang hampir tumpah.
“Kenapa? Apa nggak ada cara lain?”
Cewek ini hanya menggeleng. Entah apa artinya aku nggak
tahu. Kurapatkan posisi duduk menghimpit Listi. Ia kini tertunduk
lesu. Poninya jatuh menutupi keningnya.
“Lis...,” panggilku seraya memegang bahunya. “Apa kamu
nggak bisa membujuk orangtuamu untuk nggak bercerai?”
Listi hanya diam, lalu ia menoleh padaku. Di sudut matanya
sudah merembas bulir bening.
“Apa suaraku masih didengar mereka? Apa aku masih berarti
buat mereka? Apa....”
“Ya, seenggaknya mereka mikirin kamu. Lis, kamu ini anak
mereka, kan?” ujarku memotong kalimat Listi yang belum tuntas.
“Entahlah. Mungkin aja aku ini hanya anak pungut,” jawabnya,

196
“buktinya mereka nggak pernah mikirin perasaanku.”
Listi berdiri. Ia menarik napas panjang seolah ingin membuang
semua beban.
“Mau ke mana?”  tanyaku.
“Mau mencari kesenangan sendiri,” jawabnya sambil berjalan.
Aku segera menyusul langkahnya.
“Jangan ngaco, Lis!” teriakku. Pikiranku langsung tertuju pada
Siska dan gen-yang belakangan ini akrab dengan Listi. Jangan-jangan
Listi terpengaruh gaul mereka yang esktrim.
Aku mengiringi langkahnya. Kuraih pergelangan tangannya
yang kecil.
“Jangan buat yang aneh-aneh, Lis. Jangan pernah terpengaruh
Siska dan gen-nya,” tegasku pada Listi.
Listi menatapku tanpa kedip. Aku balas menatapnya untuk
menegaskan ketidaksetujuanku kalau dia bergaul dengan Siska.
“Aku bisa jaga diri. Aku bukan anak kecil!” jawabnya dengan
lantang.
“Lalu untuk apa kita ketemu?”
Listi membuang pandangannya. “Aku hanya ingin kamu
dengar keluhanku, Bin. Bukan melarangku!”
“Aku sahabatmu, Lis. Apa sekarang semua itu ga ada artinya
lagi? Mentang-mentang kamu lagi dekat sama Siska? Hah?!”
Listy menarik lengannya dari genggamanku lalu pergi tanpa
meninggalkan jawaban. Aku masih berdiri dan berharap dia berbalik
lalu berlari memelukku seperti biasanya. Kali ini tidak. Sahabatku
ini terus berjalan tanpa menoleh lagi. Sungguh aku kesal! Tanganku

197
mengepal keras. Aku benar-benar nggak mengerti semua ini

****
Senja mulai merapat. Kutuntun sepeda memasuki halaman
rumah. Di garasi sudah terparkir mobil Papa. Pasti Opa sudah datang
juga, tebakku. Kuparkir kendaraan kesayanganku di samping motor
ninja hitam milik Kak Mars. Aku masuk lewat pintu yang langsung
berhubungan dengan halaman samping. Membuka jeruji besi
pengaman pintu. Sayup kudengar suara mengobrol di ruang tengah.
“Bintang!”
Suara Papa menghentikan langkahku. Aku langsung menoleh
dan berjalan ke ruang tengah.
“Kok, masuk nggak kasih salam dulu? Kenapa?” tanya Papa
dengan suara baritonnya.
Aku baru sadar kalau Papa dapat mencium wangi khas putrinya
walau belum kelihatan.
“Assalamualaikum, Pa, Opa,” jawabku mendekati mereka dan
mencium tangan.
“Waalaikumussalam...cucu Opa sudah besar, makin cantik
lagi....”
“Dan makin galak, Opa,” celetuk Kak Mars.
Aku hanya melirik Kak Mars. Opa kelihatan masih gagah
dengan topi bareta-nya. Dan Papa, lelaki kesayanganku ini menatap
penuh selidik.
“Bagaimana Abin, masih ikut kejuaraan Taekwondo?” Opa
memanggilku dengan nama kesayangan. Aku hanya menggeleng.
“Sebentar lagi mau ujian, Opa. Jadi semua kegiatan olah raga

198
di hentikan dulu,” jelasku.
“Bintang kan sudah kelas 3, Pa. Sebentar lagi ujian. Masa Opa
lupa kalau cucunya mau jadi mahasiswi?” sahut Mama yang datang
dari belakang dengan membawa nampan berisi teh dan cemilan.
“Wah, Opa sudah semakin tua, harap dimaklumi, ya,” jawab
Opa dengan bahasa yang selalu formal.
Aku pamit untuk ke kamar. Mungkin berguyur di bawa shower
bisa membuat adem hatiku.

****
Sampai malam pun benakku masih diganggu sikap Listi di
taman tadi siang. Dari sisi jendela kamarku di lantai dua, kulihat
langit seakan sendu walau bulan melukis sabit dan bintang mengedip
nakal seolah meledekku.
Kutarik napas dengan berat. Kekhawatiran yang berlebihan
sudah mengganggu ruang kepalaku. Sebenarnya itu hak Listi bergaul
dengan siapa pun tapi yang bikin aku nggak rela, sahabatku itu jadi
berkiblat pada kelompok yang tidak baik. Satu sekolahan tahu siapa
Siska dan genk-nya. Suka membully, pamer kekayaan, kecentilan,
parahnya lagi nol prestasi. Mereka cuma mengandalkan kekayaan
orangtua.
Masa iya aku tega membiarkan Listi jadi seperti
mereka? Aaarrgh... Aku jadi debat dengan batinku. Sampai
menjelang Subuh aku cuma ‹tidur ayam›, pikiranku masih pada Listi.
Kubuka jendela kamar, perlahan udara pagi menyelusup ruangan.
Kutarik napas dalam, aku harus berbuat sesuatu sebelum semuanya
terlanjur.

199
Beep Beep…
Bunyi pesan whatsapp masuk ke ponselku. Ada sebaris kalimat
dari Riyan yang terbaca dari notifikasi. Segera kubuka ponsel dan
membaca pesannya. Jantungku sempat berdebar. Bagaimana nggak,
sepagi ini dapat pesan dari cowok yang mataku seringkali mencuri
pandang ke arahnya. Cowok idola sekolah, meskipun nggak tajir
banget tapi dia punya segudang prestasi.
Bi, nanti di sekolahan kita ketemuan di kantin ya sebelum
masuk kelas. Aku mau balikin buku Harry Potter yang kupinjem
minggu lalu.  
Aku senyum sendirian baca pesannya.
“Woyy! Pagi-pagi udah senyum sendirian. Kesambet baru tau
rasa loh!” suara Kak Mars mengagetkanku. Kepalanya menyembul
dari balik pintu. Aku menoleh sebentar. “Cepet turun, kelamaan
Kakak tinggal, ya!”
Aku bergegas ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian aku
sudah siap dengan semua atribut sekolah. Kuturuni anak tangga
dengan cepat dan di beberapa anak tangga terakhir, aku langsung
lompat sampai di lantai.
“Bintang!” teriak Mami.
Spontan semua yang ada di meja makan menatap ke arahku.
Papi cuma geleng kepala. Opa kulihat menahan napas dan Kak
Mars… hmmm dia tetap asik dengan kunyahan di mulutnya sembari
baca buku yang tergeletak di meja.
“Nggak bisa ya kalau nggak lompat?” sindir Mami. Aku hanya
senyum simpul sambil menempati kursi sebelah Opa.
“Namanya juga juara Taekwondo, pasti bawaannya mau action

200
terus,” sahut Opa yang sepertinya membelaku.
“Iya Pa, tapi kan Bintang anak perempuan. Luwes sedikit,
kenapa?” sambung Mami lagi.
“Gimana mau punya pacar, gayanya kayak super woman gitu,”
ledek Kak Mars.
“Apaan sih!” sergahku sebelum menyuap nasgor buatan Mami.
“Stop! Debatnya diterusin nanti malam aja. Ayo, buruan
berangkat. Nanti kamu telat ke sekolah,” ujar Papi yang ngerti banget
kalau dua anaknya ini suka debat soal apa pun, termasuk soal sepele.
Perjalanan ke sekolahan hanya perlu lima belas menit nebeng
mobil Kak Mars. Sepeda Rally kesayanganku lepas rantainya.
Sebenarnya lebih enak naik sepeda ke sekolah, di samping sekalian
olahraga juga bisa menghirup udara segar.
Turun dari mobil Kak Mars, aku langsung ke kantin untuk
menemui Riyan. Kutarik napas sebelum masuk kantin. Mencoba
mengaturnya perlahan supaya debaran ini bisa teratur. Kurapikan
kuncir rambut yang bertengger tinggi di kepalaku. Murid-murid
belum begitu ramai, pasti di kantin juga masih sepi. Tiga langkah
masuk ke kantin, aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa.
Oh my God! Mataku yang agak sipit kubuka lebar. Percaya
nggak percaya dengan yang kulihat ini.
“Hay, Bi!” teriak Listi yang duduk menghadap pintu kantin.
Dia melambaikan tangannya menyuruhku mendekat. Dan cowok
yang duduk di hadapannya ikut menoleh.
Aku berjalan pelan mendekati mereka. Kali ini jantungku
sudah nggak bisa diatur iramanya. Aku berdiri di depan meja mereka.
Cowok ini diam menatapku.

201
“Kok, tumben lo pagi-pagi ke kantin?” tanya Listi.
Aku hanya mengangguk. “Aku janjian sama Riyan,” jawabku
sambil menunjuk ke arah cowok ini.
“Iya, aku janjian sama Listi,” jawabnya gugup. Entah apa yang
membuatnya seperti itu. “Ini buku Harry Potter yang aku pinjem,”
ujarnya sambil menyerahkan buku ini. “Makasih ya, Lis.”
Aku hanya mengangguk lalu balik badan meninggalkan
mereka.
“Bi!” teriak Listi. Aku menoleh. “Sini dulu aja, belum bel
masuk ini,” pinta Listi. Kulirik Riyan yang menatapku tanpa kedip.
Entah berharap aku bergabung dengan mereka atau ingin aku menolak
ajakan Listi.
“Makasih, aku mau lihat madding dulu,” jawabku segera
berlalu dari mereka.
Sepanjang lorong kelas aku berjalan lunglai. Ternyata aku yang
mengkhayal sendiri, kegeeran banget baru dapat pesan dari seorang
Riyan. Lalu, apa maksudnya janjian sama aku di kantin? Kalau mau
kembalikan buku, kenapa nggak di kelas aja? Kenapa juga tatapan dia
terkesan begitu dalam. Aku jadi menggerutu sendiri dalam hati.
“Ouwwts!” Aku hampir tersungkur ke lantai. Ada sesuatu
yang menghalangi langkahku barusan. Dan serempak suara tawa
mengelilingiku.
Di sana Siska dan genk-nya tertawa dengan bahagia melihat
aku hampir tersungkur. Aku memperhatikan mereka satu-satu. Mau
cari gara-gara mereka sama aku.
“Kalo jalan jangan ngelamun makanya, masa kaki segede gini
di labas!” ledek Tia si badan tambur.

202
“Lo kenapa Bi, pagi-padi udah ngelamun? Bokap lo turun
jabatan ya …atau di pecat?” celetuk Siska.
Aku nggak paham dengan sikap cewek ini. Padahal papanya
berteman baik dengan papiku. Sabar Bintang, bisik hatiku.
“Kenapa lo diam aja? Apa mungkin beneran yang gue bilang
tadi? Atau nyokap lo, yang sok jadi ketua Dharma Wanita itu….”
Aku sudah nggak bisa menahan diri lagi. Siapa pun boleh
membully diriku tapi tidak dengan Mamiku. Spontan aku mendorong
tubuh Siska ke dinding sambil meremas krah bajunya.
“Sekali lagi lo sindir nyokap gue, abis lo!” seruku dengan suara
yang masih bisa kutahan nadanya.
“Emang kenapa dengan nyokap lo? Kenapa lo marah?” Siska
makin memancing emosiku.
“Gue nggak peduli bokap kita berteman baik, tapi kalo lo
ngomongin yang nggak bener soal nyokap gue, bukan nggak mungkin
kalo tangan gue ini bisa bikin babak belur muka lo yang cantik ini!
Paham lo!” bentakku.
“Bintang!”
Sebuah suara teriakan membuatku menoleh ke kanan. Aku
melihat tangan Moe sudah melayang ingin memukulku dari belakang
tapi sebuah tangan yang kekar telah menahannya.
“Sekali tangan lo menyentuh Bintang, lo bakal berurusan sama
gue!” tukas suara itu.
Aku melihat Riyan berdiri sambil satu tangannya menahan
tangan Moe. Dan Listi yang berdiri di samping cowok ini hanya
terpaku.

203
“Hey! Ada apa ini?” sebuah teriakan lagi dari seberang
lapangan terdengar jelas. Aku segera melepas cengkeraman di krah
baju Siska. Dan Riyan cepat menepis tangan Moe.
“Bubar!” perintah Riyan dengan suara pelan tapi tegas. Siska
dan genk-nya pergi menuju kelas. Aku, Ryan dan Listi masih di
tempat melihat Pak Dodi yang menuju kami.
“Ada apa tadi?!” tanyanya dengan suara yang galak banget.
“Nggak ada apa-apa, Pak. Kami lagi latihan drama tadi,” elak
Riyan. Bel masuk menyelamatkan kami. “Permisi, Pak!”
Aku berjalan beriringan dengan Ryan dan Listi. Aku tahu,
sesekali cowok ini menoleh ke arahku. Dan tepat di depan kelasku,
Listi langsung masuk sementara Riyan masih sempat bertanya, “kamu
nggak pa-pa, kan Bi?”
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh lagi padanya, lalu
mengambil posisi kursi dan duduk di sebelah Listi. Aku masih
berusaha mengatur irama jantungku. Degupnya seperti derap prajurit
tempur. Lalu apa maksud Riyan berkata pada Moe tadi? Sekali tangan
lo menyentuh Bintang, lo bakal berurusan sama gue. Maksudnya
apa coba? Terus saat mau masuk kelas cowok itu juga mengatakan
sesuatu yang kesannya dia begitu perhatian sama aku. Huufh… bikin
bingung aja.
Listi menyikut lenganku. Matanya memberi isyarat kalau di
depan sudah ada guru. Aku menatap Pak Togar yang mulai berkoar
tentang tangen dan cosinus. Ahh…pikiran dan mataku masih belum
kompak untuk fokus pada pelajaran. Sepertinya Listi suka sama Riyan.
Gayanya bercanda waktu di kantin, senyum manjanya semua menuju
kata suka pada cowok itu. Tapi Riyan, kenapa dia membelaku dengan

204
mengatakan itu pada Moe? Iiiih Bintang, kamu kegeeran banget sih!

****
Pukul 8 malam. Aku asik membaca ulang buku Harry Potter
yang tadi pagi dikembalikan Riyan. Membuka tiap halaman walau
sesungguhnya nggak ada niat untuk membacanya. Masih terbayang
kejadian tadi pagi. Rasanya nggak percaya, seorang cowok idola
sekolah begitu membelaku di depan cewek-cewek itu. Masih gemes
juga sih dengan kelakuan Siska dan genk-nya, tapi biar aja jadi
pelajaran buat mereka.
Beep beep…
Layar ponselku menyala. Ada pesan masuk di whatsapp. Pesan
dari Listi. Tumben biasanya dia langsung telpon kalau mau curhat.
Bi, gue mau curhat nih. Kayaknya gue mulai fall in love deh
sama Riyan. Jadi inget tadi pagi di kantin. Tau nggak lo, masa dia
ngelap sisa makanan di mulut gue pake tissue.
Aiiih…gue jadi kegeeran sendiri tau…
Coba lo pikir, kalo dia nggak suka sama gue trus ngapain dia
so sweet gitu?
Apalagi waktu dia ngebelain lo dari Moe, iiih gue ngerasa
gimana gitu. Pasti kalo gue jadi ceweknya bakal dijaga abis-abisan
sama Riyan, ya nggak sih?
Pesan whatsapp Listi berurutan masuk ke ponselku. Mataku
langsung sayu membaca semua kalimatnya. Ternyata benar, Listi
suka sama Riyan dan cowok itu juga menaruh perhatian ke Listi.
Bi! Wooy, kok lo diem aja sih nggak jawab gue?
Pokoknya gue janji, Kalo gue jadian sama Riyan, gue bakal

205
ngejauhin Siska dan genk-nya.
Jadi nggak jadi lo sama Riyan, lo harus tetap ngejauhin mereka,
Lis, gumamku. Aku hanya membalas pesan Listi dengan emot love
dan jempol. Lalu Listi membalasnya dengan emot senyuman. Setelah
itu aku tutupi ponsel dengan bantal supaya nggak kedengaran lagi
kalau Listi kirim whatsapp. Hatiku mendadak beku. Jantungku seperti
tak berirama. Dan aku pun terluka.
Namun tak lama kemudian suara beep muncul lagi. Pasti Listi,
tebakku. Malas rasanya mendengarkan cuhatannya kali ini yang bikin
aku gelisah. Tapi aku penasaran karena bunyi beep itu tak hanya
sekali. Kuangkat bantal dan melirik notif di ponsel. Ryan? Ada apa
dia kirim pesan?
Bi, lagi ngapain? Aku masih kepikiran kejadian tadi pagi.
Kamu nggak pa-pa, kan?
Sebenarnya di kantin tadi aku pengen banyak ngobrol sama
kamu, tapi keburu Listi datang duluan.
Sabtu besok ada film bagus lho, kita nonton, yuk?
Gimana Bi, mau nggak?
Pesan Riyan yang beruntun membuatku terpaku. Kalau aku
terima ajakan Riyan lalu bagaimana dengan Listi? Dia pasti kecewa
melihat aku dengan Riyan. Bisa-bisa Listi jadi terpengaruh lagi
dengan Siska dan genk-nya. Tapi…aku kan juga berhak bahagia,
masa mikirin orang lain terus?
Bi, kok diem aja?
Mau nggak kita nonton besok?
Pesan Riyan kembali masuk. Cepat aku membalasnya.

206
Yan, sorry. Kayaknya aku nggak bisa deh keluar rumah.
Lagian papiku nggak bakal kasih izin, apalagi pergi berdua
dengan cowok. Sorry Yan, pergi sama yang lain aja ya? Sama Listi
misalnya.
Pesan kukirim dengan emot senyum walau hatiku sedih. Dan
Riyan menjawab singkat dengan kata ‘ok’. Aku tahu Riyan pasti
kecewa. Tapi biarlah….
Tak lama beep ponselku berbunyi lagi. Pasti Riyan, tebakku.
Bukan, ini dari Listi. Ada apa lagi ya?
Bi, orangtuaku bertengkar lagi.
Papa sampai memukul Mama.
Dan mereka sepakat akan bercerai. Lalu aku harus bagaimana,
Bi?
Rangkaian pesan Listi membuatku kembali terpaku. Kuhela
napas dengan berat. Mungkin seberat yang dialami sahabatku saat
ini. Segera kubalas pesannya.
Lis, tenang dulu. Mereka lagi emosi tingkat tinggi.
Selama mereka masih di rumah, itu berarti kebaikan masih
ada. Berdoa aja. Cepet ambil wudu lalu salat.
Minta sama Allah supaya di lembutkan hati orangtuamu.
Jangan lupa salat malam ya, minta semua kebaikan untuk keluargamu.
InsyaAllah, ada keajaiban esok pagi. Yakin aja…
Gaya bahasaku sudah seperti ustazah. Tapi Mama bilang, selalu
ada keajaiban selama kita berserah pada Allah. Dan aku yakini itu.

****

207
Pagi ini cuaca cukup cerah, tapi mungkin tak secerah hatiku.
Sepeda kesayanganku masih istirahat di garasi. Mang Jojo belum
sempat bawa ke bengkel. Setelah Kak Mars menurunkan aku di depan
gerbang sekolah, aku pun berjalan santai di tengah lapangan basket.
“Biii!” Sebuah suara yang kukenal betul berteriak
memanggiku. Aku menoleh ke arah suara. Listi dengan sedikit berlari
menghampiriku.
“Alhamdulillah, Bi. Orangtuaku nggak jadi bercerai. Mereka
hanya butuh waktu untuk saling instropeksi diri,” jelas Listi dengan
mata yang berbinar. Aku memeluknya erat. “Terima kasih ya, Bi atas
saranmu supaya aku salat malam.”
Aku hanya mengangguk. Senang rasanya mendengar kabar
baik ini.
“Dan… satu lagi kabar bahagia. Mau dengar nggak?”
Aku mengangguk lagi sambil senyum.
“Tadi Riyan ngajak aku nonton besok malam. Ya ampun Bi,
rasanya aku mau terbang aja deh!”
Listi memelukku lagi. Kali ini entah senang atau nggak aku
mendengarnya. Tapi bukankah sudah kuputuskan tadi malam?
Biarlah Riyan bersama Listi. Sahabatku itu cewek yang rapuh.
Hidupnya lagi gamang dengan situasi keluarganya, sedang aku lebih
kuat dan keluargaku baik-baik saja. Listi menggandeng tanganku
menuju kelas. Namun tiba-tiba Listi melepas gandengannya ketika
melihat Riyan. Cewek ini menghampiri idolanya. Aku menarik napas
dalam. Biarlah tak apa, asal sahabatku bahagia. Langit masih biru
walau tanpa cowok itu dan dunia masih tetap berputar meski dia
bukan milikku.

208
SELESAI

Melly W 
Ibu dari dua orang anak ini kesehariannya lebih banyak berkerja
di rumah. Keluar rumah hanya untuk hal yang penting seperti meeting
Komunitas atau acara launching buku. Sesekali ia pun menghibur diri
dengan pergi ke perpusnas. Dua anaknya sudah dewasa dan tidak
begitu merepotkan. Waktunya tertuang banyak untuk kegiatan literasi. 
Baginya menjadi penulis adalah pilihan hati. Banyak
kenyamanan yang ia dapat dalam menulis. Keinginannya untuk
mengajak semua perempuan mencintai dunia literasi amatlah besar.
Banyak Komunitas kepenulisan ia ikuti. Baginya menulis adalah
ruang cinta dan sebuah karya adalah makanan lezat. 
Jiwanya selalu haus untuk menimba ilmu kepenulisan. Ia tetap
merasa sebagai penulis pemula yang harus terus banyak belajar tanpa
jenuh. Sudah cukup banyak karyanya, Antara lain: 152 buku antologi
bersama, 5 novel solo, 4 novel kolaborasi. Ia punya satu motto dalam
menulis, “menulislah dengan hati. Menulislah dengan ketulusan
karena dari hati yang tulus akan tercipta karya yang luar biasa.” Jika
ingin melihat profilnya silakan kunjungi akun FB: Melly Waty. IG: @
melloy54. Email: mellywaty.mw@gmail.com

209
210

Anda mungkin juga menyukai