Anda di halaman 1dari 4

Filosofi Kejujuran

Cerpen Karangan: Durotun Nur Laili


Kategori: Cerpen Motivasi, Cerpen Pendidikan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 11 July 2019

Kejujuran itu memang sulit dilakukan namun, dibalik kejujuran ada kebahagiaan. Sama
halnya dengan ceritaku ini, dulu ketika aku masih SD aku mengerti tentang kejujuran. Pilihan
untuk berbohong dan jujur, hal itu yang terjadi ketika aku menghadapi Ujian Nasional di SD.
Saat Ujian berlangsung mungkin banyak temanku yang mencontek hingga akhirnya temanku
berbicara padaku “Sil kamu mau nyontek gak? Aku bawa contekan nih” ucap temanku
dengan memberikan sebuah kertas berupa contekan. “Boleh juga” ucapku dengan menerima
kertas tersebut.

Dulu ketika Ujian itu aku tidak begitu tahu tentang mukjizat dari sebuah kejujuran. Kegiatan
menyontek hanya kulakukan pada satu pelajaran yaitu matematika yang tak begitu kupahami
materinya. Hingga akhirnya pengumuman kelulusan pun tiba, diriku dan teman-teman begitu
tegang saat menunggu hasil Ujian. Akhirnya ketika Kepala Sekolah mengatakan bahwa
semua lulus kami semua sangat senang, kini hanya menunggu nilai hasil ujian di Ijazah
keluar.

Setelah satu bulan lamanya Ijazah kuterima saat itu aku sudah duduk di bangku SMP.
Ternyata nilai Matematikaku jelek, diriku hanya mendapat nilai 4,0 sedangkan nilai yang lain
tinggi. Saat itu ku merenung, bernostalgia disaat aku Ujian ku baru ingat dulu ku mencontek
saat Ujian mata pelajaran Matematika kemudian hasil dari perilaku mencontek adalah
mendapat nilai buruk dan mata pelajaran yang lain yang aku kerjakan dengan kemampuanku
meraih hasil yang baik.

Hal itu kuterapkan saat Ujian di SMP. Ketika Ujian diriku niatkan untuk jujur dalam
mengerjakan Ujian Nasional kali ini karena aku tidak mau mengulangi perbuatanku dulu
ketika di SD. Kali ini materi yang telah kupelajari dan yang diajarkan guruku di kelas
semuanya keluar. Tanganku menuliskan jawaban di LJK dengan tenang tanpa suatu
keraguan. Hingga akhirnya pelaksanaan ujian pun selesai, kini hanya tinggal menunggu
hasilnya.

Kurang lebih satu minggu, akhirnya pengumuman tiba. Ketika bapak Kepala Sekolah
membacakan hasil Ujian Nasional serta siswa yang meraih nilai tertinggi di Ujian yang
berjumlah lima siswa saja yang mendapatkannya, semua siswa tegang menunggu hasilnya.
Kemudian bapak Kepala Sekolah membacakan satu per satu para siswa yang meraih
peringkat lima besar paralel hingga tepat pembacaan siswa yang meraih peringkat pertama.

“Siswa yang meraih peringkat pertama adalah…” ucap bapak kepala sekolah, semua siswa
begitu tegang menunggu kelanjutan ucapan dari bapak Kepala Sekolah. “Ananda Sila Ardila”
Diiringi bahagia dan haru atas kerja kerasku belajar selama ini tidak sia-sia. Kemudian semua
teman memberi selamat padaku, lalu bapak Kepala Sekolah mengatakan padaku bahwa
peraih peringkat pertama akan mendapat beasiswa sekolah di kota. Diriku begitu senang
mendengarnya. Anggapanku tentang kejujuran itu memang benar “kalau jujur itu membawa
bahagia walau awalnya itu sulit”
Cerpen Karangan: Durotun Nur Laili
Assalamualaikum ukhti wa akhi. nama ana nur dan ana dari kendal. semoga kisahnya
bermanfaat ya.
Syukron

Cerpen Filosofi Kejujuran merupakan cerita pendek karangan Durotun Nur Laili, kamu
dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru
buatannya.

Arti Sebuah Keluarga


Cerpen Karangan: Nisrina Kamiliya
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 7 December 2016

Hembusan angin malam kini tengah menusuk tubuhku. Kutarik koper berwarna merah muda
dengan berjalan. Kala itu jalanan sepi dan tidak terlalu banyak kendaraan. Kakiku melangkah
ke arah zebra cross. Tiba-tiba mobil berwarna silver nyaris menabrakku. Dengan langkah
tegangnya sang sopir keluar dari mobil tersebut, ia meminta maaf kepadaku.

“Maafkan aku, aku tidak sengaja” ucapnya. “Tidak apa, itu tidak masalah bagiku” balasku.
“Terima kasih, namamu siapa? Mengapa kamu berjalan sambil membawa koper di larut
malam begini?” Tanyanya. “Namaku Putri, aku lahir di sebuah keluarga broken home. Aku
kini sedang pergi dari rumah. Aku tak tahu harus tinggal dimana. Rumahku saja bagaikan
neraka yang panas” kataku. “Ooh, Putri. Kenalkan, aku Nadia. Kamu bisa tinggal di
rumahku, karena aku anak tunggal, aku tidak punya adik ataupun kakak. Jadi, apakah kamu
bersedia untuk tinggal di rumahku?” Tanyanya. Kujawab dengan sebuah anggukan yang
berarti kuberikan jawaban ‘ya’.

Kumasuki mobil mewahnya yang bermerk Avanza. Gadis bernama Nadia itu tampak
menyetir mobilnya dengan penuh konsenterasi, mungkin dia tidak ingin kejadian yang nyaris
menabrakku tadi terulang lagi. Mataku yang lelah ini mengajakku untuk tidur. Kuturiti
permintaan mataku ini. Akhirnya aku pun tertidur.

Tiba-tiba “Putri… Putri… Kita sudah sampai di rumahku” dengan mengucek mataku, aku
segera ke luar dari mobil silver tersebut. Yang ada di depan mataku sekarang adalah sebuah
rumah mewah yang kusebut kastil. Rumah seperti ini juga sama seperti rumahku. Mungkin
dalam rumahnya yang berbeda, kalau rumahku penuh kericuhan dan pertengkaran, mungkin
rumah ini penuh ketenangan dan keharmonisan.

Aku dan Nadia melangkahkan kaki ke dalam rumah tersebut. Nadia menyuruhku untuk
menjatuhkan badanku ke sofa yang empuk. Tak lama kemudian, muncul wanita dan pria
paruh baya. Mungkin mereka Papa dan Mama Nadia. Setelah diskusi cukup lama, akhirnya
aku diizinkan tinggal disini, di rumah ini, di rumah baruku. Aku sangat berterima kasih.
Dengan tubuh berbaring di kasur yang empuk, kupikirkan keluarga kandungku sekarang.
Bagaimana mereka? Apa mereka mencariku? Mengkhawatirkanku? Mencemaskanku? Atau
bahkan tidak mempedulikanku? Aku saja bahkan sudah tidak memikirkan mereka lagi. Kalau
bahasa gaul MOVE ON. Aku lebih menyayangi keluarga Nadia dibanding keluarga
kandungku sendiri yang hanya bisa bertengkar, sibuk bekerja, bahkan mereka tak pernah
mengajakku liburan, ke luar rumah, apalagi mengajariku untuk mengerjakan tugas sekolah.
Di rumah dan keluarga Nadia, aku bisa mengerti apa arti sebuah keluarga…

Sepenggal nama Dalam Kenangan


Cerpen Karangan: Yudiana Atta Inayah
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 18 March 2016

Malam itu, semilir angin menembus kulit. Membuat tubuh ini semakin menggigil.
Orangtuaku berkali-kali telah mengingatkanku, “Jangan sering-sering duduk di dekat jendela,
Caca! Berapa kali ibu sudah mengingatkanmu, tapi kamu tetap saja tidak mau dengar.
Apalagi musim pancaroba seperti ini, kamu akan mudah sakit!” ujar ibu kala itu.
“Biarlah, Bu. Paling-paling juga cuma masuk angin biasa.” jawabku santai. “Kamu ini bandel
banget sih kalau dibilangin?! Kamu itu maunya apa? Nunggu rezeki jatuh dari langit?” ibuku
kelihatannya makin geram.

Aku hanya tersenyum, lalu menjawab, “Ibu sudah lupa ya? Aku hanya ingin mengingat
Afiqa.” Ibuku terdiam mendengar jawabanku. Ibuku tahu, aku sering duduk di dekat jendela
kala malam karena ingin mengingat Afiqa. Ya, Afiqazzahra Syahdafiarrizqi. Nama itu tang
selalu ku kenang, orang itu yang selalu ku tunggu, dan sosok itu yang selalu membawaku ke
dalam kenangan 10 tahun lalu.

Peristiwa 10 tahun lalu, peristiwa yang selalu membawaku jauh ke dalam kenanganku
bersama Afiqa, orang yang bisa membuatku bahagia dengan cara yang sederhana. Ia pernah
berkata, “Kalau sudah besar nanti, aku pengen jadi astronot. Biar bisa terbang ke bulan, terus
aku mau bawain bintang buat kamu, Ca!” ujarnya riang. Aku hanya tersenyum dan
mengiyakan saja. Aku tahu, Afiqa memang berbeda dengan yang lainnya. Dia sangat suka
bercanda, bahkan saat serius pun ia masih sempat bercanda. Dan candaan itulah yang
membuatku tak bisa lupa dengannya. Tapi pada suatu hari, Afiqa ingin berbicara empat mata
saja denganku. Dari raut wajahnya, ia nampaknya sedang tidak ingin bercanda. Ia sedang
serius.

“Caca…” ucapnya hati-hati.


“Apa?”
“Nggak jadi deh.”
“Mulai lagi deh plin-plannya. Ayo dong, Fiq, katanya kamu mau ngomong sama aku.”
pintaku.
“Tapi kamu janji ya, kamu gak akan marah kalau aku ngomong ini?” ucapnya.
“Iya iya… cepetan, mau ngomong apa?”
Ia mulai menarik napas, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Ia mulai berkata, tapi
perkataannya malah membuatku kaget.
“Cha, aku ini kamu anggap apa?”
“Sahabatku lah.”

“Kalau kamu anggap aku sahabatmu, kamu mau nggak mengabulkan satu permintaanku?”
tanyanya.
“Apa pun demi sahabatku.” ucapku yakin.
“Jauhi aku mulai detik ini juga…”
Aku kaget bukan main. Hatiku bagai disambar petir.
“Tapi kenapa, Fiq? Aku salah apa?”
“Kamu nggak salah. Tapi ini murni kemauanku.”
“Aku nggak nyangka kamu bakalan kayak gini, Fiq. Kamu… kamu jahat, Fiqa! Kamu jahat!”

Aku tak menyangka hal ini akan terjadi. Sahabat karibku sejak kecil memintaku untuk
menjauhinya tanpa alasan yang jelas. Bagaimana bisa? Berpisah untuk satu hari pun kami
tidak bisa. Tiba-tiba, terbesit dalam hatiku mengatakan, “Aku mulai membencimu, Afiqa!”
Hari demi hari ku lalui tanpa Afiqa. Rasanya berbeda memang, tiada hari tanpa tawanya.
Awalnya, aku sok cuek, tapi semakin lama aku menjadi heran. Berhari-hari aku tidak
melihatnya di sekolah. Aku juga sudah bertanya pada teman sekelasnya, tapi tidak ada yang
tahu di mana Afiqa. Di puncak keherananku, tiba-tiba Lela, teman sekelas Afiqa, datang
menghampiriku dan memberikan sebuah buku padaku.

“Ini buku apa?” tanyaku heran.


“Baca saja, dan kau akan mengerti semuanya.” ujarnya sambil berlalu meninggalkanku.

Aku yang penasaran dengan isi buku itu, langsung membacanya. Betapa terkejutnya aku
karena buku itu adalah milik Afiqa, sahabatku sendiri. Dan yang paling membuatku terkejut
adalah: “Dear diary… Hari ini aku dilanda kebingungan. Karena apa? Karena aku harus
pindah ke Jepang mengikuti orangtuaku. Dan itu berarti harus meninggalkan Caca. Aku
terpaksa membohonginya dengan memaksanya menjauhiku. Maafkan aku, Caca. Afiqazzahra
S. 20 Sept. 2005.”

“20 September 2005? Itu kan kemarin?” gumamku. Ternyata, Afiqa membohongiku agar aku
mudah merelakannya. Di belakang buku itu, aku menemukan tulisan:
“Kisah kita memang tak seromantis drama Korea, Kisah kita juga tak sedramatis sinetron
Indonesia, Kisah kita pun tak selegenda film Cina, Kisah kita pula tak sehebat sinema
Amerika. Tapi kisah kita yang akan membuka mata dunia.” Aku menangis menyesali semua.
“Maafkan aku, Fiqa. Aku telah salah menilaimu. Mulai saat ini aku berjanji, akan selalu
menunggumu hingga pulang kembali. See you again, Afiqa…” ucapku dalam hati.

Cerpen Karangan: Yudiana Atta Inayah


Facebook: Yudiana Atta Inayah
Oleh Yudiana Atta Inayah. VII H. SMP NEGERI 1 BONDOWOSO

Anda mungkin juga menyukai